nusa tenggara timur Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/nusa-tenggara-timur/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 13 Jun 2025 08:53:47 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 nusa tenggara timur Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/nusa-tenggara-timur/ 32 32 135956295 Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci https://telusuri.id/pungutan-liar-di-kampung-ratenggaro-sumba-dan-solusi-pendidikan/ https://telusuri.id/pungutan-liar-di-kampung-ratenggaro-sumba-dan-solusi-pendidikan/#respond Fri, 13 Jun 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47447 Mei lalu, konten video reels di Instagram Jajago Keliling Indonesia mendadak viral. Pertama, adanya dugaan penggelembungan sejumlah tarif wisata oleh beberapa oknum di Pantai Mandorak dan Kampung Adat Ratenggaro (17/5/2025). Kedua, dugaan pengadangan dan penarikan...

The post Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci appeared first on TelusuRI.

]]>
Mei lalu, konten video reels di Instagram Jajago Keliling Indonesia mendadak viral. Pertama, adanya dugaan penggelembungan sejumlah tarif wisata oleh beberapa oknum di Pantai Mandorak dan Kampung Adat Ratenggaro (17/5/2025). Kedua, dugaan pengadangan dan penarikan retribusi perbaikan jalan kampung saat perjalanan kembali ke Tambolaka (18/7/2025). Dua kejadian beruntun tersebut Jajago dalam satu hari yang sama, yakni 12 Mei 2025, saat road trip di Sumba dengan mobil campervan.

Sebelumnya, John Stephen dan Riana, duo personel Jajago, telah melintasi Pulau Timor, Flores, dan Sumba menjadi penutup musim perjalanan mereka di Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Dua kejadian yang menimpa keduanya seperti mengulang insiden dilempar batu oleh oknum warga saat melintas di daerah Weliman, Kabupaten Malaka (2/4/2025).

Tak pelak, konten Jajago pun viral. Terlebih diunggah ulang di sejumlah platform media sosial. Hasilnya bisa ditebak. Ribuan komentar membanjir, pro dan kontra mengalir. Masing-masing pihak terkena imbas. Jajago banjir dukungan, pun kenyang hujatan. Begitu pun sebaliknya, para pegiat pariwisata dan masyarakat lokal Sumba mengalami dampak serupa.

Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci
Bentuk salah satu rumah adat Kampung Ratenggaro yang tersisa saat kebakaran hebat tahun 2007. Kini sudah terbangun kembali belasan rumah adat yang lalu berkembang menjadi destinasi wisata budaya populer di Sumba/Monica Renata via Wikipedia

Kronologi dan insiden serupa di tempat lain

TelusuRI menghubungi pihak Jajago untuk meminta klarifikasi perihal insiden yang menimpa mereka. Pada Rabu (28/5/2025), melalui sambungan telekonferensi video, Jhon menceritakan ulang kronologi kejadian di Pantai Mandorak dan Kampung Adat Ratenggaro seperti sudah diceritakan di Instagram Jajago.

Persoalan pokoknya adalah tarif jasa yang tidak sesuai kesepakatan di awal. Mulai dari kerumunan anak-anak yang dianggap “memaksa” untuk menggunakan jasa foto mereka, sampai dengan permintaan tambahan biaya sewa kuda dan pakaian adat yang melebihi ketentuan awal. Beberapa di antaranya (termasuk oknum warga dewasa) terang-terangan meminta uang untuk dalih beli buku maupun rokok. 

Menurut pengakuan Jhon, ia dan istrinya tidak melihat adanya informasi tertulis perihal tarif retribusi masuk kampung adat, hingga biaya jasa lainnya. Nominal tarif diungkap secara lisan dan berubah-ubah keterangannya. Tampak di video satu oknum pria dewasa berpakaian sarung adat dengan parang di pinggang mendominasi pembicaraan mengenai tarif, yang mendorong anak-anak setempat mengikuti arahannya.

Dari penuturan Jhon, kejadian serupa juga dialami beberapa pengunjung lain sebelumnya, yang ia ketahui dari ulasan di Google Maps. Tidak sedikit catatan negatif mengenai tempat wisata tersebut karena sejumlah kejadian kurang menyenangkan oleh oknum. 

Permintaan sejumlah uang juga dialami Jajago ketika melintas sebuah jalan perkampungan di Kodi, tak terlalu jauh dari Ratenggaro. Dalam rekaman video terlihat seorang pria melambaikan tangan agar mobil Jajago melambat dan berhenti, karena adanya perbaikan jalan kampung atas inisiatif swadaya masyarakat. Meski tampak tidak ada paksaan, tapi oknum pria tersebut menyebut nominal uang yang diperlukan.

Insiden serupa tidak hanya terjadi di Sumba. Di Pulau Jawa, yang perkembangan pariwisatanya terbilang sudah cukup maju dan dekat dengan kota-kota besar, aktivitas pungutan liar (pungli) masih sering terjadi. Salah satu yang paling terkenal adalah objek wisata alam Gunung Pancar, Bogor, Jawa Barat. Kabarnya, belakangan kerap sepi dan mulai ditinggalkan pengunjung. Umumnya wisatawan kapok karena biaya yang berlapis, berlipat, dan tidak terintegrasi untuk hampir setiap sektor, mulai dari tiket retribusi wisata biasa, berkemah, wahana permainan, wahana foto, hingga kuliner.

Lalu di objek wisata air terjun Tumpak Sewu atau Coban Sewu di perbatasan Malang–Lumajang, Jawa Timur juga menuai polemik. Penyebabnya adalah terdapat tarikan retribusi tambahan di area bawah air terjun, yang berada di perbatasan dua desa. Kejadian ini direkam pengunjung dan viral, menuntut pemerintah setempat menertibkan pengelolaannya.

Di sisi lain, Jhon menegaskan pihaknya tidak mempermasalahkan soal uangnya, tetapi lebih kepada cara meminta dan inkonsistensi tarif yang berlaku di Pantai Mandorak maupun Ratenggaro. Nominal yang simpang siur membingungkan wisatawan karena beberapa oknum meminta uang retribusi dengan harga yang berbeda-beda.

Konten media sosial yang rawan mispersepsi

Saat kami mengkonfirmasi Jajago, pihaknya mengungkap tidak ada masalah perihal adanya sosok pria dewasa terekam membawa sebilah parang di pinggang. John mengaku sangat memahami kebiasaan dan kebudayaan khas Sumba itu, seperti halnya di daerah-daerah lain di Nusantara.

Namun, tanpa adanya penjelasan yang detail, tampilan video itu menimbulkan mispersepsi di kalangan netizen, baik pengikut maupun nonpengikut Jajago. Tak sedikit yang memberi kesimpulan dini bahwa keberadaan parang tersebut merupakan tindakan intimidatif. Kegaduhan publik kian menjadi ketika video juga memperlihatkan sejumlah anak-anak hingga warga lokal menyebut secara jelas patokan harga jasa wisata yang berlaku di sana. Tak terkecuali soal ‘biaya jasa’ perbaikan jalan kampung yang dilintasi Jajago setelah meninggalkan Ratenggaro.

Konten yang viral menimbulkan konsekuensi, sehingga menuntut kebijaksanaan dan kelapangan hati yang lebih dari warganet. Sebab, tidak sedikit sorotan tajam dan tanggapan negatif warganet yang menyudutkan masyarakat Sumba, khususnya Ratenggaro dan sekitarnya. Ditambah ulasan negatif pengunjung (rata-rata bintang satu dari lima penilaian) melalui Google Maps. 

Bupati Sumba Barat Daya Ratu Ngadu Bonnu Wulla, seperti dilansir dalam iNews Sumba (24/5/2025), dilaporkan berurai air mata saat menghadiri pertemuan dengan warga Kampung Adat Ratenggaro usai kejadian viral yang diunggah Jajago tersebut. Ia merasa sedih dan terluka karena masyarakat Sumba Barat Daya mendapat sorotan negatif dari warganet yang mungkin belum mengetahui akar permasalahan sebenarnya. Bahkan mungkin belum semuanya memahami kultur hingga kekurangan dan kesenjangan yang terjadi antara masyarakat di Indonesia timur dengan Pulau Jawa yang lebih maju.

Sekalipun begitu, pihaknya mewakili Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya berkomitmen untuk berbenah. Ratu Wulla menekankan penegakan peraturan desa tentang retribusi resmi dan pengelolaan wisata yang sudah ada untuk mencegah ulah pihak yang sewenang-wenang terulang lagi.

Dalam rilis terpisah melalui Galeri Sumba (18/5/2025), Adi Mada, Wakil Ketua Lembaga Adat Ratenggaro, memberi tanggapan resmi mengenai viralnya dugaan pungli yang dialami Jajago. Ia menyampaikan permintaan maaf atas insiden yang terjadi. Dari pernyataannya, terungkap adanya konflik internal antarwarga yang cukup serius perihal pengelolaan wisata di sana. Situasi ini dimanfaatkan oleh sejumlah oknum untuk mengambil kesempatan tanpa persetujuan lembaga adat.

Seperti menguatkan pernyataan bupati, Adi Mada menambahkan, ia bersama sejumlah tokoh adat dan perangkat daerah terkait berkomitmen untuk menyelesaikan konflik internal di kampung secepatnya. Sebab, regulasi pengelolaan wisata di tingkat desa dan daerah sebenarnya sudah ada, tinggal diperkuat kembali. Termasuk melakukan pembinaan serta pembenahan internal untuk memperbaiki kualitas pelayanan wisata di Sumba Barat Daya, khususnya sekitar Kampung Adat Ratenggaro.

Kiri: Foto udara Pantai Mandorak berpasir putih dan dikelilingi tebing karang/Fajar Nasution via Traveloka Indonesia. Kanan: Tebing-tebing karang dan jernihnya laut jadi ciri khas Pantai Mandorak/Zahra via Wikipedia.

Pendidikan sumber daya manusia jadi kunci

Sebelumnya, TelusuRI mencoba meminta pendapat Agustina Purnami Setiawi, akademisi pendidikan Universitas Stella Maris Sumba perihal kasus ini. Istri Adi Mada itu baru bisa menyediakan waktu wawancara secara daring di akhir pekan (24/5/2025), setelah agenda padat mendampingi bupati saat kegiatan di Kampung Adat Ratenggaro.

Senada dengan bupati, Agustina merasa sedih dan prihatin. Ia menyadari kekurangan dan keterbatasan sumber daya manusia di Sumba dalam hal pelayanan pariwisata. Terlebih sampai saat ini Sumba Barat Daya masih tergolong daerah tertinggal, seperti tertera dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2020. Ia mengakui, perkembangan pariwisata di Nusa Tenggara Timur, khususnya Sumba Barat Daya, terbilang lambat dibandingkan daerah-daerah lainnya, apalagi Jawa.

“Di sini ada masalah sumber daya manusia (SDM). Walaupun kami punya potensi [pariwisata] besar, ada SDM yang belum siap,” ungkapnya.

Namun, ia menggarisbawahi, Ratenggaro memang begitu spesial. Sebagai salah satu kampung adat tertua, Ratenggaro sejatinya memiliki nilai-nilai budaya yang luhur, magis, dan pada dasarnya masyarakat lokal sangat ramah. Agustina berani menyatakan, Ratenggaro sudah lama terkenal sebagai kampung adat, yang sejatinya tetap bisa hidup tanpa adanya pariwisata.

Bahkan ketika berusaha dikembangkan dan diberdayakan sebagai destinasi pariwisata, Ratenggaro perlu waktu lebih lama untuk benar-benar dianggap siap menerima wisatawan. Sebab, bagi Agustina, pemahaman kepariwisataan yang bisa memberi dampak ekonomi benar-benar merupakan sesuatu yang baru bagi penduduk setempat. Kesenjangan literasi kepariwisataan ini ia anggap berakar dari kesenjangan pendidikan yang umumnya terjadi di wilayah Indonesia Timur. Katanya, jangankan berpikir tentang sekolah, jika untuk makan saja masih kesulitan.

Untuk itu, Agustina berharap pemerintah dan wisatawan mau memikirkan pemerataan akses pendidikan sebagai timbal balik yang harus diberikan setelah Ratenggaro, Mandorak, dan tempat-tempat di Sumba Barat Daya kian populer sebagai destinasi wisata. Bentuknya bermacam-macam, bisa sekalian menggelar kegiatan literasi, bagi-bagi buku, hingga lokakarya sederhana untuk anak-anak dan keluarga di kampung-kampung adat. Ia tidak ingin Sumba hanya dikeruk potensinya untuk kepentingan ekonomi kelompok tertentu, tetapi tidak berdampak apa pun untuk pengembangan SDM lokal, khususnya Sumba Barat Daya.

Selain itu, Agustina juga menitip pesan penting bagi wisatawan yang berkunjung, baik ditemani pemandu lokal maupun tidak. Bagaimanapun, sebagai tamu, penting untuk lebih bijaksana dalam mendokumentasikan perjalanan mereka di tempat baru, yang kulturnya bisa jadi sangat berbeda daripada daerah asalnya. Sebab, ada ruang-ruang privasi warga, hingga ruang-ruang keramat dan sakral yang tidak boleh dimasuki atau direkam. 

Jhon (kiri) dan Riana berpose dengan pakaian adat di samping mobil campervan Jajago Keliling Indonesia saat singgah di Desa Adat Todo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur/Instagram Jajago

Perlunya duduk bersama untuk kemajuan pariwisata Sumba

Senada dengan Agustina, anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Sumba Barat Daya Argen Umbupati, mengakui ada dua sudut pandang pelajaran yang bisa dilihat dari kejadian yang menimpa Jajago. Pertama, viralnya konten Jajago dijadikan sebagai landasan semua pihak yang berkaitan untuk membenahi industri pariwisata di Sumba Barat Daya. Kedua, citra pariwisata di Sumba Barat Daya, khususnya Kampung Adat Ratenggaro dan sekitarnya, kembali menuai sorotan tajam dan cenderung negatif di kalangan warganet.

