padepokan seni bagong kussudiardja Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/padepokan-seni-bagong-kussudiardja/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 29 Jul 2019 10:06:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 padepokan seni bagong kussudiardja Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/padepokan-seni-bagong-kussudiardja/ 32 32 135956295 Rupa-rupa yang Gentar dan Gemetar https://telusuri.id/pameran-rupa-rupa-yang-gentar-dan-gemetar/ https://telusuri.id/pameran-rupa-rupa-yang-gentar-dan-gemetar/#respond Mon, 21 Jan 2019 15:15:50 +0000 https://telusuri.id/?p=11442 April lalu Djaduk Ferianto hadir di Rumah Banjarsari Solo dalam diskusi berkenaan proses kreatif Bagong Kussudiardja, khususnya menyoal seni tari. Itulah mula perkenalan saya dengan sosok Bagong. Perkenalan terlambat yang saya nikmati, seperti halnya perkenalan-perkenalan...

The post Rupa-rupa yang Gentar dan Gemetar appeared first on TelusuRI.

]]>
April lalu Djaduk Ferianto hadir di Rumah Banjarsari Solo dalam diskusi berkenaan proses kreatif Bagong Kussudiardja, khususnya menyoal seni tari. Itulah mula perkenalan saya dengan sosok Bagong. Perkenalan terlambat yang saya nikmati, seperti halnya perkenalan-perkenalan lain dengan “orang-orang besar” yang baru terjadi seusai mereka tutup usia.

Kendati tidak bisa bertemu untuk menuai kuncup-kuncup pengetahuan langsung darinya, informasi tentang sosok dan karya Bagong terdokumentasi dengan sangat baik. Ini tampak ketika saya menghadiri pameran arsip bertajuk Ruang Waktu Bagong Kussudiardja. Pameran berlangsung pada 29 September-3 November 2018 di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Bantul, Yogyakarta.

Pameran arsip itu menjadi demikian penting untuk mengetahui dan, lebih jauh lagi, mempelajari kesungguhan Bagong dalam berkesenian. Salah satu sumber primer pameran arsip itu adalah arsip pribadi Bagong. Artinya, Bagong memiliki kesadaran akan perlunya kegiatan mengarsip. Ia mencoba mendisiplinkan dirinya untuk melakukan kerja pengarsipan berkenaan dengan karya-karyanya, mulai dari surat-surat kerjasama, surat keputusan, surat undangan, foto-foto perjalanan atau peristiwa kesenian, foto pertemuannya dengan para tokoh dunia, catatan seminar, pola lantai karya koreografinya, dan sejumlah artikel/naskah untuk pertunjukan, untuk media cetak, maupun untuk buku.

Mengutip Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran arsip Ruang Waktu Bagong Kussudiarja, bentangan arsip itu menunjukkan posisi Bagong dalam situasi: dilihat-melihat, dibaca-membaca, ditulis-menulis, dan difoto/direkam-memfoto/merekam.

Sosok Bagong yang dikenal sebagai seniman lintas skena itu kiranya mewujud dalam konsep PSBK. Kita melihat PSBK sebagai ruang berkesenian yang luwes merespon berbagai jenis kesenian—tari, musik, teater, rupa. Dus, perwajahan PSBK kini jelas tak bisa lepas dari semangat Bagong mengimani kesenian sebagai pilihan yang diupayakan dekat dan menjadi milik bersama masyarakat.

rupa-rupa yang gentar dan gemetar
“Deathline” karya Nurina Susanti/Rizka Nur Laily Muallifa

Dalam diskusi Public Lecture (27/10) lalu, diri ini, sebagai awam, mendapat cukup informasi mengenai persinggungan karya-karya Bagong dengan masyarakat. Beberapa tari ciptaan Bagong menjadi milik masyarakat di daerah-daerah tertentu, maksudnya diakui menjadi tarian daerah. Bagong tak pernah mempermasalahkan hal yang demikian. Ia justru senang ketika karyanya dapat diterima dan masih terus dipelajari dalam irama kehidupan bermasyarakat.

Seni tumbuh

Keinginan Bagong itu dengan mudah kita temui dalam kegiatan-kegiatan di PSBK, salah satunya ialah keberadaan program residensi seniman. Program hasil kerjasama PSBK dan Bakti Budaya Djarum Foundation itu setiap tahun membuka kesempatan bagi para seniman terpilih. Program tersebut jelas memberi ruang kepada masyarakat (dalam hal ini seniman dari berbagai daerah) untuk berproses seni bersama di PSBK.

Ihwal ini tidak bisa tidak bertaut dengan gagasan yang melatari Bagong menginisiasi padepokan seni. “Gagasan saya mendirikan padepokan ini muncul di benak saya ketika saya mengikuti pengambilan gambar film “Al-Kautsar” di sebuah pesantren. Saya benar-benar terkesan oleh kehidupan pesantren, hubungan antara yang mendidik dan yang dididik, keseharian para santri, kedisiplinannya, kerja keras mereka untuk mendapatkan ilmu dari para guru mereka, pengabdian mereka pada pesantrennya. Banyak. Di situlah saya mulai tergugah. Betapa baiknya pendidikan pesantren ini ditiru” (1993: 217).

PSBK kemudian menjadi ruang bertumbuhnya karya-karya para seniman. Salah satu kegiatan dengan tajuk Proyek Rupa Tumbuh 2018 menggagas pameran seni rupa karya para seniman residensi, yang secara puitis diberi judul “Menakar yang Gentar dan Gemetar.”

“Menakar yang Gentar dan Gemetar” dalam tujuh karya dari tujuh seniman

Dalam “Menakar yang Gentar dan Gemetar,” penikmat seni menjumpai tujuh karya dari tujuh seniman residensi yang berhasil bertahan. Konon, berdasar cerita dari salah seorang seniman, pada mulanya program residensi yang dimulai akhir tahun lalu itu diikuti oleh sepuluh seniman. Seorang di antaranya tidak dapat melanjutkan program tumbuh bersama di masa-masa awal, disusul dua seniman lain yang mundur atas pertimbangan-pertimbangan khusus oleh seniman yang bersangkutan. Tapi itu tak pernah jadi soal yang terlalu penting.

