minangkabau Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/minangkabau/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:15:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 minangkabau Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/minangkabau/ 32 32 135956295 Mengenal Rendang Lebih Dalam https://telusuri.id/mengenal-rendang-lebih-dalam/ https://telusuri.id/mengenal-rendang-lebih-dalam/#respond Mon, 14 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46625 Indonesia kaya kuliner yang bercita rasa lezat dan dikenal hingga kancah internasional, di antaranya rendang khas Sumatera Barat. CNN Indonesia pada 2021 pernah menobatkan rendang sebagai makanan nomor satu terenak di dunia melalui polling di...

The post Mengenal Rendang Lebih Dalam appeared first on TelusuRI.

]]>
Indonesia kaya kuliner yang bercita rasa lezat dan dikenal hingga kancah internasional, di antaranya rendang khas Sumatera Barat. CNN Indonesia pada 2021 pernah menobatkan rendang sebagai makanan nomor satu terenak di dunia melalui polling di media sosial1. Taste Atlas sebagaimana dilansir Kompas.com pada 2024 juga menyatakan rendang sebagai salah satu masakan Indonesia terbaik dunia setelah rawon, pempek, nasi goreng ayam, dan gulai2.

Di level nasional, rendang masuk ke dalam daftar “30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia” yang dicanangkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, pada akhir tahun 20123. Bondan Winarno juga memasukkan rendang ke dalam daftar 100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia pada bukunya dengan judul yang sama (2013).

Tahun 2018, rendang secara resmi ditetapkan sebagai salah satu dari lima hidangan nasional (national food) Indonesia oleh Kementerian Pariwisata. Lima hidangan itu, selain rendang, ada soto, sate, nasi goreng, dan gado-gado4.

Semua itu menunjukkan posisi rendang dalam peta kuliner Indonesia dan dunia. Buku Randang Bundo (2019) karya Wynda Dwi Amalia adalah salah satu buku yang secara khusus mengupas rendang. Buku ini merupakan konversi dari naskah tugas akhir Wynda Dwi Amalia pada jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) di President University. 

Darah Minang yang mengalir dari kedua orang tua hingga kakek dan neneknya, serta kecintaannya terhadap makanan lokal, menjadikan Wynda yang lahir di Magelang, 12 Maret 1995 itu tertantang untuk mengangkat rendang sebagai bahan kajian tugas akhirnya.   

Dalam buku setebal 120 halaman, Wynda secara khusus mengupas rendang secara komprehensif, mulai dari sejarah, keunikan, ragam, bahan baku, teknis pengolahan, hingga varian. Pada setiap bahasan, Wynda melengkapinya dengan infografis yang menarik, sesuai disiplin ilmu yang dikuasai, sehingga pembaca mudah menangkap saripati informasi yang ia sajikan.

Mengenal Rendang Lebih Dalam
Sampul buku Randang Bundo via Gramedia Digital

Asal Usul Nama dan Sejarah Rendang

Dalam bab “Mengenal Rendang”, Wynda menyatakan bahwa sesungguhnya di kota asal makanan ini, Sumatra Barat, orang setempat menyebutnya randang. Randang berasal dari kata “marandang”, yaitu memasak santan hingga kering secara perlahan. Namun, realitasnya rendang lebih populer dan familiar daripada randang. Bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga tertulis entri rendang, bukan randang.

Dari sisi sejarah, rendang telah menempuh perjalanan yang sangat panjang. Para peneliti menduga rendang telah ada sejak abad ke-16. Catatan mengenai rendang mulai ditulis secara masif pada awal abad ke-19. Menurut Wynda, seorang peneliti pernah mencoba menjelaskan beberapa literatur yang tertulis pada abad ke-19. Literatur tersebut antara lain menyebutkan bahwa masyarakat Minang di daerah darek (darat) biasa melakukan perjalanan menuju Selat Malaka hingga ke Singapura yang memakan waktu kira-kira satu bulan melewati sungai. Para perantau menyiapkan bekal rendang yang tahan lama karena sepanjang jalan tidak ada perkampungan.

Catatan harian Kolonel Stuers pada tahun 1827 tentang kuliner dan sastra menyebutkan secara implisit deskripsi kuliner yang diduga mengarah pada rendang. Di situ tertulis istilah makanan yang dihitamkan dan dihanguskan, yang menurut seorang peneliti, merupakan salah satu metode pengawetan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Minang. 

Versi lainnya menyebutkan, diduga dasar pembuatan rendang berasal dari masakan kari khas India yang diperkenalkan pada abad ke-15. Hal ini sangat mungkin mengingat adanya kontrak perdagangan dengan India ketika itu. Dipercaya bahwa pada abad ke-14, sudah banyak orang India yang tinggal di daerah Minang, dan bumbu serta rempah-rempah sudah diperkenalkan oleh orang-orang tersebut.

Ahli waris takhta Kerajaan Pagaruyung juga membuka adanya kemungkinan bahwa rendang merupakan kari yang diproses lebih lanjut. Bedanya, rendang memiliki sifat yang lebih kering, sehingga bisa jauh lebih awet jika dibandingkan dengan kari.

Mengenal Rendang Lebih Dalam
Proses pengolahan rendang via ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Proses Pengolahan Marandang

Dalam bab “Pengolahan Randang”, Wynda mengulas prosesnya sejak menyiapkan alat hingga bahan membuat rendang. Soal bahan ini, Wynda membaginya dalam empat kategori bahan.

