mitigasi iklim Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/mitigasi-iklim/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 23 Apr 2024 00:37:58 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 mitigasi iklim Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/mitigasi-iklim/ 32 32 135956295 Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim https://telusuri.id/memitigasi-dampak-pendakian-gunung-di-tengah-krisis-iklim/ https://telusuri.id/memitigasi-dampak-pendakian-gunung-di-tengah-krisis-iklim/#respond Tue, 23 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41741 Di tengah perubahan iklim yang merundung bumi, para pendaki gunung dituntut untuk ikut mempraktikkan pendakian yang lebih ramah lingkungan. Meski memiliki seabrek manfaat, aktivitas mendaki gunung tak bisa dimungkiri bisa membawa implikasi buruk bagi lingkungan....

The post Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim appeared first on TelusuRI.

]]>
Di tengah perubahan iklim yang merundung bumi, para pendaki gunung dituntut untuk ikut mempraktikkan pendakian yang lebih ramah lingkungan. Meski memiliki seabrek manfaat, aktivitas mendaki gunung tak bisa dimungkiri bisa membawa implikasi buruk bagi lingkungan. Lebih-lebih di tengah terus berlangsungnya perubahan iklim seperti sekarang ini.

Seperti kita sama-sama ketahui, perubahan iklim—yang dipicu oleh beragam aktivitas manusia—merupakan faktor utama penyebab suhu bumi kian meningkat. Perubahan iklim sendiri merujuk pada perubahan suhu, pola curah hujan, permukaan laut, dan kondisi atmosfer lainnya dalam jangka panjang. Salah satu penyebab utama perubahan iklim adalah peningkatan gas rumah kaca di atmosfer, terutama karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O), yang memerangkap panas dan berkontribusi terhadap panasnya bumi. 

Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim (Djoko Subinarto)
Pemandangan Gunung Gede, yang satu kawasan dengan Gunung Pangrango. Gunung favorit pendakian di Jawa Barat/Djoko Subinarto

Adapun aktivitas-aktivitas manusia, di antaranya penggunaan bahan bakar fosil, pertanian, pembabatan hutan, aktivitas industri dan rumah tangga, merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Tatkala gas-gas rumah kaca ini terakumulasi di atmosfer, gas-gas tersebut meningkatkan efek rumah kaca, yang menyebabkan peningkatan temperatur global secara keseluruhan. Sebuah fenomena yang lantas disebut sebagai pemanasan global (global warming). Sebagian kalangan menyebut pula sebagai pendidihan global (global boiling). 

Tatkala temperatur bumi terus merambat naik, seiring dengan peningkatan gas rumah kaca yang menumpuk di atmosfer, membawa banyak konsekuensi. Sebut saja, misalnya, kenaikan permukaan air laut, perubahan pola cuaca, kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering dan parah, serta gangguan terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati. 

Dalam hal cuaca ekstrem, salah satu buntutnya adalah peningkatan risiko bencana, seperti longsor, serta banjir bandang maupun kebakaran hutan di kawasan pegunungan. Di sisi lain, cuaca ekstrem juga dapat mendorong terjadinya pergeseran zona vegetasi dan perubahan keanekaragaman hayati ekosistem pegunungan. Anomali tersebut pada gilirannya akan mengganggu keseimbangan ekologi.

Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim (Djoko Subinarto)
Ilustrasi kegiatan panjat tebing di lereng gunung/Djoko Subinarto

Potensi Penambahan Beban dan Risiko Lingkungan

Di tengah perubahan iklim dewasa ini, aktivitas pendakian gunung sedikit banyak bakal menambah beban dan risiko lingkungan yang dihadapi kawasan pegunungan. Suka atau tidak, harus jujur kita akui, aktivitas mendaki gunung membawa implikasi negatif bagi lingkungan. Baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Misalnya, yang kerap mencuat dan jadi perhatian serta keprihatinan publik, yakni persoalan sampah yang dihasilkan dan ditinggalkan oleh para pendaki gunung. 

