pacitan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pacitan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 17 Mar 2025 09:35:58 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pacitan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pacitan/ 32 32 135956295 Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang https://telusuri.id/museum-song-terus-pacitan-tempat-pulang-ke-nenek-moyang/ https://telusuri.id/museum-song-terus-pacitan-tempat-pulang-ke-nenek-moyang/#respond Wed, 08 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41849 Museum tidak sekadar tempat untuk membaca informasi atau melihat galeri. Lebih dari itu, seperti di Museum Song Terus, kita akan berziarah dan bercermin pada garis takdir di masa lalu. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Rifqy Faiza...

The post Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang appeared first on TelusuRI.

]]>
Museum tidak sekadar tempat untuk membaca informasi atau melihat galeri. Lebih dari itu, seperti di Museum Song Terus, kita akan berziarah dan bercermin pada garis takdir di masa lalu.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Rifqy Faiza Rahman dan Muhammad Najih Fasya


Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
Tampak depan Museum Song Terus Pacitan/Rifqy Faiza Rahman

Rasa takjub menyelimuti ketika baru tiba di depan pagar Museum Song Terus Pacitan. Bangunan utama nan futuristik dan serba cokelat, dengan patung ikon DNA di bagian depan sebagai simbol keragaman manusia yang pernah tinggal di kawasan Gunung Sewu, tampak kontras dengan lingkungan di sekitarnya, tetapi sejatinya selaras terhadap perkampungan, bukit-bukit kapur, dan hijaunya pohon kelapa. Letaknya hanya sekitar 350 meter dari situs dan objek wisata Gua Tabuhan yang lebih dulu populer. Dari pusat kota Pacitan, perlu waktu berkendara paling cepat setengah jam untuk jarak tempuh 23 kilometer ke Desa Wareng, Kecamatan Punung, tempat museum ini berada.

Meskipun akhir pekan, saat saya dan keluarga datang (6/4/2024), tidak ada satu pun pengunjung lainnya. Karena masih dalam masa soft launching sejak 12 Oktober 2022, kunjungan wisata ke museum belum dipungut biaya alias gratis. Saya hanya diarahkan mengisi buku tamu di meja resepsionis. Usai menulis data diri yang mewakili rombongan keluarga, saya meminta seorang petugas museum untuk memandu kami berkeliling museum.

Permintaan saya direspons cepat. Seorang pria tambun dengan seragam lapangan berbahan ripstop warna khaki muncul dari balik ruang resepsionis. Ia dengan cekatan memasang mikrofon bando di atas kepalanya lalu menyambut kami dan memperkenalkan dirinya. Namanya Janu, asisten humas dan pemasaran museum yang asli orang Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Ia merupakan pegawai resmi di bawah naungan UPT Museum dan Cagar Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI. 

Langkah awal kami dimulai dengan mendatangi ruang audio visual atau bioskop mini yang berada satu lantai dengan lobi. Letaknya di belakang resepsionis. Seorang petugas perempuan menyambut ramah dan membantu melakukan tap in pada mesin pembaca kartu (ke depannya setelah berbayar akan ada karcis berkode batang atau barcode khusus) untuk kami masuk satu per satu.

Di bioskop mini yang nyaman dan bisa menampung puluhan orang itu, pengelola memutar video edukasi seputar Museum Song Terus dan literasi prasejarah yang disajikan Pusat Arkeologi Nasional. Durasinya cukup singkat, kira-kira kurang dari 10 menit. Detik itu juga, saya kian merasakan kebanggaan dan keharuan luar biasa sebagai putra asli Pacitan. Kabupaten kecil yang dikepung perbukitan dan laut selatan, yang ternyata mempertemukan jejak dua ras besar manusia ribuan tahun lampau, yaitu Australomelanesoid dan Mongoloid. 

  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang

Enam zona galeri dan hikayat Kali Baksoka

Museum yang berdiri di lahan seluas dua hektare tersebut tidak hanya bercerita tentang Song Terus itu sendiri, maupun jejak-jejak prasejarah lain yang ada di Pacitan. Membahas Song Terus berarti berbicara pula tentang ekosistem alam karst dan kehidupan prasejarah yang ada di sepanjang kawasan Pegunungan Sewu atau Gunung Sewu.

Sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 3045 K/40/MEM/2014 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu, gugusan batuan kapur yang terangkat dari dasar laut ribuan tahun silam itu membentang seluas 1.100,17 km2 di empat kabupaten dalam tiga provinsi. Mulai dari Bantul (20,70 km2) dan Gunungkidul (757,13 km2) di Daerah Istimewa Yogyakarta, Wonogiri (162,80 km2) di Jawa Tengah, serta Pacitan (159,54 km2) di Jawa Timur. Sejak 2015 (sampai sekarang), area berisi 40 ribuan bukit karst tersebut ditetapkan sebagai Geopark Global oleh UNESCO.

Keberadaan Museum Song Terus justru ikut melengkapi Museum Karst Indonesia di Wonogiri yang sudah berdiri terlebih dahulu pada 2009. Jarak kedua museum hanya 28,5 kilometer atau kurang dari satu jam perjalanan dengan motor maupun mobil. Kini, selain pantai atau gua, warga asli Pacitan atau pelancong yang berkunjung ke Pacitan memiliki destinasi alternatif terbaik dan memberi pelajaran berkesan dengan kehadiran museum yang dibangun pada 2016–2020 tersebut. PT Urbane Indonesia yang didirikan Ridwan Kamil adalah pemenang sayembara desain dan merancang arsitektur museum seperti bisa kita lihat sekarang. Menurut Janu, sejumlah seniman gabungan asal Bali turut memberi sentuhan penting pada tata letak dan bagian interior.

Terdapat enam zona galeri di dalam Museum Song Terus. Zona 1: Introduksi memuat informasi umum terkait Museum Song Terus dan kawasan karst Gunung Sewu. Di sini dijelaskan peran umum museum sebagai salah satu tempat interpretasi kehidupan prasejarah, ceruk alam, dan kondisi aliran sungai bawah tanah Gunung Sewu. Zona 2: Lingkungan Alam Gunung Sewu menyajikan informasi tentang proses alam pembentukan bukit-bukit kerucut karst Gunung Sewu, serta keanekaragaman hayati yang telah ada sejak lama sampai akhirnya mulai dihuni manusia.

  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang

Mencuatnya Pacitan sebagai salah satu pusat riset kehidupan prasejarah yang sudah diperhitungkan dunia, kemungkinan berawal dari temuan situs eponym Kali Baksoka sejak abad ke-19. Sungai sepanjang 23 kilometer dan lebar sekitar 50 meter tersebut berhulu di Gunung Batok. Ada empat bagian dengan nama berbeda yang mengisi jalur sungai, yaitu Kali Baksoka di blok hulu dan tengah, kemudian Kali Kladen, Kali Sambi, dan Kali Maron di blok hilir yang bermuara di Pantai Ngiroboyo, Desa Sendang, Donorojo. Pantai selatan yang berjarak 20 km dari Song Terus atau 30 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Pacitan. Menurut Suprapta (2018), situs Kali Baksoka merepresentasikan aspek kehidupan sosial ekonomi manusia praaksara pada fase perkembangan teknologi paleolitik, dengan tingkatan kehidupan Masa Berburu dan Mengumpul Makanan Tingkat Sederhana.