Pertama, bahan utama meliputi daging sapi, cabai merah, dan kelapa. Kedua, bahan basah meliputi bawang putih, bawang merah, lengkuas, dan jahe. Ketiga, bahan kering meliputi ketumbar, cengkih, jintan, lada jawa, merica, kapulaga, pekak, kayu manis, adas manis, dan pala. Keempat, dedaunan meliputi daun salam, daun serai, dan daun jeruk. 

Setelah menyiapkan bahan, barulah mulai memasak rendang. Proses memasak rendang diulas cukup detail. Menurut Wynda, mengolah rendang membutuhkan waktu yang agak sedikit lama karena masakan ini melalui proses karamelisasi. Semakin banyak rendang yang diolah, waktu yang dibutuhkan akan lebih lama, minimal sekitar empat jam dan maksimal delapan jam.

Dalam proses karamelisasi, menurut Wynda, rendang melalui tiga tahap pemasakan yang bisa langsung dinikmati. Ketiga proses tersebut menghasilkan sensasi masakan yang berbeda-beda, yaitu gulai, kalio, dan kemudian tahap akhirnya menjadi rendang.

Cara menandakan sebuah masakan itu sudah menjadi gulai, kalio, atau rendang, bisa dilihat dari warna dan bentuknya. Gulai bertekstur lebih encer dan berwarna kuning keemasan. Butuh kurang lebih satu jam hingga masakan menjadi gulai.

Setelah masakan terlihat mengeluarkan minyak yang berwarna merah, saat itulah masakan tersebut sudah bisa disebut kalio. Adapun rendang merupakan tahapan akhir proses karamelisasi, ketika masakan sudah terlihat coklat kehitaman dan berminyak.

Informasi Wynda selaras dengan yang ditulis dalam buku 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia (2015). Di buku itu disebutkan, bila rendang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai caramelized beef curry, maka kita pun jadi memahami definisi serta proses pembuatan sajian istimewa ini. Prinsipnya diawali dengan membuat gulai atau kari daging sapi, yang terus dimasak dengan api kecil sampai reduced dan terjadi karamelisasi. Artinya, bila belum sampai terjadi karamelisasi, belum bisa disebut rendang. Rendang “setengah jadi” itu dikenal dengan nama kalio. Masakan kalio inilah yang di Malaysia diaku sebagai rendang.

Kandungan Makna Rendang

Keistimewaan rendang tidak hanya terletak pada bahan yang kompleks, proses pembuatannya yang butuh waktu ekstra sehingga melahirkan masakan lezat, tetapi juga kandungan maknanya. Bagi masyarakat Minang, rendang memiliki posisi yang terhormat dan di dalamnya mengandung sejumlah arti dan makna yang mendalam. Pada subbab “Randang Memiliki Arti”, Wynda mengupas arti dan makna rendang ditinjau dari pelbagai macam bahan yang digunakan.

Pertama, rendang berbahan utama dagiang atau daging sapi. Daging melambangkan niniak mamak dan bundo kanduang, yang akan memberi kemakmuran pada anak pisang dan anak kemenakan.

Bahan kedua adalah karambia atau kelapa, yang melambangkan kaum intelektual atau dalam bahasa Minang disebut cadiak pandai. Mereka merekatkan kebersamaan kelompok maupun individu.

Ketiga, lado atau sambal sebagai lambang alim ulama yang tegas dan pedas dalam mengajarkan agama. Bahan terakhir adalah pemasak atau bumbu yang melambangkan bahwa setiap individu memiliki peran sendiri-sendiri untuk memajukan hidup berkelompok dan unsur terpenting dalam hidup bermasyarakat di Minang.

Begitulah keluhuran makna simbolis dan filosofis di balik kelezatan rendang daging sapi khas Minang.

Mengenal Rendang Lebih Dalam
Sajian rendang via frisianflag.com

Variasi Rendang

Meski sejauh ini rendang identik dengan daging sapi, tetapi sesungguhnya rendang khas Sumatra Barat memiliki banyak varian. Varian rendang ini bukan hasil kreasi atau turunan dari rendang daging sapi, melainkan resep warisan leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi. Setiap daerah di Minangkabau memiliki ciri khas masing-masing.

Menurut Wynda, jika dihitung, jenis dan variasi rendang Sumatra Barat lebih dari 12 jenis, mulai dari berbahan baku daging, dedaunan, hingga buah. Misalnya ada rendang pensi khas Danau Maninjau. Maninjau berada di pesisir Pulau Sumatra dan karena daerah ini dekat dengan pantai, hasil laut dijadikan olahan makanan sehari-hari. Pensi adalah sejenis kerang yang berukuran cukup kecil, ketika diolah menjadi rendang, kulit dari kerang disisihkan hingga menyisakan dagingnya saja.

Rendang pensi biasanya menggunakan tambahan lain, yaitu daun pakis, yang diolah lebih kering dan tidak terlalu hitam. Terkadang rendang pensi diberi tambahan kelapa parut ke dalam kuah santan.

Ada lagi rendang lokan khas Painan. Lokan adalah kerang dengan cangkang cukup besar dan berasal dari muara sungai. Ada lagi rendang baluik alias rendang belut khas Batusangka. Lalu ada rendang itiak alias rendang itik dan rendang jariang alias rendang jengkol. Keduanya khas Bukittinggi. Dan banyak lagi.

Buku ini kiranya penting dibaca dan dikoleksi, terutama bagi para pencinta kuliner Indonesia yang ingin meneroka dan mengenal seluk beluk rendang secara lebih mendalam dan komprehensif. Tak hanya mengungkap rendang dan cerita-cerita menarik di baliknya, buku ini juga mengungkap resep rahasia membuat rendang yang lezat asli warisan Sang Bundo yang telah digunakan sejak zaman dahulu. 

