merbabu via suwanting Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/merbabu-via-suwanting/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 15 May 2023 08:20:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 merbabu via suwanting Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/merbabu-via-suwanting/ 32 32 135956295 Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (2) https://telusuri.id/mendaki-gunung-merbabu-via-suwanting-harapan-selepas-hujan-2/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-merbabu-via-suwanting-harapan-selepas-hujan-2/#respond Sat, 13 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38640 Salah satu hal terberat saat mendaki gunung adalah bangun tengah malam untuk berangkat ke puncak. Tantangannya tidak hanya kantuk, tetapi juga suhu dingin yang biasanya mencapai titik terendah sebelum fajar. Apalagi jika jarak dari tempat...

The post Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Salah satu hal terberat saat mendaki gunung adalah bangun tengah malam untuk berangkat ke puncak. Tantangannya tidak hanya kantuk, tetapi juga suhu dingin yang biasanya mencapai titik terendah sebelum fajar. Apalagi jika jarak dari tempat camp ke puncak masih cukup jauh, sehingga harus kuat membuka mata lebih awal.

Kondisi tersebut umum dilakukan di gunung mana pun dengan program pendakian 2 hari 1 malam. Termasuk pendakian Gunung Merbabu via Suwanting. Terlepas kebijakan pembatasan durasi pendakian dari taman nasional, durasi tersebut sudah sangat cukup untuk mengunjungi gunung yang bertetangga dengan Merapi itu.

Untungnya kami hanya tinggal menempuh 1,5 kilometer lagi menuju dua puncak tertinggi yang terletak berdekatan, yaitu Triangulasi dan Kenteng Songo. Naik sekitar 400 meter vertikal untuk mencapai ketinggian hampir 3.145 mdpl. Secara teori, butuh waktu paling cepat 1-1,5 jam perjalanan.

“Kadang-kadang bisa lebih dari 2 jam, karena keasyikan foto-foto di sabana,” kelakar Pak Ambon saat briefing kemarin. 

Pak Ambon mungkin benar. Pemandangan sabana khas jalur Suwanting bisa jadi jauh lebih memikat ketimbang puncaknya. Seperti halnya Ranu Kumbolo di Gunung Semeru, atau danau Segara Anak di Gunung Rinjani. 

Saya sendiri yakin kami pun tidak akan lama berselebrasi di titik tertinggi—kalau memang sampai puncak. Kedua puncak tersebut merupakan pertemuan semua jalur resmi Merbabu, yakni Suwanting, Selo, Tekhelan atau Wekas (dua jalur ini bertemu di pos Helipad). Akhir pekan jelas menjadi masa berkerumun manusia, yang kebanyakan memiliki tujuan sama: foto dengan plang, plakat, atau tugu penanda puncak. Suasana yang tidak ingin kami nikmati berlama-lama.

Pohon edelweis dan bulan di langit menemani pendakian menuju puncak Merbabu
Pohon edelweis dan bulan di langit menemani pendakian menuju puncak Merbabu/Rifqy Faiza Rahman

Menunda Lelah

Adanya potensi hujan seperti hari pertama membuat kami membulatkan tekad untuk berangkat ke puncak sesegera mungkin. Kaus kaki dan sepatu jelas belum kering. Alas kaki yang masih basah sebenarnya membuat berjalan kurang nyaman. Namun, kami tak ambil pusing. Toh, kemarin juga basah-basahan saat mendaki sampai bagian dalam sepatu kebanjiran.

Secangkir teh hangat, dua biji kurma, dan sepotong roti tawar saya lahap untuk menghangatkan tubuh. Teman satu tenda, Evelyne dan Rivai, melakukan hal serupa. Hanya beda di jenis minumannya saja. 

“Mas Bagus, aman? Jadi ke puncak?” tanya saya setengah teriak ke tenda sebelah, tempat kawan asal Jepara itu tidur sendirian semalam.

“Aman!” sahutnya.

Saya melongok ke langit melalui pintu tenda. Masih terlihat jejak bulan dan bintang-bintang berjarak yang bersanding awan kelabu tipis. Namun, cahayanya kalah terang dengan lampu-lampu artifisial buatan operator wisata di “kampung” tenda sebelah. Meriah sekali, seperti bumi perkemahan Sabtu-Minggu. 

