nusa penida Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/nusa-penida/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 06 Feb 2023 11:17:03 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 nusa penida Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/nusa-penida/ 32 32 135956295 Berkebun Karang bersama Nuansa Pulau https://telusuri.id/berkebun-karang-bersama-nuansa-pulau/ https://telusuri.id/berkebun-karang-bersama-nuansa-pulau/#respond Tue, 06 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36444 Pelabuhan Matahari Terbit di Sanur, pagi itu sudah ramai wisatawan. Kami yang baru saja memasuki area parkir, sudah menyangka bakal ramai tapi tidak seramai ini. Puluhan orang berjejal menanti keberangkatan menuju Nusa Penida, pulau yang...

The post Berkebun Karang bersama Nuansa Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
Pelabuhan Matahari Terbit di Sanur, pagi itu sudah ramai wisatawan. Kami yang baru saja memasuki area parkir, sudah menyangka bakal ramai tapi tidak seramai ini. Puluhan orang berjejal menanti keberangkatan menuju Nusa Penida, pulau yang menjadi tujuan kami dan peserta Kok Bisa Green Creators Academy: Local Impact yang akan diselenggarakan hari itu bersama kelompok Nuansa Pulau. Rencananya, kami akan belajar sedikit tentang terumbu karang beserta cara transplantasinya di sana.

Pelabuhan Matahari Terbit tampak bersolek. Nuansa pelabuhannya mirip dengan bandara. Di lantai dua, ada teras luar yang menghadap langsung laut yang memisahkan Nusa Penida dan Bali. Pelabuhan ini baru satu minggu diresmikan, salah satunya karena ada gelaran G20 di Nusa Dua. Kami yang baru pertama kali ke sini menjadi terkagum-kagum. Pun, dalam pikiran saya terngiang bahwa kadang hanya demi sebuah acara seremonial, suatu tempat bisa berubah drastis; jalannya, pelabuhannya, bandaranya.

  • Pelabuhan Sanur
  • Peserta KBGC

“Ini, makan dulu. Biar nggak ngantuk di kapal,” celoteh Mauren, yang membuyarkan lamunan saya tentang pelabuhan.

Semua peserta menikmati pemandangan dari pelabuhan; ada yang berfoto dengan latar belakang laut, ada yang memperhatikan kapal yang lalu lalang di kejauhan, ada juga yang sedang membuat konten video. Tak lama berselang, kami pun satu per satu menaiki kapal. Sepersekian menit terlewati dari jadwal keberangkatan yang tertera di karcis, saya menjadi gusar. Para peserta yang tadinya terlihat antusias, jadi terlihat resah karena jadwal keberangkatan tampaknya terlambat. Kami semua dibuat mati kebosanan.

45 menit berlalu dalam gelisah, akhirnya kapal bernama The Tanis yang kami tumpangi mulai dikemudikan. Guncangan kapal mulai terasa. Sepanjang penyeberangan, gunung-gunung terlihat indah di sisi kiri. Awalnya saya menikmati perjalanan ini, tetapi pada akhirnya saya memilih untuk tidur.

Ini merupakan kali kedua saya naik kapal dalam hidup. Dan, jujur saja, naik kapal tidak semenyenangkan naik pesawat. Ombak yang saling bertautan menghantam lambung kapal, agak membuat saya gusar, membayangkan kalau-kalau perahu ini terhempas dan kami semua terbalik. Alamak! Saya jadi ketakutan sendiri karena overthinking. Mungkin, trauma semasa kecil karena jatuh dari jetski membuat saya enggan menatap lekat ombak. 

Tiba di Nusa Penida

Dari kejauhan, tanah Nusa Penida sudah terlihat mencolok dengan kapal-kapal yang banyak besandar di pantainya. Pulau ini sama sibuknya dengan Bali daratan yang ramai dengan aktivitas pariwisata. Baru saja kaki melangkah untuk pertama kalinya menuju ke Pelabuhan Penida, saya harus merasakan getirnya jatuh di atas air laut. Baju dan tas yang saya bawa jadi basah semua. Alangkah sebalnya saya hari ini! Kegiatan belum mulai saja, ujiannya sudah cukup meledakkan isi kepala.

Mauren dan Eghi mulai memanggil nama peserta satu per satu, memastikan semua berhadir dan tidak ada yang ketinggalan. Ayu, Debbie, dan Dudu ikut mendokumentasikan kegiatan di tengah arus keluar masuk wisatawan. Selepas presensi, Eghi memimpin rombongan berjalan ke arah parkiran, sementara Mauren sibuk menelpon sang supir yang akan menjemput.