Foto sampul: Rendang, makanan khas Sumatra Barat via Gramedia.com/Instagram Randang Bundo


Judul: Randang Bundo
Penulis: Wynda Dwi Amalia
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: 120 halaman
ISBN: 978-602-06-2305-4


  1. CNN Indonesia, “Rendang Kembali Masuk Daftar Makanan Terbaik Dunia Versi CNN”, 5 Mei, 2021, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210505125719-262-638829/rendang-kembali-masuk-daftar-makanan-terbaik-dunia-versi-cnn. ↩︎
  2. Kompas.com, “5 Masakan Indonesia Jadi Makanan Terbaik Dunia Versi Taste Atlas Awards, Apa Saja?”, 12 Desember, 2024, https://www.kompas.com/tren/read/2024/12/12/070000565/5-masakan-indonesia-jadi-makanan-terbaik-dunia-versi-taste-atlas-awards-apa?page=all. ↩︎
  3. Kompas.com, “Inilah 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia”,14 Desember, 2012, https://travel.kompas.com/read/2012/12/14/17232630/~Travel~News. ↩︎
  4. Kompas.com, “Kemenpar Tetapkan 5 Makanan Nasional Indonesia, Ini Daftarnya”, 10 Apri, 2018, https://travel.kompas.com/read/2018/04/10/171000627/kemenpar-tetapkan-5-makanan-nasional-indonesia-ini-daftarnya?page=all. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenal Rendang Lebih Dalam appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenal-rendang-lebih-dalam/feed/ 0 46625
Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat https://telusuri.id/masjid-tuo-kayu-jao-sumatra-barat/ https://telusuri.id/masjid-tuo-kayu-jao-sumatra-barat/#respond Mon, 10 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45895 Menyambut rentetan tanggal merah di akhir Januari 2025, saya dan istri berniat mengajak anak kami pergi liburan. Sebagai orang tua yang sama-sama bekerja, ini adalah kesempatan yang pas untuk membawanya bepergian dan mendapat hiburan, selain...

The post Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
Menyambut rentetan tanggal merah di akhir Januari 2025, saya dan istri berniat mengajak anak kami pergi liburan. Sebagai orang tua yang sama-sama bekerja, ini adalah kesempatan yang pas untuk membawanya bepergian dan mendapat hiburan, selain bermain bola dan memetik rambutan yang sedang berbuah di halaman rumah.

Setelah berdiskusi cukup lama, kami sepakat untuk pergi berdarmawisata ke daerah Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat. Kami memilih tempat ini untuk menghindari lokasi wisata lainnya yang sudah overtourism. Saya dan istri lebih suka tempat yang santai. Namanya juga pergi untuk healing, jangan sampai kami malah stres karena harus terjebak macet dan berenang di lautan manusia.

Pada hari Senin (27/1/25) pukul 09.00 WIB, dengan mengendarai mobil, saya dan keluarga sudah memasuki kawasan Alahan Panjang. Menyusuri jalan yang masih mulus, menghirup udara segar ditemani panorama alam yang hijau dan asri sepanjang jalan.

Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
Hamparan kebun teh milik PT Perkebunan Nusantara di kawasan Alahan Panjang/Adzkia Arif

Bagi saya, kawasan Alahan Panjang sangat nyaman dan tidak terlalu padat pengunjung bila dibandingkan dengan lokasi wisata favorit lainnya di Sumatra Barat. Tujuan kami adalah wisata petik stroberi yang ada di kawasan ini. Mengingat anak kami suka sekali buah merah tersebut, tentu ia akan senang juga apabila bisa memetiknya langsung di kebun. 

Dalam perjalanan ke sana kami disambut oleh hamparan perkebunan teh yang hijau. Katanya melihat warna hijau dapat menghilangkan lelah mata dan mengurangi stres akibat bekerja.

Memacu mobil pada kecepatan 60 km/jam sambil mengamati sisi kiri dan kanan jalan, saya melihat sebuah gapura berwarna hitam putih yang menarik perhatian. Gapuranya cukup tinggi dan muat dilewati oleh satu badan mobil. Di atasnya terdapat tulisan “Selamat Datang, Masjid Tuo Kayu Jao”.

Melihat itu saya teringat pada konten berjudul “5 Masjid Terindah di Sumatera Barat” yang muncul di Instagram, salah satunya adalah Masjid Tuo Kayu Jao. Maka saya pikir, setelah memetik stroberi kami harus singgah ke tempat ini.

Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
Pintu masuk menuju Masjid Tuo Kayu Jao/Adzkia Arif

Masjid Tua dengan Alam yang Asri

Sekembalinya dari memetik stroberi, saya menunaikan hasrat untuk singgah dan melihat Masjid Tuo Kayu Jao. Lokasi di Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok.

Masuk melewati gapura, saya menyetir mobil dengan pelan karena yang dilalui adalah jalan desa padat penduduk. Melewati jalan lurus menurun sekitar satu kilometer, saya bertemu turunan jalan yang cukup curam dan berbelok. Di bawah sanalah bangunan Masjid Tuo Kayu Jao berada. Melihat kondisi medan yang dilalui, saya sarankan bagi yang ingin ke sini untuk menggunakan sepeda motor atau mobil keluarga saja, kendaraan besar seperti bus wisata tampaknya tak bisa masuk dan mencapai lokasi.

Melihat langsung Masjid Tuo Kayu Jao, betul kata video Instagram yang saya lihat itu, masjid ini indah dan membawa suasana dari masa lampau yang damai. Seluruh bangunan terdiri dari material kayu dengan warna hitam yang khas serta atap dari ijuk yang sudah ditumbuhi lumut, memperkuat kesan klasik dari masjid yang dibangun dengan bentuk empat persegi dan atap bergonjong.