Tujuh karya yang dipamerkan demikian menarik keingintahuan penikmat seni. Pameran kali ini menarik justru bukan semata karena persoalan estetis atau keindahan karya yang terpajang, melainkan oleh apa-apa yang ada di balik lahirnya masing-masing karya.

Sampai di ruang pameran, saya disambut “Deathline” karya Nurina Susanti. Seniman rupa kelahiran Magetan ini bergelut dengan pandangan dan pengalaman diri dan orang-orang di sekitarnya—lebih banyak anak-anak muda—(serta yang diperolehnya ketika) mengalami hari-hari hiruk-pikuk berkarya dan/atau berkegiatan.

rupa-rupa yang gentar dan gemetar
Caping-caping Sri Kasih Hasibuan/Rizka Nur Laily Muallifa

“Deathline” lahir berkat hari-hari gamang saat “diburu” waktu untuk lekas menyelesaikan karya guna dipamerkan dalam Proyek Rupa Tumbuh; karya ini adalah hasil pengenalan dan pengalaman dirinya saat bersinggungan dengan ragam tenggat. Selesai dengan dirinya, ia hadir kepada teman-temannya, mula-mula memberi pertanyaan, menanggapi jawaban teman dengan pernyataan dan/atau gagasan berkenaan dengan karya yang ingin ia kerjakan. Di situ terjadi alih pengalaman personal dan diskusi. Dua hal yang saya pikir sangat mungkin mendasari penciptaan sebuah karya, apa pun itu.

Bergeser dari karya Nurina yang terasa begitu “muda”—atau justru “anak-anak”—yang bernuansa riang gembira, penikmat bertemu karya Wijil Sinang Purba Waluya. Sinang adalah penulis naskah, aktor, dan sutradara film. Dengan kata lain, Sinang bukan seniman rupa.

Karya itu ialah diri Sinang sendiri, yakni pakaian cokelat Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan nuansa rebel. Konon, orangtua Sinang ingin anaknya menjadi PNS. Sementara dalam diri Sinang, PNS itu karib dengan hal-hal formil. Maka ia mengambil satu yang mencolok, seragam. Seragam yang dipajang tampak riuh oleh pin-pin pertanda jabatan di salah satu lengan, sementara lengan lainnya dipenuhi pin-pin simbol kebebasan (untuk tidak mengatakan terkekang oleh aturan) ala Sinang. Beberapa hiasan lucu berwarna merah muda juga kita jumpai di karya Sinang. Barangkali Sinang ingin mengenalkan dirinya, bahwa ia seorang rebel yang hatinya lembut.

Sri Kasih Hasibuan, seniman tari dan teater asal Medan bermain dengan caping dan kain-kain dengan beberapa teknik seperti lilit dan rajut. Pilihannya menggunakan media caping berkelindan dengan kisah ibunya yang seorang petani. Sementara, kain-kain dengan teknik lilit dan rajut yang berwarna-warni ialah gambaran dirinya mengalami beragam hal dalam perjalanan berkesenian. Pilihan kain yang beragam warna boleh kita anggap sebagai jiwa Kasih yang berani.

Dari keceriaan dan keberanian Kasih, kita bertemu Regina Gandes Mutiary. Seniman musik dan teater asal Jakarta itu tampak berdiri di samping karyanya. Beberapa penikmat menghambur ke arahnya. Perbedaan latar belakang pengetahuan, tingkat literasi antarorang, wilayah tempat tinggal, dan banyak faktor lain merupa ketimpangan sosial yang tak terelakkan. Perbedaan pemahaman dalam menghadapi isu tertentu itu konon mesti dikelola dengan kesadaraan akan toleransi. Dengan begitu, kita tak lagi perlu mempermasalahkan perbedaan. Sebab, bagaimana pun juga, perbedaan itu sudah bersifat kodrati, “given,” akan selalu ada.

Kesadaran untuk menghadapi perbedaan laiknya suatu yang wajar itulah yang mendasari kelahiran karya Gandes. Ia mencampur minyak dan air—dua hal yang jelas berlawanan—dalam satu tabung transparan. Sisi-sisi tabung dikaitkan sehingga berbentuk persegi panjang. Ada dua rangkaian tabung berbentuk persegi panjang yang masing-masing berisi minyak dan air yang telah diberi warna, merah dan biru. Gandes merangkainya menjadi sepaket tuas pengungkit. Ketika tuas digerakkan, kentara betul bagaimana minyak dan air dalam tabung itu menuju penyatuan.

rupa-rupa yang gentar dan gemetar
Karya seni Istifadah Nur Rahma/Rizka Nur Laily Muallifa

Ada pula karya Istifadah Nur Rahma yang galau perkara jilbab di panggung pementasan. Bagi sebagian seniman teater perempuan, perkara jilbab ini kadang agak membingungkan. Kata Isti, jilbab itu kegalauan antara kepatuhan dan pilihan, hal yang lumrah dan terasa “biasa.”

Yang lumrah dan terasa biasa ini juga tampak dari karya Muhammad Tahta Gilang Anfasya Nasution, yang mengingatkan saya pada karya cukil kayunya Muhlis Lugis (2015). Muhlis menanggapi peristiwa sosial manusia-manusia gandrung ponsel di segala waktu. Manusia rekaan Muhlis tak punya kepala. Yang melekat di lehernya justru sebuah tangan, tentu saja yang menggenggam ponsel. Dua tangan lain juga tak alpa menggenggam ponsel yang di layarnya tampak penuh ikon aplikasi.

Pertautan ingatan dan pengalaman menikmati seni rupa di masa lalu rupanya cukup mengganggu saya mengenali karya Gilang. Di akhir tahun 2018, suara atau barangkali kegelisahan Gilang menghadapi dunia sosial gegar ponsel pintar tak lagi menghentak jiwa penikmat seni. Kegelisahan itu, kendati masih relevan, terasa biasa saja.

Sebelum menuruni tangga, penikmat bertemu karya Slamet Irfan. Dakron-dakron menyembul laiknya awan gemawan. Kain-kain lilit beragam warna menjuntai. Panjangnya berbeda-beda. Ada yang sangat pendek, ada pula yang sampai melingkar di lantai sebab terlalu panjang. Jika awan dari dakron-dakron itu ialah cita-cita atau mimpi, maka pendek-panjangnya kain itu tak lain ialah upaya menuju ke sana. Upaya itu juga bertaut kesediaan uang, pengetahuan, relasi sosial, dan lain-lain.