Sampah tentu saja bukan satu-satunya persoalan. Aktivitas para pendaki menyusuri jalur setapak dapat menyebabkan erosi tanah, terutama di ekosistem pegunungan yang rapuh buntut dari pergeseran vegetasi akibat perubahan iklim. Terjadinya erosi tentu saja bakal berkontribusi terhadap degradasi jalur pendakian dan habitat di sekitarnya, yang ujungnya memengaruhi stabilitas tanah dan kualitas air.

Aktivitas pendakian juga dapat memecah belah habitat dan mengganggu koridor satwa liar. Akibatnya populasi spesies tertentu terisolasi dan terjadi penurunan keanekaragaman genetik. Hal ini dapat berdampak jangka panjang terhadap kesehatan ekologi ekosistem pegunungan.

Belum lagi implikasi yang ditimbulkan dari aktivitas pemasangan atau penyediaan infrastruktur pendakian, antara lain tali pendakian, baut, dan tempat berlindung, yang juga dapat menimbulkan dampak jangka panjang terhadap lanskap alam. Lebih-lebih ketika pemasangan dan pemeliharaan infrastruktur pendakian itu kurang tepat, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada formasi batuan dan vegetasi sekitarnya.

Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim (Djoko Subinarto)
Ilustrasi kelompok pendaki gunung/Roaming Spices

Beberapa Upaya Mitigasi

Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan oleh para pendaki gunung?

Ikut berperan aktif melakukan mitigasi dampak lingkungan adalah langkah yang seyogianya dilakukan para pendaki gunung. Siapa pun, di mana pun. Langkah-langkah mitigasi dapat mencakup hal-hal berikut ini.

  1. Meminimalisasi sampah. Tak ada alasan sedikit pun bagi para pendaki untuk meninggalkan sampah, sekecil apa pun, saat pendakian. Termasuk tidak membuang hajat sembarangan di lingkungan gunung;
  2. Meminimalisasi jejak karbon. Selalu gunakan perlengkapan rendah karbon yang terbuat dari bahan ramah lingkungan. Tak kalah pentingnya, yaitu menggunakan transportasi umum maupun carpooling untuk menuju kawasan pendakian. Syukur-syukur mau mengayuh sepeda;
  3. Mendukung akses berkelanjutan. Salah satu caranya, yakni bahu-membahu dengan pengelola pendakian dan masyarakat lokal dalam membangun akses berkelanjutan ke area pendakian. Selain itu juga membatasi pengembangan infrastruktur pendakian yang berpotensi membahayakan ekosistem;
  4. Mendorong praktik ramah iklim. Misalnya, mengurangi konsumsi energi, menghemat air, dan mendukung inisiatif konservasi lokal untuk melindungi ekosistem pegunungan;
  5. Turut aktif terlibat dalam memantau dan menilai dampak pendakian gunung secara berkala. Jika memungkinkan, ikut pula memberikan solusi terbaik terkait langkah-langkah yang perlu ditempuh selanjutnya;
  6. Terlibat dalam program-program yang berkaitan dengan peningkatan kesadaran, khususnya tentang dampak lingkungan dari aktivitas pendakian gunung maupun perubahan iklim;
  7. Berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan. Selain antarpendaki, juga membangun kolaborasi dengan pengelola kawasan pendakian, organisasi konservasi, maupun komunitas lokal untuk menyelaraskan tujuan yang sama; dan
  8. Terlibat langsung dalam upaya restorasi. Restorasi untuk merehabilitasi ekosistem pegunungan yang terdegradasi, baik karena dampak perubahan iklim maupun dampak pendakian, perlu dilakukan. Para pendaki dapat terjun langsung dalam upaya ini, mulai dari restorasi jalur pendakian, restorasi habitat, serta proyek reboisasi dan reforestasi.

