museum Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/museum/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:26:45 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 museum Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/museum/ 32 32 135956295 Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan https://telusuri.id/keraton-sumenep-dan-salam-bayi-dalam-kandungan/ https://telusuri.id/keraton-sumenep-dan-salam-bayi-dalam-kandungan/#comments Tue, 28 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45464 Berkunjung ke Museum Keraton Sumenep seperti kembali ke masa lampau. Meski aku bukan pelaku sejarah, setidaknya aku sedikit tahu bagaimana keadaan Sumenep pada zaman kerajaan. Kompleks bangunan ini mulanya Keraton Sumenep yang dialihfungsikan sebagai museum....

The post Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan appeared first on TelusuRI.

]]>
Berkunjung ke Museum Keraton Sumenep seperti kembali ke masa lampau. Meski aku bukan pelaku sejarah, setidaknya aku sedikit tahu bagaimana keadaan Sumenep pada zaman kerajaan. Kompleks bangunan ini mulanya Keraton Sumenep yang dialihfungsikan sebagai museum. Berada di sebelah timur Taman Bunga Sumenep, tarif masuk yang dipatok pun terjangkau, yaitu enam ribu rupiah untuk anak-anak dan sepuluh ribu rupiah untuk dewasa.

Senin pagi (7//1/2025) aku, David, dan Ibna mengunjungi situs bersejarah itu. Kami melihat, mengamati, bertanya, dan mengabadikan beberapa momen di tempat yang menyimpan barang-barang berharga, yang kini jadi pajangan sekaligus saksi tanah Sumenep berada di tangan-tangan raja.

Museum Keraton Sumenep dibagi menjadi beberapa bagian. Ada yang boleh dikunjungi, ada juga titik-titik lain yang hanya terbuka untuk orang-orang tertentu, semisal tamu bupati. Di titik pertama, aku disambut foto raja-raja Sumenep. Aku menatap satu per satu dengan saksama lalu berhenti di foto Bindara Saud, raja ke-30 Sumenep yang memerintah selama 1750–1762.

  • Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
  • Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan

Secuil Ingatan Raja-raja Sumenep di Masa Kecil

Di kompleks pertama yang bangunannya berseberangan dengan keraton, sang pemandu menjelaskan kisah raja-raja Sumenep serta berapa lama mereka berkuasa. Salah satu yang membuatku berdecak kagum adalah keberadaan kereta kencana My Lord yang didapat dari Sir Thomas Stamford Raffles. Menurut sang pemandu, kereta itu diberikan sebagai tanda terima kasih kepada Sultan Abdurrahman (Sultan Pakunataningrat) karena bersedia menerjemahkan naskah berbahasa Sansekerta ke bahasa Inggris.

Kereta tersebut berdiri gagah di atas karpet merah. Setiap kerangkanya masih kokoh seakan menunjukkan bahwa sejarah tidak akan pernah lapuk ditelan zaman. Selain My Lord, ruangan tersebut rupanya juga dipenuhi dengan beberapa benda berharga, seperti satu set kursi dan meja marmer dari Eropa yang ditaksir peninggalan abad XVIII. Tak jauh dari pintu masuk, sebuah mushaf Alquran terpajang dalam kaca. Menariknya, Alquran tersebut ditulis tangan dalam kurun waktu enam bulan dan memiliki panjang empat meter serta berat 500 kg.

Aku yang lahir di tanah Sumenep merasa sangat minim soal pengetahuan tentang sejarah tanah kelahiran sendiri, terutama nama-nama raja yang memerintah di daerah ujung timur Pulau Garam ini. Seingatku, terakhir kali berkunjung ke museum ini saat kelas 6 MI (setara SD) dan kemarin adalah yang kedua kalinya. Sebelum keluar dari bangunan pertama, aku sempat melihat daftar raja-raja Sumenep dan catatan-catatan penting mereka selama memegang pemerintahan.

Dari sekian banyaknya raja, ada dua nama yang hingga detik ini masih melekat dalam ingatan. Pertama adalah Ario Banjak Wide (Aria Wiraraja). Dalam catatan dia dikenal sebagai raja Sumenep yang memerintah pada 1269–1292. Keratonnya berdiri di tanah Batuputih, kurang lebih 18 kilometer dari kota. Tercatat sebagai raja pertama Sumenep, Aria Wiraraja juga memiliki peran penting dalam mendirikan kerajaan Majapahit.

Raja selanjutnya tentu saja adalah Joko Tole, sebuah nama yang mengingatkanku pada masa kanak-kanak. Joko Tole selalu menjadi dongeng di langgar sehabis salat Isya. Konon, Joko Tole dibesarkan oleh seorang empu, lantaran Potre Koneng yang diketahui hamil tanpa seorang suami diusir dari kediamannya. Semasa tidak lagi tinggal di rumah, Potre Koneng berdiam di Gua Bukit Payudan dengan hari-hari ditemani perutnya yang semakin buncit.

“Joko Tole sakti mandraguna. Dia punya kuda terbang,” memoriku terputar pada suatu malam saat guru mengaji bercerita di teras langgar. Aku yang bersandar di pilar sesekali menoleh ke jalan setapak dekat sumur, berharap bapak lekas datang menjemput. Tiba-tiba ingatan itu hilang ketika pemandu mengajak ke lokasi kedua di bagian utara.

Dari tabel daftar nama-nama raja di papan museum pertama, aku baru tahu bahwa nama asli Joko Tole adalah P. Setjoadingrat III. Keratonnya berdiri di Banasare Lapataman dan berkuasa selama 45 tahun, tepatnya pada 1415–1460. Dia tertulis sebagai raja ke-13 Sumenep yang terkenal dengan berbagai cerita dan aksi heroiknya.

Replika Kereta My Lord

Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
Kereta My Kord/Helmy Khan

Sebelum masuk ke museum kedua, aku disambut dua meriam di kanan-kiri Labang Mesem dengan moncong menganga, seperti hendak memuntahkan bola api. Kedua meriam itu hitam legam, menjelma sepasang prajurit yang bersiap menjadi penjaga sekaligus penyambut tamu paling depan sebelum wisatawan masuk ke titik museum kedua dan ketiga.

Setelah melewati halaman yang luas, terlihat cermin berukuran besar. Cermin itu menjulang tinggi dengan jelas menggambarkan apa saja yang ada di hadapannya.

“Dulu, sebelum bertemu raja biasanya berkaca dulu di cermin ini,” ucap pemandu memulai percakapan di lokasi museum kedua.

Di samping cermin itu terdapat sebuah kereta yang sama persis dengan kereta My Lord. Menurut pemandu, kereta tersebut merupakan replika dari kereta pemberian Raffles dan digunakan ketika hari-hari besar Sumenep. Kata pemandu pula, dulu kereta replika itu dibuat karena kuda tidak mau bergerak ketika dijadikan penarik kereta My Lord.

“Kudanya takut. Tidak mau bergerak,” jelasnya lalu menyilakan masuk ke ruangan pertama di museum kedua.

Dalam bangunan ini ada banyak peninggalan bersejarah yang sebagian besar berisi pusaka, seperti celurit, keris, tombak beserta lemari penyimpanan setinggi lima meter, pedang, baju besi, dan pakaian keluarga keraton yang terbuat dari kulit macan.

Di samping itu, bukti mengakarnya agama Islam di masa kepemimpinan Sultan Abdurrahman sangat kental. Hal itu terlihat dari keterlibatan Sultan Abdurrahman sendiri. Ia menulis 30 juz Alquran pada tahun 1811. Berdasarkan keterangan, raja ke-32 Sumenep itu menulisnya di atas kertas ponoragan (lontar) dengan tebal 11 cm serta memiliki berat 14 kg.

Sebelum meninggalkan lokasi kedua, di teras bagian barat pemandu menunjukkan beberapa buah arca yang dipercaya bahwa agama selain Islam pernah menjadi keyakinan di tanah Sumenep. Meski beberapa bagian terdapat kerusakan, arca tersebut berdiri kokoh dihiasi bunga lotus.

Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
Mushaf Alquran yang ditulis Sultan Abdurrahman/Helmy Khan

Salam Bayi dalam Kandungan 

Tepat pukul 08.37 WIB aku menapakkan kaki di kediaman Bindara Saud, rumah raja ke-30 Sumenep yang kini beralih fungsi sebagai titik ketiga museum. Bangunan ini berdiri kokoh menghadap ke selatan. Temboknya tebal, sangat tebal, tidak lumrah seperti bangunan pada umumnya.

Sebelum melangkah lebih dalam pemandu terlihat merapal mantra. Kemenyan yang dibawa dari titik lokasi kedua masih tetap berada di tangannya. Bangunan itu dicat warna kuning, di depan masing-masing jendela terdapat dua set kursi serta dua pasang pakaian terpajang rapi dalam lemari kaca.

Dahulu kala bangunan ini dipercaya sebagai saksi keajaiban Bindara Saud semasih berada dalam kandungan Nyai Nurima. Peristiwa itu terjadi ketika sang ibunda sedang menunaikan salat, di luar Kiai Abdullah menguluk salam. Lantaran tak kunjung mendapat jawaban sampai salam ketiga, secara ajaib Bindara Saud menjawab salam tersebut dan memberi tahu bahwa sang bunda sedang menunaikan ibadah.

Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
Rumah Bindara Saud yang masih terjaga keasliannya/Helmy Khan

“Pada salam ketiga, Bindara Saud menjawab salam tersebut dan memberi tahu bahwa uminya sedang salat,” ucap pemandu sambil membenarkan posisi kacamatanya. Peristiwa tersebut menjadi asal mula nama Bindara Saud. Saud dari bahasa Madura nyaot atau berarti ‘menjawab’.

Pemandu bilang bangunan itu masih terjaga keasliannya. Hanya ada sedikit perubahan, seperti genting yang telah diganti, tembok yang mengelupas telah diplamir, serta ditambah penerang modern dibeberapa sudut.

Titik ketiga di museum ini merupakan bangunan paling kecil. Tak banyak barang-barang peninggalan terdahulu yang tersimpan. Hanya beberapa dengan ukuran kecil, seperti stempel kerajaan, wayang kulit, koteka, barang pemberian suku Asmat, gading gajah, lemari, serta alas kaki yang terbuat dari kayu mentaos yang digunakan pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman.

  • Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan
  • Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan

Setelah berkunjung ke tiga titik museum, pemandu tidak lagi menemani rombonganku. Ia memberi keleluasaan untuk melihat-lihat di area museum. Sebelum kembali ke tempat semula di loket pendaftaran, ia menyarankan agar kami tidak masuk ke area yang telah menjadi ketentuan. 

Di kompleks museum yang dibangun oleh Louw Phia Ngo, arsitek asal Cina, kami menyusuri bagian-bagian yang masih belum disinggahi, seperti Galeri Andhap Asor dan Taman Sare yang ketiga pintunya diyakini memiliki keistimewaan. Ada kepercayaan dapat membuat awet muda, mudah mendapatkan jodoh dan keturunan di pintu pertama; lalu dapat meningkatkan karier dan kepangkatan di pintu kedua; serta dapat meningkatkan iman dan ketakwaan di pintu ketiga.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Keraton Sumenep dan Salam Bayi dalam Kandungan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/keraton-sumenep-dan-salam-bayi-dalam-kandungan/feed/ 1 45464
Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik https://telusuri.id/jejak-lokananta-yang-menyimpan-hampir-40-000-piringan-hitam-musik/ https://telusuri.id/jejak-lokananta-yang-menyimpan-hampir-40-000-piringan-hitam-musik/#respond Sat, 24 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39061 Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akhirnya merevitalisasi dan mengembangkan aset Lokananta, yang berada  di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Lokananta, yang sempat terkenal sebagai perusahaan piringan hitam dan salah satu perusahaan rekaman terdepan di Indonesia...

The post Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik appeared first on TelusuRI.