Padahal menurut Argen, kondisi Ratenggaro dan Mandorak saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan 10 tahun lalu sebelum dikemas sebagai destinasi wisata. Saat itu pariwisata masih terasa asing dan kawasan tersebut dianggap berbahaya bagi para pendatang. Namun, setelah penetapan peraturan desa dan daerah tentang pengelolaan pariwisata setelah pandemi COVID-19, situasinya mulai membaik meski belum 100 persen sempurna.

Pemandu lokal yang berbasis di Tambolaka, ibu kota Sumba Barat Daya, mengakui wilayahnya masih memiliki banyak kekurangan dalam pelayanan pariwisata. Untuk itu, meski tidak wajib, pihaknya menyarankan para tamu atau wisatawan menggunakan jasa pemandu lokal demi kenyamanan berwisata. Melalui pemandu diharapkan wisatawan bisa mendapat informasi dan penjelasan seputar kebudayaan lokal, maupun hal-hal yang boleh dan pantang dilakukan selama di Sumba Barat Daya.

Selain itu, Argen juga berharap semua pihak pemangku kepentingan di Sumba Barat Daya bisa duduk bersama. Menurutnya komunikasi sangat penting untuk menyamakan visi dan frekuensi demi kemajuan pariwisata di Pulau Sumba. Sembari berbenah, Argen menyampaikan kepada siapa pun agar tidak perlu takut dan tetap datang menikmati keindahan alam dan budaya Sumba.

Terakhir, Jajago tetap menyampaikan harapan besar dan optimisme agar pariwisata Ratenggaro, Mandorak, dan peran masyarakat Sumba Barat Daya semakin baik di masa mendatang. Pun tempat-tempat wisata lainnya di Sumba, mulai dari wisata alam, kuliner, hingga budaya. Terlepas dari kejadian yang menimpa, Jhon dan sang istri mengakui Sumba sebagai destinasi penutup road trip terbaik dan terindah selama musim perjalanan mereka di Nusa Tenggara Timur.

Foto sampul: Kampung adat Ratenggaro di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (Shandi Irawan via Wikimedia)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pungutan Liar di Tempat Wisata Masih Terjadi, Pemerataan Pendidikan Jadi Kunci appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pungutan-liar-di-kampung-ratenggaro-sumba-dan-solusi-pendidikan/feed/ 0 47447
Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial https://telusuri.id/simpang-belajar-2025-melestarikan-pangan-lokal-melalui-konten-media-sosial/ https://telusuri.id/simpang-belajar-2025-melestarikan-pangan-lokal-melalui-konten-media-sosial/#respond Tue, 13 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46902 Sebanyak 15 orang muda Manggarai Barat, baik yang sebelumnya menjadi peserta Simpang Belajar: Co-creation for City Vision tahun 2024 maupun komunitas Lino Tana Dite, berpartisipasi aktif pada Workshop Content Creation and Gastronomy Movements (WCGM) atau...

The post Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebanyak 15 orang muda Manggarai Barat, baik yang sebelumnya menjadi peserta Simpang Belajar: Co-creation for City Vision tahun 2024 maupun komunitas Lino Tana Dite, berpartisipasi aktif pada Workshop Content Creation and Gastronomy Movements (WCGM) atau Lokakarya Pembuatan Konten dan Gerakan Gastronomi pada 21–23 April 2025 di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Kegiatan ini dipimpin oleh Pamflet Generasi (Pamflet) dan bekerja sama dengan Rombak Media, sebagai Konsorsium Simpul Pangan yang merupakan bagian dari program Urban Futures—program global lima tahunan yang diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis).

Lokakarya kali ini berfokus pada peningkatan pemahaman orang muda terkait produksi konten-konten seputar pangan, pemanfaatan media sosial, dan kegunaannya dalam gerakan gastronomi lokal. Media sosial masih dianggap sebagai wadah kampanye untuk menggugah kesadaran warganet atas isu-isu gastronomi, yang beberapa waktu belakangan hampir selalu mendapat tempat perbincangan di lini masa maya.

Kegiatan Simpang Belajar tahun ini merupakan momentum untuk mengakselerasi produksi konten-konten media sosial oleh orang muda yang membicarakan sistem pangan lokal. Masifnya audiens media sosial di kalangan Gen Z dan Milenial merupakan peluang besar bagi orang muda mendorong perubahan dengan media digital.

Melalui WCGM, peserta diharapkan mampu menyusun narasi kampanye tentang isu pangan lokal secara kreatif dan bernuansa positif di media sosial, khususnya Instagram. Selain itu, kegiatan pembuatan konten bertujuan untuk menguatkan kesinambungan antara visi kota berkelanjutan yang telah dirumuskan dalam lokakarya sebelumnya, dengan kemampuan produksi konten media sosial yang berdampak. 

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Elisabeth Ester Umbu Tara (Ete) memberi materi di sesi pertama lokakarya/Dokumentasi Simpang Belajar

Cerita dan media sosial sebagai ruh dari sistem pangan

Sesi pembuka di hari pertama kegiatan diawali dengan pemaparan materi oleh Ester Elisabeth Umbu Tara selaku fasilitator. Perempuan kelahiran Kupang yang akrab disapa Ete itu merupakan pendiri komunitas Bapalok (Bacarita Pangan Lokal), sebuah wadah yang bertujuan mengarsipkan dan mendokumentasikan tanaman pangan khas berbagai daerah melalui tulisan, fotografi, hingga bentuk audiovisual lainnya, dengan salah satu fokus pada pemberdayaan perempuan.

Terbagi dalam dua segmen, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang membahas lima materi seputar pembuatan konten dan pemanfaatannya untuk mengampanyekan sistem pangan lokal. Pada segmen pertama, Ete berbagi materi tentang cara mencari ide konten, melakukan riset yang terarah, dan menyusun naskah yang efektif pun menarik. Di segmen ini pula Ete memberikan pemahaman mengenai aspek-aspek yang menjadi kesatuan dalam gastronomi, yaitu budaya, sejarah, teknik memasak, pemilihan bahan, penyajian, dan interaksi sosial. Ia menegaskan dalam satu jenis pangan bisa melahirkan banyak ide konten dari berbagai sisi, sehingga seorang kreator konten tidak akan kehabisan bahan.

Lalu di segmen kedua, Ete membantu peserta memahami teknik-teknik dasar fotografi dan videografi untuk kebutuhan visual konten, serta pengenalan platform CapCut dan Canva sebagai alat pendukung populer dan praktis untuk produksi dan editing konten—terutama berbasis perangkat mobile yang lebih mudah dijangkau peserta.

Dalam kacamata Ete, teknik pembuatan konten dan medium yang digunakan memang penting. Namun, ia juga menekankan narasi dan pesan yang ingin disampaikan dalam visual yang dibuat juga tak kalah krusial. Sebab, itu akan menentukan proses pengumpulan ide, riset, konsep, dan cara mengemas konten yang ingin dibuat. 

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Mardhatillah Ramadhan (Han) menyampaikan materi seputar pengelolaan akun media sosial/Dokumentasi Simpang Belajar

Pada sesi selanjutnya, Mardhatillah Ramadhan sebagai narasumber memaparkan materi tentang pengelolaan akun media sosial dan strategi pengelolaan konten. Pria yang biasa disapa Han itu berpengalaman menjadiSocial Media Specialist di TelusuRI, media perjalanan dan pariwisata Indonesia di bawah naungan Rombak Media. Sebagai pemantik, Han menggali preferensi peserta lokakarya soal ragam media sosial yang sering digunakan dan jenis konten-konten yang disukai. Di antara jenama media sosial yang ada, Instagram dan fitur-fitur di dalamnya menjadi fokus utama pembahasan, karena akan menjadi medium kerja pembuatan konten sebagai keluaran yang diharapkan dari peserta selama lokakarya.

Han membeberkan keunggulan Instagram, terutama fitur reels (video). Untuk saat ini reels Instagram jadi favorit karena memiliki jangkauan luas ke audiens, sehingga memudahkan untuk meningkatkan engagement dan tidak harus membutuhkan pengikut (followers) banyak supaya viral. Dampaknya akan lebih hemat biaya promosi produk-produk konten yang dihasilkan.

Kemudian Han berbagi tips strategi mengelola akun media sosial, agar narasi maupun pesan dalam konten-konten kampanye pangan lokal bisa tersampaikan secara optimal ke audiens. Mulai dari perlunya memerhatikan struktur publikasi konten (menyiapkan visual, caption, profil akun lengkap, dan konten-konten awal yang menarik), rutin mengunggah konten secara berkala, interaksi dengan akun Instagram yang relevan dan sedang ramai dibicarakan, memahami statistik konten (insight), hingga pemasangan iklan berbayar.

Di luar aspek teknis, Han menekankan pentingnya melihat kembali tujuan awal pembuatan akun agar topik dan produksi konten fokus sehingga memikat audiens. Ia menyampaikan, berdasarkan data penggunaan media sosial tahun 2024 oleh Databoks Katadata.co.id, seperti dikutip Radio Republik Indonesia,  tercatat 191 juta pengguna media sosial di Indonesia pada tahun tersebut, yang menjadi potensi audiens besar untuk diraih. Hal lain yang tidak kalah utama untuk diperhatikan adalah mau memulai dengan konten-konten sederhana, selalu terbuka peluang kolaborasi, dan konsisten.

Dari materi ruang yang disampaikan oleh Ete dan Han, peserta kemudian dibagi menjadi empat kelompok kecil. Di akhir setiap sesi Ete dan Han, tersedia ruang untuk latihan dan presentasi dari masing-masing kelompok, serta menyiapkan tema konten untuk kunjungan liputan di lapangan pada hari kedua kegiatan. 

Berburu konten bersama The Kitchen Garden dan Lompong Cama

Setiap kelompok memiliki fokus liputan dan target konten masing-masing. Keempat kelompok tersebut terbagi ke dua lokasi sasaran, yaitu The Kitchen Garden dan Lompong Cama, yang terletak di Labuan Bajo, Manggarai Barat.

The Kitchen Garden (TKG) yang didirikan dan dikelola Chef Michael merupakan restoran sekaligus inisiator gerakan yang menumbuhkan kesadaran akan pentingnya identitas budaya dan gastronomi lokal di Labuan Bajo. Adapun Lompong Cama yang didirikan oleh Citra Kader, seorang chef dan pegiat pangan lokal, merupakan tempat makan terbatas (melalui reservasi) yang mengajak pengunjung mempelajari metode bercocok tanam, mengolah hasil kebun berisi komoditas lokal menjadi makanan siap santap, hingga mengelola sisa bahan pangan menjadi kompos. Keduanya sama-sama berupaya mengusung masakan khas Manggarai sebagai hidangan utama.

Bersama pendampingan Chef Michael, Kelompok 1 berfokus pada dojang sebagai bagian dari preservasi pangan lokal, sedangkan Kelompok 4 mengambil angle sejarah dan pengolahan dojang dengan konsep dari kebun ke meja makan atau from farm to table. Di TKG, acara diawali dengan pemaparan profil dan filosofi restoran oleh Chef Michael. Ia menekankan bahwa pelestarian wilayah Labuan Bajo atau Manggarai Barat tidak hanya tentang alam atau Komodo, tetapi juga manusia dan pangan lokal sebagai bagian dari ekosistem itu sendiri. 

Chef Michael juga mengajak dua kelompok melakukan aktivitas tur kebun, demo masak, dan pengambilan dokumentasi tambahan (footages) untuk mencukupi kebutuhan produksi konten masing-masing kelompok. Dalam penjelasannya, ia berusaha menghidupkan kembali kuliner tradisional setempat yang sempat hilang, seperti tibu, manuk cuing, nasi kolo, tapa kolo, dan dojang dengan pendekatan yang berbeda. Pengunjung TKG tidak hanya sekadar makan, tetapi juga mendapat cerita dan pengalaman edukasi maupun pertukaran budaya.

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Sebagian peserta menyaksikan dan merekam proses memasak saat kunjungan ke The Kitchen Garden/Dokumentasi Simpang Belajar

Di lain tempat, Citra Kader mendampingi Kelompok 2 yang mengulik kempalo, serta Kelompok 3 yang fokus pada ikan kombong kuah asam dan manfaatnya bagi gizi tubuh. Kempalo merupakan bahan makanan berbahan dasar beras ketan yang diimpor dari Sulawesi, sedangkan kombong merupakan sejenis ikan laut lokal yang memiliki nilai gizi tinggi.

Sebelumnya Citra mengajak kedua kelompok mengunjungi Pasar Rakyat Batu Cermin untuk mewawancarai sejumlah pedagang dan belanja sejumlah bahan baku masakan untuk dibawa ke Lompong Cama. Saat kunjungan di pasar, Citra menjelaskan bahwa langkah pertama untuk memahami pangan lokal adalah terlebih dahulu mengenal pasar tradisional. Kemudian di Lompong Cama, peserta diajak berdiskusi, melihat pengelolaan sampah organik dan anorganik, pemeliharaan kambing untuk produksi pupuk kandang, pemanfaatan daun kering, berkeliling kebun yang ditanami berbagai macam bunga dan buah, demo masak, serta mengumpulkan bahan konten.

