pamekasan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pamekasan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:23:56 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pamekasan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pamekasan/ 32 32 135956295 Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan https://telusuri.id/batik-madura-menggurat-malam-di-atas-kafan/ https://telusuri.id/batik-madura-menggurat-malam-di-atas-kafan/#respond Fri, 24 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45442 Kita boleh setuju pada ‘teori’ jiwa ketok Sindoedarsono Soedjojono. Karya rupa, bagi sang maestro, merupakan ‘avatar’ sukma senimannya. Dalam konteks batik yang lebih bersifat komunal ketimbang lukisan modern, seni tekstil itu menjadi representasi jiwa masyarakat...

The post Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan appeared first on TelusuRI.

]]>
Kita boleh setuju pada ‘teori’ jiwa ketok Sindoedarsono Soedjojono. Karya rupa, bagi sang maestro, merupakan ‘avatar’ sukma senimannya. Dalam konteks batik yang lebih bersifat komunal ketimbang lukisan modern, seni tekstil itu menjadi representasi jiwa masyarakat penciptanya.

Paling tidak, itulah yang kita lihat pada batik Madura yang mengejawantahkan falsafah pragmatis manusianya. Namun, tentu saja, batik Madura juga membentangkan hal-hal lain yang mungkin luput dari pengamatan sepintas, sehingga mengubah pandangan sok tahu kita bahwa kerajinan lokal Pulau Garam itu cuma goresan kasar di atas kafan. 

Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan
Perajin batik Madura mewarnai motif/Samroni

Pragmatisme Batik Madura

Keliaran motif batik Madura tak kusadari hingga pada suatu siang di Pasar Kolpajung, ibu mengacungkan telunjuk ke selembar kain yang dibeber di sebuah kios. “Mungkin dia yang kaucari,” katanya. “Dia”, di kalimat yang ibu ucapkan, terdengar seperti jodoh yang seolah-olah ingin kutemukan. “Cocok dengan karaktermu,” lanjutnya. Kuyakin, ibu sama sekali tak tahu tabiatku. 

Batik yang ibu anggap sesuatu yang tengah “kaucari” dan “cocok dengan karaktermu” itu adalah kain berlatar hitam dengan percikan-percikan putih, kembang sulur, dan semburan samar warna-warna neon. Kelak kutahu, nama motif batik itu adalah ulat dan rumput oleng. Tapi, mengapa ia cocok dengan watakku?

Batik tersebut memang masih menggunakan motif lazim sebagaimana batik Madura pada umumnya. Namun, di sana kreativitas personal perajinnya turut hadir: latar hitam dan semburan warna-warna neon. Batik itu bagai langit malam yang dipercik kembang api. Kombinasi kelam dan warna neon seperti mewakili watak ambivalen, perasaan fluktuatif, atau kemuraman yang ditutupi topeng senyum dan tawa. Mari kita singkirkan diskusi tentang kepribadian tak menyenangkan itu sambil memberi simpulan singkat, bahwa batik Madura bergerak di antara konvensi dan invensi yang bergelora. Bahkan, terlampau bergelora mengingat batik ganjil lain yang kutemukan beberapa tahun setelah itu sama menterengnya.

Batik ganjil tersebut kutemukan di pasar yang sama. Juga ketika aku berkunjung bersama ibu. Warnanya amat mencolok di antara batik-batik yang lain. Sekali lihat, kau akan mengingat rambut merah Ariel dan sahabat ikannya, Flounder, di film The Little Mermaid bikinan Disney. Batik itu bermotif ekosistem laut dengan biota kuning campur biru, ikan dan segala vegetasinya, berlatar air merah menyala seperti Sungai Nil yang dikutuk Yahweh pada episode “Sepuluh Tulah Mesir” dalam kisah Musa.

Ketika kutanya perihal motif batik tersebut kepada Samroni (22), ia menjawab, “Itu nyomot dari Pinterest.” Tanggapannya membuat marwah kemaduraanku luntur. “Banyak kok pembatik sekarang yang nyontoh di Pinterest,” tambahnya. Aku tahu, pemuda kekar ini model dadakan dan fotonya yang berkain batik pernah mampang di surat kabar lokal. Tapi, bisa tidak, sih, ia sedikit ngarang bahwa batik yang kubeli itu bermotif apalah.

Terlepas dari aspek orisinal dan bajakan tersebut, akhirnya aku paham, gaya cetar dan warna membahana inilah yang barangkali membuat ibu bilang bahwa batik Madura pantas dipakai anak muda. Kini aku menangkap maksud ibu ketika berkata, “Cocok dengan karaktermu.” Waktu itu, usiaku memang masih dua puluhan. 

Kehadiran warna-warna vulgar pada batik Madura bukan kehendak asal tabrak. Ia memiliki semacam alasan yang bisa kita duga bahwa rona semarak tersebut muncul karena dorongan imaji ideal Madura atas warna. Sebab, lanskap alam Madura monoton. Lingkungan fisik Madura dilabur warna yang tak kaya ragam: bukit kapur, sabana, dan laut. Itulah mengapa batik Madura menjadi wahana untuk menumpahkan imaji orang Madura tentang dunia penuh warna. Kecenderungan artistik ini bisa dibandingkan dengan karakter manga bermata lebar lantaran orang-orang Jepang bernetra sipit. Tokoh-tokoh kartun itu menjadi model paripurna manusia Negeri Sakura.

Secara sederhana, pola batik Madura, setidaknya bisa dikelompokkan menjadi tiga: motif botani, elemen fauna, artefak budaya. Sekar jagat merupakan motif yang merangkum seluruh pola. Ia tampak seperti kain yang dijahit dari perca berbagai rupa. Seluruh motif batik Madura dipindai dari komponen realitas fisik yang hadir di sekitar orang Madura. Motif botani, misalnya, berupa alang-alang, tanaman rambat, beras tumpah, bunga lawang. Sementara itu, jagat fauna meliputi kupu-kupu, burung kenari, cakar ayam. Pola artefak budaya kerap meniru anyaman bambu. 

Gambar-gambar itu tak digurat dengan detail halus sebagaimana batik Jawa. Bias estetis tersebut dikerjakan bukan lantaran orang Madura tak mampu menciptakan karya seni yang subtil, melainkan lebih dilandasi oleh pandangan hidup. Jagat hidup orang Madura cenderung pragmatis ketimbang gagasan hayat manusia Jawa yang batiniah.

Masyarakat dengan gerak hidup yang banyak dikendalikan oleh ketidaksadaran memiliki produk seni detail, halus, aneka rupa, sebagai wujud arketipal. Arsitektur klasik seperti gotik dan barok, misalnya, berornamen lebih rumit ketimbang rancang bangun modern, seperti Art Deco atau minimalis. Sebab, orang-orang abad ke-20 telah mencapai puncak kesadaran ketimbang masyarakat klasik yang masih menyisakan tilas ketaksadaran. 

Aspek-aspek kesadaran tak membutuhkan simbol arketipe yang rumit serta semarak karena telah dialihkan dalam budaya sains, teknologi canggih, dan ekonomi. Pragmatisme memberi ruang pada produk modernitas tersebut dengan mengutamakan efisiensi, efektivitas, dan kepraktisan. Sifat tak detail nan tak halus itu akhirnya mendorong motif batik Madura ke bentuk abstrak, realisme murni yang mendekati formasi-formasi dasar semesta: geometri. Maka, watak tersebut bersinergi dengan jagat hidup pragmatis yang memandang dunia apa adanya.

Jati Diri di Persimpangan Masa Lalu dan Kini

Di Pamekasan, batik kerap dipromosikan pemerintah dengan jalan di luar akal sehat. Salah satu kabupaten di Madura ini memang memiliki ambisi menjadi Kota Batik melebihi Pekalongan. Motif-motif batik dipoles di tembok, tiang listrik, pepohonan, dan jembatan. Di era Bupati Badrut Tamam, badan mobil dinas pun dilapisi pola batik. Agak norak, tetapi ada gunanya. Paling tidak, ketika melihat mobil batik nangkring di acara mantenan, kita jadi tahu bahwa fasilitas negara tersebut telah disalahgunakan. Kepemimpinan Tamam juga meluncurkan program sepatu batik, tetapi tak laku di pasaran. Anak-anak muda Pamekasan tetap lebih suka mengenakan Converse atau New Balance ketimbang sepatu yang dilapisi kain batik.

Bidang atau tekstil bermotif semarak seperti batik memang lebih bijak jika tidak ditampilkan dengan aneh-aneh. Batik yang pada dasarnya sudah terlihat ramai memang paling anggun dipakai sebagai kain bawahan—sebagaimana cara orang-orang dulu memakainya—atau dibuat baju dengan desain bersahaja. Batik yang terlempar ke dunia fesyen dan dipajankan di atas catwalk kerap malih kostum lajak, akrobatik, dan membuat kita bertanya-tanya, “Busana kayak gitu mau dipakai di mana?” Meski dirancang dengan itikad eksperimental atau alasan-alasan luhur seperti melestarikan dan memperkenalkan khazanah seni budaya ke konsumen manca, bagiku siasat lebay semacam itu tak akan menambah nilai adiluhung serta ekonomi batik. 

Dalam amatanku yang sumir, batik Madura—dan agaknya batik-batik yang lain—mulai populer dijadikan sarung ketika polemik Islam Nusantara menggema di seantero Indonesia. Batik yang dulu cuma dikenakan sebagai jarit wanita atau pria keraton kini diviralkan pula oleh kaum santriwan. Di media sosial, misalnya, Gus Iqdam acap tampil dengan sarung batik. Mubalig muda tersebut sampai repot-repot—atau mungkin tidak—membangun bisnis dengan mengorbitkan mereknya sendiri. 

Tren tersebut lama-lama merambat ke Pulau Garam yang memang lekat dengan budaya santri. Bahkan, para personil band tersohor Madura, seperti Lorjhu’ dan La Ngetnik menggunakan sarung batik saat pentas. Sementara itu, pentolan band Warga Tabun—yang notabene keluarga santri—juga mempromosikan produk batiknya dengan motif kontemporer. Batik-batik kontemporer ini tak sedikit diproduksi pesantren. Aku pernah dikasih sarung batik kontemporer bergambar tugu Arè’ Lancor Kota Pamekasan oleh seorang lora (putra kiai) muda yang punya bisnis batik. 

Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan
Pembatik Madura kontemporer mengukur kafan/Royyan Julian

Batik-batik kontemporer tersebut sepertinya telah lepas dari motif tradisional. Ia digurat sesuai selera kekinian senimannya. Meski batik kontemporer mulai menjamur, bukan berarti batik Madura yang dikembangkan dari pola lama ditinggal. Batik Madura masih masif dipakai, baik di hajatan maupun aktivitas keseharian, juga menjadi seragam pegawai hingga anak-anak sekolah. Sebab, batik tulis Madura bisa dijangkau semua kalangan dengan harga puluhan ribu sampai jutaan.