]]>
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akhirnya merevitalisasi dan mengembangkan aset Lokananta, yang berada  di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Lokananta, yang sempat terkenal sebagai perusahaan piringan hitam dan salah satu perusahaan rekaman terdepan di Indonesia ini kini menjadi ruang kreativitas bagi para musisi, seniman, hingga UMKM. Dengan revitalisasi, Lokananta kini memiliki lima pilar bisnis utama, yakni museum, studio rekaman, arena pertunjukan, area kuliner, dan galeri UMKM. 

Revitalisasi menjadi langkah tepat. Bagaimanapun, Lokananta merupakan salah satu aset berharga. Tempat ini menyimpan puluhan ribu piringan hitam musik nasional dari berbagai genre. Termasuk ribuan master rekaman yang memang perlu perawatan dan pelestarian.

Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik
Mesin pembuat master rekaman yang tersimpan di museum mini Lokananta/Djoko Subinarto

Melihat Lokananta

Bagi saya pribadi, Lokananta bukan nama yang asing. Sejak kecil,  saya sudah akrab dengan perusahaan rekaman ini dari koleksi album-album keroncong dan karawitan Jawa milik ayah saya. Meski demikian, baru pada Juli tahun  2010 lampau, saya memiliki kesempatan melihat langsung Lokananta. Saya terdorong rasa penasaran ingin mengetahui hal ihwal perusahaan rekaman ini.

Tatkala memasuki halaman depan kompleks gedung Lokananta yang berada di Jalan Jenderal Achmad Yani 379, Surakarta, Jawa Tengah, 13 tahun yang silam, saya seolah memasuki sebuah kompleks gedung mati yang tidak berpenghuni. Suasana tampak lengang, hampir tidak terlihat aktivitas apa pun. 

“Ya, beginilah keadaan Lokananta saat ini. Ibaratnya hidup segan, mati tak mampu,” guyon Titik Sugiyanti, staf humas Lokananta yang menyambut kedatangan saya, di salah satu sudut di ruang belakang Gedung Lokananta, kala itu.

Titik kemudian menceritakan sekilas sejarah Lokananta. Inti ceritanya yaitu R Maladi, beserta beberapa rekan seperjuangannya, berinisiatif dengan swadaya mendirikan pabrik piringan hitam pada tahun 1950-an dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan siaran radio, khususnya Radio Republik Indonesia (RRI).

Menurut Titik, fungsi utama Lokananta di masa itu adalah memproduksi dan menggandakan piringan hitam untuk keperluan bahan-bahan siaran bagi 27 stasiun RRI di seluruh Indonesia.

Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik
Sebagian koleksi piringan hitam Lokananta/Djoko Subinarto

Seperangkat Gamelan

Nama Lokananta sendiri berasal dari cerita dalam khazanah pewayangan yang merujuk kepada nama seperangkat gamelan dari Suralaya, yaitu istana dewa-dewa di khayangan. Menurut legenda, konon, perangkat gamelan ini dapat berbunyi sendiri tanpa ditabuh.

Saat peresmian oleh Menteri Penerangan RI, Soedibjo, tanggal 29 Oktober 1956, Lokananta berstatus sebagai jawatan. Empat tahun kemudian, status Lokananta berubah menjadi perusahaan negara berdasarkan PP No 215 Tahun 1960. Tujuan perubahan agar cakupan kerja Lokananta tidak hanya melayani kebutuhan bahan siaran RRI, tetapi juga mengemban misi menggali, membina, melestarikan, serta menyebarluaskan kesenian dan kebudayaan nasional.

Karenanya, Lokananta kemudian memperluas fungsinya dengan menjadi studio rekaman. Rekaman pertama hasil produksi Lokananta adalah album gendhing Jawa dan keroncong.

“Sebagian besar album rekaman Lokananta di masa-masa awal adalah gendhing Jawa dan keroncong,” papar Titik.

Pada perkembangan selanjutnya, genre musik di luar gendhing dan keroncong mulai ikut direkam di Lokananta, termasuk lagu-lagu daerah dari seluruh Indonesia dan musik jazz. Musisi jazz Bubi Chen pernah merekam albumnya di sini.

“Empat album pertama Bubi Chen direkam di Lokananta,” jelas Titik.

Lahirnya era kaset di awal tahun 1970-an dan mulai menjamurnya perusahaan-perusahaan rekaman komersial di Indonesia rupanya mempengaruhi putaran roda bisnis Lokananta. Akibatnya, tahun 1972, Lokananta memutuskan untuk berhenti memproduksi piringan hitam.

Agar mampu bersaing dengan industri rekaman komersial, status Lokananta lantas berubah menjadi BUMN Departemen Penerangan berdasarkan Keputusan Presiden No 13 Tahun 1983. Dengan status tersebut, Lokananta mendapat kepercayaan sebagai pusat penggandaan video bersama dengan TVRI dan PPFN.

Pembubaran Departemen Penerangan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuat nasib Lokananta semakin tidak menentu. Dalam masa transisi dan di ambang kolaps, atas perjuangan mantan Dirjen PPG Deppen, Subrata, pada tahun 2004, status Lokananta berganti. Lokananta menjadi cabang dari Perum Percetakan Negara RI (PNRI) dan berada di bawah Kementerian BUMN. Cakupan tugasnya sebagai salah satu pusat multimedia, rekaman (kaset dan CD), remastering, dan pengembangan percetakan serta jasa grafika. 

Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik
CD musik produksi Lokananta/Djoko Subinarto

Jejak Musik

Sebagai studio rekaman pertama di Indonesia sudah barang tentu Lokananta mempunyai aneka master rekaman penting terkait dengan jejak perkembangan musik di Indonesia. Lokananta, misalnya, masih menyimpan master asli lagu “Indonesia Raya” versi tiga stanza. Kemudian “Terang Bulan”—yang mirip dengan lagu kebangsaan Malaysia “Negaraku”—serta “Rasa Sayange”—yang pernah digunakan untuk promosi pariwisata Malaysia dan memicu kontroversi.

Terkait lagu “Terang Bulan”, lagu ini diproduksi tahun 1956 oleh RRI Jakarta dan kemudian diperbanyak oleh Lokananta pada tahun 1965. Sedangkan lagu “Rasa Sayange” diproduksi tahun 1962 untuk keperluan suvenir Asian Games IV di Jakarta.

Di samping menyimpan master rekaman musik berbagai genre, wayang, ketoprak dan dagelan, Lokananta juga menyimpan master rekaman pidato-pidato penting Bung Karno, seperti pidato Bung Karno pada saat pembukaan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.  

Saat berkunjung ke Lokananta pada tahun 2010 itu, saya berkesempatan pula bersua dengan Bemby Ananto. Saat itu, ia menjabat sebagai penanggungjawab bagian remastering Lokananta. Di meja kerjanya, saya melihat beberapa piringan hitam lawas yang isinya sedang melalui proses alih digital. Bemby menyampaikan bahwa Lokananta menyimpan sedikitnya 5.000 master rekaman dalam bentuk tape reel. Di samping berbagai master rekaman, tambah Bemby, Lokananta mengoleksi pula hampir 40.000 piringan hitam musik.

Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik
Bemby Ananto menunjukkan sejumlah master rekaman yang tersimpan di Lokananta/Djoko Subinarto

Museum rekaman

Di luar koleksi master rekaman dan piringan hitam, Lokananta juga mengoleksi aneka peralatan rekaman dari berbagai masa dari mulai master recorder, mikrofon, alat pengganda kaset, gramofon hingga bahan pembuat piringan hitam. 

Baik Titik maupun Bemby waktu itu sepakat, bahwa Lokananta berpotensi besar menjadi sebuah museum rekaman dan perpustakaan musik nasional. Lokananta telah berkontribusi penting dalam kancah industri rekaman di Indonesia. Termasuk di dalamnya berbagai koleksi master rekaman, piringan hitam serta berbagai peralatan rekaman dari masa ke masa yang dimiliki.

Kini, potensi besar tersebut tampaknya telah mulai terwujud. Revitalisasi meneguhkan peran Lokananta sebagai sentra kreativitas bagi para musisi, seniman, hingga UMKM, dengan lima pilar bisnis utamanya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-lokananta-yang-menyimpan-hampir-40-000-piringan-hitam-musik/feed/ 0 39061
7 Museum Kekinian di Jawa-Bali yang Harus Kamu Kunjungi https://telusuri.id/7-museum-kekinian-di-jawa-bali-yang-harus-kamu-kunjungi/ https://telusuri.id/7-museum-kekinian-di-jawa-bali-yang-harus-kamu-kunjungi/#respond Thu, 18 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38694 Museum, bagi kebanyakan orang, biasanya identik dengan kuno, jadul, tidak terawat, atau sentimen-sentimen lainnya. Stigma tersebut kadang-kadang membuat kita enggan untuk berkunjung ke museum. Namun, pandangan-pandangan miring itu belakangan kian terbantahkan. Saat ini makin banyak...

The post 7 Museum Kekinian di Jawa-Bali yang Harus Kamu Kunjungi appeared first on TelusuRI.

]]>
Museum, bagi kebanyakan orang, biasanya identik dengan kuno, jadul, tidak terawat, atau sentimen-sentimen lainnya. Stigma tersebut kadang-kadang membuat kita enggan untuk berkunjung ke museum.

Namun, pandangan-pandangan miring itu belakangan kian terbantahkan. Saat ini makin banyak museum yang memoles diri menjadi lebih ramah pengunjung dan interaktif. Ditambah lagi dengan kehadiran museum-museum baru yang modern dan kekinian di beberapa daerah. 

Sebelum itu, TelusuRI mengingatkan kamu agar memerhatikan sejumlah etika berkunjung dan peraturan yang berlaku di museum. Misalnya, jangan membuat suara gaduh, tidak membawa makanan dan minuman dari luar, tidak menyentuh barang-barang koleksi di museum. Lalu jangan memotret sembarangan, karena berkaitan dengan hak cipta dan privasi. Pastikan terlebih dahulu kepada petugas mengenai ini.

Sudah berkemas dan siap main ke museum? TelusuRI merangkum 7 museum kekinian di Jawa-Bali yang menarik buat kamu masukkan daftar kunjungan saat liburan atau pergi ke kota-kota berikut ini: 

1. Museum MACAN, Jakarta

Museum MACAN, Jakarta via Instagram (museummacan)

MACAN adalah akronim dari Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara). Museum yang masuk dalam “100 Tempat Terbaik di Dunia 2018” versi TIME ini memiliki koleksi seni modern dan kontemporer dari Indonesia maupun internasional. Tidak hanya lukisan, Museum MACAN juga memiliki media atau seni instalasi lainnya, hingga agenda pertunjukan. 

Di sektor pendidikan, yang menjadi misi utama Museum MACAN, terdapat beberapa program yang memfasilitasi apresiasi seni dengan kegiatan interaktif dan menarik. Tujuannya agar seni dapat diakses masyarakat luas, terutama generasi muda dan anak-anak, serta bermitra dengan sekolah dengan menyediakan materi edukasi seni.

Museum seni ini terletak di AKR Gallery West Apartment, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Jika kamu menggunakan transportasi umum, halte dan stasiun terdekat yang bisa kamu capai antara lain:

  • Halte Kebon Jeruk (TransJakarta 8 Lebak Bulus—Pasar Baru)
  • Halte Gerbang Tol Kebon Jeruk (TransJakarta T11 GBK—Poris Plawad)
  • Stasiun Kebayoran Lama (KRL Commuter Line Tanah Abang—Serpong)

Jam berkunjung
Selasa–Minggu: 10.00–18.00 (akses terakhir 17.45)
Senin: tutup

Harga tiket

KategoriSelasa–JumatSabtu–Minggu
AnggotaGratis (reservasi slot)Gratis (reservasi slot)
DewasaRp70.000Rp90.000
Pelajar & MahasiswaRp63.000Rp81.000
Senior (usia 65+)Rp63.000Rp81.000
Anak-anak (usia 3-12 tahun)Rp56.000Rp72.000
Anak-anak (di bawah 3 tahun)GratisGratis

Informasi dan pemesanan tiket daring
www.museummacan.org

2. Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta

Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta via ullensentalu.com
Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta via ullensentalu.com

Ullen Sentalu adalah akronim dari falsafah Jawa “Ulating Blencong Sejatining Tataraning Lumaku”, yang bermakna “terang adalah penuntun jalan kehidupan”. Filosofi tersebut menjadi benang merah Museum Ullen Sentalu dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya Jawa sebagai karakter bangsa. Museum ini menampilkan sejarah budaya dan kehidupan para bangsawan Dinasti Mataram beserta koleksi lukisan, serta batik-batik, baik bergaya Yogyakarta maupun Surakarta.

