pacuan motor Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pacuan-motor/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 02 May 2024 04:30:03 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pacuan motor Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pacuan-motor/ 32 32 135956295 Karapan Sapi, Karapan Besi (2) https://telusuri.id/karapan-sapi-karapan-besi-2/ https://telusuri.id/karapan-sapi-karapan-besi-2/#respond Thu, 02 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41812 Pemuda kampung itu adalah Rosi (21). Pria jangkung ini berpartisipasi pada aktivitas otak-atik motor balap di serikatnya yang bernama Karang Taruna Racing Team dengan anggota bocah-bocah kecamatan. Konon, ia tertarik pada dunia otomotif sejak duduk...

The post Karapan Sapi, Karapan Besi (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pemuda kampung itu adalah Rosi (21). Pria jangkung ini berpartisipasi pada aktivitas otak-atik motor balap di serikatnya yang bernama Karang Taruna Racing Team dengan anggota bocah-bocah kecamatan. Konon, ia tertarik pada dunia otomotif sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. 

“Konsentrasi kami meningkatkan CC mesin,” cerita Rosi. “Kalau motor kami ber-CC 150, gimana caranya biar meningkat ke 170. Bagian blok kami bore up. Kami lebih menggarap motor yang menggunakan karburator ketimbang injeksi. Yang biasanya diubah juga di bagian kelistrikan kayak CDI atau busi.”

Untuk aktivitas harian macam nongkrong sana-sini, konvoi, dan menunjukkan eksistensi, Rosi beserta timnya—yang berkostum sama—lebih acap mengendarai Yamaha Fiz R. Akan tetapi, untuk balapan, tim Rosi akan mengandalkan Satria FU. Baginya, Satria memiliki sejumlah keunggulan yang tak ada pada motor lain. Di samping berbodi kecil dan bermesin gahar, produk keluaran Suzuki tersebut berpersneling hingga enam gigi. “Satria bisa melaju dengan napas lebih panjang,” tukas cowok macho itu. 

Karapan Sapi, Karapan Besi
Rosi di atas motornya/Wardedy Rosi

Inkarnasi Raga Besi

Meski gemar balapan liar yang biasanya dilancarkan di Jalan Kabupaten, tim Rosi juga tak enggan mengikutsertakan “sapi besi”-nya ke turnamen resmi. Seperti ingin menunjukkan bahwa prestasi mereka bisa diuji di segala medan. Di arena legal atau ilegal. 

Meski begitu, Rosi mengaku tak pernah menjadi joki. Baginya, trayektori atau lintasan balap tipe drag senantiasa dibayang-bayangi malaikat maut. Kalaupun tak dirundung ajal, kaki patah adalah konsekuensi minimum nasib apes yang bisa terjadi di rute lempang 201 meter itu. “Ada temanku yang mati waktu kecelakaan,” ucap Rosi bergidik seolah menyadari bahwa nyawa manusia tak sebanyak kucing Buddha. 

“Bagiku, motor cuma mainan.” Tapi mainan Rosi adalah jenis gim yang mempertaruhkan nyawa. Pemuda ini baru berhenti dari kegarangan masa remaja ketika kawan-kawannya harus terjun ke dunia kerja dan ia insaf bahwa modifikasi mesin motor cukup menguras duit orang tua. 

Sementara itu, balap liar tidak pernah dilakukan Amir (26) ketika masih duduk di bangku SMA. Dengan Fiz R, ia hanya mau ambil bagian pada ajang balapan resmi. Sebagaimana karapan sapi, partisipasinya di balapan motor tidak digerakkan motif hadiah yang tak seberapa. Ia hanya ingin reputasi. 

Kian dewasa, pemuda setinggi 170 senti ini lebih memilih bergabung dengan klub motor ketimbang memacu adrenalin di arena balap. Kini ia dipercaya sebagai ketua Klub Motor Ninja Madura. Baginya, klub dapat menjadi ajang memperluas jejaring sosial dengan mutu persahabatan tak seracun geng motor. Satu motor berjuta saudara. Begitu prinsip Klub Ninja Madura.  

“Sejak dulu, Ninja adalah kendaraan idaman anak muda. Sama-sama 150 CC dengan Yamaha Vixion, tapi Ninja masih lebih cepat,” ucap Amir bangga ketika ditanya mengapa memilih Kawasaki tipe itu. Ia menjelaskan bahwa Ninja tidak hanya memiliki daya pikat sensual yang jantan. Motor besar itu diam-diam juga menyimpan muslihat seksual. Sebab, posisi sadel miring akan membuat cewek yang dibonceng merapatkan tubuh pada si joki.

