nelayan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/nelayan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 06 Mar 2025 04:31:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 nelayan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/nelayan/ 32 32 135956295 Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/ https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/#respond Tue, 10 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44494 Perjalanan ini bermula dari pelabuhan kecil di ujung timur Madura. Tujuannya jelas, yaitu Pulau Sapeken. Sebuah pulau yang masuk kedalam kriteria pulau terluar dari wilayah Madura. Keingintahuan saya tentang kehidupan di sana membawa saya menyusuri...

The post Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ini bermula dari pelabuhan kecil di ujung timur Madura. Tujuannya jelas, yaitu Pulau Sapeken. Sebuah pulau yang masuk kedalam kriteria pulau terluar dari wilayah Madura. Keingintahuan saya tentang kehidupan di sana membawa saya menyusuri perjalanan yang tak hanya penuh dengan pesona alam, tetapi juga cerita-cerita masyarakat lokal yang begitu kental.

Ketika pertama kali mendengar nama Pulau Sapeken, saya membayangkan sebuah pulau kecil yang sepi, jauh dari keramaian. Namun, begitu kaki ini menginjak tanahnya, ternyata kenyataannya jauh berbeda. Pulau ini, meskipun hanya seluas sekitar 3,5 kilometer persegi, ternyata penuh dengan kehidupan. Bahkan, beberapa orang yang pernah berkunjung ke Sapeken menyebutnya sebagai “pulau metropolis.”

Saat menyusuri gang-gang kecil di antara rumah-rumah penduduk, saya mendapati betapa berbedanya Sapeken dibandingkan dengan bayangan saya tentang pulau terpencil dan terluar. Penduduk di sini sangat ramah, meskipun banyak dari mereka berasal dari latar belakang yang berbeda.

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Nelayan mengangkut jala berisi hasil tangkapan di bibir pantai Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Menyelami Dinamika Demografi Sapeken

Kecamatan Sapeken terdiri dari sembilan desa dan 33 pulau kecil lainnya. Bayangkan, dari 33 pulau itu, hanya lima yang tidak berpenghuni. Jadi, sisanya? Penuh dengan cerita dan kehidupan yang tersebar di antara pulau-pulau tersebut. Desa Sapeken sendiri juga mencakup beberapa pulau kecil, seperti Pulau Sadulang Besar, Pulau Sadulang Kecil, Pulau Saular, Pulau Saebus, dan Pulau Saur. Semua pulau ini menjadi bagian dari ekosistem sosial dan budaya yang unik.

Menurut BPS Kecamatan Sapeken (2022), populasi penduduk pulau ini sekitar 10.359 jiwa, baik laki laki maupun perempuan. Tak heran jika Pulau Sapeken terasa begitu padat. Dari kejauhan, deretan rumah-rumah di sepanjang pantai terlihat begitu rapat, seperti puzzle yang saling melengkapi.

Pulau Sapeken ini memang hanya memiliki satu dusun, tetapi kehidupan di sini sangat dinamis. Setiap sudutnya seperti dipenuhi energi, entah dari para nelayan yang baru pulang melaut, ibu-ibu yang sibuk di pasar, atau anak-anak yang berlarian di jalan-jalan sempitnya.

Memang, dengan penduduk yang padat dan berbagai macam gaya hidup, masyarakat Sapeken bisa dibilang “metro kepulauan.” Berbeda dengan pulau lain yang biasanya lebih tenang dan seragam, di sini kehidupan terasa lebih hidup. Ada tiga masjid yang menunjukkan kehidupan keagamaan yang dinamis. Banyak aliran keorganisasian Islam, seperti NU, Persis, dan Muhammadiyah. Umat nonmuslim hanya sekitar 0,5 persen.

Uniknya, penduduk di Pulau Sapeken justru berbahasa Sulawesi (cenderung bahasa Bajau, bahasa Mandar, dan sebagian kecil berbahasa Bugis), bukan berbahasa Madura. Sebab, dalam sejarahnya populasi penduduk Sapeken memang merupakan pendatang dari daerah Makassar (dulu Ujung Pandang). 

Ketika itu, orang Kampung Bajo dari Sulawesi Selatan sedang melaut untuk mencari ikan dan menetap di Pulau Sapeken. Hal tersebut yang menjadi tradisi maritim dan mengakar kuat, sehingga membuat Sapeken menjadi salah satu pusat perikanan yang paling penting di wilayah ini.

Pernah suatu waktu, Drs. Abdul Muiz Aliwafa, yang dulu pernah menjabat wakil bupati Sumenep, memberi sambutan saat peresmian Kantor MWC NU Sapeken dengan logat Madura. Namun, para tamu undangan malah kebingungan. Ternyata, banyak yang tidak paham bahasa Madura yang dipakai. Akhirnya, ia beralih menggunakan bahasa Indonesia.

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Aktivitas nelayan saat melaut di perairan Pulau Sapeken/Adipatra Kenaro Wicaksana

Menyatu dalam Kehidupan Nelayan

Begitu tiba di dermaga, aroma laut dan ikan segar seraya menyambut. Para nelayan dengan ramah menyapa kami, dan di sinilah narasi perjalanan saya di Sapeken benar-benar dimulai. Setiap sudut dermaga disesaki aktivitas nelayan yang baru saja kembali dari laut. Kapal-kapal kecil mereka penuh dengan ikan yang siap dijual di pasar lokal atau dikirim ke tempat-tempat yang lebih jauh.

