namblong Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/namblong/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Jun 2025 11:29:56 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 namblong Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/namblong/ 32 32 135956295 Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili https://telusuri.id/meniti-mimpi-lewat-wangi-vanili/ https://telusuri.id/meniti-mimpi-lewat-wangi-vanili/#respond Mon, 13 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45312 Ada harapan besar masyarakat adat Namblong pada sulur-sulur bunga vanili yang tumbuh menjalar. Perlu komitmen bersama agar usaha perkebunan vanili rakyat tetap produktif dan berkelanjutan, demi menuju kemandirian ekonomi. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda,...

The post Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili appeared first on TelusuRI.

]]>
Ada harapan besar masyarakat adat Namblong pada sulur-sulur bunga vanili yang tumbuh menjalar. Perlu komitmen bersama agar usaha perkebunan vanili rakyat tetap produktif dan berkelanjutan, demi menuju kemandirian ekonomi.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Vanili, salah satu komoditas unggulan masyarakat adat Namblong, Papua/Deta Widyananda

Hampir sebagian besar masyarakat adat suku Namblong di Kabupaten Jayapura, Papua sudah terbiasa membudidayakan vanili (Vanilla planifolia) secara organik. Tanaman yang termasuk dalam famili anggrek (Orchidaceae) ini dikenal karena menghasilkan bubuk vanili sebagai bahan baku aroma atau perisa pada makanan dan minuman. 

Di wilayah adat Namblong yang mendiami Lembah Grime—mencakup Distrik Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong—secara umum vanili tidak dibudidayakan dalam perkebunan skala besar. Meskipun begitu, komoditas mahal tersebut melengkapi kakao yang sebelumnya pernah menjadi sumber ekonomi unggulan karena berkualitas ekspor. 

Biasanya, petani vanili menyetor hasil panen basah ke Koperasi Serba Usaha (KSU) Nimboran Kencana. Namun, sebagai pengepul—dan mungkin jadi satu-satunya di sana—koperasi tersebut membeli vanili basah dengan harga yang fluktuatif untuk semua ukuran per kilogramnya. Baik vanili yang berkualitas bagus maupun yang kurang pun dibeli dengan satu harga yang sama. Skema jual beli—permainan harga—seperti ini jelas merugikan petani. Akibatnya, beberapa petani kecil merasa kecewa dan malas untuk membudidayakan vanili lagi. Tidak sedikit pula ditemukan bekas lahan vanili yang telantar dan sudah tidak produktif. 

Kondisi itulah yang turut mendasari pendirian Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua pada 12 Oktober 2022. Pembentukan BUMMA merupakan inisiatif dan kolaborasi bersama antara Mitra BUMMA, Samdhana Institute, masyarakat adat Namblong. Kelembagaan ini hadir sebagai bentuk kesadaran bersama untuk mengelola sumber daya alam hulu–hilir berbasis adat dan berkelanjutan. Pada 30 September 2024 lalu, BUMMA resmi menjadi Perseroan Terbatas (PT), dengan kepemilikan saham berada di tangan 44 Iram (pemuka atau pemimpin marga) suku Namblong. 

Nicodemus Wamafma (49), General Manager BUMMA Yombe Namblong Nggua, menegaskan vanili jadi prioritas pertama pengembangan bisnis BUMMA. Lahan-lahan dan sebaran tanaman vanili yang ada perlu dimaksimalkan kembali. “Sebab, sudah ada aktivitas [budi daya] yang betul-betul berjalan [sejak lama],” kata pria berdarah Biak yang biasa disapa Niko itu.

Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Niko Wamafma saat ditemui di rumah pengeringan vanili BUMMA Yombe Namblong Nggua/Rifqy Faiza Rahman

Vanili, si emas hijau yang manja

Vanili bukan tanaman asli Indonesia. Manusia pertama di dunia yang menemukannya adalah suku Aztec di pedalaman Meksiko pada abad ke-15. Di masa itu, vanili dimanfaatkan sebagai pewangi minuman cokelat. Vanili kemudian berkelana keliling dunia, khususnya Eropa, yang fungsinya berkembang menjadi penambah rasa dan aroma untuk makanan dan minuman, alkohol, tembakau, dan parfum.

Di Indonesia, vanili baru masuk pada 1819 lewat botanis Belanda, Prof. Dr. Reinwadt. Dari semula untuk bibit koleksi Kebun Raya Bogor, kemudian berhasil dibudidayakan kali pertama di Jawa. Namun, dalam setengah abad kemudian menyebar luas ke Sumatra, Bali, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua. Pada 2020, organisasi pangan dunia (FAO) menyebut Indonesia merupakan negara produsen vanili terbanyak kedua di dunia (2.306 ton) setelah Madagaskar (2.975 ton). Keduanya menopang hampir tiga perempat produksi vanili global.

Di pasar dunia, harga vanili kering berkualitas—khususnya yang dihasilkan melalui pertumbuhan secara alami—bisa menembus kisaran angka sedikitnya 1–3 juta rupiah per kilogram. Kira-kira setara atau bahkan melebihi nilai dari satu gram emas, sehingga vanili kerap disebut “emas hijau”. Selain aroma yang lebih kaya dibanding vanili sintetis, vanili organik dihargai mahal karena prosesnya yang rumit dan memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk menghasilkan buah.

Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Selain di perkebunan khusus, vanili juga mudah dijumpai di lahan pinggir jalan seperti foto ini, yang terletak di tepi ruas jalan menanjak yang menghubungkan wilayah Genyem (Distrik Nimboran)-Sarmai Atas (Distrik Namblong)/Mauren Fitri

Vanili biasa tumbuh di tanaman gamal—sejenis perdu—atau media tanam sederhana, seperti batang kayu atau tiang penyangga sebagai tempat rambatan vanili yang tumbuh horizontal ke atas. Meskipun putik dan serbuk sari berada dalam satu kelopak bunga, proses penyerbukannya tetap melibatkan tenaga manusia. Sebab, putik pada bunga vanili terhalang oleh lidah bunga (labellum), sedangkan bagian kepala sari terletak lebih tinggi daripada kepala putih. Petani harus menempelkan secara manual tepung sari ke atas kepala putik yang memiliki kandungan cairan perekat. Dari situ baru bisa terjadi pembuahan.

Bunga vanili yang telah mekar hanya mampu bertahan satu hari saja. Jika tidak segera dikawinkan, bunga akan layu dan rontok seketika. Bahkan apabila terjadi kesalahan saat mengawinkan putik dan serbuk sari, semisal kepala putik jatuh ke tanah, maka tidak akan terjadi pembuahan. 

“Kalau sampai gagal, maka saya harus menunggu sembilan bulan lagi supaya vanili bisa berbunga,” ujar Yonas Yaung (40), petani vanili anggota mitra BUMMA Yombe Namblong Nggua. Belum lagi vanili yang gugur secara alami karena penyerbukan kurang sempurna. 

Yonas memiliki lebih dari 800 pohon vanili di lahan seluas 150 meter persegi di Kampung Sarmai Atas, Distrik Namblong. Bisa dibayangkan berapa lama ia berkeliling setiap pagi dalam satu hari untuk mengontrol perkembangan bunga vanili. Senjatanya hanya satu: sebatang tusuk gigi atau jarum. Satu tangan membuka bunga yang muncul dari ketiak daun di ujung batang, satu tangan lagi melekatkan putik-serbuk sari dengan alat tersebut. Itu pun belum menjamin satu bunga akan menghasilkan bakal buah yang diharapkan. 

Salah satu indikator pembuahan berhasil adalah warna bunga vanili akan berubah lebih pucat. Buah vanili akan mencapai kematangan optimal setelah beberapa bulan. Dari yang semula hijau, lama-lama akan berwarna cokelat tua dan mengeluarkan aroma harum. Hasil panen buah vanili yang masak inilah yang disebut vanili basah. Di Lembah Grime, rata-rata puncak musim panen vanili berlangsung pada bulan Agustus.

  • Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
  • Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili

Yonas mempraktikkan cara mengawinkan vanili yang sudah berbunga/Deta Widyananda

Ribka Waibro (60), petani sekaligus manajer divisi vanili BUMMA, mengaminkan kalau merawat vanili itu gampang-gampang susah. Gampang, karena budi dayanya organik tanpa obat macam-macam. Susah, karena seorang petani vanili harus meluangkan waktu dan tenaga ekstra, terutama masa-masa berbunga dan siap untuk dikawinkan secara generatif. 

“Vanili itu tanaman manja,” seloroh Mama Ribka—sapaan akrabnya. Meski terhitung cukup baru mengenal budi daya vanili, tetapi ia cepat belajar dan mampu mengenal proses budi daya vanili dengan baik. Sebelumnya Mama Ribka lebih banyak berkebun pinang. 

Mama Ribka terbilang sosok perempuan lokal yang progresif di Lembah Grime. Ia optimis dengan masa depan vanili Namblong, terutama karena keberadaan BUMMA yang mendukung petani lokal dan terbuka untuk kolaborasi ekonomi berbasis masyarakat adat. Pembawaannya yang ceria, jenaka, dan luwes membuatnya mudah berbaur dengan masyarakat. Terutama saat turun ke kampung-kampung untuk sosialisasi BUMMA sebagai mitra bisnis dan pembeli vanili basah paling potensial di Lembah Grime. 

Kepercayaan Mama Ribka pada prospek BUMMA dibuktikan dengan kerelaannya menyediakan lahan kosong di samping kediamannya untuk dibangun rumah pengeringan (dry house) vanili. Rumah pengeringan itu hingga per September 2024 kemarin sekaligus menjadi bangunan kantor dan sekretariat BUMMA Yombe Namblong Nggua.

Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Mama Ribka menunjukkan bagian-bagian vanili di kebun Yonas Yaung/Deta Widyananda

Adil dan berkelanjutan dengan sistem grading 

Pengalaman pahit masyarakat saat berurusan dengan koperasi pengepul vanili tidak ingin diulang oleh BUMMA. Ketika BUMMA hadir di tengah masyarakat, para petani vanili hanya meminta satu hal mutlak terhadap tanaman mereka: harga wajar dan stabil. Intinya, ada garansi ekonomi atas jerih payah petani membudidayakan vanili.

