merbabu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/merbabu/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 05 Sep 2022 01:29:35 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 merbabu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/merbabu/ 32 32 135956295 ‘Tektok’ Gunung Merbabu via Wekas https://telusuri.id/tektok-gunung-merbabu-via-wekas/ https://telusuri.id/tektok-gunung-merbabu-via-wekas/#respond Mon, 05 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35173 Bagi mereka yang mempunyai hobi mendaki gunung, kalimat “Setiap gunung memiliki kesannya masing-masing,” akan menjadi jawaban yang lazim didengarkan ketika mendapat pertanyaan tentang gunung mana yang paling berkesan. Begitu pula kesan dari pendakian tanpa camping,...

The post ‘Tektok’ Gunung Merbabu via Wekas appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi mereka yang mempunyai hobi mendaki gunung, kalimat “Setiap gunung memiliki kesannya masing-masing,” akan menjadi jawaban yang lazim didengarkan ketika mendapat pertanyaan tentang gunung mana yang paling berkesan. Begitu pula kesan dari pendakian tanpa camping, atau dalam  istilah pendakian lebih dikenal dengan sebutan “tektok”. Kali ini saya tektok-an ke Gunung Merbabu, Jawa Tengah, pendakian pertama setelah lebih dari 3 tahun absen.

Di perjalanan kali ini saya kembali menjadikan rumah Pak Hartanto di Magelang sebagai tempat untuk transit dan beristirahat sejenak setelah mengendarai motor dari Yogyakarta pada Jumat malam (15/7/2022), sebelum melanjutkan perjalanan ke basecamp Merbabu via Wekas keesokan harinya. Di rumah ini juga turut menginap pula Dwi Cahyono, kawan pendaki lainnya asal Purwodadi yang juga telah sering ikut mendaki ataupun sekedar tektok bersama kami.

Waktu menunjukkan pukul 5 kurang 10 menit pagi,  ketika motor kami memulai perjalanan dari Magelang menuju basecamp Gunung Merbabu via Wekas (Sabtu, 16/7/2022) yang berlokasi di Desa Wekas, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Udara sejuk dan segar pagi hari khas pegunungan telah menghampiri kami ketika tiba di basecamp untuk selanjutnya bersiap-siap memulai pendakian.

Di basecamp ini pula turut bergabung Pak Bowo, Mas Sulis, dan Mbak Yeni yang sebelumnya juga telah janjian untuk tektok bareng sehingga menggenapkan rombongan ini menjadi enam orang. Tampak dari kejauhan Gunung Andong yang terlihat mungil ketika disandingkan dengan Gunung Merbabu.

Setelah berdoa dan foto bersama, tektok pun dimulai tepat pukul enam pagi melalui perkampungan warga yang keseluruhan jalannya telah dicor beton. Jasa ojek sebenarnya tersedia di jalur ini. Namun dikarenakan jarak antara basecamp dengan batas kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang relatif dekat, maka rombongan kami pun memutuskan untuk berjalan kaki saja. Hitung-hitung juga sebagai pemanasan sebelum merasakan bagaimana sensasi jalur pendakian.

Jika di jalur pendakian gunung pada umumnya didominasi oleh perkebunan warga sebelum memasuki hutan, maka hal ini tampaknya tidak berlaku di jalur ini. Hanya sekitar 5.00 meter dari basecamp, setelah melewati beberapa rumah warga dan jalan beton, hutan Gunung Merbabu langsung menyambut kedatangan kami dengan berbagai petunjuk arahnya yang telah dipasang oleh petugas taman nasional. Dikarenakan masuk dalam kategori taman nasional, tentunya untuk mendaki di Gunung Merbabu mempunyai prosedur tersendiri. Hal ini diberlakukan demi tetap terjaganya kelangsungan kehidupan flora dan fauna di dalamnya.

Di semua jalur pendakian Gunung Merbabu, ada patok penanda jalur yang di pasang sebagai penunjuk arah bagi para pendaki sekaligus penghitung jarak yang telah ditempuh secara keseluruhan semenjak dari pintu masuk kawasan. Jarak antar patok ini berkisar 100 meter. Sebagai aset taman nasional, maka sudah menjadi kewajiban untuk tidak merusak patok-patok ini.