Kiranya, karya tujuh seniman residensi ini cukup berhasil merepresentasikan apa yang dilaik disebut Proyek Rupa Tumbuh. Tsah!

The post Rupa-rupa yang Gentar dan Gemetar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pameran-rupa-rupa-yang-gentar-dan-gemetar/feed/ 0 11442
“Menakar yang Gentar dan Gemetar” di Ruang Seni Rupa https://telusuri.id/ruang-seni-rupa-november-desember/ https://telusuri.id/ruang-seni-rupa-november-desember/#respond Thu, 08 Nov 2018 15:19:03 +0000 https://telusuri.id/?p=10921 Kalau kamu lagi lelah menghadapi semuanya—sekolah, pekerjaan, dagelan politik—nggak ada salahnya buat traveling ke Jogja dan mampir ke Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK). Kenapa? Soalnya bulan November-Desember ini bakalan ada salah satu acara khas PSBK,...

The post “Menakar yang Gentar dan Gemetar” di Ruang Seni Rupa appeared first on TelusuRI.

]]>
Kalau kamu lagi lelah menghadapi semuanya—sekolah, pekerjaan, dagelan politik—nggak ada salahnya buat traveling ke Jogja dan mampir ke Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK). Kenapa? Soalnya bulan November-Desember ini bakalan ada salah satu acara khas PSBK, yakni pameran Ruang Seni Rupa (RSR). Kamu bisa relaks di Jogja sambil menikmati seni.

Seniman yang ambil bagian adalah mereka yang terpilih untuk ikut program Seniman Pasca-terampil (SPt) 2018. Ada tujuh orang yang berasal dari disiplin yang berbeda. Mereka adalah Istifadah Nur Rahma (teater), Slamet Irfan (teater dan musik), M.T. Gilang Anfasha Nasution (rupa), Nurina Susanti (rupa), Regina Gandes Mutiary (musik dan teater), Sri Kasih Hasibuan (teater dan tari), dan Wijil Sinang Purba (teater dan film).

Judul RSR kali ini—sebagaimana judul-judul sebelumnya—lumayan nakal, Sob, yakni “Menakar yang Gentar dan Gemetar.” Pameran ini bakalan seru. Soalnya, ini adalah hasil pengamatan dan perenungan para seniman terhadap kondisi masyarakat yang heterogen. Pastinya bakal relevan banget sama situasi sekarang.

Poster Ruang Seni Rupa November-Desember 2018

Poster Ruang Seni Rupa November-Desember 2018/PSBK

Menurut penanggung jawab program, Teguh Hari Prasetyo, dalam siaran pers, “Ketujuh seniman akan membagikan pengalaman baik dengan melihat ke luar ataupun melihat ke dalam diri sendiri, dalam konteks berkesenian. Karena dalam pilihan berkesenian juga selalu muncul dua sisi bertentangan, baik dalam diri sendiri maupun dalam masyarakat kesenian. Proses ini kemudian menjadi pencarian, bagaimana memahami faktor-faktor yang memunculkan kondisi tersebut dan bagaimana masing-masing individu meresponnya.”

Sepulang dari RSR November-Desember ini, kamu bakal merasa bahwa kamu nggak sendirian. Kegelisahan dan kegeraman yang kamu rasakan juga dirasakan oleh orang lain—setidaknya oleh para seniman yang menampilkan karya.

Kapan dan di mana?

Pembukaan pameran RSR November-Desember ini bakal diadakan tanggal 16 November 2018 pukul 19.30. Pamerannya sendiri bakal berlangsung dari mulai tanggal 16 November-1 Desember 2018. Dari Selasa sampai Sabtu pukul 11.00-18.00, kamu bebas mengunjungi pameran ini.

Lokasinya adalah di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Ds. Kembaran RT 04-05, Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY. Kabar baiknya, untuk menonton Ruang Seni Rupa, kamu nggak perlu bayar serupiah pun alias gratis.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Menakar yang Gentar dan Gemetar” di Ruang Seni Rupa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ruang-seni-rupa-november-desember/feed/ 0 10921
Ketidakselarasan Estetik Bagong Kussudiardja dan Ahli Warisnya dalam “Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu” https://telusuri.id/ahli-waris-bagong-kussudiardja/ https://telusuri.id/ahli-waris-bagong-kussudiardja/#respond Tue, 08 May 2018 06:34:04 +0000 https://telusuri.id/?p=8557 Saya datang ke pembukaan pameran “Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu” karena penasaran: seberapa jauh “buah-buah” Bagong Kussudiardja jatuh dari pohonnya? Sang kurator pameran, Sunarno Wisetrotomo, membuat saya makin penasaran. Pasalnya, dalam sambutan kuratorial ia memberi...

The post Ketidakselarasan Estetik Bagong Kussudiardja dan Ahli Warisnya dalam “Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu” appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya datang ke pembukaan pameran “Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu” karena penasaran: seberapa jauh “buah-buah” Bagong Kussudiardja jatuh dari pohonnya?

Sang kurator pameran, Sunarno Wisetrotomo, membuat saya makin penasaran. Pasalnya, dalam sambutan kuratorial ia memberi spoiler. Ia mengatakan bahwa dalam pameran karya-karya Bagong Kussudiardja dan para pewarisnya ini kita akan menyaksikan “kemenerusan dan keterputusan estetik.”

bagong kussudiardja

Kuartet Anteng Kitiran membawakan sebuah nomor “fusion jazz” untuk membuka pameran/Fuji Adriza

Untungnya, rasa penasaran saya tak perlu menunggu lama. Usai sambutan dari Slamet Rahardjo dan Sakti Wahyu Trenggono, semua dipersilakan memasuki ruang pameran.

Bagong Kussudiardja yang menari dalam lukisan

Bersama puluhan orang yang penasaran, saya memasuki ruangan tempat puluhan karya sang maestro dipamerkan. (Karya para pewaris berada di lantai dua.)

Ruangan itu berisi puluhan sketsa dan lukisan—serta kerajinan—yang dibuat oleh Bagong antara tahun 1986-2002. Juga, ada satu unit monitor yang memutar video-video tentang seniman kawakan itu.

bagong kussudiardja

Slamet Rahardjo, murid sang maestro, memberikan kata sambutan/Fuji Adriza

Dari puluhan bingkai yang dipamerkan, hanya beberapa lukisan saja yang warna-warni. Sisanya bernuansa hitam putih. Semuanya bercerita tentang satu hal, yakni tari.