Dari arah yang berlawanan, tampak seorang pria berbaju ungu yang muncul dari arus turis, yang bergerak melawan arah. Ketika rombongan kami berpapasan dengan dia, kami acuh saja, tak mengira dialah yang menjemput kami. Tiba-tiba, dari belakang rombongan, Ayu menyapanya dengan sumringah.

“Bli Gusti!”

Lelaki berbaju ungu itu segera mengenali suara Ayu yang berteriak memanggilnya dan menghampiri rombongan kami. 

“Ayo ke depan, sudah ada mobil yang menunggu kalian,” jelasnya.

Sebuah mobil mini bus sudah menunggu kami di pinggir jalan utama yang cukup sempit dilalui banyak kendaraan. Rombongan kami bergegas naik untuk menghindari kemacetan yang semakin riuh.

Tempat tujuan kami adalah Nuansa Pulau, sebuah kelompok pemuda yang bergerak di bidang transplantasi terumbu karang. Mereka adalah pemuda-pemuda lokal yang dilibatkan untuk memahami alam tempat tinggal mereka, terutama soal laut dan terumbu karang. 

Nuansa Pulau
Foto bersama di depan Nuansa Pulau/Kok Bisa

“Karena materi sudah saya bagikan sebelumnya, saya yakin kalian semua bisa baca. Sekarang silahkan tanya, dari pertanyaan serius sampai pertanyaan konyol,” ucap Pak Pras yang membuka materi pagi itu. Rahmadi Prasetyo, atau yang biasa akrab disapa Pak Pras, merupakan seorang dosen dari Universitas Dhyana Pura yang juga merupakan seorang Coralist Expert di Indonesia, mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para peserta.

“Apakah karang bisa hidup di air tawar apa hanya di air laut?” tanya salah seorang peserta.

“Jawabannya tidak bisa. Kenapa tidak bisa? Karena tidak ada karang yang bisa hidup di air tawar, tetapi ada beberapa karang yang tahan dengan salinitas yang tidak terlalu asin. Tapi hampir semua karang ada di laut dengan salinitas 33-35, dan itu asin,” papar Pak Pras.

“Apa dampak fish feeding pada terumbu karang?” salah satu peserta lain bertanya.

“Itu bantuan langsung tunai kepada ikan,” terang Pak Pras diikuti gelak tawa peserta, “Dalam fisiologis dan ekologis tentang hewan laut, kita tidak merekomendasi kegiatan tersebut, karena bakal mengganggu daya juang ikan untuk makan,” lanjutnya.

“Kalau dampak ke karangnya ada, Pak?”

“Kalau dampak ke karang sebenarnya tidak ada, yang jelas kan makanan itu organik dan itu pasti akan hancur juga. Yang berdampak adalah waktu dia memberi makan ikan,[yang mungkin] kakinya menendang karang.”

Lanjut, pertanyaan lainnya dari peserta perempuan yang menanyakan soal aktivitas pariwisata apa yang tidak ramah terhadap terumbu karang. “Yang pertama, yang paling parah adalah kicking ya, kicking itu aktivitas fisik yang akhirnya akan merusak karang. Yang kedua adalah fishibing, yang itu akan membuat massa berkelompok. Yang ketiga adalah masalah muring atau penjangkaran. Kalau kapal lempar jangkar pasti ke bawah kan? Pasti kena karang. Salah satu yang paling disarankan adalah memakai fixed mooring boey, tapi nggak semua tempat ada kan?” jelas Pak Pras.

Kemudian pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir dari mulut para peserta, Pak Pras menjelaskan pemaparannya dengan telaten dan ringan. Saya tidak terpikirkan bahwa materi terumbu karang bisa seasyik ini untuk dimengerti. Penjelasan Pak Pras berlanjut pada bagaimana karang bisa dikategorikan sebagai hewan, zonasi jenis karang, cara perkembangbiakan, dan lain sebagainya. 

Menurut Pak Pras, pengetahuan tentang alam ini perlu disampaikan kepada masyarakat luas dengan bahasa yang paling sederhana, terutama di media sosial yang sekarang sangat mudah untuk diakses. Nantinya, hal-hal sederhana ini bisa membantu masyarakat luas menjadi paham kenapa terumbu karang sangat berarti bagi ekosistem laut.

Interaksi cair antara kami dan Pak Pras membuat waktu menjadi berlalu sangat cepat, tak terasa saat yang ditunggu-tunggu pun sudah tiba: berkebun terumbu karang! Sebelum peserta pergi ke laut untuk menanam terumbu karang, Bli Nyoman memberikan penjelasan mengenai bagaimana prosedur penanaman terumbu karang beserta media yang digunakan, reef stars. Ada 15 fragment dalam satu reef stars, yang terbagi di beberapa sisi. Di setiap sisinya, kecuali tiga sisi lain yang digunakan untuk mengikat reef stars satu sama lain, terikat satu baby coral yang akan harapannya akan tumbuh setelah berada di laut.