Dalam ekspedisi G. H. R. von Koenigswald dan M. W. F. Tweedie pada 1935, dua kurator Museum Raffles (kini Museum Nasional Singapura) tersebut menemukan kekayaan peninggalan artefak paleolitik di dasar dan teras sungai. Bukti eksistensi Pacitanian, produk kebudayaan purba semasa Paleolitikum. Keduanya menemukan sedikitnya 3.000 buah alat-alat batu, di antaranya kapak genggam (hand axe). Sebuah kabar yang menggebrak dunia, bahkan lekat dalam ingatan para sesepuh Punung saat itu, karena von Koenigswald berinisiatif merayakan hasil temuannya dengan menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit selama tujuh hari tujuh malam.

Berselang setahun berikutnya, von Koenigswald memublikasikan penemuannya bersama Tweedie dengan artikel ilmiah berjudul Early Palaeolithic stone implements from Java, yang dimuat dalam buletin jurnal Raffles Museum No. 1 (hal. 52–62). Kelak, temuan legendaris ini menginspirasi peneliti-peneliti tingkat nasional dan dunia untuk berkunjung ke Pacitan. Khususnya peneliti kebumian, yang berusaha menguak bagian berundak dan teras Kali Baksoka itu sendiri.

Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
Potret dan informasi yang menggambarkan pertemuan dua ras manusia modern di kawasan Gunung Sewu wilayah Pacitan/Rifqy Faiza Rahman

Bergeser ke Zona 3: Perjalanan Kehidupan Manusia Prasejarah Gunung Sewu, kami diceritakan kehidupan yang berlangsung di Gunung Sewu dari masa paling tua sampai paling muda di era prasejarah. Termasuk pertemuan dua ras manusia modern terbesar, yaitu Australomelanesoid dan Mongoloid, hingga bagaimana kemampuan mereka bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya serta menghasilkan corak kebudayaan yang beragam.

Lalu pada Zona 4: Capaian Peradaban Manusia Prasejarah Gunung Sewu menampilkan ragam produk budaya manusia penghuni Gunung Sewu. Mulai dari alat-alat batu, seperti calon-calon beliung (perkakas serupa mata kapak untuk memotong kayu dan bercocok tanam), serpih (limbah batu untuk menguliti, memotong, dan mengiris binatang buruan), bahan baku alat baik dari batu-batuan atau artefak kerang, perhiasan, dan sistem penguburan yang pernah eksis di kawasan karst tersebut. Adapun Zona 5: Gunung Sewu Masa Sekarang memperlihatkan kepada kami koleksi-koleksi tradisi prasejarah yang diadaptasi dan berlangsung hingga saat ini. Sebut saja alat-alat pandai besi, seperti ububan (sejenis alat pengembus api pada tungku), palu, sapit, gantol, dan tatakan. Pun alat-alat dapur, seperti kendi, kendil, tungku, lemper, alu, lumbu, teko, kuali, dan gentong.

Terakhir di Zona 6: Kesimpulan, merupakan galeri penutup yang mengajak kami merenungkan dan memahami kembali jejak sejarah, apa pun itu, yang telah terjadi di Gunung Sewu sepanjang periode lampau sampai sekarang. Perjalanan panjang tersebut memberi pelajaran berarti bagi masyarakat yang hidup saat ini.

Menyapa Mbah Sayem dan sosok perempuan dari Song Keplek

Salah satu yang saya incar tatkala berkunjung ke Museum Song Terus adalah melihat replika kerangka manusia yang dijuluki Mbah Sayem. Sosok ikonis situs Song (gua) Terus yang terletak persis di seberang museum. Sebagai informasi, Song Terus merupakan gua horizontal sepanjang 150 meter dengan lebar lorong antara 10–20 meter dan ketinggian plafon 10 meter. Dinamakan “Terus” karena pintu depan gua tembus ke sisi lain bukit.

Mbah Sayem ditemukan para arkeolog dan warga setempat pada 1999. Rangka Mbah Sayem (ST 1), bukti manusia ras Australomelanesoid, adalah wujud seorang laki-laki berusia 40–50 tahun yang dikubur dalam posisi kaki terlipat dengan lutut berada di bagian dada, orientasi arah jasad dari timur ke barat (bagian kepala) dan punggung membelakangi Kedua tangannya terlihat menggenggam alat-alat atau sejenis perkakas dari batu maupun tulang. Sejumlah bagian giginya masih melekat pada mandibula (rahang bawah) dan maksila (rahang atas) berjumlah 28 buah. Sembilan di antaranya mengalami karies (gigi berlubang), yaitu gigi seri (incisor), gigi taring (canine), gigi geraham kecil (premolar), dan gigi geraham (molar).

Di sekitar jasad Mbah Sayem, peneliti juga menemukan sejumlah besar tengkorak monyet ekor panjang (Macaca sp.), moluska, dan binatang kecil lainnya, yang mungkin merupakan bahan makanan utama sekaligus penting bagi manusia penghuni Song Terus. Dari hasil reka waktu oleh seorang pakar paleontologi Florent Détroit, Ph.D dari Muséum national d’Histoire naturelle (MNHN), penanggalan beberapa sampel moluska menunjukkan usia sekitar 9.330 tahun. Angka inilah yang akhirnya menjadi dasar kesimpulan masa hidup Mbah Sayem, yakni di kisaran 8.500–9000 tahun lalu.

Dalam pandangan Widianto (2010), ras Australomelanesoid adalah penghuni sejati gua-gua karst Gunung Sewu, terutama Pacitan, yang hidup dan mendiami lebih dari 5.000 tahun di paruh pertama Kala Holosen. Profesor riset Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta itu juga menyebut jika Gunung Sewu pun tenar sebagai kerajaan-nya para Australomelanesoid di Pulau Jawa.

Selain Mbah Sayem, berdekatan dengannya tersaji pula replika kerangka berjenis kelamin perempuan (SK 5) dari situs Song Keplek. Sebuah kompleks gua yang berada di Dusun Pagersari, Punung, Pacitan. Ia adalah salah satu dari lima rangka manusia yang ditemukan di situs berjarak lima kilometer dari Song Terus itu. Berbeda dengan Mbah Sayem, jasad manusia Song Keplek merupakan bukti keberadaan ras Mongoloid yang hadir lebih muda dan prosesi penguburannya lebih rapi dan lurus atau primer telentang (dorsal). Hasil rekonstruksi penanggalannya menghasilkan angka sekitar 3.053 tahun silam.

Rangka asli Mbah Sayem dan tengkorak manusia lainnya dari Song Keplek tersimpan rapi dan aman di laboratorium milik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Punung, Pacitan. Berdasarkan keterangan Janu, sampai sekarang pun sejumlah peneliti hingga arkeolog lintas negara masih silih berganti datang ke Song Terus. Mencoba menguak sisi-sisi lain yang belum terungkap. 

