masyarakat adat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/masyarakat-adat/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:57:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 masyarakat adat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/masyarakat-adat/ 32 32 135956295 Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/ https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/#respond Fri, 07 Feb 2025 00:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45564 Wacana membuka 20 juta hektare lahan hutan yang keluar dari lisan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni seperti tidak menunjukkan marwah kementerian yang mengurusi hutan. Sekalipun itu untuk dalih mendukung proyek ambisius food estate, memperkuat cadangan...

The post Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah appeared first on TelusuRI.

]]>
Wacana membuka 20 juta hektare lahan hutan yang keluar dari lisan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni seperti tidak menunjukkan marwah kementerian yang mengurusi hutan. Sekalipun itu untuk dalih mendukung proyek ambisius food estate, memperkuat cadangan pangan, energi, dan air. Hal ini diperparah pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyamakan perkebunan sawit dengan hutan, yang menganggap deforestasi bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Riset Satya Bumi menyebut daya dukung tampung lingkungan hidup untuk perkebunan sawit di Indonesia sudah mendekati ambang batas. Angka ambang batas atas (cap) sawit di Indonesia adalah 18,15 juta hektare, dengan daerah cakupan terluas ada di Pulau Sumatra dan Kalimantan, yang luasannya sudah melampaui kebutuhan (surplus). Sementara menurut data MapBiomas, luas perkebunan sawit saat ini sudah mencapai 17,7 juta hektare. Daripada memaksakan ekspansi sawit, mestinya pemerintah memerhatikan tata kelola yang lebih baik.

Arah kebijakan yang tidak memiliki sensitivitas pada alam tersebut berpeluang menimbulkan bahaya berupa bencana ekologis, mengancam ketahanan dan diversifikasi pangan lokal, serta merebut ruang hidup masyarakat adat. Belum lagi pemusnahan habitat satwa-satwa endemis yang populasinya sudah makin kritis.

Padahal, keanekaragaman hayati dan masyarakat yang majemuk justru menjadi nilai plus Indonesia. Masyarakat atau komunitas adat lokal, yang telah hidup berharmoni dengan hutan secara turun-temurun, terbukti mampu melestarikan tegakan hutan—baik itu hutan tropis di daratan maupun hutan mangrove di kawasan perairan—sekaligus menjaga ekosistem kehidupan di dalamnya. 

Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di wilayah adat Namblong, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura. PT PNM mendapatkan izin lokasi seluas 32.000 hektare dari Bupati Jayapura Mathius Awoitauw pada 2011. Kemudian izin konsesi kawasan hutan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lewat SK.680/MENHUT-II/2014 tanggal 13 Agustus 2014 dengan luas wilayah 16.182,48 hektare. Kawasan seluas itu telah mencaplok lebih dari separuh wilayah adat suku Namblong seluas 53.000 hektare yang membentang di Lembah Grime. Izin konsesi tersebut kemudian dicabut oleh Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar lewat SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Namun, aktivitas PT PNM masih berjalan. Pembabatan hutan terus berlangsung dan ratusan hektare lahan berhutan milik sejumlah marga telah rata dengan tanah. Meski belum ada kegiatan penanaman, tetapi perusahaan yang tidak memiliki kantor tetap itu telah menyiapkan bibit-bibit sawit siap tanam. Keberadaan industri ekstraktif ini sedang “dilawan” oleh masyarakat lokal dengan beragam cara, di antaranya pengelolaan sumber daya alam oleh Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA)/Foto oleh Deta Widyananda

Inilah cara kreatif “menjual” hutan tanpa harus membabat hutan

Pengalaman dari perjalanan ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI di Sumatra, Kalimantan, dan Papua dalam dua tahun terakhir telah memberikan sudut pandang nyata soal harmoni manusia dan alam, serta tantangan internal-eksternal yang bisa mengancam eksistensinya. TelusuRI ingin mengajak pemerintah maupun para pemangku kepentingan dengan kesadaran penuh untuk bercermin dari jalan hidup para local champion dan masyarakat adat tersebut. Mereka cerdas dan bijak dalam memanfaatkan hasil hutan dan mendapat keuntungan ekonomi, tetapi tanpa harus merusak hutan.

Inilah cara-cara mereka, yang (seharusnya) bisa menjadi pedoman nyata pemerintah agar lebih kreatif dan bijaksana dalam membuat kebijakan ramah lingkungan.

1. Ekowisata Tangkahan, Langkat, Sumatra Utara

Sepanjang 1995–2000, sekitar 400 hektare hutan di Tangkahan dibabat habis oleh pembalakan liar. Masyarakat dan cukong bekerja sama dalam bisnis kotor pada balok-balok kayu damar senilai jutaan rupiah. Padahal, kampung di pinggiran Sungai Sei Batang Serangan ini berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Satu dari lima taman nasional tertua di Indonesia, satu-satunya tempat empat mamalia besar endemis berada dalam satu ‘rumah’: harimau, gajah, orang utan, dan badak.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Pada 2001, sejumlah pembalak liar mulai menemukan kesadaran dan berubah haluan, yang kemudian membentuk komunitas pemuda Tangkahan Simalem Ranger tanggal 22 April. Salah satu inisiatornya adalah Rutkita Sembiring. Tugas utamanya antara lain menghentikan illegal logging, juga mengajak rekan-rekan pembalak untuk bertobat dan mencari jalan hidup yang lebih baik.

Inisiatif tersebut lalu berkembang melahirkan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT). Terinspirasi dari ekowisata Bukit Lawang, yang telah membuktikan upaya “menjual” hutan tidak dengan menebang, tetapi melalui ekowisata. LPT menggerakan ekonomi alternatif dan merestorasi alam melalui ekowisata berkelanjutan. Sampai sekarang, LPT bekerja sama dengan Conservation Rescue Unit (CRU) dan TNGL, yang bertanggung jawab menampung gajah-gajah sumatra di Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan. Gajah-gajah tersebut umumnya dievakuasi dari konflik manusia-satwa di Aceh-Sumatra Utara. Di PLSK, sejumlah induk dan anak gajah dirawat oleh mahout (pawang gajah), yang juga bertugas memberi edukasi konservasi kepada para tamu LPT, baik domestik maupun mancanegara.

2. Kelompok Tani Hutan Konservasi, Langkat, Sumatra Utara

Tidak hanya di Tangkahan. Selama lebih dari tiga dekade, riwayat perusakan kawasan penyangga TNGL  juga merambah 16.000 hektare hutan di daerah pedalaman Besitang. Alih fungsi lahan yang masif mengubah area hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. Mafia tanah pun merajalela, konflik horizontal antara masyarakat dengan pemangku kawasan konservasi tak terelakkan.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Pada 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk program Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) sebagai upaya memulihkan kawasan. Terdapat 16 KTHK yang masing-masing beranggotakan petani mitra sekitar dengan cakupan lahan mencapai hampir 1.000 hektare. Setiap petani diberi lahan garapan seluas dua hektare untuk menanam komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti durian, jengkol, cempedak, aren, petai, dan rambutan. Tanaman-tanaman HHBK ini disebut juga Multi-Purpose Tree Species (MPTS). Program KTHK membuat masyarakat anggota kemitraan tersebut memiliki potensi ekonomi alternatif sekaligus merestorasi kawasan hutan, sehingga tidak lagi bergantung pada perambahan, pembalakan, maupun sawit.

Salah satu kelompok yang masih aktif sampai sekarang adalah KTHK Sejahtera pimpinan Hatuaon Pasaribu. Mantan guru yang getol menggalakkan semangat konservasi dan ekonomi restoratif di tengah keterbatasan dan masih adanya ancaman mafia tanah. Sejauh ini, Pasaribu dan para anggota maupun sejumlah kelompok lainnya telah membuktikan hasil positif dari KTHK. Mereka hanya perlu dukungan pemerintah untuk menjamin keamanan pekerjaaan di lapangan, serta menjangkau akses pasar dan sarana-prasarana budidaya lebih luas lagi.

3. Hutan Mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau

Bertahun-tahun, setidaknya sampai 2002, Desa Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis rutin dihajar rob setengah meter setiap Oktober–Desember. Permukiman, rumah penduduk, dan lahan pertanian terendam air asin. Produktivitas karet menurun. Air kelapa tidak lagi segar. Hutan mangrove menyusut akibat perambahan dan pembalakan liar oleh panglong, perusahaan penebangan kayu setempat. Data mencatat, terjadi penurunan luas hutan mangrove sebanyak 5,25 persen di Pulau Bengkalis dalam kurun waktu 1992–2002. Dari sekitar 8.182,08 hektare pada tahun 1992 menjadi 6.115,95 hektare pada tahun 2002.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Situasi itu menggerakkan hati Samsul Bahri, seorang nelayan kecil berdarah Jawa untuk menyelamatkan ekosistem mangrove. Pada 2002, ia mulai membudidayakan dan menanam bibit-bibit mangrove di hutan rawa belakang rumahnya. Dua tahun kemudian, Samsul membentuk dan mengetuai Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap, yang diperkuat surat keputusan Bupati Bengkalis saat itu. Selain Belukap, juga ada KPM Perepat yang dipimpin M. Ali B. Dua kelompok ini merupakan pelopor pengelolaan mangrove dengan skema perhutanan sosial.

Lambat laun, 40 hektare hutan mangrove berhasil direstorasi. Pohon tertingginya bisa mencapai 20 meter. Banjir rob sudah berkurang signifikan. Kerja kerasnya mendapat atensi pemerintah dan sejumlah lembaga nirlaba internasional, yang kemudian memberi bantuan pendanaan kegiatan dan advokasi sampai terbentuknya legalitas Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Teluk Pambang. Kini, bukan hanya konservasi semata, Samsul dan masyarakat Teluk Pambang menatap masa depan ekonomi restoratif melalui ekowisata dan perdagangan karbon dari 1.001,9 hektare ekosistem mangrove yang telah merimbun.

4. Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur

Masyarakat suku Dayak Lebo di Kampung Merabu adalah jagawana ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Ekosistem karst terbesar di Kalimantan. Meski dikepung sawit yang tumbuh menjamur di kampung tetangga, orang-orang Merabu masih gigih mempertahankan hutan yang menjadi sumber penghidupan utama mereka. Sebab, Dayak Lebo lama dikenal sebagai suku pemburu dan peramu obat-obatan tradisional. Madu hutan alami juga jadi salah satu produk unggulan. Sejak 2014, ekowisata menjadi sumber ekonomi alternatif yang dikelola berbasis masyarakat dan berkelanjutan.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Perbukitan karst Sangkulirang-Mangkalihat benar-benar jadi berkah untuk Merabu. Selain menyimpan jejak prasejarah lewat gua-gua purba, kawasan ini juga memiliki bentang alam yang menjadi daya tarik wisata, seperti Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu. Pengelolaan ekowisata berada di tangan Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam). Sudah tak terhitung tamu yang datang untuk berwisata di Merabu, terutama mancanegara.

Program menarik yang memanfaatkan nilai hutan Merabu adalah adopsi pohon. Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kerima Puri. selaku penanggung jawab program, telah menghimpun hampir 300-an pohon yang diadopsi oleh banyak pihak, mulai dari turis biasa, lembaga nirlaba, hingga instansi pemerintahan. Rata-rata jenis pohon yang diaopsi antara lain damar, meranti merah, dan merawan. Nama yang disebut terakhir diadopsi sejak 2016 oleh Vidar Helgesen, Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia periode 2015–2018. Dana hasil adopsi pohon tersebut kemudian dialokasikan untuk biaya sekolah anak-anak Merabu dan biaya sosial warga kampung yang kurang mampu.

5. Ekowisata Malagufuk, Sorong, Papua Barat Daya

Suku Moi merupakan komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong, gerbang barat Tanah Papua. Masyarakat Moi dikenal dengan tradisi egek, yang membatasi atau melarang kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu di hutan maupun kawasan pesisir, agar kelestarian alam dan keanekaragaman hayatinya terjaga. Meski sejumlah daerah di Sorong sudah beralih fungsi menjadi area pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit, ada satu titik yang masih keras mempertahankan tanah ulayatnya, yaitu Malaumkarta Raya. 

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Di antara lima kampung, hanya Malagufuk yang menempati pedalaman rimba Hutan Klasow. Sisanya berada di pesisir. Jalan kaki sejauh 3,5 kilometer di atas jembatan kayu adalah satu-satunya cara mencapai Kampung Malagufuk. Keterisolasian ini justru jadi nilai lebih Malagufuk, yang kemudian mendunia karena daya tarik ekowisata pengamatan burung (birdwatching). Terdapat lima spesies cenderawasih yang bisa ditemukan di Malagufuk, yaitu cenderawasih kuning-kecil, cenderawasih kuning-besar, cenderawasih raja, cenderawasih mati kawat, dan toowa cemerlang. Tidak hanya cenderawasih, burung-burung endemis lainnya juga ada, antara lain julang papua, mambruk, dan kasuari. Satwa unik seperti nokdiak atau landak semut dan kanguru tanah juga bisa ditemukan di sini.

