naik gunung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/naik-gunung/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 29 Mar 2022 08:28:11 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 naik gunung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/naik-gunung/ 32 32 135956295 Bukan Sekadar “Bawa Turun Sampahmu,” tapi “Kurangi Sampahmu” https://telusuri.id/bukan-sekadar-bawa-turun-sampahmu-tapi-kurangi-sampahmu/ https://telusuri.id/bukan-sekadar-bawa-turun-sampahmu-tapi-kurangi-sampahmu/#respond Tue, 26 Jan 2021 04:07:39 +0000 https://telusuri.id/?p=26566 “Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat..” Saat bekerja di Jogja, saya kembali terhubung dengan kawan-kawan lama Aldakawanaseta, Mapala kampus saya dulu. Sejujurnya, saya bukan anggota Mapala. Tapi karena mengenal baik beberapa...

The post Bukan Sekadar “Bawa Turun Sampahmu,” tapi “Kurangi Sampahmu” appeared first on TelusuRI.

]]>

“Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat..”

Saat bekerja di Jogja, saya kembali terhubung dengan kawan-kawan lama Aldakawanaseta, Mapala kampus saya dulu. Sejujurnya, saya bukan anggota Mapala. Tapi karena mengenal baik beberapa rekan di sana, akhirnya saya ikut-ikutan gemar mendaki gunung.

Kalau diingat-ingat, kali pertama saya mendaki gunung itu ke Merapi. Bersama Mas Weldas dan Deta, saya dipertemukan dengan komunitas kecil Pikniker Solo. Dari perjalanan bersama mereka itulah, saya belajar bahwa mendaki gunung bukan sekadar “piknik” seperti nama komunitas kecil ini. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan, tidak hanya soal peralatan dan logistik, tapi juga pengetahuan, dan etika pendakian.

Logistik pendakian organik dan minim sampah

Logistik pendakian Semeru/Mauren Fitri

Sejak pertama kali mendaki Merapi bersama teman-teman Pikniker Solo, saya disarankan untuk tidak membawa makanan cepat saji yang terbungkus plastik dan kaleng. Tidak ada mie instan, tidak ada sarden, tidak ada kopi sachet karena kami tidak suka ngopi sachet. Kecuali air mineral, (dulu) kami masih sering membawanya dengan alasan praktis.

Dalam perjalanan menuju basecamp Gunung Merapi, saya diajak mampir ke Pasar Selo di Cepogo. Di sana, kami berbelanja logistik seperti sayur, buah, tempe, bumbu masak sebagai pelengkap rasa seperti bawang merah, bawang putih, cabai, bahkan daun salam dan bumbu pawon lain. Kangkung dan terong kesukaan saya, tentu tak luput dari daftar belanja.

Setelah berkali-kali naik gunung bersama mereka, saya baru paham kenapa harus belanja logistik di dekat gunung tujuan. Ya, jelas supaya bekal makanan yang berupa bahan masakan mudah busuk ini bisa bertahan lama saat perjalanan mendaki.

Berdasar pengalaman pribadi, kami biasanya menyimpan sayur-sayuran ini dengan cara membungkusnya menggunakan koran bekas atau kain sebelum dimasukkan ke dalam keril. Tujuannya supaya saat kita berjalan mendaki dan suhu di dalam tas meningkat karena sinar matahari, uap air yang dihasilkan dari sayur mayur ini terserap di koran dan kain. Jika sayur-sayuran tetap kering, maka ia akan tetap segar.

Bekal makanan di Gunung Merapi. Ada terong ada ayam goreng, sambal, tempe kering, dan roti bakar/Mauren Fitri

Lalu saat tiba di camp site, kami segera membuka bungkus perbekalan ini untuk diangin-anginkan. Kalau malam tiba, seringkali kami taruh di dalam vestibule tenda supaya terkena hawa dingin dari luar. Anggap aja seperti kulkas alami.

Dengan cara-cara ini, bekal makanan yang terdiri dari sayur, buah, dan bumbu-bumbuan menjadi lebih tahan lama dan tetap segar. Oh ya, kalau membawa minyak goreng atau margarin, kami selalu menyediakan satu buah botol kosong untuk menaruh sisa minyak habis pakai. Jadi, minyak habis pakai tersebut tetap dibawa turun, tidak ditibuang ke tanah saat masih ada di gunung.