Dalam teks kuratorial, Sunarno Wisetrotomo menulis: “(Dalam karya-karya Bagong Kussudiardja yang dipamerkan) Kita bisa melihat upayanya untuk memahami penari sebagai manusia dan kepenariannya melalui karya-karya sketsa yang merekam berbagai tarian.”

Namun, bisa jadi sketsa dan lukisan itu malah, sebaliknya, semacam cetak biru dari letupan-letupan ide koreografi dalam alam pikiran seniman Bagong yang, sebelum mewujud dalam gerakan, menemukan stasiun transit, yakni bidang datar, layaknya partitur bagi seorang komposer musik.

bagong kussudiardja

Sketsa-sketsa karya Alm. Bagong/Fuji Adriza

Yang juga menarik adalah kumpulan seni kerajinan (craft art) (dari kawat, duco, dan cat) berjudul “Patung Menari.” Dibuat antara tahun 1994 sampai 1999, patung-patung kecil itu adalah cuplikan dari perjalanan kreatif sang maestro selama beberapa tahun.

Para pewaris yang tidak “mem-Bagong”

Dari ruang pamer lantai satu, saya kemudian naik tangga kayu sempit menuju lantai dua. Rasanya sudah tak sabar lagi untuk memahami maksud “kemenerusan dan keterputusan estetik” yang tadi disinggung-singgung sang kurator.

bagong kussudiardja

Djaduk Ferianto memotret seorang kawannya yang sedang berpose/Fuji Adriza

Karya-karya para pewaris tak kalah menarik. Djaduk Ferianto mengabadikan tarian kehidupan dalam bingkai-bingkai foto hitam-putih. Otok Bima Sidarta mengekspresikan diri dan ke-Indonesiaan-nya dalam lukisan-lukisan bertema tokoh pewayangan yang penuh warna. Butet Kertaredjasa menyuarakan dirinya lewat mainan barunya: seni rupa keramik. Sementara itu, Doni “Aul” Maulistya menggabungkan desain grafis dan fotografi.

Saya mulai memahaminya. Barangkali, “kemenerusan dan keterputusan estetik” itu ada pada kenyataan bahwa para pewaris Bagong Kussudiardja tetap menekuni seni tanpa harus “mem-Bagong.” Para pewaris itu, sama seperti Bagong, seperti sadar betul bahwa seni adalah persoalan mengekspresikan ide dalam bahasa-bahasa seni, entah tari, musik, rupa.

bagong kussudiardja

Lukisan Otok Bima Sidarta yang banyak mengangkat tokoh-tokoh pewayangan/Fuji Adriza

Maka, ketika ide menjadi hal terpenting, medium takkan pernah menjadi persoalan. Sebuah ide yang matang pasti akan dapat dibahasakan melalui medium apa pun.

Lihat saja foto-foto hitam putih Djaduk Ferianto yang masih kental nuansa musik dan tari. Karya-karya keramik Butet Kertaredjasa juga ternyata tak jauh-jauh dari permainan kata dan pesan-pesan politik. (Lihat seni keramik yang berjudul Nirtekstil, juga Celeng Berbulu Doreng dan Celeng Berbulu Beringin yang dipajang di tengah-tengah ruangan.) Begitu juga dengan lukisan-lukisan Otok Bima Sidarta yang tetap tak kehilangan nuansa karawitan.

bagong kussudiardja

Butet Kertaredjasa menampilkan karya seni rupa keramik/Fuji Adriza

“Kemenerusan dan keterputusan estetik” yang dimaksud Sunarno Wisetrotomo mengindikasikan keberhasilan sang maestro dalam mendidik dan mematangkan karakter para pewaris biologisnya.

Ketidakselarasan estetik

Ada ekspresi lain—yang saya pinjam dari disiplin ilmu geologi—yang barangkali lebih pas dibanding “kemenerusan dan keterputusan estetik,” yakni ketidakselarasan estetik (aesthetical unconformity).

Karena seni adalah eskpresi, ia tak dapat dipisahkan dari konteks zaman. Kondisi sosio-kultural—termasuk situasi politik dan perkembangan teknologi—sangat memengaruhi bagaimana seniman mengekspresikan diri dalam karya.

bagong kussudiardja

Karya Doni “Aul” Maulistya yang banyak mengangkat sosok Bunda Maria/Fuji Adriza

Kondisi-kondisi itulah yang pada akhirnya memancing munculnya karakter yang berbeda (tidak-selaras) antargenerasi, yang, kendati demikian, tetap berada pada satu bidang yang sama, yakni seni.

Ketidakselarasan itulah barangkali yang dimaksud oleh Butet Kertaredjasa, mengutip pernyataannya dalam statetment seniman, sebagai “keberanian menawar kembali batas-batas normatif berkesenian.”

Maka rasa-rasanya kita bisa kembali ke paragraf awal untuk menjawab pertanyaan: seberapa jauh “buah-buah” Bagong Kussudiardja jatuh dari pohonnya? Jatuhnya, sepertinya, tidak jauh. Namun “buah-buah” itu sekarang sudah tumbuh menjadi pohon-pohon kuat yang semakin membesar dan, barangkali, suatu saat akan menyamai atau bahkan melebihi pohon Bagong.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ketidakselarasan Estetik Bagong Kussudiardja dan Ahli Warisnya dalam “Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ahli-waris-bagong-kussudiardja/feed/ 0 8557
Pameran “Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu” di PSBK https://telusuri.id/ahli-waris-etape-satu-2018/ https://telusuri.id/ahli-waris-etape-satu-2018/#respond Mon, 07 May 2018 04:38:32 +0000 https://telusuri.id/?p=8542 Meskipun seniman kawakan Alm. Bagong Kussudiardja (BK) sudah berpulang beberapa tahun yang lalu, ia masih tetap hidup dalam semangat para pewarisnya. Maka, untuk memperingati 90/60/40 Annivesary Year 2018, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) bakal ngadain...