  • Materi terumbu karang
  • Pemasangan terumbu karang
  • Memasang fragmen karang

Satu per satu peserta dengan telatennya mengikat bayi-bayi karang ke reef stars. Tidak satupun di antara mereka yang tak antusias. Bahkan beberapa peserta ingin mengikat lebih banyak karang dari jumlah yang sudah ada.

Meski langit cukup kelabu, tiada satupun air yang jatuh ke bumi siang itu. Kapal yang tertambat di pinggir pantai sudah memanggil kami untuk menaikinya. Kondisi saat itu laut cukup tenang, angin tidak berhembus kencang. Setelah mengikuti aba-aba dari Pak Pras dan kru Nuansa Pulau, semua yang berada di kapal mulai menceburkan diri. Masing-masing mulai mengamati terumbu karang yang tumbuh di sekitaran Nusa Penida. Terumbu karang di perairan Nusa Penida kondisinya cukup bagus. Setelahnya, kami meletakkan tiga reef stars di dasar laut dengan kedalaman 7 meter. 

Berkah terbesar Bali adalah laut. Laut bagi masyarakat di Nusa Penida adalah tautan langsung menuju Sang Hyang Widhi. Jauh sebelum peraturan perundang-undangan tentang pelestarian ekosistem laut dibuat, masyarakat di Pulau Nusa Penida sudah memberlakukan hukum adat atau disebut awigawig yang melindungi alamnya dari eksploitasi berlebih. Meskipun gemerlap pariwisata sempat mengancam alam Penida yang memukau, lambat laun kesadaran masyarakat kembali tumbuh, seiring pengajaran dan pembelajaran yang mereka dapatkan.

Seusai lelah snorkeling dan santap siang. Acara berlanjut dengan pemaparan Menjadi Green Content Creator oleh Debbie Marteng. Sebagai seorang kreator konten, Debbie menceritakan kiat-kiat apa saja yang diperlukan untuk bisa survive dalam dunia perkontenan. Ia juga membagikan cukup banyak tips untuk peserta dalam membuat karya video kampanye perjalanan lestari dan tentu saja perjalananya menjadi seorang kreator konten.

“Sebelumnya saya tidak tahu apa-apa tentang gambar, tapi sok tahu aja tentang menggambar. Ternyata, pas kontennya naik. Akhirnya saya bikin clay artwork; bikin asbak, celangan, terus kontennya naik juga,” ceritanya. Debbie mengingatkan bahwa untuk jadi kreator konten perlu ketelatenan dan konsistensi yang tinggi. Kreatifitas perlu terus diasah untuk tetap menghasilkan konten yang digemari orang banyak. 

“Di dunia ini tidak ada yang baru, adanya ATM (Amati Tiru Modifikasi),” tutur Debbie meyakinkan para peserta untuk berani mulai membuat konten sepulang dari Nusa Penida.

  • Kebun karang
  • Reef star
  • Reef star
  • Reef star
  • Debbie Marteng

Kala mentari tak nampak jua karena kepulan awan yang mulai semakin rapat, kami semua harus menyudahi kegiatan di Nusa Penida. Seharian berkawan dengan laut dan matahari membuat sebagian kulit saya terbakar. Saya dan Mauren harus meninggalkan teman-teman di belakang untuk mengurus tiket kapal menuju ke Bali daratan. Semoga saja hujan tidak turun. 

20 menit berselang, para peserta mulai berdatangan ke pelabuhan. Kami menghabiskan sisa waktu di Penida berkumpul di warung untuk jajan dan minum kopi. Kapal datang, dan kami masuk dan mengecek semua peserta agar tidak ada yang tertinggal.

Tapi tunggu! Ada dua orang yang tidak terlihat batang hidungnya di kapal. Jangan-jangan mereka ketinggalan di pelabuhan? Atau jangan-jangan mereka masih di Nuansa Pulau?

Saya menjadi agak sedikit panik.

Mauren mulai berkeringat gugup dan naik ke atas dek untuk menghitung kembali peserta. Setelah bolak-balik sampai tiga kali, dua orang yang kami cari ternyata duduk santai di beranda. Syukurlah, di hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan ini, saya mengakhirinya dengan duduk mengantuk di kursi kapal.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berkebun Karang bersama Nuansa Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berkebun-karang-bersama-nuansa-pulau/feed/ 0 36444
Merdeka Dimulai dari Sepetak Halaman https://telusuri.id/merdeka-dimulai-dari-sepetak-halaman/ https://telusuri.id/merdeka-dimulai-dari-sepetak-halaman/#respond Wed, 28 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35372 Rumahnya mungil. Halamannya luas dan rindang. Ada singkong, pepaya, jambu, cabe, pisang, dan lain-lain. Pandangan saya menyisir halaman dan rumah ini dengan mengernyitkan dahi. Rumah mungil dengan halaman besar, itu rumah impian saya! Belum lagi...