Perputaran ekonomi restoratif melalui ekowisata dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat gelek (marga) Kalami dan Magablo di Malagufuk. Mulai dari pemandu, pengelola homestay, porter, hingga juru masak terlibat di dalamnya. Masyarakat Malagufuk mampu melihat nilai lebih dari hutan mereka tanpa harus merusak hutan. Keberagaman potensi burung dan satwa di Malagufuk mengundang turis pegiat birdwatching lintas negara. Di Papua, Malagufuk kini jadi destinasi pengamatan burung paling populer selain Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Jayapura.

6. BUMMA Yombe Namblong Nggua, Jayapura, Papua

Inisiatif luar biasa dalam mewujudkan ekonomi restoratif berbasis masyarakat lahir di Kabupaten Jayapura. Tepatnya di Lembah Grime, kawasan adat suku Namblong seluas 53.000 hektare yang menempati tiga distrik: Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mitra BUMMA, dan Samdhana Institute berkolaborasi dengan masyarakat adat Namblong membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua pada 12 Oktober 2022. Per Oktober 2024 lalu, BUMMA resmi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), dengan 44 Iram (pemuka marga) sebagai pemegang saham. 

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

BUMMA Yombe Namblong Nggua merecik harapan ekonomi kerakyatan di tengah tekanan deforestasi akibat alih fungsi lahan perusahaan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), yang hak konsesinya sudah dibatalkan pemerintah sejak 2022 lalu. Langkah progresif tersebut pertama di Papua, seiring penetapan pengakuan ribuan hektare hutan adat Namblong oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain Jayapura, BUMMA juga dibentuk di Mare, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya.

Pendirian BUMMA muncul atas keinginan mengelola sumber daya alam berbasis masyarakat adat secara berkelanjutan. Setidaknya terdapat tiga sektor unggulan yang dikerjakan, yaitu budi daya vanili, ekowisata, dan perdagangan karbon melalui restorasi hutan—termasuk memulai penanaman sagu di lahan-lahan terdampak konsesi sawit.

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hamparan hutan tropis di kawasan ekowisata Malagufuk, Sorong, yang dijaga dan disakralkan berdasarkan ketentuan adat. Sebatang pohon pun akan sulit dipulihkan dan butuh waktu lama untuk tumbuh seperti semula, apalagi jika sampai 20 juta hektare hutan hilang/Deta Widyananda

Tunggu apa lagi, Pak Presiden dan Pak Menteri?

Contoh riil di akar rumput tersebut mestinya sudah lebih dari cukup sebagai bukti agar pemerintah membuka mata lebar-lebar. Pemahaman sederhana soal keseimbangan ekosistem mestinya juga sudah didapat jika memang pernah melewati masa pendidikan sekolah dasar. Bahwa jika memutus satu rantai dalam ekosistem, maka akan menghapus entitas kehidupan yang bergantung padanya. Sebagaimana menghilangkan pohon-pohon pembentuk ekosistem pemberian Tuhan. Tidak hanya akan memusnahkan habitat keanekaragaman hayati, tetapi juga identitas kebudayaan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan.

Dampak keserakahan dan ambisi akibat menjadikan lahan hutan sebagai ladang bisnis telah nyata merusak segala lini kehidupan yang menjadi hak rakyat. Suku-suku adat terusir dari tanahnya sendiri, satwa-satwa endemis mengais-ngais makanan di tempat yang tidak semestinya—karena hutannya sudah hilang. Belum lagi konflik antara manusia dan satwa, yang sudah amat sering terjadi hingga soal bencana ekologis yang akan timbul. Banjir bandang, sungai meluap, dan tanah longsor merenggut banyak hal, yang seringkali hujan lebat maupun cuaca ekstrem menjadi sasaran tuduhan pemerintah, yang tutup mata pada masalah sebenarnya: hilangnya pohon-pohon di hutan sebagai penyerap dan penahan air.

Ayolah, Pak Presiden dan Pak Menteri. Masyarakat adat dan komunitas lokal lebih memahami hutan mereka. Mereka hanya perlu pengakuan legal dan pendampingan, agar hutan alami yang menghidupi mereka terjaga sampai anak cucu. Sebab, jika masih tutup mata, slogan Indonesia sebagai paru-paru dunia sejatinya sudah menjadi sekadar romantisme belaka. Setop mengoceh soal Indonesia yang kaya sumber daya alam, jika kebijakan-kebijakan di tingkat elite tidak berpihak pada alam itu sendiri.


Foto sampul oleh Deta Widyananda


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/feed/ 0 45564
Terima Kasih, Papua https://telusuri.id/terima-kasih-papua/ https://telusuri.id/terima-kasih-papua/#respond Thu, 16 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45376 Tidak ada pelajaran terbaik dari sebuah perjalanan, selain hati dan kenangan indah yang tertinggal sebagai rindu. Papua, kami pasti kembali. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri Ada satu hal...

The post Terima Kasih, Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
Tidak ada pelajaran terbaik dari sebuah perjalanan, selain hati dan kenangan indah yang tertinggal sebagai rindu. Papua, kami pasti kembali.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Terima Kasih, Papua
Kabut tipis menyelimuti hamparan hutan adat Kampung Bariat, Sorong Selatan. Tampak aliran Sungai Kaibus yang bermuara ke laut. Di Papua, kawasan hutan dan perairan menjadi tempat sakral yang harus dijaga karena memberi sumber penghidupan masyarakat adat/Deta Widyananda

Ada satu hal yang sangat menakjubkan dari orang-orang Papua. Tanpa mengatakan nama daerah, hanya dengan menyebut nama marga, maka orang Papua akan tahu dari mana asal daerah seseorang. Ko pu marga Kalami, maka ko orang suku Moi dari Malaumkarta, Sorong. Kam pu marga Kareth, maka kam orang suku Tehit dari Bariat, Sorong Selatan. Dong pu marga Waisimon, maka dong orang suku Namblong dari Yenggu Baru, Jayapura. Dan seterusnya.

Bayangkan. Dari satu suku besar saja, terdapat turunan subsuku yang masing-masing bisa berisi puluhan atau ratusan marga. Itu satu tempat. Belum daerah yang lain. Lebih dari 250 suku dan 300 rumpun bahasa bertumbuh di Papua. 

Ini belum bicara soal zonasi wilayah adat antarmarga maupun antarsuku. Belum lagi konsep kebudayaan—dengan kombinasi religiositas—yang mengikat kehidupan masyarakat dari lahir sampai mati. Termasuk di antaranya perkawinan, penerapan hukum adat, hingga pergantian ketua adat; yang melibatkan komponen-komponen ritus nan rumit sekaligus filosofis. Sistem ini menyatu dengan prinsip hidup orang Papua dalam menjaga hutan, sungai, dan laut yang menjadi sumber kehidupan. Sebuah “kedaulatan konservasi” yang sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.

Sebab, seperti orang Papua yakini, hutan adalah ibu, hutan adalah mama. Pemberi kehidupan. Kita belajar banyak cara mereka menghargai alam. Bahkan di tengah keterbatasan atas hak mereka terhadap akses pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. 

Tak pelak jika lembaga-lembaga swadaya masyarakat di Papua memperjuangkan pengakuan wilayah hutan adat ke negara. Cara ini akan memperkuat legitimasi masyarakat adat sebagai pengelola hutan adat. Hanya merekalah yang jauh lebih memahami alam dan cara memanfaatkannya. Orang-orang Papua di kampung-kampung hanya perlu didampingi bagaimana meningkatkan nilai ekonomi dari mengolah hasil alam, tanpa harus merusak alam.

Pemanfaatan hutan berkelanjutan tentu akan berdampak pada pelestarian hutan itu sendiri. Berbeda dengan investasi industri ekstraktif yang berorientasi kuantitas, ekspansi, dan profit. Jika akses maupun kepemilikan komunitas adat pada hutan atau laut hilang, seperti kata Torianus Kalami, tokoh Moi di Sorong dan Malaumkarta Raya, itu sama saja dengan menghapus satu per satu kebudayaan asli Papua.

* * *

Terima Kasih, Papua
Alberto Yekwam di Pulau Um, Malaumkarta. Perjalanan pendidikan dan pengalaman hidupnya memberi pandangan tegas bagaimana semestinya negara memberi perhatian kepada orang-orang Papua/Rifqy Faiza Rahman

Kami jadi teringat Alberto Yekwam saat hendak meninggalkan Kampung Malaumkarta untuk kembali ke Kota Sorong. Pria berdarah Tambrauw-Maybrat itu adalah sopir mobil Hilux yang kami sewa selama perjalanan ke Malagufuk–Malaumkarta. Ia memang sedang mengambil jatah libur selepas lulus sekolah pilot di Colorado, Amerika Serikat; dan kami sangat beruntung bisa mengenalnya.

Sembari menunggu barang-barang bawaan kami dimuat di bagasi belakang, kami mengobrol sejenak. Salah satu yang menarik adalah sudut pandangnya dalam memaknai “kemerdekaan” untuk Orang Asli Papua (OAP). Di Papua, isu soal kemerdekaan memang sangat sensitif untuk dibahas. Namun, Berto, sapaan akrabnya, tidak sedang membicarakan itu. Sebab, menurut dia, ada sisi lain kemerdekaan yang harus diperjuangkan.

“Saya rasa, kami tidak memerlukan kemerdekaan Papua untuk menjadi sebuah negara baru, lepas dari Indonesia. Bukan itu. Yang kami inginkan [kepada pemerintah], berilah kami kemerdekaan atau kebebasan untuk mengelola hutan adat kami,” tegas Berto.

Pandangan Berto senada dengan Torianus Kalami, tokoh suku Moi di Sorong dan Malaumkarta Raya. Membangun Papua berbeda dengan Jawa, apalagi menggunakan “kacamata” Jakarta. Pendekatan yang dilakukan mesti berbasis budaya, bijaksana dalam memanfaatkan sumber daya alam, dan melibatkan masyarakat adat—karena begitulah keistimewaan Papua. 

Sekelumit contohnya sudah ada. Kita bisa lihat masyarakat Malagufuk telah memetik hasil dengan ekowisata pengamatan burung (birdwatching), membiarkan tamu rela berjalan 3,5 kilometer ke kampung agar hutan tetap asri tanpa polusi kendaraan bermotor. Ekowisata berkelanjutan juga menjadi salah satu program prioritas pace-mace di Jayapura lewat Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua, selain pengembangan budi daya vanili.

Atau kiprah personal lainnya, seperti Yuliance Yunita Bosom Ulim alias Yuyun, pendiri Sinagi Papua. Jatuh bangun usahanya membuat produk bumbu asin nipah atau garam hutan kini mulai diapresiasi khalayak. Misinya untuk memberi generasi muda Papua gambaran pekerjaan alternatif selain pegawai negeri sipil (PNS) tampak sederhana, tetapi dampaknya bisa besar. Orang-orang akan tahu betapa kayanya hutan dan lautan di tanah kelahiran mereka, yang akan memberi manfaat ekonomi jika diolah dengan baik.

Kisah-kisah inspiratif yang kami temui di sebagian kecil Papua itu sejatinya menumbuhkan harapan. Di tengah keterbatasan, orang-orang Papua menunjukkan kepada kami, hubungan yang harmonis dengan alam pada akhirnya akan menjaga kehidupan manusia juga. Mereka hanya ingin agar pemerintah berpihak kepada masyarakat adat, serta membatasi upaya alih fungsi lahan adat menjadi industri ekstraktif.

Setiap tempat, setiap suku dan marga, bisa menjadi benteng terakhir yang menjaga hutan, “ibu kandung” mereka. Di luar dukungan para pemangku kebijakan, pemetaan dan pengembangan potensi ekonomi restoratif pada skala lokal menjadi salah satu jalan terbaik untuk tetap mewariskan sumber penghidupan kepada anak cucu di masa depan.

* * *

Terima Kasih, Papua
Zet Manggo (tampak punggung) mengajak anak-anak Kampung Berap bermain dengan perahu di Kali Biru. Generasi muda Papua mengemban tanggung jawab untuk mewarisi pengetahuan adat dari orang tua dan leluhur, agar kelestarian hutan adat dan hak ulayat terjaga/Mauren Fitri

Perjalanan kami di Papua pada Agustus–September lalu hampir merentang 10.000 kilometer. Ini jadi perjalanan terjauh kami. Perjalanan serba pertama bagi kami. Seperti halnya ekspedisi tahun lalu di Sumatra dan Kalimantan, kami menggunakan hampir beragam moda transportasi, kecuali bus dan perahu—ini pun hanya dipakai sebentar saat menyeberang Sungai Kaibus untuk melihat hutan mangrove di Konda, Sorong Selatan. 

Lebih dari 20 narasumber lokal, baik itu ketua adat, kepala kampung, tokoh masyarakat, mama-mama, maupun orang muda, memberi wawasan dan pandangan mencerahkan untuk bahan belajar kami. Bahkan mungkin juga Anda, sebagai pembaca TelusuRI. Sebagai orang yang tinggal di luar Papua, kita mesti berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada orang-orang Papua terhadap upaya mereka melestarikan kekayaan alam yang tersisa.