Pertanda baik, pikir saya, karena semalam sempat hujan sebentar saat kami tidur. Walaupun begitu tidur saya dan teman-teman tidak terlalu nyenyak, karena sampai jelang tengah malam pun masih banyak pendaki yang baru tiba di Pos 3. Jelang subuh seperti ini, atau setidaknya menunggu agak terang, mereka juga pergi ke puncak. Saya tidak bisa membayangkan akan selelah apa yang mereka rasakan. Istirahatnya hanya sebentar.

Sementara kami saja masih terasa pegal di sekujur tubuh. Saya berharap dengan mencoba terus berjalan rasa capek tidak akan begitu terasa. Atau setidaknya tertunda sejenak. Kondisi seperti ini mungkin dialami juga oleh pendaki-pendaki lain saat itu, yang bersama-sama mencoba berjuang menggapai puncak tertinggi. 

Perjuangan para pendaki meniti tanjakan di tengah sabana menuju puncak Gunung Merbabu, dengan latar belakang Gunung Merapi
Perjuangan para pendaki meniti tanjakan di tengah sabana menuju puncak Gunung Merbabu, dengan latar belakang Gunung Merapi/Rifqy Faiza Rahman

Yang Kami Lihat di Sabana

Cahaya lampu senter maupun alat penerang lainnya menyemut di jalan setapak yang membelah sabana Merbabu. Dari kejauhan seperti kunang-kunang yang terbang vertikal secara perlahan. Setiap pendaki silih berganti saling mendahului dan bertegur sapa. Memberi semangat satu sama lain. Bahu-membahu mendorong yang kepayahan, menarik yang lelah. Seperti inilah sisi positif dari pendakian di gunung, yang saya harapkan juga berlaku tatkala sedang mengalami kesulitan di hutan.

Sebelum puncak, terdapat tiga kawasan sabana yang harus kami lewati. Setelah berjalan hampir setengah jam sampai ke Sabana 1 (2.828 mdpl), saya merasa treknya ternyata tidak terjal-terjal amat. Mungkin karena saya tidak membawa beban berat seperti pendakian lintas jalur Suwanting-Selo lima tahun lalu. Selain itu matahari belum muncul, sehingga tidak terasa terik.

Sepanjang jalur, tidak banyak aktivitas yang kami lakukan selain terus berjalan. Foto-foto pun seperlunya. Saya bukan orang yang mudah kalap dalam membuat konten, ketika melihat pemandangan bagus. 

Namun, saya akui lukisan fajar pagi itu membuat saya tertegun. Terutama setelah melewati Sabana 2 (2.915 mdpl) dan berhenti agak lama di Sabana 3 (2.984 mdpl). Kurang lebih satu jam perjalanan dari tenda kami. 

  • Mbak Evelyne menikmati pemandangan di sabana Gunung Merbabu jalur Suwanting. Terlihat Gunung Andong dan Telomoyo di kejauhan
  • Beberapa pendaki mengabadikan Gunung Merapi dalam perjalanan mereka ke puncak Merbabu

Saya mengedarkan pandangan hampir 360 derajat. Selain sisa tanjakan ke arah puncak Suwanting (3.105 mdpl) dan dua dataran tertinggi Merbabu, sajian alam memberikan pengalaman tak terlupakan. Tiba-tiba, ingatan soal pendakian bersusah payah menerjang hujan kemarin untuk sesaat sirna. Seketika pula saya mampu melupakan rasa lelah. 

“Itu kelihatan Sindoro dan Sumbing juga, Mbak,” ucap saya kepada Mbak Evelyne sambil menunjuk ke arah barat. Gunung Sumbing punya memori yang lekat dengan kami, karena sempat mendaki via jalur Banaran akhir tahun lalu bersama adik ipar saya dan temannya.

Kabut tipis menutup bagian tubuh gunung ke bawah. Gunung-gunung kecil seperti Andong dan Telomoyo seperti melayang. Adapun atraksi utama yang tetap banyak dipotret adalah si tetangga, Gunung Merapi. Sejenak saya berpikir, makin kita berada di ketinggian, sudut pandang menjadi lebih luas dan menarik.

Sepertinya memang benar jika kita bisa melihat bumi dari kacamata burung. Terbang ke mana pun sesuka hati. Pagi itu, tak banyak burung yang kami lihat. Hanya purwarupanya saja, yaitu sekawanan drone yang diterbangkan pemiliknya.