“Cowok enggak cocok pakai matik. Kenapa enggak sekalian pakai lipstik?” ujar Amir, entah bercanda atau serius. “Matik itu motor untuk ngangkut gas LPJ atau galon. Ninja enggak bisa ngangkut barang-barang gituan. Lagian Ninja bukan motor harian. Ia motor yang sengaja didesain buat gaya-gayaan.”

Raga rua Ninja hijau milik Amir tampak serasi dengan postur gemoy pemuda itu. Dan ia memang berkata bahwa motor adalah pantulan karakter pemiliknya. “Kalau motornya jelek, orangnya pasti jelek. Kalau motornya enggak pernah dicuci, orangnya juga jarang mandi.” 

Tidak Sekadar Properti Belaka

Jenis motor mestinya memang mencerminkan bawaan pemiliknya. Seperti Aden (22) yang berperawakan tenang lebih memilih bergabung dengan klub Vario ketimbang Amir-Ninja yang atraktif. Selain karena sederhana tanpa mengurangi tampilannya yang elok, jenis matik tersebut dipilih pemuda indah ini karena kerusakannya jarang parah dan servisnya mudah.

“Memelihara Vario punya banyak kelebihan,” cerita Aden. “Irit, enggak ribet. Kalaupun harus dimodifikasi, yang diubah hanya aksesoris dan suku cadang ringan.”

Telah setahun bergabung dengan Vario Squad Pamekasan, Aden tidak menyangka bahwa klub motor menanamkannya benih-benih filantropisme bersahaja. Ketika tetangganya yang “awam” hendak membeli motor, misalnya, ia kerap menjadi rujukan. Pun ketika motor sanak famili atau bala tetangga mengalami kerusakan, Aden yang akan mencarikan solusinya.  

Seperti hubungan sapi jantan Madura dan pemiliknya, Aden tidak menganggap motor sebagai properti mati semata-mata. Ia memandang motor sebagai sahabat sejati. “Motor menemani kita jalan-jalan meskipun tak ada kawan,” daku Aden dengan deklarasi kesepiannya yang melankolis. 

Apa pun jenisnya, motor telah menjadi inkarnasi-teknologis badan jantan seorang pria. Modifikasi bodi dan suku cadang, serta pendandanan raga motor adalah ikhtiar sang tuan mereformasi kapasitas kepriaannya. Gagasan film-film yang mempersonifikasi kendaraan bermotor, seperti Cars atau Transformers, sejatinya berangkat dari fantasi mistik ihwal tubuh dengan stamina tanpa batas, superior, dan immortal. Meski tak seepik sinema-sinema itu, impian tentang kualitas deistik manusia tengah diupayakan Silicon Valley melalui rekayasa bionik dan kecerdasan buatan untuk melahirkan spesies baru bernama organisme sibernetika, cyborg

Namun, para pembalap amatir Desa Pandan tak berpikir sejauh itu. Barangkali pemuda-pemuda tersebut hanya ingin menghangatkan cuaca dingin senja bulan Maret dengan darah panas akil balig yang perlu disalurkan. Hanya azan Magrib yang akan meredam raung edan sapi-sapi besi itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Karapan Sapi, Karapan Besi (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/karapan-sapi-karapan-besi-2/feed/ 0 41812
Karapan Sapi, Karapan Besi (1) https://telusuri.id/karapan-sapi-karapan-besi-1/ https://telusuri.id/karapan-sapi-karapan-besi-1/#comments Wed, 01 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41806 Langit sore pancaroba sepucat gading mamut yang teronggok di museum telantar. Waktu itu adalah pengujung Maret dan musim hujan di Madura tak segalak wilayah lain. Itulah mengapa di Desa Pandan, sengit garam telah merangsek liang...

The post Karapan Sapi, Karapan Besi (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Langit sore pancaroba sepucat gading mamut yang teronggok di museum telantar. Waktu itu adalah pengujung Maret dan musim hujan di Madura tak segalak wilayah lain. Itulah mengapa di Desa Pandan, sengit garam telah merangsek liang hidung. Sebagian terbang ke laut.

Di bekas rawa, atau mungkin tambak, beberapa kelompok anak muda sedang menunggu Magrib. Tiga perempat jam sebelum corong masjid menggemakan azan, knalpot motor mereka mengerang, terdengar seperti derau mamalia raksasa yang terancam. Aku berada di tengah-tengah keriuhan, turut menjadi bagian dari cara kawula muda itu menghabiskan waktu.

Pandangan kami tertuju jauh ke pusat tanah lapangan, memindai tiga motor yang berlari kencang. Bila dibantu teropong monokular, mataku tentu dapat menangkap detail raga motor yang kian disamarkan kepulan debu di udara. Kita hanya tahu kendaran itu adalah Yamaha RX-King, sejenis matik entah apa, dan Suzuki Satria korban modifikasi sana-sini.

