museum r. hamong wardoyo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/museum-r-hamong-wardoyo/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 02 Apr 2025 07:59:05 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 museum r. hamong wardoyo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/museum-r-hamong-wardoyo/ 32 32 135956295 Museum Pertama di Boyolali (2) https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-2/ https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-2/#respond Wed, 02 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46514 Dedikasi Prof. Dr. Soeharso, pahlawan nasional dari Boyolali yang dijadikan diorama di Museum R. Hamong Wardoyo, masih banyak. Pada tahun 1954 Prof. Dr. Soeharso mendirikan sekolah fisioterapi, kemudian tahun 1955 diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi...

The post Museum Pertama di Boyolali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dedikasi Prof. Dr. Soeharso, pahlawan nasional dari Boyolali yang dijadikan diorama di Museum R. Hamong Wardoyo, masih banyak. Pada tahun 1954 Prof. Dr. Soeharso mendirikan sekolah fisioterapi, kemudian tahun 1955 diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi pemimpin Lembaga Orthopedi dan Prothese. Sempat pula ia menjadi penggerak berdirinya Yayasan Koperasi Harapan. Atas usahanya yang ulet, daerah aktivitasnya pun semakin luas.

Dua tahun setelahnya, yakni 1957, ia mendirikan sheltered workshop penyandang disabilitas prothese di Surakarta. Di situ tidak hanya membuat alat-alat saja, tetapi juga menampung para kaum difabel, yang nantinya mereka diberi kesempatan bekerja dan melatih diri sesuai kemampuan masing-masing. Upaya tersebut menunjukkan Prof. Dr. Soeharso telah berbuat baik bagi psikologi mereka, sehingga mereka akan merasa masih berguna dan layak untuk hidup. Pada tahun 1962, Prof. Dr. Soeharso juga merintis pendirian Yayasan Pembina Olahraga Penderita Cacat (YPOC)1. Sesuai dengan namanya, yayasan itu digunakan untuk mendidik dan memberi latihan olahraga bagi para individu difabel agar badannya sehat.

Tidak berhenti di situ, tahun 1967 didirikan juga Yayasan Balai Penampungan Penderita Paraplegia di Surakarta. Hampir bersamaan, pada tahun 1968 didirikan pula Dana Skoliosis Resser di Surakarta yang diketuai Prof. Dr. Soeharso. Selain aktif di bidang kesehatan, Prof. Dr. Soeharso juga aktif di bidang kebudayaan dan kesenian Jawa2.

Begitulah beberapa andil perjuangan Prof. Dr. Soeharso yang sangat berguna bagi masyarakat. Tentu masih banyak lagi jasa lainnya yang belum saya sebutkan di sini.

Museum Pertama di Boyolali (2)
Abdul Rochim berjalan di antara galeri arsip foto untuk turun dari lantai dua ke lantai satu/Danang Nugroho

Diorama Kebudayaan Boyolali

Selanjutnya diorama budaya yang ada di Boyolali juga ditampilkan. Misalnya, tradisi ngalap berkah apem kukus keong mas di Pengging, Banyudono, dan tradisi sedekah gunung di Lencoh, Selo.

Selain itu, ada juga cagar budaya yang ada di daerah saya, Cepogo, yang belum lama dibuatkan dioramanya di museum, yakni Candi Lawang, Candi Sari, dan Pesanggrahan Pracimoharjo. Cagar budaya lainnya adalah Loji Papak di Juwangi dan Umbul Pengging di Banyudono.

Di samping itu, tak hanya diorama, terdapat juga peninggalan-peninggalan lain yang ditampilkan di lantai satu, seperti foto-foto bupati Boyolali dari masa R. Hamong Wardoyo dan seterusnya. Ada juga arsip foto sejarah Presiden Sukarno dan Soeharto yang pernah datang ke Boyolali, koleksi batuan klasik pindahan dari Rumah Arca di Taman Sono Kridanggo—yang digusur menjadi pom bensin—kereta kencana, meriam, keris, beberapa pusaka peninggalan Pakubuwono X, dan masih banyak lagi peninggalan bersejarah lainnya.