  • Situs bersejarah di puncak Kenteng Songo, Gunung Merbabu. Adapun puncak triangulasi berada di bukit seberang dari tempat ini
  • Menara pemancar seluler di salah satu puncak bukit di punggungan jalur pendakian Merbabu via Thekelan atau Cuntel

Puncak Seperlunya, Pulang Secepatnya

Dua jam perjalanan adalah waktu yang kami catat untuk tiba di puncak Triangulasi dan Kenteng Songo. Masing-masing hanya berjarak 100 meter dengan kontur relatif landai. Seperti yang saya duga, tugu jumbo bertuliskan nama dan ketinggian puncak itu seperti benda keramat yang wajib masuk dalam memori kamera. Adapun kami hanya tertarik untuk mengabadikan diri secara bersama-sama dalam satu atau dua bingkai foto.

Kami berempat sepakat untuk tidak berlama-lama di puncak. Selain ingin lebih menikmati sabana, kami juga mengejar waktu agar tidak terlalu sore tiba di basecamp. Kami berencana meninggalkan Pos 3 Dampo Awang sekitar pukul 10.00 WIB.

Saya teringat pagi sebelum berangkat naik ojek ke pintu hutan kemarin. Waktu itu cuaca hampir secerah hari ini, tetapi siang sampai sore terjadi dua kali hujan deras. Jika hujan jatuh lagi di tengah perjalanan, jalur akan semakin sulit dilewati dan memakan waktu lebih lama untuk turun.

Sejumlah pendaki turun menuju tenda mereka di Pos 3 Dampo Awang, yang ramai saat akhir pekan
Sejumlah pendaki turun menuju tenda mereka di Pos 3 Dampo Awang, yang ramai saat akhir pekan/Rifqy Faiza Rahman

Meskipun manusia hanya berencana, saya tak kapok menitipkan harapan agar alam bermurah hati hari ini. Sepanjang perjalanan kembali ke tenda, kemudian berkemas dan  lanjut turun ke dusun, tidak terhitung berapa kali saya harus menengadah ke langit. Merapalkan doa seperti semalam, agar Tuhan “memasukkan” hujan ke jadwal cuti.

Harapan itu semakin kencang saya genggam dalam pikiran, tatkala mendung dan kabut sempat menyelimuti lembah-lembah di sepanjang punggungan jalur Suwanting. Kepasrahan semakin lekat ketika perut mulai keroncongan dan langkah kian gontai selepas Pos 2 Bendera. 

Namun, sampai kami bertemu pintu hutan dan tiba di rumah Pak Ambon pukul 15.30, tak ada setetes pun air langit yang membasahi tanah. Hujan baru benar-benar turun teramat deras ketika saya sudah jauh dari kawasan gunung, tepatnya dalam perjalanan pulang ke rumah. 

Entah, mungkin doa saya semalam terkabul. Atau, harapan-harapan baik dari pendaki lain selepas hujan kemarin.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-merbabu-via-suwanting-harapan-selepas-hujan-2/feed/ 0 38640
Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (1) https://telusuri.id/mendaki-gunung-merbabu-via-suwanting-harapan-selepas-hujan-1/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-merbabu-via-suwanting-harapan-selepas-hujan-1/#respond Fri, 12 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38623 Kata banyak orang, jalur pendakian Gunung Merbabu via Suwanting bikin sinting. Saat kemarau penuh debu, kalau hujan licin dan berlumpur. Menurut Hosea Mulyanto Nugroho alias Pak Ambon, pemandu gunung profesional dan pemilik operator tur Ambon...

The post Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kata banyak orang, jalur pendakian Gunung Merbabu via Suwanting bikin sinting. Saat kemarau penuh debu, kalau hujan licin dan berlumpur. Menurut Hosea Mulyanto Nugroho alias Pak Ambon, pemandu gunung profesional dan pemilik operator tur Ambon Adventure, ujian terberat di jalur ini adalah antara Pos 2 Bendera ke Pos 3 Dampo Awang. Faktor penyebabnya adalah akumulasi jarak yang agak panjang, elevasi makin tajam, dan kelelahan.

Namun, meminjam istilah “kapok lombok”, jalur yang terletak di Dusun Suwanting, Desa Banyuroto, Sawangan, Magelang itu tetap diserbu banyak orang. Rasa jera para pendaki hanya sesaat, karena tiba-tiba kangen ingin balik lagi di lain waktu. 

Di antara sekian alasan mengapa banyak orang meminati Suwanting, Pak Ambon mengucap satu di antaranya, “Nilai plus jalur ini adalah sabananya. Kadang-kadang pendaki malas melanjutkan perjalanan ke puncak, karena kadung ‘mager’ di tengah-tengah padang rumput hijau.”