Sepanjang jalur dari basecamp hingga Pos 1 dan 2, trek masih cukup landai dengan semak belukar dan vegetasi yang tidak terlalu rapat. Begitupun dengan pepohonan yang jaraknya tidaklah terlalu mepet sehingga cahaya matahari dan birunya langit masih tampak jelas meski telah memasuki kawasan hutan. Di beberapa kesempatan kami menemukan gerombolan kera yang menjadi penghuni hutan ini. Begitupun beberapa kali kami juga sempat mendengar suara kijang yang tampaknya sedang berkomunikasi dengan kijang lainnya.

Jalur pendakian Gunung Merbabu via Wekas bisa dikata jalur yang paling singkat di antara jalur pendakian Gunung Merbabu lainnya. Hal ini tidak lain karena letak basecamp yang berada di ketinggian 1.800-an mdpl. Mendaki melalui jalur ini praktis mampu menghemat waktu dan tenaga. Dengan posisi basecamp yang sudah cukup tinggi ini pula, jarak menuju puncak jelas tidak terlalu jauh. Maka pilihan tektok bukanlah hal yang berlebihan.

Kawah mati
Kawah mati/Ammar Mahir Hilmi

Ketika memasuki Pos 3, jalur bebatuan dan tanjakan ekstrim telah menanti. Di pos ini juga terdapat penanda batas tiga wilayah yakni Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, dan Kabupaten Semarang. Dari Pos 3 ini pula kita dapat melihat kawah Gunung Merbabu yang sudah tidak aktif lagi. Menurut keterangan Mas Sulis yang merupakan penduduk setempat dan sudah sangat sering mengantar para pendaki, kawah ini masih sering mengeluarkan gas ketika musim kemarau datang. Namun intensitas aktivitas kawah Gunung Merbabu tentunya sudah tidak massif Gunung Merapi yang letaknya berdampingan langsung dengan Gunung Merbabu.

Vegetasi sudah sangat terbuka di jalur setelah Pos 3. Pepohonan tinggi telah berganti ilalang dengan jalur yang saking miringnya membuat kita harus menggunakan bantuan tali webbing untuk melaluinya. Bukan Merbabu namanya jika tidak ditemukan edelweiss di jalurnya. Sepanjang jalur dari Pos 3 menuju puncak ini pula kita dapat menemukan bunga edelweiss, tanaman langka yang dilindungi dan hanya bisa ditemukan di pegunungan. 

Pijakan yang di jalur sebelumnya masih berupa tanah, kini telah didominasi batuan vulkanik yang rapuh dan sangat rawan bergeser. Teman saya, Dwi, bahkan sampai menamai jalur ini sebagai Watu Urip yang berarti batu hidup dikarenakan struktur batuannya yang mudah bergerak dan mengakibatkan kita dapat terpeleset jika salah mengambil pijakan.

Tugu batas 3 kabupaten
Tugu batas 3 kabupaten/Ammar Mahir Hilmi

Setelah kurang lebih 4 jam 45 menit perjalanan menyusuri jalur Merbabu atau pada pukul 10.45 WIB, kami akhirnya sampai di Puncak Syarif di ketinggian 3137 mdpl. Gunung Merbabu memiliki tiga puncak yang masing-masing terdapat tugu berwarna kuning sebagai penandanya. Ketiga puncak tersebut yakni Puncak Kenteng Songo, Puncak Trianggulasi, dan Puncak Syarif. Namun pada Tektok kali ini kami hanya mendatangi puncak Syarif saja untuk menghemat waktu dan tenaga meski kedua puncak lainnya telah tampak dari puncak sini. 

Mengingat posisi matahari telah berada di atas kepala dan kabut yang sudah mulai turun, maka setelah menyantap perbekalan dan mendokumentasikan kegiatan di puncak, rombongan kami pun akhirnya turun. 45 menit waktu yang sudah kami habiskan di puncak, rasanya sudah cukup.

Sekilas agak aneh untuk sebagian orang, apalagi yang tidak terbiasa mendaki gunung. Bagaimana tidak, perjalanan membutuhkan waktu lebih dari empat jam menuju puncak, namun ketika sampai di sana, kami hanya menghabiskan waktu ala kadarnya. Sebentar saja untuk makan dan berfoto. Tapi bagi mereka yang menyukai kegiatan di luar ruangan, hal terpenting justru adalah proses perjalanannya.

