nusantarasa Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/nusantarasa/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 05 Dec 2022 01:43:31 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 nusantarasa Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/nusantarasa/ 32 32 135956295 30 Menit di Pameran ‘Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori’ https://telusuri.id/pameran-rijsttafel-cita-rasa-indonesia-dalam-memori/ https://telusuri.id/pameran-rijsttafel-cita-rasa-indonesia-dalam-memori/#respond Fri, 02 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36277 Ketika menjelajahi kawasan Kota Tua Jakarta bersama kawan-kawan Kok Bisa, kami melintasi sebuah spanduk besar bertuliskan Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori, tepat di depan Museum Kesejarahan Jakarta atau yang terkenal dengan nama Museum Fatahillah....

The post 30 Menit di Pameran ‘Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori’ appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika menjelajahi kawasan Kota Tua Jakarta bersama kawan-kawan Kok Bisa, kami melintasi sebuah spanduk besar bertuliskan Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori, tepat di depan Museum Kesejarahan Jakarta atau yang terkenal dengan nama Museum Fatahillah. Pameran ini sejenak mengingatkan saya pada sebuah buku bersampul hijau karangan Fadly Rahman, Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, yang saya dapatkan beberapa hari sebelumnya. Kami semua bersepakat untuk masuk ke dalam untuk melihat pameran yang sedang berlangsung.

Sebelum masuk, saya membaca sedikit gambaran pameran ini melalui tulisan yang tertera di spanduk. “Di atas meja rijsttafel, makan lebih dari sekedar konsumsi, kenyang, dan senang. Rijsttafel adalah ekspresi kultural: perlambanan kegigihan adaptasi, kekayaan rempah yang menguatkan cita rasa lokal, atau bahkan kenang-kenangan tak terlupakan dari tanah Hindia.” Tulisan tersebut memberi gambaran bahwa perpaduan budaya Eropa dan Nusantara di meja makan adalah sesuatu yang perlu dirayakan ketimbang sekedar mengenyangkan.

Spanduk Rijsttafel
Spanduk Rijsttafel yang terpampang di depan Museum Sejarah Jakarta/Mauren Fitri

Masuk ke dalam museum, kami melihat tatanan apik narasi-narasi yang merajut kisah dari sebuah rijsttafel. Narasi pertama berjudul “Memori Bangsa dalam Sejarah” yang merupakan ajakan menelusuri masa lalu melalui makanan dan menyatakan salah satu maksud dari pameran ini adalah menyemarakkan Hari Museum Indonesia di tahun 2022. 

Tata pamernya menjelaskan bagaimana pameran disajikan: bak buku menu  kala berada di restoran masa kolonial yang diapit oleh mangkuk porselen berwarna biru. Tak cuma menyoal narasi panjang, kita juga diperlihatkan langsung bagaimana tatanan meja makan serta kursi yang mengelilinginya. Dekorasi meja makan ala kolonial itu sukses membuat saya berandai-andai jadi pelancong Eropa abad ke-19 yang dijamu dengan sajian rijsttafel

Ong Hok Ham dalam Hindia yang dibekukan: ‘Mooi Indie’ dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial, menuliskan bahwa mengkonsumsi makanan dengan beragam lauk dan sayuran tidaklah umum bagi orang Belanda kalangan biasa, umumnya hidangan dengan banyak lauk dan sayur disajikan kepada bangsawan atau pejabat. Rijsttafel pun sebelum disajikan secara umum, adalah sajian rumah tangga yang biasa dihidangkan di hari Minggu (Soekiman, 2011). Barulah, pada 1870-an rijsttafel disajikan di hotel untuk pertama kali, khususnya hotel yang dikelola oleh keluarga (Sunjayadi, 2019).

Apa komentar para pelancong Eropa yang kala itu menyicipi rijsttafel di Hindia Belanda?  Salah satu  nukilan dari William Basil Worsfold dari Inggris yang telah diterjemahkan Sunjayadi ke dalam bahasa Indonesia, “Gaya memasak di Hindia Belanda berbeda dengan di India Inggris, dan memiliki satu kekhasan—sajian meja, nasi, yang nanti dijelaskan; dan tentu saja ada perbedaan kecil, tergantung pada kondisi tempat dan masyarakat.”

