pameran seni Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pameran-seni/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 15:07:29 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pameran seni Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pameran-seni/ 32 32 135956295 Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung https://telusuri.id/skopos-vibes-eksplorasi-visual-dan-cahaya-para-seniman-belakang-panggung/ https://telusuri.id/skopos-vibes-eksplorasi-visual-dan-cahaya-para-seniman-belakang-panggung/#respond Mon, 16 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47455 Jumat, 28 Februari 2025. Langit belum sepenuhnya gelap saat halaman Bentara Budaya Yogyakarta mulai dipenuhi cahaya yang menari. Dari kejauhan, cahaya-cahaya lembut mulai memantul ke layar putih, menyusun satu demi satu bentuk yang abstrak, hidup,...

The post Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung appeared first on TelusuRI.

]]>
Jumat, 28 Februari 2025. Langit belum sepenuhnya gelap saat halaman Bentara Budaya Yogyakarta mulai dipenuhi cahaya yang menari. Dari kejauhan, cahaya-cahaya lembut mulai memantul ke layar putih, menyusun satu demi satu bentuk yang abstrak, hidup, dan berubah-ubah. Udara dipenuhi suasana yang nyaris sakral: sebuah percampuran antara ekspektasi, eksperimentasi, dan keheningan yang penuh perhatian.

Di sinilah Skopos Vibes digelar, suatu ajang eksplorasi seni visual berbasis layar yang diinisiasi oleh Skopos Lab—sebuah kolektif seni yang fokus pada eksplorasi visual dan cahaya. Dalam pertunjukan ini, cahaya bukan sekadar efek atau elemen pendukung seperti pentas pada umumnya, melainkan sebagai bahasa. Di tangan para seniman, cahaya menjelma menjadi suara yang bisa “berbicara”, mengungkap, bahkan menggugat. Ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah pernyataan: bahwa para penata cahaya dan visual, yang selama ini tersembunyi di balik layar, pantas berdiri di garis depan sebagai seniman utuh.

Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung
Pertunjukan oleh Cholsverde yang mengeksplorasi bayangan/Inggar Dwi Panjalu

Wayahe Cah Mburi Tampil

Dalam dunia seni pertunjukan, posisi penata cahaya dan visual sering kali dianggap sebagai pelengkap. Mereka tidak berada di pusat perhatian, padahal merekalah yang menciptakan atmosfer, mengarahkan nuansa, bahkan menjadi visualisasi dan perpanjangan emosi dari sebuah pertunjukan agar bisa dirasakan penonton.

Skopos Vibes mencoba membalik cara pandang itu. Acara ini memberikan ruang yang penuh bagi kerja-kerja visual untuk tampil sebagai pengalaman utama, bukan sekadar penunjang. Wayahe cah mburi tampil—waktunya orang-orang di belakang panggung unjuk diri.

Acara ini menghadirkan nama-nama seniman muda, yakni Jansen Goldy, Shapek, Kanosena, Mailani Sumelang, Cholsverde, Kelompok Dibalik Tonil, Deva x Cici, dan Neat Project. Masing-masing menampilkan eksplorasi yang unik: dari visual coding yang mengubah baris-baris program menjadi pola-pola dinamis, menggerakkan benda, menumpahkan cairan, mengatur proyektor, menciptakan bayangan—semuanya dilakukan secara langsung, tanpa rekayasa pascaproduksi.

Beberapa seniman juga menjadikan tubuh mereka sebagai objek eksplorasi. Para seniman ini memadukan teknologi lama dan baru. Di satu sisi, mereka menggunakan proyektor OHP—alat visual klasik dari masa lalu—untuk menciptakan tekstur, distorsi, dan bayangan yang hidup. Di sisi lain, mereka memanfaatkan proyektor digital, visual coding, dan live mapping yang canggih. Pertemuan keduanya menciptakan estetika yang segar dan tak terduga—sebuah jembatan antara nostalgia dan inovasi.

Jansen dan Shapek, misalnya. Mereka menggunakan visual coding dua dimensi yang kemudian diproyeksikan menggunakan proyektor digital, sedangkan Mailani Sumelang menggunakan proyektor OHP  untuk mengeksplorasi bayangan yang lebih tajam dari berbagai objek: mika, plastik, tangan, bahkan cairan. Adapun di sisi yang lain, Deva Listianto dan Cici menggunakan tubuh mereka sebagai media.

Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung
Pertunjukan oleh Mailani Sumelang yang memadukan menggunakan proyektor OHP yang dipadukan dengan seni rupa (gambar)/Inggar Dwi Panjalu

Alih-alih menyuguhkan tontonan pasif dan satu arah, Skopos Vibes menciptakan pengalaman multisensori yang mengajak penonton untuk mengalami pertunjukan secara langsung. Penonton dan penampil berpadu dalam sebuah ruang yang tak lagi kaku. Ini bukan pertunjukan satu arah; ini adalah dialog antara medium, antara seniman dan penonton, antara teknologi lama dan baru.

Beberapa karya terasa meditatif, dengan alur cahaya yang mengalir lambat. Yang lain memanfaatkan intensitas suara dan kilatan cahaya untuk membangun ketegangan. Semua ini dilakukan secara langsung—tanpa filter, tanpa edit. Menunjukkan bahwa kerja penata visual dan cahaya bukan sekadar pascaproduksi, melainkan performa langsung yang dilakukan dengan penuh presisi dan intuisi.

Bagi sebagian orang, ini bisa jadi membingungkan dan asing. Tapi justru dalam kebingungan itu, kita diajak untuk melihat ulang bagaimana sebuah pertunjukan bisa bekerja. Bahwa tidak semua harus naratif, tidak semua harus memiliki plot. Bahwa bunyi, cahaya, dan gerak bisa berdiri sendiri sebagai bentuk ekspresi, dan punya keajaiban panggungnya tersendiri. 

Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung
Pertunjukan oleh Deva dan Cici yang mengekplorasi tubuh dan visual mapping/Inggar Dwi Panjalu

Makna Baru dari Skopos Vibes

Apa yang dilakukan Skopos Lab lewat acara ini bukan hal remeh. Ia mendobrak struktur dan hierarki dalam seni pertunjukan yang selama ini menganggap kerja teknis sebagai “di belakang”. Dalam sebuah pementasan konvensional, penata cahaya dan visual adalah nama-nama yang biasanya disebut di bagian akhir. Kalaupun disebut, mereka dianggap pelayan artistik, bukan pencipta artistik.

Acara ini menjadi ajang pembuktian bahwa kerja-kerja visual bukan hanya soal teknis. Ia menuntut kepekaan, intuisi, bahkan visi estetika yang kuat. Menata cahaya bukan hanya soal “menerangi” aktor, melainkan tentang menyusun ruang emosional. Membuat visual bukan hanya soal “memperindah” latar, melainkan juga tentang menciptakan pengalaman yang membekas. Skopos Vibes #1 menyuarakan sesuatu yang lebih dalam: sebuah tuntutan akan eksistensi. Pengakuan bahwa para penata visual dan cahaya adalah seniman. Bahwa kerja mereka tidak kalah kompleks dan kreatif dibanding sutradara atau aktor. Dan bahwa mereka juga berhak atas ruang untuk berbicara, berkarya.

Lebih dari sekadar pertunjukan, Skopos Vibes menjadi sebuah bentuk intervensi budaya. Ia menghadirkan kemungkinan baru tentang bagaimana kita memahami dan menghargai sebuah karya pertunjukan dari segala aspek. Ia menunjukkan bahwa di balik kilatan cahaya dan gerak visual, ada seniman yang selama ini bekerja dalam diam—dan diamnya mereka bukan berarti tanpa suara.

Seperti cahaya yang menyusup lewat celah-celah gelap, para seniman di Skopos Vibes menunjukkan bahwa seni bisa lahir dari ruang-ruang yang tidak terlihat. Mereka membuat kita kembali bertanya: siapa yang sebenarnya menciptakan pengalaman teatrikal yang emosional? Siapa yang menggerakkan imajinasi penonton?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/skopos-vibes-eksplorasi-visual-dan-cahaya-para-seniman-belakang-panggung/feed/ 0 47455
Road to ARTJOG 2025: Hadir Dahulu di Surabaya bersama Jompet Kuswidananto dan Ayos Purwoaji https://telusuri.id/road-to-artjog-2025-hadir-dahulu-di-surabaya-bersama-jompet-kuswidananto-dan-ayos-purwoaji/ https://telusuri.id/road-to-artjog-2025-hadir-dahulu-di-surabaya-bersama-jompet-kuswidananto-dan-ayos-purwoaji/#respond Tue, 22 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46738 Jelang pelaksanaan pameran rutin tahunan pada Juni mendatang di Jogja National Museum, Yogyakarta, ARTJOG terlebih dahulu singgah di Surabaya melalui program Road to ARTJOG 2025, setelah tahun lalu hadir di Jakarta. Program ini menggandeng Jompet...