Setidaknya selama dua dekade terakhir, proses eksplorasi dan ekskavasi Song Terus, Song Keplek, maupun situs-situs purba lainnya terus dikerjakan para arkeolog atau peneliti prasejarah. Kredit lebih ditujukan terutama pada dua tokoh yang menonjol, yaitu Prof. (Ris) Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Prof. Dr. François Sémah (MNHN), Paris, Prancis. Keduanya berkolaborasi menghasilkan makalah-makalah (paper) ilmiah seputar kehidupan dan kebudayaan prasejarah yang luar biasa.

Secara usia, memang jejak manusia prasejarah di situs Sangiran, Sragen–Karanganyar, jauh lebih tua dan dibandingkan Mbah Sayem. Namun, Janu dengan tegas menyebut, di Pacitan-lah salah satu pusat bengkel penghasil perkakas purba terbaik dan terbanyak yang pernah dibuat pada masanya.

  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang

Wujud gerakan pelestarian literasi sejarah

Sejak soft launching 12 Oktober 2022 bersama Museum Semedo Tegal dan Museum Batik Indonesia Jakarta, sejumlah kegiatan lintas usia telah meramaikan Museum Song Terus. Mulai dari lomba mewarnai tingkat TK, lomba rekonstruksi gerabah tingkat SMP/MTs, workshop pembuatan replika alat batu, kegiatan promosi oleh media dan influencer lokal, bahkan pagelaran wayang kulit.

Terbaru, pada akhir Desember 2023 sampai awal Januari 2024 digelar pameran dan diskusi publik Song Terus Expo dengan tajuk “Jagat Mbah Sayem” oleh Komunitas Kangen Pacitan bersama Pemerintah Kabupaten Pacitan. Dikutip dari siaran pers di situs web Pemkab Pacitan, acara tersebut menyajikan sejumlah objek literasi dan aneka kegiatan, seperti tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan dan teknologi tradisional, seni bahasa, permainan rakyat, sampai olahraga tradisional.

Menurut informasi Janu, saat ini tengah dikebut penyelesaian infrastruktur fisik amphitheater yang terletak di sisi luar atau barat bangunan museum. Pembangunan amfiteater atau gelanggang terbuka tersebut dilakukan oleh Indonesian Heritage Agency (IHA), lembaga publik di bawah Kemendikbud RI, sebagai bagian revitalisasi terbaru di Museum Song Terus. Ke depan, tambah Janu, siapa pun boleh memakai amfiteater ini untuk berkegiatan dan berkolaborasi dengan museum.

Tak hanya itu. Fasilitas-fasilitas penunjang lainnya terus dipoles agar optimal saat digunakan. Selain ruangan galeri temporer semi terbuka untuk pameran, pentas seni, dan bazar, ruang audiovisual atau auditorium pun bisa digunakan komunitas atau pihak-pihak luar museum sebagai sarana pemutaran film, seminar, rapat, maupun acara diskusi publik. Bagi pengunjung yang ingin leluasa mengeksplorasi lebih jauh, tersedia 18 kamar atau mess untuk menginap dengan tarif tertentu sesuai tipe kamarnya.

Langkah-langkah serius oleh beberapa pihak dan pemangku kepentingan terhadap pengembangan Museum Song Terus Pacitan patut diapresiasi. Tidak akan mungkin pemajuan dan pelestarian kebudayaan dilakukan sendiri-sendiri. Sehingga julukan “Kota 1001 Gua” tidak sekadar slogan, tetapi juga wujud konkret memperluas jangkauan literasi sejarah kepada seluruh generasi. Dalam kacamata Dwijonagoro dkk (2022), pada hakikatnya Museum Song Terus merupakan tempat yang berfungsi sebagai pelestari budaya sejarah. Bukan hanya secara wujud fisik saja, melainkan dalam tatanan nilai dan norma juga.

Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
Mulut gua Song Terus yang terletak persis di seberang museum/Muhammad Najih Fasya

Situs Song Terus dan museum barunya, seakan berkata pada khalayak, bahwa Pacitan bukan melulu soal pantai atau wisata kekinian lainnya. Daerah paling ujung barat daya Jawa Timur ini adalah medium untuk refleksi pada masa lalu. Melihat kembali perjalanan Mbah Sayem dan para leluhur yang hidup sezaman. Menjaga singgasananya abadi sebagai pelajaran dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan untuk masa depan.

Kita tidak boleh kalah dengan spirit dan hasrat Franz Wilhelm Junghuhn, yang meluangkan waktunya melukiskan keindahan bentang alam Gunung Sewu dengan teknik litografi. Pada 1853, naturalis dan botanis Jerman itu menerbitkan karyanya dalam buku Java, Deszelfs Gedaante, Bekleeding en Inwendige Structuur.

Pun begitu dengan von Koenigswald sang pencetus Pacitanian, Prof. Dr. Teuku Jacob (Bapak Paleoantropologi Indonesia), Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak, maupun Prof. Dr. François Sémah. Sumbangsih jiwa dan raga para peneliti yang passionate di bidangnya tidak boleh disia-siakan. (*)

Foto sampul:
Monyet ekor panjang (Macaca sp.) adalah salah satu spesies kera paling dominan dari sejumlah spesies fauna yang pernah ditemukan di situs Song Keplek (Punung, Pacitan) dan Gua Braholo (Rongkop, Gunungkidul). Selain itu, temuan gigi orang utan (Pongo pygmaeus) di kawasan Luweng Dawung (Donorojo, Pacitan) juga engindikasikan satwa ini pernah hidup di Gunung Sewu dan menunjukkan kawasan tersebut sebagai hutan tropis. Ukuran orang utan purba tersebut lebih besar dari orang utan sumatra, tetapi lebih kecil dari orang utan kalimantan. Sayang, fauna endemik Gunung Sewu itu kini telah puna/Rifqy Faiza Rahman


Referensi

Dwijonagoro, H. A. P., Dwijonagoro, A. N., & Hadi, S. (2022). Museum Song Terus sebagai Sarana Wisata Budaya Sejarah di Kabupaten Pacitan. Jurnal Siginjai. Vol. 2, No. 2, Desember 2022. https://doi.org/10.22437/js.v2i2.21551.
Suprapta, B. (2018). Pemanfaatan Cagar Budaya di Kabupaten Pacitan Sebagai Media Penunjang Pendidikan Sejarah. Jurnal Pendidikan Sejarah Indonesia. Vol. 1, No. 1, 2018. http://dx.doi.org/10.17977/um033v1i12018085.
Widianto, H. (2010). Jejak Langkah setelah Sangiran. Sragen: Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.


Museum Song Terus

Buka setiap Selasa–Minggu. 08.00 – 16.00 WIB (Senin dan hari libur keagamaan tutup)
Facebook: Museum Song Terus
Instagram: @songterus_museum
Tiktok: @songterus_museum
Informasi: +62 821-4052-3401 (WhatsApp humas museum)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/museum-song-terus-pacitan-tempat-pulang-ke-nenek-moyang/feed/ 0 41849
Wisata Kuliner dan Pantai di Pacitan dalam Sehari https://telusuri.id/wisata-kuliner-dan-pantai-di-pacitan-dalam-sehari/ https://telusuri.id/wisata-kuliner-dan-pantai-di-pacitan-dalam-sehari/#respond Mon, 18 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41410 Tak pernah tebersit oleh saya untuk berlibur ke Pacitan sebelumnya. Namun, ternyata Pacitan memiliki destinasi wisata alam yang mengesankan dan kuliner yang memanjakan lidah. Salah satu dari 38 kabupaten di Provinsi Jawa Timur itu berada...