Meskipun bertema sejarah, konsep dan nuansa museum yang terletak di kawasan Kaliurang, Kecamatan Pakem, Sleman ini terbangun dengan baik. Museum ini cocok dikunjungi wisatawan lintas usia, bahkan generasi kekinian sekalipun. Pengunjung seperti tersedot memasuki lorong waktu dan kembali ke masa lampau.

Terdapat dua jenis tur museum yang masing-masing berdurasi 45 menit, yaitu Tur Adiluhung Mataram dan Tur Vorstenlanden. Di kedua tur tersebut, pemandu atau edukator Ullen Sentalu akan mengajak kamu menjelajahi dimensi waktu melalui berbagai macam koleksi seni dan memaknai filosofi di dalamnya.

Jam berkunjung
Selasa–Minggu: 08.30–16.00 (tur terakhir 15.15)
Senin: tutup

Harga tiket
Tur Adiluhung Mataram: Rp50.000
Tur Vorstenlanden: Rp100.000

Informasi dan pemesanan tiket daring
www.ullensentalu.com

3. Museum Tumurun, Surakarta

Museum Tumurun, Surakarta via Instagram (tumurunmuseum)
Museum Tumurun, Surakarta via Instagram (tumurunmuseum)

Museum Tumurun merupakan museum pribadi yang didirikan dan dikelola Iwan Kurniawan Lukminto, anak H.M. Lukminto. Lukminto adalah pendiri dan pemilik PT Sritex, perusahaan tekstil terbesar di Indonesia. “Tumurun” berasal dari kata “turun-temurun”, yang berarti mewariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Museum ini menyimpan ratusan koleksi seni lokal maupun internasional. Di antaranya lukisan-lukisan terkenal karya Affandi, Basoeki Abdullah, Raden Saleh, dan banyak lagi. Tak hanya karya klasik, seni-seni modern dan kontemporer pun juga tersimpan di museum yang terletak di Sriwedari, Laweyan, Kota Surakarta tersebut.

Ketika pembukaan perdana pada Maret 2018, museum ini hanya bisa dikunjungi oleh keluarga dan kerabat terdekat. Namun, sebulan kemudian pengunjung umum sudah boleh masuk dengan reservasi terbatas. 

Informasi biaya, jam kunjungan, dan pemesanan tiket daring
Instagram @tumurunmuseum atau situs resmi www.tumurunmuseum.org

4. Blockbuster Museum, Surabaya

Blockbuster Museum, Surabaya via Google (Ikhsan Rosyid)
Blockbuster Museum, Surabaya via Google (Ikhsan Rosyid)

Museum Blockbuster adalah museum pertama di Indonesia yang bertema film dan game.  Awalnya museum ini menyimpan koleksi pribadi pendirinya, Anton Lomewa, yang gemar mengumpulkan mainan dan replika jagoan (action figure) film-film terkenal sejak kecil.

Sejak 2019, Anton membuka pintu bagi khalayak umum yang ingin melihat ribuan koleksi barang langka miliknya. Jika kamu berada di Surabaya, jangan lewatkan kesempatan buat mampir ke museum yang terletak di The Kitchenware Paradise, Jalan Kenjeran, Tambaksari, Surabaya. 

Segmentasi pengunjung museumnya antara lain para kolektor action figure dan mainan, pencinta film, generasi kekinian maupun komunitas-komunitas yang bergerak di dunia serupa. Anton juga bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata Kota Surabaya untuk mempromosikan ke jangkauan pasar yang lebih luas.

Jam berkunjung
Jumat–Minggu: 12.00–19.00

Harga tiket
Rp80.000

Informasi dan pemesanan tiket daring
Instagram @blockbustermuseumsurabaya

5. Museum Musik Indonesia, Malang

Museum Musik Indonesia, Malang via Google (Yuga Gumilang)
Museum Musik Indonesia, Malang via Google (Yuga Gumilang)

Dalam situs resminya, Museum Musik Indonesia (MMI) menyebut diri sebagai museum musik pertama yang melakukan pengumpulan, dokumentasi, dan konservasi segala jejak sejarah musik di Indonesia. Pendirian museum ini bermula dari inisiasi komunitas pencinta musik di Kota Malang membentuk Galeri Malang Bernyanyi (GMB) pada 2009. Tujuh tahun kemudian, GMB berubah menjadi MMI dan diresmikan oleh Badan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia bersama Pemerintah Kota Malang.

Sebagian besar koleksi di Museum Musik Indonesia antara lain media rekaman fisik berupa kaset, piringan hitam, hingga keping CD, VCD, atau DVD. Uniknya adalah koleksi tersebut berasal dari sumbangan masyarakat, baik di Indonesia maupun mancanegara. Sampai saat ini operasional museum yang terletak di Gedung Kesenian Gajayana, Kota Malang itu masih bergantung pada sistem donasi dan tenaga sukarela. 

Jam berkunjung
Selasa–Minggu: 10.00–17.00
Senin dan Hari Besar: tutup

Informasi dan donasi
www.museummusikindonesia.id 

6. Museum Angkut, Batu

Museum Angkut, Kota Batu via Flickr (Bruce Levick)
Museum Angkut, Kota Batu via Flickr (Bruce Levick)

Museum Angkut adalah museum transportasi pertama di Asia Tenggara. Museum ini termasuk dalam wahana kekinian di bawah naungan Jatim Park Group. Museum Angkut terletak di kaki Gunung Panderman, Jalan Terusan Sultan Agung, Kota Batu. Beberapa tempat wisata tematik serupa yang terdekat dengan museum ini antara lain Jatim Park 1, Jatim Park 2 (Batu Secret Zoo), dan Eco Green Park.

Ratusan jenis angkutan tradisional dan modern yang dimiliki memanjakan para pencinta otomotif. Mulai dari motor, mobil, kereta api, sampai dengan pesawat. Koleksi-koleksi tersebut menempati beberapa ruang dengan dekorasi bertema benua Asia, Eropa, hingga Amerika. Tersedia pula wahana flight simulator, yang memungkinkan kamu untuk belajar mengemudikan pesawat. Selain itu, lengkapnya fasilitas dan atraksi yang ada membuat museum ini sering menjadi tujuan wisatawan lintas usia. Dari anak-anak sampai dewasa.

Jam berkunjung
Setiap hari: 12.00–20.00

Harga tiket
Hari kerja: Rp100.000
Akhir pekan: Rp120.000

Informasi dan pemesanan tiket daring
www.jtp.id/museumangkut

7. Nyaman Gallery, Bali

Nyaman Gallery, Bali via Instagram (nyamangallery)
Nyaman Gallery, Bali via Instagram (nyamangallery)

Seperti namanya, pelopor galeri seni kontemporer bertaraf internasional di Bali ini ingin mencerminkan museum yang penuh kemudahan dan keramahtamahan khas Bali. Terletak di pusat Seminyak, Kabupaten Badung yang ramai turis, Nyaman Gallery mendorong pengunjung kekinian seperti kamu untuk menikmati dan berinteraksi dengan koleksi seni yang dimiliki.

Museum ini memajang koleksi karya seni dari seniman-seniman lokal maupun mancanegara, serta memadukan konsep modern dan tradisional. Bentuk-bentuk seni yang ditampilkan antara lain lukisan, fotografi, patung, maupun instalasi seni lainnya. Dalam situs resminya, Nyaman Gallery menyebut cinta sebagai ruh utama dalam melakukan kurasi segala karya seni yang ada.

Di lantai dua dari museum ini, terdapat Nyaman Artspace. Pusat kreatif dan ruang seni untuk lokakarya edukatif. Peserta dari lintas usia bisa membuat karya seni sendiri dengan pendampingan seniman atau guru yang memiliki keahlian maupun teknik artistiknya masing-masing.. 

Jam berkunjung
Setiap hari: 09.00–21.00

Harga tiket
Gratis

Informasi koleksi dan event
www.nyamangallery.com


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 7 Museum Kekinian di Jawa-Bali yang Harus Kamu Kunjungi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/7-museum-kekinian-di-jawa-bali-yang-harus-kamu-kunjungi/feed/ 0 38694
Membuka Lembar Sejarah di Museum Multatuli Lebak https://telusuri.id/membuka-lembar-sejarah-di-museum-multatuli/ https://telusuri.id/membuka-lembar-sejarah-di-museum-multatuli/#respond Sat, 08 Apr 2023 04:00:26 +0000 https://telusuri.id/?p=38016 Tiga tahun silam saya menuntaskan buku berjudul Max Havelaar karya monumental bergenre sastra klasik dari penulis bernama pena Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Karya sastra tersebut amat membekas sekali. Selain terkesan klasik bernuansa tahun 1850-an...

The post Membuka Lembar Sejarah di Museum Multatuli Lebak appeared first on TelusuRI.

]]>
Tiga tahun silam saya menuntaskan buku berjudul Max Havelaar karya monumental bergenre sastra klasik dari penulis bernama pena Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Karya sastra tersebut amat membekas sekali. Selain terkesan klasik bernuansa tahun 1850-an yang mengisahkan perjuangan bumiputera, juga membuka mata hati dan jiwa kita sebagai pembaca. 

Bahkan saya baru tahu kemudian, ketika melihat foto seorang teman di tahun berikutnya, menampilkan dirinya di samping patung Multatuli karya pahatan seniman bernama Dolorosa Sinaga. Saya mengira patung pada foto tersebut hanya sekadar monumen yang ditaruh oleh pemerintahan Lebak untuk mengenang Multatuli. Tapi lebih dari itu, di sampingnya terdapat museum yang dibangun sebagai ruang edukasi dan merawat ingatan masyarakat Lebak.

Dari dua rentetan peristiwa di atas. Hari itu di bulan Februari akhir 2023, saya berkesempatan melawat ke Rangkasbitung yang tanpa berpikir akan menyinggahi Museum Multatuli, dan akhirnya berujung singgah di sana.

Alasannya sederhana saja, saya melihat papan informasi titik wisata sejarah Lebak, Kampung Adat Baduy dan kawasan konservasi Ujung Kulon setiba di pintu keluar stasiun. Setelah sebelumnya beranjak dari Stasiun Pasar Minggu–Tanah Abang–Rangkasbitung. Saya terpana melihat tampilan gambar kontemporer di spanduk yang menunjukkan titik Museum Multatuli tinggal beberapa ratus meter lagi.

Saya kala itu bersama Abi, seorang mahasiswa Bangka Belitung. Kami dijemput oleh Akid—kawan saya satu pelatihan nasional—bersama kawannya pula menjemput di Stasiun Rangkasbitung. Satu pertanyaan saya pada Akid kala itu, “Di manakah letak Museum Multatuli itu, Kanda Akid?”

“Tak jauh. Dekat cuma. Bahkan kami sering melangsungkan kegiatan diskusi-diskusi di sana,” ujarnya. Saya terperangah tambah tertarik, dan mengajak ia untuk segera ke sana karena tak mau memendam rasa penasaran. Tetap, Lebak sehabis hujan sudah mendekati Magrib. Akid membawa saya terlebih dahulu rehat di sekretariat salah satu organisasi Universitas Setia Budi.