Satu bulan jelas tidak cukup untuk mengenal Papua lebih dalam. Setiap tempat, setiap suku, setiap marga, bahkan setiap keluarga memiliki ciri khas masing-masing. Satu bulan, bukan waktu ideal untuk memberi penilaian utuh soal Papua. Sebab, setiap isu dan situasi memiliki pendekatannya sendiri-sendiri. Satu hal yang niscaya, sudut pandang kami tentang Papua semakin luas dari sekelumit pengalaman dan perjalanan di antara Sorong sampai Jayapura.

Kalau saja Piter Meres benar-benar membuatkan kami rumah di Konda, mungkin kami belum pulang sampai sekarang. Sebab, sudah pasti kami akan diberi nama marga dan diangkat sebagai keluarga besar suku Tehit. Walaupun, toh, tanpa itu kami sudah dianggap seperti keluarga. Adakalanya perjalanan itu memang harus diakhiri dan dirindukan, agar kami punya alasan untuk kelak kembali belajar kehidupan di bumi cenderawasih.

Terima kasih, Papua!


Anak-anak berlarian di jalan kampung Malaumkarta, Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Terima Kasih, Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/terima-kasih-papua/feed/ 0 45376
Optimisme dari Lembah Grime https://telusuri.id/optimisme-dari-lembah-grime/ https://telusuri.id/optimisme-dari-lembah-grime/#respond Sun, 12 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45289 Komunitas adat suku Namblong di Jayapura berusaha mempertahankan hak tanah ulayat mereka, sementara tekanan alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit terus mengancam. Berbekal riwayat historis dan pengakuan hutan adat oleh negara, masyarakat 44 marga di...

The post Optimisme dari Lembah Grime appeared first on TelusuRI.

]]>
Komunitas adat suku Namblong di Jayapura berusaha mempertahankan hak tanah ulayat mereka, sementara tekanan alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit terus mengancam. Berbekal riwayat historis dan pengakuan hutan adat oleh negara, masyarakat 44 marga di Lembah Grime berupaya mandiri ekonomi secara berkelanjutan lewat Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA).

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Optimisme dari Lembah Grime
Aliran Sungai Bob (paling atas), batas alam antara area hutan garapan (bagian bawah) milik komunitas adat Namblong marga Waisimon di Kampung Yenggu Baru, Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura, dengan hutan lindung yang disebut dengan Ku Defeng Yano Akrua. Satu dari empat hutan adat yang diakui negara di Lembah Grime/Deta Widyananda

Dari riwayat sejarah, sebelum adanya negara, seluruh tanah di Papua merupakan tanah ulayat atau tanah adat. Sebagaimana halnya suku Moi di Tanah Malamoi (Sorong), atau suku Tehit di Tanah Metamani (Sorong Selatan), suku Namblong juga menempati bagian Wilayah Budaya Mamta bernama Lembah Grime di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Nama Grime diambil dari salah satu sungai besar yang mengalir di kawasan tersebut dan tidak pernah kering. Selain Sungai Grime, juga terdapat Sungai Yenggu dan Sungai Muaif. Namblong merupakan suku besar yang mencakup 44 marga dengan populasi penduduk lebih dari 50.000 jiwa. Komunitas adat ini mendiami wilayah seluas 53.000 hektare (ha) di 31 kampung dan tiga distrik, yaitu Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong.

Berdasarkan keterangan Zet Manggo, perwakilan humas Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua, seluruh marga tersebut tersebar ke dalam lima subsuku atau subwilayah berdasarkan kondisi geografis. Ktu Mai Ru, sebutan untuk orang-orang yang hidup di daerah rawa dan sagu berduri. Daerah tersebut kini ditempati oleh sebagian marga dan banyak kelompok transmigran. Jalan poros utama yang menghubungkan antara Kabupaten Jayapura dengan Kabupaten Sarmi juga dibangun melintasi wilayah dataran rendah ini. Fou Ru, yakni orang-orang yang mendiami dataran tinggi, mulai dari Nimbokrang Sari naik ke Nimboran melalui daerah Genyem kota (sebutan pusat kelurahan Genyem).

Lalu Banu Ru adalah orang-orang yang mendiami bagian timur wilayah Distrik Namblong, mulai dari Yakotim, Kaitemung, sampai Besum. Tabo, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah selatan perbukitan Tabo, Ombrob, hingga Yenggu. Daerah ini juga disebut dengan Perbukitan Selatan. Terakhir, Iwarom, yaitu orang-orang yang menempati wilayah perbukitan karang bercampur “iwarom” atau tanah merah “iwarom” di sebelah utara atau Perbukitan Utara dekat pesisir pantai.

Selain pemerintahan sipil yang mencakup kepala distrik (camat) dan kepala kampung (setingkat lurah), sistem pemerintahan adat juga masih dihormati di Namblong. Terdapat tiga unsur utama di dalamnya, yaitu Ondoafi atau Iram (tetua adat atau pemuka marga), Tekai (simbol pemangku aturan adat), dan Dunenskingwow (semacam humas pelaksana program adat). 

Sebagai pemimpin marga, Iram berperan besar dalam menentukan batas-batas tanah ulayat untuk setiap keluarga dalam satu marga. Namun, dalam satu dasawarsa terakhir, masyarakat adat Namblong menghadapi tekanan pencaplokan tanah adat oleh PT Permata Nusa Mandiri (PNM), perusahaan kelapa sawit. Modusnya sama, yaitu pemalsuan tanda tangan kehadiran warga dalam acara sosialisasi plasma nutfah kelapa sawit, yang diubah sepihak sebagai dokumen persetujuan pembukaan lahan untuk diajukan ke Bupati Jayapura dan Menteri Kehutanan selama 2011–2014.

Sejumlah oknum keluarga marga ikut terseret karena tergiur uang cepat yang nilainya tidak seberapa dibanding warisan adat. Untuk melawan itu, selain melalui gerakan aktivis, masyarakat Lembah Grime membentuk unit bisnis BUMMA Yombe Namblong Nggua. Pembentukan dan pendampingan program BUMMA dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mitra BUMMA, dan Samdhana Institute. Konsep kepemilikan saham perusahaan oleh 44 marga menjadi pijakan kuat untuk mengikat pengelolaan sumber daya alam berbasis adat. 

Kiri: Jalan nasional penghubung Kabupaten Jayapura dengan Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Beberapa distrik di sekitarnya telah berubah menjadi kawasan transmigrasi sejak zaman pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Kanan: Kondisi jalan kampung di Yenggu Baru, Nimboran. Masyarakat kampung umumnya menggantungkan sumber ekonominya pada hasil hutan yang dikelola secara ketentuan adat/Rifqy Faiza Rahman

Amanah daerah otonomi khusus dan filosofi Gerakan Menoken

Ambrosius Ruwindrijarto atau akrab disapa Ruwi (53), salah satu pendiri dan direktur eksekutif dari Mitra BUMMA dan Samdhana Institute, mengungkap inisiasi pendirian BUMMA di wilayah Namblong sejatinya merentang jauh 16 tahun ke belakang. Persisnya ketika pemerintah mengetuk palu, melahirkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.

Peraturan perundang-undangan itu kemudian diterjemahkan dan dilaksanakan lebih implementatif dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua. “Keberadaan undang-undang dan Perdasus berlandaskan pada semangat dan kenyataan [yang mengakui] bahwa seluruh tanah Papua adalah tanah adat dan seluruh masyarakat Papua adalah masyarakat adat,” jelas Ruwi.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) turut memiliki andil dalam mengegolkan dan menindaklanjuti pengakuan legal formal tersebut. Selanjutnya dilakukan pemetaan, pengumpulan data etnografi, pengusulan dan verifikasi, sampai dengan penetapan pengakuan masyarakat dan wilayah hukum adat di tingkat provinsi maupun kabupaten. Di dalamnya, termuat salah satu ketentuan yang mengatur kewajiban masyarakat adat Papua untuk membangun badan usaha milik masyarakat adat (BUMMA). Tujuan utama pendirian BUMMA bertujuan adalah untuk mengelola secara kolektif segala kekayaan dan segala sumber perekonomian di dalam wilayah adatnya.

Namun, setelah serangkaian perjuangan oleh masyarakat adat bertahun-tahun, langkah yang lebih progresif dan komprehensif baru dilakukan pada periode 2020–2021 ketika muncul inisiatif Gerakan Menoken. Sebuah program dari Samdhana Institute untuk penguatan kapasitas masyarakat adat Papua, khususnya suku Namblong di Jayapura. Penamaan “menoken” merupakan bentuk praktis dari noken, sebuah benda multifungsi yang diakui dunia sebagai warisan budaya. Bicara noken berarti bicara Papua, dan sebaliknya.

  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime

Noken tidak hanya sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga. Banyak masyarakat pun menggunakannya untuk membawa dan melindungi bayi. Selain itu, noken juga memiliki seperangkat nilai dan filosofi mendalam. Noken bermakna kelenturan (fleksibilitas), keterbukaan (transparansi), kebersamaan (persaudaraan), keterajutan (saling terhubung), keberdayagunaan, juga sebagai identitas dan perawat kehidupan. 

“Noken itu seperti layaknya rahim, di mana ia mengkerut atau mengecil pada saat tidak ada isinya [tidak digunakan]. Tapi kalau ada isinya, maka ia akan menyesuaikan diri [mengembang], menyimpan, dan melindungi apa yang ada di dalamnya,” tutur Ruwi.

Melalui Gerakan Menoken, masyarakat diajak berdiskusi bersama. Duduk melingkar, sama rata. Tidak ada yang menonjol sebagai narasumber seperti lazimnya sebuah acara diskusi. Program ini lebih dari sekadar lokakarya biasa. Setiap orang berbagi informasi tentang isi noken miliknya, menerima pemberian dari isi noken orang lain, sampai menceritakan pengalaman-pengalaman seputar kehidupan sebagai masyarakat adat.

Di tengah rangkaian kegiatan, berikutnya muncul topik pembahasan mengenai tantangan-tantangan pengelolaan kekayaan alam dan budaya yang ada di masyarakat. Sebab, timbul kesadaran dalam menjaganya sebagai sumber penghidupan dan warisan untuk anak cucu. Semangat diskursus lalu berkembang sampai mengerucut dan menghasilkan kesepakatan untuk membentuk forum khusus dan resmi di tingkat masyarakat adat. 

Pada 12 Oktober 2022, lahirlah BUMMA Yombe Namblong Nggua, dengan Yohana Yokbeth Tarkuo (29) didapuk sebagai direktur utama. Penetapan warga Kampung Berap, Distrik Nimbokrang itu, bersama pengurus struktural BUMMA lainnya, dilakukan secara adat. Kabar gembira ini mengiringi momen puncak penyerahan surat keputusan hutan adat oleh pemerintah saat Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Stadion Barnabas Youwe, Sentani, Jayapura (24/10/2022).

Melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah menetapkan tujuh hutan adat di Papua. Enam di antaranya berada di Kabupaten Jayapura, sedangkan satu hutan adat ada di Distrik Merdey, Teluk Bintuni, Papua Barat. Dari enam itu, empat hutan adat berada di Lembah Grime: 1) Hutan Adat Yano Wai di Kampung Singgriwai, Distrik Nimboran (2.593,74 ha); 2) Hutan Adat Yano Akrua di Kampung Yenggu Baru dan Yenggu Lama, Distrik Nimboran (2.177,18 ha); 3) Hutan Adat Yano Meyu di Kampung Meyu, Distrik Nimboran (411,15 ha); dan 4) Hutan Adat Yano Takwobleng di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang (404,9 ha).

Optimisme dari Lembah Grime
Nicodemus Wamafma di pinggiran Kali Biru, destinasi wisata unggulan Kampung Berap. Niko yang telah kenyang pengalaman dalam pekerjaan lingkungan dan advokasi masyarakat adat kini pulang ke kampung halaman untuk membantu BUMMA Yombe Namblong Nggua/Deta Widyananda

Sisanya, menurut Nicodemus Wamafma alias Niko (49), General Manager BUMMA Yombe Namblong Nggua, akan diperjuangkan mendapatkan pengakuan yang sama. Sebab, memang sudah semestinya seluruh lahan di Lembah Grime merupakan wilayah hukum adat. Termasuk tanah-tanah transmigrasi, serta lahan-lahan yang dialihfungsikan perusahaan, seperti HPH industri kayu maupun Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.

Ruwi menegaskan, BUMMA berbeda dengan badan usaha milik kampung (BUMKam) atau desa (BUMDes). Selain memang menjadi “perintah” dari undang-undang, BUMMA lebih cocok diterapkan di kalangan masyarakat adat yang lebih kompleks. “BUMMA lebih berasas adat dan suku di Papua. Cakupannya lebih luas dan lebih bisa ‘melawan’ kapitalisme perusahaan besar,” tegas pria kelahiran Semarang itu. 

Untuk itulah Mitra BUMMA bekerja sama dengan para Iram dan masyarakat untuk memperkuat struktur dan kelembagaan, serta memetakan fokus bisnis BUMMA Yombe Namblong Nggua. Salah satu keluaran BUMMA Yombe Namblong Nggua sebagai unit usaha adalah menghasilkan produk-produk ekonomi yang dikelola berbasis masyarakat. Tidak hanya mengakomodasi setiap marga, tetapi juga mengusahakan proses hulu-hilirnya berkelanjutan. 