The post Wisata Kuliner dan Pantai di Pacitan dalam Sehari appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak pernah tebersit oleh saya untuk berlibur ke Pacitan sebelumnya. Namun, ternyata Pacitan memiliki destinasi wisata alam yang mengesankan dan kuliner yang memanjakan lidah. Salah satu dari 38 kabupaten di Provinsi Jawa Timur itu berada di pesisir selatan dan dekat sekali dengan laut. 

Jelang liburan akhir tahun lalu teman saya iseng mengajak untuk jalan-jalan ke Pacitan. Sebuah ide yang sangat menarik. Karena penasaran, kami sepakat untuk berkunjung ke daerah berjuluk “Kota 1001 Gua” tersebut.

Akses menuju Pacitan memang terbilang cukup terbatas. Belum ada bandara komersial dan stasiun kereta di sana. 

Jika menggunakan pesawat dari Jakarta, setidaknya kita harus turun di Bandara Adi Soemarmo Solo. Dari bandara, melanjutkan perjalanan melalui Terminal Tirtonadi menggunakan bus Aneka Jaya ke Pacitan. Durasi perjalanannya mencapai kurang lebih 3—4 jam. Sedikit tips dari saya, lebih baik menyewa satu unit mobil dari Solo, agar bisa digunakan juga saat jalan-jalan di Pacitan. Saya bersama enam teman lainnya memutuskan untuk sewa kendaraan jenis minivan (Toyota Hiace) dengan sopir. 

Perjalanan dari Solo menuju Pacitan juga memberikan pengalaman tersendiri. Belum ada jalanan tol nan mulus untuk sampai ke Pacitan, sehingga kita harus melalui jalur naik turun dan berkelok. Bagi yang mabuk perjalanan darat, disarankan membawa perbekalan obat-obatan pribadi. 

Kuliner Bahari ala Bu Gandos

Setibanya di batas kota, kami langsung menuju salah satu tempat makan seafood terbaik di Pacitan. Namanya Warung Makan Bu Gandos, terkenal dengan sajian lobsternya yang berukuran besar. Lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat kota Pacitan. Bukan sebuah restoran mewah dengan tempat duduk yang tertata, melainkan hanya tempat makan sederhana di pinggir tambak air payau yang berbatasan dengan laut.

Kami memesan lobster, ikan bakar, udang goreng, kangkung, dan terong balado. Saat disajikan, tampilannya seperti makanan biasa di resto-resto seafood Jakarta. Tidak terlalu memberikan ekspektasi tinggi. Namun, saat dimakan rasanya sangat segar. Ikan bakarnya lembut, udang gorengnya juga sangat garing. Tentu saja yang menjadi primadona dalam sajian adalah lobster. Lobster besar ini memiliki daging yang banyak dan empuk dengan rasa yang manis.

Wisata Kuliner dan Pantai di Pacitan dalam Sehari
Menu makan siang pesanan kami di Warung Makan Bu Gandos Pacitan/Ayu Henidar Mulyara

Terik matahari siang itu cukup menyengat, tetapi udaranya masih sejuk. Sangat menyenangkan bisa menyantap makanan lezat dengan pemandangan yang memanjakan mata ke arah Teluk Pacitan.

Usai dari Bu Gandos kami menuju penginapan untuk menaruh barang-barang. Tidak ada banyak pilihan hotel atau resor mewah di Pacitan. Bahkan hotel empat tingkat yang kami tempati tidak memiliki lift. Untungnya kami dapat di lantai dua dan tiga, sehingga tidak terlalu berat mengangkat tas bawaan. Jarak dari warung Bu Gandos ke penginapan hanya sekitar empat kilometer dengan waktu tempuh kurang dari 10 menit. 

Menikmati Sore di Pantai Watu Karung

Menjelang sore kami memutuskan keluar dari hotel dan pergi ke pantai terdekat. Karena destinasi paling utama di Pacitan adalah pantai, rasanya tidak lengkap jika tidak mengunjunginya. Pantai-pantai di Pacitan juga terkenal dengan ombaknya yang baik untuk surfing. Makanya, tidak jarang kami bertemu dengan bule-bule di sini.

Dari sekian banyak pantai di Pacitan, kami sepakat untuk ke Pantai Watu Karung. Dari hotel ke Pantai Watu Karung berjarak 24 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 40 menit.  Akses masuk ke pantai ini tidak sulit, karena cukup dekat dengan jalan raya.

Kami berjalan masuk ke pantai ini tanpa ekspektasi berlebih. Apalagi kami tidak melakukan riset mendalam sebelumnya. Saat kami datang, waktu telah beranjak sore menjelang matahari terbenam.

Ternyata, kami mendapatkan suguhan pemandangan yang menakjubkan. Kami duduk-duduk sambil melihat matahari mulai tenggelam di balik cakrawala, mendengarkan suara deburan ombak yang menerjang pantai. Tidak banyak orang, sehingga suasana begitu tenang.

Di area wisata Pantai Watu Karung, tersedia juga warung-warung milik warga lokal yang berjualan makanan dan minuman. Kami memilih makan mi instan sambil menikmati panorama gulungan ombak Samudra Hindia. 

Kuliner Malam di Pacitan

Matahari sudah tidak terlihat. Hari mulai gelap. Kami lekas meninggalkan kawasan pantai untuk melanjutkan perjalanan mencari makan malam. Ada dua tempat kuliner yang menurut saya wajib didatangi kalau ke Pacitan.

Pertama, ayam goreng rempah Mekar Jaya. Letaknya di kota, dari Watu Karung berjarak 24 kilometer dengan waktu tempuh kurang dari 45 menit. 

Menu andalan Mekar Jaya itu terlihat seperti ayam goreng pada umumnya. Namun, rasa dari bumbu rempah yang diungkep membuatnya jadi lebih nikmat. Konsep dapurnya yang terbuka membuat pengunjung bisa melihat proses memasaknya. Ayam yang sudah diungkep, dicelupkan dalam penggorengan dengan minyak panas. Hasilnya ayam matang sempurna. Garing di luar, empuk di dalam. 

  • Wisata Kuliner dan Pantai di Pacitan dalam Sehari
  • Wisata Kuliner dan Pantai di Pacitan dalam Sehari

Destinasi kuliner selanjutnya yang tidak kalah menarik di Pacitan adalah Sego Gobyos. Warungnya sederhana, berada di pinggir jalan. Tepatnya di perempatan Tugu Penceng, pertemuan jalur dari arah Ponorogo dan Solo. Tidak jauh dari Alun-alun Pacitan. Warung Sego Gobyos buka sejak pukul empat sore hingga empat pagi. 

Sego Gobyos pada dasarnya adalah nasi plus sayur daun kenikir, serta tambahan lauk yang bisa dipilih, mulai dari tahu, tempe bacem, opor ayam, hingga kerupuk. Makanan ini terkenal dengan rasanya yang super pedas, makanya dinamakan Gobyos. Saat makan memang benar-benar sampai mandi keringat (gobyos) saking pedasnya. 