“Aku suka batik karena hidup di lingkungan batik,” daku Samroni yang ibunya seorang pembatik. “Keluargaku bisa hidup karena batik. Memakai batik menjadi kata lain dari menyokong ekonomi para pekerja batik yang upahnya tak seberapa.” Namun, Samroni juga punya alasan estetis mengapa suka batik meski cuma bisa mengekspresikannya dengan kata “bagus”. 

Aku sulit membayangkan batik punah dari Madura, Jawa, atau Indonesia. Sebab, bangsa kita masih mempertahankan identitas-antara, “jati diri” yang tegak di persimpangan masa lalu dan kini. Maka, malam-malam itu akan senantiasa leleh di atas tungku, menetes dari liang canting. Malam-malam itu terus digurat di lembar-lembar kafan, digurat entah sampai kapan.

Foto sampul oleh Afnan R.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Batik Madura: Menggurat Malam di Atas Kafan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/batik-madura-menggurat-malam-di-atas-kafan/feed/ 0 45442
Cukong Cina, “Bandul”, dan Perdagangan Tembakau di Madura https://telusuri.id/cukong-cina-bandul-dan-perdagangan-tembakau-di-madura/ https://telusuri.id/cukong-cina-bandul-dan-perdagangan-tembakau-di-madura/#respond Mon, 18 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43064 Selalu saya terkenang akan percakapan petani tua dan muda itu: duduk-duduk sambil minum kopi robusta—mungkin sisa hari sebelumnya—di gazebo. Mereka menggunjingkan ihwal “daun emas” yang harganya cukup tinggi. Mereka menengadah ke arah sinar matahari, yang...

The post Cukong Cina, “Bandul”, dan Perdagangan Tembakau di Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
Selalu saya terkenang akan percakapan petani tua dan muda itu: duduk-duduk sambil minum kopi robusta—mungkin sisa hari sebelumnya—di gazebo. Mereka menggunjingkan ihwal “daun emas” yang harganya cukup tinggi. Mereka menengadah ke arah sinar matahari, yang panasnya mencapai tiga puluh satu derajat Celsius. 

Percakapan kedua petani itu: harga tembakau yang kadang naik, tapi juga kadang turun. 

Sejarah Tembakau di Madura

Dilansir dari laman berita Liputan6 (2/6/19), tembakau di Madura pertama kali diperkenalkan pada masa penjajahan Kolonial Belanda kira-kira abad ke-19. Meskipun muasal “daun emas”—begitu orang Madura menjuluki tembakau—bukan dari Madura, Pulau Garam ini dikenal sebagai salah satu penghasil tembakau berkualitas tinggi. Sejak masa itu, tembakau menjadi salah satu komoditas yang dibudidayakan secara luas oleh petani Madura, terutama di wilayah seperti Pamekasan dan Sumenep. Sebab, kedua wilayah tersebut lebih cocok untuk ditanami tembakau daripada dua kabupaten lainnya, Sampang dan Bangkalan.

Tembakau menjadi salah satu sumber penghasilan utama bagi petani di Madura, khususnya selama musim kemarau, ketika mereka sulit untuk menanam padi. Budidaya tembakau memberikan alternatif pendapatan bagi petani di luar musim tanam padi. Sebab itu, tembakau memiliki peran penting dalam perekonomian masyarakat Madura, khususnya di wilayah perdesaan.

Abad ke-20, tembakau Madura semakin berkembang, terutama setelah Indonesia merdeka. Banyak pabrik rokok dan cerutu di Jawa yang menggunakan tembakau Madura sebagai bahan baku. Tembakau Madura juga diekspor ke berbagai negara, termasuk Eropa dan Asia. Di Pamekasan, tembakau menjadi produk unggulan yang mendukung perekonomian lokal.

Cukong Cina, “Bandul”, dan Perdagangan Tembakau di Madura
Salah satu lahan perkebunan tembakau yang dikelola petani Madura/Wardedy Rosi

Dalam pengolahan lahan, petani Madura masih menggunakan cara-cara tradisional, seperti membajak sawah menggunakan cangkul biasa. Untuk petani yang memiliki modal lebih, biasanya menggunakan traktor. Kondisi tanah—sebagian besar wilayah timur Madura kering dan berkapur—membuat para petani lebih memilih menanam tembakau ketimbang padi, karena tanahnya tidak terlalu subur. Hal ini juga disetujui oleh Bernard H.M. Vlekke, sejarawan Belanda penulis buku Nusantara: Sejarah Indonesia. Varietas tembakau khas Madura disebut tembakau Madura atau sering dikenal dengan nama tembakau Pamekasan. Ciri khasnya antara lain berdaun tipis dan aromatik. 

Pemilihan bibit menjadi penentu hasil tembakau yang akan dipanen. Biasanya—atau mungkin kebanyakan—para petani tembakau di Madura memilih bibit opot dan malatè. Bagi petani yang menginginkan pohon tembakau tinggi, biasanya akan memilih bibit opot. Jika ingin daun lebat, bibit malatè jadi pilihan. Maka, pemilihan bibit menjadi cukup krusial bagi petani-petani Madura. 

Seiring berjalannya waktu, Madura kini menjadi pemasok tembakau terbesar di Indonesia. “Siapa yang enggak kenal tembakau Madura?” tukas petani muda kepada saya sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya. “Bahkan, ketika kamu bertamu ke rumah orang saat musim kemarau, petani tembakau akan beramah-tamah dengan membagikan tembakau hasil panennya. Itu disebut nggalih.

Sejarah tembakau di Madura mencerminkan peran betapa pentingnya daun emas itu dalam perekonomian dan budaya petani Madura. Tembakau tidak hanya menjadi sumber penghasilan, tetapi juga bagian dari identitas sosial masyarakat Madura. Meskipun tantangan zaman modern terus muncul, tembakau tetap memiliki tempat khusus dalam kehidupan masyarakat Madura sampai sekarang. 

Hubungan antara cukong-cukong etnis Cina dengan bandul (pedagang tembakau Madura) merupakan salah satu aspek penting dalam sejarah perdagangan tembakau di Indonesia, terutama pada masa kolonial dan pascakolonial. Peran cukong Cina dalam perdagangan tembakau di Madura bisa ditilik dari berbagai sudut pandang, termasuk aspek ekonomi, sosial, dan budaya.

Hubungan Bandul dengan Cukong Cina

Pada masa kolonial Belanda, cukong-cukong Cina memainkan peran penting sebagai perantara dalam perdagangan tembakau di Indonesia, khususnya Madura. “Cukong” merupakan sebutan bagi para pengusaha atau pedagang besar yang sering kali memiliki akses langsung ke pasar dan modal yang lebih besar dibanding pedagang lokal (petani). Mereka bertindak sebagai pengumpul dan distributor hasil bumi, termasuk tembakau, yang kemudian dijual ke pasar yang lebih luas. Sementara itu, bandul adalah sebutan orang-orang untuk mereka yang menjadi penghubung antara petani Madura dengan cukong Cina. 

Di Madura, cukong-cukong Cina selalu bertindak sebagai pedagang perantara antara petani tembakau lokal dengan pasar yang lebih besar, baik untuk ekspor maupun industri rokok di Jawa. Petani tembakau di Madura umumnya memiliki keterbatasan dalam hal akses pasar, modal, dan jaringan perdagangan. Oleh karena itu, cukong-cukong Cina, dengan modal yang lebih besar dan jaringan dagang yang lebih luas, menjadi penampung utama tembakau para petani dan menjualnya ke pabrik rokok besar atau pasar internasional.

Hubungan antara cukong Cina dengan petani tembakau di Madura kerap berlangsung dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan, meski tidak selalu berimbang. Cukong-cukong Cina menyediakan modal awal atau ijon kepada petani tembakau. Ijon merupakan bentuk pembiayaan di mana petani menerima uang di muka sebelum musim panen. Sebagai imbalannya, mereka berjanji untuk menjual hasil panen kepada cukong dengan harga yang sudah ditentukan sebelumnya.

Model ijon sering menguntungkan cukong karena mereka bisa membeli tembakau dengan harga lebih rendah. Bagi petani, sistem ini memberikan akses ke modal yang sangat diperlukan untuk biaya budidaya tembakau. Namun, ada juga sisi negatifnya. Karena sering terikat dengan bandul, dan bandul terikat dengan cukong Cina, para petani terjebak dalam lingkaran utang yang sulit dihindari. Cukong-cukong Cina acap kali mendominasi perdagangan tembakau di Madura, khususnya Pamekasan dan Sumenep. Kontrol atas jalur distribusi dan perdagangan tembakau membuat mereka memegang kekuasaan ekonomi yang cukup signifikan. Cukong-cukong ini sering memiliki akses ke pabrik rokok besar di Jawa, seperti Surabaya, Kediri, dan Malang; pusat industri rokok di Indonesia.

Dominasi cukong-cukong Cina dalam perdagangan tembakau bukan hanya karena jaringan perdagangan mereka yang luas, melainkan juga karena keterampilan mereka dalam berbisnis. Mereka mampu mengatur distribusi tembakau dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional; menjadikannya sebagai pemain kunci dalam industri ini.

Hubungan antara cukong-cukong Cina dengan bandul dan petani tembakau Madura juga memiliki dimensi sosial-budaya. Di satu sisi, relasi tersebut merupakan hubungan ekonomi yang saling menguntungkan. Namun, di sisi lain, terdapat dinamika sosial yang kompleks antara etnis Cina dengan masyarakat lokal Madura. Pada masa kolonial, cukong-cukong Cina sering dipandang sebagai kelas sosial yang lebih tinggi karena kekayaan dan akses mereka ke pasar. Hal tersebut menciptakan ketimpangan sosial yang tinggi. Akan tetapi, cukong-cukong Cina yang menetap di Madura menyatu dengan budaya lokal. 

Kehadiran cukong Cina dalam perdagangan tembakau memberikan dampak signifikan pada perekonomian Madura. Mereka berperan membantu petani lokal menjual hasil panen ke pasar yang lebih luas. Ini berdampak positif terhadap pendapatan petani, meskipun cukong kerap lebih diuntungkan secara finansial. Selain itu, cukong Cina juga mempekerjakan orang-orang Madura yang tidak bertani tembakau ketika musim kemarau. Bahkan, untuk dapat bekerja di penampungan atau gudang cukong Cina, seseorang harus memiliki keterampilan, seperti membuat conto sebagai sampel ke perusahaan rokok ternama yang ada di Indonesia. Jenjang karier dalam pekerjaan ini dimulai dari peran penjemur, penimbang, hingga pembuat conto. Biasanya para pembuat conto memiliki tempat khusus untuk bekerja. Waktu bekerjanya pun lebih panjang daripada pekerja-pekerja yang lain.