Mengutip pernyataan Yohana, sesuai arahan dan pendampingan Mitra BUMMA, serta berdasarkan hasil pemetaan potensi, fokus pengembangan ekonomi mengerucut pada komoditas vanili dan ekowisata. Meskipun sebelumnya masyarakat Namblong juga berkecimpung di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan—yang mana akan kelak juga akan menjadi fokus pengembangan di tahun-tahun berikutnya.

  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime

Para srikandi Namblong yang memiliki peran penting dalam pengembangan BUMMA Yombe Namblong Nggua, yaitu (berurutan) Yohana Yokbeth Tarkuo, Dorlince Yambeyapdi (bendahara BUMMA), dan Ribka Waibro (manajer divisi vanili BUMMA)/Deta Widyananda-Rifqy Faiza Rahman

Mandat berat menjaga hutan adat

Selain vanili dan ekowisata, restorasi hutan merupakan satu sektor penting yang menjadi fokus BUMMA. Terlebih PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih menunjukkan eksistensi di dekat kawasan hutan adat Yano Akrua, berbatasan dengan wilayah Beneik, Distrik Unurum Guay. 

Sejarah upaya deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PNM di wilayah adat Namblong membentang cukup panjang, lebih dari sedekade lalu. Perusahaan yang tidak jelas alamat kantor dan struktur organisasinya itu—baik di Jayapura maupun Jakarta—mendapatkan izin lokasi seluas 32.000 hektare dari Bupati Jayapura Mathius Awoitauw pada 2011. Kemudian izin konsesi kawasan hutan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lewat SK.680/MENHUT-II/2014 tanggal 13 Agustus 2014 dengan luas wilayah 16.182,48 hektare. Kawasan seluas itu telah mencaplok lebih dari separuh wilayah adat suku Namblong.

Padahal, izin konsesi tersebut kemudian dicabut oleh Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar lewat SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Dengan kata lain, negara sudah melarang PNM melanjutkan operasionalnya. Namun, faktanya aktivitas PT PNM masih berjalan terang-terangan, seolah-olah ketetapan hukum selevel kementerian tidak bertaji.

  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime

Pembabatan hutan terus berlangsung. Pekik senso atau gergaji mesin, yang entah di mana sumber suaranya, terdengar meraung-raung dari pedalaman belantara. Jelas sekali mata gergaji berbahan baja itu mengiris pohon-pohon berusia tua sampai rebah ke tanah. Seperti gemuruh longsoran bukit dengan batu-batu besar menggelinding. Sementara di seberang hutan yang sudah gundul, polybag plastik hitam berisi tanaman sawit berusia muda ditata berjejer di kebun pembibitan. 

Jauh sebelum itu, sejumlah kebijakan semasa pemerintahan Orde Baru turut memberi dampak pada berkurangnya tutupan hutan dan tanah adat. Sebut saja program transmigrasi maupun pembukaan industri kayu lewat Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Padahal, masyarakat menggantungkan kehidupannya bersumber dari hutan. Banyak wawasan leluhur tentang pemanfaatan hutan untuk makan, minum, hingga obat-obatan tradisional. Tak pelak Ambrosius Waisimon (67), Iram di Kampung Yenggu Baru, menolak keras perusahaan apa pun (yang bersifat ekstraktif) masuk ke hutan adat mereka—Ku Defeng Akrua.

Jelas akan jadi pekerjaan berat bagi Bernard Yewi (42), Manajer Kehutanan BUMMA. Ia  mengemban tanggung jawab untuk menjaga dan memulihkan hutan adat Namblong. Belum lagi jika bicara soal dampak perubahan iklim dan upaya penyerapan karbon. Tak heran jika Abner Tecuari (49), pemuka marga Tecuari di Bunyom, kukuh mengusulkan kepada BUMMA agar membangun kembali dusun (hutan) sagu. Selain faktor pangan pokok dan penyerap karbon terbaik, program ini juga memperlihatkan bentuk perjuangan masyarakat Namblong mempertahankan hak ulayat mereka. 

Optimisme dari Lembah Grime
Hutan adalah sumber kehidupan bagi masyarakat adat Namblong di Lembah Grime. Bukan hanya bermanfaat bagi manusia, melainkan juga satwa dan keanekaragaman hayati lainnya yang menjadikan rimba sebagai rumah mereka/Deta Widyananda

“Dengan menanam sagu di hutan, kita tunjukkan kepada perusahaan [sawit dan kayu] bahwa [hutan] itu milik kita, bukan cuma tanah kosong,” jelas Abner tegas.

Bernard pun tidak bisa untuk tidak setuju dengan permintaan Abner. Untuk itulah ia bersama pengurus telah melakukan rencana tindakan awal. Setidaknya ada empat tahapan yang harus dilakukan BUMMA di sektor kehutanan.

Pertama, pengelolaan area hutan adat yang sudah ada—baik yang diakui negara maupun bukan— agar dipertahankan, dan menegaskan kembali batas-batas antarmarga sehingga tidak terjadi saling klaim kepemilikan lahan. Kedua, pengayaan atau rehabilitasi untuk memperbanyak tegakan pohon dengan kandungan penyerapan karbon tertinggi, seperti sagu yang sekaligus menjadi sumber pangan pokok. Ketiga, penghijauan atau reboisasi hutan yang “terluka”, terutama kawasan terdampak konsesi PNM. 

“Yang terakhir, penelitian. Kami akan melakukan pemetaan lahan-lahan prioritas yang memiliki sebaran pohon dengan potensi stok karbon terbanyak di Lembah Grime,” jelas Bernard. Pada jangka panjang, BUMMA Yombe Namblong Nggua memang berencana akan terlibat dalam perdagangan karbon berbasis masyarakat adat.

Optimisme dari Lembah Grime
Bernard Yewi memiliki sejumlah program untuk menjaga dan merestorasi hutan adat di Lembah Grime/Deta Widyananda

Butuh waktu untuk berdikari

Pada 30 September 2024 lalu, melalui saluran komunikasi pribadi, Niko mengabarkan bahwa BUMMA sudah memiliki akta resmi sebagai Perseroan Terbatas (PT). Transformasi legalitas ini merupakan pencapaian besar yang diraih dengan tidak mudah.

Ruwi mengatakan, pembentukan PT di wilayah masyarakat hukum adat merupakan terobosan baru. Namun, ia mengakui prosesnya menemui banyak tantangan dan kendala, terutama aspek administrasi. Sebab, konsep BUMMA benar-benar merupakan hal baru bagi legalitas bisnis. Di samping itu, platform prosedur pembuatan PT di Indonesia secara teknis belum spesifik mengakomodasi komunitas adat—dalam hal ini pemimpin marga Namblong—sebagai pemilik saham. 

“Dari 44 Iram, separuhnya belum punya KTP. Lalu namanya beda dengan catatan yang dimiliki dinas kependudukan dan catatan sipil setempat,” terang Ruwi. Akhirnya ia bersama BUMMA membantu pembuatan identitas kependudukan tersebut. Termasuk NPWP, sebab dokumen ini menjadi syarat wajib saat mendirikan perusahaan.

Abner Tecuari (kiri) dan Ambrosius Waisimon berkomitmen akan membantu pengembangan BUMMA selama program-programnya konsisten berpihak pada masyarakat adat Namblong di Lembah Grime/Deta Widyananda

Ketentuan lainnya yang harus diikuti adalah permodalan yang harus disetor oleh masing-masing Iram suku Namblong. Jumlah modal disepakati sebesar Rp 100 juta, yang akan disetor secara bertahap. Para pemimpin marga, seperti Ambrosius Waisimon dan Abner Tecuari, serta 42 Iram lainnya, akan menyetor minimal 20 juta rupiah selama lima tahun, yang akan dimulai pada 2025 nanti. Penyetoran modal ini menjadi bukti sahih kepemilikan masyarakat adat terhadap BUMMA atau PT Yombe Namblong Nggua.

Namun, sebagaimana halnya Yohana, Niko, Bernard, dan pengurus lainnya di BUMMA, Ruwi juga punya banyak alasan untuk optimis. Meski masih akan melakukan pendampingan hingga beberapa tahun mendatang sampai operasional stabil dan kapabilitas pengurus meningkat, kelak pasti ada masanya BUMMA akan mampu mandiri sepenuhnya. Sebab, memang sudah semestinya begitu sebagai sebuah badan usaha. Ini sesuai makna nama “Yombe Namblong Nggua”. Yohana mengartikannya, “Bangkit dan bersama-sama membangun (yombe) suku Namblong lebih mandiri (nggua).”

Pemilihan Yohana sendiri sebagai direktur BUMMA juga menarik. Selain masih sangat muda, latar belakang pendidikannya sebagai lulusan sekolah keperawatan sangat kontras dengan dunia barunya saat ini. Di sisi lain juga unik. Sebab, hal ini seperti mendobrak kebiasaan patriarkat yang umum terjadi di Papua. Akan tetapi, para Iram bermufakat dan memercayainya memimpin perusahaan. Penetapannya pun sakral karena melalui rangkaian upacara adat.

Optimisme dari Lembah Grime
Tim TelusuRI foto bersama pengurus BUMMA Yombe Nangglong Nggua di area rumah pengeringan vanili/Deta Widyananda

Menurut Niko, kesepakatan dan mandat dari para Iram sangat penting. Sebab, iram merupakan pemimpin marga yang mewakili banyak keluarga, bahkan lebih dihormati daripada jabatan kepala kampung. Pendekatan dan koordinasi yang baik akan memudahkan BUMMA melaksanakan program-programnya. Terutama keterbukaan atau transparansi soal pemanfaatan dan pengelolaan potensi kawasan hutan dan kawasan penyangga (perkebunan vanili, perikanan, dan peternakan) yang pasti bakal bermitra dengan masyarakat.

“[Jika] kemudian masyarakat mendapat keuntungan secara ekonomi, muncul kesadaran kritis [dari] masyarakat, bahwa membangun kehidupan mereka dalam wilayah adat ini tidak harus dengan melepaskan hak mereka atas tanah, hutan dan sumber alam,” jelas Niko. 

Berdasarkan pola pendekatan seperti itu, maka akan lebih menjamin kedaulatan atas hak ulayat yang dimiliki setiap marga. Sekaligus memastikan keutuhan sumber daya alam yang ada di Lembah Grime akan tetap berada dalam genggaman masyarakat adat. (*)


Foto sampul:
Salah satu sudut dataran rendah di Lembah Grime, kawasan yang dihuni masyarakat adat suku Namblong turun-temurun/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Optimisme dari Lembah Grime appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/optimisme-dari-lembah-grime/feed/ 0 45289
Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan https://telusuri.id/jalan-panjang-pengakuan-hutan-adat-di-sorong-dan-sorong-selatan/ https://telusuri.id/jalan-panjang-pengakuan-hutan-adat-di-sorong-dan-sorong-selatan/#respond Fri, 10 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45253 Sebelum Indonesia berdiri sebagai republik, komunitas adat di Sorong dan Sorong Selatan telah menghuni serta merawat hutan dan laut dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Jauh sebelum konsep konservasi dan zonasi muncul. Namun, pengakuan oleh negara...

The post Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebelum Indonesia berdiri sebagai republik, komunitas adat di Sorong dan Sorong Selatan telah menghuni serta merawat hutan dan laut dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Jauh sebelum konsep konservasi dan zonasi muncul. Namun, pengakuan oleh negara berjalan amat lambat.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hamparan hutan tropis di kawasan ekowisata Malagufuk, Sorong. Di Papua, hutan dan segala isinya dilindungi dan disakralkan karena memenuhi hajat orang banyak, termasuk masyarakat adat/Deta Widyananda

“Semua tanah di Papua itu tanah adat!” tegas Onesimus Ebar lantang kepada tim Ekspedisi Arah Singgah Papua 2024. Pernyataan ini terlontar dari mulut Kepala Kantor EcoNusa Sorong Selatan itu saat membahas progres pengajuan legalitas hutan adat ke pemerintah pusat di Kampung Bariat, Distrik Konda. Adrianus Kemeray, kepala kampung, juga ikut dalam diskusi. Sejumlah warga turut merapat mendengarkan dan sesekali memberikan pandangan.

Ones, panggilan akrabnya, mengungkit peristiwa heboh empat tahun silam. Pada Oktober 2020, seluruh lapisan masyarakat berkumpul. Mulai dari ketua adat, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, relawan, sampai yayasan nirlaba seperti Greenpeace dan Pusaka Bentala Rakyat hadir di kantor Distrik Konda. Kepala distrik saat itu, Sopice Sawor menampung aspirasi masyarakat adat yang menggelar aksi demo menolak rencana perusahaan perkebunan kelapa sawit masuk ke wilayah mereka. Sopice, yang juga istri Ones, kemudian mendesak Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan mencabut rekomendasi izin PT Anugerah Sakti Internusa (ASI). 