Untuk itulah BUMMA menerapkan sistem grading atau pemeringkatan dengan standar harga yang tetap per kilogram. Ada tiga tingkat atau kelas (grade) untuk mengelompokkan vanili basah yang dibeli dari petani setempat. Indikator utamanya adalah ukuran (panjang) vanili, Grade A (18 cm ke atas) Rp17.500/kg, Grade B (15–17 cm) Rp12.500/kg, dan Grade C (10–14 cm) Rp10.000 per kg.

Pada kuartal pertama tahun ini, tercatat BUMMA sudah membeli 56,7 kg vanili basah dari 27 petani. Rincian tingkatannya sekitar 23,5 kg Grade A, 17,2 kg Grade B, dan 16 kg Grade C. Total pembelian mencapai 7,8 juta rupiah. Masing-masing petani membawa hasil panen beragam, paling sedikit 0,6 kg dan paling banyak 13,9 kg.

Angka itu diharapkan bertambah, baik dari sisi jumlah petani maupun produksinya. Menurut Yohana Yokbeth Tarkuo (29), Direktur BUMMA Yombe Namblong Nggua, pihaknya berharap secara bertahap menargetkan bisa membeli 200 kg vanila basah secara reguler setiap bulannya. Yang jelas, berapa pun kilogram yang terbeli akan sangat berarti bagi petani.

Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Yohana menunjukkan contoh vanili-vanili kering yang sudah dipilah sesuai kelasnya di rumah pengeringan/Deta Widyananda

Kepastian harga berdasarkan sistem grading tersebut menepis kekhawatiran petani vanili soal siapa yang akan membeli hasil panen mereka. Dampaknya, para petani akan semangat melanjutkan eksistensi budi daya vanili di wilayah adat Namblong. Soal pemasaran atau mencari pembeli selanjutnya adalah tugas BUMMA. 

Maka, keberadaan rumah pengeringan vanili menjadi amat krusial. Meskipun sederhana, setidaknya BUMMA telah berupaya mengoperasikannya sesuai standar yang berlaku. Tantangannya sejauh ini mencakup kapasitas penyimpanan yang terbatas dan masa simpan yang pendek, biasanya 1–2 tahun jika kondisi ruang dan perlakuan penyimpanan bagus. 

Sebagai upaya mendukung pemasaran vanili, Mitra BUMMA menyediakan halaman khusus sebagai lokapasar vanili Namblong di situs web resminya: www.mitrabumma.com/vanilla. Informasi terakhir, tersedia prapesan untuk vanili kering hasil panen 2023 lalu dengan varietas benih planifolia yang sangat aromatik, bercita rasa seperti buah kering, pala, dan jeruk bali. Pemanfaatannya bisa untuk bahan baku makanan atau minuman, baik dengan biji maupun ekstrak. Kisaran harganya mulai dari Rp250.000 untuk berat 10 gram. Semakin banyak yang dibutuhkan semakin mahal.

Niko pun berharap agar petani Namblong bisa tekun merawat dan meningkatkan kapasitas pemahaman budi daya vanili. Sebab, harga jualnya tinggi. “Kalau mereka bisa menjaga kualitas dan mendapatkan jumlah banyak [sedikitnya] 30–40 kilogram [setiap panen] itu kan lumayan [pendapatannya],” ujar Niko.

Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Sejumlah vanili kering yang sudah dikemas sesuai grade-nya dan siap dijual. Informasi pada kemasan memuat keterangan grade, berat, tanggal proses pengeringan, lokasi kebun asal, dan tanggal inspeksi/Mauren Fitri

Tantangan dan prospek ekonomi vanili Namblong

Ambrosius Ruwindrijarto (53), salah satu pendiri Mitra BUMMA, mengungkap vanili Namblong memiliki prospek besar untuk ekspor. Pertengahan November 2024 lalu Ruwi—panggilan akrabnya—menyampaikan kabar baik. Puluhan kilogram vanili kering produksi BUMMA Yombe Namblong Nggua berhasil dibawa ke Amerika Serikat oleh Dominique Tan, pendiri dan juga direktur eksekutif Mitra BUMMA. 

Perempuan berdarah Indonesia-Amerika itu turut memasarkan lewat jejaringnya, baik itu hubungan kekerabatan maupun profesional. Walau tentu saja, karena baru skala uji coba, angka tersebut masih terbilang kecil. Namun, Ruwi tetap mengapresiasi. “Puji syukur, ya. Begitu hari ini laku) teman-teman di dry house lumayanlah ada [tambahan] semangat,” ujarnya.

Walaupun, kata Ruwi, segmentasi pasar lokal seperti wilayah adat Namblong maupun Kota Jayapura, tetap mendapat prioritas penjualan. Ia menganggap konsumen lokal juga penting, sebab secara karakter rasa lebih ada kedekatan dan mudah disukai. Ia membayangkan vanili Namblong juga bisa terserap oleh para pembeli di kafe, restoran, maupun masyarakat di Kota Jayapura.

Dalam liputan khusus M. Ikbal Asra di Betahita (4/11/2024), sejatinya tercatat capaian-capaian positif dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Yombe Namblong Nggua tahun ini. Salah satunya adalah kenaikan produksi dan pengolahan vanili sebesar 320% daripada tahun sebelumnya, dengan total 144 kg vanili basah berhasil dibeli dari petani lokal. Bersama sektor bisnis lain, seperti ekowisata, pendapatan bertambah signifikan mencapai ratusan juta rupiah. Penerima manfaat pun bertambah menjadi sebanyak 1.400 warga yang terlibat dalam sejumlah kegiatan ekonomi, termasuk budi daya vanili.