Mulai mengganti plastik dengan dry bag, mengganti tisu dengan lap kain

Nggak dipungkiri saat awal-awal mendaki gunung, kami masih sering menggunakan plastik sebagai pembungkus pakaian, makanan, hingga alat pendakian. Tapi lama-kelamaan, banyak edukasi yang didapatkan terutama tentang dampak penggunaan plastik untuk aktivitas pendakian.

Perlahan kami mulai mengganti plastik-plastik packing dan kemasan makanan/minuman menggunakan wadah yang bisa dipakai berkali-kali. Misalnya saja, jika dulu kami menggunakan plastik packing (biasanya trash bag) untuk membungkus semua barang yang ada di dalam keril, kini kami menggantinya dengan dry bag.

Dry bag punya beragam ukuran, kita bisa membelinya sesuai dengan kebutuhan. Dan tentunya, tetap tahan air serta bisa dipakai berulang kali. Saya punya dua buah dry bag yang usianya sekitar 8 tahun, masih berfungsi dengan baik hingga sekarang. Hemat sampah plastik pakaian selama 8 tahun.

Oh ya, dua tahun terakhir ini saya juga sudah mulai mengganti tisu dengan kain. Kalau orang Jawa menyebutnya “gombal”, kain yang biasa dipakai untuk mengelap segala macam benda.

Setidaknya saya selalu membawa 3 buah gombal setiap camping atau naik gunung. Gombal ini saya beli di pasar tradisional seharga Rp10.000,00 tiga (sepuluh ribu dapat tiga buah gombal). Jauh lebih hemat jika dibandingkan dengan membeli tisu setiap kali mau perjalanan.

Memungut sampah di jalur pendakian saat perjalanan pulang

Memungut sampah air mineral di jalur pendakian/Senna R

Hal paling menjengkelkan selama mendaki gunung adalah melihat tisu basah bekas dan botol air mineral kosong berserakan di camp site dan jalur pendakian. Nggak hanya itu sih, seringkali kami juga menemukan gundukan sampah di sudut-sudut camp site. Kadang kala, gundukan sampah ini dibakar oleh pendaki lain. Padahal, setahu saya membakar sampah di gunung berpotensi menjadi penyebab kebakaran.

Hal yang selalu rutin teman-teman Pikniker Solo lakukan saat mendaki gunung adalah membawa turun semua sampah yang dihasilkan, juga memungut sampah yang kami temui diperjalanan pulang.

“Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat!” sering diumpatkan oleh kami sambil memungut botol-botol air mineral bekas selama perjalanan turun gunung.

Menurut saya, mendaki gunung bukan sekedar perkara membawa pulang sampah yang dibawa dari bawah, tapi juga kurangi menghasilkan sampah selama aktivitas pendakian. Kalau bingung kiat-kiat gimana sih bisa mendaki gunung tanpa menghasilkan sampah, coba baca buku Zero Waste Adventure yang ditulis oleh Siska Nirmala. Dalam buku tersebut, Siska membagikan kiat-kiat mendaki nol sampah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bukan Sekadar “Bawa Turun Sampahmu,” tapi “Kurangi Sampahmu” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bukan-sekadar-bawa-turun-sampahmu-tapi-kurangi-sampahmu/feed/ 0 26566
Ke Gunung yang Sama Berkali-kali, Kenapa Nggak? https://telusuri.id/gunung-yang-sama-lebih-dari-satu-kali/ https://telusuri.id/gunung-yang-sama-lebih-dari-satu-kali/#comments Mon, 22 Jan 2018 02:30:01 +0000 https://telusuri.id/?p=5901 Kadang ada yang ogah diajak ke gunung yang sama. Pengennya ke gunung yang beda-beda terus, biar jumlah gunung yang pernah didaki nambah terus. Padahal banyak yang bisa kamu dapat kalau naik gunung yang sama berkali-kali....

The post Ke Gunung yang Sama Berkali-kali, Kenapa Nggak? appeared first on TelusuRI.