The post Road to ARTJOG 2025: Hadir Dahulu di Surabaya bersama Jompet Kuswidananto dan Ayos Purwoaji appeared first on TelusuRI.

]]>
Road to ARTJOG 2025: Hadir Dahulu di Surabaya bersama Jompet Kuswidananto dan Ayos Purwoaji
Poster utama ARAK-ARAK: Midnight Haze and The Drifting Flocks/ARTJOG

Jelang pelaksanaan pameran rutin tahunan pada Juni mendatang di Jogja National Museum, Yogyakarta, ARTJOG terlebih dahulu singgah di Surabaya melalui program Road to ARTJOG 2025, setelah tahun lalu hadir di Jakarta. Program ini menggandeng Jompet Kuswidananto, seniman asal Yogyakarta, dan Ayos Purwoaji, penulis dan kurator asal Surabaya. Pameran bertajuk ARAK-ARAK: Midnight Haze and The Drifting Flocks akan berlangsung mulai 19 April hingga 3 Mei 2025 di Pasar Tunjungan, Surabaya.

“Kota Surabaya kami pilih sebagai bagian dari perjalanan Road to ARTJOG bukan hanya karena sejarah panjang yang dimiliki kota ini, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan kepada publik Surabaya yang selama ini telah menjadi bagian dari perjalanan dan pertumbuhan ARTJOG,“ ungkap Heri Pemad, pendiri sekaligus Direktur Utama ARTJOG.

Pameran Arak-Arak: Midnight Haze and The Drifting Flocks merupakan kali pertama Jompet Kuswidananto berpameran di Kota Pahlawan. Ia menempatkan 21 karya pada lantai tiga Pasar Tunjugan yang telah lama terbengkalai, dengan luas lebih dari 1.700 m2. Momen ini sekaligus menjadi sarana perjalanan lintas waktu melalui karya-karya yang lahir dalam rentang 2001-2025. Jompet juga menciptakan sejumlah karya baru yang terinspirasi langsung dari dinamika sejarah perjuangan dan kehidupan masyarakat di Surabaya.

Tentang ARTJOG

ARTJOG adalah salah satu agenda seni rupa kontemporer berskala besar di Indonesia. Sebelumnya terlahir dengan nama Jogja Art Fair (JAF) pada 2008, kemudian pada 2010 berganti sebagaimana dikenal saat ini. Perhelatan ini bersifat terbuka dan konsisten berinovasi dan berevolusi, baik dari segi gagasan maupun bentuk. Inklusivitas ini membuat kehadiran ARTJOG selalu dinanti-nanti setiap tahunnya oleh berbagai kalangan. Tidak hanya pegiat seni, tetapi juga publik dalam lingkup global.

Keberadaan ARTJOG berperan penting bagi ekosistem seni rupa. Sebab, setiap pelaksanaannya menjadi pemantik bagi ruang-ruang independen, galeri, dan komunitas di Yogyakarta dan kota di sekitarnya dalam membuat pameran dan kegiatan seni.

Mengemas perhelatan seni rupa kontemporer menjadi tontonan yang populer sekaligus menjadi sarana pendidikan, ARTJOG  juga berhasil menjadi katalisator dalam mengembangkan aspek pariwisata berbasis seni. Dalam praktiknya, ARTJOG juga selalu memberikan warna baru pada setiap tahunnya. Melakukan kolaborasi dan membuka pandangan baru bersama para pegiat seni untuk menciptakan ruang-ruang yang lebih luas dan berdampak bagi khalayak dalam berbagai aspek. 

ARTJOG 2025 – Motif: Amalan

ARTJOG berkolaborasi dengan Hendro Wiyanto, seorang kurator dan penulis yang berbasis di Jakarta. Ia menjadi anggota tim kurator dari 2023 hingga 2025 dan menggagas tema ‘Motif’. Setelah ‘Motif: Lamaran’ di tahun 2023 dan ‘Motif: Ramalan’ pada tahun 2024, tahun ini ARTJOG sampai pada bagian akhir dari trilogi ‘Motif’, yaitu ‘Motif: Amalan’.

Tema tersebut mengeksplorasi pertanyaan apakah seni dan praktik seni dapat dipahami sebagai tindakan baik atau amalan. ‘Motif: Amalan’ menata ulang pandangan konvensional nilai seni, yang sering kali mengedepankan nilai estetika. ARTJOG 2025 mendorong eksplorasi peran seni di luar batasan ‘Dunia Seni’, serta mempertimbangkan nilai praktik seni sebagai bentuk kebaikan kepada masyarakat yang lebih luas. 

ARTJOG Motif: Amalan akan diselenggarakan pada 20 Juni–31 Agustus 2025 di Jogja National Museum, Yogyakarta dengan melibatkan 48 seniman dewasa dalam program pameran serta 44 anak dan remaja dalam program ARTJOG Kids. ARTJOG tahun ini juga akan menghadirkan dua karya seniman komisi, yaitu Anusapati (Yogyakarta) dan REcycle EXPerience (Bandung). Selain itu, hadir pula tiga special project, yaitu Murakabi Movement (Yogyakarta), Ruang Rupa (Jakarta), dan Devfto Printmaking Institute (Bali). Tak hanya pameran seni rupa, ARTJOG juga menawarkan berbagai pengalaman menikmati dan merayakan seni melalui program pendukung, seperti Love🤟ARTJOG, performa•ARTJOG, Curatorial Tour, Meet The Artist, dan Jogja Art Weeks. 

Informasi untuk Pengunjung

Road to ARTJOG 2025 – ARAK-ARAK: Midnight Haze and The Drifting Flocks
Seniman: Jompet Kuswidananto 
Penulis: Ayos Purwoaji
Tanggal pelaksanaan: 19 April–3 Mei 2025
Lokasi: Pasar Tunjungan, Lantai 3,  Jl. Tunjungan No. 30, Genteng, Surabaya

Jam Operasional:
Sabtu, 19 April 2025, pukul 19.00–2.00 WIB
Minggu, 20 April–Sabtu, 3 Mei 2025, pukul 10.00–22.00 WIB (kunjungan terakhir pukul 21.00 WIB)

Tiket Masuk:
Rp45.000,00/orang (Tiket single Road to ARTJOG Surabaya)
Rp90.000,00/orang (Tiket bundle Road to + ARTJOG 2025–Motif: Amalan di Jogja National Museum, Yogyakarta)
Tiket dapat dibeli langsung di lokasi (nontunai) atau melalui www.artjog.id 

Narahubung:
Athia Alamanda (Surabaya) | +62 812 3511 3644 | artchemist.info@gmail.com 
Amelberga Astri P. (Yogyakarta) | +62 818 0274 0296 | publikasi.artjog@gmail.com 
Informasi lebih lanjut bisa dicek berkala di Instagram @artjog.id dan X @artjog


(Foto sampul oleh ARTJOG)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Road to ARTJOG 2025: Hadir Dahulu di Surabaya bersama Jompet Kuswidananto dan Ayos Purwoaji appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/road-to-artjog-2025-hadir-dahulu-di-surabaya-bersama-jompet-kuswidananto-dan-ayos-purwoaji/feed/ 0 46738
Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo https://telusuri.id/amex-2024-museum-sonobudoyo-yogyakarta/ https://telusuri.id/amex-2024-museum-sonobudoyo-yogyakarta/#respond Tue, 11 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45604 Di Yogyakarta, selain Malioboro dan Keraton Jogja yang jadi destinasi wisata favorit turis, Museum Sonobudoyo juga sebenarnya tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Apalagi setiap akhir tahun Museum Sonobudoyo mengadakan pameran yang bernama Annual Museum Exhibition...

The post Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Yogyakarta, selain Malioboro dan Keraton Jogja yang jadi destinasi wisata favorit turis, Museum Sonobudoyo juga sebenarnya tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Apalagi setiap akhir tahun Museum Sonobudoyo mengadakan pameran yang bernama Annual Museum Exhibition (Amex).

Museum Sonobudoyo merupakan museum negeri di bawah naungan Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Museum ini mempunyai fungsi mengelola koleksi-koleksi sarat nilai budaya dan sejarah. Selain itu Sonobudoyo juga memiliki tugas untuk mengumpulkan, merawat, pengawetan, melaksanakan penelitian, pelayanan pustaka, bimbingan edukatif kultural serta penyajian benda koleksi. Lokasi museum berada di pusat kota Yogyakarta, tepatnya Jalan Trikora/Pangurakan No. 6, berdekatan dengan keraton dan Malioboro.