Menurut Yohana, kehadiran rumah pengeringan vanili sebenarnya merupakan progres fisik yang baik. Sebab, rumah ini merupakan bangunan pertama yang dioperasikan oleh BUMMA. Ia dan pengurus akan terus belajar menjalankan rumah pengeringan tersebut sesuai prosedur operasi standar (SOP), termasuk bermitra dengan Teman Belajar Jogja, yang telah sukses sebagai koperasi vanili.

Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Yohana di depan rumah pengeringan vanili sekaligus kantor sementara BUMMA Yombe Namblong Nggua/Deta Widyananda

Di luar itu, Ruwi mengingatkan satu hal penting, yaitu tantangan produktivitas yang masih rendah dan belum ada jaminan stabilitas pendapatan. Sebab, kondisi petani dan kebun vanili yang dikelola memiliki karakteristik berbeda-beda. Apalagi tidak sedikit kebun vanili yang sudah lama tidak diurus, sehingga berimbas pada produksi. Fokus pada perawatan dan produktivitas vanili juga memudahkan untuk menentukan proyeksi penjualan dan pendapatan di masa mendatang. Bahkan kelak mungkin BUMMA perlu mempertimbangkan diversifikasi produk turunan selain vanili kering.

Mama Ribka juga mengakui kendala yang dihadapi seputar produktivitas vanili dan keterbatasan sumber daya manusia. Untuk itu, sebagai manajer vanili BUMMA, ia akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi budidaya vanili kepada masyarakat agar sesuai standar yang diinginkan BUMMA. Mulai dari mengawinkan bunga vanili, memanen, memilah, mengeringkan, sampai menyimpan.

Namun, meskipun jalan kesuksesan masih panjang, Ribka terang-terangan menaruh harap pada emas hijau Namblong yang mulai bergeliat di daerahnya. Ia tidak akan kenal lelah untuk turun dari kampung ke kampung, mengajak warga mau menjalin kemitraan bersama BUMMA, menawarkan alternatif yang lebih baik dan berkelanjutan daripada bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit.

“Ke depannya, harapan dari mama, [semoga] vanili Namblong menjadi nomor satu di dunia,” ucap Mama Ribka bermimpi besar. Sepintas tampak berat, tetapi itu bukan kemustahilan. Tidak ada yang tidak mungkin. (*)


Foto sampul:
Ambrosius Waisimon—Iram (pemuka marga) Waisimon di Yenggu Baru, Nimboran, Jayapura—mengecek vanili yang sesaat lagi berbunga dan siap dikawinkan di kebun miliknya/Mauren Fitri

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meniti-mimpi-lewat-wangi-vanili/feed/ 0 45312
Optimisme dari Lembah Grime https://telusuri.id/optimisme-dari-lembah-grime/ https://telusuri.id/optimisme-dari-lembah-grime/#respond Sun, 12 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45289 Komunitas adat suku Namblong di Jayapura berusaha mempertahankan hak tanah ulayat mereka, sementara tekanan alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit terus mengancam. Berbekal riwayat historis dan pengakuan hutan adat oleh negara, masyarakat 44 marga di...

The post Optimisme dari Lembah Grime appeared first on TelusuRI.

]]>
Komunitas adat suku Namblong di Jayapura berusaha mempertahankan hak tanah ulayat mereka, sementara tekanan alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit terus mengancam. Berbekal riwayat historis dan pengakuan hutan adat oleh negara, masyarakat 44 marga di Lembah Grime berupaya mandiri ekonomi secara berkelanjutan lewat Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA).

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Optimisme dari Lembah Grime
Aliran Sungai Bob (paling atas), batas alam antara area hutan garapan (bagian bawah) milik komunitas adat Namblong marga Waisimon di Kampung Yenggu Baru, Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura, dengan hutan lindung yang disebut dengan Ku Defeng Yano Akrua. Satu dari empat hutan adat yang diakui negara di Lembah Grime/Deta Widyananda

Dari riwayat sejarah, sebelum adanya negara, seluruh tanah di Papua merupakan tanah ulayat atau tanah adat. Sebagaimana halnya suku Moi di Tanah Malamoi (Sorong), atau suku Tehit di Tanah Metamani (Sorong Selatan), suku Namblong juga menempati bagian Wilayah Budaya Mamta bernama Lembah Grime di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Nama Grime diambil dari salah satu sungai besar yang mengalir di kawasan tersebut dan tidak pernah kering. Selain Sungai Grime, juga terdapat Sungai Yenggu dan Sungai Muaif. Namblong merupakan suku besar yang mencakup 44 marga dengan populasi penduduk lebih dari 50.000 jiwa. Komunitas adat ini mendiami wilayah seluas 53.000 hektare (ha) di 31 kampung dan tiga distrik, yaitu Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong.