]]>
Kadang ada yang ogah diajak ke gunung yang sama. Pengennya ke gunung yang beda-beda terus, biar jumlah gunung yang pernah didaki nambah terus. Padahal banyak yang bisa kamu dapat kalau naik gunung yang sama berkali-kali.

Buat kamu yang anti banget mendaki sebuah gunung lebih dari satu kali, ini TelusuRI kasih 7 alasan supaya kamu bisa mempertimbangkan lagi prinsipmu itu.

1. Kamu bisa melihat sesuatu yang berbeda

gunung yang sama

Puncak Gunung Sindoro 2009/Deka Adriansyah

Pertama kali ke Gunung X, bisa dipastikan kamu bakal lebih konsentrasi menghafal jalur. Soalnya kamu belum terbiasa dengan medan di sana. Karena fokus pada jalur, kamu melewatkan hal-hal menarik yang bisa kamu temui di kanan-kiri.

Kedua kali naik gunung yang sama, kamu bisa jelalatan karena sudah tahu jalurnya. (Sudah melakukan persiapan dengan lebih matang juga.) Kamu bisa memperkirakan kapan jalurnya mulai nanjak banget, kapan bonus, dan kapan kamu bakal tiba di pos selanjutnya. Pemandangan-pemandangan yang kelewat pada pendakian perdana ke gunung itu bakal bisa kamu lihat di pendakian kedua dan selanjutnya.

2. Kamu bakal lebih mengenal gunung itu

gunung yang sama

Pemandangan dari Gunung Prau/Fuji Adriza

Karena udah nggak terlalu ngos-ngosan lagi sehingga bisa lihat keadaan sekitar, kamu bakal kenal gunung itu lebih dalam. Kamu bakal hafal setiap tikungannya serta semua informasi penting lain soal gunung itu.

Nah, jadinya kalau sewaktu-waktu ada yang perlu informasi tentang gunung itu, kamu bisa membagikannya karena kamu ingat jalurnya “verbatim.” Kamu jadi semacam expert tentang gunung itu. Kalau ada temen-temenmu yang mau naik gunung itu, pasti sebelum nanjak hubungin kamu atau ngajak kamu nongkrong dulu buat tanya-tanya soal jalur.

3. Kamu jadi saksi hidup atas perubahan-perubahan yang terjadi pada gunung itu

gunung yang sama

Merapi sebelum erupsi 2010 via facebook.com/Harry Rahmawan

Gunung di Indonesia kebanyakan adalah gunung berapi (volcano). Sebagian ada yang sudah mati, sebagian tidur, dan sebagian lagi aktif. Nah, gunung-gunung yang aktif ini kemungkinan besar bakal sering mengalami perubahan bentuk, khususnya di bagian sekitar puncak atau kawah.

Merapi, misalnya. Kalau kebetulan kamu pernah naik Merapi sebelum 2006 dan sebelum 2010, kamu pasti bakal tahu perbedaan suasana Pasar Bubrah dan puncak. Mendaki sebelum 2006, kamu akan ketemu Puncak Garuda yang masih sempurna. Naik sebelum 2010, kamu akan ketemu Kawah Mati. Naik setelah erupsi 2010, Kawah Mati sudah nggak ada lagi dan bentuk puncak sudah berbeda sama sekali.

4. Kamu bisa mengukur perubahan yang terjadi pada dirimu

gunung yang sama

Istirahat sebentar di Ciremai/Fuji Adriza

Pertama naik gunung, nggak mungkin kalau nggak ngos-ngosan—walaupun kamu sering olahraga. Sebabnya jelas, waktu naik gunung kita nggak cuma “berhadapan” dengan diri kita sendiri, melainkan juga dengan alam: perubahan ketinggian, suhu, dan tekanan.

Coba deh setelah sering naik gunung kamu balik lagi ke gunung pertama yang kamu daki. Pasti rasanya berbeda. Mungkin terasa lebih enak karena kamu sudah pernah “latihan” ke gunung-gunung lain yang lebih tinggi atau lebih panjang treknya dibandingkan gunung perdanamu itu. Dari sana kamu bisa mengukur sendiri perubahan-perubahan apa saja yang sudah terjadi pada dirimu.