Usai mengumpulkan bahan konten di lapangan, selanjutnya setiap kelompok mulai melakukan finalisasi produksi konten berdasarkan tema dan angle yang dipilih. Kecuali Kelompok 1 yang hanya membuat satu video reels (karena jumlah anggota lebih sedikit), tiga kelompok lainnya akan membuat satu video reels dan satu feed (seri foto atau carousel). Ketentuan khusus untuk reels, durasi video yang dikerjakan minimal 30 detik dan maksimal satu menit. Seluruh karya peserta akan diunggah pada Instagram @gandengpangan dengan menggunakan fitur tag dan collaboration post dengan akun masing-masing peserta.

Pada hari ketiga, setiap karya yang dibuat oleh masing-masing kelompok dibedah oleh Ete dan Han. Kedua fasilitator tersebut membuka ruang diskusi, memberi masukan, melakukan kurasi naskah, audio, dan visual, serta meninggalkan catatan untuk setiap progres kerja yang dicapai oleh keempat kelompok. Selanjutnya peserta masing-masing kelompok menyelesaikan produksi konten dan mempresentasikan materi konten yang sudah dibuat, lalu mendapatkan penilaian.

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Sejumlah peserta melakukan pembuatan konten saat kunjungan lapangan ke Lompong Cama/Dokumentasi Simpang Belajar

Kesan dan harapan

Sejumlah peserta menyampaikan kesannya terhadap lokakarya pembuatan konten dan gerakan gastronomi lokal selama tiga hari kegiatan. Erin, nama panggilan ​​Berta Ertin dari Kelompok 3 mengungkap banyaknya pengetahuan baru yang didapatkan, terutama soal pembuatan konten. 

“Yang saya dapatkan dari kegiatan Simpang Belajar ini adalah bagaimana cara kita membuat konten yang lebih baik,” kata peserta yang pernah menjadi administrator akun Neo Historia Indonesia (2019) itu. “Ini juga akan membantu proses pengarsipan atau dokumentasi pangan lokal di Manggarai Barat.”

Senada dengan Erin, Petrus Budi Handoyo yang akrab disapa Petu pun sejatinya memiliki banyak kesan mendalam terhadap lokakarya yang diikuti. “Tapi [ada] satu kesan yang paling menempel di pikiran saya, yaitu ilmu baru yang saya dapatkan, seperti pengeditan video. Sebelumnya pengeditan video yang saya lakukan tidak semenarik yang orang (audiens) inginkan.”

Anggota dari Kelompok 4 itu menambahkan, ada manfaat tambahan yang ia peroleh, terutama berkaitan dengan usaha pribadinya—Kedai Wae Nanggom—yang baru berjalan empat bulan. “Manfaat dari kegiatan Simpang Belajar sangat berdampak bagi saya. Ke depannya saya bisa mengubah pola pikir [pembuatan video], mulai dari penulisan naskah dan pengeditan video agar sesuai harapan orang (audiens).”

Maria Oktaviani Simonita Budjen, anggota Kelompok 1, menyampaikan kesannya soal dinamika yang terjadi selama kelas (materi ruang). “Saya disatukan dalam kelompok dengan teman-teman yang punya pengalaman dan skill yang berbeda, [sehingga] saya dapat banyak sekali hal baru dari mereka,” kata Ani.

Selama tiga hari kegiatan, Ani dan kelompoknya melatih diri untuk mengasah soft skill dan rasa percaya diri saat berdiskusi dan presentasi bersama. “Dan juga tentu saja field trip-nya. Kita diarahkan ke tempat-tempat yang punya ide cerita luar biasa, yang bisa mengangkat kembali cerita tentang pangan lokal yang ada di Manggarai Barat.”

“Harapannya, lokakarya ini dapat mendukung partisipasi bermakna dari kawan-kawan muda untuk pangan yang berkelanjutan. ‘Bermakna’ di sini berarti bahwa dengan bekal peningkatan kapasitas membuat konten, ke depannya kawan-kawan di Manggarai Barat sendirilah yang menentukan narasi dan gencar mengampanyekan pangan lokal kepada khalayak luas,” ujar Wilsa Naomi, Manajer Proyek Konsorsium Simpul Pangan dari Pamflet Generasi.

Lokakarya di Manggarai Barat bukanlah akhir, melainkan baru sebagai awal untuk harapan pelestarian pangan lokal di masa depan. Upaya tersebut tidak berhenti di The Kitchen Garden maupun Lompong Cama, tetapi terus bergulir di tangan orang-orang mudanya.

Foto sampul: modul kegiatan Simpang Belajar 2025/Dokumentasi Simpang Belajar


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/simpang-belajar-2025-melestarikan-pangan-lokal-melalui-konten-media-sosial/feed/ 0 46902
Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang https://telusuri.id/refleksi-senja-di-bukit-cinta-kupang/ https://telusuri.id/refleksi-senja-di-bukit-cinta-kupang/#respond Wed, 07 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46861 Senja yang keemasan di suatu Senin mewarnai langit Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tak pernah bisa kutangkap dengan kamera sebaik mata memandang. Empat hari lagi, program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang telah kujalani selama...

The post Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
Senja yang keemasan di suatu Senin mewarnai langit Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tak pernah bisa kutangkap dengan kamera sebaik mata memandang. Empat hari lagi, program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang telah kujalani selama satu semester di Universitas Nusa Cendana (UNDANA) akan berakhir, menandai kepulanganku ke Tangerang Selatan.

Bukit Cinta di kawasan Kelapa Lima, dengan panorama sunset-nya yang memukau, menjadi pilihan sempurna untuk merenungkan perjalanan akademis dan budaya yang telah mengubah perspektifku selama empat bulan terakhir.

Transformasi Akademis di Indonesia Timur

Beta mau ajak katong ke Bukit Cinta sore ini,” ajak Filan dengan logat Kupang yang masih kental dengan aksen Manggarai, mengundangku dan Jein untuk menikmati sunset setelah kuliah.

Setelah satu semester, dialek lokal yang awalnya terdengar asing kini terasa akrab di telinga. Beradaptasi dengan bahasa lokal menjadi salah satu keterampilan tak tertulis yang kudapatkan dari program pertukaran ini—bagaimana kata “kita” berubah menjadi “katong” dan “tidak” menjadi “sonde” dengan intonasi yang naik turun seperti gelombang laut Timor.

Selama empat bulan menuntut ilmu di UNDANA, aku mengambil beberapa mata kuliah di Program Studi Matematika. Adaptasi di lingkungan baru memang tidak mudah, dan aku mengalami sedikit kesulitan dalam beberapa minggu pertama. Terlebih dengan mata kuliah yang cukup menantang, seperti Struktur Aljabar Lanjutan dan Analisis Real—mata kuliah yang benar-benar membuat rambut keriting!

Namun, pengalaman belajarku tidak terbatas pada ruang kelas saja. Melalui Modul Nusantara yang berbobot 4 SKS, aku berkesempatan menyelami kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat NTT. Di bawah bimbingan Pak Tom, dosen pendamping kami, 20 mahasiswa PMM dari berbagai universitas di Indonesia bersama-sama menjelajahi keindahan dan kekayaan budaya NTT setiap akhir pekan.

Hari Sabtu dan Minggu menjadi waktu yang paling dinantikan. Setelah lima hari bergelut dengan perkuliahan, kami menyegarkan pikiran dengan berbagai kegiatan yang menarik. Kami mendaki Bukit Fatuleu, menjelajahi gua-gua di sekitar Fatusuba, hingga berlayar ke pulau-pulau terdekat, seperti Semau, Rote, dan Alor.

Di Rote Ndao, kami mempelajari proses pembuatan sopi, minuman tradisional yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Di Timor Tengah Selatan (TTS), kami belajar seni menenun kain dengan motif-motif khas daerah. Pengalaman spiritual juga kami dapatkan melalui kunjungan ke Masjid Al-Muttaqin dan Gereja HKBP Kupang, tempat kami belajar tentang indahnya toleransi antarumat beragama di NTT.

Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang
Tampak depan rumah susun mahasiswa UNDANA/Intan Idaman Halawa

Rusunawa, Tempat Berteduh Mahasiswa Pertukaran

Setelah menyetujui ajakan Filan, aku kembali ke rusunawa—rumah susun yang dikhususkan bagi mahasiswa pertukaran—untuk bersiap. Gedung sederhana dua lantai ini telah menjadi rumah bagi lebih dari 300 mahasiswa PMM dari berbagai penjuru Indonesia. Di sinilah aku pertama kali belajar tentang keberagaman Indonesia yang sesungguhnya.

Kamarku dihuni empat orang dari pulau yang berbeda. Aku dari Nias yang merantau di Pamulang, Kak Eris dari Depok dengan tinggi hampir 170 cm, Kak Yuli dari Lampung dengan keahlian memasaknya, dan Kak Uni dari Bandung yang sedang berhalangan datang ke Bukit Cinta. Perbedaan budaya dan kebiasaan yang awalnya sering menimbulkan kesalahpahaman kecil, perlahan berubah menjadi pembelajaran berharga tentang toleransi dan adaptasi.

Rusunawa bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga laboratorium sosial tempat kami belajar mengelola konflik, berkompromi, dan menghargai perbedaan. Setiap lantai memiliki dapur komunal yang menjadi saksi bisu bagaimana mahasiswa Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku bertukar resep dan cerita. Di sinilah persahabatan lintas budaya terjalin, jauh lebih kuat dari sekadar pertemanan di ruang kelas.

Koper-koper sudah mulai dikeluarkan dari bawah tempat tidur. Beberapa teman sudah mulai mengepak barang, meski masih ada yang berpura-pura perpisahan masih jauh. Aku termasuk yang kedua, menunda segala persiapan kepulangan—seolah dengan begitu waktu akan ikut tertunda.

Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang
Aku berpijak di atas batu-batu yang samar di antara rerumputan Bukit Cinta/Intan Idaman Halawa

Renungan di Bukit Cinta

Kami tiba di Bukit Cinta sekitar pukul 16.15 WIB. Jalanan menanjak dan berkelok membuat mobil Maxim kami mendengus seperti kerbau tua. Dari ketinggian, Kota Kupang terhampar dengan keunikannya—perpaduan antara modernitas perkotaan dan kesederhanaan kampung pesisir. 

Bukit Cinta terletak tidak jauh dari kampus. Tempat ini menjadi favorit warga lokal untuk menikmati panorama matahari terbenam di Kupang. Konon, nama ini berasal dari banyaknya pasangan yang datang untuk menikmati pemandangan romantis.

Bukit Cinta, dengan bebatuan dan vegetasi khasnya, adalah cermin sempurna tentang ketangguhan alam NTT. Dari kunjungan-kunjungan ke desa sekitar selama program pertukaran, aku belajar bagaimana masyarakat lokal bertahan di tengah tantangan iklim kering dan lahan berbatu. Mereka mengembangkan sistem pertanian lahan kering yang unik, menanam jagung dan kacang di antara bebatuan dengan cara yang telah diwariskan turun-temurun.

“Bagaimana perasaan kaka empat bulan di Kupang?” tanya Filan saat kami duduk menghadap matahari yang mulai turun. Pertanyaan sederhana ini membuka diskusi panjang tentang pengalaman kami selama program pertukaran.

Jein, mahasiswa lokal UNDANA yang kini menjadi sahabat dekat, bercerita bagaimana awalnya ia merasa ada jarak dengan mahasiswa pertukaran. “Kami pikir kalian dari Jawa pasti memandang rendah Kupang yang kecil dan kering,” akunya jujur. “Tapi cara kalian beradaptasi dan menghargai budaya kami mengubah pandangan itu.”

Pertemanan lintas budaya seperti ini adalah inti dari program PMM. Melalui Filan dan Jein, aku belajar bahwa keramahan orang NTT bukan sekadar basa-basi. Mereka mengajariku tentang “utang budaya”, konsep bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan, bukan dengan materi. Prinsip ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal yang selalu siap membantu meski hidup dalam keterbatasan.

Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang
Tiga mahasiswa PMM mengapit dua mahasiswa UNDANA (baju hitam dan putih di tengah) sedang duduk di atas batu lebar Bukit Cinta/Intan Idaman Halawa

Jejak yang Tertinggal dan Dibawa Pulang

Langit berubah jingga saat matahari perlahan turun, melukis garis-garis merah di ujung langit. “Di Kupang, kita mungkin tidak punya mal mewah atau bioskop besar,” ucap Jein pelan. “Tapi kami punya sunset terbaik di Indonesia.” 

Jein benar. Selama empat bulan di sini, aku menyaksikan bagaimana senja menjadi ritual harian warga Kupang. Dari pedagang kaki lima hingga pejabat, semua menyempatkan diri untuk menikmati keajaiban alam ini.

Senja di Kupang adalah demokratisasi keindahan, tersedia gratis untuk semua orang tanpa memandang status sosial. Ini mengajariku tentang kebahagiaan sederhana yang sering kulupakan di tengah hiruk-piruk Tangerang. Di sini, keindahan alam bukan sekadar latar untuk foto Instagram, melainkan pengalaman spiritual yang dirayakan setiap hari. Obrolan hangat mengalir diiringi jepretan kamera yang berusaha mengabadikan kebersamaan. 

Ketika langit mulai gelap dan pengunjung lain beranjak pulang, kami masih bertahan, enggan mengakhiri momen berharga ini. Empat bulan di Kupang telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam diriku. Bukan hanya tentang pengetahuan akademis, melainkan juga kearifan hidup yang sulit ditemukan di daerah urban. Masyarakat NTT mengajariku tentang ketangguhan dalam menghadapi keterbatasan, kegembiraan dalam kesederhanaan, dan ketulusan dalam persahabatan.