Museum Sonobudoyo menyimpan 10 jenis koleksi, yang meliputi: Koleksi Geologi, Koleksi Biologi, Koleksi Etnografi, Koleksi Arkeologi, Koleksi Numismatika, Koleksi Historika, Koleksi Filologika, Koleksi Seni Rupa, Koleksi Teknologika, dan Koleksi Keramologika. Museum buka setiap hari Selasa–Minggu pukul 08.00–21.00 WIB. Adapun harga tiket masih relatif terjangkau dan terbagi menjadi dua kategori. Tiket domestik dewasa Rp10.000 dan anak-anak Rp5.000, sedangkan wisatawan mancanegara Rp20.000.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika mengunjungi pameran AMEX 2024 lalu. Pertama, pameran menerapkan sistem “one way”, jadi para pengunjung tidak boleh keluar lewat pintu masuk. Kedua, para pengunjung harus menjaga kebersihan. Ketiga, dilarang untuk menyentuh setiap koleksi yang dipamerkan. Keempat, dilarang untuk mengambil gambar menggunakan kamera flash.

  • Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo
  • Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo

AMEX 2024

AMEX merupakan pameran tahunan yang diselenggarakan dalam rangka memperingati hari jadi Museum Sonobudoyo, yang jadi wujud aksi museum dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya. AMEX 2024 bertajuk “Meet The Myth: From Mythology to Art and Sustainability” dan berlangsung pada 6 November–31 Desember 2024 di Gedung Pamer Saraswati selama jam operasional museum. Untuk melihat pameran hanya perlu menunjukkan tiket masuk museum.

AMEX kali ini berupaya mengeksplorasi figur-figur mitologi berupa makhluk yang eksistensinya dikisahkan dalam folklor, legenda, dan fabel. Figur mitologi tersebut dihadirkan dalam imajinasi dan dalam berbagai wujud karya seni baik klasik, kontemporer, maupun modern. Di dalamnya memuat aspek-aspek simbolik karena sering ada suatu mitos di dalamnya. Melalui pameran ini Museum Sonobudoyo menghadirkan berbagai bentuk visualisasi figur mitologi berdasarkan koleksi yang ada di dalam museum. 

Selain visualisasi figur mitologi dalam karya seni, AMEX 2024 juga bertujuan untuk mengajak pengunjung belajar mengenai peran, fungsi, dan nilai budaya mitologi yang mempunyai nilai-nilai simbolik dalam tatanan kehidupan masyarakat. Selain itu perlu digarisbawahi juga bahwa pameran ini menyinggung aspek “sustainability” yang menyangkut isu-isu ekologi dan kelestarian alam. Tanpa disadari, keberadaan mitos yang ada pada kehidupan masyarakat sering kali bertautan dengan pentingnya menjaga alam, lingkungan, dan kesinambungan hubungan manusia dengan alam. Dalam konteks “cultural sustainability”, pameran ini hadir sebagai sebuah upaya berkelanjutan untuk pemeliharaan dan pelestarian warisan budaya.

Pameran ini dihadirkan dengan konsep kekinian sehingga tidak akan membuat para pengunjung merasa bosan. Tata letak pameran diatur secara khusus dan beberapa ruang dilengkapi dengan teknologi proyeksi video mapping. Di setiap ruangan juga ada pemandu yang siap memberikan penjelasan lebih lanjut kepada setiap pengunjung.

Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo
Video mapping AMEX 2024/Imam Basthomi

Garuda dan Lambang Negara

Di ruangan pertama, tersaji figur mitologi burung garuda. Garuda merupakan figur mitologi yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia karena menjadi lambang negara. Berdasarkan infografis di pameran ini, dijelaskan bahwa garuda merupakan lambang dunia dan kelahiran. 

Pada berbagai karya seni garuda digambarkan berwujud setengah manusia dan setengah burung raksasa. Figur garuda ini juga banyak jenisnya, di antaranya Garuda Wisnu Kencana, Jatayu, dan Wilmana. Dalam perkembangannya, figur garuda memberikan pengaruh dalam hal kesenian di Indonesia. Kita dapat menemukan figur-figur garuda dalam berbagai macam bentuk kesenian, baik versi yang klasik maupun modern. 

Istana Garuda di IKN merupakan contoh nyata bahwa figur garuda dimanfaatkan dalam seni arsitektur di era modern seperti sekarang. Melalui AMEX kali ini, para pengunjung juga dapat belajar sejarah tentang perjalanan dan latar belakang Indonesia menggunakan garuda sebagai lambang negara dalam bentuk infografis yang menarik dan mudah untuk dipahami.

Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo
Lambang negara, Garuda Pancasila/Imam Basthomi

Mitologi Naga

Di ruangan berikutnya dipaparkan mengenai figur mitologi naga. Naga merupakan figur mitologi yang sering kali muncul dalam berbagai tradisi dan kebudayaan di dunia. Dalam konteks Nusantara, kisah naga banyak dijumpai dalam tradisi lisan (folklor) yang ada di masyarakat.

Dijelaskan bahwa figur naga dalam konteks Nusantara biasanya dipakai sebagai analogi morfologi alam. Dalam pengertian lainnya, naga dijadikan simbolisasi penyebab terjadinya peristiwa alam dan asal usul terjadinya suatu tempat (wilayah). Mitologi naga juga dijadikan alasan pelaksanaan ritual atau upacara tradisional masyarakat.

Kisah-kisah mengenai naga terkadang juga berisi pesan moral yang berkaitan dengan pedoman hidup masyarakat, termasuk dalam menjaga keseimbangan alam. Visual naga sendiri sering dijumpai dalam berbagai bentuk seni dan ornamentasi. Beberapa contoh yang ditampilkan antara lain Naga Antaboga, Naga Basuki, dan Naga Taksaka.

Ragam koleksi figur mitologi di AMEX 2024, di antaranya Ganesha, makara, dan naga/Imam Basthomi

Figur Zoomorfik dan Antropomorfik

Di ruangan berikutnya disajikan figur-figur mitologi selain garuda dan naga yang tertuang dalam karya seni lainnya. Figur-figur ini banyak ditemukan dalam folklor dan beberapa divisualisasikan dalam wujud hibridisasi. Contohnya saja makara yang biasanya ada pada bangunan candi. Makara berarti naga laut yang visualnya berupa wujud hibrida dari gajah-buaya-rusa dan di belakangnya berupa hewan air, seperti ikan atau naga. Peran makara pada bangunan candi dianggap sebagai tolak bala (musibah atau marabahaya).

Selanjutnya ada Ganesha yang dikenal sebagai dewa pengetahuan dan kecerdasan. Ganesha sering divisualisasikan bertubuh manusia dan berkepala gajah. Visual Ganesha tidak hanya dijumpai dalam seni arca atau patung, tetapi juga dapat dijumpai dalam lambang suatu institusi formal maupun nonformal.

Selain Ganesha dan makara, pameran ini juga menampilkan mitologi hibrida lainnya, seperti Rusa Bersayap, Singa Ambara, Paksi Naga Liman, Phoenix, Flying Mermaid, Barong dan Rangda, Malekat Lindhu, dan Bedawang Nala.

  • Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo
  • Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo

Mitologi sebagai Personifikasi dan Alegori

Dari AMEX 2024, para pengunjung bisa mempelajari bahwa figur mitologi sering dipakai untuk personifikasi atau penggambaran kekuatan atau fenomena alam. Selain itu juga bisa digunakan sebagai alegori atau sebuah simbol untuk menyampaikan pesan. Misalnya saja, ada figur Bedawang Nala yang berupa kura-kura raksasa, yang sering diasosiasikan dengan peristiwa gempa bumi dan tsunami.

Melalui pameran ini pengunjung juga dapat mengetahui bahwa mitos selalu berkaitan dengan isu-isu pelestarian alam, menciptakan harmoni dan kesinambungan antara warisan budaya dan tantangan lingkungan. Mitos secara tidak langsung menjadi media konservasi alam yang harus diperhatikan.

AMEX 2024 sukses menghadirkan instalasi artistik kontemporer berupa figur-figur mitologi sebagai bentuk reimajinasi dan reinterpretasi. Adanya ruangan dengan beberapa instalasi artistik juga menjadi media interaktif bagi para pengunjung. Para pengunjung di akhir ruangan juga bisa memproduksi hasil imajinasi atau fantasi mengenai figur mitologi dalam bentuk karya seni. 

Sebagai pelengkap acara, pihak Museum Sonobudoyo juga menghadirkan berbagai kegiatan pendukung, seperti seminar, workshop, talkshow, tur kuratorial untuk umum dan difabel, serta kelas kuratorial. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/amex-2024-museum-sonobudoyo-yogyakarta/feed/ 0 45604
Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo https://telusuri.id/belajar-mencapai-cita-cita-melalui-pameran-tunggal-nugrahanto-widodo/ https://telusuri.id/belajar-mencapai-cita-cita-melalui-pameran-tunggal-nugrahanto-widodo/#comments Sat, 30 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44244 “Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.” — Paulo Coelho, Sang Alkemis (2005) “Suatu saat saya ingin: kapan, ya, saya bisa pameran tunggal di sini?” kenang Nugrahanto Widodo dengan...

The post Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo appeared first on TelusuRI.