Museum Multatuli
Di samping patung Multatuli/Raja Syeh Anugrah

Nilai Historis Multatuli & Eksistensi Museum

“Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia.” Merupakan salah satu peluru kata-kata yang kerap dikutip dari sosok Multatuli. Ia menjadi dikenang hingga memomumenkannya, bukanlah konsep pengkultusan gaya baru. Tidak juga karena ia telah berhasil menggaungkan semangat perlawanan, dan membumikan kemanusiaan ke tengah-tengah koloni Hindia Belanda.

Tapi juga, oleh keberanian Douwes Dekker menanggalkan sikap merendahkan, meremehkan dan lebih menyetarakan bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi manusia. Bukan untuk dieksploitasi tenaganya dan dipaksa menyelesaikan pembangunan demi kepentingan elit penguasa. Juga oleh sebab ia berhasil meng-abadikan mata penglihatannya ke dalam buah karya berjudul asli Max Havelaar of De koffieveillingen der Nederlandse Handelsmaatshappij (Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Belanda) hingga kemudian dikenal seantero negeri, dan menginspirasi—Soekarno dan R.A. Kartini.

Multatuli tidak cukup lama berada di Lebak. Datang bulan Januari 1856 dan dipulang-paksakan bulan April karena ia menyerukan penerapan praktik yang berkeadilan untuk kaum bumiputera—antara orang kulit putih dan pribumi adalah sama. Ditambah posisi yang tak menjanjikan hanya sebatas Asisten Residen Lebak dari atasannya Residen Banten Brest van Kempen yang bertolak dari pemikiran humanis Dekker, ia pun tersingkir.

Seorang kelahiran 2 Maret 1820 di Amsterdam itu yang dibesarkan di tengah dinamika dan turut merasakan bagaimana kondisi hidup bersama buruh tekstil di sana. Kemudian kembali ke Eropa dan merampungkan karyanya tahun 1859 di Brussel, Belgia dan mengedarkan karyanya seluas-luasnya pada tahun 1860 hingga diterjemahkan ke dalam 40 bahasa.

Hal yang tak boleh dilewatkan pula. Sebelum karyanya terbit, Douwes Dekker pernah menuliskan secarik surat kepada Raja Willem III. Tertulis, “Apakah yang mulia tahu 30 juta lebih rakyat di Hindia yang disiksa atas nama yang mulia?” Raja Willem III itu tak bergeming. Sementara Dekker meski tak lagi memijakkan kaki di tanah Hindia Belanda, ia tetap berjuang dan berusaha membongkar praktik kotor kolonialis agar membuka mata dunia.

Saya amat takjub oleh historis Multatuli yang sarat nilai dan amat filosofis sehingga tak mau melewatkan kesempatan emas untuk mengunjungi Museum Multatuli yang kini berdiri gagah di Rangkasbitung, Lebak. Sebelum tengah hari saya, Akid dan Abi berjalan kaki ke sana. Bangunan yang menyebelah dengan Perpustakaan Daerah Saidjah dan Adinda itu menyatu dalam satu komplek.

Menurut beberapa informasi yang saya dapatkan, Museum Multatuli diresmikan pada 11 Februari 2018 setelah diwacanakan pada Mei 2017. Perhelatannya langsung diresmikan oleh Pak Hilmar Farid selaku Dirjen Kemdikbud RI dan Bu Iti Octavia Jayabaya selaku Bupati Lebak. Tentu perhelatan yang meriah ini akan menjadi nilai dari museum dan menarik lebih luas minat masyarakat lingkup instansi, termasuk sekolah-sekolah yang ada di Lebak.

Museum Multatuli
Bersama siswa SD di Museum Multatuli/Raja Syeh Anugrah

Saya mendapati suasana yang berbeda dari biasanya. Di samping lalu-lalang masyarakat Lebak yang tidak begitu padat seperti ibukota Jakarta, museum ini pun menjadi rumah peradaban sebagai tempat belajar bagi anak sekolahan bersama para guru pendamping. Kala itu, saya bertukar cerita dan sedikit bertanya pada serombongan siswa SD itu. Sejauh manakah mereka mengenal Multatuli. Alhasil, salah satu anak menjawab, “Patung ini adalah Eduard Douwes Dekker.”

Jawaban sederhana dari pengetahuan si anak itu, bagi saya sudah lebih dari cukup. Sebab dari sanalah seiring masa pertumbuhan, ketertarikan mereka akan dikembangkan lewat mesin pencari di gawai, internet maupun buku-buku di perpustakaan. 

Tak jauh pula dari monumen Multatuli, juga berdiri patung Adinda. Sosok perempuan bumiputera yang menjadi tokoh di dalam karya sastra klasik Max Havelaar dengan Saidjah tokoh lelaki bumiputera lainnya.

Di Museum Multatuli, saya kembali mengenang dan mengingat bagaimana Max Havelaar mengubah segalanya. Keberanian ia sebagai asisten residen membongkar praktik gelap dari Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara dan Demang Pajangkujang Raden Wira Kusuma, menumbuhkan jiwa merdeka masyarakat pribumi melawan kesewenang-wenangan.

Sekilas Pandang Museum Multatuli

Tertulis sajak di salah satu ruangan, “Saya telah menyaksikan/bagaimana keadilan telah dikalahkan/oleh para penguasa/dengan gaya yang anggun/dan sikap yang gagah. Tanpa ada ungkapan kekejaman di wajah mereka,” oleh W.S. Rendra berjudul lengkap “Sajak Demi Orang-orang Rangkasbitung”.

Sajak itu terpajang indah di salah satu ruangan. Indah pula sikap Belanda yang pongah digambarkan Rendra dengan sikap seolah-olah ia berbicara kopi di tanah sendiri padahal tanah dari masyarakat bumiputera. Itulah kiranya sepenggal sajak yang bisa diresapi secara langsung dari Museum Multatuli, dan beberapa ungkapan sastrawan lainnya termasuk Pramoedya Ananta Toer.

Museum Multatuli berdiri di atas tanah seluas 1934 meter kubik. Memanfaatkan bangunan bekas Wedana Rangkasbitung yang berdiri sejak tahun 1923. Jika di depan saya mendapati pendopo, maka di dalam saya mendapati ada sekitar tujuh ruangan berisikan masing-masing histori bersambung.

Pengunjung bisa masuk setelah registrasi dan membayar simaksi tiket yang cukup murah Rp2.000/orang. Saya, Abi, dan Akid sudah bisa masuk menjelajahi ruang narasi museum dengan aneka bukti fisik, artefak, dan buku replika Max Havelaar dalam berbagai bahasa.

  • Museum Multatuli
  • Museum Multatuli

Di ruang pertama, saya bisa melihat secara langsung tampilan instalasi patung Douwes Dekker yang menghadapkan kepala ke arah kanan. Di ruang selanjutnya terdapat penjelasan sejarah kopi mengapa ia sampai di Rangkasbitung, Lebak, dan sekitarnya; beberapa pajangan alat pembuat kopinya serta ikat kepala dari masyarakat Baduy Luar, Baduy Dalam dan topi residen.

Ruang selanjutnya ke arah dalam dengan pola berbentuk ‘T’ itu semakin nampak luas. Ada pajangan batu ubin bekas rumah Douwes Dekker lama, karya-karyanya yang replikaan, salinan surat kepada Raja Willem III dan ketakjuban tokoh nasional yang terilhami dari sosok Multatuli. Berkenaan tata ruang, Museum Multatuli didesain dengan gaya modern fraktal yang tidak simetris dan terdapat sistem pencahayaan elegan.

Akses ke museum tidaklah sulit. Dari stasiun Rangkasbitung pengunjung bisa naik angkutan kota atau ojek menuju arah Alun-alun Lebak. Sementara rute kereta bisa diakses dari Stasiun Tanah Abang dengan lama perjalanan hingga dua jam dari Tanah Abang.

Pandangan saya terhadap Museum Multatuli sama halnya memandang timbulan matahari di pagi hari. Meski berdiri sudah cukup lama dari tahun 2018, tapi energinya masih tetap menyala sampai kapan pun. Karena karya Multatuli tak akan pernah lekang di panas dan tak akan lapuk di hujan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Membuka Lembar Sejarah di Museum Multatuli Lebak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/membuka-lembar-sejarah-di-museum-multatuli/feed/ 0 38016
Singgah ke Museum H.O.S Tjokroaminoto https://telusuri.id/singgah-ke-museum-h-o-s-tjokroaminoto/ https://telusuri.id/singgah-ke-museum-h-o-s-tjokroaminoto/#respond Mon, 26 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36734 Di Kota Surabaya terdapat sebuah museum yang terbilang unik. Museum tersebut merupakan sebuah rumah huni yang dulunya merupakan sebuah rumah indekos. Dari sekedar rumah yang berfungsi sebagai kos tersebut, banyak melahirkan buah pemikiran yang tidak...

The post Singgah ke Museum H.O.S Tjokroaminoto appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Kota Surabaya terdapat sebuah museum yang terbilang unik. Museum tersebut merupakan sebuah rumah huni yang dulunya merupakan sebuah rumah indekos. Dari sekedar rumah yang berfungsi sebagai kos tersebut, banyak melahirkan buah pemikiran yang tidak disangka-sangka akan menjadi landasan pemikiran oleh founding father negara Indonesia di masa depan. Mari menelusurinya, Museum H.O.S. Tjokroaminoto.

Museum H.O.S. Tjokroaminoto berada di kawasan Peneleh, Kota Surabaya. Kota yang dijuluki sebagai Kota Pahlawan ini memang terkenal memiliki beragam objek bersejarah dan berbagai museum yang tersebar di penjuru kota. Dahulu Presiden Republik Indonesia pertama yakni Ir. Soekarno pada masa mudanya pernah menetap di sini.

Rumah H.O.S. Tjokroaminoto dan Para Tokoh Nasional Bangsa

Museum ini dulunya merupakan rumah dari salah satu tokoh pergerakan nasional yakni Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Beliau merupakan salah satu tokoh pergerakan yang cukup identik dengan kelompok organisasi Sarekat Islam pada masa tersebut. Rumah yang terbilang cukup sederhana ini, menjadi saksi bisu lahirnya buah-buah pemikiran dan ideologi para pendiri bangsa saat masih muda. Rumah yang berdesain klasik dengan sentuhan khas Jawa dari era abad ke-19 hingga awal abad ke-20 inilah menjadi tempat bernaung sekaligus berdiskusi para penghuninya.

Rumah HOS Cokroaminoto
Rumah HOS Cokroaminoto/Zahir

Mulai dari Ir. Soekarno, Musso, Semaoen, hingga pentolan DI/TII semacam Kartosoewirjo pernah indekos di rumah tersebut. Para penghuni rumah yang kebanyakan memang masih usia belia seringkali menimba ilmu sekaligus berdiskusi tentang berbagai hal. Dunia politik, pandangan agama serta ideologi, bisa dibilang menjadi menu rutin anak-anak kos di rumah tersebut. H.O.S. Tjokroaminoto tentunya berperan sebagai ayah asuh sekaligus mentor dalam ilmu kebangsaan dan perpolitikan bagi mereka, sehingga membentuk pola pemikirannya masing-masing.

Ruangan-ruangan di Museum H.O.S. Tjokoroaminoto

Lazimnya rumah pada umumnya, tentu kondisi ruangan dalam museum ini juga menyesuaikan bentuk asli rumah tersebut. Bagian depan rumah masih mempertahankan desain rumah khas Jawa yang dihiasi pagar kayu yang dicat berwarna hijau. Area ruangan depan atau ruang tamu banyak dihiasi koleksi asli dari empunya, mulai dari beragam pernak Pernik hiasan dinding, beberapa buah kursi lengkap dengan mejanya, dan beberapa plakat penghargaan juga terpasang di ruangan ini.