Cukong Cina, “Bandul”, dan Perdagangan Tembakau di Madura
Para pekerja membuat bentuk conto sebagai sampel yang akan dikirim ke pabrik-pabrik besar/Diskominfo Kabupaten Sumenep

Di sisi lain, kerugian para petani Madura tak sepenuhnya karena anjloknya harga yang dipasang cukong Cina. Ada faktor lain. Para bandul meraup keuntungan tanpa sepengetahuan para petani, yaitu dengan cara memalsukan timbangan saat hendak menimbang hasil panen. Hal ini sebenarnya sudah acap terjadi di kalangan petani “daun emas”. Tak kalah penting, monopoli cukong dalam perdagangan tembakau juga menciptakan ketergantungan ekonomi. Banyak petani Madura yang terikat sistem ijon dan sulit lepas dari cengkeraman cukong, sehingga memengaruhi kesejahteraan petani dalam jangka panjang.

Setelah Indonesia merdeka, peran cukong Cina dalam perdagangan tembakau terus berlanjut meskipun dengan perubahan tertentu. Dulu, di era Orde Baru, pemerintah Indonesia memperketat pengawasan terhadap perdagangan dan industri tembakau. Namun, cukong Cina masih tetap memainkan peran penting sebagai pedagang perantara. Saat ini, sistem perdagangan telah berubah dengan adanya perusahaan-perusahaan besar yang langsung membeli tembakau dari petani. Meski begitu, warisan sejarah hubungan antara cukong Cina dengan bandul tetap berlangsung dalam pola perniagaan dan jaringan distribusi tembakau di Madura.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cukong Cina, “Bandul”, dan Perdagangan Tembakau di Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cukong-cina-bandul-dan-perdagangan-tembakau-di-madura/feed/ 0 43064
Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2) https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-2/ https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-2/#respond Thu, 19 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42703 “Tokoh kali ini hampir mirip dengan legenda yang ada di rumahmu,” ucap Royyan.  “Ada hubunganya dengan Aryo Menak Senoyo?” selidikku.  “Ya, di Madura ada dua tokoh legenda yang menikahi peri. Jaka Tarub mencuri kain seorang...

The post Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Tokoh kali ini hampir mirip dengan legenda yang ada di rumahmu,” ucap Royyan. 

“Ada hubunganya dengan Aryo Menak Senoyo?” selidikku. 

“Ya, di Madura ada dua tokoh legenda yang menikahi peri. Jaka Tarub mencuri kain seorang putri kayangan dan disembunyikan di lumbung padi. Kisah semacam itu juga terjadi pada Aryo Menak,” jawabnya. 

“Kok bisa di Pamekasan ada makam Jaka Tarub. Bukannya kisah itu dari Jawa Barat?” tanyaku.

“Mungkin di akhir hidupnya Jaka Tarub menepi ke Madura,” candanya.

“Seru juga nyari-nyari makam sambil belajar,” sahutku. 

“Kita cari makan dulu, ya,” ucap Royyan terlihat lemas. “Siang-siang gini enaknya makan bakso, yang pedes-pedes, berkuah.”

Aku tergiur, mengiyakan. Setelah beberapa menit berjalan, di tepi terlihat sebuah warung rujak cingur yang membuat Royyan berubah pikiran.

“Makan rujak cingur aja, ya. Kayaknya enak, tuh,” ucapnya. Aku menepi. Kami memesan dua rujak cingur dan es teh. Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan. 

Tapi, lokasi yang kami tuju terlewati. Kami kebablasan sekitar 500 meter. Untung Royyan sigap menyuruhku berhenti.

“Balik. Aku sedikit lupa. Dulu ke sini juga karena diajak teman,” katanya. 

Aku putar balik dan memasuki gerbang bertuliskan “Wisata Religi Jaka Tarub”.

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)
Gerbang Wisata Religi Jaka Tarub/Samroni

Makam Jaka Tarub

Setibanya di tempat, ternyata areanya cukup luas. Terdapat penginapan dan juga langgar yang sangat terawat. Tiga orang tua di langgar sedang memerhatikan kami.

“Ini juga cagar budaya, ya?” tanyaku sambil memarkirkan motor. 

“Ya. Ayo, masuk,” jawab Royyan. 

Kami masuk setelah membuka jaket karena banyak pohon bambu yang menaungi dan udaranya cukup sejuk. Jalan masuk kompleks makam dinaungi atap galvalum. Di situ, seorang wanita paruh baya sedang duduk. Ia menyapa dan menyilakan kami masuk.

“Paling itu juru kuncinya,” bisikku. Royyan terus berjalan, tak menanggapi.

Jalan menuju makam dibatasi pagar. Sejauh mata memandang, pohon-pohon bambu tumbuh subur. 

“Di sini ada larangan untuk tidak menebang atau mengambil bambu,” Royyan memberi tahu. 

“Kenapa?” tanyaku. 

“Nanti kamu tahu sendiri,” jawabnya. Kami masuk ke kompleks makam. Tempat itu tak memiliki makam sebanyak yang kami jumpai di kompleks makam Ronggosukowati dan Raja Pamelingan. Sepertinya, kompleks ini khusus makam Jaka Tarub beserta keturunannya. 

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)
Peziarah mengaji di kompleks Makam Jaka Tarub/Samroni

Setelah kami masuk, ternyata ada orang lain selain kami. Ada dua pemuda sedang mengaji di samping makam Jaka Tarub. Karena masih suasana lebaran, barangkali mereka sedang ziarah. Selain nyekar ke makam kerabat, orang Madura juga berziarah ke makam-makam yang dikeramatkan. Penampilan kedua orang itu terlihat seperti santri. Kami menghampiri makam Jaka Tarub setelah dua pemuda itu selesai mengaji.

“Di cungkup itu, ada makam Dewi Nawang Wulan dan anaknya Nawang Sasi,” ucap Royyan. Dari bentuk makam, semua sudah terlihat modern. Batu nisannya sudah menggunakan keramik dan marmer palsu, seperti rumah-rumah orang Madura masa kini.

“Dari legenda yang kutahu, Ki Ageng Tarub tidak memperbolehkan warga memotong sapi karena hewan itu dianggap telah berjasa menyusui Ni Endang Nawang Sasi saat ditinggal ibunya, Nawang Wulan.” kisah Royyan. 

“Berarti hampir sama dengan cerita Aryo Menak yang ditinggal istrinya setelah menemukan selendangnya?” responsku. 

“Ya, begitulah,” jawab Royyan sekenanya. “Bambu di sini juga dilarang diambil karena menurut legenda, bambu-bambu itu berasal dari sujen ayah Aryo Tarub, Ki Ageng Tarub dan ibunya, Ni Endang Kembang Lampir. Bambu-bambu itu disakralkan.” 

Kesakralan tersebut membuat bambu-bambu itu ditulisi nama pengunjung yang berharap segera berjodoh, mengawetkan hubungan, atau membuat mereka berumur panjang.

Makam Jaka Tarub cukup besar, dikelilingi beberapa makam tak bernama. Di utaranya ada makam Syekh Maulana Maghribi. Namanya terdengar seperti orang Timur Tengah yang kuasumsikan penyebar Islam di Madura. Tempat ini dikelilingi pohon bambu dan kolam berair keruh yang meruapkan aroma kurang sedap. Ketika kami keluar dari kompleks makam, terlihat satu keluarga menggantikan kami. Di jalan keluar, kami dicegat juru kunci untuk mencicipi camilan. Untuk menerima berkah, katanya. 

“Kok kayak di gereja, ya,” ucap Royyan. Kami menolaknya dengan meminta maaf.  Royyan berbelok ke toilet. 

Aku berteduh di langgar untuk melihat-lihat sekitar sambil berbasa-basi dengan beberapa orang. Di kejauhan, aku melihat beberapa orang sedang berkumpul di depan papan silsilah. Seseorang terlihat sedang menjelaskan nasab Jaka Tarub. Aku ikut bergabung dan menyimak. Royyan yang sudah datang dari toilet ikut nimbrung.

Ternyata, Jaka Tarub adalah putra Syekh Maulana Maghribi dan Nawangsih. Sementara itu, Jaka Tarub menikah dengan Dewi Nawang Wulan, sang bidadari. Jika dilihat dari papan silsilah. 

“Wah, hebat ya, mereka keturunan putri kayangan. Jadi pengen juga,” celetuk Royyan. Aku menahan tawa. 

Kami memutuskan untuk menyudahi perjalanan ini dan beranjak ke petualangan selanjutnya. 

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2)
Vihara Avalokitesvara/Samroni

Vihara Avalokitesvara 

Kami melanjutkan perjalanan ke arah timur, menuju Vihara Avalokitesvara. Gang menuju Vihara dipenuhi rimbun pohon dan tambak udang yang memantulkan cahaya. Jalan ini cukup bersih dan beraspal. Vihara Avalokitesvara adalah candi Dewi Kwan Im atau Gwan Ying. Dari sumber yang kubaca, arca Dewi Kwan Im di vihara ini ditemukan oleh seorang petani pada 1800-an. Arca-arca di vihara tersebut merupakan patung Buddha aliran Mahayana Majapahit.

“Sebenarnya, dari beberapa buku yang kubaca, Candi Burung di Proppo adalah tempat pertama arca-arca di sini. Tapi, karena akses ke sana cukup sukar dan jauh dari dermaga, akhirnya arca-arca itu ditempatkan di kuil ini. Proppo gagal membangun candi sehingga lokasi semula itu dinamai candi burung yang artinya ‘kuil yang urung (dibangun)’,” ceritaku yang diamini Royyan.

“Dulu, Buddha di Pamekasan sangat kuat, menjadi agama resmi negara Jhâmbringèn yang sekarang menjadi Proppo. Itulah mengapa Pamekasan adalah wilayah di Madura yang paling lambat dimasuki Islam. Peninggalan-peninggalan ini sebagai bukti,” tambahnya. 

Kami memutuskan pergi setelah menghabiskan sebatang kretek. Senja mengakhiri perjalanan ini dan kami melepas penat di kedai tepi pantai di Jalan Raya Pamekasan–Sumenep. Di sana, banyak muda-mudi menunggu surya terbenam. Aku memesan es degan, Royyan memesan sempol seukuran jempol.

“Capek, ya. Nanti pasti bisa tidur nyenyak,” kata Royyan.  

“Lumayan lelah, tapi terbayarkan,” sahutku. “Senang bisa mengisi akhir pekan dengan hal-hal seperti ini. Ada banyak pengetahuan baru yang kuperoleh,” pungkasku.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-2/feed/ 0 42703
Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1) https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-1/ https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-1/#respond Tue, 17 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42664 Hari yang cerah. Sinar matahari menyengat. Memasuki badan, menembus baju. Pagi itu kami menyusuri kota Pamekasan. Aku dan temanku, Royyan, sudah berangkat dari titik kami janjian. Di utara Jalan Monumen Arek Lancor, setelah melewati Masjid...

The post Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari yang cerah. Sinar matahari menyengat. Memasuki badan, menembus baju.

Pagi itu kami menyusuri kota Pamekasan. Aku dan temanku, Royyan, sudah berangkat dari titik kami janjian. Di utara Jalan Monumen Arek Lancor, setelah melewati Masjid As-Syuhada yang dibangun pada masa pemerintahan Ronggosukowati, kami melalui gedung Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) bekas karesidenan zaman Belanda yang masih kokoh berdiri; barangkali sudah direnovasi beberapa kali. 