Melihat bentuknya, arsitektur Masjid Tuo Kayu Jao jelas dipengaruhi oleh corak Minangkabau. Pada zaman dahulu, masjid ini tidak hanya digunakan untuk ibadah dan syiar Islam saja, tetapi juga sebagai tempat musyawarah tiga jorong (desa) yang berada di sekitar masjid. Masjid ini juga difungsikan sebagai tempat musyawarah untuk menentukan strategi dalam melawan penjajah, bahkan digunakan sebagai tempat penyimpanan senjata rahasia. (Harun dkk, 2019).

Udara di sekitar masjid sangat sejuk. Diramaikan suara aliran sungai yang terdapat di samping masjid, sekaligus menjadi sumber air di sini.

Saya masih berada di masjid hingga azan zuhur berkumandang. Sewaktu mengambil wudu untuk menunaikan salat, dinginnya air terasa sangat segar dan menghilangkan rasa lelah. Tak lama setelah azan selesai dikumandangkan, jemaah mulai datang dan mengisi saf-saf masjid, baik laki-laki maupun perempuan.

  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat

Kisah Turun-temurun Berusia Ratusan Tahun

Selesai beribadah, rasa ingin tahu saya tentang masjid ini membuat saya memberanikan diri untuk menyapa imam yang memimpin salat Zuhur berjemaah tadi. Namanya Dani Darmansyah, Imam Nagari Batang Barus yang biasa memimpin salat jemaah disini. Saya awali percakapan dengan menanyakan tahun pendirian Masjid Tuo Kayu Jao.

“Kalau tahunnya itu, sekitar tahun 1419, Pak. Dari cerita nenek ke nenek, masjid ini sudah dibangun oleh leluhur dari zaman dahulu,” cerita Pak Dani.

Kalau dihitung dalam angka, usia masjid sudah sekitar enam abad, tepatnya 606 tahun. Tak ada lagi manusia hidup yang melihat sendiri pembangunan masjid ini, makanya hanya bisa diketahui melalui kisah yang diceritakan secara turun-temurun.

Namun, dalam jurnal Harun dkk (2016) berjudul “Pelestarian Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao di Sumatera Barat”, dituliskan bahwa masjid dibangun sekitar tahun 1567. Jika dihitung, maka usia masjid saat ini kurang lebih 458 tahun.

Kayu yang menjadi material bangunan masjid ini bernama kayu jao. Saya terkagum dengan kokohnya bangunan masjid ketika mengetahui bahwa materialnya tak pernah diganti sejak awal dibangun. Hal ini juga termaktub dalam jurnal Suwito dan Sari (2022), bahwa Masjid Tuo Kayu Jao tetap terjaga keaslian bangunannya tanpa ada perubahan pada struktur dan arsitekturnya.

Meski ada lubang-lubang rayap di badan kayu, ketika dipukul masih terasa kokoh dan kerasnya kayu pada bangunan ini. Ketika disentuh, kayu ini terasa dingin, membuat masjid terasa sejuk. Pak Dani menambahkan, yang pernah diganti dari masjid ini hanya tiang tengahnya saja. Itu pun bukan karena lapuk, melainkan karena tiang yang begitu besar sehingga menyulitkan penerangan di sisi-sisi dalam masjid.

“Ceritanya dahulu, tiang tengah itu adalah sebatang kayu, saking besarnya, baru bisa dipeluk jika ada empat orang dewasa yang berpegangan tangan melingkari tiang tersebut,” kata Pak Dani.

  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat

Kandungan Falsafah pada Arsitektur Masjid

Tak puas hanya dengan mendengar cerita dari Pak Dani, saya juga mewawancarai Pak Awal. Nama lengkapnya Aguswal Rianto. Beliau merupakan pengurus masjid ini.

Dengan semangat Pak Awal menceritakan bahwa Masjid Tuo Kayu Jao dibangun oleh Syekh Masyhur. Hal ini juga tertera dalam situs web kebudayaan.kemdikbud.go.id, masjid ini dibangun oleh dua orang tokoh, yaitu Angku Masaur (Angku Masyhur) dan Angku Labai. 

Pak Dani menjelaskan setiap bagian pada bangunan masjid dibuat dengan nilai falsafah yang kuat. Tangga, jendela, dan tiang yang ada pada masjid, memiliki jumlah ganjil yang menggambarkan rukun Islam dan rukun salat. Memang kedua rukun ini jumlahnya ganjil, rukun Islam ada lima, sedangkan rukun salat ada tiga belas.

Beralih ke atap masjid, dengan gonjong ciri khas bangunan tradisional Minangkabau yang dibuat tiga tingkat. Ketiga tingkatan ini bermakna Tigo Tungku Sajarangan, yaitu niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Dalam falsafah adat Minangkabau, Tigo Tungku Sajarangan merupakan konsep kepemimpinan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Niniak mamak merupakan pemimpin yang mengatur adat istiadat dan menjaga tradisi masyarakat Minangkabau. Alim ulama bertugas memimpin dalam aspek spiritual dan moral masyarakat, sedangkan cadiak pandai merupakan kelompok intelektual yang memiliki pengetahuan serta wawasan luas untuk memberi saran pembangunan dan kemajuan masyarakat Minangkabau.

  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat
  • Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat

Beberapa Kisah Spiritual dari Masjid Tuo Kayu Jao

Mimbar masjid pernah dipindahkan ke masjid yang lebih besar oleh pemerintah. Pak Dani bercerita, pasca mimbar dipindahkan, masjid ini terasa seperti bergetar tiap harinya. Sampai ada jemaah masjid yang bermimpi bahwa tetua masjid marah karena mimbarnya dipindahkan. Akhirnya setelah mimbar dikembalikan ke tempat asalnya, masjid tak lagi bergetar.