Bagian lantai rumah ini juga masih menggunakan ubin klasik yang tentunya menambah kesan vintage. Berlanjut di ruangan berikutnya yakni di sisi kiri ketika memasuki sebuah lorong akan disuguhi beragam koleksi milik H.O.S. Tjokroaminoto sewaktu aktif berorganisasi di Sarekat Islam. Mulai dari beragam buku-buku lama, arsip-arsip kuno hingga beragam surat kabar yang memuat pemberitaan mengenai Sarekat Islam kala itu terpajang di dinding-dinding lorong yang berukuran tidak terlalu luas ini. Ada pula ragam koleksi benda-benda asli milik H.O.S. Tjokroaminoto yang tersimpan rapi menjadi koleksi di ruangan tersebut. Selain itu, ada beberapa infografis yang menceritakan perjalanan hidup H.O.S. Tjokroaminoto sewaktu aktif berorganisasi. 

Menuju ke ruangan berikutnya, beberapa foto-foto penghuni dari rumah ini mulai dari Ir. Soekarno, Musso, dan beberapa tokoh lainnya menjadi suguhan. Kamar mereka berada di lantai dua di sisi kanan ruangan belakang tersebut. Di sanalah, kerap kali terjadi diskusi antara para penghuninya.

Salah satu koleksi yang bisa dibilang menjadi ikon dari rumah H.O.S. Tjokroaminoto ini adalah setelan baju yang dulunya dipergunakan oleh Soekarno sewaktu muda. Baju ini tersimpan rapi di lorong belakang dalam sebuah lemari kaca yang bersebelahan dengan lemari kuno. Selain baju milik Soekarno, juga terdapat setelan baju milik H.O.S. Tjokroaminoto.

  • Area Ruang Tengah Museum Cokroaminoto
  • Area Ruang Tamu Museum
  • Replika Baju Soekarno
  • koleksi koran kuno
  • Logo PSII

Ada pula sebuah kamar pribadi yang dulunya merupakan tempat tidur H.O.S. Tjokroaminoto bersama dengan sang istri yakni Soeharsikin. Kamar yang berukuran tidak terlalu luas ini terdapat berbagai macam perabotan asli mulai dari meja rias, lemari, bahkan ranjang asli juga berada di tempat ini. Para pengunjung diperbolehkan untuk mengambil foto namun tidak diperbolehkan untuk menyentuh apalagi duduk di ranjang tersebut. 

Rumah yang telah menjadi museum ini tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu saksi bisu dalam perkembangan pemikiran para tokoh nasional bangsa Indonesia kala itu masih muda. Meskipun dalam perjalanannya, mereka seringkali berseberangan pendapat dan ideologi, tidak dapat dipungkiri melalui proses diskusi dan bimbingan dari H.O.S. Tjokroaminoto juga turut memberi tuntunan terhadap pola pemikiran mereka.

Museum tersebut buka setiap hari Selasa–Minggu mulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Lokasi museum ini berada di Jl. Peneleh Gang VII No. 29-31, Kel. Peneleh, Kec. Genteng. Jika ingin mengunjungi rumah sekaligus museum H.O.S. Tjokroaminoto, kamu harus melakukan pendaftaran secara daring melalui tiketwisata.surabaya.go.id. Setelah melakukan pendaftaran, kamu cukup menunjukan barcode yang tercetak dalam tiket tersebut saat berkunjung.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Singgah ke Museum H.O.S Tjokroaminoto appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/singgah-ke-museum-h-o-s-tjokroaminoto/feed/ 0 36734
Museum Layang-Layang Indonesia: Merawat Keelokan Budaya dengan Permainan https://telusuri.id/museum-layang-layang-indonesia/ https://telusuri.id/museum-layang-layang-indonesia/#respond Fri, 28 Oct 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35977 Di salah satu jalan di daerah Jakarta Selatan, berdiri sebuah museum yang berisikan berbagai jenis layang-layang dari berbagai penjuru Indonesia dan mancanegara, Museum Layang-layang Indonesia namanya. Langit Jakarta yang cerah menemani perjalanan saya menuju Museum...

The post Museum Layang-Layang Indonesia: Merawat Keelokan Budaya dengan Permainan appeared first on TelusuRI.

]]>
Di salah satu jalan di daerah Jakarta Selatan, berdiri sebuah museum yang berisikan berbagai jenis layang-layang dari berbagai penjuru Indonesia dan mancanegara, Museum Layang-layang Indonesia namanya. Langit Jakarta yang cerah menemani perjalanan saya menuju Museum Layang-layang Indonesia, tak sulit untuk disambangi, bantuan peta elektronik mengantarkan saya tiba di tempat tujuan dengan mudah. 

Saat tiba di lokasi, seorang petugas parkir siap membantu dan menyambut ramah setiap pengunjung yang datang. Kemudian ia mengantarkan saya menuju loket tiket. Harga tiket masuknya cukup terjangkau, yakni Rp25.000 untuk orang dewasa, dan Rp20.000 untuk anak-anak. Tiket ini sudah termasuk dengan kegiatan menonton tayangan audio visual layang-layang, melihat koleksi, dan membuat kreasi layang-layang. Seorang pemandu akan mendampingi setiap rombongan pengunjung, ia juga  mengawal setiap rangkaian kegiatan yang ditawarkan. 

Museum Layang-layang Indonesia
Ruang koleksi di Museum Layang-Layang/Atika Amalia

Mula-mula saya diajak masuk ke ruangan audiovisual. Terdapat satu buah televisi dan bangku-bangku berjejer rapi. Pengunjung bebas memilih bangku mana yang ingin diduduki,  kemudian sebuah tayangan mengenai layang-layang siap disuguhkan selama kurang lebih lima belas menit. Tayangan tersebut berisi tentang sejarah asal mula, fungsi, serta ragam dan jenis layang-layang di berbagai daerah di Nusantara. Tentunya, tontonan ini cukup mengedukasi saya. 

Setelah selesai, pemandu yang memperkenalkan dirinya dengan panggilan Lina mengajak saya menuju sebuah bangunan yang berisikan koleksi layang-layang. Di sekitar bangunan saya melihat anak-anak dan para orang tua menerbangkan layangan yang baru saja mereka buat. 

Sebelum memasuki ruangan koleksi, kita harus melepaskan alas kaki terlebih dahulu, agar kebersihan museum tetap terjaga. Lina menjelaskan koleksi layang-layang satu persatu,  mulai dari koleksi yang ditempel di selasar yang punya berbagai bentuk unik seperti menyerupai naga, kapal, ikan, rumah adat daerah, burung, wajah manusia, wayang, dan banyak lagi. 

Selanjutnya, Lina mengajak saya masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya tersimpan lebih banyak lagi koleksi layang-layang. amun sebelum masuk kita diperingatkan bahwa tidak boleh merekam gambar saat berada di ruangan, hanya boleh  mengambil foto saja. 

Museum Layang-layang Indonesia
Bersama pemandu museum/Atika Amalia

Dari semua koleksi layang-layang ada beberapa jenis yang menarik perhatian saya,  di antaranya adalah sebuah layang-layang yang mengingatkan pada teman sepermainan saat tinggal di Sumatera Barat. Sebuah layang-layang maco dipajang gagah di dinding museum dan satu lagi bernama layang-layang patah siku juga berasal dari Sumatera Barat. Dalam keterangan gambar tampak tertulis dengan sebutan langlang maco. Saat kecil dulu, nenek sering menegur anak-anak yang bermain layang-layang pada tengah hari, beliau menyebutnya dengan sebutan olang-olang bukan langlang. Perbedaan sebutan tersebut saya tanyakan kepada Lina.

“Mengapa di sini tertulisdengan nama langlang, Bu?”

“Wah kenapa ya, sejauh ini saya hanya tau bahwa di Sumatera Barat disebut dengan nama langlang, malah saya baru tau dari anda ada sebutan lain,” ujar Lina dengan lagak yang agak ragu.

“Coba sebutkan lagi tadi namanya apa di Sumatera Barat?” Lina mulai penasaran dengan kosa kata yang baru ia dengar.

“Nenek saya menyebutnya dengan dengan olang-olang,” saya menjawab dengan yakin.

“Terdengar seperti orang-orang di Pasar Glodok ya,” ujar Lina bercanda.

Lalu saya dan Lina tertawa bersama. Bagi saya, apapun perbedaan sebutan untuk layang-layang, hal paling penting adalah budaya permainan layang-layang tetap dilestarikan.

Idiosinkrasi Pelayang Pancing Nusantara

Saya melihat koleksi lain yang menarik, sebuah layang-layang dimainkan di atas kapal juga dijadikan sebagai alat untuk menangkap ikan. Rekam gambar ini pernah diabadikan dalam uang kertas seribu rupiah. Berlatar belakang sepasang gunung yang disebut sebagai Pulau Maitara dan Tidore, terlihat dua orang nelayan di atas sampan, satu di antaranya sedang memegang layang-layang. 

Museum Layang-layang Indonesia
Pelayang pancing di Pulau Maitara dan Tidore dalam uang kertas Rp1.000/Atika Amalia

Selain Tidore, para nelayan di Teluk Lampung juga menjadikan layang-layang sebagai alat untuk menangkap ikan. Mereka disebut sebagai pelayang pancing. Di Museum layang-layang terdapat sebuah miniatur kapal berhiaskan daun loko-loko. 

Dahulu, para pelayang pancing di Teluk Lampung menggunakan layang-layang dari daun loko-loko yang sudah kering; benang diikatkan pada daun lalu umpan diikatkan pada benang. Tidak ada kail pada pancing layang-layang, umpan berupa potongan ikan tanjan yang dikaitkan pada benang pancing diikat simpul lasso. Mereka berburu ikan ciracas, yang di perairan Jawa disebut dengan ikan cucut (Rhizoprionodon acutus) atau dikenal sebagai milk shark dalam bahasa Inggris. Jenis ikan ini mudah dijumpai di Teluk Lampung, memiliki moncong panjang dan runcing, daging ikan dikonsumsi oleh sebagian masyarakat sebagai bahan pangan. Dewasa ini, para pelayang pancing sudah semakin sedikit jumlahnya.

Pernah Melihat Layang-layang dari Buku

Jauh sebelum melihat layang-layang secara langsung. Azzahra, putri kecil saya sudah pernah mengenal layang-layang dari sebuah buku. Sebagai anak yang tinggal di kota metropolitan, kecil sekali kesempatan baginya untuk bisa menyaksikan orang-orang bermain layangan lebih dekat, berbeda dengan masa kecil saya dimana layang-layang adalah permainan yang sangat dekat dan mudah di jumpai. 

Museum Layang-layang Indonesia
Buku Anak Pewarna Langit/Atika Amalia

Saya membeli sebuah buku yang berjudul Pewarna Langit, buah karya Eva Y. Nukman dan ilustrasi oleh Evi Shelvia, yang diterbitkan oleh Yayasan Litara. Buku itu kebetulan saya dapati di salah satu penerbit, yang menurut saya bagus sebagai pengantar anak-anak mengenal layang-layang dan masuk kedalam ruang imajinasi permainan tradisional. 

Buku ini bercerita tentang sepasang kakak beradik yang baru saja pindah ke kota Payakumbuh, Sumatra Barat. Mereka takjub ketika pertama kali melihat benda-benda penuh warna terbang di langit.  selain cerita, buku ini juga mengajarkan cara membuat layang-layang sederhana, menggunakan bambu, kertas, lem, benang dan hiasan sebagai pemanis.

Sebagai penutup tur di Museum Layang-Layang, saya diajak untuk membuat sebuah kreasi layang-layang. Satu paket bahan untuk dewasa dan satu paket bahan untuk anak yang lebih sederhana. Azzahra teringat akan buku Pewarna Langit yang pernah saya bacakan padanya. 