Rata-rata pendaki yang pernah mampir di rumah Pak Ambon—berada di ketinggian sekitar 1.400 mdpl—untuk meminta arahan, mengaminkan pernyataan pria kelahiran Semarang itu. Saya pun demikian.

Rumah Pak Ambon sekaligus Basecamp Ambon Adventure di Dusun Suwanting, Banyuroto, Magelang
Rumah Pak Ambon sekaligus Basecamp Ambon Adventure di Dusun Suwanting, Banyuroto, Magelang/Rifqy Faiza Rahman

Wejangan tentang Hujan

Cuaca yang cukup cerah pagi itu (18/3/2023) nyaris membuat saya jemawa. Langit membiru dengan awan-awan putih tipis. Sinar matahari sudah mulai menyengat kulit. Satu-satunya hal yang kontras dan kasatmata hanyalah kabut yang menyelimuti pucuk-pucuk pinus di pintu hutan.

Sesaat saya tersadar. Keberadaan kabut bisa berarti dua: tetap cerah atau akan turun hujan. Pak Ambon tadi sudah menginformasikan cuaca terkini ketika briefing. 

“Nah, ini yang aneh. Sudah dua mingguan ini Suwanting cerah. Lha kok kemarin waktu turun gunung sama tamu sekitar jam 2 siang, dikasih hujan deras sampai basecamp,” tuturnya. 

Artinya, kami harus waspada. Jas hujan disiagakan di kantong tas yang mudah terjangkau dengan cepat. 

Selain wejangan-wejangan soal etika di gunung—di antaranya mengucap salam saat masuk Lembah Manding dan jangan kencing menghadap kiblat—Pak Ambon kembali mewanti-wanti soal potensi badai. “Kalau sampai terjadi badai, lebih baik turun. Jangan paksakan pendakian daripada membahayakan diri sendiri,” tegasnya.

Saya tetap menaruh harapan pada Merbabu. Tidak berekspektasi tinggi, tetapi semoga cuaca sesuram apa pun tetap bersahabat untuk dinikmati. Selicin apa pun tanah yang kami lewati, setidaknya masih dilewati secara perlahan. 

Saya dan teman-teman sudah sampai di tempat ini. Kami akan tahu dan merasakannya sendiri saat mendaki nanti.

Gapura kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, titik awal pendakian jalur Suwanting
Gapura kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, titik awal pendakian jalur Suwanting/Rifqy Faiza Rahman

Jalur yang Mengejutkan Banyak Orang

Pintu rimba (1.470 mdpl) sebagai gerbang masuk kawasan taman nasional berjarak sekitar 700-800 meter dari rumah Pak Ambon. Kami menjangkaunya kurang dari lima menit dengan naik ojek bertarif 10 ribu rupiah sekali jalan. 

Kuota harian jalur Suwanting, yang mencapai 400 orang penuh. Sebagian besar rombongan open trip dari operator wisata yang berbasis di Jakarta. Jumlahnya puluhan. Belum termasuk porter dan pemandu.

Adapun sisanya adalah kelompok-kelompok kecil yang kebanyakan berasal dari daerah sekitar Magelang, seperti tiga orang yang saya temui di kawasan Lembah Gosong (1.665 mdpl). Laki-laki semua. Dua di antara mereka sudah berpengalaman naik gunung, sementara satu orang lagi adalah pemula. Namun, ketiganya baru pertama kali ini mendaki jalur Suwanting. 

“Itu juga karena dipaksa sama temenku ini, Mas! Biasanya saya lewat Selo, Boyolali. Lebih bersahabat,” cetus pria bertopi yang berperawakan agak gemuk. Ia menunjuk sosok berkacamata di sampingnya. 

Yang punya ide pun membalas, “Enak, kok. Lebih cepat ke puncak. Sabananya juga lebih bagus. Dinikmati wae!”

Orang satunya lagi, yang debut mendaki dan kebagian membawa tenda, malah bertanya pada saya, “Jalurnya kayak begini terus, Mas? Kira-kira berapa jam nyampe ke Pos 3?”

Saya menengok layar GPS yang saya bawa. Waktu menunjukkan pukul 10.30 WIB. Kami sudah berjalan setengah jam dari Pos 1 Lembah Lempong (1.560 mdpl), yang hanya berjarak 200 meter dari gapura.