Aktivitas di pulau kecil ini tak kalah sibuk dengan kota-kota besar. Di pagi hari, suara klakson perahu nelayan dan obrolan riuh di pasar lumrah jadi pemandangan sehari-hari. Laut yang mengelilingi pulau tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari. Di sini, saya benar-benar merasakan bagaimana hubungan masyarakat antara laut dan kehidupan sehari-hari sangat erat. Laut bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian, melainkan juga bagian dari identitas masyarakat.

Sapeken yang berada di ujung timur wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, dikenal sebagai lumbung ikan yang penting di kawasan ini. Sapeken menjadi rumah bagi para nelayan yang sehari-harinya mengarungi laut demi membawa hasil tangkapan terbaik.

Muhandis Sidqi menjelaskan secara mendalam peran Pulau Sapeken dalam bukunya Pulau Sapeken: Lumbung Ikan di Timur Madura (2013). Di buku terbitan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu, peran Pulau Sapeken dalam menopang industri perikanan sangat besar. Laut di sekitarnya dikenal memiliki kekayaan biota laut yang melimpah, berkat arus laut yang stabil dan ekosistem terumbu karang yang sehat. Para nelayan setempat memanfaatkan kondisi ini untuk menjadikannya pusat perikanan yang hidup. Bukan hanya untuk Madura, melainkan juga bagi wilayah-wilayah lain di sekitarnya.

Saking eratnya, hampir setiap keluarga di Sapeken menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan ikan. Selain dijual di pasar lokal, ikan-ikan dari Sapeken juga dikirim ke berbagai daerah lain, termasuk Surabaya dan Bali. Tak heran jika Muhandis Sidqi menyebut pulau ini sebagai lumbung ikan. Setiap hari, kapal-kapal pengangkut hilir mudik, membawa ikan segar keluar dari pulau. 

Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura
Hasil tangkapan ikan nelayan Sapeken, di antaranya teri, layang, sampai tongkol/Adipatra Kenaro Wicaksana

Dari Pantai yang Sunyi, hingga Mangrove yang Asri

Pulau ini bukan cuma tentang ikan. Sapeken juga menyimpan pesona alam yang begitu memikat. Saya sempat mengunjungi pantainya. Hanya ada deru angin dan suara ombak di sana. Pulau ini menawarkan pemandangan pantai-pantai sepi yang begitu tenang, pasir putihnya begitu halus di bawah kaki. Sementara air laut yang jernih berkilau diterpa sinar matahari seolah mengajak siapa pun yang datang untuk sejenak melupakan hiruk piruk kehidupan.

Keindahan alam Sapeken tidak berhenti hanya pada pantainya saja. Di sisi lain pulau, terdapat hutan mangrove yang luas dan asri. Akar-akar mangrove yang menjulur di bawah permukaan air membentuk habitat bagi berbagai jenis satwa laut. Hutan mangrove di Sapeken juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pulau ini. Selain melindungi garis pantai dari abrasi, juga memberikan tempat berlindung bagi ikan-ikan kecil.

Pantai dan mangrove di Pulau Sapeken seakan memberi penegasan. Bukti nyata bahwa pulau ini tidak hanya sebagai pusat perikanan, tetapi juga destinasi wisata alam yang menakjubkan.

Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Pulau

Selama perjalanan mengelilingi Desa Sapeken, saya juga berkesempatan melihat langsung bagaimana pelayanan kesehatan berlangsung. Ada sebuah bentuk inisiatif yang luar biasa, yaitu kapal layanan kesehatan. Meski beroperasi hanya empat kali dalam setahun, kapal kesehatan tersebut memberikan berbagai jenis pelayanan medis dasar serta lanjut, mulai dari operasi bedah hingga kontrol kesehatan rutin. 

Keterbatasan transportasi dan sumber daya kesehatan hanya dapat diatasi dengan pelayanan kesehatan bergerak. Saya jadi semakin sadar betapa pentingnya solidaritas dan kerja sama di daerah-daerah terpencil.

Menurut saya, pelayanan kesehatan bergerak di daerah terpencil seperti Sapeken adalah contoh nyata dari dedikasi yang luar biasa dalam memberikan akses kesehatan yang layak bagi masyarakat. Mengingat tantangan geografis—pulau-pulau terpisah oleh lautan—dan sulitnya akses transportasi, program ini merupakan solusi cerdas dan sangat efektif.

Pelayanan kesehatan bergerak di Sapeken mengajarkan saya bahwa inovasi kesehatan bukan hanya tentang teknologi maju, melainkan juga adaptasi dan keberanian untuk menjangkau masyarakat di pelosok negeri. Cerita tentang kapal kesehatan yang datang seperti “penyelamat” bagi warga Desa Sapeken adalah bukti nyata, bahwa layanan ini sangat penting untuk memastikan setiap orang, di mana pun mereka berada, memiliki hak yang sama atas kesehatan.

Sapeken mungkin kecil, tetapi kisah dan kehidupan di dalamnya sangat besar. Rasanya, tak cukup sehari untuk bisa benar-benar memahami dan merasakan setiap detak kehidupan di pulau ini. Dengan semua keramaiannya, Sapeken tetap menawarkan daya tarik yang membuat saya ingin terus kembali.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sapeken: Pulau Kecil dengan Kisah Besar di Timur Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sapeken-pulau-kecil-dengan-kisah-besar-di-timur-madura/feed/ 0 44494
Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan https://telusuri.id/menatap-masa-depan-nelayan-di-seberang-balikpapan/ https://telusuri.id/menatap-masa-depan-nelayan-di-seberang-balikpapan/#respond Tue, 12 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43024 Di tengah hilir mudik tongkang dan kapal-kapal besar yang menggoyang ombak Teluk Balikpapan, komunitas nelayan pesisir Penajam Paser Utara menitipkan harapan. Perubahan iklim menjelma sebagai tembok tebal lainnya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan...