5. Ceritanya nggak akan sama walaupun tempatnya sama

gunung yang sama

Menuju sumber air di Gunung Rinjani via instagram.com/failureproject

Walaupun kamu ke gunung yang sama, ceritanya pasti akan beda. Misalnya, pada pendakian perdana kamu naik kendaraan pribadi dan pada pendakian kedua kamu ngeteng—pasti rasanya berbeda.

Selain itu, base camp-nya mungkin juga sudah pindah. Harga retribusinya barangkali naik. Sekarang mungkin sudah ada ojek yang bisa mengantarkan kamu ke pintu rimba. Tapi, ya, hati-hati juga: bisa-bisa air mata kamu menitik dilanda nostalgia.

6. Orang yang kamu ajak dan kamu temui di jalan juga nggak akan sama

gunung yang sama

Foto bareng di Alun-Alun Kecil Argopuro/Fuji Adriza

Nggak semua orang hobi naik gunung. Banyak yang hanya coba-coba. Sekali mendaki setelah itu kapok. Nggak kapok pun, rutinitas bisa jadi alasan bagi kawan-kawan buat menolak ajakan kamu naik gunung.

Jadi, kecil kemungkinannya kamu bakal jalan bersama orang-orang yang sama ke gunung yang sama. Pertama ke gunung itu kamu bareng si A. Sementara pendakian kedua bareng si B. Kedua orang itu punya karakter berbeda yang ngasih warna tertentu buat pendakianmu. Alhasil, cerita yang kamu bawa pulang juga beda.

7. Cuacanya juga bisa memberikan cerita yang berbeda

gunung yang sama

Kabut di Kawah Ijen/Mey Purweni

Naik di musim hujan dan musim kemarau pasti bakal meninggalkan kesan yang berbeda. Musim kemarau kamu harus berjuang melawan terik matahari dan debu yang mengepul.

Nanjak di musim hujan tantangannya adalah—tentu saja—hujan dan kedinginan. Kamu mesti bawa baju ganti ekstra dan siap-siap menggendong tas basah kalau-kalau air merembes lewat cover ransel. Selain itu, kamu juga mesti “kucing-kucingan” dengan hipotermia yang mengancam orang-orang letih dan kedinginan.

Jadi gimana? Udah nggak ragu lagi ‘kan buat mendaki gunung yang sama berkali-kali?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

The post Ke Gunung yang Sama Berkali-kali, Kenapa Nggak? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gunung-yang-sama-lebih-dari-satu-kali/feed/ 2 5901
Kalau Gejala Seperti Ini Mulai Terasa, Kamu Sedang Rindu Naik Gunung https://telusuri.id/tandanya-kamu-sedang-rindu-naik-gunung/ https://telusuri.id/tandanya-kamu-sedang-rindu-naik-gunung/#comments Tue, 14 Nov 2017 02:00:39 +0000 http://telusuri.id/?p=3429 Tulisan ini kolaborasi antara pendakiindonesia dan TelusuRI Pendaki yang sudah lama nggak naik gunung itu ibarat motor yang sudah lama nggak ganti oli: butek. Jika ganti oli motor indikatornya adalah hitungan kilometer, tanda-tandanya pendaki perlu...

The post Kalau Gejala Seperti Ini Mulai Terasa, Kamu Sedang Rindu Naik Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
Tulisan ini kolaborasi antara pendakiindonesia dan TelusuRI


Pendaki yang sudah lama nggak naik gunung itu ibarat motor yang sudah lama nggak ganti oli: butek. Jika ganti oli motor indikatornya adalah hitungan kilometer, tanda-tandanya pendaki perlu naik gunung itu beda, lur. Nih, kalau gejala-gejala ini mulai terasa, tandanya kamu sedang rindu naik gunung:

1. Jalan mendadak terasa terlalu ramai dan berisik, padahal sebenarnya sama saja

tandanya kamu sedang rindu naik gunung

Keheningan gunung yang susah didapat di kota/Fuji Adriza

Tiap hari pas berangkat dan pulang kerja, kamu lewat jalan yang sama. Kamu sudah terbiasa sama keramaiannya, suara klaksonnya, dan hal-hal menjengkelkan lainnya. Tapi, suatu hari pas berangkat kerja, jalanan itu mendadak terasa terlalu ramai dan berisik, padahal sebenarnya sama saja. Nah, kalau kamu merasa gejala seperti ini mulai terasa, tandanya kamu sedang rindu naik gunung.