Berdasarkan informasi GPS, saya terangkan kepada mereka, “Jarak ke Pos 2 Bendera (2.168 mdpl) sekitar 1,5 kilometer lagi atau jalan normal paling lama dua jam. Dari situ ke pos air (2.665 mdpl) sekitar 1,1 kilometer atau 2,5 jam perjalanan, karena lebih terjal. Nah, dari sumber air ke Pos 3 Dampo Awang (2.740 mdpl) sudah dekat, hanya 200 meter atau 15 menit saja. Itu pun kalau gak hujan, Mas.”

Raut wajah si gemuk dan pembawa tenda tampak terkejut. Mereka melihat lagi jalan setapak tanah yang cukup liat. Hujan bisa membuatnya lebih berat dan menambah penderitaan.

Temannya yang berkacamata berusaha menenangkan hati dalam bahasa Jawa, “Pelan-pelan saja, dinikmati. Nanti ‘kan sampai juga di Pos 3.”

Lembah Gosong, pertemuan pertama saya dengan tiga pendaki asal Magelang
Lembah Gosong, pertemuan pertama saya dengan tiga pendaki asal Magelang/Rifqy Faiza Rahman

Ujian Terbesar Pendakian adalah Hujan

Selain Lembah Gosong, ada tiga kawasan lembah lagi yang harus kami lewati sebelum Pos 2: Lembah Cemoro, Lembah Ngrijan, Lembah Mitoh. Jarak antar kawasan atau pos sebenarnya mudah diperkirakan, karena ada patok-patok hektometer (HM) yang dipasang per 100 meter oleh taman nasional.

Sayangnya, tak sedikit yang angkanya terhapus karena faktor alami atau ulah tangan jahil. Bahkan ada satu-dua patok yang tumbang atau hilang entah ke mana. Maka secara berkala saya mengecek informasi di GPS. 

Selain berpatokan pada GPS, saya juga cukup banyak memotret untuk menyimpan informasi. Namun, tatkala kabut semakin merungkup tebal di Lembah Cemoro (1.790 mdpl), saya hentikan langkah dan segera mengamankan kamera dan tas selempang. Langit mencurahkan hujan tiba-tiba dan sangat deras. Saya dan kawan-kawan Magelang yang sedari tadi jalan beriringan lekas mengambil jas hujan dari dalam tas. 

Meskipun sudah diprediksi, terus terang turunnya hujan bukanlah menjadi harapan banyak orang. Selain basah, fokus dan tenaga yang dikeluarkan makin ekstra. Apalagi bagi tim yang membawa banyak orang, tentu harus saling menjaga satu sama lain.

Jalur yang tambah becek merupakan salah satu konsekuensi yang kami hadapi di saat-saat seperti ini. Imbas lainnya adalah lumpur akan melekat di sepatu, rain cover, tas, kaus kaki, tangan, bahkan sekujur tubuh kalau kami tak sengaja terpeleset dan terjatuh. 

Kendati demikian, saya patut bersyukur dengan keberadaan vegetasi sepanjang jalur. Meskipun ilalang dan tanaman semak masih dominan, cemara gunung dan mlanding (lamtoro) mencegah kami dari embusan angin kencang. Tanaman-tanaman tersebut sangat membantu menjadi pagar di tipikal jalur punggungan gunung, seperti Suwanting ini.

Ketabahan selama mendaki di bawah guyuran hujan, serta harapan agar mereda terjawab dua jam kemudian. Sekitar pukul 13.20, saya bersama Evelyne, Rivai, dan Bagus tiba di Pos 2 Bendera dengan cuaca kembali cerah. Tempat ini ternyata penuh dengan tenda-tenda para pendaki, yang rata-rata malas melanjutkan perjalanan ke Pos 3. Mereka biasanya akan muncak tanpa membawa beban berlebih pada tengah malam keesokan harinya.

Di sisi lain, permukiman-permukiman di lereng Merbabu terlihat kecil di kejauhan. Pemandangan tersebut menjadi hiburan saat kami mengeluarkan bekal nasi bungkus untuk makan siang. Kami saling mengingatkan untuk tetap membawa sampah selama pendakian.

Keramaian di Pos 2 Bendera setelah hujan reda. Kami istirahat sejenak di sini untuk makan siang
Keramaian di Pos 2 Bendera setelah hujan reda. Kami istirahat sejenak di sini untuk makan siang/Rifqy Faiza Rahman

Hujan di Lembah Manding

Saya kira hujan hanya tumpah sekali saja hari itu. Setidaknya di atas Pos 2 dan Lembah Manding yang siap menyambut di depan kami, awan kelabu itu telah tersibak. Kami lipat kembali jas hujan, tetapi tetap menaruhnya di bagian kepala tas. 