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
Royyan dengan latar tugu plakat makam/Samroni

Makam Ronggosukowati

Hari itu aku diajak Royyan untuk meniti silsilah Panembahan Ronggosukowati yang sudah tak banyak diketahui pemuda Pamekasan. Kala itu kami memiliki tujuan yang tak biasa, menyelinap di riuhnya pasar untuk mengunjungi makam Raja Pamekasan yang tersohor itu.

Di samping pasar Jalan Agus Salim, terlihat tempat peristirahatan Raja Pamekasan yang diakui sebagai pahlawan di Pamekasan. Kami berhenti di pinggir jalan yang bersebelahan dengan pasar. Kompleks pemakaman itu kurang terlihat dengan jelas karena tertutup mobil yang parkir sembarangan. Tak ada tempat parkir khusus meskipun tempat ini cagar budaya. Aku memarkirkan motor di samping tugu plakat makam. Di seberang jalan kulihat pasar masih ramai.

Setelah memasuki kompleks makam Ronggosukowati, ternyata tempat itu lebih tinggi daripada tanah di sekitarnya. Di sebelah barat terhampar sawah dan di selatan ada pemukiman warga Kolpajung. Denah pada makam Panembahan Ronggosukowati berjenjang ke belakang. Itu berarti halaman utama dan paling sakral adalah halaman paling belakang. Makam Ronggosukowati ada di ujung utara, beratapkan cungkup bersusun dan mustaka yang hampir sama dengan pucuk Masjid Demak. 

Halaman pertama memiliki posisi paling rendah dan terbagi menjadi barat dan timur yang dibatasi jalan. Di bagian barat ada cungkup makam RTA Tjakra Adiningrat I, Bupati Pamekasan periode 1745–1790. Bangunannya dipengaruhi gaya arsitektur kolonial. Kukira bangunan ini memang didirikan saat zaman kolonial; terlihat dari modelnya. 

Semakin ke dalam, tempat ini semakin tinggi. Ada tiga halaman sebelum kita masuk ke halaman pusat makam Ronggosukowati. Uniknya, ada gapura di setiap halaman. Di halaman terakhir, ada makam Panembahan Sukowati dan istrinya, Ratu Inten, persis di sebelah barat makam. Cungkup dan makam Ronggosukowati bercat putih dan warna emas yang membuatnya terlihat elegan dan berbeda dari makam lainya.

“Tak ada juru kunci makam, ya,” ucapku. 

“Tak masalah karena pengetahuanku tentang tempat ini sudah melebihi juru kunci makam,” jawab Royyan tersenyum.

Desain interior makam panembahan Ronggosukowati berukir gunungan dengan nisan yang ditatah. Gunungannya berpahat simbar dengan warna emas mencolok dan putih. Tempat makam yang tinggi juga menunjukkan sisi kekeramatan makam ini. Mungkin ini menunjukkan pengaruh Ronggosukowati terhadap Pamekasan.

  • Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
  • Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)

Ronggosukowati adalah pemimpin yang berjasa bagi Pamekasan karena bisa menyatukan kerajaan Pamelingan dan Mandilaras. Tidak hanya itu, ia juga menjadi raja yang membangun Pamekasan dari keterpurukan. Tak ada pemimpin Pamekasan setelahnya yang bisa melampaui Ronggosukowati.

Tak ada pengunjung lain kala itu. Mungkin karena kami datang siang hari. Hal itu membuat kami leluasa, sebab kedatangan kami memang untuk melihat-lihat dan belajar sejarah Pamekasan. Sebenarnya, cungkup yang ada di sini juga sangat rendah, membuat kami harus membungkukkan badan. Barangkali, ini dilakukan supaya menambah kesakralan tempat makam Panembahan Ronggosukowati.

Cuaca panas yang kian menyengat membuat kami berteduh di bawah pohon yang rindang di belakang makam. Di sebelah barat, aku melihat sawah yang ditanami padi sedang menghijau.

“Sebat dulu. Perjalanan kita masih panjang,” ucap Royyan. Aku tak tahu dan suka dengan kejutan perjalanan selanjutnya yang akan ia tunjukkan kepadaku. Aku memerhatikanya mengisap sebatang rokok. Selesai sebat, kami memutuskan meneruskan perjalanan ke arah timur. Matahari sudah sejajar dengan pundak.

“Kita cari ATM dulu ya. Aku enggak pegang uang,” ucap Royyan. “Yang muda nyetir,” tambahnya. 

“Yang muda memang harus membuat gerakan, tapi, ya, enggak gini juga,” tawaku. 

Kami berangkat melewati Jalan Ronggosukowati, pelan, sambil memerhatikan sekitar untuk mencari ATM.

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
Plang kompleks makam Raja Pamelingan/Samroni

Makam Raja Pamelingan

Di perjalanan, aku dikagetkan oleh Royyan yang grusa-grusu menepuk pundak sambil menyuruhku berhenti. Aku menepi. Ia turun untuk memastikan sesuatu.

“Ayo, mampir ke sana dulu. Mestinya ini juga jadi bagian dari perjalanan kita,” ucapnya sambil berjalan ke sebuah gang buntu. Aku mengikutinya. Setelah mencapai ujung gang, ada plang tertulis “Kompleks Makam Raja Pamelingan”.

Setibanya kami di kompleks makam, ada sebuah langgar dan beberapa orang dewasa yang sedang duduk fokus pada gawai tanpa menyadari kedatangan kami. Terlihat beberapa dari mereka sedang karaokean dan mengobrol.

Kami beranjak menuju makam. Dari kejauhan terlihat warna nisan dan cungkup yang menyilaukan mata, berwarna hijau terang yang makin terang karena matahari. Tak ada pohon-pohon yang menaungi. Makam Raja Pamelingan tak seluas makam Ronggosukowati. Yang berbeda dari makam lainnya adalah sebuah cungkup dan area makam yang lebih tinggi.

Aku mengikuti Royyan, lebih tepatnya membuntutinya sambil mendengarkan ia menceritakan sejarah makam-makam di tempat ini. “Pertemuan trah Pamekasan dan Sumenep baru terjadi kira-kira saat zaman Banuraga. Hulu trah Pamekasan jauh ke penguasa Singasari, sedangkan Sumenep berhulu ke Wiraraja,” jelasnya. Sebenarnya, ketika mendengarkan ia berbicara, aku merasa seperti didongengi kakek-kakek. Sayang, aku sudah tidak memiliki kakek.

Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1)
Makam Raja Pamelingan/Samroni

“Banuraga adalah Raja Negara Pamelingan di Lawangan Daya. Dikisahkan bahwa putranya, Ronggosukowati, memindahkan keraton ke Mandilaras dan mengubah negara menjadi Pamekasan,” ucap temanku itu saat ditanya perihal silsilah Ronggosukowati.

Di sana, kami hanya sebentar karena tak ada tempat berteduh. Panas membuat kami beranjak lebih cepat. Kami melanjutkan perjalanan ke arah timur. Di Jalan Bonorogo, aku menepi sebentar di Rumah Sakit Mohammad Noer. Di sana, Royyan mengambil duit ke ATM.

Kami melanjutkan perjalanan ke timur, menuju Talang Siring di perbatasan Pamekasan dan Sumenep.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menapak Tilas Sejarah Pamekasan Melalui Kuburan Keramat (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapak-tilas-sejarah-pamekasan-melalui-kuburan-keramat-1/feed/ 0 42664
Di Capak, Barangkali Senja telah Dicuri Sukab https://telusuri.id/di-capak-barangkali-senja-telah-dicuri-sukab/ https://telusuri.id/di-capak-barangkali-senja-telah-dicuri-sukab/#respond Tue, 07 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41839 Ke Capak, aku ingin menjemput senja. Pukul 15.00 WIB kalau tidak salah. Aku terbangun dari tidur siang akibat hawa panas. Aku bergegas karena telah terikat janji dengan seseorang yang telah menungguku di sebuah kafe. Di...

The post Di Capak, Barangkali Senja telah Dicuri Sukab appeared first on TelusuRI.

]]>
Ke Capak, aku ingin menjemput senja. Pukul 15.00 WIB kalau tidak salah. Aku terbangun dari tidur siang akibat hawa panas. Aku bergegas karena telah terikat janji dengan seseorang yang telah menungguku di sebuah kafe. Di kedai kopi itu, ia telah menanti dengan raut wajah yang tak bisa kutebak. 

“Apakah sudah lama?” tanyaku sambil tersenyum dengan rasa sesal yang dalam. 

“Baru saja, kok. Ayo berangkat,” jawabnya singkat. 

Dari sana, kami berangkat ke utara, lalu ke timur, ke arah tujuan kami. Aku sengaja tidak melewati area perkotaan demi menghindari kemacetan, supaya bisa bercakap di atas motor dan menghirup udara segar. Kami melewati Pademawu Barat. Di peta, desa itu menjadi bagian dari Kabupaten Pamekasan, Pulau Madura. 

Di perempatan Jalan Bunder, kami menoleh dan melihat Masjid Sotok. Secara harfiah, dalam bahasa Madura, sotok berarti “dorong”. Sejarah penamaannya panjang. Melibatkan Panembahan Ronggosukowati, penguasa Islam pertama di Pamekasan pada abad ke-16. Bangunan masjid itu cukup megah, tetapi tampak tak rampung. 

“Orang Inggris menyebutnya pushing mosque,” ucap kawanku yang kutanggapi dengan tawa.

Setelah melewati Jalan Bunder, ke utara, aku menatap begitu luasnya area kompleks pabrik garam, sebagian telantar, terlihat sedikit sekali yang masih beroperasi. Beberapa kincir angin yang tidak berfungsi menandakan bahwa tempat itu hidup segan mati tak mau. Di kejauhan, pandanganku terbentur deretan pohon bakau yang mengitari kompleks.

Di sana, jalanan terasa sepi. Enam remaja tanggung sedang menikmati panorama sambil bersepeda. Mereka bercakap dan tertawa bersama. Aku sengaja memelankan motor karena momen itu seperti melemparku ke masa lalu. 

“Kayak kembali ke masa kanak-kanak,” kataku. Kawanku bergeming. 

Lalu kulambatkan laju kendaraan. Sebab, matahari masih terlalu tinggi. Kami tak ingin sampai di lokasi dengan hawa yang terlalu hangat. 

Berjarak 16 kilometer dari titik berangkat, kami sampai di lokasi kira-kira 40 menit kemudian. Capak, tempat yang akan kami tuju tercatat sebagai dusun di Kecamatan Galis. Andai kecepatan motor kutambah, barangkali kami hanya butuh waktu 30 menit saja. Namun, motorku bertahan di kecepatan 40 kilometer per jam. 

Di Capak, Barangkali Senja telah Dicuri Sukab
Jalan Capak yang masih sepi/Samroni

Menikmati Capak

Ketika kami memasuki area Capak, tempat itu masih sepi. Ternyata kami memang tiba terlalu awal. Pemuda-pemudi belum berdatangan. Yang terlihat beberapa orang saja, duduk dan bercakap. Mungkin juga sama denganku, tengah menunggu senja. 