Berada di Museum Layang-Layang, melihat berbagai koleksi unik nan artistik yang masih terawat baik, serta membuat kreasi layang-layang sendiri kemudian mencoba menerbangkannya menjadikan pengalaman berharga bagi keluarga saya, terutama untuk putri kecil saya, Azzahra.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Museum Layang-Layang Indonesia: Merawat Keelokan Budaya dengan Permainan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-layang-layang-indonesia/feed/ 0 35977
Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (3) https://telusuri.id/museum-masjid-agung-demak/ https://telusuri.id/museum-masjid-agung-demak/#respond Sat, 22 Oct 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35184 Berkunjung ke Masjid Agung Demak tak lengkap rasanya bila tak sekalian singgah ke Museum Masjid Agung Demak yang masih satu kompleks dengan lokasi masjid. Letaknya di sebelah utara serambi Masjid Agung Demak atau sebelah utara...

The post Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Berkunjung ke Masjid Agung Demak tak lengkap rasanya bila tak sekalian singgah ke Museum Masjid Agung Demak yang masih satu kompleks dengan lokasi masjid. Letaknya di sebelah utara serambi Masjid Agung Demak atau sebelah utara persis situs kolam wudu bersejarah.

Museum Masjid Agung Demak berdiri di atas lahan seluas 16 meter persegi, dibangun dengan anggaran mencapai Rp1,1 miliar yang berasal dari APBD Demak dan sisanya dari Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Masjid Agung Demak. Di dalam museum tersimpan koleksi benda-benda bersejarah peninggalan Walisongo dan Masjid Agung Demak yang jumlahnya mencapai 60 koleksi.

Museum ini buka dari Senin hingga Minggu pada jam kerja. Tak ada tiket masuk alias gratis, tapi pengunjung dianjurkan untuk berinfak seikhlasnya di kotak infak yang telah disediakan. Benda-benda bersejarah apa saja yang dapat kita lihat di Museum Masjid Agung Demak? Dari 60-an koleksi, berikut ini di antaranya.

Maket Masjid Demak

Museum Masjid Agung Demak
Maket Masjid Demak 845-1864/Badiatul Muchlisin Asti

Maket atau miniatur Masjid Agung Demak 1845–1864 M tersimpan di Museum Masjid Agung Demak. Maket itu konon aslinya dibuat oleh Sunan Kalijaga—yang memang ditunjuk sebagai arsitek pembangunan Masjid Agung Demak. Termasuk dalam penentuan kiblat masjid yang konon dilakukan oleh Sunan Kalijaga.

Soal kiblat ini, pada abad ke-18 M (Masjid Agung Demak berdiri pada abad ke-15 M), pernah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari—mufti Kerajaan Banjar dan penulis Kitab Sabilal Muhtadin—melawat ke Tanah Jawa dan menyelidiki pembuatan Masjid Demak, bahkan masjid-masjid di seluruh Jawa. Maka, beliau menyimpulkan bahwasannya masjid yang benar-benar tempat mihrabnya menghadap kiblat adalah Masjid Demak.

Menurut Zainal Abidin bin Syamsudin dalam buku Fakta Baru Walisongo (2017), demikian itu karena kepiawaian para sunan sebagai ahli dalam ilmu falak (astronomi).

Saka Guru Peninggalan Para Wali

Museum Masjid Agung Demak
Saka guru Masjid Agung Demak yang asli/Badiatul Muchlisin Asti

Di museum juga tersimpan empat saka guru (tiang penyangga) bagian bangunan induk Masjid Agung Demak yang asli. Empat saka guru itu adalah peninggalan empat wali, yaitu Sunan Bonang (Tuban), Sunan Gunung Jati (Cirebon), Sunan Ampel (Surabaya), dan Sunan Kalijaga (Demak).

Saka guru yang saat ini menyangga bangunan induk Masjid Agung Demak adalah replikanya, di mana formasi tata letak keempat saka guru tersebut adalah sebagai berikut: bagian barat laut, yakni saka guru buatan Sunan Bonang; bagian barat daya, yakni saka guru buatan Sunan Gunung Jati; bagian tenggara, saka guru buatan Sunan Ampel; dan bagian timur laut, saka guru buatan Sunan Kalijaga.

Pintu Bledeg Ki Ageng Selo

Museum Masjid Agung Demak
Pintu bledeg peninggalan Ki Ageng Selo, salah satu murid Sunan Kalijaga/Badiatul Muchlisin Asti

Pintu bledeg adalah daun pintu berukir peninggalan salah satu murid Sunan Kalijaga yang bernama Ki Ageng Selo (Grobogan) yang dibuat pada sekitar tahun 1466 M atau 887 H. Daun pintu terbuat dari kayu jati berukir tumbuh-tumbuhan, jambangan, sejenis mahkota, dan kepala binatang mitos dengan mulut bergigi yang terbuka.

Menurut cerita rakyat yang berkembang, kepala binatang tersebut menggambarkan petir yang konon pernah ditangkap oleh Ki Ageng Selo. Karena itulah orang-orang menamakan pintu itu sebagai pintu bledeg dan merupakan candra sengkala yang berbunyi nogo mulat saliro wani, yaitu tahun 1388 Saka atau tahun 1466 Masehi atau 887 Hijrah.

Daun Pintu Makam Kesultanan 

Pintu makam kesultanan berangka tahun 1710 M ini masih terlihat utuh dan indah dengan ragam ukir suluran dan bunga pada bagian tengah pintu. Hanya saja kusen-kusennya, yang berada di samping dan atasnya memang terlihat sudah rusak dan tampak sangat tua. 

Bedug dan Kentongan Wali Abad XV

Museum Masjid Agung Demak
Bedug wali abad XV/Badiatul Muchlisin Asti

Bedug dan juga kentongan merupakan properti hasil kreasi budaya para wali yang menjadi sarana untuk menginformasikan kepada masyarakat akan masuknya waktu salat. Bedug dan juga kentongan yang tersimpan di Museum Masjid Agung Demak tertulis merupakan peninggalan abad XV.

Gentong Kong dari Dinasti Ming

Museum Masjid Agung Demak
Guci peninggalan Dinasti Ming, hadiah dari Putri Campa pada abad XIV/Badiatul Muchlisin Asti

Gentong kong berupa guci keramik peninggalan Dinasti Ming jumlahnya ada 3 buah. Merupakan hadiah dari Putri Campa pada abad XIV. Tinggi guci 90 cm dan garis tengahnya 100 cm. Guci milik Kesultanan Demak itu dulu digunakan sebagai penampung air untuk memasak.

Kap Lampu Peninggalan Pakubuwono ke-1 dan Kayu Tatal Buatan Sunan Kalijaga

Museum Masjid Agung Demak
Kap lampu peninggalan Paku Buwono ke-1/Badiatul Muchlisin Asti

Kap lampu yang ada di Museum Masjid Agung Demak tertulis tahun 1710 M. Merupakan peninggalan Pakubuwono ke-1.

Sunan Kalijaga dalam membuat salah satu tiang penyangga (saka guru) bangunan induk Masjid Agung Demak tidak menggunakan kayu utuh, namun serpihan kayu yang kemudian dikenal dengan nama saka tatal atau kayu tatal. Baik tiang penyangganya maupun beberapa serpihan kayu tatal itu kini tersimpan di Museum Masjid Agung Demak.

Kitab Suci Kuno Al-Quran 30 Juz Tulisan Tangan

Museum Masjid Agung Demak
Al-Quran kuno tulisan tangan/Badiatul Muchlisin Asti

Menurut cerita, Al-Quran bertuliskan tangan 30 juz itu ditemukan di bawah atap (bangunan atas) ketika Masjid Agung Demak sedang dipugar. Koleksi kitab suci kuno Al-Quran 30 Juz tulisan tangan tersebut disimpan di dalam lemari pajang kaca, dengan pengawet alami di dekatnya.

Tafsir Al-Quran Juz 15-30 Karya Sunan Bonang

Tafsir Sunan Bonang Juz 15 s/d 30 yang tersimpan di Museum Masjid Agung Demak ini tertulis selesai ditulis pada saat terbitnya matahari (waktu dhuha) hari Sabtu, tanggal 20 bulan Syakban tahun 1000 H. Sebuah sumber menyebutkan, kitab ini adalah satu harta kaum muslim Jawa yang selamat dari ‘perampokan’ manuskrip oleh Raffles.

Batu Umpak Andesit

Batu umpak andesit adalah batu-batuan yang diambil dari Majapahit. Fungsinya sebagai pengganjal tiang agar tidak keropos, sebab keadaan tanah di kawasan Demak pada waktu itu masih banyak yang becek (rawa-rawa).

***

Itulah beberapa koleksi yang bisa kita lihat di Museum Masjid Agung Demak, yang bisa mengantarkan imajinasi kita ke masa lampau, saat majelis dakwah Walisongo masih hidup dan gigih menyiarkan dakwah Islamiyah ke segenap penjuru tanah Jawa.

Sejenak menikmati dan menyelami berbagai koleksi benda-benda bersejarah di Museum Masjid Agung Demak menjadi penutup lawatan ke Demak. Semoga bermanfaat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-masjid-agung-demak/feed/ 0 35184
Belajar Sejarah Geologi Indonesia di Museum Geologi Bandung https://telusuri.id/belajar-sejarah-geologi-indonesia-di-museum-geologi-bandung/ https://telusuri.id/belajar-sejarah-geologi-indonesia-di-museum-geologi-bandung/#respond Thu, 28 Jul 2022 01:55:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34626 Demi memanfaatkan akhir pekan yang santai tapi juga menambah wawasan, saya berencana pergi ke sebuah museum di Kota Bandung. Setelah melihat berbagai rekomendasi yang tersedia, Museum Geologi Bandung menjadi pilihan. Museum Geologi Bandung yang dulunya...

The post Belajar Sejarah Geologi Indonesia di Museum Geologi Bandung appeared first on TelusuRI.

]]>
Demi memanfaatkan akhir pekan yang santai tapi juga menambah wawasan, saya berencana pergi ke sebuah museum di Kota Bandung. Setelah melihat berbagai rekomendasi yang tersedia, Museum Geologi Bandung menjadi pilihan.

Gedung museum juga sudah mrmiliki status bangunan cagar budaya (TEMPO_Prima Mulia)
Pengunjung di Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat via TEMPO/Prima Mulia

Museum Geologi Bandung yang dulunya adalah laboratorium geologi bernama Geologische Museum dibawahi Dienst van den Mijnbouw (Departemen Pertambangan) ini menjadi satu-satunya museum geologi di Indonesia. Sampai sekarang fungsi dari bangunan ini selain menjadi museum, juga masih mempertahankan fungsi asalnya yakni sebagai pusat pengembangan dan penelitian dibawahi oleh Sekretariat Badan Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia.

Setelah membayar karcis masuk seharga Rp3.000, saya dengan tidak sabar mulai masuk ke gedung yang bergaya arsitektur art deco dengan yang merupakan bangunan khas kolonial setelah Perang Dunia I. Halamannya cukup luas untuk menampung banyak kunjungan sekaligus. Suasana siang itu cukup ramai dengan lalu lalang anak-anak yang didampingi orang tuanya. Jujur saja, baru kali ini saya melihat museum yang dikelola negara bisa seramai ini pada akhir pekan. Tiket murah dan lokasi strategis mungkin cukup membantu pemasaran museum pada khalayak ramai.

Sejarah Museum Geologi Bandung

Seperti yang sudah dijelaskan di awal, Museum Geologi Bandung atau Geologische Museum dibangun pada tahun 1928. Pemerintah Hindia Belanda yang memang sangat tertarik dengan kondisi geologi di Indonesia sebenarnya sudah melakukan berbagai penyelidikan dari tahun 1850 oleh Dienst van het Mijnwezen (Departemen Dinas Pertambangan) yang berlokasi di Bogor. Lambat laun dengan terkumpulnya berbagai macam benda geologi dari seluruh Hindia Belanda, maka diusulkanlah pembangunan sebuah gedung baru khusus untuk menampung benda-benda tersebut. Maka seorang arsitek berkebangsaan Belanda yakni IR.Menalda Van Schouwenburg datang untuk merancang gedung yang akan berfungsi sebagai “Balai Geologi Hindia Belanda”. 