Keceriaan di tengah senja yang kian gelap/Intan Idaman Halawa

Program pertukaran ini membuatku memahami bahwa Indonesia jauh lebih kaya dan beragam dari yang selama ini kubayangkan. Setiap pulau memiliki cerita dan kearifannya sendiri, yang sayangnya sering tidak mendapat tempat dalam narasi pembangunan nasional yang terpusat di Jawa.

Dengan tangan-tangan kami yang kotor setelah bermain di rerumputan bukit, kami memutuskan untuk kembali ke Rusunawa. Cahaya terakhir senja telah lenyap, digantikan oleh lampu-lampu kota yang mulai menyala seperti konstelasi bintang buatan manusia. Dari ketinggian, lampu-lampu permukiman warga terlihat seperti refleksi langit malam, pengingat bahwa keindahan bisa hadir dalam berbagai bentuk.

Saat kami turun dari bukit dalam gelap malam, dengan hanya cahaya ponsel menerangi jalan, aku tahu bahwa Kupang telah memberiku lebih dari sekadar pengalaman akademis. Ia telah memberiku pelajaran hidup yang tak ternilai tentang ketangguhan, keberagaman, dan keindahan Indonesia yang sesungguhnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/refleksi-senja-di-bukit-cinta-kupang/feed/ 0 46861
Wisata Seribu Pantai di Maunori https://telusuri.id/wisata-seribu-pantai-di-maunori/ https://telusuri.id/wisata-seribu-pantai-di-maunori/#respond Mon, 05 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46835 Maunori. Tempat yang mungkin saat ini masih jarang diketahui banyak orang, terutama masyarakat Flores sendiri. Walaupun bukan daerah asal saya, Maunori sudah seperti rahim untuk keluarga saya. Tanah tempat kedua orang tua saya mengayuh keberaniannya...

The post Wisata Seribu Pantai di Maunori appeared first on TelusuRI.

]]>
Maunori. Tempat yang mungkin saat ini masih jarang diketahui banyak orang, terutama masyarakat Flores sendiri. Walaupun bukan daerah asal saya, Maunori sudah seperti rahim untuk keluarga saya. Tanah tempat kedua orang tua saya mengayuh keberaniannya meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di sini, juga saksi pertemuan pertama mereka hingga saya hadir di dunia.

Maunori merupakan sebuah kampung kecil di wilayah selatan Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Kurang lebih belasan ribu jiwa dengan suku, etnis, dan ras yang beragam menempati kampung ini. Mata pencaharian masyarakat umumnya sesuai dengan kondisi geografis lingkungan setempat, yakni petani dan nelayan. 

Satu hal yang selalu berkesan dari masa kecil hingga sekarang adalah kedamaian yang jauh dari kebisingan kota. Udara yang bersih, laut biru, perbukitan hijau, dan suara ombak beradu dengan tawa riang anak-anak kecil yang bermandikan cahaya matahari sore. Ikan segar, siput, gurita, dan tangkapan laut lainnya yang setiap harinya hampir tidak pernah luput menjadi hidangan wajib di rumah-rumah. Walaupun tempat ini masih jauh dari kata berkembang, tetapi kami bersyukur dianugerahi tanah yang memiliki segudang kekayaan, yang mungkin di luar sana tidak bisa dinikmati oleh kebanyakan orang.

Sebagai bentuk cinta dan terima kasih saya atas berkat di atas tanah ini, saya ingin membagikan beberapa destinasi wisata alam di Maunori. Maunori bisa saya katakan sebagai kampung seribu pantai. Setiap pantai memiliki keunikannya masing-masing. Ini adalah cara saya agar lebih banyak orang mengenal dan melihat potensi kampung kecil tersebut.

1. Bukit Kekakodo

Kondisi geografis Maunori berada di pesisir pantai dan diapit oleh perbukitan. Oleh karena itu banyak kawasan bukit yang mudah dijangkau dan menjadi tempat rekreasi. Salah satu yang sering dikunjungi warga lokal maupun para pengunjung dari luar daerah adalah Bukit Kekakodo yang terletak di Kampung Bengga. 

Tempat ini dapat diakses menggunakan motor maupun mobil. Dari atas bukit kita bisa melihat pemandangan pantai yang terbentang luas di depan mata. Jika ingin berkunjung ke Bukit Kekakodo, disarankan pagi hari sambil berolahraga atau sore hari sembari menanti matahari terbenam.

Bukit Kekakodo biasanya ramai pengunjung pada hari libur maupun akhir pekan. Banyak warga yang menyempatkan waktu rekreasi bersama keluarga, ada juga anak-anak muda yang berlomba-lomba mencari objek foto dengan latar perbukitan. Tidak ada retribusi di tempat ini, sehingga pengunjung harus memerhatikan kebersihan demi kenyamanan bersama. 

2. Pantai Maundai

Pantai ini berlokasi di Maundai, salah satu tempat di Maunori yang padat penduduk dan juga pusat kegiatan masyarakat Maunori. Pantai Maundai berada persis di samping jalan trans Maunori–Nangaroro, sehingga aksesnya sangat mudah. 

Pantai ini setiap harinya selalu ramai. Selain disibukan dengan aktivitas para nelayan mencari ikan dengan menebar jala, di akhir pekan juga dipadati dengan warga lokal yang mengajak sanak saudara dan keluarganya menghabiskan waktu luang di pesisir pantai. Ada yang melepas penat dengan berendam di laut, ada juga yang menikmati ikan bakar. Di pesisir pantai juga terdapat permukiman warga, kios-kios kecil, dan juga area perkantoran, Walau padat kegiatan, tapi masyarakat masih bisa menikmati suasana deburan ombak dan desiran angin pantai secara cuma-cuma. 

Waktu terbaik menikmati Pantai Maundai adalah sore hari jelang matahari terbenam. Percayalah, sudah hampir seribu foto sunset dari tahun ke tahun saya abadikan di tempat ini, dan selalu jadi juara di galeri gawai saya.

3. Pantai Watukembi

Salah satu keunikan dan daya tarik terbesar Maunori adalah batu-batu alam yang hampir tersebar di seluruh pantai Maunori. Seperti Pantai Watukembi, tempat rekreasi favorit saya sejak SD. Kondisi alam di pantai ini masih terkesan liar dan asri, didominasi dengan bebatuan hitam yang menjulang tinggi. 

Selain sebagai tempat rekreasi, Pantai Watukembi dinobatkan sebagai lokasi memancing ikan terbaik di Maunori. Bapak saya gemar menghabiskan waktu akhir pekannya dengan memancing ikan di sini. Tangkapan laut yang dibawa para pemancing pun sangat segar dan beragam, seperti ikan merah, ikan kerapu, siput, kima (kerang-kerangan), gurita, dan cumi-cumi.

Akses menuju Pantai Watukembi sangat mudah karena berada tepat di jalan utama trans Maunori–Nangaroro. Bisa dijangkau menggunakan sepeda motor maupun mobil. Bagi pengunjung yang hendak datang ke pantai ini harus selalu berhati-hati. Sebab, terdapat tebing bebatuan yang cukup tajam dan arus ombak yang lumayan besar. Pengunjung diharapkan menjaga keasrian dan tidak merusak lingkungan.

4. Pantai Tonggo

Seperti Pantai Maundai dan Watukembi, Pantai Tonggo juga sering dikunjungi warga lokal maupun dari luar kabupaten pada akhir pekan. Batu-batu alam menghiasi sepanjang pesisir pantai. Selain sebagai tempat peristirahatan, pantai ini juga sekaligus menjadi tempat bakar-bakar ikan untuk santapan bersama keluarga di waktu liburan.

Pantai ini terletak di Kampung Tonggo yang cukup padat penduduk, sekitar 19 km atau setengah jam perjalanan dengan motor maupun mobil dari Maunori ke arah Nangaroro. Posisi pantai berada di daerah teluk, sehingga suasananya terkesan lebih privat. Semilir angin menari-nari melewati barisan nyiur di tepi pantai, sesekali didapati para nelayan yang kian kemari menebar jala. Sesekali tampak kapal-kapal yang hendak berlabuh ke Ende.

Bau asap ikan bakar, alunan musik ala Indonesia Timur, dipadu dengan aroma ubi-ubian dan makanan ala rumahan cocok menemani waktu selama menikmati Pantai Tonggo. Jangan lupa memuaskan dahaga dengan beberapa teguk air kelapa segar.

5. Pantai Maurao

Sama seperti pantai-pantai sebelumnya, Pantai Maurao juga berada di tepi ruas jalan trans Maunori–Nangaroro. Salah satu pantai yang cukup sering dikunjungi oleh anak-anak muda maupun keluarga. Batu-batu alam berwarna-warni menghiasi bibir pantai ini. Di sekelilingnya terdapat beberapa pohon kelapa yang berayun lembut mengikuti embusan angin pantai. Debur ombak menyeret batu-batu lepas menuju daratan yang kering. 

Waktu terbaik untuk menikmati suasana Pantai Maurao tentu saja saat sore hari sembari menunggu matahari terbenam. Selain itu, saya dan keluarga biasanya mengoleksi beberapa cangkang kerang kerang laut yang kadang ditemukan di pesisir karena terbawa arus ombak. Beberapa di antaranya merupakan hasil tangkapan sendiri. Ini adalah bentuk kami mengenang memori baik di Pantai Maurao yang menyimpan segala kekayaan lautnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Wisata Seribu Pantai di Maunori appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-seribu-pantai-di-maunori/feed/ 0 46835
Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements https://telusuri.id/siaran-pers-simpang-belajar-2025/ https://telusuri.id/siaran-pers-simpang-belajar-2025/#respond Fri, 18 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46696 Setelah sukses menyelenggarakan Simpang Belajar: Co-creation for City Vision pada November 2024, Konsorsium Simpul Pangan kembali menghadirkan Simpang Belajar dalam bentuk lokakarya lanjutan bertajuk Workshop Content Creation and Gastronomy Movements atau Lokakarya Pembuatan Konten dan...

The post Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah sukses menyelenggarakan Simpang Belajar: Co-creation for City Vision pada November 2024, Konsorsium Simpul Pangan kembali menghadirkan Simpang Belajar dalam bentuk lokakarya lanjutan bertajuk Workshop Content Creation and Gastronomy Movements atau Lokakarya Pembuatan Konten dan Gerakan Gastronomi. Kegiatan ini dipimpin oleh Pamflet Generasi (Pamflet) dan bekerja sama dengan Rombak Media, sebagai bagian dari program Urban Futures–program global lima tahunan yang diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis).

Lokakarya ini digelar secara luring pada Senin hingga Rabu, 21–23 April 2025 di Labuan Bajo, Manggarai Barat. WCGM akan melibatkan partisipasi aktif orang muda Manggarai Barat yang sebelumnya telah mengikuti lokakarya Simpang Belajar: Co-creation for City Vision, serta orang muda dari komunitas Lino Tana Dite.

Siaran Pers Simpang Belajar 2025:
Workshop Content Creation and Gastronomy Movements

Kampanye narasi sistem pangan lokal berkelanjutan

Seiring berkembangnya teknologi digital dan internet, media sosial menjadi alat yang sangat efektif dalam mempromosikan, mengampanyekan, dan mengadvokasikan berbagai isu sosial, termasuk sistem pangan lokal berkelanjutan. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 20241 menunjukkan, pengguna internet terbanyak berasal dari kalangan usia muda dengan rincian 87,02% Gen Z (12–27 tahun) dan 93,17% Milenial (28–43 tahun). Empat platform media sosial yang paling banyak digunakan antara lain Facebook, Instagram, Youtube, dan Tiktok. Hal ini menunjukkan potensi besar anak muda dalam mendorong perubahan melalui media digital.

Melalui lokakarya ini, peserta dilatih untuk mengembangkan narasi kampanye yang positif terkait isu pangan lokal, serta mengemasnya dalam bentuk konten kreatif di media sosial, khususnya Instagram. Kegiatan ini juga bertujuan untuk menguatkan kesinambungan antara visi kota berkelanjutan yang telah dirumuskan dalam lokakarya sebelumnya, dengan kemampuan produksi konten media sosial yang berdampak.

Pada Simpang Belajar sebelumnya, 15 orang muda yang menamai kelompoknya “Uma Lestari,” berkolaborasi melakukan pemetaan potensi dan masalah seputar pangan di sekitar tempat tinggal mereka, membayangkan sistem pangan perkotaan yang mereka impikan, dan merencanakan inisiatif aksi lebih konkret untuk mewujudkan visi kota Manggarai Barat: “Selaras Alam, Budaya, Manusia”. Visi tersebut menggambarkan fokus aspirasi untuk memadukan tiga elemen utama—alam, budaya, dan manusia—melalui pangan. Dampak yang diharapkan bisa menjadikan Manggarai Barat memiliki sumber pangan yang berkelanjutan, melindungi identitas lokal melalui pelestarian tradisi pangan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui ekosistem pangan yang inklusif dan inovatif.

Pada lokakarya kali ini, menghadirkan fasilitator utama, Ester Elisabeth Umbu Tara, pendiri komunitas Bapalok (Bacarita Pangan Lokal), yang aktif dalam pengarsipan pangan lokal dan pemberdayaan perempuan, di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Agenda kegiatan

Selama tiga hari pelaksanaan, peserta akan mengikuti rangkaian sesi produktif dengan pendampingan fasilitator lokal. Pada hari pertama (21/4), peserta akan diajak untuk mengenal kembali proses dan tahapan pembuatan konten media sosial sebagai bagian dari gerakan pangan dan gastronomi. Dalam praktiknya, peserta dilatih untuk mengeksplorasi ide dan riset, menulis naskah, pembuatan konten audiovisual, penyuntingan, hingga publikasi dan pengelolaan akun media sosial. 