Berdasarkan keterangan Zet Manggo, perwakilan humas Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua, seluruh marga tersebut tersebar ke dalam lima subsuku atau subwilayah berdasarkan kondisi geografis. Ktu Mai Ru, sebutan untuk orang-orang yang hidup di daerah rawa dan sagu berduri. Daerah tersebut kini ditempati oleh sebagian marga dan banyak kelompok transmigran. Jalan poros utama yang menghubungkan antara Kabupaten Jayapura dengan Kabupaten Sarmi juga dibangun melintasi wilayah dataran rendah ini. Fou Ru, yakni orang-orang yang mendiami dataran tinggi, mulai dari Nimbokrang Sari naik ke Nimboran melalui daerah Genyem kota (sebutan pusat kelurahan Genyem).

Lalu Banu Ru adalah orang-orang yang mendiami bagian timur wilayah Distrik Namblong, mulai dari Yakotim, Kaitemung, sampai Besum. Tabo, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah selatan perbukitan Tabo, Ombrob, hingga Yenggu. Daerah ini juga disebut dengan Perbukitan Selatan. Terakhir, Iwarom, yaitu orang-orang yang menempati wilayah perbukitan karang bercampur “iwarom” atau tanah merah “iwarom” di sebelah utara atau Perbukitan Utara dekat pesisir pantai.

Selain pemerintahan sipil yang mencakup kepala distrik (camat) dan kepala kampung (setingkat lurah), sistem pemerintahan adat juga masih dihormati di Namblong. Terdapat tiga unsur utama di dalamnya, yaitu Ondoafi atau Iram (tetua adat atau pemuka marga), Tekai (simbol pemangku aturan adat), dan Dunenskingwow (semacam humas pelaksana program adat). 

Sebagai pemimpin marga, Iram berperan besar dalam menentukan batas-batas tanah ulayat untuk setiap keluarga dalam satu marga. Namun, dalam satu dasawarsa terakhir, masyarakat adat Namblong menghadapi tekanan pencaplokan tanah adat oleh PT Permata Nusa Mandiri (PNM), perusahaan kelapa sawit. Modusnya sama, yaitu pemalsuan tanda tangan kehadiran warga dalam acara sosialisasi plasma nutfah kelapa sawit, yang diubah sepihak sebagai dokumen persetujuan pembukaan lahan untuk diajukan ke Bupati Jayapura dan Menteri Kehutanan selama 2011–2014.

Sejumlah oknum keluarga marga ikut terseret karena tergiur uang cepat yang nilainya tidak seberapa dibanding warisan adat. Untuk melawan itu, selain melalui gerakan aktivis, masyarakat Lembah Grime membentuk unit bisnis BUMMA Yombe Namblong Nggua. Pembentukan dan pendampingan program BUMMA dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mitra BUMMA, dan Samdhana Institute. Konsep kepemilikan saham perusahaan oleh 44 marga menjadi pijakan kuat untuk mengikat pengelolaan sumber daya alam berbasis adat. 

Kiri: Jalan nasional penghubung Kabupaten Jayapura dengan Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Beberapa distrik di sekitarnya telah berubah menjadi kawasan transmigrasi sejak zaman pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Kanan: Kondisi jalan kampung di Yenggu Baru, Nimboran. Masyarakat kampung umumnya menggantungkan sumber ekonominya pada hasil hutan yang dikelola secara ketentuan adat/Rifqy Faiza Rahman

Amanah daerah otonomi khusus dan filosofi Gerakan Menoken

Ambrosius Ruwindrijarto atau akrab disapa Ruwi (53), salah satu pendiri dan direktur eksekutif dari Mitra BUMMA dan Samdhana Institute, mengungkap inisiasi pendirian BUMMA di wilayah Namblong sejatinya merentang jauh 16 tahun ke belakang. Persisnya ketika pemerintah mengetuk palu, melahirkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.

Peraturan perundang-undangan itu kemudian diterjemahkan dan dilaksanakan lebih implementatif dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua. “Keberadaan undang-undang dan Perdasus berlandaskan pada semangat dan kenyataan [yang mengakui] bahwa seluruh tanah Papua adalah tanah adat dan seluruh masyarakat Papua adalah masyarakat adat,” jelas Ruwi.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) turut memiliki andil dalam mengegolkan dan menindaklanjuti pengakuan legal formal tersebut. Selanjutnya dilakukan pemetaan, pengumpulan data etnografi, pengusulan dan verifikasi, sampai dengan penetapan pengakuan masyarakat dan wilayah hukum adat di tingkat provinsi maupun kabupaten. Di dalamnya, termuat salah satu ketentuan yang mengatur kewajiban masyarakat adat Papua untuk membangun badan usaha milik masyarakat adat (BUMMA). Tujuan utama pendirian BUMMA bertujuan adalah untuk mengelola secara kolektif segala kekayaan dan segala sumber perekonomian di dalam wilayah adatnya.

Namun, setelah serangkaian perjuangan oleh masyarakat adat bertahun-tahun, langkah yang lebih progresif dan komprehensif baru dilakukan pada periode 2020–2021 ketika muncul inisiatif Gerakan Menoken. Sebuah program dari Samdhana Institute untuk penguatan kapasitas masyarakat adat Papua, khususnya suku Namblong di Jayapura. Penamaan “menoken” merupakan bentuk praktis dari noken, sebuah benda multifungsi yang diakui dunia sebagai warisan budaya. Bicara noken berarti bicara Papua, dan sebaliknya.