Sebenarnya, yang akrab kami sebut “Capak” adalah sebuah jalan yang rebah di antara pohon-pohon kuda dan diapit bentangan tambak. Aku terkejut. Tongkrongan muda-mudi itu tak seperti biasa. Air tambak surut. Padahal, musim hujan belum sepenuhnya pergi. Padahal, ketika aku bertandang ke sana belum lama dari saat itu, air tambak masih tergenang masif. Dan kini, tak cuma air, pohon-pohon kuda mulai meranggas karena cuaca panas. Memang, walau musim hujan, Madura biasa dengan hawa panas. Atau jangan-jangan, Capak memang jarang tersentuh hujan sehingga air tambak sulit meninggi. 

“Kita ke ujung selatan dulu,” saran kawanku. “Di sini masih sepi. Mungkin di sana kita bisa mendapatkan sesuatu.”

Meski jalan ujung selatan tak beraspal dan rusak karena roda-roda truk, aku manut saja. Di sana, kadang ada beberapa orang memancing ikan. Tak ada pemukiman warga, sebab area itu bekas tempat pembuatan garam. Kematian tempat itu tampak dari gerbang tanpa penjaga, bekas kantor gudang garam yang dibikin jadi bengkel las dadakan, onggokan bangkai traktor, dan lumbung-lumbung garam yang reyot. 

Di tepi muara, kami menikmati kesunyian yang sesekali pecah oleh sayup deru motor.  Di depanku, dua perahu teronggok dalam kondisi rusak dan dua sampan dari pipa raksasa tertambat. Di kejauhan, beberapa orang melempar kail. Kira-kira enam lelaki berusia dewasa. 

“Beberapa bulan lalu, aku birding bareng teman,” kisah kawanku. Aku menyimaknya sambil mendengarkan kicau burung-burung. Ia berusaha menebak nama burung itu, tetapi gagal mengingat. “Kita harus lebih fokus, enggak bersuara, agar bisa menangkap kicau burung-burung itu,” tambahnya.

Aku pun berupaya menangkap seluruh suara di sekitar. Derik serangga, siul burung, dan kesiur angin. Sayang, kesunyian itu harus segera diakhiri supaya kami bisa kembali ke tempat kawula muda menghabiskan sore.

Di sana, anak-anak muda sudah nangkring di tepi jalan. Segerombolan remaja tanggung sedang menggeber motor. Kami menepi di tempat rindang, menapaki rerumputan. 

Di Capak, Barangkali Senja telah Dicuri Sukab
Langit yang muram tanpa warna senja/Samroni

Senja yang Muram

Namun, kali itu, tak ada senja di Capak. Awan mendung menutupi matahari sore. Suasana jadi muram. Aku teringat cerpen Seno Gumira Ajidarma, Sepotong Senja untuk Pacarku (2016). Sukab, protagonis dalam cerpen tersebut, memotong senja seukuran kartu pos untuk dipersembahkan kepada kekasihnya, Alina. Barangkali, senja di Capak juga telah dicuri Sukab, bajingan bucin itu. 

Kemuraman itu kian bertambah ketika kulihat pohon-pohon Capak ditempeli papan-papan kayu bertuliskan kata-kata sok mutiara, seperti kalimat berlagak religius “Pacaran boleh, pegangan jangan” dan “Jagalah kesucian jodohmu”. Aku tahu kata-kata itu ditujukan kepada muda-mudi yang sedang kencan agar tidak berbuat hal-hal tak senonoh di sana.  “Jangan cuma mantan yang dibuang, sampah juga,” ucap papan yang lain, semacam harapan kepada kita untuk menjaga kebersihan lingkungan dari sampah dan pikiran dari mantan.

Di pohon lain, sebuah papan tertulis campuran kode bahasa Indonesia-Madura, “Kematian ta’ abhag-rembhag” yang berarti “kematian tidak bermusyawarah terlebih dahulu”. Kata-kata seperti ini biasanya juga kerap ditulis di badan truk-truk oleng yang belakangan banyak diburu pembuat konten. Ada juga papan bertuliskan kutipan sok bijak dan bersajak, “Visi tanpa eksekusi adalah halusinasi”. 

Papan-papan tersebut dibikin mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN). Papan-papan semacam itu banyak ditemui di tempat-tempat wisata di Madura. Bukannya indah, papan-papan tersebut malah kerap merusak pemandangan dan membuat lanskap alam jadi tidak alami. 

Dari jauh kulihat sekelompok remaja mengambil gambar. Mereka memakai kostum seiras, warna loreng marun dan putih.

“Baju seragam kayak gitu udah biasa jamet pakai,” celetuk kawanku. Mendengarnya, aku geli. Aku tak asing dengan kebiasaan berseragam semacam itu. Dulu, ketika masih remaja, aku juga berkubang dalam pergaulan jamet.

“Hal hal receh seperti inilah yang membuat mereka disebut jamet. Melakukan hal-hal kurang faedah: sepeda motor yang dimodifikasi sembrono kayak mengganti ban pabrik dengan ban cacing, nyopot spion, dan lain-lain. Salah jika menghakimi jamet tanpa alasan yang jelas. Tapi aku enggak suka mereka karena peduli,” tambahnya.

Sinar senja yang tak ada dan raung suara motor mengiringi kami meninggalkan Capak. Kami tidak menemukan apa yang kami cari. Akan tetapi, mungkin kami mendapatkan hal-hal lain. Hal-hal yang belum kami tahu dan harus kami renungkan setelah sampai di rumah. Nanti, nanti.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Capak, Barangkali Senja telah Dicuri Sukab appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-capak-barangkali-senja-telah-dicuri-sukab/feed/ 0 41839
Gastrosufi Rujak Prenduan Madura https://telusuri.id/gastrosufi-rujak-prenduan-madura/ https://telusuri.id/gastrosufi-rujak-prenduan-madura/#respond Tue, 12 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40329 Mestinya aku memasang bom di jam alarmku. Bom itu bakal efektif membangunkanku sekaligus meledakkan bunyi bip-bip-bip-bip yang terus-terusan mengomel, tetapi gagal memaksaku bangkit dari ranjang. Sebenarnya, aku tidak perlu sedramatis itu. Aku bukan tipe orang...

The post Gastrosufi Rujak Prenduan Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
Mestinya aku memasang bom di jam alarmku. Bom itu bakal efektif membangunkanku sekaligus meledakkan bunyi bip-bip-bip-bip yang terus-terusan mengomel, tetapi gagal memaksaku bangkit dari ranjang. Sebenarnya, aku tidak perlu sedramatis itu. Aku bukan tipe orang yang menyalakan alarm hanya untuk dimatikan, lalu tidur kembali. Hanya saja, aku terbangun tengah malam dan terlelap lagi menjelang dini hari. Aku tidak sadar telah mematikan alarm dan kembali rebah di atas kasur.

Itulah mengapa aku baru sampai di rumah Bara pukul setengah delapan dan bilang, “Sori, Guys. Tapi, sinar matahari jam segini emang paling optimum mengaktifkan vitamin D.” Aku tahu teman-temanku tertawa karena itu pembenaranku saja. Namun, tentang vitamin D itu, aku tidak keliru, kan? 

Lagi pula, ayolah, untuk apa buru-buru berangkat ke Saronggi pukul enam pagi? Dari Kota Pamekasan, kita cuma butuh satu jam seperempat menit dengan motor berkecepatan sedang untuk sampai ke salah satu kecamatan di Kabupaten Sumenep tersebut. Itu pun sudah terhitung beserta hambatan-hambatannya. Di jalanan Madura—atau di mana pun—aral nyaris selalu ada. Katakanlah, orang-orang yang meminta amal masjid kepada para pengendara di jalan raya. Atau pasar tumpah yang begitu efisien membuat jalan jadi macet. 

Atau yang kami temui di perjalanan ini: Sebuah lapangan yang terhampar di kanan jalan baru selesai menghelat acara agustusan. Di kedua sisi jalan, berjajar mobil pikap bermuatan ibu-ibu—yang oleh feminis Julia Surya Kusuma dianggap bentuk penyetaraan kaum perempuan dengan ternak, padahal di Madura, bapak-bapak pun lazim tepekur bersama sapi-sapinya di gerobak pikap. Ibu-ibu lainnya meluber ke tengah jalan. Kendaraan kami cuma bisa merayap. Di tengah kerumunan ibu-ibu, rasanya seperti berkubang dalam sekolam hormon estrogen.

Gastrosufi Rujak Prenduan Madura
Beningnya Sendang Saronggi/Ikrar Izzul Haq

Di Sendang Saronggi

Kami memutuskan berpakansi ke Saronggi ketika Abyan mengunggah foto-fotonya yang asyik berenang di sebuah perigi.

“Telaga itu kelihatan liar,” ujarku menyakinkan teman-teman yang bertanya-tanya, apa istimewanya sumber air tersebut.

“Wow, aku suka yang liar-liar,” tanggap Bara dan Nabil nyaris bersamaan. 

Aku sudah membayangkan, untuk sampai ke sana, kami akan melewati semacam rimba gelap karena pohon-pohon gergasi menutupi cahaya matahari. Menebas cabang-cabang bercakar setan yang menghalangi jalan. Atau terbirit-birit dikejar seekor bagong yang siap menyeruduk kami dengan siung runcing. Tenyata agak mengecewakan. Sebab, tak lama berselang setelah belok ke gang di sebelah barak militer, kami sampai. Sendang itu bersisian dengan permukiman. Padahal, dalam hidup ini, kita butuh sedikit ketegangan, kan?

Maka, kami menanggalkan apa yang perlu ditanggalkan dan menyebur ke dalam kolam. Selanjutnya, kurasa tak ada yang perlu diceritakan. Lagian, apa pentingnya menceritakan tujuh jejaka tengah menikmati waktu duha di telaga berwarna toska yang riuh kicau burung madu sriganti? Apa urgensinya menarasikan sebuah sendang bermandikan percikan cahaya surya yang dikitari pohon gayam, nyamplung, dan sulur janda bolong melilit batang siwalan? Kecuali, misalnya, di sana kamu mengalami momen Jumanji atau, paling tidak, sedang mati-matian melepaskan diri dari lilitan anakonda.

Gastrosufi Rujak Prenduan Madura
Berkumpul di tengah dingin sendang/Ikrar Izzul Haq

Kezuhudan Rujak Prenduan

“Gimana kalau kita makan rujak Prenduan?” celetuk Abyan saat kami mengeringkan badan setelah tiga jam bermain-main di air.   

“Bukan ide buruk,” sahut Iko dan kami memang sepakat tak ada gagasan yang lebih baik ketimbang mencoba makanan yang sebelumnya hanya pernah kudengar dari seorang teman yang menceritakannya dengan berlebihan.