Ketika saya dan Abdul Rochim naik ke lantai dua, kami melewati lorong berbentuk spiral untuk mencapainya. Di sini tersaji arsip foto-foto bersejarah di Boyolali pada tembok lorong, yang menemani perjalanan pengunjung agar tak bosan sekaligus menambah pengetahuan. Ketika kami mencapai lantai dua yang beratap kaca itu, ternyata ruangan seperti auditorium itu kosong. Setelah itu, kami bergegas turun menemui Mas Pepi untuk mengobrol di bagian registrasi.

  • Museum Pertama di Boyolali (2)
  • Museum Pertama di Boyolali (2)

Sejarah Berdirinya Museum R. Hamong Wardoyo

Atas ide dari bupati ke-23 Boyolali Seno Samodro, tahun 2015 didirikan museum pertama di atas lahan bekas gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Boyolali. Operasional pertama pada awal 2016.

“Alasan Pak Seno mendirikan museum itu apa, Mas?” tanya saya.

“Bapak Seno itu punya ide untuk memperkenalkan Boyolali ke masyarakat, baik masyarakat sekitar maupun [masyarakat] luar Boyolali, bahwa di sini itu ada museum yang bisa memperkenalkan Boyolali,” ujar Mas Pepi.

Banyak yang menyebut bentuk bangunan ini mirip Museum Louvre di Paris. Jadi, sejarahnya, sebelum jadi bupati Pak Seno pernah bekerja menjadi koresponden beberapa media cetak Indonesia di Prancis, seperti Bola, Merdeka, dan GO. Maklum jika bekerja di Prancis, karena ia adalah lulusan Sastra Prancis UGM. Meski menamatkan kuliah selama 7,5 tahun, siapa sangka dialah yang menjadi pelopor berdirinya museum pertama di Boyolali. Ia kembali ke Indonesia tahun 20003.

“Setelah pulang ke Boyolali [Bapak Seno itu] punya angan-angan [kurang lebih], ‘Oh, suk ning Boyolali tak buatkan museum seperti yang ada di Paris, Prancis’, begitu,” ungkap Mas Pepi.

Begitulah alasan mengapa Museum R. Hamong Wardoyo mirip Museum Louvre di Paris, Prancis. Adapun nama R. Hamong Wardoyo diambil dari bupati ke-10 yang memimpin Boyolali pada 1947.

Museum Pertama di Boyolali (2)
Potret wajah Bupati Boyolali periode 1945-1948 R. Hamong Wardoyo/Danang Nugroho

Rencana Selanjutnya di Lantai dua

Ternyata, lantai dua itu walaupun kosong tetap digunakan untuk kegiatan pertemuan, sarasehan, atau peminjaman tempat dari orang luar. “Mungkin ke depannya kami buatkan bioskop mini,” ungkap Mas Pepi.

Ia juga menambahkan, “Ada rencana mau minta file Joglo Wisata tentang terjadinya proses erupsi Merapi untuk dibawa ke sini. Ada juga rencana film tentang asal usul Boyolali,” tambahnya.

“Di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Boyolali itu ada film dokumenter tentang Boyolali, Pak. Mungkin bisa dikoordinasikan,” celetuk saya.

Walaupun lantai dua dari atap kaca, tetapi ada rencana pembuatan bioskop mini itu. Tentu harus ada desain pembuatan ruang khusus agar cahaya dari luar yang tembus melalui atap kaca itu tidak masuk ke ruang bioskop mini. Entah nantinya terlaksana atau tidak, tentu hal itu menjadi nilai plus sebagai daya tarik wisatawan.

Selain itu, beberapa orang tentu ada yang memiliki gaya belajar audiovisual. Jika memang rencana itu terealisasi, misal kurang memahami bagian museum di lantai satu, mereka tentu dapat merasakan dampaknya melalui media bioskop mini di lantai dua, sehingga pesan-pesan sejarah, budaya, dan pembelajaran pada benda-benda mati itu bisa tersampaikan kepada para pengunjung.