Ada lagi cerita dari Pak Awal, masjid ini posisi mihrabnya selalu bergeser mengikuti arah kiblat. Ia meyakinkan hal ini dapat diuji sendiri oleh para jemaah, boleh diukur dengan aplikasi pencari arah kiblat atau alat lainnya. Jika pada masjid lain, pergeseran kiblat membuat karpet harus diubah posisinya. Lain halnya dengan Masjid Tuo Kayu Jao, bangunan masjid akan bergeser sendiri mengikuti perubahan arah kiblat.

Pak Dani menyarankan, jika ingin merasakan sensasi beribadah yang lebih khusyuk, cobalah datang melaksanakan salat malam di sini. Suasana malam yang hening dan sepi, akan membawa kita dalam kondisi yang begitu tenang untuk bersujud dan meminta ampunan pada Sang Maha Pengampun Dosa.


Referensi

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. (2019, 30 Agustus). Masjid Tuo Kayu Jao. [Artikel]. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/masjid-tuo-kayu-jao.
Harun, D. F., Antariksa, & Ridjal, A. M. Pelestarian Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao Di Sumatera Barat. (2016). Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya, Vol. 4, No. 2. https://arsitektur.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jma/article/view/208.
Harun, D. F., Antariksa, & Ridjal, A. M. (2019). Pelestarian Arsitektur Bangunan Masjid Tuo Kayu Jao Sumatera Barat. Yogyakarta: Maha Karya Pustaka.
Suwito, R. A. & Sari, D. M. (2022). Motion Graphic Masjid Tuo Kayu Jao di Jorong Kayu Jao, Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. DEKAVE: Jurnal Desain Komunikasi Visual Universitas Negeri Padang, Vol. 12, No. 3. http://dx.doi.org/10.24036/dekave.v12i3.118368.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masjid-tuo-kayu-jao-sumatra-barat/feed/ 0 45895
Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2) https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-2/ https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-2/#respond Thu, 13 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39288 Kuda bendi yang saya tumpangi melaju menembus jalanan utama kota. Embusan angin yang sedikit menusuk kulit membuat Azzahra sesekali memeluk lengannya. Seperti turis baru saja rasanya. Melalui telepon genggam, saya melihat temperatur udara sore itu...

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kuda bendi yang saya tumpangi melaju menembus jalanan utama kota. Embusan angin yang sedikit menusuk kulit membuat Azzahra sesekali memeluk lengannya. Seperti turis baru saja rasanya. Melalui telepon genggam, saya melihat temperatur udara sore itu sekitar 23°C. Cukup dingin bagi kami yang biasa merasakan suhu sore di atas 30°C. Tak mengapa. Tetap menyenangkan. 

Son memberikan nomor telepon genggamnya pada saya. Sebelum menurunkan kami, ia berujar, “Beko kalo nio naiak bendi baliak, a talepon sajo awak, buliah wak japuik sajo ka rumah, jadi indak payah na beko jalan ka pasa mancari bendi, a bia kaliliang-kaliang adiak baliak (nanti kalo mau naik bendi lagi, bisa telepon saya saja, saya bisa jemput ke rumah, jadi tidak perlu susah jalan ke pasar buat cari bendi, nanti bisa keliling-keliling lagi).”

“A jadih pak, beko kalo nio naiak bendi liak, wak talepon apak yo, jan maha-maha ongkosnyo dak, Pak! (Baik, Pak, nanti kalau saya naik bendi lagi, saya akan telepon Bapak, tetapi ongkosnya jangan mahal-mahal ya, Pak!),” jawab saya sembari turun dan memberikan sejumlah uang. 

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2)
Melintasi jalanan dengan menaiki kuda bendi/Atika Amalia

Strategi Kusir Bendi Menarik Penumpang

Semenjak banyaknya transportasi modern yang semakin bertambah, sejalan dengan kepentingan individu yang berbeda, peminat kuda bendi cenderung menurun drastis. Setiap kusir bendi harus memiliki strategi baru untuk memikat penumpang agar memanfaatkan jasa mereka sebagai sarana transportasi. Seperti Son, yang mempunyai trik dengan memberikan nomor telepon pada penumpang bendinya. Ia berharap penumpang tersebut dapat lebih mudah mencari Son ketika ingin kembali berjalan-jalan dengan bendi.

Tarif kuda bendi yang kita bayarkan adalah tarif yang lebih dahulu disepakati di awal. Penentuan penghitungan tarif berdasarkan tujuan dan jarak tempuh. Son harus berpacu dengan penyedia jasa transportasi lainnya, agar kebutuhan rumah tangga dan perawatan kuda dapat terpenuhi.

“Samanjak urang-urang banyak nan mambali onda kredit, lah jarang bana ado nan nio naiak bendi (semenjak orang-orang banyak yang membeli motor secara kredit, jadinya jarang yang mau naik bendi lagi),” tutur Son.

Menurut dia, masyarakat yang tadinya menggunakan jasa bendi, sekarang beralih ke transportasi modern, seperti sepeda motor. Apalagi kendaraan roda dua sangat mudah untuk mendapatkannya. Jika tidak punya uang untuk membeli sepeda motor secara tunai, dealer akan menawarkan kredit kepada calon pembeli. Hal ini semakin memengaruhi minat masyarakat terhadap kuda bendi. 