Rujak itu sedang diracik Bibi Mamtuhah yang warungnya kami sesaki. Untuk sampai ke sana, dari Saronggi kami melesat ke timur selama empat puluh menit. Di kampung nelayan inilah enam di antara kami akan mencicipi rujak Prenduan untuk pertama kali.  

Sibuk menyiapkan tujuh cobek rujak, Bibi Mamtuhah yang gendut berdaster hijau motif bunga dibantu tiga perempuan lainnya. Aku penasaran, gimana cara gincu jambon itu tidak meleleh dari bibirnya di udara nyaris empat puluh derajat celcius ini. Bisa saja perempuan bergelung itu cemas riasannya bakal luntur. Seperti kami yang gugup menunggu hidangan tiba, yang benar-benar tiba tiga puluh menit kemudian. Semuanya mengalah untuk tidak makan duluan hingga menimbulkan debat kecil. Mereka setuju, yang paling tua di antara kami yang akan makan terlebih dahulu. 

Gastrosufi Rujak Prenduan Madura
Bibi Mamtuhan meracik rujak prenduan/Royyan Julian

Kini, rujak itu teronggok di depanku. Sumpah, setelah cicipan pertama, aku berharap sebuah meteor sekonyong-konyong jatuh di atap warung ini sehingga mereka—yang merasa muda belia—tidak akan pernah tahu rasa rujak yang sudah sekian juta tahun ditunggu dengan segunung penasaran. 

Ya, kurasa temanku memang tidak berlebihan ketika menceritakan gimana rasa rujak Prenduan. Aku kehilangan kata-kata dan heran, kenapa Iko, Bara, Ihya, serta Abyan begitu tenang melahap sesendok demi sesendok rujak itu. Padahal, selama menikmatinya, aku, Asief, dan Nabil tidak berhenti menghujaninya dengan beragam ungkapan superlatif yang hanya bisa kami ekspresikan dengan kata-kata paling esoteris. Akan tetapi, mungkin begitulah cara bocah-bocah itu berasyik-masyuk dengan kenikmatan. Kalaupun dimintai pendapat, mereka cuma akan menjelaskannya secara demokratis, tanpa pujian. 

“Rujak ini sudah melangkah ke derajat gastrosofi,” puja Asief sambil memejamkan mata mengunyah seiris pepaya mentah berlumur sambal petis. 

“Tidak benar,” sahut Nabil menyeruput kuah kecokelatan itu. “Rasa kecut sambal petisnya tidak hanya menuntun lidahku memahami sebuah kearifan.”

“Nyaris transendental. Bukan, bukan itu,” buru-buru kuralat kalimatku. “Ini sudah melampaui yang transendental. Rujak ini begitu—astaga, apa istilah paling representatif? Mistik.” 

Kata ‘gastrosofi’ terdengar terlalu sekuler untuk mewakili rasanya yang mulia. Kupikir tidak hiperbolik kalau kita menyematkan ‘gastrosufi’ kepadanya. Alih-alih filosofis, rujak Prenduan memendam cita rasa sufistik. Ia tidak lagi berdiri di tataran filsafat, tetapi tasawuf. Tak lagi menggiring kita ke kenikmatan kognitif, apalagi jasmaniah, tapi lebih dari itu: ekstatik. 

Mungkin kau akan menyebutku lajak ketika tahu cobek itu cuma berisi irisan krai, pepaya mentah, tahu goreng, tauge rebus, dan keripik tette bermandikan kuah petis encer. Tak lebih dari itu. Namun, bukankah yang hakiki memang kerap bersembunyi di balik wujud zahir? 

Tanpa melihat Bibi Mamtuhah mengulek sambal rujak, aku sudah tahu kuah itu hasil racikan dari petis, air, gula, garam, cabai, dan monosodium glutamat dengan kadar presisi. Tak ada yang eksentrik. Memang begitulah rujak petis pada umumnya. Yang membuat rujak Prenduan terasa sensasional, yaitu tetesan cuka. Cuka adalah kunci—habis ini aku mau nyetok sebotol cuka di lemari es, siapa tahu juga bisa bikin kuah opor jadi menakjubkan. Di Bangkalan, aku pernah makan rujak petis dengan perasan jeruk—entah apa, tetapi ini berbeda. Dan perbedaan tersebut bisa kupahami ketika aku sadar—setelah sekian menit kurenungkan dengan khusyuk—bahwa kuah petis rujak Prenduan juga menyertakan tomat mawar. 

Tomat mawar. Saat ini, orang-orang lebih memilih tomat buah ketimbang tomat mawar. Selain karena faktor kelangkaan, ukuran juga menjadi musabab. Kita lebih mudah mendapatkan tomat buah yang besar, gemoy, nan tampak segar ketimbang tomat mawar yang berukuran kecil dan secara visual nyaris tak atraktif. Namun, aku yakin, selain menambah kadar kemasaman, tomat mawar juga melahirkan rasa vegetasi lebih klasik ketimbang tomat buah. Di sinilah aspek ekstrinsik rasa terlibat. Sebagaimana makanan yang menyimpan sisi romantik macam ‘masakan ibu’ atau ‘jajanan kampung’, kenangan kita akan tomat mawar secara subjektif memengaruhi rasa rujak.  

Rujak Prenduan bakal menjadi salah satu (untuk tidak berkata ‘satu-satunya’) rujak favoritku. Orang Madura gemar makan rujak layaknya obsesi masyarakat Sumatera Selatan pada pempek. Itulah mengapa, sebagaimana genre soto yang beragam, rujak di Madura beraneka macam. Rujak kacang, rujak petis, rujak petis-terasi, rujak lontong, rujak cingur, rujak kepiting, rujak siwil, rujak asam, rujak kesambi, rujak kawista (sensasi sepet buah batok menghasilkan rasa yang bernas), rujak kelang (dengan kuah kaldu ikan beserta ikan-ikannya), rujak corek (dengan metode pembuatan dan cara makan yang erotis), rujak soto, rujak bubur, rujak selingkuh (tanpa dosa), dan sederet rujak lainnya yang tak sanggup kusebut satu per satu.

Gastrosufi Rujak Prenduan Madura
Rujak prenduan khas Madura/Royyan Julian

Petis Madura, Sumber Kenikmatan

Percaya atau tidak, rujak Madura menjadi istimewa karena petisnya. Petis Madura berbeda dengan petis Jawa. Petis Madura terasa gurih dan bertekstur elastis. Petis Madura bukan hanya produk dari sebuah proses endapan kaldu ikan. Petis Madura adalah saripati sukma ikan-ikan. Menerbitkan rasa pekat dan berpijak kuat di lidah. 

“Dosenku bilang, pisang biji akan menetralkan zat-zat buruk petis,” kisah Asief suatu kali ketika kami mengobrol mengapa sambal rujak kacang di Madura dicampur pisang biji mentah. 

Kata ‘buruk’ yang ia ucapkan dengan jelas membuatku membayangkan bahwa yang sedang ia bicarakan bukan petis, tetapi makanan sintetis Sari Roti campur Baygon. Mestinya, dosen itu menerangkan kepada mahasiswanya, zat ‘buruk’ apa yang terkandung dalam petis, bukan penjelasan umum yang semua orang bisa mengarangnya. Kuliah obskur tentang bahaya petis dari seorang akademisi semacam itu hanya akan mengafirmasi tuduhan Sutan Takdir Alisjahbana atas puisi-puisi Chairil Anwar yang dianggap tidak bervitamin sebagaimana rujak. 

“Aku enggak bisa bayangin gimana rasanya kalau enggak pedas sama sekali,” kata Abyan melihat Bara bisa menikmati rujak tanpa cabai sama sekali. “Pasti enek.”

Di sampingku, Asief terengah-engah menahan pedas. Minum, makan, minum, makan lagi, sekuatnya.

“Kamu berhenti?” tanyaku saat melihat beberapa iris buah masih tersisa di cobeknya.

“Enggak,” jawab Asief terbata-bata. “Aku masih ingin, tapi butuh jeda.”

“Masokis,” tanggap Nabil dengan keringat mengucur dari kening dan leher.

Andai bersama kami, Jacques Lacan bakal memberi contoh masokisme semacam itu pada konsep jouissance untuk subjek yang memperoleh kenikmatan dalam penderitaan.

“Aku enggak percaya eksistensi surga. Tapi setelah makan rujak ini, aku yakin surga memang ada,” seloroh salah satu di antara kami. Sebelum kami meninggalkan warung kecil ini. Sebelum kami pergi untuk kembali. Suatu saat nanti.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gastrosufi Rujak Prenduan Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gastrosufi-rujak-prenduan-madura/feed/ 0 40329
Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2) https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-2/ https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-2/#respond Tue, 10 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39901 Di bawah naungan akasia, kami memarkir motor. Kami meniti pematang. Di kanan-kiri, teratai dan kembang kangkung mengapung di permukaan rawa. Kawasan lahan basah itu dikepung padang lembang. Di ujung pematang, kami berhenti dan duduk. Tapak...

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Di bawah naungan akasia, kami memarkir motor. Kami meniti pematang. Di kanan-kiri, teratai dan kembang kangkung mengapung di permukaan rawa. Kawasan lahan basah itu dikepung padang lembang. Di ujung pematang, kami berhenti dan duduk. Tapak itu buntung.

“Tengok arah pukul tiga,” bisik Asief. Rambut ikalnya tertiup angin sepoi. Aku menuruti perintahnya. “Itu burung layang-layang batu.” Hewan mungil itu betah bertengger di sebilah bambu yang tertancap di tepi rawa. Jaraknya sekitar lima meter dari posisi kami. Ketika terbang, burung itu akan kembali hinggap di situ lagi.

“Apakah burung layang-layang sama dengan sriti dan srigunting?” Pertanyaanku dijawab “tidak”. Aku baru tahu, ketiganya berbeda.

Dari timur, seorang pria paruh baya muncul. Sepertinya ia akan turun ke ladang. Ia memanggul satu sak sesuatu.

“Mau bedil, ya?” Ia mengira kami akan menembak burung. Kami menjawabnya dengan sesimpul senyum.

Dua Penyaru di Imperium Burung-Burung

“Ayo berkamuflase,” ucap Asief sambil mengurai selembar jala saru dari kantong bekas tas helm. “Enggak kelihatan mencolok itu penting,” tambahnya. Itulah mengapa ia mengenakan kaus cokelat pudar lengan panjang, celana parasut kelabu, dan sandal gunung hitam. (Agak mengecewakan, sebenarnya. Padahal, aku sudah membayangkan ia berkostum safari seperti Nigel di serial The Wild Thornberrys dan mati heroik setelah bergulat sengit dengan seekor buaya).

Aku buru-buru melepas jaket berwarna Golkar—tapi agak tua—dan menjejalkannya ke dalam ransel. “Burung enggak buta warna. Makanya, warna bulu mereka semarak. Beda sama mamalia. Di mata kebanyakan hewan menyusui itu, dunia ini miskin warna. Kecuali primata. Penglihatan kita lebih berwarna.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Asief Abdi di balik jaring kamuflase/Royyan Julian

Selembar jaring berbobot ringan dibentangkan. Jala itu berwarna daun. Aku takjub. Motif dan kelirnya akan menyatukan kami dengan tekstur alam. Kami jadi seperti Harry Potter dan Ronald Weasley berkemul selubung mimikri. Sebentar lagi kami akan menyelonong ke kamar rahasia yang dihuni seekor ular naga jelmaan Lord Voldemort.