  • Museum Pertama di Boyolali (2)
  • Museum Pertama di Boyolali (2)

Sarana Pembelajaran Masyarakat dan Bekal Pulang

“Kalau outing class itu giliran, Mas. Sering. Misal minggu ini dari sekolah A, [kemudian] besok sekolah B. Makanya mereka itu kalau berkunjung kirim surat dulu yang isinya akan berkunjung hari apa, tanggal berapa, dan jumlah siswa berapa, gitu,” jawab Mas Pepi menyambung pertanyaan-pertanyaan saya sebelumnya.

Museum ini tentu menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat luas. Tidak hanya mereka yang bersekolah saja, tetapi juga bagi semua kalangan, baik di wilayah Boyolali maupun luar Boyolali.

Dari anak sekolah, seringnya yang berkunjung adalah anak-anak PAUD, TK, SD, dan SMP. Kalau anak SMA biasanya ke sini untuk tugas video kelompok atau individu. Bertepatan juga dengan Kurikulum Merdeka yang memiliki P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), yaitu program yang ada kegiatan di luar kelasnya. Tentu pada saat guru memilih tema kearifan lokal, para siswa bisa diajak berkunjung ke Museum R. Hamong Wardoyo agar lebih mengenali Boyolali dan sejarahnya.

Mas Pepi mengungkapkan, kalau yang berkunjung itu tidak hanya sekolah di Boyolali saja, melainkan dari luar Boyolali juga, seperti pengunjung umum. Ramainya museum terjadi pada masa liburan atau tanggal merah. Sementara anak sekolah, selain kegiatan outing class tadi, biasa berkunjung sepulang sekolah.

Namun, ada juga ironisnya. “Kalau untuk pengunjung umum harian itu masih sepi. Sampai sehari tidak ada pengunjung itu sering,” kata Mas Pepi.

Saya pun agak heran karena ada hari-hari tanpa kunjungan itu. Kemudian saya tanyakan harapan Mas Pepi dari museum ini. “Harapannya, ya, semoga banyak orang berkunjung ke museum. Intinya, ya, meningkatnya wisatawan yang pergi ke Boyolali, khususnya ke Museum Hamong Wardoyo, [agar] mereka mengenal lebih dalam tentang sejarah atau apa yang ada di Kabupaten Boyolali, yang masyarakat [sekitar dan luar] belum tahu tentang sebagian kecilnya,” pungkasnya.

Saya lantas mengucap terima kasih dan membawa bekal pulang ‘pertanyaan’ dari perkataan Mas Pepi sebelum memungkasi wawancara itu. “Apakah museum ini perlu menjelma bupati ke-10 Boyolali itu sebagai manusia hidup lagi untuk berteriak dikunjungi supaya sehari-harinya tidak sepi?”


  1. Pada nama lembaga bagian ‘Penderita Cacat’ alangkah baiknya diganti cara membaca/pada saat Anda menulis (misal bukan sejarah nama lembaga yang paten) dengan Difabel, Kaum Difabel, Penyandang Disabilitas, atau Kaum Penyandang Disabilitas seperti yang tertulis dalam Arif Maftuhin, “Difabel dan Penyandang Disabilitas”, Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga, September 2014, http://pld.uin-suka.ac.id/2014/09/difabel-dan-penyandang-disabilitas.html. ↩︎
  2. Poliman, “PROF. DR. R. SUHARSO”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1983-1984, https://repositori.kemdikbud.go.id/10582/1/PROF.DR.R.SUHARSO.pdf. ↩︎
  3. Taufiq, “Mengenal Lebih Dekat Seno Samodro: Membuat Boyolali Tersenyum dengan Pertumbuhan Ekonomi Tertinggi di Indonesia”, Kagama.co, 5 November, 2018, https://kagama.co/2018/11/05/mengenal-lebih-dekat-seno-samodro-membuat-boyolali-tersenyum-dengan-pertumbuhan-ekonomi-tertinggi-di-indonesia/3/. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Museum Pertama di Boyolali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-2/feed/ 0 46514
Museum Pertama di Boyolali (1) https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-1/ https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-1/#respond Tue, 01 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46513 Memang ada apa di Boyolali? Adakah tempat wisata pembelajaran atau ruang kebudayaan di Boyolali selain susu sapi? Begitulah kiranya pertanyaan-pertanyaan yang kadang muncul di benak seseorang yang belum mengetahui soal Boyolali. Tidak hanya terkenal dengan...