2. Kaki kamu sudah gatel ingin melakukan perjalanan panjang

tandanya kamu sedang rindu naik gunung

Tanjakan nyebelin yang justru dikangenin pas di kota/Fuji Adriza

Di kota, kamu jarang mengayunkan kaki. Kamu lebih banyak menggunakan kendaraan bermotor. Mau jalan kaki, males. Soalnya ntar keringetan setiba di sekolah atau kantor. Nah, kalau tiba-tiba kamu pengen jalan kaki lama-lama buat ngeluarin keringat yang terpendam di tubuh, itu tandanya kaki kamu ngasih kode supaya kamu naik gunung.

3. Di rumah, kamu terus-terusan memandangi ransel yang tergantung di pojokan

tandanya kamu sedang rindu naik gunung

Pemandangan yang ngalah-ngalahin “wallpaper” laptop/Fuji Adriza

Ransel yang selama ini kamu acuhkan mendadak tampak bersinar. Sekarang kamu lebih sering memperhatikan ransel yang tergantung di pojokan, sambil membayangkan bagaimana bentuknya kalau ransel itu diisi oleh perlengkapan naik gunung: pasti indah banget. Kamu juga membayangkan rasanya kalau ransel yang penuh itu kamu angkat, talinya kamu raih, kemudian nangkring sempurna di punggungmu. Kalau gejala itu kamu alami, itu tandanya kamu sedang rindu naik gunung.

4. Kamu membersihkan alat-alat pendakian, padahal sudah bersih

tandanya kamu sedang rindu naik gunung

Berpose dengan latar belakang Gunung Merbabu via pendakiindonesia

Tiba-tiba kamu nyari-nyari sleeping bag, terus menjemurnya di bawah matahari. Kamu juga pergi ke rak sepatu lalu mencuci sepatu gunungmu sampai bersih. Kamu juga ke lemari nyari-nyari jaket, kaos tangan, celana cargo, dan perlengkapan-perlengkapan pendakian lain lalu memeriksanya apakah sudah bersih atau belum. Head lamp juga nggak luput dari perhatianmu: kamu bongkar terus kamu pasangi dengan baterai baru, lalu kamu coba hidupkan. Nah, kalau kamu tiba-tiba melakukan ini, apalagi artinya kalau bukan kamu sedang rindu naik gunung?

5. Kamu mulai curi-curi pandang foto-foto pendakian di akun-akun Instagram

tandanya kamu sedang rindu naik gunung

“Selfie” di Pasar Bubrah Merapi via pendakiindonesia

Kalau ada waktu lowong, kerjaan kamu tiap hari cuma scrolling linimasa media sosial buat melihat foto-foto pendakian terbaru yang dipasang di akun-akun Instagram tentang pendakian gunung. Kamu ngekek sendiri melihat tingkah polah para pendaki yang merekam adegan-adegan lucu dalam video. Dan kamu juga ikutan berdebar-debar waktu melihat foto pendaki lagi berpose di Puncak Sejati Gunung Raung. Nah, tandanya kamu sedang rindu naik gunung, lur!

6. Film yang kamu tonton akhir-akhir ini berbau petualangan

tandanya kamu sedang rindu naik gunung

Naik gunung via pendakiindonesia

Ini kamu lakukan tanpa sadar: film-film yang kamu tonton akhir-akhir ini berbau petualangan. Misalnya Seven Years in Tibet (1997), Vertical Limit (2000), Everest (2015), dan lain-lain. Melihat para aktor dalam film-film itu ngobrol-ngobrol atau ngopi di tenda, kamu juga mendadak pengen ngopi dan ngobrol-ngobrol di tenda. Nah, kalau kamu mengalami hal seperti ini, buruan nanjak, karena itu tandanya kamu sedang rindu naik gunung.