Izin usaha dan izin lokasi tersebut telah dikeluarkan Bupati Otto Ihalauw pada periode 2013–2014. Rinciannya, ASI mendapat lahan seluas 37.000 hektare di Distrik Teminabuan dan Distrik Konda. Selain itu, juga ada PT Persada Utama Agromulia (PUA) yang memperoleh izin lahan 25.000 hektare di Distrik Wayer dan Distrik Kais. Namun, sampai tahun 2020 belum ada aktivitas usaha apa pun yang dilakukan kedua perusahaan tersebut. 

Khusus di wilayah Distrik Konda, Sopice menekankan bahwa sedari awal masyarakat tidak pernah menyatakan setuju adanya investasi kelapa sawit. Sebab, masyarakat adat yang terdiri dari subsuku Genma, Afsya, Nakna, dan Yaben, yang tersebar di lima kampung (Manelek, Bariat, Nakna, Konda, dan Wamargege) sangat bergantung pada sagu, hasil hutan, dan perikanan. Jika perusahaan sawit masuk dan mengubah peruntukan lahan adat, maka akan sangat merugikan masyarakat.

Upaya penolakan masyarakat adat tersebut akhirnya berhasil meluluhkan pemerintah. Pada bulan Mei 2021, Bupati Sorong Selatan Samsudin Anggiluli mencabut izin PUA dan ASI. Di akhir tahun yang sama, Samsudin mendapat perlawanan. Kedua perusahaan sempat menggugat keputusan bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Namun, setelah melalui proses persidangan, pada 23 Mei 2022 PTUN Jayapura memutuskan menolak gugatan PUA dan ASI. Maka, keputusan bupati tetap sah.

Pemkab memang akhirnya menerbitkan peraturan daerah pada 2022 dan keputusan bupati pada 2024, yang intinya mengakui dan melindungi 42 kelompok subsuku dan ratusan marga sebagai bagian masyarakat hukum adat dan wilayah adat di Sorong Selatan. Dan seperti Ones bilang, ini harus diapresiasi. Akan tetapi, masih ada jalan terjal dan proses berlipat-lipat demi pengakuan negara, melalui kementerian kehutanan. Perjalanan masyarakat adat di sana belum akan berhenti. 

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Diskusi soal hutan adat di Kampung Bariat, Sorong Selatan/Mauren Fitri

Konsep luhur dari leluhur dalam menjaga alam

Situasi serupa juga dialami oleh komunitas adat suku Moi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Bahkan regulasi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Moi sudah ketok palu menjadi peraturan daerah (perda) sejak 2017. Lima tahun lebih awal daripada Sorong Selatan. Menurut Torianus Kalami, tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), sampai saat ini belum ada pengakuan resmi dari negara terhadap masyarakat hukum adat dan wilayah adat suku Moi. 

“Kita tidak tahu kapan negara akan memberi pengakuan. Perjalanannya panjang sekali,” kata pria yang akrab disapa Kaka Tori itu. Ia mengaku sampai lupa berapa kali pihaknya melakukan audiensi lintas kementerian di Jakarta. Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen termasuk salah seorang yang cukup rutin mendampingi mantan anggota DPRD Kabupaten Sorong 2014–2019 tersebut ke ibu kota.

Kaka Tori tidak mengada-ada. Lebih dari 20 tahun lalu, ia bersama Oktovianus Mobalen sudah mendirikan PGM, yang salah satu fungsinya mengadvokasi masyarakat suku Moi dalam hal pemetaan dan pengelolaan wilayah adat, serta konservasi. Selain itu, PGM juga mendorong pelestarian tradisi egek lewat Festival Egek yang berlangsung setahun sekali.

Sebagai informasi, egek merupakan konsep konservasi tradisional dan penerapan zonasi pemanfaatan sumber daya alam terbatas ala suku Moi. Egek seperti sasi, yang memberlakukan larangan aktivitas apa pun pada area-area tertentu yang telah disepakati secara adat. Kaka Tori mengatakan egek telah berkontribusi nyata pada perlindungan kawasan hutan, laut, dan keanekaragaman hayati di tanah Moi, khususnya Malaumkarta Raya.

Termasuk di dalamnya Malagufuk, kampung kecil di pedalaman Hutan Klasow. Sekitar 15 menit berkendara dilanjut satu jam berjalan kaki 3,5 kilometer menembus jembatan kayu panjang di tengah hutan tropis. Penerapan egek tetap berlaku sekalipun aktivitas ekowisata birdwatching cenderawasih kian menggeliat. Opyor Jhener Kalami, pemuda dan koordinator ekowisata Malagufuk, bersama masyarakat telah menentukan jalur-jalur trekking yang tidak mengganggu zona egek

Sedikit berbeda dengan suku Moi, komunitas adat di Distrik Konda memiliki konsep mendasar dalam menjaga harmonisasi manusia dan alam. Baik itu subsuku Gemna (sebagian besar di Kampung Manelek), Afsya (Kampung Bariat), Nakna (Kampung Nakna), serta Yaben yang merupakan penduduk mayoritas Kampung Konda dan Wamargege. Dalam proses pemetaan wilayah adat oleh lembaga Konservasi Indonesia pada 2022, masyarakat yang menjadi bagian suku besar Tehit memiliki dua tipe pendekatan “tempat penting” untuk mengatur tata ruang adat, yaitu tempat penting sebagai identitas dan sumber penghidupan.

Tempat penting sebagai identitas (jati diri) mencakup tempat asal mula, benteng perang, kuburan leluhur, tempat keramat, tempat sejarah, lokasi rumah adat (meliputi rumah pembayaran harta pernikahan, rumah inisiasi adat untuk pemuda), hingga sekolah adat. Lalu cakupan tempat penting sebagai sumber penghidupan antara lain dusun sagu, area hutan untuk berburu dan meramu, tempat memancing ikan, hingga sumber air. 

Ketika di Bariat, Adrianus melihat dua contoh tempat penting yang bisa diakses pendatang atau orang umum seperti kami. Pertama, hutan “Mrasa” yang dekat dengan makam ibunda Yulian Kareth (ketua adat Bariat). Kedua, dusun sagu atau hutan sagu, yang kala itu kami juga diajak menyaksikan proses pengolahan sagu di lahan milik keluarga Nikson Kemeray.

Baik Kaka Tori maupun Adrianus sependapat, bahwa segala tradisi yang mereka lakukan sekarang merupakan warisan kebudayaan leluhur yang penuh nilai dan filosofi mendalam. Kedua suku besar itu memiliki kesamaan, yaitu menganggap hutan serupa halnya dengan ibu atau mama. Sebuah prinsip kehidupan yang umumnya juga dipegang erat oleh orang-orang Papua, melekat sedari lahir sampai tutup usia. Bentuk penegasan diri, yang rela dipertahankan mati-matian dari ancaman kebijakan maupun investasi yang mengatasnamakan pemerataan pembangunan.

Kiri: Masyarakat suku Moi dengan kostum adat yang biasa dipakai saat menampilkan tarian adat dalam Festival Egek di Malaumkarta, Sorong. Kanan: Yulian Kareth, ketua adat subsuku Afsya dengan busana adat di salah satu tempat keramat di dalam hutan Kampung Bariat, Sorong Selatan/Deta Widyananda

Melawan agresi sawit dan kebijakan pangan pemerintah yang salah kaprah

Dalam sebuah obrolan malam di teras rumah Adrianus Kemeray, kami sempat bercerita sekilas pengalaman perjalanan darat Sorong–Teminabuan. Kami cerita juga soal fakta lokasi perkebunan kelapa sawit yang letaknya tersembunyi di dalam hutan, jauh dari pinggir jalan raya. Rumpun pohon sawit itu baru akan terlihat ketika melintasi jalan yang menanjak di atas perbukitan.

Mendengar itu, Daniel Meres menimpali, seperti meminta kami mengingat-ingat detail pemandangan atau sesuatu yang mungkin terlewatkan selama perjalanan. Pria yang tinggal persis di seberang rumah Adrianus tersebut bilang, “Coba anak lihat di sepanjang jalan dari Sorong ke Teminabuan. Mulai dari Aimas sampai Klamono. Banyak pondok-pondok kayu di pinggir jalan, toh? Itu adalah rumah buat 2–4 keluarga. Dulu itu hutan, sekarang habis karena sawit masuk.” Di Bariat, orang-orang tua memanggil kami ‘anak’, karena tidak terlalu hafal nama kami.

Kami pun terkesiap. Tak menyangka. Belum sempat menanggapi, Daniel kembali bersuara lantang, “Kalau sampai sawit masuk [Distrik] Konda, kita mau makan apa? Mau bikin rumah pakai apa? Bagaimana anak cucu kita nanti?”

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Salah satu ruas jalan antara Aimas-Klamono yang dulunya hutan lebat. Ada sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di sekitar sini dengan lokasi perkebunan agak tersembunyi/Rifqy Faiza Rahman

Di titik inilah kami semakin memahami pandangan hidup dan kedekatan orang-orang Papua terhadap hutan. Termasuk Kampung Bariat. Bisa dibilang, Tuhan telah menyediakan sumber daya alam yang melimpah dan dimanfaatkan secara gratis. Salah satunya adalah sagu, yang menjadi pangan pokok masyarakat, memiliki nilai ekonomi, bahkan berdampak positif mengurangi perubahan iklim lewat penyerapan karbon.

Saat di Bariat, kami diajak melihat salah satu tempat penting atau keramat di dalam hutan. Lokasinya berada di area makam ibunda Yulian Kareth, tokoh adat Bariat. Persis di sebelahnya ada pohon tua yang diberi nama “Mrasa”. Kami ingat sempat melihat sebuah pohon merbau (kayu besi) di yang tumbuh di dekat Mrasa. Dalam pandangan saya, ukuran batang tegaknya terbilang besar, sampai-sampai tidak akan mampu dipeluk satu orang. 

Tapi, lagi-lagi Daniel membuat kami terdiam dan merenung. “Kalau kayu besi yang di dekat Mrasa itu [ukurannya] masih kecil. Ada lagi yang jauh lebih besar, tapi sudah tumbang dulu sekali,” jelasnya. Saya tak sanggup membayangkan. 

Ia menambahkan, “Bayangkan sawit [akan] tebang habis hutan kita, berapa lama mau menanam kayu besi itu? [Pasti] lama sekali. Dari [masih] anak, sampai punya anak, sampai punya anak lagi saja itu masih tumbuh kecil.” Bibirnya mengulas senyum. Warga lain yang ikut nongkrong malam itu tertawa kecil. Ia sekilas tampak berseloroh, tapi sesungguhnya getir. 

  • Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
  • Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan

Di tempat terpisah, Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen menekankan pentingnya legalitas kuat dari pemerintah pusat atas kepemilikan hutan adat. Pengakuan negara akan melegitimasi upaya-upaya kehidupan masyarakat berbasis adat, yang telah nyata mampu menjaga warisan hutan dan seisinya berabad-abad.

Sebagai orang yang duduk di struktural pemerintahan, Jefri mafhum kalau pembangunan pun juga sama pentingnya. Terutama pengembangan infrastruktur, yang fungsinya memudahkan mobilitas masyarakat menjangkau kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pasar tradisional. Namun, ia mewanti-wanti para pemangku kebijakan agar tetap memerhatikan kelestarian hutan dan keberadaan masyarakat adat. Ada kekhawatiran jika mereka tersisihkan dari rencana pengembangan modal industri ekstraktif, seperti usaha pertambangan atau perkebunan kelapa sawit.

“Kami sebagai masyarakat adat harus melestarikan hutan adat dan menjaga [dari] ancaman investasi. Karena ketika ancaman investasi itu masuk, maka kita tidak lagi dikenal sebagai pemilik hak wilayah adat. Investasi pasti masuk dengan berbagai cara untuk merusak hutan adat [kami],” tutur Jefri. 

Ia pun terang-terangan mengakui, potensi investasi ekstraktif yang ingin merebut tanah ulayat tersebut akan selalu ada sampai kapan pun. Sekalipun payung hukum tertinggi dari negara sudah dalam genggaman. Tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, lebih-lebih stabilitas politik yang masih jauh dari angan, yang selalu menjadi lahan basah para elite di kalangan pemerintahan maupun pengusaha.

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Cenderawasih kuning-kecil bertengger di pepohonan Hutan Klasow, Malagufuk, Sorong. Cenderawasih yang nyaman singgah di hutan memberi manfaat ekonomi melalui ekowisata. Alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan atau pertambangan yang merusak membuat alam kehilangan keseimbangan dan masyarakat adat kehilangan tempat tinggal/Deta Widyananda

Tengok saja kabar paling hangat yang terjadi sejak tahun lalu di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Dua proyek strategis nasional dengan skala gila-gilaan sedang berlangsung di kabupaten terluas di Indonesia tersebut. Pertama, membangun perkebunan tebu untuk swasembada gula dan pabrik bioetanol, yang diinisiasi Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada 19 April 2024. Kedua, proyek cetak sawah sebagai lumbung pangan baru, yang diinisiasi Prabowo Subianto—saat itu Menteri Pertahanan dan menjadi presiden terpilih—pada tahun yang sama. 