Di titik lain, sebuah motor bebek melaju, terjerat tanah berpasir, lalu jatuh. Si joki mati-matian bangkit, menarik gas, tetapi putaran roda tampak sulit bekerja. Tak membuatnya beranjak ke mana-mana, dan hanya menyelubunginya dengan selimut debu. “Bajingan tolol,” tukas seorang remaja tanggung sambil ngakak bersama kawan-kawannya. 

Para pembalap dadakan itu memang berlaga di arena yang salah. Paling tidak, mestinya mereka sadar, Scoopy nan imut perlu diganti motocross yang kokoh mencengkeram tekstur bumi. Tapi, di kompetisi konyol semacam itu, standar layak dan segala norma tak pernah berlaku.

Maka, balapan iseng tersebut cuma menimbulkan getaran suasana yang melemparku ke sebuah perasaan ganjil bahwa aku tidak sedang menyaksikan pacuan motor. Ini mungkin sejenis deja vu, atau bukan. Tapi, andai kau tahu, bagiku peristiwa yang berlangsung saat itu hanya substitusi aktual dari olahraga tradisional orang Madura: karapan sapi.

Karapan Sapi, Karapan Besi
Pemuda Desa Pandaan menonton balap motor/Samroni

Jantanisasi Tubuh Sapi

Di Pulau Garam, lembu tak diperlakukan sebagai totem, seperti status suci zebu India. Ia hanya hewan yang lantaran multifaedah diperlakukan cukup istimewa ketimbang ternak lainnya. Karapan sapi mungkin sayembara paling tua di antara kontes sapi sono’ dan sabung sapi. Sejarahnya bisa ditelusuri hingga masa ketika Belanda belum menancapkan kaki di Nusantara. Dahulu, ia ditaja untuk meningkatkan produktivitas pertanian di tanah Madura yang tak subur. Namun, kini, karapan sapi telah lepas dari motif ekonomisnya. Ia menjelma turnamen yang diburu untuk menaikkan gengsi.

Gengsi itu memang melekat dengan watak maskulin ketika kepemilikan harta benda bukan satu-satunya simbol wibawa tradisional. Oleh karena itu, hadiah tak seberapa dari pertandingan karapan sapi tidak ada apa-apanya ketimbang prestise yang bakal disandang sang pemenang. Martabat “machoistik” inilah yang membuat para pemilik sapi karapan menjadi “bovino maniak” yang tak segan membobol rekening agar jagoannya ditahbiskan sebagai pejantan utama di medan palagan. 

Itulah mengapa konsep turangga (kuda, kendaraan) dalam filosofi kemakmuran pria Jawa masih terlalu banal. Sebab, relasi antara binatang tunggangan dengan tuannya yang notabene bergender pria melampaui kepentingan ekonomi. Ia juga bergelayut di dimensi psikologis.

Hingga saat ini, citra kejantanan kuno belum hilang dari kesadaran kita. Tubuh kekar dan perkasa ala instruktur fitnes adalah damba setiap pria. Persoalannya, fisik manusia terbatas, dan kenyataannya, hewan-hewan lain memiliki jasmani lebih besar serta bertenaga. Maka, kecemburuan karnal itu kerap muncul dalam wujud makhluk-makhluk mitologis yang mempertautkan tubuh manusia dengan raga hewan sebagaimana kita jumpai pada minotaur—sang pria banteng—atau sentaurus, si manusia kuda.  

Memelihara binatang aduan, seperti kerbau, ayam jago, merpati, jangkrik, atau ikan cupang, merepresentasikan obsesi pria atas kekuatan fisik. Hewan-hewan petarung itu adalah sublimasi maskulinitas destruktif yang mustahil dioperasikan terus-menerus dalam keseharian manusia modern. Kegiatan jasmani tersebut hanya mungkin didemonstrasikan pada masa-masa primitif saat pria di dua suku harus menyelesaikan sebuah konflik.

Ketika peradaban tumbuh dan manusia semakin jinak, adu kekuatan itu diwadahi aktivitas legal macam festival. Dari gladiator hingga smackdown—yang bahkan bisa ditonton bocah-bocah cilik di negara dunia ketiga. Di Madura, ojhung adalah ritual pemanggil hujan yang mempertandingkan dua pria telanjang dada. Adu cambuk rotan berdarah-darah tersebut menjadi pertunjukan maskulin ketika kualitas kejantanan dianggap dapat mendatangkan kesuburan (hujan). Seluruh eksibisi tubuh maskulin itu, dari pergulatan brutal sampai yang cuma berpose setengah bugil di kontes binaraga, tak lain merupakan ekstensi modus adaptasi pria di atas panggung evolusi biologis. Kekuatan otot atau gemerlap bulu ekor menjadi modal simbolik yang memiliki manfaat prospektif demi ketahanan suatu spesies. 