The post Pameran “Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu” di PSBK appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun seniman kawakan Alm. Bagong Kussudiardja (BK) sudah berpulang beberapa tahun yang lalu, ia masih tetap hidup dalam semangat para pewarisnya.

ahli waris etape satu

Bagong Kussudiardja via psbk.or.id

Maka, untuk memperingati 90/60/40 Annivesary Year 2018, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) bakal ngadain sebuah pameran spesial yang bakal menampilkan sketsa dan lukisan BK sekaligus karya para pewarisnya.

Pameran retrospeksi Bagong Kussudiardja (dan para pewarisnya) tahun ini diberi tajuk “Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu.”

BK, anak-anaknya, dan cucunya

Sebagian besar anak-anak BK mengikuti jejaknya dengan menjadi seniman multi-disiplin. Artinya, para pewarisnya itu kebanyakan menekuni lebih dari satu disiplin kesenian.

Otok Bima Sidarta, putra keempat BK, dikenal sebagai seniman karawitan. Namun, selain menyelami karawitan ia juga melukis objek-objek bertema seni tradisi, seperti wayang, dan mengabadikan persoalan-persoalan keseharian.

ahli waris etape satu

Anak-anak dan cucu Alm. Bagong Kussudiardja; atas (ki-ka) Otok Bima Sidarta, Butet Kartaredjasa; bawah (ki-ka) Djaduk Ferianto, Doni Maulistya/PSBK

Butet Kertaredjasa lain lagi. Meskipun putra kelima BK ini secara formal belajar seni lukis di FSR ISI Yogayakarta, Butet kemudian ternyata nggak cuma melukis, tapi juga main film dan menulis. Di antara anak-anak BK, barangkali ia adalah yang paling ekspresif menyuarakan aspirasi politik.

Putra Bungsu BK, Djaduk Ferianto, adalah komposer, koreografer, sutradara, produser, dan fotografer. Selain berkesenian, ia juga aktif membuat wadah-wadah kesenian. Dari tangan dinginnya hadir Ngayogjazz dan Pasar Keroncong Kotagede.

Darah seni yang diturunkan BK ternyata masih kental sampai cucunya. Doni “Aul” Maulistya, anak putri BK, Ida Manu Trenggono, mengekspresikan diri dengan memotoret. Di usianya yang masih muda, ia sudah berkali-kali mengadakan pameran dan juga meraih award.

Pameran ini dikurasi oleh Suwarno Wisetrotomo, akademisi di ISI Yogyakarta dan kurator di Galeri Nasional Indonesia.

Pameran Ahli Waris Etape Satu bakal diadakan selama hampir dua bulan

Ahli Waris Etape Satu bakal diadakan selama hampir dua bulan, dari 7 Mei sampai 30 Juni 2018.

Pameran ini sebenarnya adalah bagian dari sebuah rangkaian panjang untuk memperingati pencapaian Bagong Kussudiardja.

ahli waris etape satu

Poster Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu via psbk.or.id

Setelah Ahli Waris Etape Satu, bulan September nanti akan diadakan Pameran Arsip Bagong Kussudiardja (selama sekitar dua bulan); bulan Oktober bakal ada Gelar Seni Gugus Bagong & Reuni Mantan Cantrik-Mentrik PSBK; dan, puncaknya, pada bulan November bakal diluncurkan sebuah buku tentang BK yang berjudul “Berbagai Sisi Bagong Kussudiardja.”

Kalau penasaran sama Ahli Waris Etape Satu, mampir saja ke Padepokan Seni Bagong Kussudiardja di Ds. Kembaran RT 04-05, Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY.


Intip pameran “Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu” di sini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pameran “Sirkuit: Ahli Waris Etape Satu” di PSBK appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ahli-waris-etape-satu-2018/feed/ 0 8542
Jagongan Wagen Desember, Memaknai Keindahan lewat Pertunjukan Teater “Sekar Murka” https://telusuri.id/jagongan-wagen-desember-memaknai-keindahan-lewat-pertunjukan-teater-sekar-murka/ https://telusuri.id/jagongan-wagen-desember-memaknai-keindahan-lewat-pertunjukan-teater-sekar-murka/#respond Wed, 13 Dec 2017 15:00:36 +0000 https://telusuri.id/?p=4608 Kalau kamu belum punya acara Sabtu malam besok, nggak ada salahnya buat mampir ke Jagongan Wagen Desember. Seperti bulan November kemarin, Jagongan Wagen penutup tahun 2017 kembali menghadirkan pertunjukan teater. Tentu saja dengan penampil dan...

The post Jagongan Wagen Desember, Memaknai Keindahan lewat Pertunjukan Teater “Sekar Murka” appeared first on TelusuRI.

]]>
Kalau kamu belum punya acara Sabtu malam besok, nggak ada salahnya buat mampir ke Jagongan Wagen Desember. Seperti bulan November kemarin, Jagongan Wagen penutup tahun 2017 kembali menghadirkan pertunjukan teater. Tentu saja dengan penampil dan kisah yang berbeda.

“Sekar Murka,” persembahan Jaring Project di Jagongan Wagen Desember

Penampil pada Jagongan Wagen Desember adalah Jaring Project. Kelompok ini adalah salah satu kelompok teater peraih Hibah Seni Jagongan Wagen. Untuk tampil Sabtu malam nanti, mereka sudah mempersiapkan karya dan berlatih selama sekitar satu bulan.

Karya mereka yang berjudul “Sekar Murka” akan mengangkat cerita mengenai bunga, perempuan, dan keindahan. Bunga, bagi Jaring Project “pastilah pusat perhatian sekaligus titik persoalan.” Bunga dan keindahan ini akan direpresentasikan melalui perempuan “yang menjadi kunci yang bisa membuka motif-motif sosial tersembunyi.”

Tenang saja. Kamu nggak bakalan nge-blank kok menyaksikan karya Jaring Project. Pertunjukan teater ini mengangkat sesuatu yang “dekat dengan realitas sosial saat ini … konflik yang sederhana tapi padat, serta penuh tanda tanya yang harus terus diselisik.”

Kalau kamu selalu bertanya-tanya tentang apa yang diinginkan orang-orang—yang selalu bergegas di jalan raya, misalnya—barangkali pertunjukan ini akan semakin membuka cakrawala berpikir kamu. Seni memang punya caranya sendiri untuk membangun kesadaran pada individu (yang pada akhirnya akan membangun kesadaran masyarakat.)