Usai sudah perjalanan kami berwisata kuliner dan pantai di Pacitan hari itu. Berlibur ke Pacitan ternyata menjadi keputusan terbaik. Meskipun sempat meragukan awalnya, tetapi tak disangka Pacitan menyimpan potensi kuliner lokal dan destinasi alam yang luar biasa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Wisata Kuliner dan Pantai di Pacitan dalam Sehari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-kuliner-dan-pantai-di-pacitan-dalam-sehari/feed/ 0 41410
Cerita Pagi Nelayan di Pelabuhan Tamperan https://telusuri.id/cerita-pagi-nelayan-di-pelabuhan-tamperan/ https://telusuri.id/cerita-pagi-nelayan-di-pelabuhan-tamperan/#respond Sat, 06 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38550 Sepulang dari menyambut matahari terbit di Sentono Gentong, Pringkuku, saya mengajak ibu dan istri mampir sebentar ke Tamperan. Sebuah pelabuhan perikanan di pinggiran kota Pacitan. Saya ingin menapaktilasi kunjungan pertama enam tahun lalu, serta menyaksikan geliat...

The post Cerita Pagi Nelayan di Pelabuhan Tamperan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sepulang dari menyambut matahari terbit di Sentono Gentong, Pringkuku, saya mengajak ibu dan istri mampir sebentar ke Tamperan. Sebuah pelabuhan perikanan di pinggiran kota Pacitan. Saya ingin menapaktilasi kunjungan pertama enam tahun lalu, serta menyaksikan geliat nelayan di sana.

Dari tempat parkir mobil, kami berjalan ke tepi dermaga. Pandangan saya langsung tertuju pada seseorang yang sedang duduk di atas bolder, besi pancang penambat tali tambang kapal. Pria bertopi itu seperti termangu sendirian, memandang ke arah gudang penimbangan dan bongkar muat ikan. 

Sugeng enjing, Pak. Baru pulang atau mau berangkat melaut?” tanya saya dalam bahasa Jawa halus. Saya jabat tangannya yang agak kasar. Tangan-tangan khas pekerja keras seperti petani dan kuli bangunan.

“Nunggu jadwal bongkar muat, Mas,” jawabnya menelunjuk ke gudang tadi, “paling jam delapan atau setengah sembilan.”

Saya melihat jam di layar ponsel, sudah pukul 07.20. Masih cukup waktu untuk ngobrol dengan Pak Taye. 

“Nama panjangnya siapa, Pak?”

“Ya, cuma ‘Taye’ itu, Mas. Ha-ha-ha!”

Kapal "Bintang Mas Perintis" berbobot 65 GT, menunggu panggilan bongkar muat dan penimbangan ikan di dermaga Pelabuhan Tamperan, Pacitan
Kapal “Bintang Mas Perintis” berbobot 65 GT, menunggu panggilan bongkar muat dan penimbangan ikan di dermaga Pelabuhan Tamperan, Pacitan/Rifqy Faiza Rahman

Hasil Tangkapan Terbatas

Buruh nelayan asal Pekalongan itu adalah satu di antara sekitar 30-an anak buah kapal (ABK) Bintang Mas Perintis, yang baru saja berlabuh setelah seminggu melaut. Kapal berbobot 65 Gross Ton (GT) tersebut membawa hasil tangkapan ikan sebanyak empat ton. 

Saya tidak melihat satu pun tuna yang terjaring. Bukan musimnya, katanya. Padahal tuna tergolong komoditas mahal, bisa mencapai Rp65.000 per kilogram. Kata Pak Taye, yang mendominasi adalah ikan jenis cakalang dan teropong. Harga jualnya berkisar Rp5.000-6.000 per kilogram.

“Itu kalau kondisi baik, Mas. Kalau pas jelek bisa anjlok banget, hanya dihargai Rp2.000 per kilogram,” jelas bapak lima anak itu.

Seharusnya kapal jenis 65 GT memiliki kemampuan berlayar lebih jauh dan lama. Jarak terjauh yang bisa dicapai sekitar 90-100 mil, setara 150 kilometer dari tepi pantai. Bisa melaut hingga 15 hari pergi-pulang. Durasi selama itu berpotensi memperoleh tangkapan ikan mencapai 20 ton.

Namun, peraturan yang berlaku melarang kapal di atas 30 GT menggunakan bahan bakar subsidi. Mereka harus membeli solar jenis Dexlite di SPBU umum di luar pelabuhan. 

Pembatasan tersebut turut berdampak pada lamanya berlayar dan target penghasilan. Belum lagi cuaca ekstrem tatkala musim badai. Tak jarang Taye dan teman-temannya terpaksa gigit jari, karena hasil tangkapan jauh di bawah target yang diharapkan.

  • Ikan cakalang, komoditas yang paling banyak dihasilkan hari itu
  • Suasana jelang bongkar muat ikan yang diawasi petugas pelabuhan setempat (tengah, bercelana panjang warna krem)

Upah Tak Sebanding

Saya penasaran dengan pendapatan yang Pak Taye peroleh. “Dari empat ton, panjenengan dapat upah berapa, Pak?”

“Paling aku dapat 100 ribu bersih, Mas. Kalau mau dapat lumayan, sekitar 300 ribu, setidaknya harus dapat 7 ton,” jelasnya.

Saya agak terkejut. Secara nalar, itu adalah angka yang kecil sekali. Dalam pikiran saya, ikan laut jauh lebih bernilai dari peluh nelayan. Juragan kapal masih punya aset untuk dijual jika ekonomi sulit, sedangkan buruh nelayan kadang tidak memiliki apa-apa.

“Kalau dapat di bawah 4 ton pernah, Pak?”

 “Sering, Mas.”

Taye menggelengkan kepalanya. Bukan isyarat membantah, melainkan tak ingin membayangkan kondisi seperti itu. Menggambarkan perjalanan panjangnya menggantungkan hidup dari air yang asin. Dari pesisir Muara Baru, Jakarta, hingga Muncar, Banyuwangi.

“Kalau boleh tahu, bagi hasil dari tangkapan di bawah 4 ton berapa, Pak?”

Sempat menghelas napas agak lama, Taye menjawab, “Gak dapat apa-apa, Mas. Hanya rugi tenaga.”

“Itu tidak sebanding, Pak,” kata saya.

“Ya, begitulah, Mas.”

Pilu dan Asa di Balik Laut Membiru

Obrolan pagi kami berlangsung singkat. Sepuluh menit saja. Pak Taye minta pamit karena panggilan bongkar muat tiba. Jadwal penimbangan dimajukan lebih cepat. Kapal Bintang Mas Perintis mendapat giliran pertama.

Petugas pelabuhan sudah siaga di meja kecil, mengawasi alat timbangan. Para kuli angkut juga bersiap dengan sebatang bambu panjang untuk mengangkut drum biru berisi ikan. Ikan yang sudah ditimbang akan dibawa ke gudang khusus penjualan. Di sanalah nanti titik awal warga sipil membeli ikan incaran mereka.