Dengan ikut serta menerapkan langkah-langkah mitigasi tersebut, diharapkan dapat membantu mengurangi beban dan risiko lingkungan dari pendakian gunung maupun perubahan iklim. Harapan dan tujuan akhirnya, tak lain memastikan lanskap kawasan pegunungan tetap sehat sehingga mampu diwariskan dan dinikmati oleh generasi-generasi mendatang.


Referensi:

Doytchev, B. (2021). The Impact of Mountaineering and Climbing on The Environment. Trakia Journal of Sciences. Vol. 19, Suppl. 1, pp 540-545. DOI: 10.15547/tjs.2021.s.01.083.
McHaffie, J. (2018). Climb-it Change: 10 tips to mitigate it. The British Mountaineering Council. Diakses dari https://www.thebmc.co.uk/climb-it-climate-change.
Muller, L. M. (2020). How does climbing affect the climate?. Lacrux.com. Diakses dari https://www.lacrux.com/en/klettern/climbing-and-climate-protection-are-a-contradiction-in-terms/.
Wheeler, F. (2023). A climber’s guide to climate action. Mapotapo.com. Diakses dari https://www.mapotapo.com/blog/a-climber-s-guide-to-climate-action.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memitigasi-dampak-pendakian-gunung-di-tengah-krisis-iklim/feed/ 0 41741
Adaptasi Kawasan Pesisir untuk Merespons Kenaikan Permukaan Laut https://telusuri.id/adaptasi-kawasan-pesisir-untuk-merespons-kenaikan-permukaan-laut/ https://telusuri.id/adaptasi-kawasan-pesisir-untuk-merespons-kenaikan-permukaan-laut/#respond Mon, 22 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41734 Skenario terburuk menghadapi kenaikan permukaan air laut—kini mencapai lebih dari dua meter—mesti dimasukkan ke dalam skema strategi adaptasi kawasan pesisir masa depan. Keputusan yang diambil sekarang terkait masalah ini akan menciptakan warisan untuk generasi mendatang....

The post Adaptasi Kawasan Pesisir untuk Merespons Kenaikan Permukaan Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
Skenario terburuk menghadapi kenaikan permukaan air laut—kini mencapai lebih dari dua meter—mesti dimasukkan ke dalam skema strategi adaptasi kawasan pesisir masa depan. Keputusan yang diambil sekarang terkait masalah ini akan menciptakan warisan untuk generasi mendatang.

Salah satu konsekuensi dari temperatur bumi yang terus memanas, sebagai buntut menumpuknya emisi gas rumah kaca, yaitu terus meningkatnya permukaan air laut. Bahkan, menurut para ahli, jika emisi gas rumah kaca berhenti pada esok hari sekalipun, permukaan air laut bakal terus merambat naik.

Berbagai kajian menunjukkan, sejak tahun 1880-an rata-rata permukaan air laut secara global telah naik sekitar 16–21 sentimeter. Setengah dari kenaikan tersebut terjadi selama tiga dekade terakhir.

Adaptasi Kawasan Pesisir untuk Merespons Kenaikan Permukaan Laut (Djoko Subinarto)
Warga berjalan di kawasan Pantai Rancabuaya, Garut, Jawa Barat/Djoko Subinarto

Peningkatan suhu bumi menjadi penyumbang terbesar (50 persen) kenaikan permukaan air laut sepanjang rentang tahun 1971–2018. Menyusul penyebab berikutnya adalah pencairan gletser (22 persen), pencairan lapisan es (20 persen), dan berubahnya penyimpanan air di daratan (6 persen).

Para ahli saat ini telah memiliki setidaknya dua skenario terkait meningkatnya permukaan air laut. Skenario pertama, jika peningkatan temperatur bumi di bawah 2 derajat Celcius, maka permukaan air laut dapat naik antara 36 hingga 126 senti pada tahun 2100. Adapun skenario kedua, yang merupakan skenario paling buruk, jika temperatur bumi meningkat hingga 5 derajat Celcius, maka kenaikan permukaan air laut dapat mencapai lebih dari dua meter pada 2100 mendatang.