]]>

“Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.” — Paulo Coelho, Sang Alkemis (2005)

“Suatu saat saya ingin: kapan, ya, saya bisa pameran tunggal di sini?” kenang Nugrahanto Widodo dengan raut wajah mengingat masa lalu. Saya mewawancarainya di pintu masuk gedung Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) pada Selasa (15/10/2024).

Itulah idealisme atau cita-cita Nugrahanto Widodo sejak masa kuliah dulu yang terealisasi tahun ini. Nugrahanto Widodo, atau akrab disapa Totok Kontil, akhirnya bisa tampil di BBY dengan pameran tunggalnya yang bertajuk “Kembali”.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Suasana galeri di hari terakhir pemeran tunggal Mas Totok/Danang Nugroho

Mas Totok cerita, ia dulu kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kalau menonton pameran dulu biasanya di Purna Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM). Zaman dulu bus kota hanya sampai pukul lima sore. Jadi, kalau pulang habis nonton pameran itu biasanya malam hari dan jalan kaki. Ia selalu melewati BBY karena sudah tidak ada angkutan. Berawal dari sinilah keinginan untuk pameran tunggal di BBY bermuara.

Pameran ini dibuka hari Selasa, 8 Oktober 2024. Dibuka oleh Nasirun, dikuratori Kuss Indarto, dan diberi pengantar esai oleh Alexander Supartono. Pameran berlangsung pada 9–15 Oktober 2024.

Sebelum perbincangan hangat saya dengan Mas Totok itu terjadi, saya sempat masuk pameran terlebih dahulu. Saya menilik karya demi karya seni lukis Mas Totok yang berjumlah 42. Ketika saya selesai menyelami pameran dan hendak keluar, saya berjumpa Mas Totok. Ia sedang duduk dan melukis di depan pintu masuk gedung BBY. Di situlah ia menceritakan perjalanan dan tema “Kembali” kepada saya.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Saya foto bersama Nugrahanto Widodo (kiri) di depan karya berjudul Dodol Balon di dalam gedung pameran BBY/Danang Nugroho

Perjalanan Totok Kontil dan Tema “Kembali”

Mas Totok lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Kini tinggal di sebuah gang buntu di Jalan Kayu Manis, Kelurahan Pondok Cabe Udik, Pamulang, Tangerang Selatan. 

Dulunya, setelah lulus SMA, Mas Totok sempat kuliah Ilmu Arsitektur selama tiga tahun di ITN Malang. Setahun berikutnya ia berhenti, tidak mau kuliah. Akhirnya, karena desakan orang tua, Mas Totok melanjutkan studinya di jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta. Ia masuk pada 1992 dan lulus satu dekade kemudian. Saat mengerjakan skripsi, ia pernah menggelar pameran tunggal di Warung Senja, daerah Taman Sari.

“Kalau di ISI itu ada dua tugas akhir, yaitu skripsi karya atau skripsi penelitian. Saya memilih tugas akhir skripsi karya minimal 20 lukisan. Akhirnya saya pemeran tunggal [skripsi karya] pertama di Warung Senja dekat alun-alun kidul. Waktu itu saya cukup bangga, walaupun belum masuk galeri, saya bisa menampilkan di warung-warung supaya karya saya bisa dinikmati orang-orang,” ucap Mas Totok tersenyum.

Pada 1998–2005, ia juga sempat mengikuti Komunitas Taring Padi. Setelah itu, Mas Totok pergi ke Jakarta sebagai guru paruh waktu dan mengajar di beberapa sekolah, mulai dari Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, hingga Pondok Cabe di Tangerang Selatan.

Bagi Mas Totok, Jakarta waktu itu tidak mudah. Maksudnya, perjalanan mengajar di sana sangat menyita waktu. Dulunya angkutan umum sulit dicari. Perjalanan ke sekolah pun antara 1–2 jam baru sampai. Kelelahan psikis juga terjadi, lantaran banyak siswa di sana yang jika ditegur lapor orang tua. Faktor ini menghambat Mas Totok berkarya di depan kanvas ataupun medium lain.

“Karena hal itu, saya tidak punya waktu untuk menggambar,” ungkapnya.

Setelah menjadi guru tetap di salah satu sekolah di Jakarta, Mas Totok masih merasa mandul dalam berkreasi. Dalam setahun, ia hanya menghasilkan satu atau dua karya saja. Bahkan pernah tidak sama sekali.

Ia lalu mencoba coretan-coretan di kertas ukuran A3 untuk melatih kembali kreativitasnya. Hasilnya kemudian dipamerkan di Survival Garage (pameran tunggal kedua). Karena merasa kurang maksimal, menjelang tidak lagi bekerja sebagai guru, selama dua tahun terakhir semangatnya dalam berkreasi kembali menggebu. Mas Totok berusaha mengasah kembali kreativitasnya melukis menggunakan media kertas.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Seorang pengunjung mengamati karya-karya Mas Totok. Hasil kreativitas yang kembali tumbuh setelah lama vakum/Danang Nugroho

“Saya pensiun [tahun ajaran] 2023/2024, ya, di situ saya aktif menggambar dengan media kertas. Supaya apa? Supaya bisa saya bawa ke mana-mana. Dengan pulpen dan kertas, di mana pun bisa saya coret-coret,” jelasnya.

Semangat yang menggebu itu akhirnya bermuara pada pameran ini. “Kembali” sebagai sebuah proses kreatif dan ia bawa ke Yogyakarta, agar bisa diapresiasi kembali oleh masyarakat atau seniman di daerah istimewa tersebut. 

“Saya mengambil tema ‘Kembali’ karena saya memang ingin menampilkan kembali karya-karya saya, setelah vakum dari 2005 sampai 2024 tidak pernah menampilkan karya saya di publik Yogyakarta. Pameran kedua saya di Survival Garage itu kurang maksimal, karena saya merasa tempatnya pada waktu itu masih kecil dan belum dikenal banyak orang, jadi masih minim apresiasi. Akhirnya saya memilih di BBY ini,” tutur Mas Totok.

Pameran tunggal “Kembali” menjadi pameran ketiga Mas Totok. Perjalanan dan tema “Kembali” Mas Totok juga bisa ditilik melalui kanal Youtube Bentara Budaya berjudul “KEMBALI Sebuah Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo” dan katalog elektronik di situs web bentarabudaya.com.

Berkarya dengan Jujur

Usai membicarakan perjalanan dan tema “Kembali”, saya mencoba mengulik karya-karya Mas Totok yang dipamerkan. Karya-karya yang saya lihat banyak menggambarkan masyarakat kelas bawah. Namun, ada juga karya yang timbul dari pengalaman pribadi Mas Totok.

Karya Jangan Mudah Berjanji, misalnya. Lukisan ini memperlihatkan Jokowi yang tengah membawa keranda yang bertulis SIPON, disertai tameng, dedaunan rimba, dan kawat berduri di depan gambar sosok Presiden ke-7 Indonesia itu. 

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Karya Jangan Mudah Berjanji yang mengkritik Jokowi/Danang Nugroho

Mengutip dari artikel “Kilas Balik Janji Presiden Jokowi Cari Wiji Thukul” yang dimuat di TEMPO (7/6/2023), saat menjadi calon presiden semasa Pilpres 2014, Jokowi pernah berjanji akan mencari Wiji Thukul yang belum ditemukan sejak peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Sipon atau Siti Dyah Sujirah, istri sang penyair, awalnya merasa salut dengan keberanian Jokowi mengucapkan janji tersebut. Namun, setelah berbagai upaya yang Sipon lakukan, hasilnya selalu nihil. Sipon pun mulai meragukan janji Jokowi.

“Tapi Pak Jokowi, maaf kalau dengar atau baca ini, pesan saya jangan mudah berjanji,” kata Sipon kepada Tempo (15/5/2018). 

Hal itulah yang diamini Mas Totok dalam karya Jangan Mudah Berjanji. Dengan wajah prihatin, Mas Totok berkata, “Saya berkarya tidak bisa bohong. Waktu itu saya baru aja baca koran tentang Pak Jokowi saat periode pertama pernah berjanji pada istrinya Wiji Thukul, Sipon, bahwa pernah akan mencarikan jasad suaminya. Tapi sampai Sipon meninggal [5 Januari 2023] tidak terlaksana. Saya cuma mengingatkan saja, orang itu gampang mengucapkan, namun sukar untuk melaksanakan.”

Selain itu, ada lukisan lain yang berjudul Transaksi di Bawah Meja. Karya ini memperlihatkan dua orang yang tengah memberikan kertas bertulis “PAJAK” di atas meja dan transaksi uang di bawah meja.

“Karya itu menceritakan keadaan di sebagian besar perusahaan besar. Kebetulan itu juga [terjadi] di perusahaan [tempat kerja] saya tentang pembayaran pajak. Jadi, kadang pajak yang dipotong tidak sesuai dengan yang diomongkan—maksudnya bisa dimanipulasi. Manipulasi itu antara pemilik perusahaan dan pegawai pajak,” ungkap Mas Totok.