Gedung ini diresmikan pada 6 Mei 1929, bebarengan dengan acara Kongres Ilmu Pengetahuan Pasifik yang ke-IV. Dienst van het Mijnwezen yang sudah berganti nama menjadi Dienst van den Mijnbouwi mengurusi gedung ini hingga masa pendudukan Jepang.

Masa pendudukan Jepang terhitung singkat (1942-1945), namun bergantinya kekuasaan ini menyebabkan beberapa perubahan nama, di antaranya adalah Dienst van den Mijnbouw yang berubah nama menjadi Kogyoo Zimusho, serta ikut merubah nama gedung Geologische Museum menjadi Chishitsu Chosacho. Dengan fokus Jepang pada penguatan pasukan di Asia Tenggara, maka kegiatan selanjutnya dari Chishitsu Chosacho tidak diketahui lebih lanjut karena adanya pemusnahan dokumen-dokumen milik Jepang akibat kekalahan mereka pada tahun 1945.

Kekalahan Jepang berimbas pengembalian aset-aset ke tangan pemerintah Indonesia. Pengelolaan gedung pun dilaksanakan oleh Pusat Djawatan Tambang dan Geologi yang kerap kali berpindah tempat akibat agresi yang dilancarkan pemerintah Belanda. Gedung ini direnovasi dalam kurun waktu setahun pada 1999 dan dibuka lagi pada 20 Agustus 2000 oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri.

Pengunjung paling banyak dari Museum Geologi Bandung adalah anak-anak sekolah (TEMPO_Prima Mulia)
Pelajar mengisi liburan dengan mengunjungi Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat via TEMPO/Prima Mulia

Ruang Pameran Museum Geologi

Kedatangan saya langsung disambut oleh replika fosil mamut setinggi 3 meter. Ruang pertama yang saya masuki ini disebut ruang orientasi Museum Geologi. Ada berbagai macam informasi, peta Indonesia skala besar, dan papan layar LCD yang siap menyambut pengunjung. Replika fosil mamut yang sedari tadi saya perhatikan menjadi rebutan anak-anak untuk berfoto. Pada lantai dasar ini ada dua ruangan lainnya yang dapat dijelajahi yakni ruangan timur untuk ruang geologi Indonesia dan ruangan barat untuk ruang sejarah kehidupan. Di lantai dua terdapat ruang sumber daya geologi dan ruang manfaat dan bencana geologi. 

FYI, hanya sekitar 20% koleksi museum yang dipamerkan, sisanya disimpan secara apik pada suatu ruang penyimpanan koleksi yang hingga kini menampung 417.822 koleksi.

Memasuki ruang sejarah kehidupan, saya dibuat kagum dengan alur penceritaan bumi sebelum dimulainya kehidupan hingga kehidupan yang sudah beragam. Pelbagai fosil manusia purba yang dipamerkan dalam kotak kaca yang diterangi dengan lampu untuk memperjelas. Ada fosil Homo Erectus dari Trinil, Ngandong, Sangiran, hingga Homo Floresiensis dari Flores.

Ada juga fosil hewan-hewan purba dari kura-kura, babi rusa, kerbau, badak hingga replika fosil t-rex. Ilustrasi yang dilukis cukup detail menggambarkan kehidupan para dinosaurus. Membayangkan jika hewan tersebut masih hidup di masa sekarang, cukup membuat saya bergidik ngeri. Pada sisi lainnya, saya melihat sejarah Kota Bandung yang dulunya merupakan cekungan danau purba yang masih didapat tinggalannya berupa batuan-batuan dan fosil ikan air tawar dan ular.

Berlanjut ke ruang geologi Indonesia, seakan untuk mempertegas status ruang geologinya, terdapat globe raksasa yang menunjukkan peta dunia. Dibanding ruangan sebelumnya, ruangan ini terasa lebih temaram dengan cahaya lampu kekuningan yang berpendar. Saya melihat-lihat koleksi meteor yang pernah jatuh di Nusantara, ada di Banten, Temanggung, Pasuruan, dan lainnya. Di sini kita bisa melihat penjelasan terbentuknya pulau-pulau yang ada di Indonesia, lengkap dengan bebatuan yang didapat dari pulau-pulau tersebut.

Meskipun replika, fosil t-rex ini tetap digemari pengunjung (TEMPO_Prima Mulia)
Sejumlah pelajar mengamati replika rangka Tyrannosaurus rex (T-rex), di Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat via TEMPO/Prima Mulia

Juga, paparan gunung-gunung api di Indonesia dilengkapi dengan penjelasan Indonesia yang terletak di ring of fire hingga dampak alam apa saja yang kita hadapi. Beberapa diperkuat dengan penjelasan digital dari layar LCD yang tersedia. Jenis bebatuan yang dipamerkan tidak hanya yang berasal dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Konon, jumlah koleksi bebatuan di sini mencapai 108.905 buah.

Yang paling menarik bagi saya adalah animasi yang menjelaskan terciptanya bumi di tata surya, bagaimana animasi planet-planet serta ledakan mampu memicu anak-anak untuk memperhatikan lebih lama.

Berlanjut ke lantai dua, masuk ke ruang sumber daya geologi. Ada beberapa artefak yang dipamerkan pada ruangan ini seperti macam-macam benda dengan bahan pembuatnya; ada keris, kapak batu, arca, kalung, hingga pernak-pernik masa modern seperti sendok, kamera, dan laptop.

Ruangan lainnya yakni ruang manfaat dan bencana geologi. Ruangan ini menjelaskan bagaimana sumber daya geologi Indonesia membawa manfaat positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Semisal pemanfaatan geothermal sebagai energi terbarukan, apa saja dampak letusan gunung bagi lingkungan sekitar bahkan ada bangkai motor dari erupsi Gunung Merapi pada 2010 yang menyisakan duka mendalam karena banyaknya korban dan hilangnya sosok fenomenal Mbah Marijan.

Selesai berkeliling, saya menuju tangga dan segera berjalan menuju ruang orientasi untuk menuju halaman. Saya akan melanjutkan penjelajahan Kota Bandung menuju Gedung Sate yang hanya sepelemparan batu dari lokasi museum. Melihat gedung-gedung kuno di Bandung yang masih lestari, saya tidak bisa menyangkal bahwa tata kota era kolonial memang didesain sedemikian rupa dengan pengelompokkan tata ruang kota yang apik.

Gedung Museum Geologi Bandung yang sudah ditetapkan menjadi cagar budaya pada 2009 laksana memanggil ingatan akan sebuah kota-kota Indonesia era kolonial. Tidak hanya menyimpan kekayaan geologi dari berbagai pulau di Indonesia, museum ini juga menjadi saksi bisu perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Sejarah Geologi Indonesia di Museum Geologi Bandung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/belajar-sejarah-geologi-indonesia-di-museum-geologi-bandung/feed/ 0 34626
Mengunjungi Prasasti Plumpungan, Menggali Sejarah Kota Salatiga https://telusuri.id/mengunjungi-prasasti-plumpungan-menggali-sejarah-kota-salatiga/ https://telusuri.id/mengunjungi-prasasti-plumpungan-menggali-sejarah-kota-salatiga/#respond Thu, 03 Mar 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32893 Sekitar jam sepuluh pagi saya menuju prasasti yang masih tersisa di sekitar Kota Salatiga. Tujuan saya adalah Museum Salatiga yang memiliki koleksi prasasti Plumpungan. Museum ini terletak di Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo,...

The post Mengunjungi Prasasti Plumpungan, Menggali Sejarah Kota Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekitar jam sepuluh pagi saya menuju prasasti yang masih tersisa di sekitar Kota Salatiga. Tujuan saya adalah Museum Salatiga yang memiliki koleksi prasasti Plumpungan. Museum ini terletak di Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga.

Jika ingin berkunjung ke sini, kita bisa naik angkutan umum yang mudah untuk dicari. Tinggal naik angkot nomor 3 yang menuju ke arah Pabelan Kabupaten Semarang. Kemudian turun di pertigaan bawah flyover atau pertigaan Watu Rumpuk. Lalu kita tinggal jalan kaki ke arah timur kurang lebih 200 meter, di kiri jalan kita bisa menemui museum Salatiga. Museum Salatiga buka hari Senin sampai Jumat pukul 8 sampai 3 sore. Sedangkan untuk hari Sabtu dan Minggu dapat berkunjung asalkan reservasi terlebih dahulu. Biaya masuknya juga gratis, entah berkunjung sendiri ataupun rombongan.

Prasasti Plumpungan
Museum Salatiga/Abdul Karim

Prasasti Plumpungan adalah asal-usul berdirinya Kota Salatiga. Prasasti ini berbentuk batu dengan 6 pesan yang berisi deklarasi sebuah daerah perdikan. Daerah perdikan itu bernama Desa Hampra yang kini dikenal dengan Dukuh Plumpungan yang terletak di daerah Trigramyama yang kini dikenal dengan Kota Salatiga. Hampra dibebaskan pada tahun 672 penanggalan saka atau tahun 750 masehi, tepatnya tanggal 24 Juli, kini tanggal tersebut diperingati sebagai menjadi hari jadi Kota Salatiga.

Saya disambut oleh penjaga museum, Surotun (32). Beliau mengajak saya berkeliling melihat pelbagai koleksi museum seperti arca, yoni, lapik, dan beberapa bagian candi. Semuanya berasal dari Kota Salatiga. Surotun dengan sigap mengenalkan saya dengan satu per satu koleksi di dalam museum. Ia seperti sudah hafal di luar kepala setiap detil sejarah yang ada di Kota Salatiga.

Museum Salatiga hanya memiliki satu ruangan saja sebagai etalase koleksi. Untuk prasasti Plumpungan sendiri berada di halaman dekat jalan dan dibuatkan pendopo. Beberapa koleksinya juga ditempatkan di halaman, terutama koleksi dengan ukuran besar. Walaupun tempatnya cukup kecil, museum ini memiliki 70-an koleksi.

Prasasti Plumpungan
Prasasti plumpungan/Abdul Karim

Saya dan Surotun lebih asyik ngobrol dan diskusi seputar sejarah Kota Salatiga. Ia sedikit menjelaskan kenapa di Kota Salatiga tidak ditemukan bangunan candi. Hanya ditemukan sisa-sisa candi seperti batuan dinding, hiasan candi, atau hanya arca.

Menurutnya, dulu Belanda pernah mendirikan sebuah benteng di daerah Pasar Loak Shoping. Benteng tersebut menggunakan batuan dari candi—yang terbuat dari batuan adesif keras—sebagai bahan bangunan benteng. Namun kini, benteng tersebut telah diratakan menjadi taman, lalu dijadikan sebagai pasar.

Ketika saya mau melihat prasasti Plumpungan, gerimis mulai turun dan hujan. Saya diberitahu oleh Surotun, jika ingin melihat prasasti Plumpungan waktu paling tepat adalah di sore hari. Ketika sore cahaya matahari akan jatuh di atas prasasti, sehingga tulisan di atas prasasti akan lebih mudah dilihat. Bukit tempat prasasti ini berada juga tepat mengarah ke barat, seolah telah sengaja ditaruh di sini.