Tidak hanya rombongan open trip, tiga kawan dari Magelang juga melanjutkan perjalanan menuju Pos 3 Dampo Awang. Energi kembali pulih usai makan siang. Kami meninggalkan Pos 2 penuh optimisme. 

Namun, angan-angan hanyalah angan-angan. Baru sepuluh menit berjalan dan memasuki kawasan Lembah Manding (2.215 mdpl), halimun kembali menyergap dan sempat membatasi jarak pandang. Hujan deras yang kembali jatuh sejam kemudian cukup menghambat langkah, karena tanah semakin berlumpur dan licin. 

Padahal trek di kawasan inilah yang paling terjal di jalur Suwanting. Di beberapa tanjakan, sudut kemiringannya seolah-olah membuat lutut bertemu dagu. Tangan harus lincah memegang ranting, akar, atau bebatuan untuk menjaga keseimbangan. Tak heran tenaga semakin terkuras di sini. Hanya sisa-sisa napas dan mental saja yang bisa mengantar kami keluar dari Lembah Manding.

Di antara dua pilihan jalur yang tersedia, kami memilih ambil di sisi kanan (jalur baru) yang cenderung “bersahabat” meski agak memutar. Kata Pak Ambon, jalur lama yang mengarah lurus (sisi kiri) sudah rusak parah tergerus air, terlalu curam, licin, dan berisiko tinggi karena bersebelahan dengan jurang vertikal sedalam puluhan meter. Pantas saya melihat batang kayu melintang agar tidak ada yang melintas. Walaupun tetap saja ada segelintir pendaki nekat yang lewat sana.

Kedua jalur akan beberapa kali bertemu di satu titik sampai menyatu persis sebelum Pos Air (2.665 mdpl). Saya dan teman-teman tiba di sumber air satu-satunya jalur Suwanting itu sekitar pukul 17.00, setelah berjalan tiga jam dari Pos 2.

Mengejar Harapan Selepas Hujan

Melihat antrean panjang dan debit air yang kecil, saya mengurungkan niat mengisi penuh botol minuman dan jeriken lipat 10 liter yang kami bawa. Air tersebut kami gunakan untuk keperluan memasak, minum, dan bekal turun besok pagi. 

“Kita isi nanti malam saja, Mbak. Kalau pas sepi orang. Untuk masak malam ini, kita pakai sisa air yang ada dulu di botol Mas Rivai atau Mas Bagus,” kata saya kepada Mbak Evelyne. 

Saya mengajak Mbak Evelyn melanjutkan sisa langkah sejauh 200 meter menanjak ke Pos 3. Kira-kira 15-20 menit berjalan. Saya ingin lekas mendirikan tenda sebelum terlampau gelap. Kami berempat harus segera mengganti pakaian yang basah untuk mencegah hipotermia. Tubuh juga wajib diisi asupan hangat dan bergizi, usai berjuang menembus hujan di Lembah Manding.

Sebenarnya tidak hanya itu. Saya memiliki alasan-alasan lain yang muncul dari pengharapan selepas hujan.

Pemandangan penutup petang yang kami lihat setibanya di Pos 3 Dampo Awang
Pemandangan penutup petang yang kami lihat setibanya di Pos 3 Dampo Awang/Rifqy Faiza Rahman

Dalam benak saya, sepertinya hujan pun layak menjadi sumber harapan. Kami hanya harus bersabar melalui tamparan bulir-bulir airnya yang menusuk kulit selama beberapa saat. Saya mencoba merawat dan mengejar harapan itu dengan tiba di tempat berkemah sebelum petang benar-benar hilang. 

Memandang ke selatan, Gunung Merapi tampak tegar dengan asap kelabu yang keluar dari kawahnya. Sementara di barat cakrawala, kami menyempatkan diri bertegur sapa dengan langit kemerahan khas sore. Kerlip lampu permukiman dan perkotaan menyala serentak di kaki gunung. 

Bagi saya, kode-kode alam seperti itu berarti pertanda harapan serupa untuk esok hari. Soal puncak, matahari terbit, dan panorama khas pegunungan; semua itu adalah bonus. Doa saya untuk besok hanya satu, yaitu meminta Tuhan “meliburkan” hujan dari “tugas”-nya.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-merbabu-via-suwanting-harapan-selepas-hujan-1/feed/ 0 38623