Kedua ide karya tersebut merupakan hasil dari pengalaman pribadi Mas Totok. Pertama, setelah membaca koran, lalu yang kedua dari perusahaan tempat kerjanya. Memang benar, Mas Totok tak bisa berbohong pada karyanya. Ia tak banyak merenung dulu untuk berkarya, tetapi langsung mengeksekusi jika perlu dan penting untuk dituangkan sesuai fakta.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Lukisan Transaksi di Bawah Meja yang dihasilkan dari pengalaman kerja Mas Totok/Danang Nugroho

Gambaran Masyarakat Kelas Bawah melalui Karya Seni Lukis

“Saya biasanya seneng jalan, Mas. Ada sesuatu yang menarik akan saya gambar,” ujar Mas Totok.

Cerita dari Mas Totok belum usai. Perbincangan hangat terus kami lakukan. Saya mengulik karya-karya lain yang Mas Totok pamerkan, terutama yang menggambarkan masyarakat kelas bawah dengan suasana kegembiraan. Hal itu juga yang diungkapkan Ilham Khoiri pada esainya di e-katalog “Kembali”.

Ilham mengungkapkan bahwa gambaran Mas Totok serupa catatan harian yang memotret pernak-pernik kehidupan warga di sekitarnya. Karya Mas Totok cenderung menangkap keramaian aktivitas masyarakat bawah, ada orang-orang nongkrong, jual beli di pasar, keluarga lagi berpiknik di tempat wisata, atau warga bepergian dengan naik kendaraan yang melaju di jalanan.

Seperti karya berjudul Pasar Loak Beringharjo. Mas Totok cerita, itu adalah gambaran keramaian pasar. Tentu pasar barang bekas itu menjadi incaran utama bagi masyarakat kelas bawah.

Kemudian, karya berjudul Uyek-uyekan. Diceritakan bahwa di daerah Babadan, lereng Gunung Merapi, pada waktu 2004 belum ada angkot. Sehingga ketika mereka bepergian harus bareng-bareng dan “uyek-uyekan” menggunakan mobil pikap. Hal ini memang terbukti, karena saya juga tinggal di lereng Merapi, tepatnya Kecamatan Cepogo, Boyolali. Semasa saya kecil, jika ada salah satu tetangga yang sakit dan dirawat di rumah sakit, kami membesuk bersama dengan mobil pikap. Di beberapa daerah pun masih ada yang seperti itu sampai sekarang.

Tak terasa, perbincangan saya dengan Mas Totok dipungkasi malam yang semakin larut. Pukul 21.00 pameran harus ditutup. Sebelum saya pamit, kami menyempatkan foto bersama.

Sebagai pemungkas, kita perlu “kembali” pada kutipan dari buku Sang Alkemis karya Paulo Coelho dan kutipan wawancara dengan Mas Totok yang saya cantumkan di awal naskah. Seharusnya, ada pembelajaran yang bisa kita ambil. Apakah idealisme atau cita-cita kita akan kalah oleh keadaan? Atau, justru kita akan bisa mencapainya seperti cita-cita Mas Totok pada pameran “Kembali” ini?

Panjang umur perjuangan! Salam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/belajar-mencapai-cita-cita-melalui-pameran-tunggal-nugrahanto-widodo/feed/ 1 44244
Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini https://telusuri.id/pameran-nandur-srawung-11-dialog-masa-lalu-dengan-masa-kini/ https://telusuri.id/pameran-nandur-srawung-11-dialog-masa-lalu-dengan-masa-kini/#respond Sat, 19 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42879 Senin malam yang sunyi (26/8/2024) mengantarkan saya ke gelaran Nandur Srawung (NS) ke-11 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Gelaran ini dimulai 15 Agustus dan berakhir 28 Agustus 2024. NS kali ini mengusung tema “Wasiat: Legacy”....

The post Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini appeared first on TelusuRI.

]]>
Senin malam yang sunyi (26/8/2024) mengantarkan saya ke gelaran Nandur Srawung (NS) ke-11 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Gelaran ini dimulai 15 Agustus dan berakhir 28 Agustus 2024. NS kali ini mengusung tema “Wasiat: Legacy”. Gelaran dibuka pukul 11.00–21.00 WIB. Untungnya saya datang pukul 19.00 WIB.

Sesampainya di TBY, saya langsung disuguhkan Wayang Carangan karya Nasirun (2023), dirakit oleh Zulfian Amrullah yang sudah melalui diskusi bersama tim kurator dan Nasirun. Wayang ditampilkan dengan bungkus-bungkus kotak kain putih transparan yang memberikan wajah baru bagi gedung TBY. Hal itu sejalan dengan tema NS #11 yang menampilkan karya maestro seni rupa Indonesia, berdampingan dengan seniman masa kini yang terinspirasi dari ‘wasiat’ pendahulu mereka.

Cukup sudah saya memandangi wayang karena kaki saya sudah risih. Akhirnya saya bergegas masuk untuk menilik warisan-warisan kebudayaan yang ditampilkan melalui produk seni rupa masa kini di dalam.

Tapi, tunggu dulu. Ada bendera Palestina!

Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini
Aneka kardus ungkapan di bawah karya Taring Padi berjudul “People Justice”/Danang Nugroho

Produk Seni sebagai Respons terhadap Penindasan Kolonial

Bendera Palestina membuat saya tertarik untuk mendekatinya. Tepat di belakang bendera, ada karya bertuliskan “From the river to the sea, Palestine will be free“. Itulah kalimat puitis yang langsung saya baca. Kalimat itu terpampang di area pintu masuk dan disertai aneka kardus dengan berbagai tulisan, lukisan, dan ungkapan di bawahnya.

Ternyata kardus-kardus itu adalah buah karya dari pengunjung yang menyatakan keberpihakannya. Saya kagum, produk itu menghasilkan ungkapan-ungkapan pengunjung, seperti kisah Burung Pipit yang membantu Ibrahim ketika dibakar. Walaupun hanya setetes air dari paruh pipit untuk memadamkan api, tetapi itu menunjukkan standing position-nya. Ada usaha untuk menyatakan sikap. Untungnya, tidak ada yang seperti cicak pada kisah tersebut. Semua ungkapan pada kardus mendukung kemerdekaan bagi Palestina.

Setelah menilik karya-karya itu, saya dan teman saya, Afrinola, hendak ikut memberi ungkapan. Sayang, kardus sudah habis. Namun, tidak apa, saya gali saja karya ini melalui wawancara dengan Mas Rain Rosidi, salah satu kurator pameran NS #11. Ternyata, pembuat karya mengenai Palestina itu adalah Komunitas Taring Padi.

”Ketika Taring Padi kami undang, [mereka] langsung mengajukan project mengenai Palestina. Karena Palestina ini nyambungnya dengan kita adalah: sikap bangsa kita menyatakan kemerdekaan dan sikap setiap kemerdekaan adalah hak setiap bangsa. Sehingga ketika membicarakan Palestina itu sama saja membicarakan sikap kita terhadap penindasan kolonial,” ungkap Rain Rosidi.

Memang benar. Setiap negara itu harus merdeka. Agar penindasan usai dan keadilan itu terlaksana, bukan hanya utopis. Karya awal sebelum pintu masuk ini telah mempresentasikan sikap produk seni yang baik bagi para pengunjung.

Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini
Bendera Palestina di depan karya Taring Padi/Danang Nugroho

Karya sebagai Gambaran Warisan Zaman Tiap Dekade

Pameran ini menggali bagaimana warisan membentuk dan memengaruhi karya, serta pemikiran seniman generasi terkini dalam berbagai aspek sosial, budaya, dan artistik. Pada setiap ruang ada subtema besarnya. Subtema dilihat dari dekade dalam praktik seni rupa di Indonesia sejak pascakemerdekaan. Karya-karya diklasifikasikan sesuai dengan tema-tema yang telah ditentukan pada beberapa ruang.

Pertama, “Bangsa Merdeka dan Rayuan Pulau Kelapa” (1945–1955). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang semangat lepas dari kolonialisme dan penjajahan terhadap keindahan alam Nusantara. Karya terkait Palestina masuk dalam tema besar bagian pertama ini. Kedua, ”Suara Rakyat dan Gelanggang Warga Dunia” (1955–1965). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang gerakan sanggar-sanggar seni yang turun ke bawah (turba) dan munculnya kesadaran praktik seni sebagai bagian dari kebudayaan dunia.

Ketiga, “Lantunan Lirisisme dan Perayaan Bentuk” (1965–1975). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang periode humanisme universal dan lirisisme pasca 1965. Keempat, “Menggali Akar dan Mendobrak Batas” (1975–1985). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang kembalinya gaya tradisional dan munculnya Gerakan Seni Rupa Baru.