The post Merdeka Dimulai dari Sepetak Halaman appeared first on TelusuRI.

]]>
Rumahnya mungil. Halamannya luas dan rindang. Ada singkong, pepaya, jambu, cabe, pisang, dan lain-lain. Pandangan saya menyisir halaman dan rumah ini dengan mengernyitkan dahi. Rumah mungil dengan halaman besar, itu rumah impian saya! Belum lagi letaknya yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang membuat terlihat sangat nyaman untuk ditinggali.

Tiba di Rumah Jeje
Tiba di rumah Jeje/Tim Arah Singgah

Rumah ini dimiliki oleh sepasang suami istri, Jeje dan Bli Apel, namanya lucu bukan? Mereka dengan hangat menyambut saya, Ayu, dan Syukron dalam lawatan ke Nusa Penida. Baru saja tiba dan masuk ke gerbang, saya sudah menyiapkan kamera untuk memotret banyak hal, termasuk dua anak perempuan mereka yang menyambut saya sedari tadi.

“Namanya siapa?”

“Jingga,” jawabnya tersenyum sambil berusaha menyembunyikan wajah di balik tangan ibunya.

Jeje menawarkan minuman pembuka pada kami bertiga yang masih nampak bengong melihat halaman rumahnya yang dipenuhi pepohonan..

“Kalian mau teh atau kopi?”

“Kopi boleh, Mbak,” jawabku mendahului yang lain.

“Aku teh aja,” celoteh Ayu.

“Saya kopi deh,” ucap Syukron dan Bli Apel secara bersamaan menentukan pilihan mereka. Syukron memberitahukan kepada saya bahwa Jeje adalah teman lamanya yang setelah kampanye #BaliNotForSale yang lama tak bersua. Sekarang adalah waktu pertemuan mereka setelah hampir semua hal berubah. 

“Keibuan dia sekarang,” kata Syukron, antara percaya tidak percaya bisa bertemu temannya setelah sekian lama. Saya lalu menanyakan kepada Jeje mengenai Tanah Barak, kebun rintisan yang berada di pekarangan rumah mereka.

Tanah Barak
Tanah Barak/Tim Arah Singgah

“Kebun ini kecil-kecilan aja, sebagai salah satu usaha ketika pandemi,” ungkap Jeje.

Pembicaraan kami dimulai dengan kopi yang masing-masing tampak sudah menyeruput walau masih panas. Kebun Jeje dan Bli Apel dirintis bukan hanya karena pandemi yang berlangsung, tetapi mereka ingin mencoba bagaimana segala sesuatu dimulai dari diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan pribadi. “Kebun kecil ini memang tidak 100 persen memenuhi kebutuhan dapur kami, bahkan 30 persen pun tidak, tapi ketika kami butuh sesuatu, kami tinggal mencarinya di kebun saja,” jelas Bli Apel.

Ketika pandemi, memang banyak keluarga yang mencoba berkebun di rumah untuk memenuhi—atau setidaknya melengkapi—kebutuhan dapur masing-masing, Jeje dan Bli Apel adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mencoba berkebun. Luas kebun di halaman memang tidak seberapa, tapi ketika berhasil menuai dari apa yang ditanam, tentu ada kepuasan batin yang terpenuhi ketimbang sekedar membelinya di pasar. Itulah yang Jeje dan Bli Apel canangkan ketika kebun ini dimulai. 

Bagi Jeje, kebun juga sebagai tempat mengumpulkan memori masa kecil. Kebun di rumah, selain mudah untuk diurus, juga berfungsi mendekatkan anak-anak dengan memori masa kecil Jeje dan Bli Apel, yang sama-sama berasal dari keluarga petani. Mereka ingin anak-anaknya bisa merasakan bagaimana merawat kebun dan memetik hasilnya. Kepekaan anak-anak akan alam memang perlu diasah semenjak dini.

“Merdeka pangan itu adalah ketika dalam penyajian makanan tidak ada nasi,” ucap Bli Apel. Makanan pokok masyarakat Nusa Penida awalnya adalah singkong, nasi hanya hadir dalam acara tertentu dan dilabeli sebagai makanan mewah. Sekarang Nusa Penida juga ikut bergantung pada beras. Tidak ada nasi namanya tidak makan. Bukankah dari Sabang sampai Merauke ditumbuhi berbagai macam umbi dan biji-bijian setara padi, tapi kenapa padi masih memegang tampuk kekuasaan?