Pada hari kedua (22/4), peserta diajak mengunjungi dua inisiatif kuliner lokal yakni, Lompong Cama dan The Kitchen Garden, yang dikenal karena upayanya memperkenalkan kembali masakan tradisional Manggarai Barat dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal, di tengah arus modernisasi dan perubahan iklim. Di lokasi ini, peserta akan praktik langsung untuk membuat konten media sosial, baik berupa video pendek maupun fotografi, sesuai minat dan rencana kelompok masing-masing.

Bahan-bahan hasil perekaman lapangan tersebut kemudian disusun untuk menjadi konten yang utuh. Di hari ketiga (23/4), para peserta kemudian melakukan presentasi hasil konten kepada fasilitator dan narasumber untuk mendapatkan masukan sebelum dipublikasikan melalui media sosial. Setiap hasil karya peserta nantinya akan diunggah dan berkolaborasi dengan akun Instagram @gandengpangan.

Foto sampul: Demonstrasi memasak bahan pangan lokal di Lompong Cama/Dokumentasi Simpang Belajar


  1. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, “Survei Penetrasi Internet Indonesia 2024”, https://survei.apjii.or.id/survei/group/9. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/siaran-pers-simpang-belajar-2025/feed/ 0 46696
Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau https://telusuri.id/kisah-mahasiswa-sonde-jalan-sonde-asyik-di-pulau-semau/ https://telusuri.id/kisah-mahasiswa-sonde-jalan-sonde-asyik-di-pulau-semau/#respond Thu, 12 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44552 Jika ada penghargaan “Orang Paling Paranoid” sebelum melakukan perjalanan, mungkin aku akan memenangkan medali emas. Perahu kayu yang akan membawa kami ke Pulau Semau tampak begitu sederhana. Terlalu sederhana malah. Sampai-sampai aku curiga ini adalah...

The post Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika ada penghargaan “Orang Paling Paranoid” sebelum melakukan perjalanan, mungkin aku akan memenangkan medali emas. Perahu kayu yang akan membawa kami ke Pulau Semau tampak begitu sederhana. Terlalu sederhana malah. Sampai-sampai aku curiga ini adalah properti syuting film tentang nelayan tradisional yang kesasar di pelabuhan. Mesinnya mendengkur seperti kucing tua yang sedang flu. Tidak meyakinkan sama sekali.

“Bagaimana kalau perahu ini mogok di tengah laut? Bengkel mana yang harus disinggahi?” gumamku sambil berdiri kaku di Pelabuhan Bolok, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Pertanyaan itu muncul bersamaan dengan skenario lain yang berkelebat dalam kepala. Bagaimana jika ternyata ada portal dimensi di dasar Selat Semau; yang akan menyedot kami ke dunia paralel di mana manusia hidup di laut dan ikan-ikan hidup di darat?

Oke, mungkin itu agak berlebihan. Tapi, siapa yang tahu? Segitiga Bermuda saja masih misteri, apalagi Selat Semau yang jarang diliput National Geographic!

Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau
Aktivitas di Pelabuhan Bolok/Intan Idaman Halawa

Gejolak saat Menaiki Perahu

Aku adalah peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) Batch 2. Program dari Kemendikbud ini memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar di luar provinsi asal. Perjalananku ke Pulau Semau menjadi simpul tak terduga dalam peta pendidikanku. Awalnya, aku membidik dua perguruan tinggi, yaitu Universitas Udayana Bali dan Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang. Namun, keterbatasan kuota di Udayana mengalihkanku sepenuhnya ke UNDANA—yang kemudian membuka pintu menuju petualangan yang menakjubkan.

Sebagai pendatang yang baru pertama kali menyeberang dengan perahu, otakku bekerja lebih keras dari mesin perahu. Aku membayangkan segala kemungkinan terburuk. Bahkan sempat terpikir untuk mengikat diriku ke tiang perahu dengan tali ransel—ide yang langsung kutepis karena sadar hal itu hanya ada di film-film.

Di tengah guncangan perahu yang membuatku hampir menjatuhkan ponsel ke laut, mataku menangkap pemandangan yang membuat ketakutanku sejenak terlupakan. Air di bawah sana begitu jernih, seperti kaca yang bergerak. Ikan-ikan berwarna-warni berenang dalam kelompok kecil, sesekali berpencar lalu berkumpul lagi, seolah sedang bermain kejar-kejaran.

Rintik hujan mulai turun, lembut dan dingin. Setiap tetes menciptakan lingkaran kecil di permukaan air, seperti ribuan koin perak yang dijatuhkan secara bersamaan. Kuulurkan tangan, membiarkan air laut menyentuh ujung jari. Sensasi dingin air laut membuatku tersadar; ini nyata, bukan simulasi. Sebuah perahu kayu sederhana benar-benar bisa mengapung dan membawa kami melintasi selat. Fisika Newton, kau sungguh ajaib!

Setelah tiga puluh menit yang terasa seperti perjalanan menembus dimensi lain, perahu kami akhirnya merapat ke dermaga kayu Pulau Semau. Pak Sopir, pemilik pikap hitam yang sudah menunggu di pelabuhan, melambai ke arah kami. Mobilnya tampak seperti veteran perang yang masih gagah. Cat hitamnya sudah termakan usia di beberapa bagian, tetapi mesinnya menderu penuh semangat.

Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau
Menikmati perjalanan di atas perahu/Intan Idaman Halawa

Menjelajahi Pantai Otan

Di bak belakang pikap, dua bangku kayu panjang dipasang berhadapan. Aku memilih duduk menghadap depan, bukan karena lebih berani, melainkan setidaknya bisa melihat bahaya yang akan datang. Jemariku mencengkeram tepian bak mobil yang terasa panas karena sinar matahari.

“Siap semua?” tanya Pak Sopir dari kursi kemudi, matanya berkilat jahil dari kaca spion.

Belum sempat kami menjawab, pikap sudah melaju. Deru mesin bercampur dengan suara “krek-krek” dari bangku kayu, yang bergesekan dengan bak mobil setiap kali roda menghantam bebatuan. Ada retakan kecil di kaca belakang, hasil dari entah berapa ribu perjalanan sebelum kami.

Pikap melaju menuju pantai Otan, sesekali terguncang diiringi teriakan saat melewati bebatuan. “Mamaaa! Bapaaak!” jerit kami diiringi ketakutan.

Pikap terus melaju, mengambil belokan tajam yang membuat kami semua bergeser ke satu sisi. “Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan,” Becca komat-kamit sambil memeluk ranselnya seperti pelampung darurat. Seruan itu berulang setiap kali mobil menuruni jalan berkelok.

Setelah lima belas menit yang terasa seperti lima belas tahun, pikap akhirnya berhenti di tanah lapang dekat Pantai Otan. Kami turun dengan kaki gemetar, beberapa masih mengucap syukur berkali-kali.

Di hadapanku terbentang hamparan pasir putih yang bertemu dengan air laut jernih berwarna hijau toska. Angin pantai bertiup kencang, membawa aroma asin yang membuatku merasa seperti keripik kentang berjalan. Kulihat Yazid sudah melepas sandalnya, berlari ke arah pantai sambil berteriak, “Pantai, i’m coming!”

Sementara teman-temanku berenang dan bermain air layaknya putri duyung yang baru menemukan kolam renang, aku memilih untuk menjadi arsitek pasir. Kubangun istana-istana megah, yang pada akhirnya diinjak oleh teman-temanku yang berlarian di tepi pantai.

Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau
Seorang teman berperan sebagai putri duyung di Pantai Otan/Intan Idaman Halawa

Menerjang Hujan menuju Perteduhan

Namun, alam punya selera humor tersendiri. Langit yang tadinya secerah presenter ramalan cuaca mendadak berubah jadi backdrop film horor. Hujan deras dan petir mengguyur pantai, menghancurkan kompleks istana pasirku dalam sekejap. Kami berdesakan di bawah pondok kecil yang jelas tak cukup untuk menampung semua orang. Sebagian pasrah bermain hujan. Slogan kelompok kami, “Sonde jalan sonde asyik” ternyata benar-benar terwujud hari ini. Tak ada momen yang terlewatkan, tak ada cerita yang terlupakan.

Teman-temanku yang masih basah seusai berenang menggigil kedinginan, bibir mereka membiru seperti habis makan permen blueberry beku. Sementara aku berusaha menghubungi Pak Thom, dosen pembimbing kami yang lebih dulu pergi ke rumah kenalannya. Telepon genggamku mulai bertingkah seperti remaja labil. Kadang ada sinyal, kadang tidak, kadang hanya bergetar tanpa alasan jelas, seolah sedang merajuk di saat yang paling tidak tepat.

Tapi seperti kata orang tua, segala sesuatu ada waktunya. Akhirnya Pak Thom mengangkat teleponku. Kujelaskan situasi kami yang sudah mirip es lilin dalam freezer. Beliau langsung sigap menghubungi sopir pikap yang tadi untuk menjemput kami ke rumah kenalannya, tidak jauh dari Pantai Otan.

Perjalanan menuju tempat berteduh ternyata menyimpan kejutan tak terduga. Dua puluh mahasiswa Asekae Nusantara—nama kelompok kami dengan slogan tadi yang terdengar seperti moto komunitas pendaki yang hobi karaoke—berdesakan di bak pikap hitam. Kami persis sarden kalengan versi manusia, lengkap dengan “kuah” air hujan yang tak henti mengguyur.

Kak Oswald, liaison officer kami yang baik hati, memutuskan untuk mengikuti dengan sepeda motor dari belakang. Mungkin sebagai bentuk solidaritas untuk mengurangi beban pikap yang sudah mengeluh lewat suara mesinnya. Atau, mungkin juga karena tak tega melihat kami yang sudah seperti bubur dalam blender. Hujan yang masih setia menemani membuat jalanan becek dan—oh, astaga—dipenuhi kotoran kerbau yang mencair bagai cokelat leleh yang salah resep.

Ban pikap kami melindas genangan demi genangan, mencipratkan “air” ke segala arah. Tawa kami meledak ketika mendengar seruan kaget Kak Oswald yang wajahnya tak sengaja terkena cipratan kotoran kerbau dari ban mobil kami. 

“Astaga!” teriaknya dalam logat Flores yang kental, seperti aktor sinetron yang baru tahu naskahnya diubah mendadak. Bahkan dalam kondisi menggigil kedinginan, kami tak bisa menahan tawa. Dalam situasi ini tidak ada yang kepikiran untuk mengabadikan momen tersebut dalam lensa kamera. 

Setibanya di tempat perteduhan itu, sepasang suami istri yang menjadi tuan rumah menyambut kami dengan hangat. Pak Thom dan pemilik rumah sudah membeli ikan basah sebelumnya untuk kami bakar. Aroma ikan bakar dan mangga Semau legendaris yang manis membuat perutku bernyanyi lebih keras daripada suara hujan di luar.

Halaman belakang rumah mereka yang luas dihiasi dengan deretan kayu bakar yang tidak tersusun rapi dan dihiasi rumput-rumput liar. Di antara tumpukan kayu itu, beberapa ekor ayam berjalan dengan gaya yang mengingatkanku pada fashion show— lengkap dengan kepala yang mengangguk-angguk seolah sedang menilai penampilan satu sama lain.

Sore harinya, setelah hujan mereda dan perut kami kenyang, kami menuju Kolam Penyu Uisimi. Uisimu merupakan sebuah kolam alami berisi air payau yang bening, tempat penyu-penyu berenang dengan bebas. Meski ukurannya tidak begitu besar, kolam ini dihiasi dengan pepohonan rimbun dan bebatuan karang di sekelilingnya.

“Hati-hati licin,” Kak Oswald mengingatkan. Wajahnya sudah bersih dari insiden “air cokelat” sebelumnya.

Aku memilih bermain ayunan yang tergantung di pohon tua di pinggir kolam. Dari sini, aku bisa mengamati teman-temanku yang berusaha berenang bersama penyu. Tiba-tiba, sesuatu menyentuh kakiku yang terendam air. Seekor ikan kecil, dengan tampang sepolos tukang parkir yang tidak sengaja menggores mobil, sepertinya menganggap jari kakiku adalah makanan.

“Maaf kaki saya bukan menu hari ini,” bisikku gemas melihat ikan itu.

Kembali ke Kupang

Menjelang senja, kami terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada kolam penyu dan kembali ke pelabuhan. Dari jauh lampu-lampu Kupang mulai berkedip di kejauhan, seperti sekumpulan kunang-kunang yang sedang mengadakan festival musik elektronik. 

Di atas perahu motor, suara mesin berdentum seperti drumben dadakan, berpadu dengan nyanyian serak kami. Lagu Project Pop Ingatlah Hari Ini mengiringi perjalanan pulang. Percikan air laut dan embusan angin malam seolah ikut bernyanyi bersama kami. Butiran-butiran air asin mendarat di wajah, menciptakan sensasi dingin yang menyegarkan.

Kami bernyanyi lebih keras, mencoba mengalahkan deru ombak dan angin. Lagu demi lagu mengalir, dari Laskar Pelangi sampai Sepatu, dari Bento sampai Yogyakarta. Setiap lagu membawa kenangan tersendiri, setiap nada mengukir momentum yang tak terlupakan.