“Yo kini bendi ko masih ado, tapi indak sabanyak dulu lai, nan banyak naiak bendi ko kini you urang-urang wisata, parantau nan pulang kampuang atau anak-anak ketek (ya, bendi ini sekarang masih ada, tetapi tidak sebanyak dulu, peminat bendi itu sekarang adalah orang-orang wisata, perantau yang pulang kampung, atau anak-anak kecil),” Son berbicara pergeseran segmen penumpang kuda bendi.

Bagi Son, jasa bendi yang ia tawarkan bukan lagi mata pencaharian utama. Pagi hingga siang hari, Son melakukan pekerjaan lain. Baru sorenya mencari penumpang dengan kuda bendi. 

Dalam kesempatan berbeda, Riko, kusir bendi yang pernah saya temui, menceritakan hal serupa. Terjadi penurunan jumlah peminat dan penumpang kuda bendi, sehingga berpengaruh pada jumlah pemasukan harian para kusir. Perawatan dan pemberian pakan untuk kuda-kuda harus terus berjalan, sementara uang masuk para kusir bendi tidak sebanyak dahulu. 

Riko yang berprofesi sebagai kusir bendi lebih dari 20 tahun ini punya strategi pemasaran yang berbeda dengan Son. Setiap penumpang yang naik bendinya akan ia tawarkan untuk perjalanan pulang dan pergi. Jadi, Riko akan mengantarkan penumpang ke tujuan kemudian menunggu penumpangnya selesai. Selanjutnya ia membawa penumpang itu kembali ke tempat awal sehingga bisa menambah pemasukan. 

“Dari pado baliak kosong, jadi ancak tungguan se penumpang ko, rato-rato kan urang-urang ko balanjo sabanta jadi beko pulang baliak baok balanjonyo (Daripada balik harus kosong, mending penumpangnya ditungguin saja, rata-rata mereka belanja kan sebentar jadi nanti pulang kembali bawa penumpang itu lagi dan barang belanjaannya),” ujar Riko.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2)
Riko memperlihatkan jambul yang terpasang di kepala kuda/Atika Amalia

Tantangan Besar untuk tetap Bertahan

Pada kesempatan lain, saya juga pernah menumpang salah satu bendi─saya lupa nama kusirnya─beliau menuturkan bahwa perawatan kuda juga harus optimal. Sama seperti manusia, ada makanan utamanya, yaitu sagu dan rumput, kemudian camilan macam pisang dan sayur-sayuran, juga vitamin.

Kuda juga memiliki waktu istirahat siang. Untuk memenuhi kebutuhan kuda, beliau memiliki cara sendiri untuk menarik pelanggan. Jadi, siang hari kuda beroperasi seperti biasa sesuai jalur permintaan penumpang. Kemudian malam harinya, beliau akan memasangkan kuda yang berbeda pada bendi yang sama dan menghiasinya dengan lampu kelip-kelip. Sang kusir juga menyalakan musik sehingga penumpang merasakan perbedaan suasana saat menaiki kuda bendi.

“Awak ado duo kuda, jadi kuda iko siang beko kuda yang ciek lai malam. Tapi bendi yang dipakai samo, tingga di bukak tu pasang ka kuda cieklai, iduikan lampunyo (saya punya dua kuda, jadi siang saya pakai kuda yang ini, kalau malam pakai kuda satunya lagi. Tapi, bendi yang dipakai sama, nanti dibuka kudanya terus dipasangkan ke kuda yang satunya lagi, lampu hiasan bendi dinyalakan),” tuturnya. 

“Jadi, kita harus kreatif, ya, Pak?” saya menyahut.

“Iyo harus bapikia wak, kalo indak tu dak ado nan nio naiak bendi lai (iya, kita harus berpikir, jika tidak, gak ada lagi yang mau naik bendi),” jawab beliau sembari menarik tali pengikat kuda.

“Tapi bendi ko terlalu maha tarifnyo Pak daripado wak naiak ojek (tetapi bendi ini tarifnya terlalu mahal, Pak, daripada naik ojek),” kelakar saya.

“iyo batua, baa dak kamaha, makan kuda ko se banyak, pisang tu untuk sneknyo se sasikek tu ha, pisang bara kini, alun lo biaya lain-lainnyo, ditambah yang naiak dak banyak lai (iya, betul, bagaimana tidak mahal, kuda itu makannya banyak, pisang untuk camilan saja sekali makan itu habis satu sisir, sementara harga pisang juga mahal, belum lagi biaya lainnya yang juga semakin tinggi),” jelas beliau sambil tertawa.

Saya menyadari, bendi sebagai alat angkut tradisional yang masih bertahan hingga saat ini, adalah sesuatu yang cukup istimewa di tengah gempuran berbagai jenis transportasi modern. Persaingan kuda bendi pun cukup ketat. Tarif jasanya yang bisa dua kali lipat lebih mahal daripada ojek daring membuat peminatnya semakin menurun.

Para kusir bendi harus lebih kreatif dan berinovasi untuk menarik pelanggan kembali menggunakan jasanya. Selain itu, sebagai pengguna, saya berpendapat bahwa tarif yang sedikit lebih mahal sama halnya dengan membeli kenangan dan merawat budaya. Saya tidak merasa rugi terhadap harga yang saya bayarkan.

Melalui tulisan ini, saya mengajak masyarakat agar terus melestarikan kendaraan tradisional, seperti kuda bendi dengan pelbagai cara. Baik itu menumpang maupun mempromosikan kuda bendi melalui media apa pun dalam bentuk tulisan dan gambar. Tujuannya merawat salah satu warisan budaya Indonesia agar tidak punah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-2/feed/ 0 39288
Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1) https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-1/ https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-1/#respond Wed, 12 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39277 Tahun ini adalah kedua kalinya saya pulang ke tanah kelahiran, Payakumbuh. Kota yang menjadi saksi perjalanan hidup hingga remaja. Raut wajah lelah ibunda dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih menyambut kepulangan saya. Betapa tidak, saya...