The post Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan appeared first on TelusuRI.

]]>
Di tengah hilir mudik tongkang dan kapal-kapal besar yang menggoyang ombak Teluk Balikpapan, komunitas nelayan pesisir Penajam Paser Utara menitipkan harapan. Perubahan iklim menjelma sebagai tembok tebal lainnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mardhatillah Ramadhan


Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Jumlah penyeberangan kapal feri kalah telak dibandingkan kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara yang melintasi Teluk Balikpapan/Deta Widyananda

Setiap hari, Teluk Balikpapan selalu sibuk. Silih berganti kapal-kapal besar melintas tiada henti. Selain arus kapal penumpang antarpulau, lalu lintas perairan tersebut menjadi jantung utama kapal-kapal industri.

Perusahaan-perusahaan konstruksi, kargo, kelapa sawit, pertambangan batu bara, hingga PLTU menjejal nyaris sepanjang pesisir Balikpapan maupun Penajam Paser Utara (PPU). Menjadi pemandangan lumrah jika melihat kapal tongkang lalu lalang mengangkut gunungan batu bara ke Pulau Jawa dan sebaliknya. Apalagi adanya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang memanfaatkan Teluk Balikpapan sebagai gerbang utama untuk memasok logistik proyek.

Di sisi lain, teluk seluas 160 km2 dengan daerah aliran sungai sekitar 211.456 hektare1 juga menjadi ruang hidup bagi masyarakat pesisir dan keanekaragaman hayati di sekitarnya. Kelurahan Jenebora, berjarak sekitar 30 menit dengan speed boat dari tepi Kota Balikpapan, rumah-rumah tapak dan panggung dengan dermaga-dermaga kecil menyemut di tepian laut. Menyisakan tegakan hutan mangrove yang mengapit permukiman.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Permukiman padat di Kelurahan Jenebora, kampung nelayan PPU terdekat yang bisa dicapai dari Kota Balikpapan/Deta Widyananda

Perkampungan lawas ini terbentuk sejak berabad-abad silam. Dihuni oleh mayoritas suku Bajau (Bajo) dan Bugis, dua etnis dari Sulawesi yang terkenal andal dalam melaut. Dari 3.533 jiwa, sekitar 602 orang atau 17 persennya berprofesi sebagai nelayan2. Populasi ini lebih jauh lebih tinggi daripada di Tanjung Jumlai dan Api-Api. 

Rajungan (Portunus pelagicus), atau istilah globalnya blue swimming crab, merupakan komoditas andalan masyarakat pesisir PPU. Selain itu juga terdapat lobster, gurita, kepiting, dan beberapa jenis ikan lainnya. Sayangnya, tren penurunan jumlah tangkapan terus mengintai para nelayan. Tuntutan kebutuhan sehari-hari terus merengek, sementara marabahaya dari segala penjuru selalu menghantui.

Nelayan memang pekerjaan yang berisiko tinggi. Tiada sekat yang membatasi tubuh nelayan dengan empasan ombak, selain dinding perahunya sendiri. Nelayan juga tidak bisa memastikan jumlah tangkapan yang stabil setiap harinya. Saking sulitnya pekerjaan ini, sampai-sampai sebagian besar nelayan melarang anak-anak mereka mengikuti jejaknya. Tidak heran jumlahnya terus menurun.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Rajungan, komoditas unggulan nelayan di pesisir PPU/Deta Widyananda

“Jangan sampai [jadi nelayan]. Semua anak-anak, mereka tidak ada yang ke laut. Fokus sekolah saja,” ujar Said, nelayan Tanjung Jumlai, Kelurahan Pejala, sekitar 55 km ke arah selatan dari Jenebora. Desa ini berhadapan langsung dengan laut lepas Selat Makassar. 

Kekhawatiran para orang tua cukup beralasan. Sebagian generasi muda di pesisir PPU lebih menengok “masa depan” di gemerlap Balikpapan. Menjadi karyawan di perusahaan tampak jauh menjanjikan daripada nelayan. Jadwal kerja tetap, gaji pasti. Situasi seperti ini sama persis dialami oleh petani-petani kecil di Jawa, yang lebih mendorong anak-anaknya bekerja kantoran. Terlebih jejaring investasi yang tiada kenal henti terus merasuk sendi-sendi ekonomi Balikpapan dan sekitarnya.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Anak-anak Jenebora meluangkan waktu dengan memancing di salah satu dermaga kampung. Hilir mudik tongkang batu bara di Teluk Balikpapan menjadi latar kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pesisir PPU/Deta Widyananda

Tidak hanya dijepit industri, tetapi juga gejolak iklim

Aktivitas antropogenik3 yang sangat tinggi memang tampak memberi pengaruh pada penyempitan ruang hidup nelayan. Limbah industri ekstraktif tidak hanya mencemari laut permukaan, tetapi juga mengganggu biota laut di dalamnya. Belum lagi metode penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan berlebihan (overfishing), seperti bom ikan, penggunaan pukat hela atau dogol oleh sejumlah oknum nelayan. Pukat yang terpasang tidak hanya menjaring ikan yang ditargetkan, tetapi juga menggaruk biota-biota laut tak bersalah, di antaranya terumbu karang dan ikan-ikan karang kecil di sekitarnya. Jaring-jaring nelayan kecil pun ikut rusak.