Bali menjadi salah satu tanah terbaik untuk menanam buah dan sayur, tapi seringkali kebingungan dengan banjirnya buah dan sayur impor dari luar. “Padahal asal tahu karakteristik dan cara merawatnya, tumbuhan apapun bisa tumbuh secara bagus, kayak saya mencoba sorgum di halaman, hasilnya bagus,” tutur Jeje. Sayang, setelah memanen sorgum, mereka bingung untuk mengolah sorgum tersebut. Sorgum tersebut sebenarnya bisa dibawa ke Denpasar kalau mau diolah, tapi tentu itu perlu biaya besar yang tidak sebanding dengan hasil panen mereka. Akhirnya, sorgum tersebut berakhir menjadi pakan burung dan ayam. Meskipun berakhir sebagai pakan hewan, mereka membuktikan bahwa apapun bisa ditanam di sini asal bisa merawat.

Saat asyik berbicara soal singkong, Bli Apel mempersilahkan kami untuk mencoba singkong dari kebunnya. Saya, Syukron, dan Bli Apel saling bahu membahu mencabut pohon singkong yang paling tinggi di sini. Hasilnya, berbongkah-bongkah singkong kami dapat dari bawah tanah. Singkong tersebut kemudian kami kupas dan direbus oleh Jeje, kemudian disajikan hangat bersama sambal sebagai cocolan. 

Sajian utama kami sebenarnya hanya menunggu waktu untuk dihidangkan. Untuk menyambut kedatangan kami, Jeje dan Bli Apel menyiapkan bubur ledok, makanan khas Nusa Penida. Asap masih mengepul dari panci ketika kami satu per satu mengambil hidangan ini di dapur.

Bubur Ledok
Bubur ledok/Tim Arah Singgah

“Dikit banget, tambahin lagi dong,” ucap Bli Apel kepada kami yang masih malu-malu kucing.

Bubur panas itu mengeluarkan aroma kunyit yang kuat. Namanya bubur, tapi teksturnya tidak seperti bubur yang umumnya yang lunak sepenuhnya, beberapa masih menyisakan bulir nasi, sehingga ketika lidah mencecap, ada sensasi bulir dan kuah yang bercampur. Dilihat sekilas, pasti orang-orang lebih menyangka bubur ledok bersaudara dengan soto. Pada suapan pertama, saya tidak tahan dengan panasnya yang menyengat lidah.

“Ini bubur khas Nusa Penida, jarang lho ada yang bikin kecuali acara tertentu. Di pasar pun belum tentu ada,” terang Jeje.

Potongan jagung dan singkong yang masih mengeluarkan asap, tanda udara makanan dan udara ruangan yang berbeda suhu bertemu. Indra perasa saya mencecap bumbu pada kuah bubur yang berwarna kuning. Saya tidak bisa menyangkal rasanya yang lezat seperti saya tidak bisa menyangkal bahwa kehidupan seperti Jeje dan Bli Apel, adalah kehidupan dambaan orang-orang yang sehari-harinya sibuk bertarung dengan hidup terlalu cepat.

Truk Buah dan Kehidupan Sebelum Berkebun

Jalanan utama Nusa Penida tampak lenggang sore itu. Lalu lalang motor tidak seberapa padat dibandingkan pagi hari. Batang hidung mancung bule-bule juga tidak terlihat, mungkin sedang menikmati matahari yang tenggelam di pantai. Hanya orang-orang lokal yang terlihat banyak beraktivitas sore itu. Anak-anak yang selesai belajar menari, ibu-ibu dengan kresek hasil belanjaan,dan bapak-bapak yang duduk di pinggir jalan, entah sedang membicarakan apa.

“Hei, ayo ke sini,” ucap Jeje kepada saya yang baru saja memarkirkan motor.

Mobil yang disulap untuk berjualan buah/Tim Arah Singgah

Truk buah yang dia punya adalah sebuah kijang kapsul dengan bak terbuka yang di karoseri sehingga terbuka dari semua sisi. Truk ini ia miliki semenjak 2021 dan sampai sekarang menjadi wadah baginya untuk mencari penghidupan. Ide berjualan ini memang awalnya untuk sekedar mencari kesenangan di Nusa Penida—selain untuk membuatnya betah tinggal di pulau yang apa-apa lebih sulit dan mahal dibanding Bali daratan.

Orang datang silih berganti untuk membeli dagangannya, sehingga beberapa kali pembicaraan kami harus terpotong karena Jeje harus melayani pembeli.