Saat hendak turun, rombongan kami memutuskan memilih jalur yang berbeda dengan pertimbangan jalurnya lebih aman dan landai walau kita harus berputar arah. Namun pemandangan melalui jalur yang akan bertemu di Pos 4 ini tidak kalah indahnya. Hamparan sabana hijau memanjakan mata yang membuat kita benar-benar menikmati perjalanan turun tanpa harus tergesa-gesa.

Monumen penghormatan di helipad
Monumen penghormatan/Ammar Mahir Hilmi

Pada jalur turun antara Pos 4 dan Pos 3 ini pula terdapat mata air yang dapat kita minum langsung. Saya pun tidak ingin ketinggalan merasakan kesegaran air pegunungan ini. Bahkan saya mengisi kembali tumbler saya hingga penuh dan membawanya sepanjang perjalanan turun bahkan hingga tiba kembali di Yogyakarta. Di jalur ini pula saya bersama Pak Hartanto dan Dwi menyempatkan singgah dan berfoto sejenak di helipad yang terdapat di jalur ini. Helipad ini difungsikan sebagai tempat mendarat helikopter untuk keperluan evakuasi ketika dalam kondisi darurat.

Perjalanan turun
Perjalanan turun/Ammar Mahir Hilmi

Setelah kurang lebih 2,5 jam perjalanan turun dari puncak atau tepat pukul dua siang, kami akhirnya tiba lagi di basecamp dengan selamat dan lengkap berjumlah enam orang seperti di awal perjalanan. Sejenak melemaskan otot-otot yang sempat menegang akibat perjalanan naik turun gunung dengan ketinggian di atas 3.000 mdpl sebelum pulang meninggalkan basecamp. Sebuah perjalanan pendakian yang mungkin lebih tepat disebut latihan fisik.

Aktivitas ini memang membutuhkan persiapan fisik dan mental untuk memulainya. Walau otot terasa nyeri setelahnya, namun kesan yang didapatkan selama perjalanannya membuat kita tiada henti ingin mengulanginya lagi. Benar kata orang-orang, keindahan Merbabu membuat kita ketagihan dan ingin kembali lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post ‘Tektok’ Gunung Merbabu via Wekas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tektok-gunung-merbabu-via-wekas/feed/ 0 35173
Mendaki Gunung Merbabu lewat Jalur Suwanting https://telusuri.id/mendaki-merbabu-via-suwanting/ https://telusuri.id/mendaki-merbabu-via-suwanting/#comments Thu, 07 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29537 Sejak dulu pegunungan Indonesia selalu memesona, satu diantara pegunungan-pegunungan yang mempesona itu adalah Gunung Merbabu yang secara administratif terletak di Kabupaten Boyolali, Semarang, dan Magelang. Oleh sebab itu, Gunung Merbabu dapat didaki melalui jalur Selo,...

The post Mendaki Gunung Merbabu lewat Jalur Suwanting appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejak dulu pegunungan Indonesia selalu memesona, satu diantara pegunungan-pegunungan yang mempesona itu adalah Gunung Merbabu yang secara administratif terletak di Kabupaten Boyolali, Semarang, dan Magelang. Oleh sebab itu, Gunung Merbabu dapat didaki melalui jalur Selo, Wekas, Chuntel, Thekelan, dan Suwanting.

Jalur yang disebut terakhir merupakan jalur yang baru dibuka pada tahun 2015. Diantara jalur lain, pendakian Gunung Merbabu melalui Suwanting adalah jalur yang paling menarik dan asyik. Menarik karena mengundang rasa penasaran dan asyik karena menyajikan tantangan.

Selain itu, estimasi waktu pendakian jauh lebih pendek dari jalur-jalur yang lain, sementara tantangan yang dihadirkan yakni trek yang memang lebih ekstrim dari jalur-jalur yang lain. Jalur ini terletak di Dusun Suwanting, Desa Banyuroto, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.

Jalur Pendakian Suwanting
Jalur pendakian Suwanting/Akhmad Idris

Jalur pendakian yang usaha dan pesonanya sepadan

Meskipun menyajikan jalur yang ekstrem, jalur Suwanting merupakan jalur yang menyediakan sumber air di beberapa pos selama perjalanan mendaki. Setidaknya, rasa lelah melewati trek diimbangi dengan beban yang tidak terlalu berat karena ketersediaan air di pos-pos selama pendakian. Berbeda dengan jalur Selo yang harus membawa beban berliter-liter air dari basecamp karena air hanya tersedia di basecamp.