Ketika perahu akhirnya merapat ke dermaga, kami masih bisa merasakan getaran lagu terakhir di dada. Lampu-lampu Pelabuhan Bolok menyambut hangat, menandai akhir dari sebuah hari yang penuh cerita.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-mahasiswa-sonde-jalan-sonde-asyik-di-pulau-semau/feed/ 0 44552
Antusiasme Orang Muda Sukseskan Lokakarya Pangan Lokal Berkelanjutan “Simpang Belajar” di Manggarai Barat https://telusuri.id/antusiasme-orang-muda-sukseskan-lokakarya-pangan-lokal-berkelanjutan-simpang-belajar-di-manggarai-barat/ https://telusuri.id/antusiasme-orang-muda-sukseskan-lokakarya-pangan-lokal-berkelanjutan-simpang-belajar-di-manggarai-barat/#respond Wed, 04 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44353 Urban Futures, yang dikelola oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), baru saja menyelesaikan gelaran lokakarya pangan lokal berkelanjutan dengan judul “Simpang Belajar”. Kegiatan yang berlangsung pada pada 11–14 November 2024 ini mengajak 15 orang...

The post Antusiasme Orang Muda Sukseskan Lokakarya Pangan Lokal Berkelanjutan “Simpang Belajar” di Manggarai Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
Urban Futures, yang dikelola oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), baru saja menyelesaikan gelaran lokakarya pangan lokal berkelanjutan dengan judul “Simpang Belajar”. Kegiatan yang berlangsung pada pada 11–14 November 2024 ini mengajak 15 orang muda memetakan potensi dan masalah seputar pangan di sekitarnya, membayangkan sistem pangan perkotaan yang mereka impikan, dan merencanakan inisiatif aksi yang dapat mereka lakukan untuk mencapai visi tersebut. Kehadiran Dicky Senda dari komunitas Lakoat Kujawas sebagai fasilitator dan Musfika Syam dari Videoge Arts & Society sebagai co-fasilitator memberikan perspektif baru dan memperkaya diskusi selama lokakarya Simpang Belajar.

Kenalkan Konsep Lodok Lingko

Lokakarya Simpang Belajar berlangsung secara hybrid selama empat hari, sebab fasilitator menghadapi tantangan tak terduga akibat erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. Dicky Senda bersama Pamflet mengikuti kegiatan secara daring dari Denpasar, Bali, sedangkan Rombak Media bersama peserta berada di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Fasilitator membuka sesi dengan memperkenalkan sistem Lodok Lingko pada hari pertama. Lingko merupakan sistem pertanian tradisional yang dirancang seperti jaring laba-laba. Penerapannya pada dinamika “Simpang Belajar” kali ini adalah peserta punya wilayah Lodok (di dalam) yang digunakan untuk merancang visi atau tujuan mereka mengikuti kelas ini; cicing (bagian luar) menjadi representasi kontribusi peserta, meliputi pengalaman dan keterampilan apa saja yang mereka bawa ke dalam kelas; sedangkan garis pemisah digunakan untuk meletakkan aturan bersama selama kegiatan yang sudah disepakati oleh seluruh peserta.

Peserta lokakarya membentuk plano kecil di hari pertama (kiri) dan plano besar di hari kedua untuk mempelajari sistem Lodok Lingko yang diperkenalkan Dicky Senda sebagai fasilitator/Dokumentasi Simpang Belajar

Fasilitator juga memantik diskusi dengan mengajak peserta mengasosiasikan diri sebagai sebuah bahan pangan. Mereka lalu berkelompok, dan masing-masing kelompok memilih satu bahan pangan yang mewakili identitas para anggota. Tiga bahan pangan terpilih yang dijadikan sebagai nama kelompok yakni kelor, cabai, dan kelapa kemudian menjadi bahan diskusi mulai perjalanannya dari kebun hingga berada di atas piring makan kita. Selain itu, peserta juga mendiskusikan permasalahan, peluang, dan solusi dari masing-masing bahan tersebut.

Dari sesi ini, penulis sekaligus aktivis pangan, Dicky Senda menyimpulkan bahwa sistem pangan lokal adalah refleksi kompleksitas ekologi, sosial, budaya, dan politik. Kondisi ekologis memengaruhi jenis pangan lokal, sedangkan kebijakan politik memengaruhi harga dan ketersediaannya. Selain itu, Indonesia  yakni menjadi negara pembuang makanan terbesar kedua di dunia sekaligus memiliki angka stunting ketiga tertinggi di Asia. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan strategi bersama melalui gerakan pangan lokal yang terintegrasi, dengan fokus pada membangun kesadaran untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya pangan lokal secara berkelanjutan.

Masih menggunakan pendekatan lokal untuk memantik diskusi antarpeserta, Dicky Senda membawa konsep “Asam di Mbeliling, ikan di Papagarang, ketemunya di Warloka”. Pasar Warloka yang berlokasi di pesisir Desa Warloka, sekitar 17 km atau 30 menit berkendara ke arah selatan dari Luwansa Beach Resort, Labuan Bajo, merupakan salah satu pasar tertua yang masih menerapkan sistem barter. Setiap hari Selasa, masyarakat pesisir dan pegunungan bertemu dan membawa potensi pangan masing-masing untuk ditukar, misalnya ikan dari masyarakat pesisir ditukar dengan sayur dari masyarakat pegunungan. Jika di Warloka orang-orang bertukar pangan, maka di Simpang Belajar, peserta yang terdiri dari berbagai latar belakang ini dapat bertukar ilmu untuk membayangkan dan mewujudkan sistem pangan perkotaan yang mereka impikan.

Dicky Senda, pegiat pangan lokal dan pendiri komunitas Lakoat Kujawas di Mollo, Timor Tengah Selatan, mengisi materi ruang secara daring/Dokumentasi Simpang Belajar

Kunjungan Lapangan ke Lompong Cama, Maggotnesia, dan Kolektif Videoge

Selepas mengikuti sesi dalam ruangan bersama Dicky Senda, esoknya (12/11/2024) para peserta terbagi menjadi tiga kelompok dan mengadakan kunjungan lapangan ke tempat berbeda, yakni Lompong Cama, Maggotnesia, dan Kolektif Videoge. Di Lompong Cama, peserta mempelajari metode bercocok tanam, cara mengolah hasil kebun menjadi makanan siap santap, serta mengelola sisa bahan pangan menjadi kompos bersama Citra Kader, seorang chef sekaligus pegiat pangan di Labuan Bajo. Citra juga mengajak peserta berdiskusi mengenai pengaruh krisis iklim di daerah pesisir Manggarai Barat terhadap tanaman pangan.

Antusiasme Orang Muda Sukseskan Lokakarya Pangan Lokal Berkelanjutan "Simpang Belajar" di Manggarai Barat
Citra Kader (paling kanan) mendemonstrasikan cara mengolah dan memasak hasil kebun di Lompong Cama kepada para peserta lokakarya Simpang Belajar/Dokumentasi Simpang Belajar

Peserta yang mengunjungi Maggotnesia menggali wawasan tentang pengolahan sampah organik dan budidaya larva maggot untuk mengurai limbah sampah makanan bersama Royen Aquilinus, inisiator Maggotnesia. Harapannya, lewat kunjungan ini peserta dapat memperoleh wawasan tentang manajemen sampah organik yang menjadi alternatif solusi lingkungan yang dapat diterapkan di wilayah masing-masing, khususnya Labuan Bajo yang memproduksi sampah organik dari aktivitas pariwisata.

Sementara itu, peserta yang berkunjung ke Videoge mempelajari praktik pengarsipan pangan bersama Aden Firman, pendiri Kolektif Videoge. Aden berbagi wawasan dan kiat tentang bagaimana Videoge melakukan praktik pengarsipan pangan yang melahirkan sebuah buku berjudul Resep Tetangga: Kumpulan Resep Masakan Warga Pesisir Labuan Bajo. Tidak hanya itu, peserta juga mengikuti aktivitas tur kampung dan tur dapur untuk mengenali potensi dan riwayat kampung setempat, bertemu dengan warga yang beraktivitas di industri pangan rumahan, dan belajar tentang praktik pangan lokal, yakni memasak ikan menggunakan resep suku Bajo dan suku Bugis.

Antusiasme Orang Muda Sukseskan Lokakarya Pangan Lokal Berkelanjutan "Simpang Belajar" di Manggarai Barat
Peserta mengunjungi Maggotnesia untuk belajar pengolahan limbah makanan, terutama sampah organik dan budidaya larva maggot/Dokumentasi Simpang Belajar

Refleksi Kegiatan dan Rencana Sistem Pangan Berkelanjutan

Pada penghujung kegiatan, Dicky Senda mengajak peserta berefleksi dengan cara menggambar porsi makan di atas kertas. Ternyata, sebagian besar peserta menggambar nasi. Dicky Senda lantas menyoroti bagaimana isu kelangkaan pangan lokal itu dipengaruhi oleh banyak hal, di antaranya durasi pengolahan, akses ke pangan lokal yang semakin sulit, perubahan iklim dan zaman, serta adanya inovasi makanan modern.

Selain itu, Dicky juga meminta peserta untuk kembali melihat Lodok Lingko yang dibuat di hari pertama. Tujuannya mencari tahu, apakah ada beberapa perkembangan setelah mengikuti sesi selama empat hari. Dengan bekal tersebut, peserta lantas merancang visi kota yang sudah ada supaya benar-benar terlaksana sesuai slogan “Manggarai Barat: Selaras Alam, Budaya, Manusia”.

Antusiasme Orang Muda Sukseskan Lokakarya Pangan Lokal Berkelanjutan "Simpang Belajar" di Manggarai Barat
Tur kampung dan tur dapur bersama Videoge di Labuan Bajo/Dokumentasi Simpang Belajar

Tutup Kegiatan dengan Kesan Pesan

Pamflet dan Rombak Media menutup rangkaian Simpang Belajar dengan berbagi kesan dengan peserta. Salah satu peserta, Ani, mengungkapkan rasa terima kasih dan semangatnya, “Terima kasih atas fasilitasi selama empat hari. Dari awal mulai, banyak sekali wawasan yang saya peroleh. Saya mempunyai ide membuat program [seputar pangan] baru, dan semoga ini terus berjalan untuk mengingatkan kita bahwa kita punya banyak hal yang bisa dilakukan.”

Dicky Senda selaku fasilitator pun menyampaikan harapannya, “Silakan teman-teman diskusikan lebih lanjut, tidak harus selesai malam ini, mungkin nanti teman-teman akan dapat insight tiba-tiba yang menginspirasi dan bisa menjadi ciri identitas atau nama dari koalisi atau komunitas ini.” Dengan begitu, harapannya koneksi yang terjalin antarpeserta tidak terputus.

Wilsa, selaku perwakilan dari Pamflet, juga berharap para peserta tetap saling terkoneksi. Sehingga wawasan yang didapat dalam kegiatan tersebut pada akhirnya bisa dituangkan dalam bentuk komunitas atau lainnya.

Foto sampul: Peserta lokakarya bersama Citra Kader (dua dari kiri), seorang chef dan pegiat pangan lokal Labuan Bajo menunjukkan masakan siap santap yang bahannya berasal dari hasil kebun Lompong Cama/Dokumentasi Simpang Belajar


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Antusiasme Orang Muda Sukseskan Lokakarya Pangan Lokal Berkelanjutan “Simpang Belajar” di Manggarai Barat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/antusiasme-orang-muda-sukseskan-lokakarya-pangan-lokal-berkelanjutan-simpang-belajar-di-manggarai-barat/feed/ 0 44353
Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan https://telusuri.id/saatnya-orang-muda-manggarai-raya-berdaulat-atas-pangan-berkelanjutan/ https://telusuri.id/saatnya-orang-muda-manggarai-raya-berdaulat-atas-pangan-berkelanjutan/#respond Wed, 03 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42272 Sebagai kelompok etnis paling barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Manggarai memiliki jejak panjang histori dan corak kebudayaan yang menarik. Mulai dari sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal dan tatanan sosial di masa lampau yang pernah...

The post Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai kelompok etnis paling barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Manggarai memiliki jejak panjang histori dan corak kebudayaan yang menarik. Mulai dari sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal dan tatanan sosial di masa lampau yang pernah dikuasai secara bergantian oleh Kesultanan Bima (Sumbawa) dan Kesultanan Gowa (Sulawesi); sampai dengan ritus-ritus adat sebagai bentuk harmoni dengan alam di sekitarnya. Masyarakatnya tersebar di tiga kabupaten yang biasa disebut kawasan Manggarai Raya, yaitu Manggarai Timur, Manggarai, dan Manggarai Barat. 

Tak hanya itu. Sebagai bagian dari budaya, alam dataran rendah Flores yang relatif kering dengan curah hujan rendah, menumbuhkan komoditas-komoditas pangan endemik dan unik. Salah satu yang khas adalah sorgum atau garai. Produk kuliner yang sempat lama melekat sebagai bahan pokok utama di NTT selain jagung.

Namun, gempuran beras dan kenikmatan tepung terigu (seperti digunakan pada adonan mi dan roti) turut berkontribusi pada terpinggirkannya sorgum dari daftar utama makanan pokok. Liputan Tirto (04/10/2023) menyebutkan bahwa banyak generasi muda tidak tahu nama dan bentuk sorgum itu sendiri. Sebab sorgum dan varietas pangan lokal lainnya sudah digeser dari meja makan orang-orang NTT, tak terkecuali di Manggarai Raya. Padahal sorgum jauh lebih bermanfaat dan sehat karena bebas gluten, tetapi terabaikan saat program swasembada beras merebak di masa Orde Baru.