7. Kamu membuka tenda yang lama teronggok di pojokan, tapi di kamar/garasi

tandanya kamu sedang rindu naik gunung

Rehat sejenak/Fuji Adriza

Karena keinginan buat mendirikan tenda sudah nggak terbendung, akhirnya kamu membuka tenda dan mendirikannya di kamar atau di garasi. Kamu juga mengeluarkan kompor dan masak-masak di depan tenda. Orang-orang mungkin menganggap itu aneh. Yah, soalnya mereka nggak tahu kalau dalam hati kamu sedang merindukan suasana gunung.

8. Tiap kali lihat rombongan lagi jalan bawa tas segede kulkas, entah kenapa jantung kamu berdebar lebih kencang

tandanya kamu sedang rindu naik gunung

Rombongan pendaki/Fuji Adriza

Ini nih yang paling nyesek. Berkali-kali kamu melihat serombongan orang jalan membawa tas segede kulkas di pinggir jalan. Mereka tampak senang sekali, meskipun kotor dan kakinya baret di sana-sini. Dan entah kenapa, setiap kali melihat mereka jantung kamu berdebar lebih kencang, deg-degan. Bahkan kamu bisa merasakan adrenalin terpompa kuat dari kelenjarnya. Kalau itu terjadi, jangan ragu-ragu buat ngosongin jadwal, cari tiket, dan naik gunung!

Jadi, gimana? Kamu rindu naik gunung?

The post Kalau Gejala Seperti Ini Mulai Terasa, Kamu Sedang Rindu Naik Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tandanya-kamu-sedang-rindu-naik-gunung/feed/ 1 3429
Kamu Perlu Tahu 7 Perbedaan Naik Gunung Zaman Dulu dengan Sekarang https://telusuri.id/beda-naik-gunung-dulu-dengan-sekarang/ https://telusuri.id/beda-naik-gunung-dulu-dengan-sekarang/#comments Fri, 11 Aug 2017 00:01:53 +0000 http://telusuri.org/?p=1535 1. Dulu gunung sepi sekarang rame Dulu orang mikir berkali-kali sebelum naik gunung. Daripada capek-capek ngeluarin keringat buat naik gunung mending nongkrong di rumah teman sambil main gitar, atau dengerin radio. Jadi naik gunung bukanlah...

The post Kamu Perlu Tahu 7 Perbedaan Naik Gunung Zaman Dulu dengan Sekarang appeared first on TelusuRI.

]]>
1. Dulu gunung sepi sekarang rame

Dulu orang mikir berkali-kali sebelum naik gunung. Daripada capek-capek ngeluarin keringat buat naik gunung mending nongkrong di rumah teman sambil main gitar, atau dengerin radio. Jadi naik gunung bukanlah hobi yang populer dulunya.

Alhasil di gunung pun kamu nggak akan ketemu banyak orang. Kamu bisa kemping dengan leluasa tanpa perlu khawatir kehabisan tempat di lokasi kemping favorit. Kalau niatmu naik gunung pengen cari ketenangan, kamu benar-benar bakal bisa mendapatkan ketenangan karena suasananya sepi banget.

2. Dulu naik gunung pakai peralatan pinjaman sekarang hampir semua pendaki punya alat sendiri

Sebelum vendor perlengkapan pendakian lokal menjamur seperti sekarang, nggak semua orang bisa punya perlengkapan mendaki. Harganya masih pada mahal. Jadi beberapa hari sebelum berangkat, para pendaki bakal pergi ke sana kemari buat nyari pinjaman perlengkapan, dari mulai tenda, keril, kompor, sleeping bag, jaket, sepatu, sampai senter. Boro-boro mikirin nanjak ala “ultra light”—masih zaman Ultraman, bor!

Sekarang persaingan vendor-vendor lokal bikin harga perlengkapan pendakian menjadi ramah di kantong. Cuma menabung sebulan kamu bakal bisa beli keril sendiri. Nabung dua bulan mungkin kamu sudah bisa punya tenda yang lumayan cozy.

Pendakian Gunung Singgalang/Teguh

3. Dulu mikir-mikir seribu kali dulu sebelum “selfie” di gunung

Dari dulu sebenarnya hasrat buat selfie sudah ada. Cuma belum tersalurkan saja karena apa daya ponsel masih Nokia monokrom (itu pun belum tentu punya). Mau selfie pakai tustel harus mikir seribu kali dulu; harga satu rol film 35mm isi 36 mahal, belum lagi biaya buat cuci. Sayang filmnya kalau cuma buat selfie. Mending buat foto bareng pas sudah tiba di puncak.