Praktik-praktik merusak seperti itu berdampak instan pada ekosistem perairan. Padang lamun berkurang, dugong pun menghilang. Laut dan daerah aliran sungai tercemar, pesut dan ikan-ikan endemik menjauh. Konflik horizontal bisa memanas, ketika nelayan-nelayan yang “lurus” dirugikan oleh kelompok nelayan yang melaut secara serampangan.

Di Jenebora, lingkungan yang tidak sehat menyebabkan penyempitan area dan jumlah tangkapan, yang berimbas pada penurunan pendapatan. Kondisi memprihatinkan juga dialami para nelayan di Tanjung Jumlai dan Api-Api. Posisi kampung yang berhadapan dengan laut lepas Selat Makassar rentan terhadap abrasi dan banjir karena naiknya permukaan air laut. Minimnya benteng alami seperti mangrove meningkatkan risiko itu.

Mindworks Lab dan Datakota mencatat angka kerentanan yang mengkhawatirkan terhadap kelangsungan komunitas pesisir PPU. Rata-rata mengalami dampak nyata akibat perubahan iklim. Diprediksi, kenaikan permukaan laut dan abrasi akan mengancam masa depan lebih dari 6.000 jiwa, 100 km infrastruktur jalan, dan lebih dari separuh dermaga atau pelabuhan di pesisir PPU pada 2050.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Tampak dua nelayan di Desa Api-Api, Kecamatan Waru, pergi melaut saat sore hari. Ganasnya ombak kala musim angin selatan harus diwaspadai ketika nelayan tetap mencari ikan, meski penghasilan tidak menentu/Deta Widyananda

Berdasarkan penuturan nelayan setempat, Mei–September merupakan musim selatan yang ditandai dengan angin kencang dan gelombang besar. Perahu kecil nelayan seringkali tidak sanggup menghadapi cuaca buruk. Perubahan cuaca tidak menentu juga berdampak pada ketidakpastian frekuensi melaut dan penghasilan tidak menentu.

Musim angin selatan, yang secara teori biasa berlangsung bulan Mei–September, belakangan kian sulit diprediksi. Angin kencang bisa hilang dan timbul tiba-tiba. Meski masih cukup optimis dengan ketersediaan ikan yang bisa ditangkap, Salman, nelayan Desa Api-Api, gelisah dengan jarak melaut yang makin jauh. Perahu kecil bervolume kurang dari 5 Gross Tonnage (GT) dengan mesin tempel kapasitas 5 sampai 15 PK—mayoritas nelayan menggunakan ini—pun tampak timpang dengan kondisi alam yang ganas.

“Kekhawatiran saya untuk anak cucu kami ke depannya itu, ya, cuma makin jauh kita melaut,” terang Salman. Saat ini Salman dan nelayan lainnya harus menempuh jarak satu jam perjalanan untuk tiba di lokasi tangkapan. Setara dengan 3–5 mil atau sekitar 5–8 kilometer. “Nanti kalau anak cucu kami itu mungkin dua jam baru sampai di tempat penangkapan.”

Menurut keterangan Salman, dahulu nelayan mudah mendapat 50 kg tangkapan ikan hanya di perairan dekat pantai. Bahkan Sahibe, nelayan Tanjung Jumlai, pernah memperoleh hasil tangkapan satu kuintal ikan per hari. Nominal yang tampaknya sulit diulang akhir-akhir ini. Dapat seperlimanya saja sudah bisa dibilang sangat beruntung.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Sahibe membawa seember penuh kerang laut yang didapat di pantai saat laut surut/Deta Widyananda

Jalan tengah: adaptasi dan sinergi

Mega bergelayut di langit Teluk Balikpapan. Membuat pagi seakan belum benar-benar lepas dari buta. Namun, nuansa sendu tidak berlaku sama di ujung kampung Jenebora. 

Syamsuddin sudah sibuk di atas perahunya. Ia melepas tali tambat, menggiring bahtera kecil itu menjauhi dermaga. Sesaat setelah menyalakan mesin, ia melesat menuju perairan yang tak jauh dari kampung. Meski langit dan lautan sedang kelabu, dengan balutan pakaian dan topi bernuansa biru, ia mencoba menjemput harapan.

Di satu titik, sekitar 1–2 mil (setara 1,5–3 km), pria yang sehari-hari sering menggunakan peci tersebut ingin mengecek hasil alat tangkap yang dipasang sejak sore sebelumnya. Rakang atau bubu rajungan sederhana itu diangkat olehnya. Tidak banyak, tetapi ia tetap tersenyum dan mensyukuri hasilnya.

Terkadang Syamsuddin memiliki cara tersendiri agar ketersediaan rajungan berkelanjutan. Setiap ia memasang rengge, sejenis alat untuk cari umpan (biasanya udang), dan mendapat rajungan yang sedang bertelur, maka telur-telur tersebut langsung ia sebar secara acak di perairan sekitarnya. Atau ia bawa pulang dan menebarkannya di sekitar kampung.