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tahun ini adalah kedua kalinya saya pulang ke tanah kelahiran, Payakumbuh. Kota yang menjadi saksi perjalanan hidup hingga remaja. Raut wajah lelah ibunda dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih menyambut kepulangan saya. Betapa tidak, saya pulang untuk melihat ayahanda yang sedang dalam masa pemulihan pasca kecelakaan lalu lintas beberapa bulan sebelumnya.

Langit biru menyapa saya sore itu. Angin segar pepohonan seolah mengusap lembut wajah. Gerombolan burung-burung kecil sesekali melintas melewati atap rumah. Kambing-kambing yang akan pulang ke kandang mengembik kegirangan tanda perut sudah kenyang. Dan penjaja makanan malam sudah mulai mempersiapkan lapak dagangan. 

“Damai dan nyaman sekali,” gumam saya dalam hati.

Saya mengajak putri kecil saya, Azzahra, melihat salah satu sungai yang berada tak jauh dari rumah ibunda. Ia bernyanyi kecil dan sekali-sekali meloncat kegirangan. Itulah yang saya lihat darinya. Senang sekali tampaknya. Hari-hari sore yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk suara kendaraan ibu kota, tetapi kali ini berbeda. Sebuah pemandangan baru baginya. 

“Seru, ya?” ucapku.

“Ada sungai di sana,” jawab Azzahra dengan wajah yang masih berbinar. Kadang-kadang ia gosokkan sandal jepit merah yang baru saya beli di warung ke rerumputan. Mencari bunga putri malu untuk ia sentuh.

Gak ada putri malu, Bunda,” ujarnya.

“Belum kelihatan, ya, dari tadi.” Saya sambil menunduk untuk melihat sekitar.

Kami berjalan kaki menyusuri pinggir sungai hingga tiba di Jembatan Batang Agam. Sebuah jembatan yang penuh sejarah. Letaknya berada tepat di antara Monumen Ratapan Ibu dan rumah potong hewan. Masyarakat kota lalu-lalang, beberapa kudo bendi (kuda bendi) tampak memacu kecepatannya menuju pusat kota. Seketika ada ide di kepala saya untuk mengajak Azzahra berkeliling kota dengan kendaraan tradisional tersebut. Sembari menunggu waktu magrib tiba. 

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1)
Kuda bendi dan penumpangnya di depan pertokoan dekat Pasar Tradisional Ibuh/Atika Amalia

Asal Usul Kuda Bendi

Sekilas kuda bendi tampak seperti kendaraan tradisional lain yang ada di beberapa kota di Indonesia, seperti Yogyakarta, Lombok, Manado, dan Jakarta. Kereta roda dua yang ditarik kuda tersebut memiliki peran vital dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di masa lampau. Pada akhir abad ke-19, transportasi di Sumatra Barat adalah yang paling maju di antara daerah-daerah di luar Jawa.

Mula-mula kereta api menjadi angkutan umum sejak 1893. Hal ini distimulasi oleh penemuan deposit batubara di Ombilin pada tahun 1868. Lalu 19 tahun kemudian Parlemen Belanda memutuskan membangun jalur kereta api untuk sarana transportasi batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Emmahaven Padang. Menurut Colombijn (dalam Sufwan, 2017), kota-kota di pedalaman semakin terbuka dari isolasi, sebab jalan trem meluas ke daerah-daerah yang terpencil sekalipun.

Tidak lama berselang, angkutan mobil didatangkan dari Singapura sejak 1904. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada awal 1920-an terdapat lebih dari 3.000 angkutan mobil di Sumatra Barat. Di akhir dasawarsa yang sama, jumlah mobil telah mencapai angka 7.000. Asnan (dalam Sufwan, 2017) menyebut angkutan mobil terus tumbuh seiring terus tumbuhnya jalan raya.

Sejak akhir abad ke-19, dapat dikatakan bahwa modernisasi transportasi telah berhasil dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Angkutan massal modern menggantikan angkutan tradisional, seperti pedati, bendi, atau kuda beban. Bahkan hingga pertengahan abad ke-20, nyaris hanya bendi yang bertahan sebagai alat angkut manusia, meskipun dalam skala terbatas.

Perubahan Jenis dan Fungsi Bendi dari Masa ke Masa

Masa kolonial Belanda, menurut Ishakawi (dalam Vivindra dkk, 2015), menjelaskan bahwa bendi mengalami beberapa perubahan. Pertama adalah kereta kuda yang dibawa oleh petinggi bangsa Belanda dan beroda empat. Selanjutnya berubah lagi menjadi kereta kuda beroda dua dengan sebutan “sado”. Jenis kereta kuda ini yang jadi awal dari bendi tradisional di Sumatra Barat.

Pada masa itu kendaraan atau transportasi belum begitu banyak, sehingga bendi merupakan barang mewah. Hanya golongan tertentu saja yang memiliki bendi itu, seperti orang-orang kaya, penguasa, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat.  Kemudian fungsi bendi saat itu adalah sebagai kendaraan petinggi dan pejabat dalam melaksanakan tugas. Sehingga bendi lebih memiliki makna sebagai kendaraan pribadi yang dapat melambangkan kekuasaan, kekuatan, penguasa, dan status sosial. Lalu setelahnya bendi menjadi transportasi umum hingga saat ini.