The post Museum Pertama di Boyolali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Memang ada apa di Boyolali? Adakah tempat wisata pembelajaran atau ruang kebudayaan di Boyolali selain susu sapi?

Begitulah kiranya pertanyaan-pertanyaan yang kadang muncul di benak seseorang yang belum mengetahui soal Boyolali. Tidak hanya terkenal dengan sebutan Kota Susu, Boyolali kini tampak lebih maju. Salah satu kemajuan itu terlihat dari berdirinya museum pertama bernama Museum R. Hamong Wardoyo.

Cuti bersama Tahun Baru Imlek (28/1/2025) memancing hasrat saya untuk pergi bermain di kota sendiri. Awan kelabu yang terlihat menggumpal di Cepogo, daerah saya yang terletak di lereng Gunung Merapi, tak mengurungkan niat saya untuk mengunjungi Museum R. Hamong Wardoyo.

“Ayo, jadi apa tidak? Tapi mendung cuacanya,” ajak Abdul Rochim, teman saya dalam bahasa Jawa.

“Oke, gas! Santai, bagian kota tampak cerah. Otw (dalam perjalanan ke) rumahmu,” celetuk saya.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Tampak depan Museum R. Hamong Wardoyo Boyolali/Danang Nugroho

Perjalanan ke Museum

Seperti biasanya, daerah pegunungan memang lebih sering mendung dan hujan, tetapi tidak dengan daerah perkotaan. Sebab, dataran pegunungan lebih tinggi, sehingga saya bisa melihat cuaca di dataran rendah yang lebih cerah. Sinyal hijau cuaca di daerah bawah akhirnya mengantarkan kami bergegas menuju museum.

Kami mengendarai sepeda motor ke museum. Jarak dari Cepogo cuma 12 km, hanya memakan waktu 20 menit perjalanan. Lokasi museum terletak di Jl. Pandanaran No. 19, Tegalmulyo, Siswodipuran, Boyolali, Jawa Tengah. Setelah memarkir kendaraan, kami berjalan masuk ke bangunan yang mirip dengan Museum Louvre di Rive Droite Seine, arondisemen pertama di Paris, Prancis. Museum ini berbentuk segi enam dan atap dari kaca serupa piramida.

Kami mengisi daftar hadir. Tidak ada biaya masuk alias gratis. Tampak beberapa wisatawan yang berkunjung hari ini. Pada saat pengisian itu, saya sempat mengobrol sejenak dengan penjaga museum bernama Farid Purnomo atau akrab disapa Mas Pepi. Kami pun janjian untuk wawancara dengannya setelah mengitari museum.

Di dalam gedung museum, tampak lorong melingkar di lantai satu dan lorong spiral untuk naik ke lantai dua. Kami menelusuri bagian bawah terlebih dahulu.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Abdul Rochim sedang mengisi daftar hadir disaksikan Mas Pepi/Danang Nugroho

Cerita Rakyat tentang Asal Usul Nama Boyolali

Awalnya kami disuguhkan sebuah diorama seorang bekas bupati Semarang pada abad XVI, Ki Ageng Pandan Arang atau yang lebih dikenal dengan nama Tumenggung Notoprojo—ada juga yang menyebutnya Sunan Tembayat—yang sedang beristirahat di sebuah batu besar yang berada di tengah sungai. Konon, ia diramalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai wali penutup menggantikan Syekh Siti Jenar. Hal itu berkaitan dengan sejarah nama Boyolali.

Menurut cerita rakyat yang hidup di sini, Ki Ageng Pandan Arang kala itu terkenal dengan wataknya yang suka pada harta dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Kemudian, berkat dakwah Sunan Kalijaga, ia disadarkan akan sangkan paraning dumadi, sehingga ia dengan tulus ikhlas meninggalkan harta, jabatan, dan kedudukannya di Semarang. Sunan Kalijaga menugaskannya pergi ke Gunung Jabalkat di Tembayat, Klaten, untuk syiar agama Islam diikuti istri dan anak.