Jagongan Wagen Desember

Poster Jagongan Wagen Desember via psbk.or.id

Siapa saja yang terlibat di Jaring Project?

Para seniman Jaring Project sudah terlibat kerja kolektif sejak 2013. Mereka memulai debut dengan menampilkan sebuah monolog Menjaring Malaikat pada tahun 2016. Mereka terus berusaha untuk mengakomodasi seni kolaborasi yang menyatukan banyak disiplin.

Pada project “Sekar Murka,” yang menjadi sutradara adalah Ibed Surgana Yuga. Ia akan mengarahkan tiga orang pemain (Anisa Hertami, Jamaluddin Latif, dan M. Dinu Imansyah). Pertunjukan ini juga didukung oleh Andreas Praditya (stage manager), Andy Setyanta (pimpinan produksi), Desi Puspitasari (penulis naskah), Ishari Sahida/Ari Wulu (penata suara dan musik), Roby Setiawan (penata artistik), dan Utroq Trieha (pencatat proses).

Kapan dan di mana?

Jagongan Wagen Desember akan diadakan pada Sabtu, 16 Desember 2017, pukul 19.30 WIB di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Ds. Kembaran RT 04, Kel. Tamantirto, Kec. Kasihan, Kab. Bantul, DIY.

Gratis, nggak?

Gratis!

The post Jagongan Wagen Desember, Memaknai Keindahan lewat Pertunjukan Teater “Sekar Murka” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jagongan-wagen-desember-memaknai-keindahan-lewat-pertunjukan-teater-sekar-murka/feed/ 0 4608
“Sampai Hari Ini” PSBK Mampir di Jakarta https://telusuri.id/pertunjukan0-sampai-hari-ini-psbk-jakarta/ https://telusuri.id/pertunjukan0-sampai-hari-ini-psbk-jakarta/#respond Mon, 06 Nov 2017 12:50:15 +0000 http://telusuri.id/?p=3356 Setelah sukses menyelenggarakan pertunjukan “Sampai Hari Ini” di Jagongan Wagen, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Bantul, September lalu, para seniman penerima beasiswa Program Seniman Pasca Terampil 2017 bakal mampir di Jakarta. Karya yang dipertunjukkan pada...

The post “Sampai Hari Ini” PSBK Mampir di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah sukses menyelenggarakan pertunjukan “Sampai Hari Ini” di Jagongan Wagen, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Bantul, September lalu, para seniman penerima beasiswa Program Seniman Pasca Terampil 2017 bakal mampir di Jakarta.

Karya yang dipertunjukkan pada “Sampai Hari Ini” terinspirasi dari Kitab Omong Kosong (Persembahan Kuda) yang ditulis oleh sastrawan kondang, Seno Gumira Ajidarma. “Sampai Hari Ini” ingin menghadirkan spirit kritis. Tujuannya untuk menguji kembali nilai dan berbagai pemahaman tentang kepercayaan, kebenaran, empati, dan cara manusia memaknainya. Caranya dengan mengulik cerita perjalanan hidup Rama dan Shinta. Dua sejoli itu justru tidak menemukan kebahagiaan setelah mengalahkan Rahwana karena membangun hubungan dengan fondasi kepercayaan yang rapuh.

Eh, tunggu dulu! Padepokan Seni Bagong Kussudiardja itu apa ya?

Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) adalah pusat kegiatan kesenian yang didirikan oleh Alm. Bagong Kussudiardja pada 2 Oktober 1978. Menurut Bagong, pelukis dan koreografer kenamaan, “kehidupan seni memberikan kontribusi untuk perkembangan ide, cita-cita, dan nilai kehidupan manusia.”

Spirit itulah yang terus diusung oleh PSBK, dengan menjadi sebuah pusat seni yang mendukung pengembangan kreatif seniman dan masyarakat umum untuk terus terhubung pada nilai-nilai seni dan budaya, keberlanjutannya, dan penciptaan nilai-nilai budaya melalui seni. Singkat cerita, PSBK jadi semacam laboratorium kreatif, tempat berkumpul, ruang presentasi karya seniman dari berbagai disiplin.

Poster “Sampai Hari Ini”/PSBK

Oke. Terus, siapa saja seniman yang terlibat?

Lumayan, guys. Ada 6 orang seniman lintas disiplin peraih beasiswa Program Seniman Pasca Terampil 2017, yaitu Ahmad Abdushomad (seniman teater), Andrik Musfalri (seniman rupa), Endang Setyaningsih (seniman tari), Galuh Tulus Utama (seniman teater), Hangga Uka H N A P (seniman tari), dan Rafika Dian Anggraini (seniman rupa).

Kapan dan di mana?

Acara yang berlangsung berkat dukungan Bakti Budaya Djarum Foundation ini berlangsung pada Jumat, 10 November 2017 pukul 19.00 di Galeri Indonesia Kaya, West Mall Grand Indonesia, Level 8, Jakarta.

Gratis nggak, nih?

Tenang. Sama kayak acara yang di Jogja, acara di Jakarta juga gratis. Yang perlu kamu lakukan cuma reservasi di www.indonesiakaya.com. Buruan daftar sebelum kehabisan tempat!

The post “Sampai Hari Ini” PSBK Mampir di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pertunjukan0-sampai-hari-ini-psbk-jakarta/feed/ 0 3356
Konser Suluk Matahari PSBK, “Mataharinya Satu, Milik Kita Bersama” https://telusuri.id/konser-suluk-matahari-psbk/ https://telusuri.id/konser-suluk-matahari-psbk/#respond Sat, 28 Oct 2017 02:00:52 +0000 http://telusuri.id/?p=3106 Lewat beberapa menit setelah jadwal yang ditentukan ketika akhirnya lampu penerang tribun penonton dimatikan. Gantinya, lampu sorot dihidupkan. Kuricorder Quartet & Friends pun masuk. Setelah menduduki kursi masing-masing, setiap personel grup musik itu dengan ramah...

The post Konser Suluk Matahari PSBK, “Mataharinya Satu, Milik Kita Bersama” appeared first on TelusuRI.

]]>
Lewat beberapa menit setelah jadwal yang ditentukan ketika akhirnya lampu penerang tribun penonton dimatikan. Gantinya, lampu sorot dihidupkan. Kuricorder Quartet & Friends pun masuk. Setelah menduduki kursi masing-masing, setiap personel grup musik itu dengan ramah menyapa penonton yang sudah memenuhi Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Bantul, Yogyakarta, 26 Oktober 2017.