Augusta de Wit dari Belanda yang menyicipi sambal pertama kalinya di hidangan rijsttafel menyatakan rasa pedas yang ia dapat sebagai rasa terbakar yang tak tertahankan di bibir dan kerongkongan. Sedangkan Emily Richings menyebut hidangan ini sebagai “teror” dan hidangan melimpah yang membingungkan (Sunjayadi, 2019).

  • Alur Pameran
  • Rijstaffel
  • lukisan
  • Meja rijsttafel

Saya berkeliling sembari membaca urutan narasi satu per satu. Yang menarik mata saya untuk terpaku lebih lama adalah busana yang dikenakan para pelayan untuk menjamu tamu yang akan menikmati rijsttafel. Ada dua buah baju ala Eropa berwarna putih dan dua helai kain batik yang juga berwarna putih yang dipajang, beserta foto-foto gedung dan sajian yang tertata di meja makan. Pada penjelasannya tertulis juga bahwa pelayan harus berdiri berjajar dan harus siap dalam menyajikan makanan, atau apapun kebutuhan para penyantapnya. Mereka umumnya berasal dari kuli di perkebunan sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kemudian dilatih sebagai pelayan.

Ada juga tenong: perkakas tradisional sejenis bakul yang terbuat dari anyaman bambu, berbentuk bulat, memiliki penutup, dan biasa digunakan sebagai tempat mengangkut kue basah. Saya memotret tenong yang teronggok di atas meja dari berbagai sudut. Untuk tutupnya, mengingatkan saya akan bentuk topi caping, yang hiasan tutupnya mirip topi vampir ala film Hongkong.

Pada sebuah panel, ada sorotan mengenai rijsttafel yang mulai memudar seiring masuknya masa penjajahan Jepang dan kemerdekaan. Ada anggapan bahwa rijsttafel adalah warisan budaya penjajah, namun konsep ini sejatinya masih melekat hingga kini di restoran-restoran Padang, dan juga salah satunya di Restoran Tugu Kunstkring Paleis, yang masih menyajikan makanan rijsttafel ala Betawi. 

Busana Pelayan Rijsttafel
Seperti inilah busana para pelayan rijsttafel di masa lalu/Mauren Fitri

Kilau cahaya lampu membuat saya sedikit pusing membaca teks-teks yang berseliweran di depan mata. Meskipun ruangannya tidak terlalu besar, tapi atmosfer rijsttafel berhasil dihadirkan dalam bentuk yang sederhana, narasi-narasi yang panjang memang mendeskripsikan dengan detail keterangan rijsttafel dan perjalanannya di Nusantara. Namun sayang, teks-teks yang ditampilkan terlalu text book sehingga ada beberapa narasi yang rasanya terlalu berat karena panjang. Ada kode QR yang tersedia yang bisa dipindai apabila kita menginginkan informasi lanjutan.

“Ayo lanjut ke museum!” ajak Faqih yang sudah menunggu di luar saat saya asyik menikmati sajian rijsttafel  dalam tenda berwarna putih di tengah-tengah Museum Fatahilah siang itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 30 Menit di Pameran ‘Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori’ appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pameran-rijsttafel-cita-rasa-indonesia-dalam-memori/feed/ 0 36277
Mencicip Es Cincau di Taman Asmaul Husna https://telusuri.id/mencicip-es-cincau-di-taman-asmaul-husna/ https://telusuri.id/mencicip-es-cincau-di-taman-asmaul-husna/#respond Sat, 09 Jul 2022 02:47:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34493 Sengatan sinar mentari yang sedang panas-panasnya membuat sejumlah pengendara sepeda motor dan mobil menepikan kendaraannya saat melintas di depan Taman Asmaul Husna, Cianjur, Rabu (1/6/2022) siang. Mereka kemudian memilih beristirahat di lapak para penjual cincau...

The post Mencicip Es Cincau di Taman Asmaul Husna appeared first on TelusuRI.

]]>
Sengatan sinar mentari yang sedang panas-panasnya membuat sejumlah pengendara sepeda motor dan mobil menepikan kendaraannya saat melintas di depan Taman Asmaul Husna, Cianjur, Rabu (1/6/2022) siang. Mereka kemudian memilih beristirahat di lapak para penjual cincau yang berjualan di sekitar Taman Asmaul Husna.