Di dalam selimut kamuflase Asief berkata, “Jaring ini harganya cuma enam puluh ribu. Atau tujuh puluh. Aku lupa,” sambil mengeset kamera. Lalu kami telungkup berjajar.

Asief menunjuk seekor tikusan di kaki-kaki lembang. Agak jauh di sisi kanan kami. Tiba-tiba seekor burung yang lain muncul dari kedalaman semak.

“Astaga, itu kareo padi. Aku belum pernah mendapatkan gambar apik burung itu.” Ia mengarahkan kamera. “Tapi itu terlalu jauh. Lensaku enggak mampu. Tolong putarkan suara pikat kareo padi.” Aku bergegas membuka Youtube dan membunyikan kicau burung itu. “Mestinya aku membawa speaker,” keluhnya. 

Setelah dua burung itu lenyap, seekor kipasan dan kapasan menggantikan posisi mereka. Kedua burung yang ukurannya sebelas-dua belas itu melompat-lompat mencari makan. Jika tikusan dan kareo pada mencari mangsa di genangan air, kapasan dan kipasan berkitar di tanah agak kering.

“Sepertinya kita perlu membetulkan posisi,” tukas Asief, “kamu dapat banyak jatah selimut. Kakiku enggak ketutup penuh.”

Ke arah jam dua belas, Asief menunjuk titik jauh setelah kami berselubung kembali. “Lihat burung itu.” Aku mencari-cari titik itu. Di sana, hewan kecil berbulu biru bertengger di ranting. “Itu jenis raja udang. Kamu tahu namanya?” Aku menggeleng.

“Cekakak suci.” Puitis sekali.

“Kenapa harus suci?” tanyaku menginterogasi. 

“Sebenarnya aku enggak tahu pasti. Tapi aku pernah baca, konon, masyarakat Polinesia percaya bahwa cekakak suci bisa mengendalikan badai.”

Pandanganku tidak akan sedramatis itu. Namun, hal semacam ini mestinya tidak membuatku heran. Suku-suku dari dunia lama yang masih lestari bahkan tetap mempertahankan kultus kepada binatang totem. 

Asief merekam burung itu ketika sedang mengunyah mangsa. Seekor biawak melata dari arah persembunyian, berharap si burung lengah. Meski sedang asyik menikmati kudapan, cekakak suci tetap waspada. Ketika kadal itu mendekat, sang burung terbang ke dahan yang lebih tinggi. Saat situasi kembali aman, cekakak pindah ke ranting semula.

“Kenapa dia balik ke tempat itu lagi?” Pertanyaanku mengusik kawanku yang sedang sibuk merekam.

“Mereka punya teritori. Kayak burung layang-layang tadi. Kecuali burung-burung migran.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Tikusan mencari mangsa/Asief Abdi

Dua jam berselang, kami keluar dari penyamaran dan terkejut mendapati seorang pria duduk di belakang kami.

“Dapat banyak?” Ia bertanya. Kami menangkap maksud pertanyaannya.

“Kami cuma lihat-lihat saja, Pak,” jawab Asief mengulum senyum. Seperti pria sebelumnya, bapak ini mengira kami sedang berburu burung. Padahal kami tidak memegang senjata apa pun.

“Apa kita punya tampang pembunuh?” bisikku di telinga Asief ketika si bapak turun ke rawa. Kedua betisnya ditelan lumpur.

Sebenarnya aku sudah ingin menggaruk betisku sejak di dalam jaring. Sepertinya beberapa ekor semut merayap ke dalam celana. Asal bukan ular sawah, aku masih tahan. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku tidak selemah yang Asief kira.

“Mungkin kita bisa melihat burung lebih banyak seandainya debit airnya tidak berkurang,” tukas Asief. “Agustus memang puncak kemarau dan rawa ini surut. Atau jangan-jangan kita datang kurang pagi. Jam-jam segini, burung-burung sudah kelar mencari makan dan sekarang istirahat.”

Masa Depan Burung-Burung

Ketika sedang menikmati matahari duha yang bersinar terang, di kejauhan, sayup-sayup suara kirik-kirik-kirik-kirik terdengar. Asief menyadarkanku akan kedatangan suara tersebut. Indra pendengarannya telah terasah. Bahkan, kendatipun burung-burung itu cuma berbisik, mungkin ia bisa mendengarnya.

“Aku sudah bertahun-tahun berjibaku dengan aktivitas kayak gini,” ucapnya saat aku memuji sensibilitas pendengarannya. Namun, aku heran kenapa kulitnya yang cerah tidak kunjung gosong.

Kami memandang angkasa. Seekor burung melesat di latar biru langit bersaput gumpalan awan. Warna hijau dan sedikit jingga yang menyapu bulu-bulunya tampak samar di ketinggian.

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Asief Abdi mengeset kamera/Royyan Julian

“Itu burung kirik-kirik laut,” terang Asief. 

“Kirik-kirik laut,” sahutku. “Berarti ada kirik-kirik darat?

“Enggak ada. Yang ada kirik-kirik senja.” Seperti sudah bisa memahami pertanyaan yang siap kulontarkan, buru-buru Asief melanjutkan, “Mereka suka nongkrong saat senja.”

Apakah burung itu juga hobi mejeng di Capak?

Dari utara, tiga ekor burung terbang. Asief menunjuk ketiga hewan yang sedang menuju selatan tersebut. “Itu kowak malam.”

“Kenapa keliaran siang-siang begini?”

“Mungkin habis kelar ngopi.” Asief mengedipkan mata sipitnya.

Sementara dari timur laut, seekor burung jumbo terbang menuju barat daya. “Kalau itu…“ kalimatnya tersekat. “Oh, tunggu. Ya Tuhan! Itu bukan seperti yang kita lihat di Capak tadi.” Asief nanap dan aku tidak tahu mengapa ia nanap.

“Kenapa?” Aku tak sabar.

“Enggak ada merah di lehernya. Tapi aku enggak yakin. Aku belum pernah melihat dia di sini.”

Cara Asief berkata ‘dia’ untuk burung itu seperti terperangah memergoki mumi Firaun Tutankhamun bangkit dari peti mati dan bergentayangan di Madura.

Kini burung tersebut melayang-layang sebentar di atas padang lembang, mengepakkan sayap-sayapnya yang terentang hampir dua meter sebelum merasuk ke rimbun belukar itu.

“Jadi, itu apa?” desakku.

“Cangak abu.” Pandangannya menerawang ke ufuk barat bagai tertegun usai dijatuhi wahyu.

“Apa?” tanyaku sekali lagi.

“Cangak abu.”

Oke, cukup. Terlalu banyak nama burung dengan bunyi ‘k’ yang ditampung otakku hari ini. Cangak, kowak, kirik-kirik, kuntul, kipasan, kapasan, blekok, tikusan, tekukur, perkutut, cekakak, kutilang, kareo. Satu kali lagi ia menyebut burung dengan bunyi ‘k’, aku bakal semenderita membaca novel Gabriel Garcia Marquez, Seratus Tahun Kesunyian, yang punya banyak sekali tokoh bernama hampir sama dan harus kuingat satu per satu.

Namun, aku senang menjadi saksi ia menerima momen eureka. Itu artinya, aku pembawa keberuntungan. Jadi, tidak ada alasan lagi baginya untuk enggan mengajakku ke perjalanan semacam ini. Membicarakan alam di alam jauh lebih menyenangkan ketimbang membincangkannya di kafe. Di sini, aku bisa belajar banyak karena Asief akan menunjuk contoh-contohnya secara langsung.

Kini, Asief tengah berusaha membidik seekor dara laut yang melayang-layang di hadapan kami. Ketika seekor anak nila mencaplok anggang-anggang yang berselancar di permukaan air, burung itu menukik dan mematuk sang ikan. Yang memangsa akan dimangsa. Sebuah gambar rantai makanan yang sempurna.

“Susah sekali memotret burung terbang.” Asief mendesah. “Sebenarnya dulu aku punya foto dara laut yang bagus, tapi diambil dosenku buat buku pelajaran.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Cangak abu terbang di angkasa/Asief Abdi

Waktu menerabas pukul sepuluh. Asief menginjak patok kepemilikan tanah di pematang buntung itu. Lalu ia berkata dengan masygul, “Cepat atau lambat, kawasan ini akan sepenuhnya menjadi ladang. Bahkan, kita belum tahu, kehidupan macam apa yang bersemayam di relung semak lembang itu.” Aku jadi ikut pilu. “This wetland, Dude, is the last sanctuary for those birds.”

Suaka penghabisan, ramal Asief. Entah ke mana burung-burung tersebut akan pergi. Mungkin ke mata angin akhir zaman. Kepunahan niscaya yang senantiasa mengintai keberadaan satwa-satwa liar. Aku berusaha menghalau bayangan duka yang berputar-putar dalam pikiranku. 

“Makan soto Keppo kayaknya enak.” Kurasa Asief juga sedang melenyapkan gundah dengan kalimat itu.

Memang tak ada ide yang lebih baik daripada sarapan terlambat dengan semangkuk soto bertabur suwir daging ayam. Ayam pedaging yang sulit disentuh ancaman kepunahan. Namun, berkah keberlangsungan spesies harus mereka tebus dengan hidup yang begitu singkat dan menderita.

Lalu, perasaan lega mengalir saat aku sadar bahwa burung-burung di sini tidak bernasib sengsara sebagaimana ayam-ayam yang terhidang di meja makan manusia. Tak ada yang bisa menerka, ke mana takdir akan membawa burung-burung itu. Namun, setidaknya aku tahu, mereka pernah bahagia.


Foto sampul: Burung layang-layang batu bertengger di sebilah bambu (Asief Abdi)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-2/feed/ 0 39901
Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (1) https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-1/ https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-1/#respond Sat, 07 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39896 “Tak ada burung yang tak menarik,” tukas Asief agak berteriak ketika suatu malam kami berdua sedang nongkrong di kedai kopi. Kata-katanya bertabrakan dengan deru kendaraan. Juga bersaing dengan suara Didi Kempot dari pengeras suara yang...

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Tak ada burung yang tak menarik,” tukas Asief agak berteriak ketika suatu malam kami berdua sedang nongkrong di kedai kopi. Kata-katanya bertabrakan dengan deru kendaraan. Juga bersaing dengan suara Didi Kempot dari pengeras suara yang tergantung di dinding: Manuke manuke cucak rowo, cucak rowo dowo buntute, buntute sing akeh wulune, yen digoyang ser-ser aduh pnake.

“Apa yang mengesankan dari burung?” aku penasaran. 

“Banyak, tapi yang paling menarik adalah tantangannya. Mereka terbang. Enggak mudah menjadi seorang pengamat burung.” Pria 32 tahun itu terdengar setengah bangga.