“Setahun kemudian, begitu saya pasang rengge [lagi] di situ, [diharapkan] banyak rajungannya. Karena kalau tidak begitu, tidak akan berkelanjutan,” jelasnya.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
(Kiri) Syamsuddin menunjukkan hasil tangkapan dari alat yang dipasang semalaman. Ia telah mempraktikkan proses adaptasi untuk menjaga spesies rajungan di laut. (Kanan) Nelayan Api-Api melakukan perbaikan dan penguatan lambung perahu agar bisa diajak berlayar lebih jauh/Mardhatillah Ramadhan dan Deta Widyananda

Langkah yang dilakukan Syamsuddin merupakan contoh bentuk adaptasi. Sembari menanti kondisi ekosistem perikanan mencapai titik ideal, ia lebih memilih untuk menjaga kelestarian rajungan dengan caranya sendiri. Begitu pun Salman. Bersama sejumlah nelayan di Api-Api, ia memodifikasi perahu agar lebih kuat saat menempuh rute melaut yang lebih jauh. Sedikit berbeda dari dua desa itu, sejumlah nelayan di Tanjung Jumlai memiliki alternatif sumber ekonomi lain, seperti menggarap sawah atau berkebun.

Meski kemampuan adaptasi masih terbilang rendah4, harapan itu masih ada. Darah pelaut masih melekat erat di nadi masyarakat keturunan Bajo dan Bugis di pesisir Penajam Paser Utara. Keadaan yang rentan di Jenebora, Tanjung Jumlai, dan Api-Api merupakan peluang strategis untuk melakukan intervensi.

Seperti yang dilakukan Aruna, perusahaan rintisan yang menghubungkan nelayan lokal ke segmen pasar lebih luas dengan teknologi. Melalui program Fisheries Improvement Project (FIP), Aruna berupaya secara bertahap melibatkan banyak pemangku kepentingan untuk meningkatkan praktik dan pengelolaan perikanan ramah lingkungan, sehingga spesies, habitat, dan manusia dapat berkembang biak dengan baik. Salah satu caranya adalah penggunaan perangkap berumpan lipat (bubus) dan jaring insang oleh kapal penangkap ikan terdaftar—di bawah 5 GT—dengan spesies target rajungan. Keberadaan Aruna Hub di Balikpapan bisa memperkukuh sistem perikanan ideal yang diimpikan.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Perahu-perahu nelayan Api-Api tertambat di pantai. Masa depan komunitas pesisir tetap ada di laut. Butuh dukungan lintas sektor untuk menjamin hidup dan identitas mereka/Deta Widyananda

Proyek yang memadukan ilmu, manajemen perikanan, dan teknologi tersebut berbasis pada standar perikanan internasional yang ditetapkan Marine Stewardship Council (MSC). Lembaga nonprofit internasional yang berbasis di London ini memiliki visi global agar ekosistem perikanan dan ketersediaan makanan dari laut tetap terjaga untuk generasi saat ini dan masa depan.

Jenebora dan Tanjung Jumlai termasuk dua desa di PPU yang menjadi proyek percontohan FIP oleh Aruna. Program ini merupakan kolaborasi lintas sektor, melibatkan Aruna, nelayan, pemerintah, peneliti, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi. Mindworks, dalam hal ini juga memberi kacamata langit lewat data-data potensi kerentanan akibat perubahan iklim yang mendorong mitigasi dan adaptasi. Nelayan akan diberikan pendampingan dan berbagai pelatihan untuk berkomitmen melakukan praktik penangkapan tradisional dan berkelanjutan.

Syamsuddin menunjukkan hasil rajungan dan ikan-ikan besar yang akan menopang taraf hidup nelayan PPU, selama tetap mempertahankan proses penangkapan yang ramah lingkungan/Deta Widyananda

Sinergi multipihak seperti inilah yang harus dilakukan demi menjamin masa depan nelayan. Tidak sekadar berhenti sebagai proyek semata, tetapi juga semestinya terakomodasi dalam kebijakan maupun payung hukum pemerintah yang melindungi komunitas nelayan. Sistem ideal yang diimpikan, agar nelayan melesat sebagai profesi yang memiliki prospek cerah.

Terlebih etnis Bugis dan Bajo di PPU—dan sejumlah daerah pesisir lainnya di Indonesia—yang secara historis hidup dan mati bersandar pada lautan. Angin segara dan gelombang ombak mengalir lebih dekat dari urat nadi. Merawat ruang hidup mereka, berarti merawat identitas dan kebudayaan lokal Nusantara sebagai bangsa maritim. (*)


  1. Data oleh Mapaselle Selle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, dalam Webinar Series #5 IKN berjudul “Teluk Balikpapan dalam Lanskap Pembangunan IKN Nusantara” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Politik (PRP) BRIN pada 7 Oktober 2022. ↩︎
  2. Dielaborasi dari temuan Mindworks Lab dan Datakota serta data Kecamatan Penajam dalam Angka 2023 oleh BPS Kabupaten Penajam Paser Utara. ↩︎
  3. Pencemaran logam berat akibat kegiatan pertambangan, transportasi, dan industri (Sholehhudin et al, 2021). ↩︎
  4. Dilansir dari hasil riset vulnerability mapping oleh Mindworks Lab dan Datakota (2024), Penajam Paser Utara (PPU) merupakan wilayah yang memiliki tingkat bahaya tertinggi akibat pengaruh antropogenik dan perubahan iklim, tetapi kapasitas adaptasinya rendah. ↩︎

Referensi

Sholehhudin, M., Azizah, R., Sumantri, A., Sham, S.M., Zakaria, Z..A., & Latif, M.T. (2021). Analysis of Heavy Metals (Cadmium, Chromium, Lead, Manganese, and Zinc) in Well Water in East Java Province, Indonesia. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences. Vol. 17(2): 146–153, April 2021, eISSN 2636-9346. https://medic.upm.edu.my/upload/dokumen/2021040613114320_MJMHS_0789.pdf.