Cincau tampaknya telah identik atau menjadi trademark Taman Asmaul Husna. Di kawasan ini, berjejer puluhan penjual cincau, yang menggelar dagangannya menghadap langsung ke Jalan Raya Bandung-Cianjur. 

Penjual cincau
Penjual cincau/Djoko Subinarto

Siang itu, aku sedang berada dalam perjalanan dari Puncak, Cianjur, menuju Padalarang, Bandung Barat, dan memutuskan berhenti sejenak di Taman Asmaul Husna. Aku kemudian mendekati salah satu lapak penjual cincau yang ada di situ. Penjualnya seorang ibu berkerudung. Ia tengah menyiapkan pesanan cincau untuk lima orang yang baru saja turun dari sebuah mobil. Kelima penumpang itu lantas duduk lesehan di atas tikar di dalam lapak, menunggu pesanan cincau mereka dihidangkan.

Lapak penjual cincau
Lapak penjual cincau/Djoko Subinarto

Di seberang lapak itu, beberapa mobil dan sepeda motor terparkir. Pengendara dan penumpangnya juga duduk-duduk lesehan di dalam lapak-lapak penjual cincau. Begitu kelar membuatkan pesanan cincau untuk para penumpang mobil, aku segera minta pada ibu penjual cincau itu untuk membuatkan satu gelas buatku.

“Mau pakai es atau tidak?” tanyanya.

Kujawab, “Pakai. Tapi, sedikit.”

Aku duduk di dekatnya. Tak begitu lama, ia menyodorkan cincau pesananku. Namun, tidak langsung aku nikmati. Cincau itu aku taruh di atas tikar. Kubiarkan beberapa saat agar esnya lebih mencair serta air gulanya lebih meresap dan merata.

Ibu penjual cincau itu mengaku bahwa cincau buatannya sama sekali tanpa pengawet. “Karena tanpa pengawet, jadi terbatas kekenyalannya. Tidak bisa lama sampai berhari-hari. Paling bertahan sekitar 12 jam. Setelah itu, bakal encer lagi. Berubah jadi air,“ jelasnya, seraya menambahkan bahwa jika cincau tidak laku, dan telah lewat dari 12 jam, maka ia langsung membuang cincau itu.

Ibu itu berjualan cincau selama 24 jam nonstop. Ia bergiliran dengan suami dan salah seorang anaknya menunggui dagangannya. Si ibu hanya bertugas dari pukul 12.00 hingga sekitar pukul 20.00.

“Tadi, pagi-pagi, anak saya yang nunggu lapak.”

Ia membuat cincau sebanyak dua kali, pagi dan petang. ”Untuk jualan yang siang, bikinnya pagi hari. Untuk jualan yang malam, bikinnya sore hari, ” paparnya.

Daun cincau
Daun cincau/Djoko Subinarto

Daun cincau

Cincau yang biasa dikonsumsi dalam wujud gel atau agar-agar dari pengolahan daun cincau. Untuk membuat gel cincau, daun cincau perlu diblender kasar atau diremas-remas dalam air matang, sebelum kemudian ditiriskan hingga mengental.  

Secara umum, terdapat dua jenis tanaman cincau. Jenis pertama adalah cincau hitam (Platostoma palustre). Adapun jenis kedua yaitu cincau hijau (Cyclea barbata).  

Menurut ibu penjual cincau yang aku ajak berbincang siang itu, untuk membuat 20 gelas cincau dibutuhkan sekurangnya satu kilogram daun cincau. Daun-daun cincau itu ia dapatkan dari pemasok.

”Harganya Rp15.000 per kilo. Tapi, kalau pas musim kemarau, harganya naik jadi Rp25.000 per kilo,” sebutnya.

Ibu itu memilih membeli daun-daun cincau dari pemasok karena ia tak memiliki lahan untuk menanam pohon cincau. Ia telah dua belas tahun berjualan cincau di Taman Asmaul Husna.

“Sebelumnya mah berjualan di rumah,” katanya.