Lalu, modal simbolik hewan-hewan itu diperdaya hasrat manusia ketika transformasi ketidaksadaran ditemukan. Hollywood menangkap fenomena psikis ini dengan baik ketika monyet—makhluk yang sering dianggap licik—bernama Abu adalah binatang yang mewakili profesi jambret sang tuan, Aladdin. Atau dalam How to Train Your Dragon, Toothless merupakan naga yang berwatak seringkih patronnya, Hiccup. Sementara Momo, lemur terbang dalam Avatar: The Last Airbender, sungguh memiliki keselarasan karakter dengan Aang yang lincah di udara.

Representasi Jantanisasi

Secara psikologis, merawat binatang piaraan, seperti melatih kuda pacu, memandikan ayam sabung, atau memberi jamu kuat untuk sapi karapan sejatinya adalah menanam kekuatan kepada sang tuan sendiri. Lebih dalam, hewan-hewan itu bukan lagi turangga sebagai properti yang menyimbolkan status sosial pemiliknya. Ia adalah alter ego seorang pria. Makhluk-makhluk itu merepresentasikan kondisi badani dan rohani si pemelihara. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh, tutur sajak Goenawan Mohamad. Keresahan kuda dalam puisi “Asmaradana” merupakan situasi depresif Damarwulan yang terpaksa meninggalkan kekasihnya karena hendak terjun ke arena perang melawan negara Blambangan. 

Piaraan yang tangguh seakan-akan menandakan bahwa pemiliknya sukses memerankan diri sebagai alpha male. Ketangkasan fisik ini paling sering diukur dari seberapa cepat si hewan bisa berlari meninggalkan kompetitornya jauh di belakang bokong. Kelak, ketika teknologi transportasi menggantikan hewan tunggangan—dan dengan demikian menjelma diri lain yang baru—kendaraan-kendaraan modern itu tak diciptakan untuk jadi alat angkutan belaka sebagaimana pacuan kuda atau karapan sapi. Ia juga dirancang dengan tujuan rekreatif yang menunjukkan kehormatan pria. Kini, trayek Formula 1 dan MotoGP gegap gempita oleh hewan-hewan balap bertubuh besi. 

Dalam khazanah warita sebuah agama Abrahamik, antusiasme terhadap kecepatan kendaraan, misalnya, muncul pada hikayat “Perjalanan Malam sang Nabi” dengan menghadirkan makhluk tunggangan bernama Barak. Para seniman India kerap melukiskan kendaraan samawi ini bertubuh kuda sembrani dengan kepala wanita berwajah tak kalah jelita ketimbang bintang film Bollywood Priyanka Chopra. Namun, kecantikan feminin itu tak lantas membuat Barak kurang heroik daripada aksi gesit mobil-mobil Fast and Furious. Bahkan, ketangkasan kilat tersebut membikin X-15, pesawat paling cepat di dunia milik Angkatan Udara Amerika Serikat yang mampu melaju 7.273 kilometer per jam, tampak sepayah kura-kura tua berusia seabad. Dengan kecepatan tak tepermanai itulah kendaraan surgawi tersebut membawa sang Nabi menembus lapisan astral dan melambungkan kharismanya sebagai patriarkh paling unggul.

Mungkin Barak dan sang Nabi terkesan seperti sebuah antinomi yang membenturkan daya feminin dan energi maskulin. Namun, kisah ini barangkali hendak memberi tahu kita bahwa watak feminin yang lembut merupakan puncak maskulinitas. Sebenarnya, persatuan dua elemen yang seolah-olah paradoks itu tidak terlalu mengejutkan andai kita pernah mendengar bahwa sang Nabi memiliki gelar nur ala nur, yang secara harfiah berarti ‘cahaya di atas cahaya’. Sang Nabi dan Barak merupakan cahaya yang menunggangi cahaya. Barak adalah representasi jantanisasi subtil sang Nabi sendiri. 

Hanya fiksi futuristik semacam pintu ajaib Doraemon yang bisa menyamai kompetensi kuda langit sang Nabi. Meski nyaris muhal menandingi kecepatan Barak—nama ini pernah dipinjam maskapai penerbangan Bouraq Indonesia Airlines yang kandas setelah 35 tahun melayang di angkasa—peradaban manusia tak kunjung lelah menciptakan teknologi-teknologi cepat. Mulai roket yang diharap mampu melipat waktu penjelajahan ruang ekstraterestrial hingga bongkar pasang motor balap liar pemuda kampung di Madura.

(Bersambung)

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Karapan Sapi, Karapan Besi (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/karapan-sapi-karapan-besi-1/feed/ 2 41806