Langkah Pak Taye tampak gontai. Saya menatap punggung lelaki bersuara lantang itu. Bukan bajunya yang saya pandang, melainkan perenungan getir yang melintas begitu saja.

Pak Taye (bercelana dengan corak hijau dan kuning) dan rekan kerja sesama buruh nelayan bersiap bongkar muat ikan hasil tangkapan
Pak Taye (bercelana dengan corak hijau dan kuning) dan rekan kerja sesama buruh nelayan bersiap bongkar muat ikan hasil tangkapan/Rifqy Faiza Rahman

Dari puncak bukit Sentono Gentong, cekungan Teluk Pacitan terlihat memukau. Kapal-kapal nelayan begitu kecil di kejauhan. Seperti mainan perahu otok-otok. Buih putih ombak bergulung dengan kecepatan berbeda. Angin membawanya kencang ke pesisir Teleng dan Pancer, tenang ke dermaga Pelabuhan Perikanan Tamperan. Kabut putih tipis melayang di permukaan lautnya. Pemandangan biru khas pesisir, kontras dengan daratan dan permukiman yang bernuansa kehijauan.

Keindahan itu ternyata menyimpan cerita pilu. Taye hanyalah secuil dari ratusan buruh nelayan bernasib serupa. Pengisi “rantai kehidupan” terendah dalam sistem. Terdepan mempertaruhkan nyawa, tertinggal dalam hak hidup lebih layak.

Pipi saya rasanya seperti tertampar. Di tengah kondisi yang tidak memberikan hasil sepadan, Taye masih tersenyum. Seolah-olah menunjukkan isyarat bahwa uang bisa dicari lagi lain hari. Empat anak yang sudah mandiri dan seorang bungsu yang masih sekolah, cukup menunjukkan betapa kerasnya ia bekerja. 

Di atas geladak kapal lusuh itu, Taye dan ABK lain mengangkat ikan dari tempat penyimpanan dengan penuh senda gurau. Terdengar gelak membahana, mengisi obrolan bersahutan khas bapak-bapak.

Apakah mereka sedang menghibur diri dengan upah kecil hari itu, atau sengaja menertawakan hidup?

Entahlah. Saya hanya bisa berdoa semoga Tuhan mengaruniai mereka usia panjang dan kesehatan. Serta, harapan agar memiliki pegangan yang cukup agar menikmati masa pensiun dengan tenang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Pagi Nelayan di Pelabuhan Tamperan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-pagi-nelayan-di-pelabuhan-tamperan/feed/ 0 38550
Pacitan, Kenangan Masa Kecil di Kampung Halaman https://telusuri.id/pacitan-kenangan-masa-kecil-di-kampung-halaman/ https://telusuri.id/pacitan-kenangan-masa-kecil-di-kampung-halaman/#respond Fri, 28 Apr 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38467 Dahulu saya berpikir, sepertinya merepotkan jadi anak rantau. Harus merasakan berdesak-desakan di dalam bus antarkota atau antarprovinsi saat mudik lebaran. Sibuk berkunjung ke kerabat yang rumahnya berjauhan lintas kecamatan. Status perantau bermula karena mengikuti bapak...

The post Pacitan, Kenangan Masa Kecil di Kampung Halaman appeared first on TelusuRI.

]]>
Dahulu saya berpikir, sepertinya merepotkan jadi anak rantau. Harus merasakan berdesak-desakan di dalam bus antarkota atau antarprovinsi saat mudik lebaran. Sibuk berkunjung ke kerabat yang rumahnya berjauhan lintas kecamatan. Status perantau bermula karena mengikuti bapak berkarir sebagai pegawai negeri sipil kampus Islam negeri di Surabaya sejak 1991.

Saya lahir dari orang tua berbeda provinsi meskipun masih satu pulau. Bapak dari Wedarijaksa, Pati. Seseorang yang besar di lingkungan pondok pesantren di pesisir utara Jawa Tengah. Sementara Ibu dari Pacitan, Jawa Timur, yang juga menjadi tempat pertama saya mengenal dunia.

Sempat ada guyonan di keluarga besar, kalau saya adalah orang Timur-Tengah. Bukan karena mancungnya hidung saya dan nama yang bernuansa islami. Melainkan daerah asal bapak-ibu dari provinsi yang bertetangga dekat.

Namun, lambat laun saya menyadari betapa prestisenya menjadi anak rantau. Betapa “wah”-nya bisa merasakan pulang ke tanah kelahiran. Kepulangan saya bersama keluarga yang sebentar ke Pacitan puasa lalu, sekitar seminggu sebelum lebaran menegaskan itu. Selama tiga hari dua malam, waktu melempar saya mundur sejauh tiga dasawarsa.

Mengenang Rumah Mbah Kakung

Kenangan pertama yang mengingatkan masa kecil saya adalah rumah peninggalan Mbah Kakung. Beliau seorang guru agama yang disiplin dan sangat berhati-hati dalam beribadah. Saya hanya mengenal dan melihat wajah kakek tiga tahun saja, sampai beliau wafat tahun 1994. Setelah itu nenek saya yang merawat rumah tersebut dibantu tetangga yang masih terhitung kerabat.

Rumah Mbah Kakung sangat sederhana, meskipun tergolong apik dan rapi di zamannya. Pondasinya cukup tinggi, sehingga kami harus menaiki anak tangga untuk masuk ke rumah. Biasanya saya tidur di kamar depan, sementara ibu dan Mbah Putri di kamar belakang dekat pawon. Dapur adalah salah satu bagian terbesar di rumah ini, selain ruang tengah dan ruang tamu. Sayang sekali dokumentasi lawas rumah ini lama hilang.

Rumah Mbah Kakung
Bagian depan rumah Mbah Kakung di Pacitan, yang tanahnya sudah ditinggikan. Sebelahnya adalah rumah pakde yang menempati lahan bekas kamar mandi dan tempat jemuran/Rifqy Faiza Rahman

Namun, saya punya dua kenangan paling unik di rumah ini. Masih terngiang sampai sekarang.

Pertama, jatuh alias nggelundung dari pintu depan menuruni tangga. Gara-garanya bermain terlalu lincah dengan saudara sepupu. Dahi saya bocor dan harus dijahit. Jangan tanya apakah saya menangis? Sudah pasti.

Kedua, perasaan was-was saat harus pipis tengah malam. Kamar mandi berada terpisah dari rumah. Mbah Kakung membangunnya di sebelah timur laut, dekat jalan kampung yang belum beraspal seperti sekarang. Dahulu, terdapat tiga ruangan untuk mandi dengan bak air memanjang, lalu satu bilik dilengkapi kakus. Bukan soal gelap dan sepinya, melainkan peluang bertemu anjing hutan yang biasanya bergerak ke arah sawah. 

“Aku sama ibu sering lihat jejaknya di jalan setapak tanah antara kamar mandi dan bagian timur rumah,” kata saya ke istri. 

Saat ini rumah Mbah Kakung sudah “terpotong” separuh. Kamar-kamar yang masih ada disewakan untuk kos. Bekas pondasi dan anak tangga di dinding timur menjadi lorong untuk parkir motor dan sepeda. Adapun kamar mandi dan lahan jemuran sudah lama berubah menjadi kediaman pakde saya, yang pulang karena sudah purna sebagai abdi negara di Samarinda.