“Maklum, bentar lagi hari raya” 

“Hari raya apa? Galungan?”

“Di Bali itu, bentar-bentar hari raya. Bulan hidup, bulan mati, pertengahan bulan. Di sini untuk menikmati hari raya tidak mesti menunggu berbulan-bulan.”

Sebelum berjualan buah, Jeje bergelut di dunia fotografi, dengan spesialisasinya ke arah budaya. Dari fotografi, Jeje banyak belajar bagaimana melihat tampuk permasalahan dalam sudut pandang yang berbeda. Selama kurang lebih tujuh tahun menekuni fotografi, Jeje tidak lantas menjadikan fotografi sebagai jalan hidupnya sekarang. Setelah menikah, dia mengikuti Bli Apel untuk hidup di Denpasar, kemudian ke Penida saat pandemi berlangsung. Jauh sebelum menjadi fotografer, Jeje adalah seorang pemangku adat di desanya, yang diangkat semenjak umur 13 tahun. Kehidupan pandita begitu lekat dengannya, hingga dia memutuskan untuk menikah.

Truk buah itu sebelumnya sempat juga menjual kebutuhan sayur mayur organik, tapi menurut Jeje, sayur organik miliknya tidak lebih laku ketimbang sayur anorganik yang banyak dijual di pasaran. Dulunya, ketika masih sering bolak-balik Kintamani, Jeje mengangkut hasil bumi yang ada di sana untuk dijual di sini. Melihat potensi buah yang jauh lebih tinggi, hingga sekarang, Jeje memilih fokus untuk berjualan buah, yang didapatkan dari distributor dari Denpasar. Buah lokal untuk bule, dan buah impor untuk warga lokal.

Jeje menawarkan buah
Jeje menawarkan buah/Tim Arah Singgah

“Menciptakan pasar gampang, menciptakan daya beli yang susah,” gerutunya.

Makin sore, pengunjung makin ramai. Jeje memberikan jus buah beserta gorengan sebagai cemilan saya. Matahari bergumul dengan awan di penghujung cakrawala. Petang Nusa Penida tidak sama dengan Denpasar yang dikerumuni musik disko dari berbagai penjuru. Di sini lebih tenang, bahkan cenderung gelap dan sepi kalau sudah malam.

Saya melihat foto Jeje muda tahun 2014 yang ditunjukkan Syukron, yang abadi dalam internet. Tahun-tahun yang diingat Jeje masih sebagai tahun eksplorasi. Lompatan hidup, dari satu titik ke titik lainnya adalah momen yang akan selalu dia kenang. Perjalanannya terus berlanjut, meski secara fisik, dia sudah tidak lagi berpindah sesering dulu. Perjalanan menemukan rumah berubah menjadi perjalanan bersama rumah. Dia sudah menemukan rumah sesungguhnya bersama Bli Apel, Senja, dan Jingga.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merdeka Dimulai dari Sepetak Halaman appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merdeka-dimulai-dari-sepetak-halaman/feed/ 0 35372
Gelora Semangat Konservasi Karang Pemuda Penida https://telusuri.id/gelora-semangat-konservasi-karang-pemuda-penida/ https://telusuri.id/gelora-semangat-konservasi-karang-pemuda-penida/#respond Tue, 27 Sep 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35370 Beralih ke seberang laut , kami menuju Penida dari Lembongan menggunakan perahu dari arah timur pulau ini, dekat dengan hutan mangrove yang biasa jadi tujuan wisata. Perjalanan ditempuh sekitar 30 menit tanpa hambatan. Kami diingatkan...

The post Gelora Semangat Konservasi Karang Pemuda Penida appeared first on TelusuRI.

]]>
Beralih ke seberang laut , kami menuju Penida dari Lembongan menggunakan perahu dari arah timur pulau ini, dekat dengan hutan mangrove yang biasa jadi tujuan wisata. Perjalanan ditempuh sekitar 30 menit tanpa hambatan. Kami diingatkan bahwa Penida bukan seperti Lembongan. Pada pagi hari, jalanan utama di Penida akan mengalami kemacetan karena mobil-mobil yang menjemput turis di pelabuhan, akan parkir di pinggir jalan.

Nuansa Pulau/Tim Arah Singgah

Sesuai petunjuk Jaya usai kunjungan kami ke kantor CTC (Coral Triangle Center), kami menemui kelompok pemuda Penida yang berfokus pada pelestarian terumbu karang. Kelompok ini bernama Nuansa Pulau, baru terbentuk saat pandemi COVID-19. Pemuda adalah sumber daya manusia yang harus selalu diberdayakan, ini juga yang akhirnya menginisiasi pembentukan kelompok Nuansa Pulau.