  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime

Noken tidak hanya sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga. Banyak masyarakat pun menggunakannya untuk membawa dan melindungi bayi. Selain itu, noken juga memiliki seperangkat nilai dan filosofi mendalam. Noken bermakna kelenturan (fleksibilitas), keterbukaan (transparansi), kebersamaan (persaudaraan), keterajutan (saling terhubung), keberdayagunaan, juga sebagai identitas dan perawat kehidupan. 

“Noken itu seperti layaknya rahim, di mana ia mengkerut atau mengecil pada saat tidak ada isinya [tidak digunakan]. Tapi kalau ada isinya, maka ia akan menyesuaikan diri [mengembang], menyimpan, dan melindungi apa yang ada di dalamnya,” tutur Ruwi.

Melalui Gerakan Menoken, masyarakat diajak berdiskusi bersama. Duduk melingkar, sama rata. Tidak ada yang menonjol sebagai narasumber seperti lazimnya sebuah acara diskusi. Program ini lebih dari sekadar lokakarya biasa. Setiap orang berbagi informasi tentang isi noken miliknya, menerima pemberian dari isi noken orang lain, sampai menceritakan pengalaman-pengalaman seputar kehidupan sebagai masyarakat adat.

Di tengah rangkaian kegiatan, berikutnya muncul topik pembahasan mengenai tantangan-tantangan pengelolaan kekayaan alam dan budaya yang ada di masyarakat. Sebab, timbul kesadaran dalam menjaganya sebagai sumber penghidupan dan warisan untuk anak cucu. Semangat diskursus lalu berkembang sampai mengerucut dan menghasilkan kesepakatan untuk membentuk forum khusus dan resmi di tingkat masyarakat adat. 

Pada 12 Oktober 2022, lahirlah BUMMA Yombe Namblong Nggua, dengan Yohana Yokbeth Tarkuo (29) didapuk sebagai direktur utama. Penetapan warga Kampung Berap, Distrik Nimbokrang itu, bersama pengurus struktural BUMMA lainnya, dilakukan secara adat. Kabar gembira ini mengiringi momen puncak penyerahan surat keputusan hutan adat oleh pemerintah saat Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Stadion Barnabas Youwe, Sentani, Jayapura (24/10/2022).

Melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah menetapkan tujuh hutan adat di Papua. Enam di antaranya berada di Kabupaten Jayapura, sedangkan satu hutan adat ada di Distrik Merdey, Teluk Bintuni, Papua Barat. Dari enam itu, empat hutan adat berada di Lembah Grime: 1) Hutan Adat Yano Wai di Kampung Singgriwai, Distrik Nimboran (2.593,74 ha); 2) Hutan Adat Yano Akrua di Kampung Yenggu Baru dan Yenggu Lama, Distrik Nimboran (2.177,18 ha); 3) Hutan Adat Yano Meyu di Kampung Meyu, Distrik Nimboran (411,15 ha); dan 4) Hutan Adat Yano Takwobleng di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang (404,9 ha).

Optimisme dari Lembah Grime
Nicodemus Wamafma di pinggiran Kali Biru, destinasi wisata unggulan Kampung Berap. Niko yang telah kenyang pengalaman dalam pekerjaan lingkungan dan advokasi masyarakat adat kini pulang ke kampung halaman untuk membantu BUMMA Yombe Namblong Nggua/Deta Widyananda

Sisanya, menurut Nicodemus Wamafma alias Niko (49), General Manager BUMMA Yombe Namblong Nggua, akan diperjuangkan mendapatkan pengakuan yang sama. Sebab, memang sudah semestinya seluruh lahan di Lembah Grime merupakan wilayah hukum adat. Termasuk tanah-tanah transmigrasi, serta lahan-lahan yang dialihfungsikan perusahaan, seperti HPH industri kayu maupun Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.

Ruwi menegaskan, BUMMA berbeda dengan badan usaha milik kampung (BUMKam) atau desa (BUMDes). Selain memang menjadi “perintah” dari undang-undang, BUMMA lebih cocok diterapkan di kalangan masyarakat adat yang lebih kompleks. “BUMMA lebih berasas adat dan suku di Papua. Cakupannya lebih luas dan lebih bisa ‘melawan’ kapitalisme perusahaan besar,” tegas pria kelahiran Semarang itu. 

Untuk itulah Mitra BUMMA bekerja sama dengan para Iram dan masyarakat untuk memperkuat struktur dan kelembagaan, serta memetakan fokus bisnis BUMMA Yombe Namblong Nggua. Salah satu keluaran BUMMA Yombe Namblong Nggua sebagai unit usaha adalah menghasilkan produk-produk ekonomi yang dikelola berbasis masyarakat. Tidak hanya mengakomodasi setiap marga, tetapi juga mengusahakan proses hulu-hilirnya berkelanjutan. 

Mengutip pernyataan Yohana, sesuai arahan dan pendampingan Mitra BUMMA, serta berdasarkan hasil pemetaan potensi, fokus pengembangan ekonomi mengerucut pada komoditas vanili dan ekowisata. Meskipun sebelumnya masyarakat Namblong juga berkecimpung di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan—yang mana akan kelak juga akan menjadi fokus pengembangan di tahun-tahun berikutnya.