Implikasi dari naiknya permukaan air laut tentu saja sangat mengkhawatirkan, khususnya bagi masyarakat pesisir. Jika skenario kenaikan permukaan air laut hingga mencapai lebih dari dua meter terjadi, maka bakal banyak kota pesisir dan pulau-pulau kecil yang tenggelam.

Adaptasi Kawasan Pesisir untuk Merespons Kenaikan Permukaan Laut (Djoko Subinarto)
Perubahan iklim sebabkan pula kemarau ekstrem/Djoko Subinarto

Dampak Besar untuk Segala Sektor

Selain menimbulkan ancaman eksistensial bagi kota-kota pesisir dan negara kepulauan, kenaikan permukaan laut hingga sekitar lebih dari dua meter juga akan melahirkan gelombang migrasi massal. Membawa implikasi secara ekonomi, lingkungan, dan hak asasi manusia (HAM), khususnya yang terkait dengan persoalan status migrasi. 

Terkait aktivitas wisata, kenaikan permukaan laut tentu saja akan berdampak pada sektor pariwisata pesisir. Buntut terjadinya banjir pesisir serta erosi pantai. Belum lagi gelombang panas yang akan meningkat menjadi lebih sering. Ini semua membuat banyak destinasi wisata pantai mungkin menjadi tempat yang tidak nyaman bagi wisatawan di masa depan.

Menurut Cities Climate Leadership Group (CCLG), sebagian besar migrasi terkait kenaikan permukaan air laut maupun bencana iklim akan terjadi di dalam lingkup domestik. Pergerakan di kawasan urban bakal mendominasi. Pasalnya, hampir 70–75 persen penduduk bumi di masa depan mendiami kawasan perkotaan. Jumlah yang dipastikan akan terus meningkat.

Hal tersebut sudah barang tentu harus benar-benar diantisipasi sejak sekarang. Skenario terburuk terkait kenaikan permukaan air laut mesti dimasukkan ke dalam bagian strategi adaptasi kawasan pesisir masa depan.

Bagaimanapun, kenaikan permukaan air laut lebih dari dua meter akan mengubah banyak wilayah pesisir di seluruh dunia. Sejumlah literatur menyebut, dengan kenaikan permukaan air laut lebih dari dua meter, terutama pada saat air laut pasang dan badai, akan mengakibatkan peningkatan banjir kronis dan risiko salinisasi lahan basah.  

Selain itu, kenaikan permukaan laut sebesar lebih dari dua meter akan meningkatkan erosi dan menyebabkan banjir permanen. Khususnya di daerah dataran rendah yang tidak terlindungi, yang sangat penting bagi pembangunan manusia dan ekosistem yang unik.

Adaptasi Kawasan Pesisir untuk Merespons Kenaikan Permukaan Laut (Djoko Subinarto)
Kenaikan permukaan laut mengancam aktivitas wisata maritim/Djoko Subinarto

Bagaimana harus merespons?

Lantas, bagaimana para pengelola kawasan pesisir dan pemangku kepentingan lainnya mesti merespons masalah-masalah tersebut?

Menurut Cozannet et al (2023), ada sedikitnya lima hal yang perlu dijadikan prioritas pihak-pihak tersebut sebagai upaya menghadapi skenario terburuk kenaikan permukaan air laut ekstrem di masa depan.

Pertama, menyiapkan landasan bagi upaya adaptasi. Ini meliputi meningkatkan kesadaraan dan literasi iklim masyarakat, memperkuat atau mendirikan lembaga dan mekanisme tata kelola pemerintahan, serta merangkul warga pesisir yang berisiko.

Kedua, menimbang risiko dan kerawanan dengan jalan memprioritaskan aset dan infrastruktur jangka panjang. Selain itu, memberi perhatian pada masyarakat pesisir, ekosistem, dan aktivitas warga pesisir yang paling rentan terdampak. Berikutnya yaitu mendorong terbangunnya komunikasi dua arah antara publik luas dan para pemangku kepentingan.