Selama perjalanan sufi tersebut, ia mengalami berbagai rintangan dan ujian. Ia berjalan cukup jauh meninggalkan istri dan anak—yang tertinggal karena tergoda harta dunia dan belum ikhlas untuk meninggalkan. Sambil menunggu anak dan istrinya, Ki Ageng Pandan Arang beristirahat di atas batu besar yang berada di tengah sungai (sekarang belakang Gedung Sonosudoro Theater). Dalam istirahat dan penantiannya itu, ia berucap, “Boya wis lali wong iki (sudah lupakah orang ini?”. Dari ucapan itu maka jadilah nama ‘Boyolali’. 

Perjalanan sufi Ki Ageng Pandan Arang berlanjut ke Gunung Jabalkat di Tembayat, Klaten. Ketika sang istri atau Nyi Ageng dan anaknya sampai di batu tersebut dan mengetahui kalau sang suami sudah tidak ada, Nyi Ageng berkata, “Kiai, boya wis lali aku teko ninggal wae.” Kemudian mereka menyusul Ki Ageng Pandan Arang.

Begitulah cerita rakyat singkat yang masih hidup tentang asal usul nama Boyolali. Kabupaten Boyolali berdiri pada 5 Juni 1847, ditandai dengan surya sengkala “Kas Wareng Woh Mojo Tunggal.” Nama Boyolali diambil dari rangkaian kata “Boya” dan “Lali” yang berarti jangan lupa; selanjutnya menjadi semboyan rakyat Boyolali, terutama para pemimpin-pemimpin di sini untuk selalu patuh, taat, penuh rasa tanggung jawab, serta penuh kewaspadaan dalam melaksanakan tugasnya1. “Sungguh, sejarah nama yang menampar diri bagi para pemimpin untuk selalu berkontemplasi,” batin saya.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Abdul Rochim sedang membaca desskripsi diorama Asal Mula Kabupaten Boyolali/Danang Nugroho

Diorama Erupsi Merapi dan Pahlawan Nasional dari Boyolali

Perjalanan kami menelusuri museum berlanjut. Sejajar dengan diorama Ki Ageng Pandan Arang tadi, terdapat diorama-diorama lain yang memperlihatkan tragedi, perjuangan, budaya, dan cagar budaya yang ada di Boyolali. Tentang tragedi, museum menampilkan diorama erupsi Gunung Merapi. Mengapa terdapat diorama tragedi erupsi Gunung Merapi?

Boyolali terletak di lereng gunung Merapi, sehingga ketika erupsi besar terjadi, kami juga terkena dampaknya. Periode 3000—250 tahun yang lalu, Gunung Merapi tercatat mengalami sekitar 33 letusan, dengan letusan terparah pada 4 Agustus 1672. Kemudian abad ke-19 merupakan periode Merapi baru. Waktu itu tercatat 80 kali letusan pada tahun 1768, 1822, 1849, dan 1872. Setelahnya, Merapi mengalami letusan lagi pada tahun 1930, 1954, 1961, 1998, 2001, 2006, 2010, 20212, dan 2024.

Semasa kecil, saya pernah mengalami letusan hebat saat 2010. Kala itu saya yang berada di Cepogo diguyur abu vulkanik yang begitu tebal, sehingga perlu mengungsi ke daerah yang lebih aman.

Terdapat sebutan aktivitas vulkanik pada Gunung Merapi yang masih saya ingat hingga kini, yakni wedhus gembel. Penamaan wedhus gembel diartikan sebagai awan panas yang keluar saat erupsi terjadi. Wedhus gembel dalam bahasa Indonesia berarti ‘kambing atau domba berbulu gimbal’, selaras dengan visualisasi awan panas yang keluar bergumpal-gumpal berwarna abu-abu keputihan seperti bulu domba. Hingga kini, Merapi masih aktif mengeluarkan guguran lava dan ditetapkan statusnya menjadi Siaga.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Diorama erupsi Gunung Merapi/Danang Nugroho

Sementara di kaki Gunung Merbabu, lahir seorang anak laki-laki bernama Soeharso pada 13 Mei 1912 di Desa Kembang, Ampel, Boyolali. Anak itu kelak menjadi salah satu pejuang kesehatan dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Perjuangan Prof. dr. R. Soeharso menjadi salah satu diorama yang ditampilkan di museum.