  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime

Para srikandi Namblong yang memiliki peran penting dalam pengembangan BUMMA Yombe Namblong Nggua, yaitu (berurutan) Yohana Yokbeth Tarkuo, Dorlince Yambeyapdi (bendahara BUMMA), dan Ribka Waibro (manajer divisi vanili BUMMA)/Deta Widyananda-Rifqy Faiza Rahman

Mandat berat menjaga hutan adat

Selain vanili dan ekowisata, restorasi hutan merupakan satu sektor penting yang menjadi fokus BUMMA. Terlebih PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih menunjukkan eksistensi di dekat kawasan hutan adat Yano Akrua, berbatasan dengan wilayah Beneik, Distrik Unurum Guay. 

Sejarah upaya deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PNM di wilayah adat Namblong membentang cukup panjang, lebih dari sedekade lalu. Perusahaan yang tidak jelas alamat kantor dan struktur organisasinya itu—baik di Jayapura maupun Jakarta—mendapatkan izin lokasi seluas 32.000 hektare dari Bupati Jayapura Mathius Awoitauw pada 2011. Kemudian izin konsesi kawasan hutan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lewat SK.680/MENHUT-II/2014 tanggal 13 Agustus 2014 dengan luas wilayah 16.182,48 hektare. Kawasan seluas itu telah mencaplok lebih dari separuh wilayah adat suku Namblong.

Padahal, izin konsesi tersebut kemudian dicabut oleh Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar lewat SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Dengan kata lain, negara sudah melarang PNM melanjutkan operasionalnya. Namun, faktanya aktivitas PT PNM masih berjalan terang-terangan, seolah-olah ketetapan hukum selevel kementerian tidak bertaji.

  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime

Pembabatan hutan terus berlangsung. Pekik senso atau gergaji mesin, yang entah di mana sumber suaranya, terdengar meraung-raung dari pedalaman belantara. Jelas sekali mata gergaji berbahan baja itu mengiris pohon-pohon berusia tua sampai rebah ke tanah. Seperti gemuruh longsoran bukit dengan batu-batu besar menggelinding. Sementara di seberang hutan yang sudah gundul, polybag plastik hitam berisi tanaman sawit berusia muda ditata berjejer di kebun pembibitan. 

Jauh sebelum itu, sejumlah kebijakan semasa pemerintahan Orde Baru turut memberi dampak pada berkurangnya tutupan hutan dan tanah adat. Sebut saja program transmigrasi maupun pembukaan industri kayu lewat Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Padahal, masyarakat menggantungkan kehidupannya bersumber dari hutan. Banyak wawasan leluhur tentang pemanfaatan hutan untuk makan, minum, hingga obat-obatan tradisional. Tak pelak Ambrosius Waisimon (67), Iram di Kampung Yenggu Baru, menolak keras perusahaan apa pun (yang bersifat ekstraktif) masuk ke hutan adat mereka—Ku Defeng Akrua.

Jelas akan jadi pekerjaan berat bagi Bernard Yewi (42), Manajer Kehutanan BUMMA. Ia  mengemban tanggung jawab untuk menjaga dan memulihkan hutan adat Namblong. Belum lagi jika bicara soal dampak perubahan iklim dan upaya penyerapan karbon. Tak heran jika Abner Tecuari (49), pemuka marga Tecuari di Bunyom, kukuh mengusulkan kepada BUMMA agar membangun kembali dusun (hutan) sagu. Selain faktor pangan pokok dan penyerap karbon terbaik, program ini juga memperlihatkan bentuk perjuangan masyarakat Namblong mempertahankan hak ulayat mereka. 

Optimisme dari Lembah Grime
Hutan adalah sumber kehidupan bagi masyarakat adat Namblong di Lembah Grime. Bukan hanya bermanfaat bagi manusia, melainkan juga satwa dan keanekaragaman hayati lainnya yang menjadikan rimba sebagai rumah mereka/Deta Widyananda

“Dengan menanam sagu di hutan, kita tunjukkan kepada perusahaan [sawit dan kayu] bahwa [hutan] itu milik kita, bukan cuma tanah kosong,” jelas Abner tegas.

Bernard pun tidak bisa untuk tidak setuju dengan permintaan Abner. Untuk itulah ia bersama pengurus telah melakukan rencana tindakan awal. Setidaknya ada empat tahapan yang harus dilakukan BUMMA di sektor kehutanan.

Pertama, pengelolaan area hutan adat yang sudah ada—baik yang diakui negara maupun bukan— agar dipertahankan, dan menegaskan kembali batas-batas antarmarga sehingga tidak terjadi saling klaim kepemilikan lahan. Kedua, pengayaan atau rehabilitasi untuk memperbanyak tegakan pohon dengan kandungan penyerapan karbon tertinggi, seperti sagu yang sekaligus menjadi sumber pangan pokok. Ketiga, penghijauan atau reboisasi hutan yang “terluka”, terutama kawasan terdampak konsesi PNM. 

“Yang terakhir, penelitian. Kami akan melakukan pemetaan lahan-lahan prioritas yang memiliki sebaran pohon dengan potensi stok karbon terbanyak di Lembah Grime,” jelas Bernard. Pada jangka panjang, BUMMA Yombe Namblong Nggua memang berencana akan terlibat dalam perdagangan karbon berbasis masyarakat adat.