Nasihat lama itu memang benar, bahwa tidak ada kemudahan yang tanpa kesulitan dan juga tidak ada kesulitan yang tidak disertai dengan kemudahan. Jalur Selo menjadi jalur favorit para pendaki Gunung Merbabu memang treknya tidak se-ekstrim jalur Suwanting, tetapi tetap memiliki kekurangan dalam urusan ketersediaan sumber air. Begitu pula di jalur Suwanting yang memiliki kesulitan dalam urusan trek yang terjal dengan kontur tipis, tetapi memiliki sumber air yang berlimpah.

Ada tiga pos yang perlu dilalui para pendaki untuk mencapai puncak Merbabu (ada tiga puncak, yakni Puncak Syarif; Kenteng Songo; dan Triangulasi) melalui Suwanting. Di setiap pos, kelelahan pendaki akan terbayar dengan pemandangan yang hanya dijumpai ketika mendaki gunung. Sebut saja, ladang warga setempat yang ditanami tanaman khas pegunungan saat perjalanan dari basecamp ke Pos 1. Kemudian, hutan pinus saat perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2. Jika pendaki dinaungi keberuntungan, maka selama perjalanan akan disapa oleh fauna khas Merbabu seperti lutung, ayam hutan, monyet ekor panjang, dan beragam jenis burung. 

Berfoto bersama
Berfoto bersama teman pendakian/Akhmad Idris

Setelah disuguhi pemandangan yang indah, perjalanan dari Pos 2 hingga Pos 3 para pendaki memasuki ujian yang sebenarnya. Trek menanjak sejauh mata memandang akan menguras tenaga habis-habisan. Jika pendakian dilakukan saat musim kemarau, maka pendaki akan diuji dengan kepulan debu yang menyesakkan napas. Sementara jika dilakukan ketika musim penghujan, para pendaki akan disulitkan dengan trek yang sangat licin. Beruntungnya, jalur ini dilengkapi tali untuk membantu mempermudah pendakian.

Lelah para pendaki akan terbayar saat sudah mencapai Pos 3, sebab dari sana dapat dipandang kegagahan Gunung Merap. Tak hanya view Merapi, pesona hijau tiga sabana sebelum puncak juga menanti. Hamparan hijau ciptaan Tuhan tersebut akan membuat siapapun yang melihatnya sadar, bahwa usaha yang dilakukan memang sepadan dengan pesona yang nantinya didapatkan.

Setelah melewati tiga sabana, sebelum bertemu dengan Puncak Triangulasi dan Kenteng Songo, para pendaki terlebih dahulu bertemu dengan Puncak Suwanting. Dari sana, para pendaki bisa melihat gambaran utuh hamparan hijau tiga sabana yang telah dilewati sebelumnya. Duduk dengan takzim sejenak tak ada salahnya, untuk menikmati ketenangan dan kenyamanan yang ketika pulang nanti akan dirindui kembali.

Triangulasi Peak
Triangulasi Peak/Akhmad Idris

Pesan kehati-hatian

Seindah apapun pegunungan, tetap saja manusia adalah tamu dan harus bersikap selayaknya seorang tamu. Oleh sebab itu, sebelum pendakian dilakukan, para pendaki mendapatkan briefing terlebih dahulu. Satu di antaranya adalah tidak boleh lupa untuk mengucapkan salam ketika memasuki Lembah Gosong di atas Pos 1 dan Lembah Manding di atas Pos 2. Tak peduli itu hanya sekadar mitos atau bukan, anjuran tersebut pada dasarnya memang perlu dipatuhi sebab kandungan pesan kehati-hatian di dalamnya.

Dengan mengucapkan salam, setidaknya para pendaki akan lebih berhati-hati dalam bertindak; berucap; maupun mengambil keputusan. Misalnya saja akan mempertimbangkan jika ingin kencing, karena kencing sembarangan juga akan menimbulkan bau yang bisa mengganggu pendaki yang lain. Sederhananya, keharusan mengucapkan salam tersebut dapat meningkatkan kesantunan dalam bersikap dan kebijaksanaan dalam memutuskan suatu hal. Secara tidak langsung, mendaki Gunung Merbabu via Suwanting dapat membangun karakter seseorang menjadi lebih santun dan lebih bijaksananya. Senada dengan yang disampaikan Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, bahwa adab manusia ditentukan oleh lingkungan yang mengelilinginya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Merbabu lewat Jalur Suwanting appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-merbabu-via-suwanting/feed/ 1 29537
Pengalaman Pertama Mendaki Merbabu Malam Hari https://telusuri.id/pengalaman-pertama-mendaki-merbabu-malam-hari/ https://telusuri.id/pengalaman-pertama-mendaki-merbabu-malam-hari/#comments Sun, 20 Dec 2020 08:59:29 +0000 https://telusuri.id/?p=25967 2017, aku lupa tanggal berapa, yang jelas aku sedang gencar gencarnya menyusun jadwal naik gunung, dan di kesempatan mudik kala itu tak ku lewatkan untuk mendaki salah satu primadona gunung di Jawa Tengah, Merbabu. Gunung...