“Kenapa anak-anak muda kita libatkan di sini? Karena mereka adalah regenerasi kita. Bukan kita ingin menyingkirkan mereka yang sudah senior atau tua, tapi kalau generasi kita nanti selanjutnya cinta dengan alam, kemudian kita ajak konservasi, itu akan memberikan peluang yang lebih besar untuk kelanjutan terumbu karang yang ada di sini,” terang I Nyoman Karyawan, ketua Nuansa Pulau, memaparkan tujuan didirikannya Nuansa Pulau. 

Meski masih mengenyam pendidikan sekolah menengah atas, I Putu Wahyu Permadi begitu bersemangat mengikuti pembelajaran dari Nuansa Pulau/Tim Arah Singgah

I Putu Wahyu Permadi, salah satu anggota Nuansa Pulau yang ikut semenjak pertama kali dirintis, mengaku senang bisa menjadi bagian dari tim. “Kita dikasih tahu untuk menanam terumbu karang supaya di Nusa Penida tuh bagus. Kan dulunya bekas rumput laut, terumbu karang banyak yang rusak.”

“Karena kalau membuat kebun rumput laut, pasti merusak karang, karena kita menanam patok, tali,” lanjutnya. Rumput laut banyak menjadi mata pencaharian warga Penida sebelum mengenal pariwisata. Hingga kini petani rumput laut masih ada, meski tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan pelaku pariwisata. Salah satu mitra dari Nuansa Pulau adalah CTC, yang membimbing pemuda-pemuda ini untuk belajar konservasi terumbu karang. Umuran anggota mereka berkisar 10-25 tahun, berasal dari sekolah dasar hingga lulus SMA.

“Selama dua tahun berdiri, kami banyak mengenal jenis terumbu karang dan cara menanamnya. Setiap ada adopter, pasti kami menanam.”

Seperti yang Jaya informasikan sebelumnya, penyerahan donasi akan dilakukan setiap ada minimal 10 donatur dan Nuansa Pulau sudah melakukan banyak penanaman fragmen terumbu karang dengan metode ikat menggunakan tali pada struktur. Dalam sebulan, mereka bisa menanam sekitar hampir 1000 fragmen terumbu karang—dengan asumsi dalam per tali ada 10 fragmen terumbu karang. 

Bibit terumbu karang akan mendapat pengawasan dan pencatatan hingga beberapa bulan ke depan/Tim Arah Singgah

Saya bertanya, apakah Leong—sapaan akrabnya—tertarik untuk merantau dan bekerja di luar Penida? Mengingat kondisi di luar Pulau Bali yang banyak mengharuskan anak mudanya untuk mencari penghidupan di tempat lain–demi kehidupan yang katanya lebih baik.

“Sampai saat ini masih belum, masih suka di sini,” ucapnya. Kegiatan sehari-hari Leong, selain bersekolah, juga membantu orang tuanya menanam rumput laut, atau mencari ikan. Sebagai anak pesisir, Leong tahu bagaimana cara menangkap ikan yang baik agar tidak merusak terumbu karang atau mengurangi populasi ikan di sana secara drastis. 

Matahari semakin terik, Leong pamit untuk mengurus sesuatu. Tinggal kami dan beberapa anggota yang menikmati hembusan angin dari laut sambil bermalas-malasan. Panorama Gunung Agung gagah menjulang, menjaga laut yang kami hadap. Raksasa itu berbaju awan tipis dengan latar langit biru, seakan meminta kami untuk tidak merasa lebih tinggi daripada makhluk lainnya.

Monitoring dan Menanti Ombak di Lautan

Pagi-pagi sekali kami dikabari bahwa pada hari ini akan ada monitoring karang yang dilakukan bersama anak-anak magang di CTC dan juga anggota dan relawan dari Nuansa Pulau. Sesampainya di sana, beberapa anggota sudah menunggu kami dan mengabarkan bahwa sebentar lagi anak-anak magang CTC akan tiba bersama seorang ahli terumbu karang. Ketika mereka datang, kami bersalaman dan saling mengenalkan diri.

Persiapan sebelum monitoring/Tim Arah Singgah

Sebelum berangkat, Pak Pras, sapaan akrab Rahmadi Prasetyo memberikan penjelasan latar belakang dan tujuan monitoring ini. Perannya adalah sebagai Coral Reef Expert Coremap Program 2022 dalam upaya pelestarian terumbu karang yang diinisiasi CTC. Beliau ini juga yang memberikan rekomendasi, aturan, dan pembelajaran kepada anggota Nuansa Pulau dalam konservasi terumbu karang. 