Kedua proyek tersebut ditargetkan akan menempati lahan seluas 2,29 juta hektare yang disiapkan Pemerintah Provinsi Papua Selatan dan Pemerintah Kabupaten Merauke. Itu sama dengan separuh dari total daratan Merauke, atau 70 kali lipat luas Jakarta. Mencaplok belasan distrik terdampak, mengganggu ruang hidup puluhan ribu penduduk, serta melenyapkan jutaan hektare tanah ulayat suku Marind-Anim—komunitas adat terbesar Merauke. Jokowi dan Prabowo seperti tidak pernah belajar pada proyek serupa zaman Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang gagal. Alih-alih diperbaiki, justru hampir 1,3 juta hektare bekas lahan MIFEE terbengkalai dan sebagian dimanfaatkan puluhan korporasi ekstraktif yang semula termasuk dalam konsorsium penggarap proyek.

Akibatnya, Merauke mengalami laju deforestasi terbesar di Tanah Papua. Auriga Nusantara mencatat, selama 2011–2019 sekitar 123.000 hektare hutan—baik itu hutan alam maupun nonhutan alam—lenyap seiring izin pelepasan kawasan hutan (PKH) meluncur ke sejumlah perusahaan atau mendukung program pemerintah. Di periode yang sama, total laju deforestasi di Sorong dan Sorong Selatan hanya seperempat Merauke. Namun, tidak menutup kemungkinan dua kabupaten bertetangga di Papua Barat Daya itu mengalami nasib serupa. 

Masa depan hutan primer Indonesia, khususnya Papua, terancam suram menyusul pernyataan kontroversial Presiden Prabowo Subianto akhir tahun lalu. Di depan peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Bappenas (30/12/2024), Prabowo mengatakan perlunya menambah lahan kelapa sawit di Indonesia. Ia menganggap sawit merupakan komoditas strategis dan aset negara yang tidak akan menyebabkan deforestasi. Dari sudut pandangnya, sawit dianggap setara dengan pohon-pohon tropis karena memiliki daun dan menyerap karbondioksida.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni ikut memperparah situasi. Dalam pernyataannya pada 3 Januari 2025 lalu, pihaknya bermaksud membuka 20 juta hektare hutan di seluruh provinsi di Indonesia untuk mendukung program lumbung pangan Kementerian Pertanian dan ESDM. Angka tersebut setara hampir dua kali luas Pulau Jawa, atau lebih dari separuh luas hutan Papua. 

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hasil pembukaan hutan besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit di Nimbokrang, Jayapura. Situasi serupa yang jamak terjadi di beberapa distrik di Sorong maupun Sorong Selatan/Deta Widyananda

Pesan untuk negara: Papua bukan tanah kosong

Langkah-langkah sembrono pemerintah tersebut layak dikritik keras dan harus dilawan, karena seolah beranggapan kehilangan satu pohon tak akan berarti apa-apa. Padahal, deforestasi tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga menggusur ruang hidup masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan. Sebab, mengutip kata Daniel, kita tidak akan pernah bisa memulihkan hutan dan seisinya—apalagi ekosistem dan rantai makanannya—seperti sediakala. 

Di sisi lain, pernyataan pemerintah juga sangat bertentangan dengan komitmen Indonesia sebagai anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Sidang pleno terakhir The 2024 United Nations Biodiversity Conference of the Parties (COP16) pada 1 November lalu, menuntut setiap negara mengakui peran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.

Dalam rilis resminya, seperti dikutip Tempo (3/1/2025), peneliti The Indonesian Institute Christina Clarissa Intania mengingatkan negara harus hadir dan menghormati keberadaan serta hak-hak masyarakat adat. Salah satu caranya dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat yang mandek di meja kerja DPR RI selama 14 tahun. Jika tidak segera disahkan, Christina menyebut akan banyak kelangsungan hidup masyarakat adat yang terancam karena tak kunjung mendapat pengakuan.

Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 9 Agustus 2022, sebanyak 1.119 peta wilayah adat dengan cakupan lahan seluas 20,7 juta hektare telah terdaftar. Namun, dari jumlah itu baru 3,1 juta hektar yang memperoleh pengakuan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

Di tingkat nasional, lebih sedikit lagi. Di Papua saja, penetapan hutan adat pertama oleh pemerintah pusat baru terjadi di dua daerah, yaitu Kabupaten Jayapura (enam wilayah hutan adat dengan total 24.582,9 hektare) dan Kabupaten Teluk Bintuni (satu wilayah hutan adat seluas 16.299 hektare). Keputusan itu diserahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI pada 24 Oktober 2022 di Stadion Barnabas Youwe, Jayapura.

Tentu saja para tokoh masyarakat adat dan sejumlah lembaga terkait di Sorong maupun Sorong Selatan ingin mengikuti jejak Jayapura dan Teluk Bintuni. Di Bariat, Adrianus sudah menyatakan sikap, bahwa masyarakat Afsya tidak akan memberikan peluang sekecil apa pun kepada perusahaan kelapa sawit untuk masuk ke wilayahnya. 

“Kami minta supaya pemerintah jangan menjadikan hutan kami sebagai salah satu objek [eksploitasi] apa pun untuk [menguntungkan] kehidupan mereka. Terutama kepada rekan-rekan kami orang Papua, yang jadi bupati, yang jadi camat, yang jadi apa pun, [juga] dinas-dinas terkait,” tegas suami Dorcila Gemnasi itu, “kalau orang Papua sudah sengaja menjual tempat (hutan) kami, berarti dia lupa diri sebagai anak adat.”

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Adrianus Kemeray memanggul pelepah sagu di hutan adat Kampung Bariat/Deta Widyananda

Sampai sekarang, masyarakat subsuku Afsya di Bariat bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat masih memperjuangkan kampung dan hutan adat 3.307,717 ha agar mendapat pengakuan negara. Embusan napas perjuangan yang turut ditempuh oleh kampung-kampung lain di Papua Barat Daya. Lembaga-lembaga nirlaba, seperti EcoNusa dan Greenpeace juga berperan memberi pendampingan pemetaan hingga advokasi untuk menjembatani aspirasi masyarakat dengan pemerintah.

Selain urusan administrasi dan advokasi, gerakan sosial pun juga bagian dari upaya melawan keserakahan. Bagaimanapun bentuknya. Seperti halnya suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, yang memasang banyak salib merah dari kayu di hutan-hutan adat mereka yang terancam serbuan kelapa sawit. Atau, gerilya Mama Yasinta Moiwend dan masyarakat adat Marind-Anim terdampak food estate di Merauke, datang langsung ke Jakarta dengan berlumur lumpur putih (poo) di sekujur tubuh sebagai bentuk duka.

Di tengah upaya perebutan ruang hidup masyarakat adat oleh negara maupun swasta, pengakuan wilayah hutan adat semestinya jadi keniscayaan. Segala perjuangan maupun perlawanan untuk itu harus jadi berarti. Papua memang sangat jauh dari Jakarta, dari ibu kota negara. Tapi, itu bukan berarti jauh dari pantauan. ‘Papua bukan tanah kosong’ itu bukan omong kosong. 

Seperti halnya adat yang melekat pada sendi-sendi kehidupan masyarakat, perjuangan untuk melestarikan alam dan kebudayaan adalah perjalanan yang tidak akan pernah selesai. Tidak akan mudah, tetapi belum tentu mustahil. (*)


Foto sampul:
Yulian Kareth, ketua adat subsuku Afsya Kampung Bariat, Sorong Selatan/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jalan-panjang-pengakuan-hutan-adat-di-sorong-dan-sorong-selatan/feed/ 0 45253
Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih https://telusuri.id/arah-singgah-2024-kami-terbang-jauh-ke-bumi-cenderawasih/ https://telusuri.id/arah-singgah-2024-kami-terbang-jauh-ke-bumi-cenderawasih/#respond Wed, 01 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44945 Ini adalah episode ketiga Ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI. Di pulau paling timur Indonesia, kami menghadapi tantangan dan mengemban tanggung jawab sama-sama besar untuk disuarakan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda Papua. Sebuah pulau di...

The post Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih appeared first on TelusuRI.

]]>
Ini adalah episode ketiga Ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI. Di pulau paling timur Indonesia, kami menghadapi tantangan dan mengemban tanggung jawab sama-sama besar untuk disuarakan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda


Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih
Hutan adat Ku Defeng Akrua di Yenggu Baru, Nimboran, Jayapura/Deta Widyananda

Papua. Sebuah pulau di timur Indonesia. Terbesar kedua di dunia setelah Greenland, Denmark. Luasnya mencapai 785.000 km2 yang terbagi ke dua negara dengan ukuran wilayah nyaris sama persis: Indonesia dan Papua Nugini. Dari satelit, pulau ini tampak seperti seekor burung cenderawasih, satwa endemis yang menjadi simbol masing-masing wilayah.

Terdapat garis batas yang memisahkan dengan bentuk hampir lurus nol derajat, kecuali pada bagian garis bujur 141 derajat BT. Terbentang dari timur Kota Jayapura di utara, hingga Merauke di selatan. Tepatnya di kawasan Sungai Fly yang berkelok bagai ular, meliuk di sepanjang sisi timur Boven Digul–Merauke, Papua Selatan. Sebuah batas yang menjadi legasi pendudukan Bangsa Barat, hasil dari klaim dan perjanjian ketat antara Belanda dan Inggris pada 1895. Seperti kita tahu, Belanda menduduki Indonesia, sementara Inggris menduduki Papua Nugini. Jerman menyusul memberi pengakuan enam tahun kemudian. 

Namun, peradaban sejatinya telah terbentuk jauh sebelum bangsa-bangsa Barat atau Republik Indonesia turun ke Tanah Papua. Lebih dari 250 suku besar mendiami bumi cenderawasih. Ini adalah tanah dengan keanekaragaman hayati dan keragaman budaya yang amat besar. Kemajemukan yang sangat berharga untuk Indonesia.

Sungguh, kami akhirnya menyadari isu-isu tentang Papua selalu seksi di pembicaraan level mana pun. Mulai dari akar rumput sampai elite, dari persoalan lingkungan hidup hingga sentimen politik, semuanya ingin terlibat dalam kepentingan apa pun untuk Papua. Akan tetapi, TelusuRI memilih jalan “termudah”, yaitu menggelar ekspedisi jurnalistik bernama Arah Singgah. Misi kami sederhana, ingin mengetuk kesadaran hati banyak orang, yang mungkin bahkan belum tahu bagaimana cara memandang Papua.

Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih
Masyarakat suku Moi di Kampung Malaumkarta dengan kostum adat saat menampilkan tarian tradisional untuk menyambut Festival Egek Malaumkarta Raya, Sorong. Suku Moi menerapkan aturan zonasi egek yang terlarang diakses untuk menjaga sumber daya alam, baik di hutan maupun laut/Deta Widyananda.

Menemui komunitas adat pejuang hak ulayat

TelusuRI melakukan ekspedisi Arah Singgah untuk menggali cerita-cerita dengan beragam isu, yang kerap terabaikan di pemberitaan media arus utama. Filosofi dasar perjalanannya berupaya menyentuh sisi-sisi lain yang tanpa disadari sebenarnya saling berhubungan. Setelah berkunjung ke enam provinsi selama 2022–2023, tahun ini kami menambah dua provinsi baru.

Di tahun ketiga kali ini, Arah Singgah mengusung tema “Suara-suara dari Timur Indonesia”. Kami singgah di pelbagai wilayah adat untuk mengindahkan dan merekam kisah-kisah upaya masyarakat adat mencari titik keseimbangan dengan alam. Sebab, bayang-bayang ancaman deforestasi akibat eksploitasi dan investasi industri ekstraktif, seperti pembukaan lahan kelapa sawit, minyak bumi, maupun batubara, bisa datang kapan saja. Maka, segala upaya masyarakat adat memperpanjang napas bumi di bagian timur Indonesia ini perlu pelantang agar terdengar dan menyentuh segala lapisan khalayak. 

Kami menghimpun narasi-narasi dan aneka perspektif tentang praktik kehidupan berkelanjutan itu dalam bingkai ekonomi restoratif. Tak terkecuali, tantangan dan tekanan yang mereka hadapi dalam mempertahankan hak ulayat yang digariskan turun-temurun oleh nenek moyang.

Di Kabupaten Sorong, kami menemui sosok-sosok inspiratif yang merepresentasikan kehebatan suku Moi, komunitas adat terbesar di Provinsi Papua Barat Daya. Di tengah masifnya arus modernisasi dan posisinya sebagai pintu gerbang di ujung barat Papua, orang-orang Moi berusaha melestarikan warisan leluhur dengan berbagai macam cara.

Kami bertandang ke rumah kaveling Yuliance Yunita Bosom Ulim di Aimas, Sorong. Perempuan yang akrab dipanggil Yuyun itu mendirikan Sinagi Papua. Sebuah inisiatif kewirausahaan sosial yang menghasilkan produk-produk pangan lokal khas suku Moi. Salah satu yang terkenal adalah bumbu asin nipah.