Kelima, “Pengembaraan di Dunia Mental dan Mimbar Bebas” (1985–1995). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang munculnya kecenderungan menjelajah dunia mimpi dan imajinasi dengan gaya surealis, serta seni sebagai media protes sosial. Keenam, “Seni Publik dan Media Baru” (1995–2003). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang seni rupa publik dan penjelajahan medium baru termasuk seni video dan seni instalasi. Ketujuh, “Seni Pop dan Kampung Global” (2005–2015). Karya pada bagian ini menggambarkan tentang perayaan budaya populer dan kedigdayaan teknologi digital yang memungkinkan interaksi global.

Pameran NS #11 menampilkan karya yang terinspirasi dari warisan yang dimiliki Indonesia melalui sejarah-sejarah per dekade tersebut. Pameran ini menciptakan dialog masa lalu dengan masa kini, serta menafsirkan ulang warisan seni. 

”Seni rupa itu kan produk kebudayaan. Jadi, hasil sekarang itu merupakan buah dari masa lalu,” tutur Rain Rosidi.

Pada NS #11 kali ini, terdapat total 81 karya dari 75 seniman. Terdapat juga partisipan dari Program Nandur Gawe (program tahunan NS), yaitu Syeaan Isradina Paricha yang berkolaborasi dengan Arahmaiani, Olga Souvermezoglou dengan Taring Padi, dan Sora Gia dengan Radio Buku. 

Kurator pada pameran ini bukan hanya Rain Rosidi. Ada empat lainnya, yakni Arsita Pinandita, Bayu Widodo, Irene Agrivina, dan Sujud Dartanto. 

Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini
Daftar nama partisipan dan kolaborator NS #11/Danang Nugroho

Lebih dari Sekadar Hiasan dan Produk Transaksional

Saya tertarik dengan “Oleh-oleh khas Jiwa Ketok” karya Rocky Academy, karena ada tengkorak yang memegang kertas bertuliskan: “Wahai Angkatan Muda, Tanyakan lagi Kepada Jiwamu: Untuk Apa Ke Sekolah Seni? Jika Hari Ini Galeri & Pasar Tidak lagi Peduli Atas Upayamu. Apalagi Kamu Tidak Berupaya Apa-Apa, Haha.”

Ternyata itu adalah kritik dari seni rupa sekarang yang mulai dianggap sebagai barang komoditas. “Ketika membaca sejarah, di Jogja itu dominasi keyakinan mengenai seni itu lebih dari sekadar itu. Seni bukan hanya produk lukis yang masuk galeri kemudian masuk pasar. Tapi seni itu juga produk kebudayaan yang mengandung pernyataan, memiliki makna, dan nilai; di luar nilai fisik yang diperjualbelikan seperti hiasan,” ungkap Rain Rosidi.

Karya itu merepresentasikan sejarah masa lalu. Karena karya ini berada dalam sub tema “Bangsa Merdeka dan Rayuan Pulau Kelapa” (1945–1955), maka perlu dikaitkan dengan periode 1940–1950-an. Kala itu Indonesia mengalami fase penting dalam kesadaran nasionalisme dan identitas sebagai bangsa merdeka. Kesadaran nasionalisme tumbuh subur di kalangan seniman seperti S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Emiria Soenassa, dan Affandi. Mereka menggambarkan perjuangan kondisi sosial rakyat Indonesia dan menyuarakan aspirasi kemerdekaan melalui karya. 

Karya Rocky Academy merupakan wujud kritik dari identitas seni. Seni itu memiliki pernyataan, makna, dan nilai yang bisa ditafsirkan identitasnya. Bukan hanya sekadar hiasan yang masuk galeri kemudian masuk pasar dan menjadi produk transaksional.

Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini
Potret “Oleh-oleh khas Jiwa Ketok” karya Rocky Academy/Danang Nugroho

Protes Kemarahan: Hati yang Terlalu Jauh

Ketika perjalanan saya sampai di ruang dengan subtema kelima, yakni “Pengembaraan di Dunia Mental dan Mimbar Bebas” (1985–1995), saya langsung teringat kejadian-kejadian akhir ini di Indonesia. Lima hari sebelum ke sini, tepatnya Rabu (21/8/2024), merupakan hari di mana masyarakat Indonesia geram dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR yang tiba-tiba membahas RUU Pilkada tentang ambang batas dan juga calon usia. Pada hari itu juga terdapat protes dengan unggahan “Peringatan Darurat” di media sosial, disusul demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia.

Ingatan saya itu terpicu oleh karya Olga Souvermezoglou yang berkolaborasi dengan Taring Padi. Karya itu sebelumnya sudah memperlihatkan runtutan kronologi protes di Indonesia. Kemudian, pengunjung diajak interaktif untuk mengungkapkan protesnya melalui kertas, spidol, dan lem yang sudah disiapkan. Setelah itu, pengunjung bebas untuk menempelkannya di tembok. Saya menemukan banyak sekali protes yang berkaitan dengan tragedi demokrasi di hari Rabu itu dan keresahan-keresahan lainnya.

Karya Olga merupakan representasi seni rupa tahun 1980–1990-an. Kala itu lahir aliran-aliran baru yang muncul sebagai respons terhadap keadaan sosial politik yang ada. Karya ini terekam dalam seni lukis surealis di Yogyakarta.

Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini
Berbagai ungkapan protes dari para pengunjung/Danang Nugroho

“Seniman memberikan ruang bahwa seni itu adalah media untuk protes. Taring Padi meyakini bahwa seni itu adalah alat politik untuk menyatakan pendapat dia itu menggunakan seni. Di era itu (1980–1990-an) memang menggunakan seni untuk statement politik. Termasuk kritik sosial,” ungkap Rain Rosidi.

Bagi saya, protes itu adalah wujud kemarahan yang menandakan hati yang terpaut jauh dengan yang dituju. Mengapa demikian? Karena jika suara tidak pernah didengar, tentu menimbulkan suara yang lebih lantang disertai kemarahan agar didengarkan. Berbeda dengan hati yang dekat. Tanpa perlu bersuara lantang dan kemarahan. Cukup dengan saling memandang saja sudah saling memahami dan mengerti.

Memang benar, malam yang sunyi—bagi saya—terobati dengan suara-suara yang ramai ketika saya menyelami pameran NS #11. Dengan adanya pameran ini, berbagai karya masa kini yang berdialog dengan masa lalu itu menjadi bunyi. Semua karya merepresentasikan subtema per zamannya. Dapat saya tafsirkan bahwa keseluruhan pameran ini sesuai dengan tema yang diusung, yakni “Wasiat: Legacy”.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pameran Nandur Srawung #11: Dialog Masa Lalu dengan Masa Kini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pameran-nandur-srawung-11-dialog-masa-lalu-dengan-masa-kini/feed/ 0 42879
Menyusuri Kerajinan Lokal dalam Pameran Biennale Jogja 17 https://telusuri.id/menyusuri-kerajinan-lokal-dalam-pameran-biennale-jogja-17/ https://telusuri.id/menyusuri-kerajinan-lokal-dalam-pameran-biennale-jogja-17/#respond Thu, 01 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41070 Selain kuliner bercita rasa gurih manis, Jogja selalu mengingatkanku pada kerajinan lokal yang unik dan njlimet. Aku tak pernah bosan mampir ke kios-kios aneka kriya di Pasar Beringharjo. Tiap sudut lantai dua Blok III pasar...

The post Menyusuri Kerajinan Lokal dalam Pameran Biennale Jogja 17 appeared first on TelusuRI.

]]>
Selain kuliner bercita rasa gurih manis, Jogja selalu mengingatkanku pada kerajinan lokal yang unik dan njlimet. Aku tak pernah bosan mampir ke kios-kios aneka kriya di Pasar Beringharjo. Tiap sudut lantai dua Blok III pasar menawarkan serba-serbi kerajinan bagaikan toserba (toko serba ada). Mulai dari kerajinan bunga-bunga kering, peralatan makan dan memasak dari kayu, tas goni, hingga dekorasi-dekorasi rumah dari anyaman bambu. 

Pun sama halnya ketika bertandang ke sentra gerabah di Kasongan, Bantul. Dekorasi-dekorasi rumah masif dipasarkan di sana. Bahkan, dekorasi yang gigantik, pot tanah liat aneka bentuk, dan furnitur-furnitur berukir kayu mewarnai pinggir ruas jalanan. 

Benakku selalu hanyut dalam kagum ketika melihat satu per satu kerajinan yang ada di Pasar Beringharjo maupun Kasongan. Barangkali, belum ada mesin yang mampu menyamai detail anyaman dan ukiran. Belum ada robot yang jemarinya seteliti jari-jemari para perajin.

Namun, pada saat yang sama benakku merasa miris karena usaha-usaha para perajin itu hanya dianggap sepintas lalu. Barang-barang hasil kerajinan hanya menjadi barang dagangan. Posisi mereka dalam dunia seni seringkali berada dipinggirkan alias tak diperhitungkan. 

Hasil dagangan mereka pun belum tentu setara dengan jerih payah tangan-tangan yang setia menganyam dan mengukir. Tidak semua usaha seni kriya menjadi eksportir seperti yang dipopulerkan dalam media daring. 