Ketiga, melakukan penilaian semua opsi adaptasi yang tersedia. Ini mencakup identifikasi semua opsi adaptasi secara menyeluruh, yang dibarengi dengan penilaian terkait fisibilitas, efektivitas maupun manfaat dari masing-masing opsi adaptasi berikut persepsi warga. Tak kalah pentingnya adalah melakukan antisipasi terkait migrasi ke daratan dari ekosistem pesisir.

Keempat, meningkatkan adaptasi dengan sejumlah langkah, antara lain memprioritaskan opsi-opsi yang memiliki manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan yang tinggi, yang selaras dengan nilai-nilai sosial budaya dan prioritas pembangunan, tetapi tetap membuka opsi-opsi lain. 

Kelima, memantau kemajuan adaptasi. Penting untuk terus memantau, mengkaji, dan mempelajari opsi adaptasi yang telah diimplementasikan sembari melakukan asesmen terkait tanda-tanda awal percepatan kenaikan permukaan air laut. Di saat yang sama, melakukan pemetaan kemajuan yang telah dicapai dan yang direncanakan pada jalur adaptasi untuk mengidentifikasi berbagai peluang dan hambatan.

Sementara kelima hal tersebut diupayakan, tambah Cozannet et al (2023), tindakan penting harus pula diambil saat ini, yaitu pengurangan emisi gas rumah kaca secara besar-besaran dan segera. Tujuannya untuk memperlambat kenaikan permukaan laut, membatasi amplitudo kenaikan permukaan laut dalam jangka panjang, serta memberikan lebih banyak waktu bagi kita semua untuk melakukan adaptasi.

Pada akhirnya, kita tidak mungkin mundur ke belakang. Kenaikan permukaan air laut adalah sebuah keniscayaan. Apa pun skenarionya, keputusan yang diambil sekarang akan menciptakan warisan untuk generasi mendatang, termasuk anak cucu kita.


Referensi:

Bamber, J. L., Oppenheimer, M., Kopp, R. E., and Cooke, R. M. (2019). Ice sheet contributions to future sea-level rise from structured expert judgment. PNAS. Diakses dari https://www.pnas.org/doi/full/10.1073/pnas.1817205116.
Becken, Susanne. (2016). Climate change impacts on coastal tourism. Coast Adapt. Diakses dari https://coastadapt.com.au/sites/default/files/factsheets/T312_7_Coastal_Tourism.pdf.
C40 Cities Climate Leadership Group. (2021). Cities, Climate and Migration: The role of cities at the climate-migration nexus. C40 Knowledge Hub. Diakses dari https://www.c40knowledgehub.org/s/article/Cities-Climate-and-Migration-The-role-of-cities-at-the-climate-migration-nexus?language=en_US.
Elton, Charlotte. (2023). The impact of rising sea levels is being ‘underestimated’, scientists warn. Euronews Green. Diakses dari https://www.euronews.com/green/2023/01/27/the-impact-of-rising-sea-levels-is-being-underestimated-scientists-warn.
Le Cozannet, G., Nicholls, R. J., Durand, G., Slangen, A. B. A., Lincke, D., and Chapuis, A. (2023). Adaptation to multi-meter sea-level rise should start now. IOP Science Publishing. Diakses dari https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/acef3f/pdf#:~:text=Two%20meters%20of%20sea%2Dlevel%20rise%20will%20enhance%20erosion%20and,human%20development%20and%20unique%20ecosystems.
Vaughan, Adam. (2019). Sea level rise could hit 2 metres by 2100 – much worse than feared. New Scientist.com. Diakses dari https://www.newscientist.com/article/2203700-sea-level-rise-could-hit-2-metres-by-2100-much-worse-than-feared/.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Adaptasi Kawasan Pesisir untuk Merespons Kenaikan Permukaan Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/adaptasi-kawasan-pesisir-untuk-merespons-kenaikan-permukaan-laut/feed/ 0 41734