Foto sampul:
Seorang nelayan Jenebora mendorong perahunya menjauh dari dermaga dengan tongkat bambu sebelum menghidupkan mesin untuk melaut. Tampak di latar belakang aktivitas industri yang sibuk di pinggiran Kota Balikpapan/Deta Widyananda


Artikel ini adalah publikasi program ekspedisi Mindworks Lab dan Aruna bersama TelusuRI di tiga desa, yaitu Jenebora, Tanjung Jumlai, dan Api-Api, Kabupaten Penajam Paser Utara pada Juni 2024, dengan tema “Indonesian Coastal Communities Climate Vulnerabilities Documentation & Narrative Creation”.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menatap-masa-depan-nelayan-di-seberang-balikpapan/feed/ 0 43024
Cerita Pagi Nelayan di Pelabuhan Tamperan https://telusuri.id/cerita-pagi-nelayan-di-pelabuhan-tamperan/ https://telusuri.id/cerita-pagi-nelayan-di-pelabuhan-tamperan/#respond Sat, 06 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38550 Sepulang dari menyambut matahari terbit di Sentono Gentong, Pringkuku, saya mengajak ibu dan istri mampir sebentar ke Tamperan. Sebuah pelabuhan perikanan di pinggiran kota Pacitan. Saya ingin menapaktilasi kunjungan pertama enam tahun lalu, serta menyaksikan geliat...

The post Cerita Pagi Nelayan di Pelabuhan Tamperan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sepulang dari menyambut matahari terbit di Sentono Gentong, Pringkuku, saya mengajak ibu dan istri mampir sebentar ke Tamperan. Sebuah pelabuhan perikanan di pinggiran kota Pacitan. Saya ingin menapaktilasi kunjungan pertama enam tahun lalu, serta menyaksikan geliat nelayan di sana.

Dari tempat parkir mobil, kami berjalan ke tepi dermaga. Pandangan saya langsung tertuju pada seseorang yang sedang duduk di atas bolder, besi pancang penambat tali tambang kapal. Pria bertopi itu seperti termangu sendirian, memandang ke arah gudang penimbangan dan bongkar muat ikan. 

Sugeng enjing, Pak. Baru pulang atau mau berangkat melaut?” tanya saya dalam bahasa Jawa halus. Saya jabat tangannya yang agak kasar. Tangan-tangan khas pekerja keras seperti petani dan kuli bangunan.

“Nunggu jadwal bongkar muat, Mas,” jawabnya menelunjuk ke gudang tadi, “paling jam delapan atau setengah sembilan.”

Saya melihat jam di layar ponsel, sudah pukul 07.20. Masih cukup waktu untuk ngobrol dengan Pak Taye. 

“Nama panjangnya siapa, Pak?”

“Ya, cuma ‘Taye’ itu, Mas. Ha-ha-ha!”

Kapal "Bintang Mas Perintis" berbobot 65 GT, menunggu panggilan bongkar muat dan penimbangan ikan di dermaga Pelabuhan Tamperan, Pacitan
Kapal “Bintang Mas Perintis” berbobot 65 GT, menunggu panggilan bongkar muat dan penimbangan ikan di dermaga Pelabuhan Tamperan, Pacitan/Rifqy Faiza Rahman

Hasil Tangkapan Terbatas

Buruh nelayan asal Pekalongan itu adalah satu di antara sekitar 30-an anak buah kapal (ABK) Bintang Mas Perintis, yang baru saja berlabuh setelah seminggu melaut. Kapal berbobot 65 Gross Ton (GT) tersebut membawa hasil tangkapan ikan sebanyak empat ton. 

Saya tidak melihat satu pun tuna yang terjaring. Bukan musimnya, katanya. Padahal tuna tergolong komoditas mahal, bisa mencapai Rp65.000 per kilogram. Kata Pak Taye, yang mendominasi adalah ikan jenis cakalang dan teropong. Harga jualnya berkisar Rp5.000-6.000 per kilogram.

“Itu kalau kondisi baik, Mas. Kalau pas jelek bisa anjlok banget, hanya dihargai Rp2.000 per kilogram,” jelas bapak lima anak itu.

Seharusnya kapal jenis 65 GT memiliki kemampuan berlayar lebih jauh dan lama. Jarak terjauh yang bisa dicapai sekitar 90-100 mil, setara 150 kilometer dari tepi pantai. Bisa melaut hingga 15 hari pergi-pulang. Durasi selama itu berpotensi memperoleh tangkapan ikan mencapai 20 ton.

Namun, peraturan yang berlaku melarang kapal di atas 30 GT menggunakan bahan bakar subsidi. Mereka harus membeli solar jenis Dexlite di SPBU umum di luar pelabuhan. 

Pembatasan tersebut turut berdampak pada lamanya berlayar dan target penghasilan. Belum lagi cuaca ekstrem tatkala musim badai. Tak jarang Taye dan teman-temannya terpaksa gigit jari, karena hasil tangkapan jauh di bawah target yang diharapkan.

  • Ikan cakalang, komoditas yang paling banyak dihasilkan hari itu
  • Suasana jelang bongkar muat ikan yang diawasi petugas pelabuhan setempat (tengah, bercelana panjang warna krem)

Upah Tak Sebanding

Saya penasaran dengan pendapatan yang Pak Taye peroleh. “Dari empat ton, panjenengan dapat upah berapa, Pak?”

“Paling aku dapat 100 ribu bersih, Mas. Kalau mau dapat lumayan, sekitar 300 ribu, setidaknya harus dapat 7 ton,” jelasnya.