“Kurasa ikan juga sulit diamati, tapi kamu enggak tertarik.” 

“Menyelam adalah aktivitas yang enggak mungkin kulakukan,” tanggapnya santai, “itulah kenapa aku cuma suka memancing.”

“Jadi, kapan kamu mau mengajakku melihat-lihat burung?”

“Kamu enggak bakal tahan bergeming berjam-jam,” tukasnya meremehkan. Jawaban serupa juga kerap Asief lontarkan saat aku ingin ikut memancing.

“Bung, memancing itu aktivitas kontemplatif,” ujarnya rada menggurui. “Enggak penting seberapa sering kailmu tersangkut mulut ikan. Yang penting, seberapa suntuk kamu menunggu waktu. Bagiku, esensi memancing adalah pelajaran hidup tentang ketabahan.”

Yang benar saja. Ia kira aku tidak sabar? Jangan salah. Aku pernah ikut sesi meditasi vipassana di Lapangan Kenari di kompleks Borobudur. Dituntun Bante Santachitto. Lulusan Myanmar. Buddha Theravada. Di tengah banyaknya peserta yang menyerah, aku bertahan sampai selesai. Perkara konsentrasi atau tidak, lain urusan. 

“Tapi kamu meditasi cuma tiga puluh menit,” cecarnya, “mengamati burung, kamu bakal telungkup sampai tiga jam.”

Apa susahnya? Aku bisa tidur selama delapan jam.

Sebenarnya aku penasaran dengan aktivitas kawanku itu. Empat tahun silam, kepadaku ia memperkenalkan diri dengan nama ‘Asep’. Kupikir ia bukan orang Madura. Kita cuma akan menjumpai nama ‘Asep’ di KTP orang-orang Sunda. Ternyata, itu cuma nama kecilnya. Namun, tetap saja, meski terdengar kearab-araban, untuk generasinya nama Asief Abdi tak lazim digunakan di Madura. Di sini, orang menggunakan nama Arab yang cukup familiar. Katakanlah Saiful Rohman. Masalahnya, kawanku itu juga tidak cocok menyandang nama Saiful Rohman. Ia terlihat sangat tidak Saiful Rohman.

Khazanah Burung di Ladang Basah

Maka, di Minggu pukul enam yang gigil, kami berangkat ke Capak yang berjarak lima belas kilometer ke arah timur dari pusat kota Pamekasan. Kampung itu masyhur di kalangan anak-anak muda jamet dan pencinta senja. Rasanya kurang afdal jika Instagram mereka tak memajang foto-foto dengan latar jalur Capak yang terapit tambak luas bertepi barisan pohon kuda.

Namun, pagi itu tak ada abege. Hanya orang-orang dewasa yang tengah jogging dan menghabiskan vakansi. Cahaya keemasan menyelimuti kayu-kayu jaran dan jatuh di permukaan tambak yang tenang. 

“Lihat itu.” Sambil mengemudi, Asief menunjuk sisi kiri. Ke ufuk timur. “Itu dara laut.” Burung itu melayang-layang di atas permukaan air.

Kupikir dara laut satu keluarga dengan merpati, tekukur, atau perkutut. Ternyata tidak. Burung yang didominasi warna putih itu lebih mirip camar. Setidaknya menurut mata awamku.

“Kita akan mencari wetland.”

“Apakah lahan basah menjadi satu-satunya lokasi yang bisa diharapkan para pengamat burung di Madura?” responsku di belakang punggungnya. 

“Beruntung kita masih punya rawa-rawa. Setidaknya kita masih punya berbagai burung air. Hutan-hutan di Jawa menjadi habitat burung-burung dengan ornamen lebih kaya, dengan warna bulu lebih semarak. Di sini, sulit mencari burung semacam itu. Paling cuma kutilang yang mengoceh seharian. Mereka ada di mana-mana.”

“Warna ‘itu-itu saja’ burung-burung di sini mungkin disepuh kontur lanskap alam Madura yang monoton. Karakter burung mengikuti habitatnya.”

“Itulah kenapa ada jargon yang terkenal di antara para pengamat burung: kenali burungmu, kenali negerimu.”

Di dekat sebuah genangan, motor kami parkir. Ketika kaki kami melangkah, kawanan kuntul terbang berhamburan menjauhi tepi dan mendarat di sisi yang lain, di jarak yang tak mungkin kami jangkau.

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Sekawanan kuntul sedang berkumpul/Asief Abdi

“Semua burung sensitif. Mereka enggak mau dekat-dekat manusia,” Asief menjelaskan. “Ayo bergerak pelan-pelan. Tundukkan pandanganmu. Kontak mata bakal bikin mereka buyar.”

“Kenapa begitu?”

“Kita punya mata predator, Bung. Mereka akan merasa terancam.”

Kita adalah ‘wajah yang lain’ bagi makhluk-makhluk itu. Namun, mungkin istilah ‘wajah yang lain’ juga tak tepat. Emmanuel Levinas, filsuf Lithuania itu, sepertinya tidak bermaksud menggunakan metafora ‘wajah’ sebagai renungan etis yang ditujukan kepada hewan nonmanusia. Bukan kesadaran, mungkin kepekaan kontak mata tersebut merupakan insting tajam yang telah diasah waktu.

Yang jelas, reaksi burung-burung itu sudah tepat. Salah satu faktor kesintasan dan prestasi evolusi suatu spesies bergantung pada rasa takut. Spesies-spesies bonek berpotensi punah. Rasa gentar adalah sikap pragmatis, sedangkan keberanian kadang membunuh. 

Itulah mengapa Asief merangkak di balik belukar untuk merawat rasa aman para kuntul. Aku mengendap-endap di belakangnya. Ketika berhenti, ia merogoh seperangkat Canon dari dalam tas, lalu membidikkan mata kamera ke kawanan satwa itu dari celah semak.

“Burung-burung itu satu flock,” Asief menjelaskan sekelompok kuntul yang sedang mencari makan. “Yang besar namanya kuntul besar, yang kecil namanya kuntul kecil. Kuntul kebo paruhnya kuning, tapi di situ enggak ada.”

“Kalau yang leher pendek itu?” timpalku dengan telunjuk yang menunjuk.

“Blekok sawah. Kayak bambangan.”

“Bedanya dengan blekok?”

“Bambangan lebih langka.” Benar-benar jawaban yang tidak memuaskan. “Ya, mereka satu keluargalah.” Sepertinya dia bisa membaca pikiranku.

“Di sini aku merasa bebas,” ucap Asief sambil menghirup udara dengan kaki selonjor seusai memotret. Wajahnya semringah, tetapi tidak berlebihan. “Bagiku, ini momen transendental.” Terdengar sangat new age. Mungkin sebentar lagi ia overdosis jamur halusinogen, tetapi tercerahkan. “Kita pindah ke Polagan.”

Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman
Asief Abdi memotret kuntul di balik semak-semak/Royyan Julian

Dicari: Persaudaraan Pengamat Burung Madura

Menuju desa itu, kami melaju di pematang ladang tembakau yang hijau pekat dan subur. Aku mesti menghindari dahan-ranting semak beluntas dan widuri yang berjejer di sisi kanan-kiri. Di seutas kabel tiang listrik, seekor raja udang biru bertengger. Asief berhenti. Hewan itu terbang.

“Burung itu enggak bakal kabur kalau kita enggak berhenti dan enggak menatapnya. Nalurinya peka dan kita dianggap pemangsa,” ucap Asief sembari melanjutkan perjalanan.

“Sebenarnya apa tujuan kalian mengamati burung?” Aku bertanya dengan daftar penasaran yang sudah kususun.

“Para profesional melakukannya untuk tujuan riset. Fotografer bisa menjual gambar burung ke situs-situs komersial kayak Shutterstock atau Dreamstime. Tapi orang kayak aku mengamati burung cuma hobi.”

Dan hobi mengamati burung memang gayung bersambut dengan latar studi Asief. Ia hafal banyak spesies lengkap dengan nama latinnya. Dahulu, cowok ramping ini belajar biologi di Universitas Negeri Malang dengan konsentrasi botani. Sejak 2012, ia suka keluyuran di hutan, kebun raya, taman nasional, dan cagar alam untuk mengamati anggrek. Namun, beberapa tahun terakhir ia memperluas hobinya dengan memantau burung. Maka untuk menarik para pengamat burung di Madura, ia membuat akun Instagram Madura Birdwatching. 

“Sayang, di sini aku enggak punya saudara seiman, orang-orang yang juga memiliki kegemaran yang sama denganku,” ratapnya. Mungkin karena akun Madura Birdwatching gagal menyatukan persaudaraan itu. 

Untuk merawat hobi, selain tetap rutin jalan-jalan di alam, Asief juga berkorespondensi dengan pengamat burung lainnya di media sosial. Namun, belakangan ia lebih banyak melakukan aktivitasnya sendiri. Hanya sesekali ia mengontak kawan-kawannya saat tak tahu jenis burung yang baru dijumpainya.

“Para pengamat burung melakukan pertemuan tahunan. Tahun ini mereka ketemuan di Bali. Temanku juga pernah ikut lomba mengamati burung di sana dan juara satu.”

“Lomba mengamati burung?” tanyaku sedikit terkejut. Setahuku, kompetisi yang berkaitan dengan burung cuma balap merpati dan adu kicau. 

“Para kontestan mencatat burung-burung yang mereka temukan. Juga ada sesi presentasi dan tanya-jawab.”

“Tapi aku bisa menjadi saudara seimanmu,” godaku, berusaha mengembalikan keluh kesahnya di awal perbincangan. “Aku suka alam liar beserta isinya.”

“Iya, sih…” lalu senyap. Lidahnya macet. Ia tampak memikirkan sesuatu untuk diucapkan. “Tapi kamu penyair, Bung!” Akhirnya ia berkata dengan rasa bersalah yang tegas. Pipinya bersemu merah. Aku bisa melihatnya dari kaca spion.

“Omong kosong,” sahutku meringis. Aku tahu sebenarnya ia ingin berkata: Enggak. Kamu bukan pencinta alam, bukan pencinta burung, dan enggak pantas.

Namun, tidak apa-apa. Justru karena berjuang sendirian di pulau yang tampak tidak menjanjikan ini, seluruh apa yang ia kerjakan jadi masuk akal untuk disebut eksentrik. Belajar-mengajar biologi dan menekuni makhluk-makhluk liar. Ketika anak-anak muda Madura saling berlomba mengejar karier polisi, tentara, dan profesi “Halo, Dek” lainnya, Asief mengendus bunga bangkai hingga ke rimba Bengkulu serta giat menulis perkawinan antara alam dengan budaya.

Aku berani bertaruh, pemuda 170 senti ini adalah satu-satunya naturalis yang hidup di Madura.

(Bersambung)


Foto sampul: Rawa-rawa di Polagan (Asief Abdi)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/burung-burung-terbang-ke-akhir-zaman-1/feed/ 0 39896