Soeharso memiliki enam saudara. Di keluarganya, Soeharso termasuk anak yang cerdas. Pada masa itu, masih sedikit sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Sebab, Indonesia masih dalam masa penjajahan dan keculasan kolonial, yang sengaja membuat sebagian besar rakyat Indonesia untuk tetap bodoh agar Belanda tidak kesulitan untuk terus menjajah.

Hanya di kota-kota besar saja ada sekolah. Soeharso harus pergi ke Salatiga untuk menempuh pendidikan dengan jalan kaki. Sebuah keberuntungan ia bisa diterima di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Salatiga. Singkat cerita, selama menempuh pendidikan dari sekolah dasar hingga sarjana, Soeharso dapat menunjukkan hasil yang memuaskan tanpa pernah tinggal kelas sampai meraih gelar profesor. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah diperoleh, Prof. dr. R. Soeharso mengabdikan dirinya kepada masyarakat dengan bekerja di bidang kesehatan.

Soeharso merupakan perintis dan perencana Rehabilitasi Centrum (RC) di Sala—Solo atau Surakarta sekarang—untuk menampung penyandang disabilitas akibat perang. Pada 1945 Soeharso mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Surakarta dan menjadi pemimpin gerak cepat di garis depan Ambarawa dan Mranggen. Sekitar tahun 1945–1946, banyak pemuda yang kehilangan anggota tubuhnya dan menjadi penyandang disabilitas. Pada waktu itu, Soeharso dan Soeroto Reksopranoto sebagai tenaga teknik dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Jebres Surakarta mulai melakukan percobaan dalam menghasilkan tangan dan kaki tiruan.

Saat terjadi Agresi Militer Belanda I dan II (1947–1949), Soeharso memimpin pasukan gerak cepat PMI Cabang Surakarta. Tugasnya makin berat, karena ia juga menjadi dokter Palang Merah di Sukoharjo. Selama beberapa tahun tiada henti Soeharso berjuang untuk mengobati penyandang disabilitas. Karena jumlah penyandang bertambah, akhirnya didirikan rumah sakit darurat yang terletak di belakang RSUP Jebres.

Museum Pertama di Boyolali (1)
Diorama perjuangan Prof. dr. R. Soeharso/Danang Nugroho

Sesudah tanggal 28 Agustus 1951, Rehabilitasi Centrum untuk pertama kalinya diperkenalkan ke masyarakat umum. Kemudian pada tahun 1953, Soeharso berhasil pula mendirikan Rehabilitasi Centrum (Rumah Sakit Ortopedi) di Surakarta hingga mendapat perhatian dari dunia internasional atas usahanya dalam bidang kesehatan.

Di bawah dukungannya, 10 cabang Yayasan Anak-anak Penyandang Disabilitas dapat didirikan. Masih di Surakarta, Soeharso juga mendirikan Sheltered Workshop Foundation dr. Soeharso3. Usahanya untuk memelihara dan merawat anak-anak penyandang disabilitas belum usai, tetapi masih ada kelanjutan kegiatan lainnya.

(Bersambung)


  1. Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Boyolali, “Laporan Akhir Identifikasi dan Pengelolaan Cagar Budaya di Kabupaten Boyolali Tahun 2020”, BI-SMART Boyolali, https://bi-smart.boyolali.go.id/uploads/riset/2020/rekomendasi_riset/a2730bfd0663f7ae4ed145c6b974f102.pdf. ↩︎
  2. Fathur Rachman, “Riwayat Letusan Gunung Merapi, Paling Parah Tahun 1930”, Tempo.co, 30 November, 2022, https://www.tempo.co/politik/riwayat-letusan-gunung-merapi-paling-parah-tahun-1930-244552. ↩︎
  3. Poliman, “PROF. DR. R. SUHARSO”, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1983-1984, https://repositori.kemdikbud.go.id/10582/1/PROF.DR.R.SUHARSO.pdf. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Museum Pertama di Boyolali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-pertama-di-boyolali-1/feed/ 0 46513