Saya agak terkejut. Secara nalar, itu adalah angka yang kecil sekali. Dalam pikiran saya, ikan laut jauh lebih bernilai dari peluh nelayan. Juragan kapal masih punya aset untuk dijual jika ekonomi sulit, sedangkan buruh nelayan kadang tidak memiliki apa-apa.

“Kalau dapat di bawah 4 ton pernah, Pak?”

 “Sering, Mas.”

Taye menggelengkan kepalanya. Bukan isyarat membantah, melainkan tak ingin membayangkan kondisi seperti itu. Menggambarkan perjalanan panjangnya menggantungkan hidup dari air yang asin. Dari pesisir Muara Baru, Jakarta, hingga Muncar, Banyuwangi.

“Kalau boleh tahu, bagi hasil dari tangkapan di bawah 4 ton berapa, Pak?”

Sempat menghelas napas agak lama, Taye menjawab, “Gak dapat apa-apa, Mas. Hanya rugi tenaga.”

“Itu tidak sebanding, Pak,” kata saya.

“Ya, begitulah, Mas.”

Pilu dan Asa di Balik Laut Membiru

Obrolan pagi kami berlangsung singkat. Sepuluh menit saja. Pak Taye minta pamit karena panggilan bongkar muat tiba. Jadwal penimbangan dimajukan lebih cepat. Kapal Bintang Mas Perintis mendapat giliran pertama.

Petugas pelabuhan sudah siaga di meja kecil, mengawasi alat timbangan. Para kuli angkut juga bersiap dengan sebatang bambu panjang untuk mengangkut drum biru berisi ikan. Ikan yang sudah ditimbang akan dibawa ke gudang khusus penjualan. Di sanalah nanti titik awal warga sipil membeli ikan incaran mereka.

Langkah Pak Taye tampak gontai. Saya menatap punggung lelaki bersuara lantang itu. Bukan bajunya yang saya pandang, melainkan perenungan getir yang melintas begitu saja.

Pak Taye (bercelana dengan corak hijau dan kuning) dan rekan kerja sesama buruh nelayan bersiap bongkar muat ikan hasil tangkapan
Pak Taye (bercelana dengan corak hijau dan kuning) dan rekan kerja sesama buruh nelayan bersiap bongkar muat ikan hasil tangkapan/Rifqy Faiza Rahman

Dari puncak bukit Sentono Gentong, cekungan Teluk Pacitan terlihat memukau. Kapal-kapal nelayan begitu kecil di kejauhan. Seperti mainan perahu otok-otok. Buih putih ombak bergulung dengan kecepatan berbeda. Angin membawanya kencang ke pesisir Teleng dan Pancer, tenang ke dermaga Pelabuhan Perikanan Tamperan. Kabut putih tipis melayang di permukaan lautnya. Pemandangan biru khas pesisir, kontras dengan daratan dan permukiman yang bernuansa kehijauan.

Keindahan itu ternyata menyimpan cerita pilu. Taye hanyalah secuil dari ratusan buruh nelayan bernasib serupa. Pengisi “rantai kehidupan” terendah dalam sistem. Terdepan mempertaruhkan nyawa, tertinggal dalam hak hidup lebih layak.

Pipi saya rasanya seperti tertampar. Di tengah kondisi yang tidak memberikan hasil sepadan, Taye masih tersenyum. Seolah-olah menunjukkan isyarat bahwa uang bisa dicari lagi lain hari. Empat anak yang sudah mandiri dan seorang bungsu yang masih sekolah, cukup menunjukkan betapa kerasnya ia bekerja. 

Di atas geladak kapal lusuh itu, Taye dan ABK lain mengangkat ikan dari tempat penyimpanan dengan penuh senda gurau. Terdengar gelak membahana, mengisi obrolan bersahutan khas bapak-bapak.

Apakah mereka sedang menghibur diri dengan upah kecil hari itu, atau sengaja menertawakan hidup?

Entahlah. Saya hanya bisa berdoa semoga Tuhan mengaruniai mereka usia panjang dan kesehatan. Serta, harapan agar memiliki pegangan yang cukup agar menikmati masa pensiun dengan tenang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Pagi Nelayan di Pelabuhan Tamperan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-pagi-nelayan-di-pelabuhan-tamperan/feed/ 0 38550
Ambon Jawa dan Rumah Hobbit di Tengah Pulau https://telusuri.id/ambon-jawa-dan-rumah-hobbit-di-tengah-pulau/ https://telusuri.id/ambon-jawa-dan-rumah-hobbit-di-tengah-pulau/#respond Wed, 25 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36939 Beberapa bulan lalu secara impulsif saya melakukan perjalanan ke Lombok. Tak tahu pasti mau ke destinasi apa dan melakukan apa. Saya hanya kontak kawan di sana dan membebaskan dia, baiknya saya pergi ke mana. Pada...

The post Ambon Jawa dan Rumah Hobbit di Tengah Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa bulan lalu secara impulsif saya melakukan perjalanan ke Lombok. Tak tahu pasti mau ke destinasi apa dan melakukan apa. Saya hanya kontak kawan di sana dan membebaskan dia, baiknya saya pergi ke mana. Pada akhirnya kami memilih untuk menjelajah ke berbagai gili di Lombok Timur. Pertimbangannya agar dekat dengan lokasi menginap saya di sebuah kos teman yang sedang mondok.