Selain cincau, di lapaknya, ia juga menyediakan minuman dan makanan ringan. Ada air mineral kemasan, teh botol, kopi saset, dan beberapa minuman kemasan lainnya, kacang atom, chiki ball, juga pop mie. Sementara itu, di sejumlah lapak lain, di samping cincau, aku juga melihat ada mie bakso dijajakan.

Kehadiran para penjual cincau membuat kawasan Taman Asmaul Husna tak pernah sepi. Para pengendara yang melaju dari Bandung menuju Cianjur, atau sebaliknya dari Cianjur menuju Bandung, kerap memanfaatkan lapak para penjual cincau ini untuk sekadar rehat, sambil tentu saja membasahi kerongkongan dengan cincau yang disajikan dengan parutan es plus cairan gula aren.

Taman Asmaul Husna sendiri membentang sekitar satu kilometer dan berada persis di kedua sisi Jalan Raya Bandung-Cianjur, tak jauh dari Jembatan Citarum, Rajamandala. Di taman ini, terdapat 14 panel tulisan kaligrafi, yang menghiasi dua sisi jalan. Taman Asmaul Husna disebut-sebut sebagai satu-satunya taman kaligrafi terbesar di Jawa Barat, bahkan di Indonesia. 

Kendaran di depan lapak cincau
Kendaran di depan lapak cincau/Djoko Subinarto

Tahun 2018 lalu, saat persiapan dan penyelenggaraan Asian Games, Pemkab Cianjur sempat melarang para penjual cincau berjualan di Taman Asmaul Husna. Tapi, kemudian, pada tahun 2019, mereka diperbolehkan kembali berjualan di taman ini.

“Dulu, memang sempat dilarang berjualan,” kata ibu penjual cincau, sambil membuatkan pesanan secangkir kopi instan untuk salah seorang pengendara sepeda motor. 

“Tapi, ke depannya mau dilarang lagi berjualan di sini. Denger-denger disuruh pindah nanti ke dalam rest area Haurwangi. Kalau saya sih, ngikutin apa kata pemerintah aja. Yang penting bisa tetep berjualan,” harapnya. 

Mentari mulai agak condong ke sisi barat. Sinarnya sudah tidak terlalu terik.

“Berapa, Bu?” tanyaku memastikan harga segelas cincau pesananku yang telah tandas kulahap.

“Lima ribu,” jawabnya.

Kusodorkan uang kertas lima ribuan, sembari mengucapkan terima kasih.

Dan aku segera melanjutkan perjalanan menuju Padalarang, Bandung Barat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencicip Es Cincau di Taman Asmaul Husna appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mencicip-es-cincau-di-taman-asmaul-husna/feed/ 0 34493
Kuliner Khas Malang yang Legendaris https://telusuri.id/kuliner-khas-malang-yang-legendaris/ https://telusuri.id/kuliner-khas-malang-yang-legendaris/#respond Mon, 26 Jul 2021 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29025 Malang biasanya sebagai daerah singgahan wisatawan saat ingin berlibur ke Semeru atau Bromo. Tak heran jika waktu libur tiba, Malang selalu padat pengunjung bahkan hingga ke daerah pinggirannya. Selain tempat wisatanya, di daerah ini juga...

The post Kuliner Khas Malang yang Legendaris appeared first on TelusuRI.

]]>
Malang biasanya sebagai daerah singgahan wisatawan saat ingin berlibur ke Semeru atau Bromo. Tak heran jika waktu libur tiba, Malang selalu padat pengunjung bahkan hingga ke daerah pinggirannya. Selain tempat wisatanya, di daerah ini juga terdapat banyak kuliner yang sayang untuk dilewatkan. Beberapa diantaranya hanya bisa ditemukan di Malang saja lho!

Di bawah ini ada beberapa rekomendasi kuliner legendaris yang ada di Malang, penasaran? Yuk cari tahu apa saja menu yang bisa muat ke dalam perutmu!

Pos Ketan Legenda

Pos Ketan Legenda
Pos Ketan Legenda Flickr/Fachri Reza

Kalau kamu ke Malang pastikan untuk mampir ke Pos Ketan Legenda yang ada di dekat Alun-Alun Batu Malang. Kuliner satu ini memang sudah melegenda dan banyak wisatawan yang mampir untuk mencicipinya. 