Berjarak sekitar satu jam berkendara ke timur, kami datang ke dua kampung kecil dengan nama besar. Malagufuk, tempat berkumpulnya fotografer alam liar lintas dunia yang ingin melihat lima spesies cenderawasih; serta Malaumkarta, pusat kebudayaan suku Moi yang masih mempertahankan tradisi leluhur demi menjamin keberlangsungan ekosistem.

Dinamika kehidupan yang agak berbeda kami jumpai di Kabupaten Sorong Selatan. Tempat di mana sagu menjadi komoditas dengan cadangan pangan terbesar di Papua Barat Daya. Di Kampung Bariat, Distrik Konda, masyarakat subsuku Afsya mengajak kami melihat proses pengolahan sagu secara gotong royong. Sementara di pesisir Sungai Kaibus, masyarakat adat Kampung Konda dan Wamargege tengah memperjuangkan pengakuan hutan adat serta meniti jalan kedaulatan pangan lokal dengan hasil udang melimpah.

Perjalanan paling ujung ke Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, membawa kami menemui masyarakat adat suku Namblong. Kami menyaksikan ikhtiar akbar mereka dalam mengelola sumber daya alam berbasis kearifan lokal lewat pembentukan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA). Mulai dari budidaya vanili, pengembangan ekowisata, hingga perdagangan karbon, BUMMA diharapkan menjadi jalan terbaik untuk mandiri secara ekonomi, tetapi tetap mempertahankan kelestarian lingkungan. Alih fungsi lahan konsesi milik PT Permata Nusa Mandiri, perusahaan perkebunan kelapa sawit, menjadi tembok tebal yang harus dilawan agar tidak semakin rakus melahap tanah adat Namblong.

Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih
Gotong royong mengolah sagu di hutan Kampung Bariat, Sorong Selatan. Sagu merupakan komoditas pangan pokok asli Papua yang masih dilestarikan dan menjadi sumber ekonomi berkelanjutan masyarakat Papua sampai sekarang/Deta Widyananda

Inilah suara-suara dari timur

Jelas, Papua menjadi tujuan liputan terjauh TelusuRI sepanjang ekspedisi Arah Singgah. Kami benar-benar berjarak ribuan kilometer dari rumah kami di Jawa. Benar-benar jauh secara harfiah. Namun, faktanya kami seperti menemukan rumah yang lain di Papua. Perbedaan ras dan suku tidak menjadi sekat yang membatasi persahabatan baru.

Seperti halnya ekspedisi dua tahun sebelumnya, orang-orang lokal maupun masyarakat adat adalah pemeran utama dalam cerita-cerita kami. Kami hanya menjadi perpanjangan tangan dan corong suara dari mereka yang gigih mempertahankan tanah adat dari ancaman investasi industri ekstraktif. Orang-orang Papua percaya, merekalah benteng terakhir paru-paru dunia di Indonesia, setelah deforestasi yang memprihatinkan melanda Sumatra dan Kalimantan.

Inilah, Arah Singgah 2024. Suara-suara dari timur yang harus Anda dengarkan. Selamat menikmati dan belajar kehidupan dari tutur serta laku orang-orang berhati tulus yang kami temui. Bukan hanya Anda, kami pun turut belajar dan merenungi pesan-pesan kehidupan yang jauh melampaui peradaban.

Ritme dan senyawa perjalanan Arah Singgah mungkin bukan untuk semua orang. Tak terkecuali Anda sekalipun. Namun, kami berharap perjalanan ini kelak akan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. (*)


Foto sampul:
Potret ceria anak-anak Papua mengolah hasil meramban di hutan/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/arah-singgah-2024-kami-terbang-jauh-ke-bumi-cenderawasih/feed/ 0 44945
Di Bawah Langit Balawaian https://telusuri.id/di-bawah-langit-balawaian/ https://telusuri.id/di-bawah-langit-balawaian/#respond Thu, 27 Jul 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39444 Langit mulai menutup tirainya kala kami baru saja tiba di Balai Adat Balawaian. Matahari yang sedari siang tertutup banyak awan kelabu dan guyuran hujan mengiringi, mulai memperlihatkan sedikit semburat jingga. Senja kala itu adalah senja...

The post Di Bawah Langit Balawaian appeared first on TelusuRI.

]]>
Langit mulai menutup tirainya kala kami baru saja tiba di Balai Adat Balawaian. Matahari yang sedari siang tertutup banyak awan kelabu dan guyuran hujan mengiringi, mulai memperlihatkan sedikit semburat jingga. Senja kala itu adalah senja yang semarak. Orang-orang berkumpul di balai adat dengan beragam rupa: ibu-ibu berdandan menor yang tampil bak Putri Indonesia ala Meratus, para pemuda dengan kaos oblong kebanggaan, juga anak-anak yang mengoceh dan berlarian sepanjang waktu.  

Kami menyalami satu per satu warga yang berada di depan balai. Orang-orang tua menyambut dan menyapa kami lekat penuh persaudaraan, sedangkan yang muda menyambung dengan senyum hangat, seperti baru menyeduh teh. Kami masuk ke balai adat yang penuh oleh cakap-cakap manusia yang sudah berkumpul. Sebelum memulai ritus suci, hadirin dipersilakan menikmati santap malam. Banyak yang hadir di sini, di antaranya warga sekitar, pemangku ritual, dinas-dinas terkait, dan tamu undangan dari desa lainnya. Balai adat tersebut berdiri kokoh di antara kebun dan sungai di Desa Balawaian. Desa ini terletak tepat di jantung Pegunungan Meratus, berdekatan dengan jalan poros yang menghubungkan Kandangan dan Batulicin.

Tidak sedikit yang saya tanyakan kepada Ujal, penghulu Balawaian, dan seorang Pinjulang bernama Lapuy. Ini adalah kedatangan pertama saya dalam acara ritual orang Meratus. Terus terang saja ada banyak hal berputar di kepala saya. Saya mulai terlibat pembicaraan intens dengan mereka: menyoal macam alat-alat ritual, nama dan makna dari masing-masing alat itu, hingga keluhan penghulu soal penerus Balian—rohaniwan dalam agama Kaharingan yang terkenal di kalangan suku Dayak Meratus—untuk generasi berikutnya. Malam semakin pekat. Ritual siap dimulai.

Dengung serunai mulai merambati udara di dalam balai adat. Gedebuk gendang sudah dimainkan. Para Balian yang dari tadi berkumpul, mulai mengarak kalangkang mantit keluar balai. Bentuknya seperti tiang dengan hiasan daun enau, buluh kuning, tumbu (sejenis bakul), dan kain kuning. Sambil menunggu Damang (ketua adat) bersiap, para Balian membakar dupa. Menebarkan aroma mistik yang memabukkan di sekitar kalangkang mantit

Mantra-mantra mulai menyeruak dari mulut para Balian. Cepat dan berirama, seperti rintik hujan yang beradu dengan aspal jalan. Seandainya ini diperdengarkan ke segala penjuru, akan sama menenangkan layaknya senandung nyanyian ibu kala menidurkan bayinya. Sampai beberapa saat mereka menghamburkan beras kuning ke udara berkali-kali dengan riuh, sebelum akhirnya semua melebur ke dalam balai.

Sorak-sorai mulai merebak dari langit-langit seng. Para Balian, dengan ketenangan bak air dalam gelas, mulai menggoyangkan gelang hyang di tangan masing-masing. Membentuk harmoni gaib yang mampu menegakkan sepasang telinga. Roh-roh para leluhur yang dipanggil mulai berdatangan mendengar gemerincing itu, seakan menyambut para hadirin dengan suka cita. Saya mulai bergidik. Inilah proses bamamang dalam ritual Aruh kecil di Balawaian. 

Proses bamamang selesai. Saatnya bagi para perempuan untuk unjuk gigi dalam Tari Babangsai. Goyangan pinggul mengiringi ayunan tangan nan gemulai, mengikuti tabuhan gendang dan siut serunai. Mereka membentuk lingkaran, mengelilingi langgatan yang berdiri layaknya pencakar langit di tengah balai. Lenggok perempuan adalah hiburan yang mengisi kejenuhan di tengah acara Aruh yang padat. Jika tempo gendang semakin cepat, maka makin riuh pula gerakan mereka. Malam semakin larut. Balian terus bamamang sementara saya tak kuat menahan kantuk. Saya melewatkan bahantu, akhir prosesi ritual yang berlangsung hingga saat fajar menjelang.

Di Bawah Langit Balawaian
Kalangkang Mantit yang ditaruh di halaman balai/M Irsyad Saputra

* * *

Saya setengah terbangun ketika mendengar gumaman asyik orang-orang dan bau kopi hitam yang teramat manis. Mereka adalah Pak Hairiyadi, Erwin, penghulu Ujal, beberapa pemuda, serta seorang kakek tua berpakaian singlet dan sarung. Kakek itu merupakan Damang daerah Tapin sekaligus penghulu Papitak, yang baru belakangan ini saya ketahui namanya.

“Di sini tidak ada babi. Terakhir saya lihat babi itu tahun 2005,” ujar Damang Rusdiansyah. 

Babi hutan di daerah Meratus telah menjadi langka akibat banyaknya manusia yang mulai menghuni teritorial mereka. Gerombolan babi tersebut pun kian terdesak entah ke mana.

“Dan sering diburu oleh orang-orang Maanyan dari daerah Tamiyang dan Pasar Panas,” tambahnya. Orang-orang Meratus—terutama di Balawaian—sudah tidak pernah mengonsumsi babi. Penyebabnya karena sering terjadinya percampuran antara dua kelompok berbeda, yaitu orang-orang yang masih menganut kepercayaan Babalian dan orang-orang Meratus yang sudah menjadi muslim ataupun pendatang. 

“Saya ini tinggal Islamnya aja lagi, kalau [soal] makan babi sudah lama nggak.”

Lebih lanjut, dalam ritual di balai di hilir Sungai Tapin, memang tidak mengenal penggunaan babi sebagai bagian perayaan ritual. Mereka hanya akan menggunakan babi kalau ada permintaan, seperti nazar atau pengobatan. Balai di hilir Sungai Tapin ini meliputi Hayangin, Lok Limau, Harakit, Mancabung (Papitak Jaya).

Tidak lama kemudian Rusdiansyah memalingkan punggung lalu berdiri. Ia memasangkan laung ke kepala, mengikat babat ke perut, dan melilit sarung ke pinggang. Gelang hyang yang menjadi aksesoris ritual pun sudah terpasang di pergelangannya. Bunyi gemerincingnya selalu menarik pikiran saya akan hal-hal di luar nalar, yang hidup berdampingan dengan kita di alam nyata.

Ritual kemudian dilanjutkan dengan bamamang sebelum manyumpitan dimulai. Saya mencoba mendengar tiap-tiap kata yang terucap dari mulut Damang dan Balian. Beberapa kosakata saya pahami sebagai bahasa Banjar, sisanya terdengar seperti gumaman dalam bahasa yang terasa asing di telinga. 

Penghulu mengambil ancang-ancang dengan sumpit mengarah ke ayam kampung yang disediakan sebagai korban. Hush! Dalam sekejap mata sumpit penghulu tepat mengenai punggung ayam yang berbulu hitam itu. Ia meronta kesakitan dan mengeluarkan kokok seperti terkejut, tetapi masih bisa berdiri tegap dan bergerak.

Tanpa ba-bi-bu, seorang pemuda menyayat leher ayam dan menuangkan darahnya ke sebuah gelas plastik, lalu memberikannya kepada Damang. Sang Damang menaruh darah tersebut sebagai persembahan di dalam langgatan. Makin siang, balai layaknya rumah besar yang mulai kehilangan penghuni. Beberapa orang memutuskan untuk keluar, entah berkegiatan apa, menyisakan beberapa orang yang masih bertahan di dalam balai.

Kehidupan di antara ritual-ritual adalah permainan dan percakapan. Catur dan domino adalah permainan yang menghinggapi hampir semua tangan lelaki, perempuan, hingga anak-anak. Dua orang lelaki paruh baya mengedarkan pandangan ke papan hitam putih. Yang berbadan tambun melihat bidak catur dan seketika bibirnya menyeringai, seakan bisa membaca isi pikiran lawannya. Satunya lagi tampak lebih sibuk mengisap tembakau. Namun, setiap melangkahkan bidaknya, ia lakukan penuh kepercayaan. Entah siapa yang akan menang. 

Lalu arangan sudah terkumpul, saatnya penghulu mulai mengambil alih balai. Damang, penghulu, Balian, dan Pinjulang mulai duduk di tumbu sambil bamamang. Tumbu adalah sejenis bakul yang belum rampung dibuat dan diisi dengan beras segenggam, kemudian ditumpuk dengan berbagai jenis kain (selimut, sarung, dan baju). Setelah berkeliling langgatan, sesajen kemudian dimantrai. Mantra dimaksudkan untuk memberi berkah kepada persembahan. Tahapan ini disebut kahulu alai. Selesai ritual, sesajen tersebut menjadi rebutan warga yang berhadir ke balai. 

Gerimis menggerayangi Balawaian. Aroma rokok mengepung balai, menghibur para orang tua yang sedang bertukar pikiran. Saya mengangguk saja mendengar percakapan mereka seputar sakit jiwa, Balian sakti, hingga buah durian. Hujan di ketinggian berarti waktu berkumpul. Kedengarannya syahdu, tetapi tetes air yang mengenai genteng seng tetap mengganggu gendang telinga. . 