Menjenguk Pusara Bersahaja di Lereng Bukit

Tiada cara lain yang lebih baik untuk mengenang Mbah Kakung dan Mbah Putri, selain mengunjungi makam keduanya. Walaupun ziarah bukan menjadi tradisi umum bagi sebagian orang di dusun, tetapi kami tetap wajib mampir setiap pulang ke Pacitan.

Pusara kakek dan nenek saya berada di pemakaman umum di barat laut desa. Lokasinya di lereng bukit. Dahulu kami harus jalan kaki menyusuri jalan setapak yang cukup terjal dari rumah warga terakhir sebelum hutan. Kini sudah bisa diakses mobil sampai ke atas, meskipun hanya makadam.

Ibu saya berdiri di depan makam Mbah Kakung dan Mbah Putri
Ibu saya berdiri di depan makam Mbah Kakung dan Mbah Putri/Rifqy Faiza Rahman

Bagi saya, meninggalnya sang nenek adalah kehilangan terbesar bagi keluarga. Khususnya saya. Mbah Putri cukup sering tinggal bersama kami di rumah Waru, Sidoarjo. Sosok humoris, tegas, dan selalu mengingatkan saya untuk salat berjamaah di musala. 

Momen menyesakkan adalah ketika beliau mengembuskan napas terakhir di ranjang rumah sakit di Surabaya, pada tanggal 28 Oktober 2019. Tak sampai sebulan sebelum pernikahan saya dan istri di Yogyakarta. Mbah Putri tak sempat melihat cucu lanangnya di pelaminan. Namun, saya yakin beliau “hadir” di acara kami. 

Selain kakek dan nenek, ada juga makam Mbah Buyut yang terletak berdampingan. Tidak jelas kapan beliau berdua wafat, tetapi ibu saya bilang sudah sangat lama. Saya bersama bapak dan adik bergantian mencabut rumput dan membersihkan seresah di atas makam mereka. 

  • Membersihkan makam kakek
  • Makam Mbah Putri

“Ziarah kubur itu bentuk bakti kita sebagai anak kepada orang tua,” kata bapak seusai memimpin tahlil dan doa bersama. 

Saya mengangguk. Saya jadi teringat pesan di sebuah spanduk ajakan gotong royong bersih makam desa yang terpasang di sana: Gelem Warisane, Tapi Ora Gelem Ngrumat Kuburane. 

Para Tetangga Pengasuh Semasa Kecil 

Kata orang, yang namanya hubungan keluarga tak mesti sedarah atau sekandung. Bahkan kadang-kadang tidak kalah erat pertalian emosionalnya dengan orang tua atau saudara kita. Saya memiliki contoh nyata dan mengalaminya sendiri. Selama mudik kemarin, saya sempat menemui beberapa orang yang pernah ikut mengasuh waktu saya masih kecil.

Orang pertama yang saya temui adalah perempuan mungil yang akrab dipanggil Mbok Yem. Almarhum suaminya adalah tukang becak dan petani, yang semasa hidup sangat lihai memanjat pohon kelapa dan memetik buahnya untuk saya. Kini Mbok Yem masih sering membantu bude saya memasak. Sesekali momong cucu-cucu, hadiah terindah dari keenam anaknya yang sudah menikah dan berpencar hidup mandiri. Baik di Pacitan maupun luar kota.

Saya dan keluarga juga menyempatkan diri menjenguk pasangan suami-istri petani, Paklik Abidin dan Bulik Tutik. Rumahnya ada di tikungan jalan dusun sebelum rumah Mbah Kakung.

Bulik Tutik, pengasuh saya semasa kecil
Menjenguk Bulik Tutik (tengah) dan suami di rumahnya, yang hanya berjarak 200 meter dari rumah Mbah Kakung/Rifqy Faiza Rahman

Lik Bidin—panggilan akrabnya—sedang terbaring lemah di kasur. Beliau baru saja rutin cuci darah di Yogyakarta dan Pacitan. Sementara bulik masih terlihat sehat, meskipun memiliki riwayat diabetes dan hipertensi. Bulik termasuk orang yang pernah ikut menggarap lahan padi sawah milik Mbah Putri di seberang rumahnya. Kini lahan tersebut sudah berubah fungsi menjadi bangunan, entah hunian atau tempat usaha.

Para tetangga pengasuh saya di masa kecil itu satu suara tatkala memandang saya, “Masya Allah, lha kok sudah besar dan gagah begini?”

“Dulu sering tak gendong pas cilik dan sik sering nangis, ha-ha-ha! Wah, dulu masih segini, lho, si Rifqy itu,” tambah mereka sembari meletakkan telapak tangannya sejajar dengan lutut saya.

Mereka menceritakan kenangan itu dalam bahasa Jawa tentunya. Dan gelagat yang menunjukkan seolah pangling melihat saya sudah tumbuh dewasa. Berkumis dan berambut panjang, setidaknya sampai saat ini.

Matahari terbit Sentono Gentong, dengan pemandangan Teluk Pacitan
Pemandangan Teluk Pacitan dan Pegunungan Limo saat matahari terbit, dipotret dari Sentono Gentong. Bentang alam inilah yang membuat ibu dan saya sendiri takjub sekaligus bangga dengan tanah kelahiran/Rifqy Faiza Rahman

Kenangan Masa Kecil akan Abadi

Lagi-lagi, memang benar kata orang. Kenangan masa kecil mungkin tak akan terlupakan. Dari rumah peninggalan kakek-nenek dan makam mereka di lereng bukit, perjumpaan dengan tetangga yang serasa keluarga sendiri, hingga suasana khas pedesaan membangunkan labirin pemikiran saya.

Begini rupanya menjadi seseorang yang pernah lahir dan memiliki masa kecil di sebuah tempat nun jauh di ujung barat daya sebuah provinsi. Lalu ikut orang tua pergi meninggalkan kampung halaman ke kota metropolis untuk mengubah nasib menjadi (sedikit) lebih baik. Tumbuh besar dan berkesempatan mengenyam pendidikan di perantauan.

Begini rasanya menjadi anak yang kapan pun akan selalu memiliki alasan untuk menengok kembali ke kampung halaman. Menjadi seseorang yang mengerti betapa berharganya arti kepulangan. 

Oh, ya. Saya harus membuat pengakuan. Ketika menulis ini, tiba-tiba wajah kakek, nenek, ibu, bapak, dan orang-orang terkasih di sekitarnya melintas di ingatan. Pintu-pintu di lorong waktu tersibak begitu saja ke masa-masa sebelum kedewasaan tumbuh. Tanpa terasa, butiran air di ujung kedua mata nyaris jatuh menetes.

Saya juga ingin bilang, sekalipun begitu, sepertinya saya berhasil menyelesaikan tulisan ini. Dan saya tetap harus mengusap air mata setelahnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pacitan, Kenangan Masa Kecil di Kampung Halaman appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pacitan-kenangan-masa-kecil-di-kampung-halaman/feed/ 0 38467
Mendadak Jalan-jalan ke Pacitan https://telusuri.id/mendadak-jalan-jalan-ke-pacitan/ https://telusuri.id/mendadak-jalan-jalan-ke-pacitan/#respond Mon, 23 Sep 2019 16:14:28 +0000 https://telusuri.id/?p=17507 Liburan semester kemarin, 2-3 Juni 2019, menurut saya menyenangkan meskipun agak konyol. Sebabnya, liburan itu mendadak. Menjelang tengah malam sehari sebelum keberangkatan, tiba-tiba saja kakak-kakak sepupu saya menawarkan untuk ikut mereka traveling ke Pacitan, Jawa...