Kini, belakangan mulai tumbuh optimisme dan kepercayaan diri untuk mengangkat kembali aneka pangan lokal yang terlupakan. Satu hal yang menarik, harapan itu muncul dari generasi muda, khususnya di Manggarai Raya. Manggarai Raya, khususnya Manggarai Barat, bukan hanya membicarakan Labuan Bajo dan komodo. Di balik gemerlap polesan destinasi wisata super premium, terdapat gebrakan para orang muda yang peduli pada kehidupan berkelanjutan. Salah satunya dengan upaya melestarikan pangan lokal dengan memanfaatkan komoditas-komoditas yang tumbuh di sekitar rumah. Menyeimbangkan kebutuhan ekonomi sekaligus fungsi ekologis.

Bisnis lestari di Lembah Pesari

Tidak terlalu jauh dari gemerlap destinasi wisata super premium Labuan Bajo, kira-kira berjarak tak lebih dari 20 km, nyala terang kiprah perempuan Flores tergambar pada sosok Elisabet Yana Tararubi (39). Seorang lulusan D3 kebidanan dan pernah bekerja di salah satu klinik di Banyuwangi, Jawa Timur, yang kemudian mengubah haluan hidupnya untuk berdikari di tanahnya sendiri.

Bersama sang suami, perempuan kelahiran Sikka itu mendirikan Sten Lodge Eco Homestay di kampung Melo, Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Manggarai Barat. Di dalamnya, Dapur Tara yang menjadi bagian penginapan ramah lingkungan tersebut menjadi daya tarik lebih bagi pengunjung, baik itu dari kalangan domestik maupun mancanegara. Kedua bidang bangunan itu bersanding dengan kebun berlimpah varietas lokal yang jadi kebanggaan Liz, sapaan akrabnya.

Pernyataan yang disampaikan di akun Instagram pribadinya, saat Najwa Shihab—jurnalis kenamaan—berkunjung ke Dapur Tara belasan minggu yang lalu, menegaskan misi utama Liz dalam melestarikan sumber-sumber pangan lokal yang terlupakan. “Hari ini, [kami] menyediakan apa yang dikasih semesta,” katanya.

Dalam usahanya menjaga keberlanjutan lingkungan di Lembah Pesari, nama lain dari daerah yang ia tempati sekarang, Liz memutuskan untuk menerapkan teknik permakultur tradisional. Keputusan itu lahir dari kesadarannya akan bahaya pertanian dengan pola tanam monokultur yang kurang berkelanjutan. Hasil makanan yang ia olah bukan hanya untuk dirinya dan keluarga, melainkan juga tamu-tamu yang menginap di homestay miliknya

Liz (kiri) dan sudut kebun permakultur di kompleks Dapur Tara dan homestay miliknya (Instagram Dapur Tara Flores)

Menurut Kementerian Pertanian, permakultur merupakan salah satu desain sistem produksi pangan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Lanskap produksi pangan yang dikerjakan meniru keragaman dan ketahanan ekosistem alami yang tumbuh di lingkungan sekitar.  Sistem ini mendasarkan pendekatan desain holistik dengan kepedulian terhadap kesehatan lingkungan. Salah satu penerapan permakultur yang dilakukan Liz adalah menanam berbagai jenis tanaman sesuai fungsinya dalam mendukung ekosistem. Misalnya, rumput untuk meningkatkan sumber air bersih, lalu tanaman kemangi dan serai yang mampu mengurangi populasi hama serangga yang berpotensi merugikan.

Namun, ada satu kendala yang ia hadapi, yaitu belum adanya pasokan listrik di tempat tinggalnya itu sehingga ia tidak bisa memanfaatkan lemari pendingin untuk menyimpan makanan. Sebagai solusi agar kualitas bahan makanan tetap terjaga, Liz aktif mempraktikkan metode pengawetan tradisional, seperti pengasapan dan pengawetan sambal dalam bambu.

Bisnis lestari yang dilakukan Liz memang sekilas tidak “seksi” atau jauh dari kata “modern”. Akan tetapi, ia melakukannya untuk menciptakan kedaulatan pangannya sendiri demi masa depan berkelanjutan. Di tengah maraknya jual beli lahan untuk keuntungan individu dan atas nama pengembangan pariwisata, Liz menitipkan pesan. Ia mengatakan, “Penting sekali untuk tidak menjual tanah yang kita punya, sebab tanah dan hutan adalah sumber makanan dan obat-obatan yang tak ternilai harganya.”

Perenungan berbuah kecap raping

Namanya Angela Ratna Sari Biu. Akrab disapa Angel Biu. Perempuan muda asal Desa Kajong, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai ini adalah seorang lulusan S-1 Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana, Kupang. Namanya mencuat ke publik ketika ia mulai dikenal setelah menemukan kecap raping atau kecap berbahan gula aren beberapa tahun lalu.

Pertemuan Angel Biu dengan kecap raping tidak berlangsung tiba-tiba. Semua bermula pada perenungan Angel Biu terhadap perjalanannya berbisnis pangan selama lima bulan. Penggunaan plastik dalam bahan baku dan kemasan makanan yang dijual membuatnya sadar jika telah berkontribusi pada kerusakan lingkungan. 

Sejak saat itu, Angel Biu mulai mengubah sudut pandang dan pola bisnisnya. Ia berupaya mengolah pangan lokal untuk mengurangi potensi sampah anorganik yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Meskipun awalnya merasa kebingungan, ia menantang dirinya sendiri untuk menciptakan resep-resep baru yang unik dan menarik bagi konsumen.

Pelbagai riset maupun wawancara ke masyarakat lokal dilakoni Angel Biu. Hingga akhirnya ia sampai pada satu simpulan setelah berbicara dengan para petani gula aren. Mereka mengungkapkan masalah yang sering dihadapi, yaitu produksi gula aren berlebih. Angel Biu pun kembali merenung, mengapa tidak mengolah sisa gula aren menjadi sesuatu yang baru? 

Pertanyaan kunci tersebut menghasilkan jawaban-jawaban setelahnya. Angel Biu menemukan bahwa rasa dari gula aren hampir sama dengan kecap, yang manisnya disukai oleh banyak ibu di dapur mereka. Ia juga menyadari pohon aren merupakan varietas lokal yang tumbuh di lingkungan sekitar, sehingga mengolah limbah gula aren menjadi kecap merupakan solusi yang tepat dan berkelanjutan. Pengolahan sisa gula aren menjadi kecap ramah lingkungan itu diberi nama kecap raping. Dalam bahasa Manggarai, “raping” berarti aren.

Angel Biu (kiri) dan produk kecap gula aren cap Raping sebagai salah satu produk unggulan UMKM Hekang Dite (Instagram Angel Biu dan Hekang Dite)

Pada 2021, ia mendirikan UMKM Hekang Dite dan menjadi direktur program untuk memperluas bisnisnya. Tujuan utamanya sesuai nama “hekang” yang tersemat di jenama tersebut, yang dalam bahasa setempat berarti rumah. Angel Biu ingin membawa konsep rumah untuk menjadi tempat yang dekat dan akrab bagi masyarakat lokal.

Tentu saja jalan Angel Biu tak semulus yang dibayangkan. Menurutnya, penerapan lingkungan berkelanjutan di Manggarai Barat masih memiliki banyak tantangan. Meskipun sudah ada banyak advokasi tentang keberlanjutan, implementasinya masih minim. Sebab, banyak yang mengira bahwa keberlanjutan hanya berkaitan dengan isu lingkungan. Padahal konsep berkelanjutan sebenarnya melibatkan semua aspek kehidupan. Belum lagi berbagai macam stereotip, seperti budaya patriarki yang masih menempatkan laki-laki sebagai peran sentral, atau pandangan miring padanya sebagai lulusan universitas yang harusnya bekerja di perusahaan besar.

Namun, tantangan demi tantangan yang dihadapi bukanlah akhir perjalanan. Angel Biu percaya diri untuk terus maju dan tidak takut dengan jalan hidupnya berbisnis pangan lokal yang ramah lingkungan. Sebab baginya, setiap kontribusi, sekecil apa pun itu memiliki nilai yang baik. Ia berpesan kepada semua perempuan di mana pun berada, “Mereka tidak perlu takut untuk bermimpi dan menekuni passion mereka, karena setiap pribadi memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang.”

Setiap orang berhak atas pilihan hidupnya. Semua memiliki kesempatan yang sama untuk setara.

Urun tangan orang muda lewat Urban Futures

Kiprah-kiprah orang muda Manggarai Raya tersebut merupakan secercah harapan bagi pelestarian sumber daya pangan lokal dan lingkungan. Namun, mereka tidak bisa berjalan sendirian. Harus ada urun tangan orang-orang muda lainnya, bahkan lintas generasi, serta sinergi lintas sektor untuk mewujudkan transformasi sistem pangan perkotaan yang lebih berkelanjutan. 

Salah satu langkah progresif untuk mewujudkan itu adalah melalui Urban Futures. Sebuah program global berjangka waktu lima tahun yang dikelola Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis). 

Di Indonesia, Manggarai Barat merupakan kota pertama (disusul Bandung) untuk peluncuran Urban Futures. Acara yang berlangsung pada 24 Januari 2024 di Aula Sekretariat Pemerintah Daerah Manggarai Barat tersebut diresmikan Yayasan Humanis bersama dengan Kementerian PPN/Bappenas, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, dan Koalisi Pangan Bernas yang mencakup Yayasan KEHATI selaku ketua serta Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Yakines sebagai anggota. Tujuan penyelenggaraan program Urban Futures adalah untuk memadukan sistem pangan perkotaan, kesejahteraan generasi muda, dan aksi iklim untuk partisipasi aktif orang muda dalam transformasi pangan yang ramah lingkungan dan inklusif.

Menyambut baik program ini, Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas, Jarot Indarto, Ph.D., mengatakan, “Fokus utama kami hingga tahun 2027 adalah memperkuat aspek pangan lokal, memanfaatkan sumber pangan alternatif seperti yang terdapat di wilayah pesisir, mengurangi pemborosan dan limbah pangan, meningkatkan kandungan gizi melalui biofortifikasi, dan menyediakan data yang dapat menjadi dasar bagi pengambilan keputusan.”

Angel Biu, pendiri UMKM Hekang Dite Manggarai dan pebisnis kecap raping, turut hadir menyampaikan kisah inspiratifnya dalam acara ini. “Orang muda bukan masa lalu dan bukan masa depan, tetapi masa sekarang. Orang muda harus aktif, kreatif, dan inovatif untuk memanfaatkan sumber daya lokal,” tegasnya.

Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan
Petrus Antonius Rasyid dari Bappeda Kabupaten Manggarai Barat (kiri) memberikan cendera mata kepada Marius Bria Nahak, pemilik usaha Kopi Wamor Labuan Bajo/Koalisi Pangan Bernas

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Marius Bria Nahak, orang muda yang mendirikan usaha kopi Manggarai bernama Kopi Wamor Labuan Bajo. Menurutnya, masyarakat lokal Manggarai sendiri juga berhak menikmati kopi berkualitas. Tak melulu hasilnya diekspor ke luar negeri.

Urban Futures memercayai bahwa wirausaha muda, seperti halnya Liz, Angel Biu, dan Marius bukanlah hal baru. Namun, ekosistem yang mewadahi mereka masih minim. Oleh karena itu, Urban Futures ingin merangkul orang muda dan UMKM untuk mencapai kedaulatan pangan yang inklusif dan berkelanjutan.

“Orang muda memiliki identitas dan posisi unik dalam masyarakat, namun ruang-ruang atau ekosistem dalam sistem pangan yang dapat mewadahi aspirasi orang muda masih belum tersedia,” ucap Rebecca, perwakilan dari Pamflet Generasi, salah satu mitra program Urban Futures.

Kedaulatan pangan adalah masa depan. Berdaulat pangan berarti berdaulat atas kehidupan.


Foto sampul: Acara Kick-off Program Urban Futures di Manggarai Barat/Koalisi Pangan Bernas


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/saatnya-orang-muda-manggarai-raya-berdaulat-atas-pangan-berkelanjutan/feed/ 0 42272
Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara https://telusuri.id/pendakian-gunung-ile-boleng-di-pulau-adonara/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-ile-boleng-di-pulau-adonara/#respond Tue, 12 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41340 Kali ini saya akan menceritakan perjalanan liburan beberapa waktu lalu, ketika kami melakukan pendakian ke Puncak Ile Boleng. Ile Boleng atau Ili Boleng merupakan gunung berapi aktif yang berada di tenggara Pulau Adonara, Kabupaten Flores...

The post Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara appeared first on TelusuRI.

]]>
Kali ini saya akan menceritakan perjalanan liburan beberapa waktu lalu, ketika kami melakukan pendakian ke Puncak Ile Boleng. Ile Boleng atau Ili Boleng merupakan gunung berapi aktif yang berada di tenggara Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Gunung dengan ketinggian sekitar 1.659 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini sudah tercatat beberapa kali meletus. 

Perjalanan saya dimulai dari ibu kota kabupaten, yakni Larantuka. Saya berangkat menggunakan kendaraan roda dua ke Pulau Adonara. Untuk menuju Pulau Adonara, saya harus menyeberang menggunakan perahu motor. Penumpang cukup membayar tiket seharga Rp30.000 per orang.

Sesampainya di Pelabuhan Waiwerang, Adonara, saya menuju Desa Nobo untuk beristirahat semalam di sana. Saya menginap di rumah keluarga salah satu teman kenalan. 

Persiapan Pendakian

Keesokan harinya, saya berangkat ke Desa Witihama. Jaraknya sekitar setengah jam perjalanan dari Nobo. Di sana, saya bertemu teman-teman pencinta alam dari Witihama. Kami merencanakan beberapa hal dan persiapan sebelum melakukan pendakian.