“Hari ini saya mau lihat struktur atau substrat yang sudah ditenggelamkan teman-teman di sini, saya mau cek kondisinya, kemudian strukturnya di dalam air dan monitoring bagaimana penyebarannya.”

“Totalnya sekitar 200 pieces dari reef star. Kita akan tentukan metode monitoring yang terbaik untuk melihat tingkat pertumbuhan di sini,” lanjutnya. 

Selanjutnya, Pak Pras menerangkan jenis karang yang akan dilakukan transplantasi yaitu karang bercabang  bergenus Acropora. Penjelasan berlanjut pada alasan pemilihan ketiga tempat yang menjadi tempat konservasi: Lembongan, Desa Ped, dan Desa Suana. Penentuan lokasi berdasarkan kondisi perairan: arus, kondisi karang di sekitar, dan substrat sea bed. Mendengar penjelasan Pak Pras yang begitu rinci, saya membayangkan diri saya seketika sedang berada di dalam kelas kuliah.

Kami mempersiapkan diri pada penerjunan pertama di belakang markas Nuansa Pulau—Desa Ped. Dari kami bertiga, Syukron yang akan mendokumentasikan kegiatan bawah air sekaligus membantu kebutuhan Pak Pras dan teman-teman. Saya dan Ayu, bersama dua teman magang dari CTC, cukup melakukan selam permukaan, memantau dari atas, karena kami belum mahir untuk melakukan penyelaman.

Menemani Pak Pras sedang monitoring karang/Tim Arah Singgah

Saat pelayaran ke titik yang dimaksud sudah tiba, arus mengalir deras, menyulitkan kami memantau kegiatan di bawah sana. Pak Pras tampak sesekali menahan badan, pengalaman lebih dari 20 tahun menyelam membuatnya terbiasa menghadapi gelombang seperti ini. Kami berpegangan pada tali yang ditambatkan di kapal untuk menghindari terbawa arus. Pak Pras mencatat setiap detil yang ia temukan di kedalaman. Syukron mengikutinya untuk membantu proses dokumentasi. Setelah menyelam, Pak Pras menyuruh kami mengikutinya untuk menyisir area sekitar untuk memastikan semua terumbu karang di sekitar dalam kondisi yang bagus.

Setelah selesai, Pak Pras kemudian mengumpulkan seluruh kru dari Nuansa Pulau untuk menyampaikan kondisi yang dilihatnya. Berdasarkan catatannya, secara umum kondisi yang ada cukup baik, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki kedepannya seperti fragmen yang terlalu besar, tali tis yang kurang kuat, arah tumbuh yang menghadap ke bawah, beberapa fragmen mati, ruang yang terlalu rapat, dan lainnya. Mimik muka para anggota berubah, dari yang santai menjadi sangat serius memperhatikan setiap detail omongan Pak Pras. Saya jadi mengerti, di sinilah pentingnya peran Pak Pras yang berpengalaman untuk mengawasi mereka untuk tumbuh kembang dan belajar.

Pemasangan fish dome/Tim Arah Singgah

Setelah dari Desa Ped, kami mulai berpindah haluan ke arah timur laut, ke arah Desa Suana untuk mengecek pemasangan kubah ikan (fish dome/fish aggregating device) yang sudah diletakkan di dasar laut di kedalaman 7-8 meter. Bersama lima penyelam lainnya, Pak Pras memindahkan kubah-kubah yang tidak beraturan, disusun dan ditata sedemikian rupa untuk memudahkan ikan keluar masuk dan membuat koloni. Kami menunggu mereka selesai, sambil ber-snorkeling-ria dipanggang matahari siang yang terik. Jauh memandang ke arah timur, saya melihat Pulau Lombok dari kejauhan, teringat perjalanan yang saya lakukan bertahun-tahun silam. Ada seok kenangan yang menyeruak dari pikiran, mengingat itu perjalanan panjang pertama saya bersama seorang teman.

Melihat bagaimana semangat teman-teman Nuansa Pulau dalam menjaga laut yang menjadi tempat hidup mereka adalah melihat keharmonisan bak nada dan lirik yang mengalun bersama.

Bagaimana jika suatu saat laut yang masih bersih ini rusak dan tidak bisa lagi menjadi mata pencaharian mereka? Optimisme Leong menatap masa depannya dan keinginannya untuk menjaga alam Penida yang masih bersih, membuat rasa optimis dan pesimis saya tumbuh dalam waktu bersamaan. Akankah pemuda seperti mereka hanya menjadi kelompok minoritas dalam membangun dan menjaga alam di negeri ini?

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gelora Semangat Konservasi Karang Pemuda Penida appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gelora-semangat-konservasi-karang-pemuda-penida/feed/ 0 35370