The post Mendadak Jalan-jalan ke Pacitan appeared first on TelusuRI.

]]>
Liburan semester kemarin, 2-3 Juni 2019, menurut saya menyenangkan meskipun agak konyol. Sebabnya, liburan itu mendadak. Menjelang tengah malam sehari sebelum keberangkatan, tiba-tiba saja kakak-kakak sepupu saya menawarkan untuk ikut mereka traveling ke Pacitan, Jawa Timur.

Awalnya saya ragu untuk ikut. Namun, setelah menjelajah dunia maya dan mendapati bahwa pantai di Pacitan bagus-bagus, dengan yakin saya menjawab bahwa saya bersedia ikut. Malam itu juga saya mengemasi perlengkapan jalan-jalan, termasuk alat mandi dan pakaian ganti, agar tidak tergesa-gesa esok pagi.

Keesokan paginya, setelah mengepel kamar, mandi, dan minum susu, kami berenam berangkat naik motor dari Yogyakarta ke Pacitan.

Peserta jalan-jalan mendadak ke Pacitan/Yeni Marlina Mangngi

Karena hanya bermodalkan Google Maps dan plang penunjuk jalan, kami sempat nyasar dalam perjalanan. Tapi akhirnya kami tiba juga dengan selamat di Kabupaten Pacitan sekitar jam setengah dua siang.

Mencari tempat bermalam di Pantai Klayar

Pantai pertama yang kami datangi adalah Pantai Soge. Tempatnya bagus dan bersih. Para penjual makanan di sekitar pantai juga ramah-ramah dan makanan-makanan yang dijual lumayan murah. Kami istirahat sebentar di pantai itu sebelum lanjut melanglang ke Pantai Srau.

Hampir jam empat sore ketika kami tiba di Pantai Srau. Niatnya, kami mau menikmati sunset di sana. Tapi, sayang sekali saat itu cuaca sedang tidak bersahabat. Langit mendung. Jadi, kami cuma foto-foto saja di pantai itu. Seperti Soge, pantai ini juga bagus. Namun saya masih melihat sedikit sampah di tempat ini.

Dari Srau, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Klayar untuk mencari penginapan atau homestay murah. Setiba di Klayar kami langsung menghampiri salah satu warung yang ternyata adalah milik salah seorang pengelola pantai.

pantai srau pacitan
Mengikat tali sepatu di batu karang Pantai Srau/Yeni Marlina Mangngi

Sementara kami istirahat, dua kakak laki-laki saya pergi mencari penginapan. Mereka kembali dengan tangan hampa. Harga penginapan dan homestay di Pantai Klayar terlalu mahal untuk mahasiswa rantau (yang traveling bermodal nekat) seperti kami.

Akhirnya, salah seorang kakak saya memberanikan diri untuk bertanya ke istri dari pemilik warung mengenai apakah kami boleh menginap di warung itu atau tidak. Lega sekali rasanya mendengar sang ibu dengan senang hati menjawab “boleh.” Syaratnya cuma satu: kami belanja makanan di warung itu. Tidak masalah, sebab makanan di sana lumayan murah dan lengkap (ada nasi telur, mi, sayur, sambel mentah, dll.). Untuk menginap, kami cuma perlu membayar Rp25.000 per orang.

Tentang asal-usul nama Pantai Klayar

Malamnya, sang pemilik warung sempat duduk-duduk bercerita dengan kami. Banyak sekali yang diceritakan olehnya. Tapi, yang paling berkesan bagi saya adalah soal asal-usul nama Pantai Klayar.

Konon, menurut sang bapak, zaman dahulu kala ada sebuah perahu yang terombang-ambing diterjang ombak besar (glayar). Perahu yang glayar itu lalu terdampar di pesisir yang sekarang bernama Pantai Klayar. Lama-lama, kata glayar itu berubah menjadi “klayar.”

Tapi tidak cuma cerita asal-usul namanya saja yang membuat Klayar menarik. Secara fisik, pantai ini unik. Klayar dikelilingi oleh tebing dan batu karang. Garis pantainya dilapisi oleh pasir putih kecokelatan yang sangat lembut. Dengan segala pesonanya, tak mengherankan jika pantai yang berada di Desa Kalak, Kecamatan Donorejo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, ini terus dikembangkan dan dipromosikan sebagai destinasi wisata oleh pemerintah setempat.

pantai klayar pacitan
Berfoto di Pantai Klayar/Yeni Marlina Mangngi

Selesai bercerita, sang bapak pamit pulang. Ia berpesan pada kami agar berhati-hati dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta keesokan hari.

Sambil menunggu makan malam diantarkan oleh istri sang pemilik warung (ia ternyata memasak di rumah), bergantian kami mandi. Mulai makan sekitar jam setengah sembilan malam, kami baru tidur lewat jam sebelas malam. Herannya, keesokan harinya kami tetap bangun pagi. Mungkin karena sudah tak sabar lagi untuk berlari-lari di pantai.

Mampir ke pantai yang katanya “Raja Ampat-nya Pulau Jawa”

Dari Pantai Klayar, kami berpindah ke Pantai Kasap. Ternyata tiket masuk pantai yang disebut-sebut sebagai Raja Ampat-nya Pulau Jawa itu tidak terlalu mahal, hanya Rp2.000. Harga makanan di warung-warung di sekitar Pantai Kasap juga lumayan murah. Supaya wisatawan lebih nyaman, disediakan pula tempat penitipan barang.

Karena spot berfoto di Pantai Kasap berada di bukit, kami mesti sedikit mendaki. Tak apa-apa, anggap saja olahraga pagi. Lagian, bukitnya juga tidak terlalu tinggi. Setiba di puncak bukit, barulah kami tahu bahwa setiap pengunjung mesti membayar Rp5.000 untuk masuk kawasan instagenik itu.

pantai buyutan pacitan
Tebing karang di Pantai Buyutan/Yeni Marlina Mangngi

Petualangan kami menelusuri pantai tak berhenti di Pantai Kasap. Dari sana, kami lajut ke Pantai Buyutan, di mana kami makan siang—saya memesan nasi lele plus sambal dan susu—di salah satu warung terus mandi-mandi sampai sore.

Jam enam kurang, kami mengucapkan selamat tinggal pada Pacitan dan pulang ke Yogyakarta. Setelah perjalanan panjang sekitar empat jam, akhirnya kami tiba dengan selamat di Yogyakarta menjelang jam sepuluh malam. Capek yang kami rasakan tak ada artinya dibanding pengalaman menjelajahi lima pantai di Kabupaten Pacitan dalam waktu dua hari.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendadak Jalan-jalan ke Pacitan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendadak-jalan-jalan-ke-pacitan/feed/ 0 17507