Dalam suatu perhelatan internasional seni rupa kontemporer, aku menemukan bahwa kerajinan lokal mampu memiliki posisi dalam dunia seni kontemporer. 

Menyusuri Kerajinan Lokal dalam Pameran Biennale Jogja 17
Suasana ruang pameran di PAS Podjok, Pendhapa Art Space/Biennale Jogja

Bertandang ke Biennale Jogja 17 

Suatu hari ketika suhu udara Yogyakarta menyentuh 32 derajat Celsius, dua orang kawanku dari ibu kota bertandang ke Jogja. Kala itu Jogja sedang padat perhelatan seni, salah satunya perayaan seni kontemporer dua tahunan yang diadakan Yayasan Biennale Yogyakarta.

Ketika mereka berdua mengajakku bervakansi sejenak, sontak kusarankan untuk mengunjungi beberapa lokasi pameran Biennale Jogja. Pada tahun ini, perhelatan itu menjadikan dua desa sebagai lokus pembuatan karya, yakni Panggungharjo dan Bangunjiwo. Kemudian menyambangi 13 tempat sebagai lokasi memapar karya-karya.

Kami memutuskan untuk berkunjung ke tempat-tempat pameran di Desa Panggungharjo. Kami mengunjungi The Ratan, Kampoeng Mataraman, dan Pendhapa Art Space (PAS) Podjok. Kunjungan paling menarik dari area Panggungharjo adalah pameran di PAS Podjok. 

Tepat di tikungan bahu kiri jalan Ring Road Selatan, terdapat bangunan galeri bernama Pendhapa Art Space. Bangunan itu menyatu dengan sebuah kafe bernuansa putih terang di sebelahnya. 

Kami pikir bangunan galeri Pendhapa Art Space itu menjadi lokasi pameran Biennale Jogja 17. Maka, masuklah kami ke sana dan memandang seisinya dari pintu masuk. Namun, pemandangan yang ada di depan mata tak seperti pameran Biennale yang sudah-sudah. 

Dinding galeri itu dipenuhi foto-foto beresolusi tinggi dan fokus yang tajam. Foto yang dipapar beragam dan beberapa agaknya ngeri, seperti foto punggung seseorang yang dipenuhi luka tembak. Kenapa foto semua? Apa Biennale Jogja kini menyediakan Biennale Photography?

Ah, rupanya galeri itu memapar pameran lain, yakni World Press Photo. Ruang yang menjadi ajang Biennale Jogja berada di bangunan sebelah, bangunan yang menjadi kafe. Kafe itu menyediakan sebuah bilik kecil memanjang sebagai ruang papar karya.

Setelah menjelajahi jepretan-jepretan dari peristiwa-peristiwa ngeri lainnya, aku mendahului kawan-kawanku menuju ke kafe. Memasuki lantai pertama bangunan kafe, mataku langsung disambut oleh patung-patung beragam rupa dan bentuk.

Patung-patung itu berkisar pada tubuh-tubuh manusia versi mungil hingga patung anjing sedang berak. Mereka begitu rupawan dan realis, persis dengan bentuk dalam kenyataannya. Memandangi patung-patung itu mengingatkanku akan pameran-pameran di galeri white cube, di mana karya-karya biasanya berkisar pada lukisan dan patung.

Namun, patung-patung itu rupanya bukan karya-karya dari Biennale Jogja. Patung-patung tadi merupakan karya-karya tetap di kafe PAS Podjok. Aku beranjak ke lantai dua untuk memastikan pameran Biennale Jogja.

Sesampainya di sana, baru kujumpai karya-karya Biennale Jogja 17. Kupandangi karyanya satu per satu. Karya-karya itu tak biasa kutemui di galeri-galeri seni. Di sana, aku justru bertemu pandang dengan tikar mendong, wayang kulit dan lukisannya, serta sehelai batik jumputan. Bahkan, ada pula kincir angin! 

Pameran Biennale Jogja di PAS Podjok justru membuatku serasa kembali ke masa lalu, tepatnya ke masa kecil sewaktu duduk di bangku sekolah dasar (SD). Beberapa karya yang terpampang telah lama sekali luput dari pandanganku. Terakhir kali aku duduk di atas tikar mendong adalah semasa lebaran di kampung kerabat sepuluh tahun silam. Terakhir kali aku meniup-niup kincir angin pun demikian. 

Aku tak pernah menonton wayang sehingga gambar aneka karakter wayang masih cukup asing di mataku. Hanya muncul satu atau dua nama karakter di pikiranku, seperti Rahwana dan Srikandi. Barangkali aku yang telah hidup dalam belantara urban sudah terasing dengan wayang. 

Kupandangi satu per satu karya. Rupanya karya-karya itu memang dibuat oleh para perajinnya langsung. Tikar mendong itu hasil jari-jemari Bu Legiyem yang setia menganyam untuk menghidupi dirinya dan keluarga selama 41 tahun. Wayang-wayang kulit yang diwarnai sapuan kuas bercorak pastel adalah hasil karya Ibu Atmo. Kemudian, lukisan wayang dengan stilisasi yang detail merupakan kecermatan dan kepiawaian tangan Pak Sagio dan Subandi.

Menyusuri Kerajinan Lokal dalam Pameran Biennale Jogja 17
Tikar mendong Legiyem yang berdampingan dengan instalasi lampu Mit Jai Inn Studio+CCCCC/Biennale Jogja

Selain itu, ada pula instalasi yang disandingkan dengan salah satu kerajinan, yakni tikar mendong. Instalasi tersebut berupa lampu gantung yang didekorasi. Kap lampu berbentuk lonjong tak beraturan dan terbuat dari kertas. Lapisan kapnya diberi corak abstrak dari cat minyak. Bentuknya yang tak mulus dan cat yang seperti ditemplok sana sini menghadirkan kesan bentuk serupa sarang lebah. 

Instalasi itu diberi judul Untitled, karya dari Mit Jai Inn Studio bersama komunitasnya bernama CCCCC. Mereka adalah seniman yang berasal dari Chiang Mai, Thailand. Kehadiran instalasi tersebut ternyata bukan semata memperindah dan menerangi karya tradisional di sampingnya. Posisi instalasi yang sejajar dengan tikar mendong justru menghadirkan narasi bahwa kerajinan tradisional tak harus terpinggirkan dari seni kontemporer. 

Beberapa meter dari tikar mendong, terpajang sehelai batik ijo (hijau) toska dengan hiasan berbentuk bulat-bulat putih. Kain itu masih sangat familiar bagiku karena batik jumputan masif ditemui di toko batik dan Pasar Beringharjo. Akan tetapi, yang menarik dari batik tersebut bahwa kain yang digunakan merupakan kolaborasi antara perajin kain tenun dari Watublapi, Maumere dan seniman domisili Yogyakarta yang bekerja dengan tekstil. 

Perajin tersebut ialah Rosvita Sensiana. Setelah kupahami teks pendamping karya, ternyata ia tidak hanya menenun kain. Rosvita juga menenun jejaring ibu-ibu akar rumput dalam sebuah Sanggar Kain Tenun dan Ikat yang ia beri nama Watubo.

Sementara, seniman yang melakukan eksperimentasi dengan tekstil itu bernama Caroline Rika. Karya-karya tekstilnya selalu didasari pada kain-kain tradisional dan teknik-teknik yang ia temui dalam perjalanan artistiknya.

Setelah meresapi bacaan teks sejenak, aku memandang kain di dinding galeri itu lain daripada kain yang tersebar dalam pasar komersial. Aku memandang ada jalinan persaudarian yang merangkul perajin lokal dari seberang lautan dan karya tradisional yang terpinggirkan dari jagat seni kontemporer.  

Seni Kriya dalam Semesta Seni Kontemporer: Refleksi Perjalanan

Barangkali, karya-karya kerajinan yang terpampang pada dinding-dinding PAS Podjok tak pernah kita temui. Bahkan, di Pasar Beringharjo atau pameran-pameran kerajinan. Nama-nama para perajinnya juga mungkin tak pernah terdengar. 

Kehadiran karya-karya dari Legiyem, Bu Atmo, Rosvita Sensiana, Caroline Rika, Pak Sagio, dan Pak Subandi menunjukkan kepada pengunjung bahwa kerajinan menjadi bagian dari dunia seni kontemporer. Terlebih, pelibatan perajin lokal menandakan sebuah pengakuan bagi upaya para perajin. Khususnya, pengakuan terhadap upaya mereka merawat pengetahuan hingga berpuluh tahun demi keberlanjutan seni kriya.

Menyusuri Kerajinan Lokal dalam Pameran Biennale Jogja 17
Batik jumputan karya Rosvita Sensiana dan Caroline Rika/Biennale Jogja

Kerajinan lokal seringkali hanya dianggap sebagai barang dagangan atau dekorasi rumah-rumah warga kelas menengah ke atas. Bukan karya yang berada dalam lintasan sejarah seni.