Tak lama kemudian, Konser “Suluk Matahari” pun dimulai. Kuartet asal Negeri Matahari Terbit itu membuka pertunjukan dengan sebuah nomor berjudul My Lady Carey’s Dompe, sebuah komposisi pengiring tarian tradisional Inggris peninggalan Zaman Renaisans. My Lady Carey’s Dompe diperkirakan ditulis hampir setengah milenium yang lalu, 1525, semasa Raja Henry VIII.

konser suluk matahari psbk

Toshiaki Chiku berlatih sebelum konser/Fuji Adriza

Lagu yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai Kekasihku Termangu itu pun sukses membuat para penonton termangu. Mereka tak kuasa mengalihkan perhatian dari Kuricorder Quartet & Friends—yang terdiri dari Kuricorder Quartet (Masaki Kurihara, Yoshiyuki Kawaguchi, dan Takero Sekijima), Minoru Yoshikawa, dan Toshiaki Chiku—sampai nada terakhir tuntas dimainkan.

Keindahan yang sederhana dan elegan dari musik Kuricorder Quartet & Friends

Kuricorder Quartet & Friends seolah-olah ingin mengatakan pada dunia bahwa kualitas musik tidak semata bergantung pada kecanggihan instrumen. Rekorder, yang di Indonesia cuma dijadikan alat musik untuk memperkenalkan kesenian pada anak-anak, menjadi menarik ketika dimainkan oleh para virtuoso itu.

Grup musik asal Jepang ini memang mengusung instrumen-instrumen aerophone (alat musik tiup). Berganti-ganti mereka memainkan rekorder, melodica, crumhorn, great bass recorder, saksofon, tuba, jew’s harp, dan lain-lain. Alat-alat musik tiup itu ditemani oleh guitalele dan ukulele yang dipetik secara jenaka oleh Toshiaki Chiku (Chiku). Harmonisasi dari alat musik tiup dan petik itu menghasilkan sesuatu yang indah, tegas, dan mengakar.

konser suluk matahari psbk

Kuricorder Quartet & Friends dari Jepang sedang tampil/Fuji Adriza

Sensasi saat mendengarkan Kuricorder Quartet & Friends seperti sensasi yang muncul ketika melihat tunas baru tumbuh di pagi hari. Daunnya memang seperti kepayahan menahan embun, tapi tunas itu sendiri adalah sesuatu yang menjanjikan sekaligus misterius. Tidak ada yang bisa menebak ia akan tumbuh menjadi pohon seperti apa.

Misalnya ketika Minoru Yoshizawa (maestro rekorder) dan Chiku berduet membawakan komposisi John Dowland, The Frog Galliard. Hanya berbekal dua instrumen, yakni rekorder dan guitalele, melodi-melodi yang mereka mainkan secara presisi berhasil membuat panggung terasa meriah.

Seperti mendengarkan musik pengiring film kartun “Tonari no Totoro”

Barangkali penonton terpana menyaksikan penampilan Kuricorder karena lagu-lagu yang dibawakan grup musik itu mengingatkan mereka pada masa kecil. Bukan berarti bahwa Kuricorder membawakan lagu-lagu yang pernah didengar penonton di masa kecil; Kuricorder berhasil membangun suasana segar khas masa kanak-kanak, yang seolah ditinggalkan begitu saja saat manusia beranjak dewasa.

Repertoar Kuricorder dalam Konser Suluk Matahari ini memang didominasi oleh lagu anak-anak. Yukidaruma Kozoku adalah lagu tentang keluarga boneka salju. Lagu berjudul Ranchu merupakan lagu anak-anak tentang ikan mas yang dinyanyikan secara solo oleh Chiku, yang aksi kocaknya mengundang tawa penonton. Nomor-nomor lain seperti Little Suite “Pythagora Switch”, Sunayama (Gunung Pasir), dan Osaru no Kagoya (Curious Basket of Curious) juga adalah lagu yang digubah untuk anak-anak.

konser suluk matahari psbk

Dari kanan ke kiri: Masaki Kurihara, Yoshiyuki Kawaguchi, dan Takero Sekijima/Fuji Adriza

Suasana ceria khas dunia anak-anak pun bertambah kental oleh suara Chiku yang begitu bersemangat dan jenaka. Meskipun para penonton tidak paham apa yang dinyanyikan—karena dalam bahasa Jepang—berkali-kali mereka terpingkal-pingkal melihat tingkah musisi itu. Suara Chiku mengingatkan saya kepada suara unik Elda Suryani dari Stars and Rabbit, mantan vokalis Evo.

Mendengarkan musik Kuricorder Quartet & Friends membawa saya pada adegan-adegan dalam salah satu film Studio Ghibli, Tonari no Totoro. Serasa berlari-lari di halaman rumput yang luas, berkali-kali terjatuh, tapi tidak kapok juga untuk bermain, sebab matahari masih di atas sana—hari belum malam dan ibu belum memanggil untuk pulang.

Ketika kolaborasi terjadi

Kua Etnika mulai “ikut main” pada repertoar kedelapan, yakni Mayonnaise No. 2 yang digubah oleh Masaki Kurihara. Tapi yang naik panggung baru Djaduk Ferianto dan Sukoco.

Fusi mulai terjadi. Akurasi instrumen modern yang dibalut oleh potensi ketidakterdugaan alat musik tradisional ternyata berbuah pada sesuatu yang unik. Lagu Mayonnaise No. 2 yang semula terdengar “mono” menjadi “stereo” setelah ditambah tabuhan kendang dan perkusi oleh dua musisi tanah air tersebut.

Setelah Kuricorder menampilkan sepuluh lagu, barulah Kua Etnika muncul dengan anggota lengkap. Komunitas musik yang digagas oleh Djaduk Ferianto, Butet Kertaradjasa, dan Purwanto itu menyapa penonton dengan sebuah lagu berjudul Bromo. Suasana pun berubah. Akurasi Kuricorder Quartet & Friends sekarang ditemani oleh alunan musik Kua Etnika yang kaya rasa. Simplisitas Jepang mulai berkelindan dengan nuansa etnik Nusantara.

konser suluk matahari psbk

Kolaborasi Kuricorder Quartet & Friends dan Kua Etnika/Fuji Adriza

Kuricorder dan Kua Etnika berkolaborasi penuh dalam empat lagu, yakni Sheep Thief (Pencuri Domba), Srengenge Yunar, Jawa Dwipa, dan Ashi (Stand on Your Own Two Feet). Lagu pertama dan lagu terakhir dari Kuricorder, sementara dua lagu lain berasal dari Kua Etnika.