The post Pengalaman Pertama Mendaki Merbabu Malam Hari appeared first on TelusuRI.

]]>
2017, aku lupa tanggal berapa, yang jelas aku sedang gencar gencarnya menyusun jadwal naik gunung, dan di kesempatan mudik kala itu tak ku lewatkan untuk mendaki salah satu primadona gunung di Jawa Tengah, Merbabu. Gunung ini hanya berjarak 2 jam perjalanan motor dari kota kelahiran ayah dan ibuku, yaitu Klaten. Aku bersama dua orang sepupu, kami memacu motor selepas isya’ menuju basecamp Selo.

Singkat cerita kami sampai di basecamp sudah cukup larut karena harus mencari persewaan peralatan sekaligus sedikit tersesat perjalanan ke sana. Jalan yang menanjak dengan penerangan yang kurang menjadi faktor utama kami hampir tersesat, terlebih saat itu penunjuk jalan belum cukup memadai. Tepat pukul 23.00 kami memesan nasi goreng sebagai pengganjal perut. Aku kira, kami akan mendaki keesokan harinya, namun ternyata sepupuku mengajak langsung berangkat mendaki. Tepat sekitar jam 12.00 malam, kami mengencangkan tali sepatu.

Bawaan kami bertiga tidak cukup banyak, hanya aku yang berkeril 60l, Mas Aji hanya mengenakan daypack, sedangkan Mas Ulin malah lebih kecil lagi, yakni waist bag. Ya, perjalanan malam memang tentunya akan melelahkan, alih-alih kita tidak terpapar matahari yang mempercepat dehidrasi, namun yang terjadi sebenarnya ialah pernafasan kita akan berebut dengan pepohonan yang juga menghirup oksigen untuk keperluan metabolismenya. Jadi karena hal itulah, bawaan kami tidak terlalu banyak.

Mungkin yang ada di benak kalian, pendakian malam selalu berkaitan dengan peristiwa mistis. Tetapi, perjalanan kali ini akan aku ceritakan dengan logis. Ya, bukan karena diriku tak percaya akan hal gaib, namun lebih sepertistop mendramatisir hal-hal yang sukar ditangkap mata, alih-alih fokus terhadap hal itu, lebih baik fokuskan terhadap ancaman yang nyata. Karena tampaknya masih ada pendaki yang lebih takut terhadap hal gaib ketimbang ancaman nyata seperti kabut pekat, badai angin, atau mungkin cedera serta fraktur yang membayang-bayangi olahraga ini.

Gelap sudah pasti, jika ingin mendramatisir, gelap ini seperti berada di dimensi lain. Tapi sebenernya nggak juga sih, terkadang perasaan takut terhadap apa yang ada di balik kegelapan membuat kebanyakan dari kita berpikir yang tidak-tidak padahal fisik sedang lelah-lelahnya.Gunung Merbabu, Sabana 2

(Bukan) “ketempelan” di Merbabu

Pos 1 sampai Pos 2 dapat kami tempuh kurang lebih 90 menit. Meski jalur relatif landai, tak bisa kupungkiri, aku yang pertama kali mendaki malam, rasanya cukup sesak jika harus berbagi oksigen dengan pepohonan. Melelahkan.

Pertengahan menuju Pos 3 menjadi titik terberat untukku. Aku menawarkan diri untuk bertukar keril dengan Mas Aji, entah mengapa tiba-tiba keril yang biasa saja beratnya, menjadi sangat berat rasanya. Lalu, apa dengan bertukar bawaan akan mengatasi masalah itu?