Pos Ketan Legenda menyajikan olahan nasi ketan yang dicampur dengan banyak toping seperti coklat, keju, original, sampai durian. Jangan heran jika harus mengantre lama untuk mendapatkan tempat dan makanannya, ya!

Soto Ayam Lombok

Soto Ayam Mbok Lombok
Soto Ayam Mbok Lombok via Flickr/Kwong Weng Yong

Dinamakan Soto Ayam Lombok karena berasal dari daerah bernama Lombok. Warung ini pertama kali buka pada tahun 1955 dan sekarang sudah memiliki banyak cabang tersebar di Kota Malang. 

Dalam semangkuk soto terdapat suwiran daging sapi atau ayam, telur, taoge, dan siraman kuah soto yang kental akan bumbu rempahnya. Soto ini lebih cocok dinikmati saat pagi hari dan malam hari dikala suhu di Malang sedang dingin-dinginnya. 

Ronde Titoni

Ronde Titoni via Instagram urukyu
Ronde Titoni via Instagram urukyu

Saat malam hari tiba maka kuliner yang wajib diburu di Malang adalah Ronde Titoni. Wedang ronde adalah minuman tradisional yang terbuat dari kuah jahe dengan ronde berbentuk bulat dan tambahan kacang panggang di dalamnya. 

Rasa hangat dari kuah jahenya dan dua buah ronde akan cocok sebagai hidangan penutup malam di Malang. Kedai ini sudah ada sejak 73 tahun lalu tepatnya di tahun 1948 dan masih tetap menjadi idaman wisatawan yang datang ke Malang.

Sego Resek

Sesuai namanya, Sego Resek atau dalam Bahasa Indonesia berarti nasi sampah memiliki tampilan yang acak-acakan. Walau tampilannya tak beraturan justru membuat Sego Resek ini makin diminati.

Sebetulnya, sego resek ini adalah nasi goreng yang di masak menggunakan arang sehingga cita rasanya sangat khas. Racikan bumbu rempah-rempahnya cukup kuat dengan aneka toping seperti telur, suwiran ayam, potongan timun, dan aneka lauk memang sangat menggoda. 

Lokasi warungnya ada di Jalan Brigjend Katamso, Kauman, Klojen, Malang yang tak jauh dari Alun-Alun Kota Malang. 

Depot Rawon Nguling

Rawon Ngguling via Flickr Aulia Halimatussadiah
Rawon Ngguling via Flickr/Aulia Halimatussadiah

Jika kamu sedang liburan singkat di Malang, setidaknya mampirlah ke Depot Rawon Nguling. Tempatnya memang sudah ada sejak tahun 1942 dan selalu ramai hingga sekarang. Ada dua menu rawon yang bisa dipesan yaitu rawon dhengkul dan rawon biasa.

Sajian rawon dengan kuah yang kental serta daging yang empuk sangat cocok dinikmati bersama seporsi nasi hangat. Ukuran porsi rawon di sini cukup besar, jadi bisa buat dua orang jika makanmu tidak terlalu banyak. Kamu bisa datang ke Jalan Zainul Arifin No. 62, Klojen, Malang. Warung makannya buka dari jam 7 pagi hingga jam setengah 4 sore. 

Tahu Lontong Lonceng

Ditengah kemajuan cita rasa yang terus berkembang, tahu lontong Lonceng masih tetap mempertahankan cita rasanya. Lontong yang dicampur dengan irisan tahu, taoge, seledri, dan siraman saus kacang yang pedas bisa mengisi perutmu sampai puas.

Tempatnya memang tidak terlalu besar sehingga saat jam istirahat kantor pasti akan berdesak-desakan dengan pengunjung lain. 

Untuk menuju ke warungnya, kamu bisa mengarahkan kendaraan ke Jalan Martadinata No. 66, Kota Malang. Lokasinya dekat dengan Klenteng Eng Ang Kiong di Kawasan Pasar Besar. 