“Ayo, makan, sudah disiapkan,” kata seorang pemuda memanggil kami yang lagi asyik bercengkrama. Kami bergegas menuju dapur.

Di dapur yang berada tepat di bagian belakang balai, meja makan yang memanjang sudah terisi penuh. Makanan yang jadi menu hidangan kali ini adalah oseng bunga pepaya, pucuk pepaya, rimpang, kalimbung buntal, karawila (oyong), dan kerupuk. Semua sayuran tersebut berasal dari hutan dan ini adalah pertama kali saya memakannya.

Di Bawah Langit Balawaian
Penghulu Ujal sedang memberkati (tapung tawar) warga desa yang berhadir di balai/M Irsyad Saputra

* * *

Obrolan kembali berlanjut setelah makan. Damang Rusdiansyah, yang pernah bepergian ke Jakarta, menceritakan pengalamannya melihat manusia gerobak di Ibu Kota. “Ketika saya mau memberi makan mereka, ada yang bilang ke saya (kalau) mereka bisa mencari makan sendiri dari sisa-sisa,” tuturnya dengan gestur tangan yang menari. Ia seakan tidak percaya kehidupan di kota megapolitan begitu berbeda dengan yang mereka sering lihat di sinetron.

“Saya tidak tega. Ada kemanusiaan dalam diri saya yang tidak hilang melihat penderitaan mereka.”

“Bahkan ada yang mau ikut kita hidup di gunung,” ujar penghulu Ujal menambahkan. Kebetulan saat itu mereka melakukan perjalanan bersama-sama dalam rangka menghadiri suatu undangan. Jari jemari penghulu Ujal seolah ingin meyakinkan kami, bahwa kehidupan di seberang sana ada yang lebih nelangsa. Di gunung, kehidupan orang terjaga dengan keharmonisan alam. Alam menyediakan supermarket paling lengkap yang pernah ada: tumbuhan herbal, buah-buahan, hingga kayu untuk papan.

“Di sana jadi miskin karena tidak ada lahan untuk ditanami. Kalaupun ada paling cuma seukuran telapak kaki,” ujar Rusdiansyah. Ia menitikberatkan pada ketiadaan lahan sebagai salah satu unsur pembentukan masyarakat yang melarat.

Jakarta menyediakan apa pun. Gedung-gedung tinggi yang mencakar dan mengepung sebagian ruang langit, infrastruktur tanpa jeda, hingga fasilitas terlengkap. Tapi apakah Jakarta punya semua? Bukankah yang menikmati itu adalah orang-orang borjuis? Orang-orang yang hidup dengan modal mumpuni? Bagaimana dengan yang tidak bermodal? Apakah masih layak memanggil Jakarta sebagai “ibu” kota?

Jakarta berlari begitu cepat, meninggalkan Balawaian yang masih tertatih hanya untuk menyusul pengerjaan pengaspalan jalan. 

* * *

Prosesi bintang salaan dimulai. Mantra menggaung ke langit-langit. Mengisi setiap ruang hampa dengan penuh pengharapan, teriring gemerincing gelang hyang yang memabukkan. Sama dengan semua doa-doa dari agama apa pun di dunia, isinya tentang mengharapkan keselamatan, keberkahan, juga kebaikan. Apatah artinya doa bila tidak mencakup semua makhluk?

Ritual selesai. Para perempuan sibuk di dapur, bersiap menyediakan hidangan yang nanti akan tersaji sebagai sesajen. Asap dari kayu bakar menari mengikuti arah bayu, terbawa hingga ke tengah pohon karet yang berjajar rimbun di samping balai. Saya duduk di antara para ibu Meratus yang sibuk.

“Mencari pewaris nih nang ai disekolahkan dulu juga,” ujar salah seorang Pinjulang yang sedang membakar beras ketan dalam bumbung bambu. Kekhawatiran para Pinjulang dan penghulu adalah sama, yaitu sedikitnya jumlah penerus yang akan mengemban kewajiban ini setelah mereka. 

“Tapi kalau mau [melanjutkan] bisa, asal belajar dahulu, kayak orang sekolah juga,” ujarnya sambil membalik bumbung yang mulai gosong. Saya bertanya, adakah syarat lainnya untuk menjadi seorang pemuka ritual selain belajar? Ia menerangkan, siapa pun sebenarnya boleh menjadi Balian atau Pinjulang, tetapi orang-orang yang memiliki keturunan langsung akan lebih mudah dalam menyerap ilmu yang tetua ajarkan.

Mukriansyah adalah salah satu Balian muda yang ada di Balawaian. Dia sudah “magang” menjadi Balian selama dua tahun. Mengikuti jejak sang ayah, penghulu Ujal, yang sudah malang melintang menjadi penghulu. 

Nggak ada generasi yang mau melanjutkan [menjadi balian] karena gengsi,” ucapnya lirih.

Gengsi, karena banyak yang menganggap menjadi Balian adalah hal kuno. Dan hal-hal kuno mulai banyak masuk museum seiring kiblat dunia makin menghadap ke Barat. Banyak stereotip yang mengarah kepada para pemeluk kepercayaan sebagai orang-orang aneh, tidak relevan, ketinggalan jaman, atau pandangan negatif lainnya. Padahal nilai-nilai yang mereka anut pun sama baiknya dengan nilai-nilai yang agama samawi bawa.

Mukri, sapaan akrabnya, seringkali harus berkelahi karena anggapan miring tentang Babalian yang ia terima semasa sekolah. “Teman-teman bilang ‘ngapain pucuk disembah?’ Di situ akhirnya bikin saya bertengkar, padahal nggak usah saling menghina bisa, kan?” suaranya tercekat di antara embusan asap yang mengalir dari mulutnya.

” Kita ini [Islam dan Babalian] kakak adik, seperti kisah Bambang Siwara dan Ayuh.”

Bambang Siwara (atau Intingan) dan Ayuh adalah metafora dari persaudaraan antarpemeluk Islam dan Babalian, yang sejatinya di Kalimantan berasal dari nenek moyang yang sama. Matanya nanar memandang ke sekeliling balai. Tampak ada harapan yang membuncah dari kepalanya, ingin mengangkat harkat dan martabat orang-orang Meratus yang masih menganut kepercayaan tradisional. Namun, Mukri juga terjebak dalam satu hal lain, yaitu dia harus mencari uang untuk memenuhi kehidupannya. Dan pilihan yang menguntungkan baginya dengan gaji mentereng hanyalah tambang batu bara. Apakah ini pilihan yang akan kamu ambil nantinya, Mukri?

* * *

Ritus berlanjut. Prosesi ini bernama ancak ka gunung. Ancak ka gunung adalah persembahan yang ditaruh di ancak. Isinya berupa aneka buah pisang (pisang umbur, pisang amas, pisang kidung), berbagai macam telur (telur asin, telur ayam ras, telur ayam kampung, telur itik), beberapa jenis bubur (bubur merah, bubur putih, bubur kuning), kue-kue tradisional (lamang, cucur, surabi, wajik), serta sisanya berupa sayuran mentah, lintingan tembakau dan pinang, ketupat, dan ayam panggang. Semuanya mewakili hasil alam Meratus. Dan dalam ajaran mereka sudah sepatutnya membagikan itu kepada orang-orang yang berhadir—baik yang tak kasat mata maupun ada wujudnya.

Sama seperti ritual sebelumnya—memulai dengan bamamang dan musik yang mengiringi—Damang, Balian, dan Pinjulang berkumpul tepat di bawah ancak ka gunung yang menggantung, sudah lengkap dengan sesaji dan lilin. Seluruh Balian berdiri, lalu melemparkan beras kuning dan uang koin ke ancak. Semua orang mulai memutari ancak dengan membunyikan derap kaki yang mengentak lantai balai. Setelah istirahat sebentar, rangkaian acara terus berlanjut. Saya hanya sibuk memerhatikan.

Semua yang hadir menyisakan sungging senyum di pinggir bibir selepas prosesi ritual berhenti. Yang tidak berhenti malam ini hanya terbakarnya aroma tembakau, serta kesiur angin yang menerbangkan senyap dan dinginnya malam di antara dinding kayu. Tepat tengah malam, dua orang Balian menaruh ekor ayam di bawah langgatan dan membawanya sambil mengelilingi langgatan. Sesaat kemudian Balian yang sedang kerasukan menggigit dua kepala ayam itu sampai terputus. Inilah prosesi ritual bauria.

Di Bawah Langit Balawaian
Sesajen yang dimamangi (didoakan) dahulu sebelum dibagikan/M Irsyad Saputra

* * *

Desir sungai yang mengalir menjadi alunan melodi yang menyambut saat pagi tiba. Debitnya tidak sedalam kemarin malam. Beberapa ikan terlihat bersantai—tetapi siaga—di balik bebatuan. Bebatuan yang menjadi pijakan orang-orang desa saat mandi itu berwarna legam. Namun, saat sinar mentari menerpa sebagian wujudnya, batu-batu tersebut tampak berkilau bagai kumpulan emas-emas yang siap dijarah. Saya menginjaknya perlahan—takut-takut kalau pijakan saya tidak kuat mencengkeram permukaannya—kemudian mengambil air dengan kedua tangan untuk membasuh muka.

Hanya beberapa orang yang terbangun pagi itu. Banyak yang masih meringkuk pulas di dalam sarung. Harusnya ada prosesi ritual yang berlangsung pagi ini, tetapi kata penghulu Ujal terpaksa ditunda. Sebab banyak warga yang tidak berkumpul di balai dan sibuk dengan aktivitas masing-masing.

“Terpaksa ritual ditunda ke siang dan sore hari,” ujarnya sambil memonyongkan bibir, meniupkan asap yang lari terbawa angin pagi. 

Desa Balawaian pada pagi hari berselimut dingin. Pepohonan di sini masih rindang. Sebagian adalah kebun yang sengaja warga tanam, sedangkan lainnya hutan alami yang penuh semak belukar. Rumah-rumah yang berdiri pun tidak berimpitan. Kadang hanya 2-3 rumah berdampingan, kadang sampai lebih dari lima rumah. Jalanan tampak lengang. Hanya anak-anak sekolah yang sibuk menyalakan motor supaya tidak terlambat ke sekolah. Jaraknya cukup jauh di Desa Batung. 

Siang berlalu. Tidak banyak warga yang berkumpul di balai, tetapi acara harus tetap jalan. Para pemangku adat melakukan prosesi ritual halang simbaran, halang manayaung, dan babangkuyan

Dua orang Balian mulai berjalan dengan dua tangannya. Perlahan dan pasti, tiang yang sudah terpasang hiasan daun enau dan pisang mulai mereka panjat. Pisang dimakan dan dihamburkan ke lantai. Para penonton tentu saja mengambil pisang-pisang yang berguguran. Begitu habis, Balian turun ke lantai. Dengan segera satu orang lelaki mulai menangkap Balian yang hendak berlari keluar balai. Ia kemudian mengumpulkan dua orang Balian tersebut di langgatan untuk dikembalikan kesadarannya.

* * *

“Tidak, saya tidak mau ikut kapamalian,” seru Fitri, anak bungsu dari penghulu Ujal, saat kami sedang menikmati santap sore bersama. Ia terlihat elok dengan rambut panjangnya yang ia biarkan tergerai sampai bahu. Dari nada bicaranya, seakan-akan kapamalian adalah hal yang paling ia takuti saat ritual Aruh kecil. Kapamalian mengharamkan semua yang telah mengikuti prosesi ritual bararadenan untuk keluar dan melakukan aktivitas di luar balai—kecuali yang berkaitan dengan buang hajat. Mungkin anak-anak muda sudah kehilangan minat untuk menyelesaikan ritual secara paripurna. Saya mengerti, anak muda sepertinya tentu saja sangat tersiksa terkurung di balai seharian, apalagi gawai yang mereka punya tidak mendapatkan sinyal di sini. 

“Mukri ke mana?” Saya menanyakan kakaknya yang tidak terlihat di hari ini.

“Sama, dia tidak ikut kapamalian juga. Soalnya bosan, nggak bisa ngapa-ngapain,” serunya.

Barangkali, jika balai tersedia Wi-Fi gratis, anak-anak muda akan dengan senang hati ikut kapamalian. Tapi buat apa? Bukankah kapamalian bernilai ibadah? Nilai ibadah apa yang akan mereka dapatkan kalau seharian hanya berseluncur di dunia maya?

Ah, terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepala saya. Di malam terakhir, lelaki, perempuan, dan anak-anak berdiri dan memutari langgatan sembari berpegangan tangan. Saya ikut menyelinap di antara mereka, berpegangan erat dan merasakan kegembiraan yang mengalir dari jalinan tangan. Derap kaki membuat lantai kayu berdecit, seolah mengaminkan doa kami—keselamatan dan kedamaian semua makhluk di bumi—untuk terus mengepul menuju kaki langit hingga beranjak menuju Nang Kawasa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Bawah Langit Balawaian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-bawah-langit-balawaian/feed/ 0 39444