Optimisme dari Lembah Grime
Bernard Yewi memiliki sejumlah program untuk menjaga dan merestorasi hutan adat di Lembah Grime/Deta Widyananda

Butuh waktu untuk berdikari

Pada 30 September 2024 lalu, melalui saluran komunikasi pribadi, Niko mengabarkan bahwa BUMMA sudah memiliki akta resmi sebagai Perseroan Terbatas (PT). Transformasi legalitas ini merupakan pencapaian besar yang diraih dengan tidak mudah.

Ruwi mengatakan, pembentukan PT di wilayah masyarakat hukum adat merupakan terobosan baru. Namun, ia mengakui prosesnya menemui banyak tantangan dan kendala, terutama aspek administrasi. Sebab, konsep BUMMA benar-benar merupakan hal baru bagi legalitas bisnis. Di samping itu, platform prosedur pembuatan PT di Indonesia secara teknis belum spesifik mengakomodasi komunitas adat—dalam hal ini pemimpin marga Namblong—sebagai pemilik saham. 

“Dari 44 Iram, separuhnya belum punya KTP. Lalu namanya beda dengan catatan yang dimiliki dinas kependudukan dan catatan sipil setempat,” terang Ruwi. Akhirnya ia bersama BUMMA membantu pembuatan identitas kependudukan tersebut. Termasuk NPWP, sebab dokumen ini menjadi syarat wajib saat mendirikan perusahaan.

Abner Tecuari (kiri) dan Ambrosius Waisimon berkomitmen akan membantu pengembangan BUMMA selama program-programnya konsisten berpihak pada masyarakat adat Namblong di Lembah Grime/Deta Widyananda

Ketentuan lainnya yang harus diikuti adalah permodalan yang harus disetor oleh masing-masing Iram suku Namblong. Jumlah modal disepakati sebesar Rp 100 juta, yang akan disetor secara bertahap. Para pemimpin marga, seperti Ambrosius Waisimon dan Abner Tecuari, serta 42 Iram lainnya, akan menyetor minimal 20 juta rupiah selama lima tahun, yang akan dimulai pada 2025 nanti. Penyetoran modal ini menjadi bukti sahih kepemilikan masyarakat adat terhadap BUMMA atau PT Yombe Namblong Nggua.

Namun, sebagaimana halnya Yohana, Niko, Bernard, dan pengurus lainnya di BUMMA, Ruwi juga punya banyak alasan untuk optimis. Meski masih akan melakukan pendampingan hingga beberapa tahun mendatang sampai operasional stabil dan kapabilitas pengurus meningkat, kelak pasti ada masanya BUMMA akan mampu mandiri sepenuhnya. Sebab, memang sudah semestinya begitu sebagai sebuah badan usaha. Ini sesuai makna nama “Yombe Namblong Nggua”. Yohana mengartikannya, “Bangkit dan bersama-sama membangun (yombe) suku Namblong lebih mandiri (nggua).”

Pemilihan Yohana sendiri sebagai direktur BUMMA juga menarik. Selain masih sangat muda, latar belakang pendidikannya sebagai lulusan sekolah keperawatan sangat kontras dengan dunia barunya saat ini. Di sisi lain juga unik. Sebab, hal ini seperti mendobrak kebiasaan patriarkat yang umum terjadi di Papua. Akan tetapi, para Iram bermufakat dan memercayainya memimpin perusahaan. Penetapannya pun sakral karena melalui rangkaian upacara adat.

Optimisme dari Lembah Grime
Tim TelusuRI foto bersama pengurus BUMMA Yombe Nangglong Nggua di area rumah pengeringan vanili/Deta Widyananda

Menurut Niko, kesepakatan dan mandat dari para Iram sangat penting. Sebab, iram merupakan pemimpin marga yang mewakili banyak keluarga, bahkan lebih dihormati daripada jabatan kepala kampung. Pendekatan dan koordinasi yang baik akan memudahkan BUMMA melaksanakan program-programnya. Terutama keterbukaan atau transparansi soal pemanfaatan dan pengelolaan potensi kawasan hutan dan kawasan penyangga (perkebunan vanili, perikanan, dan peternakan) yang pasti bakal bermitra dengan masyarakat.

“[Jika] kemudian masyarakat mendapat keuntungan secara ekonomi, muncul kesadaran kritis [dari] masyarakat, bahwa membangun kehidupan mereka dalam wilayah adat ini tidak harus dengan melepaskan hak mereka atas tanah, hutan dan sumber alam,” jelas Niko. 

Berdasarkan pola pendekatan seperti itu, maka akan lebih menjamin kedaulatan atas hak ulayat yang dimiliki setiap marga. Sekaligus memastikan keutuhan sumber daya alam yang ada di Lembah Grime akan tetap berada dalam genggaman masyarakat adat. (*)


Foto sampul:
Salah satu sudut dataran rendah di Lembah Grime, kawasan yang dihuni masyarakat adat suku Namblong turun-temurun/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Optimisme dari Lembah Grime appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/optimisme-dari-lembah-grime/feed/ 0 45289