Ternyata tidak. Daypack yang aku bawa rasanya sama beratnya dengan keril yang saat ini berada di punggung Mas Aji. Di bagian tengkuk, beratnya makin menjadi. Sebagian orang mungkin akan berpikir bahwa dirinya “ketempelan” atau semacamnya, dalam artian diri kita ditunggangi makhluk gaib. Tapi diriku tidak berpikir demikian, sebab apa?

Aku mencoba berpikir positif bahwasanya ini hanya masuk angin biasa, mengingat perjalanan di motor tanpa menggunakan jaket, serta diriku yang mungkin belum sempat aklimatisasi saat tiba di basecamp tadi. Kalau dipikir-pikir, waktu satu jam bukan waktu yang panjang untuk mempersiapkan pendakian ketika di basecamp pendakian.

Aku masih merasakan berat di daerah tengkuk, tapi masih kupaksa berjalan hingga akhirnya rasa nyeri mulai muncul di area perut. “Ah apa lagi ini,” pikirku.

Perjalanan melambat karena diriku, aku sering minta break hingga pada akhirnya, rasa nyeri di perut tak lagi dapat kutahan. Di sela-sela istirahat aku berbaring, sambil memutar cara bagaimana nyeri ini tak mengganggu lagi. Aku masih cukup yakin kami tidak diganggu makhluk gaib, suara murattal quran dari handphone Mas Ulin rasanya sudah lebih dari cukup untuk melindungi kami dari gangguan tak terjemahkan itu.

Disisi lain, aku tidak memiliki riwayat penyakit lambung, ataupun mengalami diare sebelum pendakian. Saat itu kurasa obat maag maupun obat diare tak akan banyak membantu. Akhirnya aku memilih untuk memuntahkan isi perutku, berharap nyeri tak lagi mengganggu. Aku menyodok bagian belakang lidah, dan “boom” nasi goreng yang tadi aku makan berhamburan keluar di bawah sorot lampu headlamp. Jackpot!

Entah mengapa badanku terasa lebih baik, nyeri di perut dan beban di tengkuk tidak begitu terasa lagi. Di bawah sinar rembulan, Mas Aji mengatakan wajahku tak lagi pucat seperti ketika kami bertukar ransel. Ya konon memang muntah adalah reaksi manusia ketika kontak dengan hal gaib. Tapi menurutku, aku hanya murni masuk angin dan kesalahanku tidak memberi waktu rehat setelah makan yang dalam bahasa kampung “nasi aja belum turun” namun aku langsung melakukan pendakian.

Summit di pagi hari adalah hal fana?

Kami sampai di Pos 3, bimasakti terlihat membentang di atas langit, sedangkan waktu di jam tangan menunjukkan pukul 02.30 pagi. Kami sepakat mendirikan tenda untuk istirahat dan melanjutkan perjalanan summit di pagi harinya. Ya meskipun aku tahu, summit pagi pagi adalah hal yang fana!

Setelah menghangatkan tubuh dengan teh tawar dan mie instan kami terlelap. Selama tidur, tidak ada hal yang mencurigakan, tenang dan nyaman. Aku yang terbiasa beristirahat ditemani dengan suasana senja, kali ini berganti dengan pelukan malam.

Karakter Gunung Merbabu yang berupa sabana membuatku bisa melihat gugus bintang secara lebih luas, bahkan tak terhalang pepohonan seperti di gunung-gunung di Jawa Barat pada umumnya. Pendakian pertamaku ke Merbabu rasanya sudah cukup indah, dalam hati aku berkata, walaupun nggak jadi summit pun tak apa. Perjalanan tadi, sudah cukup.

Dan benar saja, aku kesiangan! Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 saat aku terbangun. Suara riuh sayup sayup terdengar, Mas Aji dan Mas Ulin sudah duduk menikmati kopi di luar tenda. “Summit ora kowe?” celetuk Mas Aji dengan cangkir di tangannya. “Yo iyo no, aku wes adoh nyang mrene moso ora kepetuk Kenteng Songo,” aku membalas seolah itu tantangan dari Mas Aji. Padahal sebenarnya aku malas juga.

Aku gulung kembali sleeping bag, menyantap roti serta ngopi sebelum melakukan summit. Dari balik bibir gelas ku, sudah terlihat megah tanjakan Sabana 1 dengan orang orang yang terlihat kecil bak semut ingin masuk ke sarangnya.