Rawon Brintik

Rawon Brintik
Rawon Brintik via Flickr/Fredy Sadikun Halim

Sepiring nasi hangat dengan sajian daging sapi yang empuk khas Rawon Brintik pasti bisa membuat hari-harimu menyenangkan. Kuah rawonnya yang kaya akan rempah-rempah ditambah dengan taoge sangat cocok disantap bersama udara dingin di Kota Malang.

Rawon Brintik termasuk kuliner legendaris di Malang karena sudah ada sejak 1942. Sampai sekarang dijalankan oleh generasi keempatnya dan tetap menjaga resep aslinya.

Seporsi rawon Brintik ini bisa kamu dapatkan di Jalan KH Ahmad Dahlan No. 39, Sukoharjo, Klojen, Malang. 

Toko Oen

Toko Oen Malang
Toko Oen via Flickr/Gert-Jan Wiarda

Suasana jadul memang cocok disematkan ketika kamu masuk pertama kali ke Toko Oen. Bangunannya terlihat tua dan dekorasi seadanya ala tempo dulu memang menjadi ciri khas warung makan ini. Pertama kali, Toko Oen buka pada tahun 1930 dan masih bertahan hingga sekarang.

Menu yang paling rekomendasi di tempat ini adalah aneka es krim jadulnya dan kue-kue homemade-nya. Kamu bisa datang langsung ke Jalan Jenderal Basuki Rahmat No. 5, Kauman, Klojen, Kota Malang untuk bisa menikmati kuliner yang ada di sini. 

Es Tawon Kidul

Walau memiliki nama yang unik, Es Tawon Kidul bukan menu yang di dalamnya terdapat tawon atau lebah beneran. Dinamakan Es Tawon Kidul karena dulunya berjualan di bawah pohon asam yang ada sarang tawonnya. 

Menu yang ada di warung ini hanyalah es campur saja dengan aneka isian di dalamnya. Segelas Es Tawon terdapat cincau, cendol, kacang hijau, blewah, sirup, tape, dan mutiara. Sajian ini memang lebih cocok dinikmati saat siang hari karena lebih memuaskan dahaga.

Puthu Lanang

Es Putu Lanang
Es Puthu Lanang via Flickr/toeanrio1

Jika kamu penasaran dengan rasa jajanan pasar tradisional maka datang saja ke Puthu Lanang. Di tempat ini kamu akan menemukan kue dan camilan jadul seperti klepon, cenil, kue putu, lupis, dan masih banyak lagi.

Sajian kuliner ini memang sudah jarang ditemukan karena keberadaannya sudah tergeser dengan cita rasa modern. Untuk itu jika kamu sedang berada di Malang, tak ada salahnya untuk mampir ke tempat ini, ya!

Lokasinya ada di Jalan Jaksa Agung Suprapto, Gang Buntu, Klojen, Malang. Harga seporsinya sangat murah, yaitu dari Rp5 ribuan sampai Rp10 ribuan.

Sate Gebug 1920

Rekomendasi kuliner Malang terakhir adalah Sate Gebug yang beralamat di Jalan basuki Rachmat No. 113A, Kota Malang. Sepintas jika dilihat dari luar tidak akan tampak jika warung ini ternyata berjualan sate. Sate Gebug memiliki bangunan bernuansa zaman Belanda dan tidak terlalu diubah sejak pertama kali menempatinya. Didirikan sejak tahun 1920 dan sekarang berjalan sampai generasi ketiganya tetap mempertahankan cita rasa yang asli. 

Selain sate gebuk ada juga menu lain yang wajib dicoba yaitu sop, soto, dan rawon yang semuanya juga berbahan daging sapi. Daging sapi yang dipilih sangat berkualitas sampai-sampai jika pengelolanya tidak mendapatkan daging yang berkualitas maka lebih memilih untuk menutup warungnya. 

Tak ada salahnya untuk menyisakan dua hari saja saat berlibur ke Malang untuk berburu kulinernya. Dijamin perut bakalan kenyang dan puas mencicipi berbagai kuliner yang khas di Malang. 

Selain kuliner di atas, kamu juga bisa berburu sendiri ke setiap sudut jalanannya. Tentu saja karena masih banyak kuliner yang lezat lain tapi belum banyak dipublikasikan oleh media. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kuliner Khas Malang yang Legendaris appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kuliner-khas-malang-yang-legendaris/feed/ 0 29025