Prasasti Plumpungan
Prasasti plumpungan/Abdul Karim

Prasasti Plumpungan ditulis dengan  aksara jawa kuno dan berbahasa sansekerta. Terjemahan dari prasasti Plumpungan kurang lebih seperti ini, “Semoga bahagia! Selamatlah rakyat sekalian! Tahun Saka telah berjalan 672/4/31 (24 Juli 760 M) pada hari Jumat tengah hari. Dari dia, demi agama untuk kebaktian kepada yang Maha Tinggi, telah menganugerahkan sebidang tanah atau taman, agar memberikan kebahagiaan kepada mereka yaitu Desa Hampra yang terletak di wilayah Trigramyama (Salatiga) dengan persetujuan dari Siddhi Dewi (Sang Dewi yang Sempurna atau Mendiang) berupa daerah bebas pajak atau perdikan ditetapkan dengan tulisan aksara atau prasasti yang ditulis menggunakan ujung mempelam dari dia yang bernama Bhanu. (Dan mereka) dengan bangunan suci atau candi ini. Selalu menemukan hidup abadi.”

Menurut penjelasan Surotun, dari teks tersebut bisa disimpulkan jika dulu daerah Salatiga adalah tempat beribadah. Sampai wilayah ini dijadikan sebagai tanah perdikan atau daerah bebas pajak. Namun teks ini juga masih memiliki misteri, para sejarawan belum mengetahui siapa itu “Bhanu”. Tidak dijelaskan apakah Bhanu merupakan seorang utusan atau penguasa di wilayah Hampra ini.

Museum Salatiga sering digunakan untuk berbagai kegiatan.  Setiap tahunnya, pada peringatan hari jadi Kota Salatiga selalu digelar pertunjukan wayang di halaman museum. Pada hari-hari tertentu umat Hindu di sekitar museum juga beribadah di halaman Prasasti Plumpungan. Menurut mereka, di area Plumpungan masih memiliki aura yang positif untuk berdoa.

Tak jarang pengunjung dengan tujuan mistis kerap datang. Entah untuk sekedar berkunjung atau memenuhi beberapa ritual. Terkadang mereka hanya memberikan persembahan bunga, membakar kemenyan, bahkan memandikan keris.

  • Prasasti Plumpungan
  • Prasasti Plumpungan
  • Prasasti Plumpungan

Pihak museum sendiri juga sering mengadakan kegiatan. Tiap tiga bulan sekali, diadakan konservasi benda museum untuk menjaga koleksi. Museum juga mengadakan kegiatan gali sejarah secara tematik, seperti pada zaman klasik atau zaman Hindia-Belanda. Kegiatan seru yang patut ditunggu adalah pelatihan menulis di atas daun lontar. Konon menulis di atas daun lontar merupakan budaya nenek moyang kita sebelum mengenal kertas. Kitab-kitab kuno dan serat ditulis menggunakan bahan ini.

Surotun sangat menyayangkan akan pengunjung museum yang masih sepi. Ia menyadari bahwa koleksi dan fasilitas yang diberikan juga belum maksimal. Namun ia akan dengan senang hati menerima dan memandu pengunjung museum berapapun jumlahnya.

Museum Salatiga ini bisa menjadi alternatif kunjungan jika mampir ke Salatiga. Apalagi jika mencari wisata sejarah, maka kita akan menemukan banyak sumber di sini. Apalagi di museum kecil ini kita masih pemandu yang kompeten.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengunjungi Prasasti Plumpungan, Menggali Sejarah Kota Salatiga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengunjungi-prasasti-plumpungan-menggali-sejarah-kota-salatiga/feed/ 0 32893
Berkunjung ke Museum Dewantara Kirti Griya https://telusuri.id/berkunjung-ke-museum-dewantara-kirti-griya/ https://telusuri.id/berkunjung-ke-museum-dewantara-kirti-griya/#respond Sun, 12 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30869 Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 di Pakualaman. Ia merupakan cucu Pangeran Paku Alam III. Namanya tentu tak asing, ia menjadi Menteri Pendidikan pertama...

The post Berkunjung ke Museum Dewantara Kirti Griya appeared first on TelusuRI.

]]>
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 di Pakualaman. Ia merupakan cucu Pangeran Paku Alam III. Namanya tentu tak asing, ia menjadi Menteri Pendidikan pertama di Indonesia dan mendapatkan gelar pahlawan nasional. Untuk mengenang jasa dan perjuangannya, kita bisa berkunjung ke Museum Dewantara Kirti Griya.

Pengunjung Mematuhi Protokol Kesehatan saat Pandemi
Pengunjung mematuhi protokol kesehatan saat pandemi/Imam Basthomi

Sejarah Singkat Museum Dewantara Kirti Griya

Museum Dewantara Kirti Griya (MDKG) merupakan museum memorial, berupa tempat atau rumah bekas kediaman seorang tokoh yang patut diabadikan dalam sejarah bangsa. Di dalam museum ini disajikan gambaran riwayat hidup dan sejarah perjuangan Ki Hajar Dewantara sebagai  bapak  pendidikan  dan pahlawan nasional Indonesia. 

MDKG dahulunya adalah rumah Ki Hajar dan keluarganya. Rumah tersebut dihuni sejak tanggal 16 November 1938, bertepatan dengan diresmikannya Pendapa Agung Tamansiswa (Monumen Persatuan Tamansiswa). Bangunan rumah tersebut bergaya Hindia—Belanda klasik.

Rumah ini menempati tanah yang dibeli atas nama Ki Hajar Dewantara, Ki Sudarminto, Ki Supratolo dari Mas Adjeng Ramsinah pada tanggal 14 Agustus 1935. Pada tanggal 18 Desember 1951, kepemilikan tanah dan bangunan tersebut dihibahkan kepada Yayasan Persatuan Perguruan Tamansiswa.

Pada tanggal 3 November 1957, Ki Hajar pindah ke rumah yang diberikan para alumni dan pecinta Tamansiswa di Jl. Kusumanegara 131, Yogyakarta. Pada tahun 1958, Ki Hajar mengajukan permintaan kepada sidang Pamong Tamansiswa agar rumah bekas tempat tinggalnya yang berada dijadikan museum. Setelah Ki Hajar wafat pada tahun 1959, mulai tahun 1960, Tamansiswa berusaha untuk mewujudkan gagasan almarhum.

Setelah melewati beberapa proses, Museum Dewantara Kirti Griya diresmikan pada 2 Mei 1970. Hal itu bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Kata Dewantara diambil dari nama Ki Hajar Dewantara sedangkan Kirti berarti “pekerjaan”, dan Griya berarti “rumah”. Dengan demikian arti lengkapnya adalah Rumah yang berisi hasil kerja Ki Hajar Dewantara.

Alamat, Jam Kunjung Museum, dan Harga Tiket

Museum Dewantara Kirti Griya (MDKG) berlokasikan di Jalan Tamansiswa No. 31 Yogyakarta Kompleks Majelis Luhur Tamansiswa. Museum ini buka setiap hari Senin—Sabtu. Pada hari Sabtu—Kamis MDKG buka pada pukul 08.00—13.00 WIB dan pada hari Jumat MDKG buka pada pukul 08.00—11.00 WIB. MDKG tutup setiap hari Minggu dan hari besar (hari libur nasional).

Ketika pandemi seperti sekarang ini, MDKG menerima kunjungan dengan menerapkan protokol kesehatan dan dengan melakukan jumlah pembatasan pengunjung. Jumlah pengunjung maksimal 25 orang. MDKG saat pandemi juga melayani kunjungan ke museum secara virtual apabila ada pemberitahuan atau permintaan sebelumnya.

Edukator Museum Menjelaskan Koleksi Museum
Edukator menjelaskan koleksi museum/Imam Basthomi

Tiket masuk di MDKG yakni sukarela, namun jika menggunakan jasa edukator maka akan dikenai biaya Rp5000/orang. MDKG juga memiliki varian harga yang berbeda untuk yang memesan Program Paket Kunjungan. Untuk Paket A dikenai biaya Rp1000/orang, Paket B dikenai biaya Rp15.000/orang, Paket C dikenai biaya Rp35.000/orang, Paket D dikenai biaya Rp50.000/orang. Masing-masing paket menawarkan program dan fasilitas yang berbeda-beda.

Koleksi Museum Dewantara Kirti Griya

Jumlah koleksi Museum Dewantara sebanyak 3.257 buah yang terdiri dari koleksi historika (sebanyak 1.207) dan koleksi filologika (sebanyak 2.050). Dua jenis koleksi tersebut terbagi menjadi 3 hal yakni: 1) Bangunan, berupa rumah bekas tempat tinggal Ki Hajar Dewantara dan Pendapa Agung Tamansiswa; 2) Koleksi Realia, yakni koleksi berupa benda-benda yang berhubungan dengan Ki Hajar yang memiliki peran dalam peristiwa sejarah seperti naskah, perabotan, pakaian, alat-alat kerja, dan arsip; 3) Koleksi lainnya berupa foto, benda pecah belah, surat kabar, dan buku-buku.

Standing Banner Ki hajar di Museum
Standing banner Ki Hajar di museum/Imam Basthomi

Fasilitas dan Program Museum Dewantara Kirti Griya

Tata pameran di Museum Dewantara Kirti Griya dibagi menjadi enam ruangan. Keenam ruangan tersebut menggambarkan perjuangan Ki Hajar dari awal hingga akhir hayatnya. 

Ruang Pamer 1 merupakan ruang khusus milik Ki Hajar Dewantara. Di sana terdapat terdapat benda-benda yang pernah dimiliki dan digunakan olehnya. Ruang Pamer 2 berada tepat di bagian depan museum. Ruangan ini merupakan keluarga milik Ki Hajar Dewantara. Di dalamnya tersimpan koleksi berupa foto-foto dokumentasi, kursi goyang, lemari, jam, koleksi souvenir, dan lambang Tamansiswa.

Ruang Pamer 3 berada di sebelah kanan ruang keluarga. Ruangan ini dahulu merupakan ruang tamu. Di  ruangan  ini  terdapat  berbagai  benda peninggalan seperti meja kursi tamu, telepon, foto  dokumentasi, dan patung Ki Hajar Dewantara.

Sedangkan di Ruang Pamer 4, yang berada di sebelah kanan ruang tamu, dahulu dipakai sebagai ruang kerja. Di ruangan ini terdapat piano, meja kerja, foto dokumentasi, kumpulan buku, radio, piagam penghargaan, dan bendera Tamansiswa.

Ruang Pamer 5 dan Ruang Pamer 6 merupakan kamar tidur Ki Hajar Dewantara beserta keluarganya. Di Ruang Pamer 5 terdapat koleksi museum berupa meja rias Nyi  Hajar, foto Nyi Hajar, koleksi kebaya, dan kain Nyi Hajar beserta keluarga, serta perlengkapan Ki Hajar Dewantara beserta istrinya. Di Ruang Pamer 6 tersimpan lemari  pakaian,  foto  Ki  Hajar  Dewantara  beserta istri dan anaknya, tempat tidur, dan gamelan Tamansiswa.

Museum Dewantara Kirti Griya juga dilengkapi fasilitas-fasilitas penunjang lainnya seperti toilet, mushola, tempat parkir, dan perpustakaan. Perpustakaan Museum Dewantara Kirti Griya memiliki banyak koleksi yang bermanfaat. Koleksi unggulannya adalah koleksi langka yang terdiri atas koleksi majalah Pusara, manuskrip, dan lainnya. Museum Dewantara Kirti Griya juga menyediakan souvenir untuk dijadikan kenang-kenangan bagi para pengunjung. 

Museum Dewantara memiliki program-program unggulan yang digunakan untuk menarik para pengunjung. Dalam menjalankan program tersebut pihak pengelola museum bekerja sama dan berkolaborasi dengan berbagai pihak seperti Komunitas Cakra Dewantara dan Majelis Luhur Tamansiswa. Beberapa programnya adalah kegiatan Paket Kunjungan (Paket A-D), Virtual Tour, Diskusi Daring, Pamong Pelopor Sariswara, dan Pekan Dewantara. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Berkunjung ke Museum Dewantara Kirti Griya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berkunjung-ke-museum-dewantara-kirti-griya/feed/ 0 30869