Jadi kalau kamu membolak-balik album foto pendaki-pendaki senior, jangan heran waktu lihat foto mereka di gunung, yang kebanyakan adalah foto berkelompok dan jarang banget ada yang selfie—dan posenya pada kaku semua. Bukannya mereka nggak mau, tapi cuma nggak ada doku!

4. Dulu waktu belum bisa beli trangia atau MSR, masaknya pakai kompor kupu-kupu… atau parafin

Tersebutlah sebuah kompor bermerk “Butterfly” yang dulunya populer di kalangan pendaki. Kompor ini praktis memang, seperti kompor Bulin. Ringkas karena cuma terdiri dari dudukan untuk wadah masak—yang kalau dibuka mirip kupu-kupu—dan saluran penghubung gas ke kompor.

Tapi nyalain kompor ini sensasinya agak mirip sama menjinakkan bom. Salah-salah, saluran gasnya bisa bocor dan api akan merembet keluar menghanguskan segala yang bisa dihanguskan. Makanya sebelum berangkat nanjak kompor kupu-kupu mesti dibersihin dulu. Alternatif kedua adalah parafin. Meskipun api dari parafin susah buat dikontrol, masak pakai parafin bakal ngasih kamu satu bonus: lubang hidung penuh jelaga.

5. Dulu bangga banget bisa punya edelweiss di dompet

Bukannya vandal; dulu akses informasi nggak segampang sekarang. Jadi mana paham kalau edelweiss itu adalah tanaman langka yang seharusnya dilestarikan bukannya dipetik. Makanya pada cuek saja memetik edelweiss di cadas lalu membawanya turun dan membagikannya ke kawan-kawan. Edelweiss dari gunung itu lalu banyak yang nasibnya berakhir di dompet.

Tapi sekarang kebiasaan membawa pulang edelweiss sudah kuno, katro, dan saatnya untuk ditinggalkan. Biarkan rumpun-rumpun edelweiss itu tenang di Alun-Alun Mandalawangi, di Suryakencana, atau di Tegal Panjang, atau di alun-alun manapun di gunung. Dilihat boleh, dipegang jangan.

Naik gunung

Foto bareng di Puncak Argopuro/Fuji Adriza

6. Dulu mabok-mabokan, sekarang juga?

Ini kita kembalikan ke diri masing-masing saja. Hmm… memang benar adanya bahwa sebagian—sekali lagi, sebagian saja—pendaki zaman dulu suka membawa alkohol pas naik gunung.

Mungkin mereka mikirnya, “Bawa bir ah biar di atas anget.” Tapi ya kalau kebanyakan bukannya badan jadi hangat, malah kebablasan: mabok. Dan teler di gunung sama sekali nggak direkomendasikan. Hangover di gunung cuma bakal bikin kamu gagal untuk menikmati keelokan momen matahari terbit. Lagian buat apa jauh-jauh ke gunung kalau cuma buat mabok?

7. Dulu pendaki gunung rata-rata “gondes,” sekarang banyak yang klimis

No offense buat yang klimis. Poin ini cuma buat mengilustrasikan saja bedanya sosok pendaki zaman dulu dan sekarang. Dulu kelompok pencinta alam isinya sebagian besar orang-orang gondrong ndeso (gondes). Biasanya mahasiswa-mahasiswa yang lulusnya lama. Makanya ada anekdot bahwa mapala itu singkatan dari “mahasiswa paling lama.” Penampilan mereka lecek karena cuma mandi untuk menyongsong hajatan-hajatan besar (sudah mirip jamasan alias ritual memandikan benda-benda pusaka).

Pendaki sekarang sudah sadar pentingnya kesehatan. Makanya pada bersih dan rapi. Rambut gondrong habitat kutu sudah mulai dihindari. Nah, pendaki yang masih setia dengan gaya lawas siap-siap saja jadi “Englishman in New York” waktu naik gunung.

The post Kamu Perlu Tahu 7 Perbedaan Naik Gunung Zaman Dulu dengan Sekarang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/beda-naik-gunung-dulu-dengan-sekarang/feed/ 7 1535