Di antara keempat lagu itu, kolaborasi yang paling gayeng terjadi dalam lagu Srengenge Yunar, yang bercerita tentang matahari.

“Mataharinya satu, milik kita bersama,” ujar Djaduk Ferianto sebagai pembuka. Di nomor itu, Djaduk Ferianto dan Chiku bergantian bernyanyi dalam bahasa Indonesia dan Jepang diiringi oleh alunan musik Kuricorder dan Kua Etnika. Nuansa tembang yang semula Jawa-Indonesia berubah begitu saja ketika Chiku menyanyikannya dalam bahasa Jepang.

“Gayeng” meskipun tanpa “encore”

Di lagu terakhir, Kuricorder dan Kua Etnika seperti dua anak yang sedang membuat kerajinan tangan. Kuricorder membuat kerangka yang presisi, Kua Etnika menghiasi kerangka itu dengan ornamen indah aneka warna. Hasilnya adalah sebuah prakarya yang tak mungkin diberi nilai rendah oleh guru kriya.

Begitu Ashi selesai dimainkan, penonton langsung bertepuk tangan dan bersorak riuh. Para musisi membungkuk hormat kepada para penonton, lalu satu per satu turun dari panggung.

konser suluk matahari psbk

Foto bareng seusai konser/Fuji Adriza

Saya yang tetap diam di bangku penonton diam-diam menantikan encore, sebab kebanyakan konser di PSBK akan diakhiri dengan teriakan “Lagi! Lagi! Lagi!” atau “Encore! Encore! Encore!” Dan para musisi akan kembali ke panggung dengan nomor anyar yang sudah dipersiapkan atau mengulang salah satu lagu.

Tapi, kali ini sepertinya para penonton begitu terpukau sampai-sampai lupa berteriak, “Lagi!” Ini bukan sarkastik; penonton memang sangat terpesona oleh konser kolaborasi ini. Buktinya hanya sedikit sekali yang sibuk main ponsel waktu konser sedang berlangsung. Dalam hati, mereka pasti bertanya-tanya, “Kapan Kuricorder Quartet & Friends main lagi di PSBK?”

The post Konser Suluk Matahari PSBK, “Mataharinya Satu, Milik Kita Bersama” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/konser-suluk-matahari-psbk/feed/ 0 3106
“Suluk Matahari,” Dialog Musik Jepang dan Indonesia https://telusuri.id/konser-psbk-suluk-matahari/ https://telusuri.id/konser-psbk-suluk-matahari/#comments Mon, 23 Oct 2017 01:00:58 +0000 http://telusuri.id/?p=3018 Budaya pop Jepang sudah lama masuk ke Indonesia. Anak kecil nggak bisa dipisahkan dari kartun dan komik Jepang, remaja gaul pasti (pernah) nonton anime yang agak berat dan dengerin musik “j-rock,” sementara yang agak lebih...

The post “Suluk Matahari,” Dialog Musik Jepang dan Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Budaya pop Jepang sudah lama masuk ke Indonesia. Anak kecil nggak bisa dipisahkan dari kartun dan komik Jepang, remaja gaul pasti (pernah) nonton anime yang agak berat dan dengerin musik “j-rock,” sementara yang agak lebih tua senang buku-bukunya Haruki Murakami.

Tapi, kalau cuma sekadar itu, kita hanya jadi pasar. Sekarang waktunya berdialog, entah dengan cara merespon karya atau mengajak budaya pop Jepang untuk berkolaborasi dengan Indonesia. “Maksudnya gimana, Lur?” Sabar, baca dulu woro-woro di bawah ini.

konser psbk suluk matahari

Poster Konser Suluk Matahari/PSBK

Dialog antara Musisi Jepang dan Indonesia

Bulan Oktober ini, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja kedatangan tamu dari Negeri Sakura, yakni Kuricorder Quartet & Friends. Dari namanya kamu pasti sudah bisa menebak kalau alat musik yang mereka tonjolkan adalah rekorder, alat musik tiup yang dulu kamu pelajari di sekolah. Selain itu, Kuricorder Quartet & Friends juga memainkan instrumen lain seperti saksofon dan ukulele—musiknya renyah!

Nah, Kuricorder Quartet & Friends bakal berkolaborasi dengan Kua Etnika, komunitas musik yang digagas Djaduk Ferianto yang sudah eksis sejak tahun 1996. Pasti seru mendengarkan mereka ngejam, sebab berbeda dari Kuricorder Quartet & Friends, Kua Etnika punya ciri bermusik yang lain. Mereka menggabungkan musik jadul dan kekinian, dan berusaha mengasimilasikan budaya Indonesia dengan India, Tiongkok, Eropa, dan Timur Tengah.

Nah, bisa kamu bayangkan sendiri betapa serunya konser musik “Suluk Matahari” yang menggabungkan dua gaya bermusik itu. Kamu bakal merasa seperti seorang kosmopolit sejati karena kamu akan mendengarkan musik-musik dari segala penjuru kampung global.

Wah, seru nih kayaknya. Tapi kapan dan di mana acaranya?

Konser “Suluk Matahari” bakal diadakan tanggal 26 Oktober 2017 pukul 19.30 di PSBK, Ds. Kembaran, RT 04-05, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Tapi sebenarnya acaranya nggak cuma konser. Kamu juga bisa hadir di “Master Class dengan Maestro,” dan belajar banyak dari Minoru Yoshizawa (maestro rekorder dari Jepang) dan Djaduk Ferianto (maestro musik dari Indonesia). Sesi ini akan diadakan sehari sebelum konser, yakni tanggal 25 Oktober 2017 pukul 15.00-17.00 WIB di PSBK.

Kedua acara ini gratis! Jadi, jangan lupa datang yes.

The post “Suluk Matahari,” Dialog Musik Jepang dan Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/konser-psbk-suluk-matahari/feed/ 1 3018