Maka, perjalanan menyusuri berbagai gili dengan perahu jadi juga. Saat itu saya ditemani 3 kawan lama dan seorang kawan baru yang sekaligus sembari memandu perjalanan. Kawan baru inilah yang berkoordinasi dengan si empunya perahu dan warga setempat. Sisanya kami hanya tinggal menikmati perjalanan sambil bercerita ngalor ngidul tentang kehidupan yang semakin tak karuan

Perjalanan kali ini, kami akan menyusuri tiga gili. Satu di antaranya ialah Gili Bidara. Kami melabuhkan kapal di tepian dan segera beranjak ke sebuah saung di pinggir pantai. Membuka camilan sekaligus kembali melanjutkan cerita yang dipenuhi pengalaman spiritual sekaligus romansa. Tak lupa, di antara celetukan ini dan itu, kami mengabadikan diri sambil main air dan pasir putih meski matahari benar-benar terasa sejengkal di atas kepala.

Setelah puas menertawakan berbagai cerita aneh di saung pinggir pantai, seorang kawan asli Lombok mengajak saya dan teman-teman lain—yang memiliki benang nasib sama yakni tidak jadi menikah—untuk melanjutkan perjalanan. Pilihannya ada dua: mengelilingi Pulau Bidara melalui susur tepi pantai atau melalui tengah pulau membelah perkebunan warga. Kami pada akhirnya memilih opsi dua dengan alasan tak jauh-jauh dari pengalaman menyantap ambon jawa dengan didahului melihat perkebunan—di tengah pulau kecil daerah Lombok—mungkin lebih langka dan menarik ketimbang “sekadar” melihat ombak yang berdesakan ke daratan.

Berjalanlah kami ke tengah pulau yang lautnya jamak dijadikan tempat snorkeling. Membelah perkebunan ini itu, termasuk ambon jawa atau ubi jalar itu sendiri. Sepanjang menapaki tengah pulau, kami tak ubahnya bercanda memparodikan acara penjelajahan televisi. Menertawakan berbagai hal dan menikmati perjalanan yang absurd dan “sangat khas wisatawan” ini.

pondok nelayan
Pondok di pinggir laut kepunyaan nelayan setempat/Dewi Rachmanita Syam

Hingga tibalah kami di area persinggahan para nelayan lengkap dengan rumah-rumah bak untuk hobbit dalam film Lord of The Ring versi pinggir laut. Dari kejauhan, bangunannya pendek dengan perkiraan tingginya tidak sampai 1.5 meter dan samar; apakah itu tempat tinggal, singgah sementara, tempat menyimpan peralatan melaut, atau hal lain. Bangunannya sederhana dengan atap dan dinding dari dedaunan khas pantai. Bentuknya pun bisa menyerupai gambaran rumah kebanyakan anak sewaktu kecil, bedanya tidak ada sawah maupun jalan menuju pegunungan. Pintunya pun sederhana, jendela pun bisa dihitung jari, bahkan beberapa tak memilikinya. Beberapa rumah berdekatan dengan ukuran yang berbeda.

Rumah-rumah sederhana itu biasa nelayan pakai untuk singgah atau menetap sementara demi efisiensi dan efektifitas waktu. Terlebih bila angin sedang kurang bersahabat. Mereka pun mengusahakan pemukiman layak dengan segala keterbatasan, termasuk untuk masak maupun berkumpul.

Di antara rumah-rumah sederhana tanpa panggung, terdapat semacam bale yang di dalamnya telah tersaji sepiring ambon jawa rebus hasil masakan mamak setempat. Tentu, ini saatnya kami menyantap si ambon jawa yang perawakan aslinya berkulit ungu dan berdaging kuning.

ambon jawa
Ambon Jawa yang rasanya seperti ubi/Dewi Rachmanita Syiam

Rasanya, ya seperti ubi pada umumnya, walau beberapa referensi menyebut padanan arti yang tepat untuk ambon jawa ialah singkong. Namun, dari segi bentuk maupun daging, panganan yang tersaji di hadapan saya saat itu lebih cocok dikategorikan sebagai ubi, walau tak manis-manis amat.

Kepulan uap panas muncul dari ambon jawa yang baru matang tersaji di piring. Potongan demi potongan kami santap dengan lahap. Menikmati perjalanan dengan tempo lebih rendah memang begitu nikmat, terlebih panganan ini kami dapat “fresh from the oven.”

“Panen setiap tiga bulan sekali tanam saja di sana,” kata salah seorang nelayan yang tengah membersihkan ambon jawa setelah dipanen.

Di sudut lain, seorang bapak dengan buff di kepala sibuk membersihkan ambon jawa. Sosok lain pun datang menambah pasokannya. Satu persatu ambon jawa dibersihkan dari daun dan akar, mereka mengkondisikannya untuk siap dijual ke masyarakat maupun konsumsi sendiri.

ambon jawa
Nelayan yang memanen ambon jawa/Dewi Rachmanita Syam

Umumnya di sini, ambon jawa memang untuk konsumsi pribadi, tapi tak menutup kemungkinan banyak yang menjualnya untuk warga setempat atau wisatawan. Saya pun kebagian dapat satu plastik berisi ambon jawa sebagai buah tangan yang siap diolah di Jakarta. Sayangnya, sesampainya di Jakarta tidak semua ambon jawa bisa saya nikmati. Karena perjalanan yang masih mampir ke beberapa tempat, beberapa ambon jawa terpaksa busuk di tengah perjalanan pulang dan saya harus membuangnya, meski sebenarnya merasa terpaksa.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ambon Jawa dan Rumah Hobbit di Tengah Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ambon-jawa-dan-rumah-hobbit-di-tengah-pulau/feed/ 0 36939