Bendi memiliki beberapa jenis. Pertama, terem atau terent. Kata “terem” berasal dari “trem”, yaitu kereta yang berjalan dengan tenaga listrik atau lokomotif kecil dan merupakan salah satu angkutan kota di Eropa. Kemungkinan berasal dari bahasa Inggris “train” (kereta), yang karena mendapat pengaruh oleh dialek bahasa Minangkabau, masyarakat menyebutnya terem. Namun, maksud terem di sini adalah bendi yang memiliki empat roda dan ditarik oleh dua ekor kuda. Orang Belanda menyebutnya dengan terem atau terent atau bendi Balando.

Kedua adalah sado, sejenis bendi yang ditarik oleh kuda. Bentuknya hampir sama dengan bendi. Sado memiliki dua macam, yaitu sado tetap dan sado bersambung. Ketiga, bogi, berbentuk lebih kecil dari bendi. Ciri-ciri bogi antara lain memiliki bak berukuran kecil dan satu buah tempat duduk, tidak memiliki tenda, dan ditarik oleh seekor kuda.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1)
Bogi atau bendi yang pernah Bung Hatta naiki. Koleksi Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta/Atika Amalia

Bogi oleh sebagian orang disebut bugih. Fungsinya selain sebagai kendaraan pribadi orang-orang ternama masa lalu, juga merupakan salah satu bentuk permainan rakyat yang dikenal dengan nama pacu bogi atau pacu darap. Muhammad Hatta atau Bung Hatta pernah diantarkan menggunakan bogi dari kediamannya di Bukittinggi menuju Kota Padang untuk melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Sekolah menengah pertama (SMP) pada zaman pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Bogi yang digunakan untuk mengantar Bung Hatta adalah kendaraan milik keluarga.

Keempat, bendi yang masih terpakai hingga saat ini, memiliki bentuk yang lebih sempurna dari pendahulunya. Satu kuda menarik kereta yang beroda dua, mempunyai atap penutup dan berhias pelbagai aksesoris dan hiasan menarik.

Berkeliling Kota Payakumbuh Naik Kuda Bendi 

Saya dan Azzahra berjalan kaki sekitar 150 meter dari Monumen Ratapan Ibu menuju gapura bertuliskan “Pasar Tradisional Ibuh”, Payakumbuh. Tampak ada dua kuda bendi yang masih menunggu penumpang. Hari-hari biasa kuda bendi lebih banyak jumlahnya. Mungkin karena waktu itu sudah sore dan juga masa Ramadhan, sehingga sebagian telah kembali ke kandang. 

Seorang kusir bendi menyapa ketika saya mendekat. Saya memintanya untuk mengantar kami berkeliling melewati beberapa ruas jalan. Di kesempatan ini saya juga tidak ingin kena pakuak, istilah yang sering masyarakat Sumatra Barat gunakan jika harga barang atau jasa melebihi harga normal. Salah satu caranya adalah dengan membuat kesepakatan harga di awal sebelum berangkat. Tidak ada harga yang pasti jika menggunakan kuda bendi, jadi pengguna harus menawarnya terlebih dahulu. 

Son, kusir bendi pertama yang Azzahra temui, adalah orang yang ramah pada anak-anak. Saat menaiki bendi kami melihat berbagai aksesoris dan hiasan yang sangat menarik perhatian orang, terutama anak-anak. Pada kepala kuda terpasang sebuah aksesoris berupa jambul merah. Son menganalogikannya seperti manusia memakai bando (bendo). Melalui penjelasan Son, Azzahra semakin antusias.

Hal menarik lainnya dari kuda bendi adalah terdapat bantal kecil berwarna merah untuk sandaran penumpang. Ada juga dekorasi seng dan ukiran motif bunga-bunga di beberapa bagian luar dinding bendi. Selain itu, masyarakat juga berkelakar bahwa bendi adalah kendaraan mahal dengan menyebut inisial BMW, yaitu Bendi Merah Warnanya.  

“Azza seru gak naik bendi?” saya menggodanya 

“Naik bendi itu seru, bendinya lucu,” sahutnya sembari tertawa girang.

Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1)
Dekorasi menarik di bagian penumpang kuda bendi/Atika Amalia

Kami mengelilingi beberapa jalanan, yang akhirnya kembali menghidupkan memori masa kecil saya. Orang tua saya dulu pernah mempunyai tiga kuda bendi yang menjadi alat jasa transportasi. Seorang kusir membawa kuda bendi dengan sistem bagi hasil, lalu kusir tersebut akan merawat kuda. Selang beberapa tahun kemudian, orang tua menjual bendinya setelah seekor kudanya mati karena kecelakaan di salah satu kandang tempat penitipan kuda. 

Sore itu, saya dan Azzahra mendapat kesenangan berbeda. Saya mengingat kembali memori-memori manis masa kanak-kanak setelah melintasi berbagai tempat, di antaranya Jalan Arisun, tugu Adipura, melihat Masjid Muhammadiyah, dan menatap Gunung Sago dari kejauhan. Azzahra sedang membangun memori dengan pengalaman barunya menumpangi kudo bendi. 

Referensi

Asnan, Gusti. 2003. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam Minangkabau.
Colombijn, Freek. 2006. Paco-paco Kota Padang. Yogyakarta: Ombak.
Ishakawi. 2010. Ranah Seni. Jurnal Seni dan Desain, Vol 03(02), 1-13.
Sufwan, F. H. (2017). Kuda Bendi di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat Hingga Akhir Abad Ke-20. Mozaik Humaniora, 17 (1), 53.
Vivindra, R. D., Syamsir, S., & Nurman, N. (2015). Eksistensi Bendi dalam Perspektif Budaya di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Humanus. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Humaniora, 14(1), 71-79.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kudo Bendi: Eksis Melintasi Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kudo-bendi-eksis-melintasi-zaman-1/feed/ 0 39277