Puncak Gunung Merbabu Kenteng Songo

Swafoto di puncak Gunung Merbabu, Kenteng Songo. Foto/M. Husein

Akhirnya ke Kenteng Songo

Jam 09.30 kami melangkah, pemilihan musim yang tepat rasanya menjadi kunci dalam mendaki Merbabu ini. Sebelum mendaki, aku biasa mendengar bahwa merbabu sangatlah berdebu, namun puji syukur kala itu, tanah yang kupijak sedikit gembur, saat itu musim sedang dalam masa peralihan hujan ke kemarau. Dengan pijakan yang mantap rasanya tak terlalu sulit melewati Sabana 1 dan Sabana 2 yang menunggu di balik punggungan ini. Sabana kami lewati dengan lancar, dengan sedikit berfoto tentunya!

Seusai tanjakan Sabana 2, kembali terlihat punggungan seperti jalur naga, orang-orang berjejer di trek itu. Trek yang kurang lebih hanya selebar satu meter, membuat para pendaki harus berhati-hati jika melewatinya. Namun ternyata, yang jadi masalah bukan ada pada treknya, tapi justru ada pada kaki ku sendiri. Cedera engkel akibat kecelakaan motor mulai menunjukkan rasa nyeri. Tak lagi dapat kutahan, aku harus melipir ke pinggir trek di bawah matahari yang semakin panas, tiada tempat berteduh. Sudahlah nyeri, panas pula. Ada kali, sekitar 30 menit aku mengistirahatkan kaki kiriku.

Pemandangan dari puncak Kenteng Songo

Pemandangan dari puncak Kenteng Songo. Foto/M. Husein

Setelah nyeri mereda kami melanjutkan pendakian, dan tibalah kami di puncak Gunung Merbabu yakni Kenteng Songo. Lautan awan sekaligus puncak merapi menyambut kami. Meski sudah pukul 12.00 siang, tapi cuaca tampak cerah. Kala itu hari Jum’at, namun meskipun weekday, suasana puncak cukup ramai.

Trek yang kami lalui tadi terpampang jelas di atas sini, seakan tak percaya aku melewati trek itu. Terik matahari tak lagi dapat kutahan, aku yang terbiasa mendaki gunung jawa barat dengan hutannya yang sangat teduh, rasanya tidak ada apa apanya dengan pendaki lokal daerah sini yang kuat sekali menahan panas. Hanya sekitar 30 menit aku di Kenteng Songo lalu memutuskan turun kembali ke tenda.

Menurutku, Merbabu termasuk gunung dengan pemandangan yang apik sabana membentang sepanjang jalur pendakian, dan tentu saja hamparan edelweiss bisa menjadi taman bermain bagi pendaki. Warna-warni tenda seolah memberi nyawa terhadap lukisan diatas kanvas hijau ini. Dengan punggungan bukit yang bergelombang, rasanya tak berlebihan jika kata rindu bersanding dengan Merbabu.

Meski ada sedikit kendala, aku merasa pendakian malam dan pertamaku ke Merbabu terasa lancar. Berjalan bersama orang-orang yang cukup rasional, membuatku nyaman dalam melewati masalah semalam. Meski kejadian tadi malam bukan pertama kalinya terjadi, namun aku masih bisa berpikir positif agar suasana tak makin runyam. Aku percaya ada makhluk lain di sekitar kita, namun bukan berarti kita menjadi takut. Bagiku cukup sandarkan perlindungan diri kita terhadap tuhan di kepercayaan kita masing-masing.

Barangkali untuk kamu, pembahasan mengenai tuhan, agama, dan makhluk gaib bukan menjadi sesuatu dipikirkan secara rasional. Meski begitu, sesuai kepercayaanku, aku meyakini bahwasannya selalu ada tuhan yang senantiasa akan membantu kita dalam kesulitan. Tidak terkecuali saat kita berada di gunung, tempat yang ramai akan makhluk tak kasat mata ini. 

Melalui tulisan ini aku hanya ingin mengajak para pendaki mulai lebih fokus terhadap ancaman yang nyata, tak terhasut kepada yang tak kasat mata. Hipotermia, cuaca buruk, ataupun kedaruratan medis lebih mengancam nyawa kita kala di gunung. Akhir kata, semoga bertemu di jalur pendakian, see you!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pengalaman Pertama Mendaki Merbabu Malam Hari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pengalaman-pertama-mendaki-merbabu-malam-hari/feed/ 2 25967