Tepat pukul 19.00 WITA, saya bersama teman-teman pendaki berkumpul di balai warga untuk makan malam bersama, Kami juga mempersiapkan bekal pendakian, seperti makanan ringan, air mineral, dan obat-obatan. Perjalanan kali ini adalah pendakian pertama saya, sehingga saya lebih memilih ikut dalam rombongan teman-teman Witihama. Mereka sudah terbiasa dan sering melakukan pendakian ke Puncak Ile Boleng.

Menurut informasi yang saya ketahui, pendakian menuju Puncak dapat ditempuh dari tiga arah, yaitu Kampung Dua Muda (utara—timur laut) Kampung Lamahelan Atas (selatan), dan Kampung Lamabayung (timur). Kami memilih jalur pendakian lewat Kampung Dua atau jalur utara—timur laut.

Lintasan jalur Kampung Dua tersebut tidak terlalu berat dan terjal. Kemiringan lerengnya sekitar 40°—45°, kecuali pada daerah hampir mendekati puncak yang kemiringan lerengnya 50°—55° dengan kondisi trek sangat licin karena tertutup endapan jatuhan piroklastik muda yang tidak padu. Lama perjalanan dari Kampung Dua menuju puncak sekitar lima jam.

Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara
Pemandangan matahari terbit dari Puncak Ile Boleng/Fransiska Maria Tukan

Pendakian Penuh Tantangan Menuju Puncak

Tepat pukul 10 malam, kami bersiap memulai pendakian. Karena ini adalah pendakian pertama saya, jujur rasanya memang cukup sulit dan menantang.

Kami menggunakan senter sebagai penerang jalur malam itu. Ya, dengan alat seadanya, kami selalu diminta untuk saling menjaga teman. Ketika sudah berjalan tiga jam, kami beristirahat sejenak dan menyalakan api untuk menghangatkan diri.

Setelah beristirahat cukup lama, kami melanjutkan perjalanan ke puncak. Pendakian menuju puncak benar-benar menantang. Tanjakan demi tanjakan membuat saya lumayan kelelahan. Saya sangat bersyukur dan terbantu oleh salah satu teman dari Witihama, yang saat itu siaga menjaga saya.

Melakukan pendakian di malam hari sebenarnya sangat membantu. Apalagi bagi pemula seperti saya. Saya memang agak takut dengan ketinggian. Sampai ketika ia melihat saya yang benar-benar kepayahan, tubuh saya pun ditopang olehnya. Akhirnya saya bersemangat lagi melanjutkan langkah menuju puncak.

Tepat pukul 05.00, atau setelah tujuh jam mendaki, kami tiba di Puncak Ile Boleng. Udara pagi itu sangat dingin. Membuat tubuh saya menggigil karena kedinginan. Jaket yang saya kenakan benar-benar tidak membantu. Namun, saya tetap berusaha menikmatinya. Namanya juga petualangan.

  • Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara
  • Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara

Aktivitas di Puncak Ile Boleng

Pemandangan alam yang terlihat dari dataran puncak sungguh luar biasa. Terlebih ketika sinar matahari mulai perlahan menampakkan dirinya dari balik cakrawala.

Kawasan Puncak Ile Boleng masih sangat alami. Dataran puncak yang berumput dan penuh batu tersebut belum tersentuh pembangunan apa pun. Namun, ketika sudah berada di puncak, keselamatan benar-benar dipertaruhkan karena tidak ada pagar pengaman di sekitar bibir kawah. Jika ingin memberanikan diri mengelilingi kawah Ile Boleng, harus didampingi oleh orang-orang yang sudah berpengalaman. Saya saja, bersama beberapa teman dari Larantuka, merasa pendakian ke gunung ini menguji nyali.

Kami beristirahat cukup lama di puncak. Bersama-sama menyantap beberapa bekal roti yang kami bawa. Setelah itu saya memberanikan diri untuk mengambil dokumentasi.

  • Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara
  • Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara

Selain panorama alamnya, yang menarik dari Gunung Ile Boleng adalah keberadaan mata air di area puncaknya. Mata air ini diyakini masyarakat setempat memiliki berbagai macam khasiat. Namun, air tersebut tidak boleh dibawa pulang karena bisa menyebabkan bahaya. Oleh karena itu, setiap pendaki yang datang hanya bisa mengambil air untuk sekadar membersihkan wajah, tangan, dan kaki.

Puas berkeliling, kami pun pulang. Tantangan dalam perjalanan turun tentu berbeda dibandingkan saat naik. Panas matahari terasa lebih menyengat kulit, ditambah kaki kami harus benar-benar kuat dalam menopang beban tubuh. Turunannya begitu curam, sehingga kami harus berhati-hati jika tak ingin jatuh dan tergelincir ke jurang. Kami pun tiba di salah satu pondok perkebunan milik warga sekitar pukul 14.00 WITA.

Siang itu juga, usai menghabiskan perbekalan, saya memutuskan untuk langsung kembali ke Larantuka. Kami berpamitan dengan warga sekitar, dan juga teman-teman dari Witihama yang telah mendampingi pendakian pertama saya ke Ile Boleng.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pendakian Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-ile-boleng-di-pulau-adonara/feed/ 0 41340
Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo https://telusuri.id/santap-sore-dengan-jagung-bose-dan-dabu-dabu-khas-mollo/ https://telusuri.id/santap-sore-dengan-jagung-bose-dan-dabu-dabu-khas-mollo/#respond Tue, 05 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41288 Gembira rasanya melihat poster bertajuk Rupa-Rupa Mollo yang dibagikan di akun Instagram Galeri Lorong. Mungkin karena event tersebut tidak hanya berisi diskusi dan pameran fotografi saja, tetapi diisi pula dengan peluncuran buku, demo memasak makanan...

The post Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo appeared first on TelusuRI.

]]>
Gembira rasanya melihat poster bertajuk Rupa-Rupa Mollo yang dibagikan di akun Instagram Galeri Lorong. Mungkin karena event tersebut tidak hanya berisi diskusi dan pameran fotografi saja, tetapi diisi pula dengan peluncuran buku, demo memasak makanan lokal Mollo hingga agenda makan bersama tertera di sana. 

Maklum, saya memang hobi kulineran. Sayangnya setelah dicermati dengan saksama, jadwal pameran tersebut ternyata berbarengan dengan rentetan agenda yang sudah saya susun jauh-jauh hari. Alhasil saya tidak berjodoh dengan helatan menarik tersebut. Duh!

Di luar dugaan, sebulan kemudian Galeri Lorong kembali mengunggah event serupa bertajuk Em He Tah, yang berarti “Mari Kita Makan”. Acara yang dihelat pada Minggu, 27 Agustus tahun lalu itu digawangi oleh Mbak Steffi. Seorang food science enthusiast yang akun Instagramnya sudah lama saya ikuti. Menariknya, dalam poster tersebut juga disematkan cerita di balik layar terkait pameran sekaligus demo dua resep masakan.

Ceritanya setahun belakangan Mbak Steffi dipercaya untuk mendampingi beberapa guru bimbingan belajar (bimbel) di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan yang difasilitasi oleh Sunshine Project tersebut meliputi pengarsipan tanaman pangan lokal beserta resep-resep olahannya. Beragam tulisan dan foto yang terkumpul nantinya juga akan dibukukan. 

Saat artikel ini saya kirim ke Telusuri, buku yang berjudul Em He Tah tersebut sudah terbit. Kabar baiknya satu eksemplar di antaranya sudah ada di rak buku saya. Bukunya menarik sekali. Pegiat pangan lokal wajib punya! 

Pameran Pangan Lokal dan Demo Memasak

Kembali ke acaranya Mbak Steffi. Selain menawarkan pameran dan acara makan-makan, event dengan tiket masuk sebesar Rp65.000 ini ternyata juga dilengkapi dengan demo meracik dabu-dabu teri dan dabu-dabu alpukat. Sebagai orang yang gemar mencatat makanan dan perjalanan, tentu saya tidak akan melewatkannya begitu saja. Apalagi saya belum berjodoh di event Galeri Lorong sebelumnya. 

Senang rasanya melihat event terkait pangan lokal banyak dihelat di Jogja. Tidak hanya memperluas kesempatan banyak pihak untuk mencicipi potensi pangan dari pelosok Nusantara dengan harga yang lebih terjangkau. Acara seperti ini juga dapat menjadi ajang pelestarian kekayaan pangan lokal kita. Karena hal yang tidak pernah dibicarakan, lambat laun akan hilang dari peradaban. Tidak terkecuali dengan ragam pangan lokal yang ada di sekitar kita.

Saking senangnya melihat acara makan-makan ini, saya sempat mengajak beberapa kawan yang kegemarannya seiring jalan dengan hobi saya untuk mengikuti acara ini. Sayangnya yang bisa ikut cuma satu orang saja, tetapi lumayanlah ada teman yang saya kenal untuk gabung di gelaran Em He Tah ini.

  • Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo
  • Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo

Menikmati Jagung Bose

Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Sayangnya, meski berjarak 2,5 km saja dari rumah, nyatanya saya sempat wara-wiri mencari galeri yang beralamat di Jalan Nitiprayan, Dusun Jeblok RT 01 Dukuh 3, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta tersebut. Meski sudah dibantu Google Maps, saya sempat kebingungan mencari lokasi bangunan berdesain unik itu. 

Terlebih lagi letak Galeri Lorong terbilang cukup menjorok dari jalan utama. Plus tempat parkirnya juga agak masuk ke halaman. Setelah dua kali kebablasan barulah saya menyadari keberadaan galeri tempat pameran Em He Tah ini dihelat. Sesampainya di lantai dua, ternyata sudah banyak peserta yang duduk sembari menikmati berbagai olahan tangan Mbak Steffi. 

Setelah mengantre akhirnya seporsi jagung bose beserta “teman-temannya” sudah berada di pangkuan. Sore itu, lidah saya begitu gembira menyambut tiap sendok jagung bose yang saya nikmati bersama segarnya dabu-dabu teri. Beberapa suap berikutnya, saya selingi pula dengan menyeruput es asam timor. 

Tak lupa pula saya cicipi menu lain yang tersaji di samping bubur jagung khas Timor Tengah Selatan tersebut. Ubi ungu kukus bertekstur menul-menul itu sengaja saya colekkan dulu ke sambal lu’at, sebutan untuk sambal ulek segar yang difermentasi selama beberapa hari. Baru pada suapan selanjutnya, ubi kukus yang masih hangat saya nikmati dengan sedikit dabu-dabu alpukat. Ah, sedap betul.

Mungkin ini yang dinamakan cinta pada kunyahan pertama. Meski rasanya terbilang sederhana, tetapi lidah saya mengingatnya sebagai kudapan yang istimewa. Bahan pangan yang diolah dengan bumbu minimalis ternyata mampu mengeluarkan rasa asli makanan yang nyaman di lidah. Jagung bose yang kali ini dibuat dari campuran jagung putih, jagung pulut, kacang uci, kacang tunggak, labu, dan daun kelor bisa menciptakan rasa manis alami yang ringan dan cukup menyenangkan. 

“Kalau nanti bisa nyediain bahan sendiri, rasanya saya ingin mengulangi moment ini lagi,” batin saya sembari mendengarkan dengan saksama semua proses pembuatan yang tengah diceritakan Mbak Steffi.

Olahan Jagung Serupa di Bantul

Usai semua kudapan beserta segelas es asam timor tandas, saya langsung bergegas untuk bergabung sekaligus turut mengerumuni meja pameran. Saat melihat Mbak Steffi membuat dabu-dabu teri, saya sempat mencicipi teri goreng yang diletakkan di meja panjang berwarna cokelat itu. Ternyata teri dari Timor rasanya enak. 

Selain terlihat bersih, rasanya dominan gurih. Bukan tipikal teri yang diasinkan dengan kadar garam tinggi. Sebagai pencinta sambal teri, lidah saya merasa cocok dengan tipikal teri timor ini. Mencicipi jagung bose mengingatkan saya pada olahan jagung serupa yang masih banyak dijual di sekitar tempat tinggal saya. 

Di Bantul, jagung biasa diolah menjadi grontol. Sebutan untuk jagung pipil rebus yang dibumbui dengan parutan kelapa dan sedikit garam. Seperti halnya mi pentil, grontol biasa dijual di pagi hari. Kudapan ini bisa ditemukan di pasar tradisional maupun berbagai titik yang biasa menjajakan aneka jajanan pasar. 

  • Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo
  • Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo

Sampai saat ini, grontol masih kerap hadir di meja makan rumah. Sayangnya dari awal jumpa, grontol yang saya temui dikemas menggunakan plastik, bukan dedaunan. Lain di Bantul, lain pula di Imogiri. Kalau di kawasan ini, jagung biasa diolah sebagai pengganti atau pelengkap nasi. Orang sana mengenalnya dengan sebutan sego (nasi) jagung. 

Belum lama ini saya malah menemukan nasi jagung yang agak berbeda dari biasanya. Kalau sajian nasi umumnya memiliki tekstur yang pera ataupun tanak, nasi jagung bercita rasa gurih yang saya temui di Pasar Imogiri malah berbentuk padat. Dalam penyajiannya, sego yang dikemas menggunakan daun pisang tersebut dilengkapi dengan sambal terong. Ada yang pernah mencicipinya juga?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Santap Sore dengan Jagung Bose dan Dabu-Dabu Khas Mollo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/santap-sore-dengan-jagung-bose-dan-dabu-dabu-khas-mollo/feed/ 0 41288