Padahal, kerajinan tidak hanya memiliki nilai estetika. Akan tetapi, terdapat nilai pengetahuan yang sudah diturunkan bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi lainnya. Pengetahuan itu nyatanya yang membuat suatu individu dan keluarganya dapat bertahan hidup. Bahkan, menggerakkan perekonomian di lingkungan sekitarnya, seperti yang dilakukan Legiyem dan Rosvita. Pada akhirnya, pameran ini bukan demi estetika semata, melainkan ada maksud politis di mana perjuangan para pengrajin selama puluhan tahun diakui.

Meski lokasi pameran berada di sebuah galeri kafe yang cukup mentereng, tetapi Biennale Jogja tak bertendensi hanya menampilkan karya-karya seni bertaraf galeri nasional atau internasional. Biennale Jogja justru mengikutsertakan karya-karya yang selama ini terpinggirkan karena tak dianggap sebagai seni. Hal itu justru menjadi sebuah langkah dalam memperluas makna dari apa yang disebut sebagai seni. 

Agenda vakansi kecil-kecilan bersama kawan-kawanku ternyata bukan jadi agenda tur kesenian semata. Tanpa harus bertemu langsung dengan Legiyem, Bu Atmo, Pak Sagio, dan Rosvita, aku seperti mendengar suara-suara perjuangan mereka menganyam, melukis, merangkai, dan menenun pengetahuan dari pinggiran.

Aku merasa seperti mendengar suara-suara yang dimunculkan setelah tenggelam dalam arus elitis seni kontemporer. Pertemuanku dengan karya-karya mereka justru membuahkan keinginan untuk bertemu langsung dengan mereka.

Foto sampul:
Wayang dan kincir angin sebagai mainan anak karya Ibu Atmo Wiyono/Biennale Jogja


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Kerajinan Lokal dalam Pameran Biennale Jogja 17 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-kerajinan-lokal-dalam-pameran-biennale-jogja-17/feed/ 0 41070
Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Kontemplasi https://telusuri.id/melihat-pameran-the-silent-text-seni-yang-lahir-dari-kontemplasi/ https://telusuri.id/melihat-pameran-the-silent-text-seni-yang-lahir-dari-kontemplasi/#respond Wed, 01 Nov 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39986 Berawal dari pertemuan singkat saat sore di Kampung Buku, seorang yang baru kukenal sore itu mengajak untuk menyaksikan pameran seni di Riboko, sebuah kafe di Makassar. Saya berangkat lepas Magrib, lebih lama daripada teman-teman lain...

The post Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Kontemplasi appeared first on TelusuRI.

]]>
Berawal dari pertemuan singkat saat sore di Kampung Buku, seorang yang baru kukenal sore itu mengajak untuk menyaksikan pameran seni di Riboko, sebuah kafe di Makassar. Saya berangkat lepas Magrib, lebih lama daripada teman-teman lain yang pergi lebih awal. Jarak rumah saya ke Riboko cukup dekat, tetapi malam itu saya menghabiskan waktu nyaris 15 menit berkendara. Biasanya cuma 5—10 menit saja. 

Perlu usaha yang cukup keras untuk menemukan kafe ini, sebab lokasinya di dalam lorong kecil yang diapit bangunan ruko dua lantai. Penanda mudahnya adalah lorong ini terletak persis sebelum plang toko “Kaku Food”. Saya ditemani oleh Kak Yaya, seorang teman di salah satu komunitas. Rencananya kami akan mengikuti lomba dalam rangka perayaan 17 Agustus tepat setelah berkunjung ke pameran. 

Tidak begitu banyak motor yang terparkir begitu kami tiba. Namun, saya mengingat empat orang berwajah yang tak asing, orang-orang yang kutemui di Kampung Buku tadi. Saat saya tiba, orang-orang sudah berkumpul membentuk setengah lingkaran. Seorang lelaki berpostur agak tinggi dengan janggut keriting panjang berdiri paling ujung. Penampilannya cukup mencolok dengan kepala plontos dan memakai topi snapback

Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Proses Kontemplasi
“Inner Landscape” karya Faisal Syarif alias Kak Ical/Nawa Jamil

Saya langsung bergabung ke dalam rombongan. Ada Kak Cakke dari Kampung Buku dan sekitar empat orang magang lainnya. Saat saya datang, Faisal Syarif sedang menjelaskan tentang karya pertama, “Inner Landscape”—sebuah karya dengan media cat akrilik di atas kanvas—dari total empat karya dalam pameran The Silent Text. Keempat instalasi karya seni Kak Ical, sapaan akrabnya, merupakan metafora dari proses tumbuh seorang manusia ketika terjebak dalam situasi yang berat. Dalam pameran ini, sang seniman banyak terinspirasi dari situasi sosio-kultural masyarakat Indonesia sewaktu pandemi Covid-19 kemarin. 

Keempat karya itu bisa dinikmati satu per satu dengan berurutan. Karya ini menempel pada dinding secara berurutan. Mulai dari sisi kanan lalu berkeliling dan berakhir pada karya terakhir di sisi paling kiri. Malam itu kami cukup beruntung sebab kami ditemani Kak Ical, sang seniman itu sendiri. 

Karya-Karya dalam Pameran The Silent Text

“Inner Landscape” terdiri dari enam kanvas yang disusun dua kolom. Tidak begitu besar, tetapi kanvasnya terpasang presisi, indah, dan sangat cocok dengan karya abstrak senimannya. “Inner Landscape” hanya menggunakan warna-warna monokrom. Tanda bahwa karya ini banyak lahir dari momen-momen kontemplasi senimannya, sehingga menggunakan warna-warna skala abu-abu yang terbatas. Namun, hal itu justru membuat saya, sebagai penikmatnya, tenggelam cukup jauh dalam pikiran saya seiring menikmati karya ini. Guratan kuas yang abstrak justru membuat orang-orang yang melihat karya seni ini semakin bebas berinterpretasi, sebagaimana tujuan dari seni abstrak itu.

Kak Ical bercerita, “Karya ini saya buat sebagian besar di malam hari. Saya membuat karya ini dengan banyak berkontemplasi ke dalam diri saya, juga momen-momen orang-orang terdekat sewaktu pandemi Covid-19 kemarin.” 

Inner, berarti ‘ke dalam’, yang membawa para pengunjungnya untuk melihat ke dalam diri mereka lewat lukisan-lukisan abstrak tersebut. Meskipun tidak begitu memahami seni, tetapi malam itu saya cukup menikmati aktivitas memandangi satu objek statis. Sembari mendengar ide-ide di balik lukisan ini dari Kak Ical untuk waktu yang tidak sebentar. 

Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Proses Kontemplasi
Lukisan “Tubuh Meditatif” yang multipersepsi/Nawa Jamil

Bergeser ke karya selanjutnya, yakni satu kanvas besar yang berjudul “Tubuh Meditatif”. Berbeda dengan karya sebelumnya, kali ini “Tubuh Meditatif” dilukis menggunakan cat akrilik di atas kanvas besar. Lukisan kedua tersebut membawa momen meditasi saat melihat lukisan ini.

Sama seperti lukisan pertama, “Tubuh Meditatif” juga menggunakan warna monokrom—hitam, putih, dan abu-abu saja. Dalam lukisan ini, guratan kuas dengan warna hitam semakin tebal di area tengah, membentuk siluet pria dari belakang. Pundaknya tampak kokoh dan lebar, sehingga saya asumsikan sebagai lelaki. Lalu di bagian pinggir kiri kanvas, saya mendapati pendekatan teknik lukis yang berbeda daripada bentuk siluet tadi. 

“Dari karya sebelumnya yang hanya menggunakan warna monokrom, termasuk karya ‘Tubuh Meditatif’ ini, saya tertarik dengan satu warna kuning cerah seperti cahaya di sini,” ucap saya seraya mengarahkan telunjuk ke area yang saya maksud. 

Kak Ical pun mulai menjelaskan dengan rinci dan bersemangat. “Kanvas ini sudah pernah dilukis sebelum saya timpa dengan karya sekarang. Seniman seperti kami, terkadang ada saja satu atau dua karya yang tidak selesai. Salah satunya adalah karya sebelum ini. Saat melukis ‘Tubuh Meditatif’ dan menyelesaikan sebagian besar bagiannya, saya lalu tiba-tiba berpikir untuk tidak menimpa cat dari lukisan sebelumnya. Saya biarkan saja di sana, dan jadilah karya ini.”

Ia kemudian menambahkan, “Kalau kamu melihat [lukisan] ini seperti apa?” tanyanya. 

Saya terdiam sebentar, lalu menjawab, “Seperti potret manusia.” 

Kak Ical mengangguk. Ia menerangkan satu-dua kalimat lagi, kemudian menutupnya dengan pernyataan bahwa sosok abstrak dalam lukisan tersebut memanglah manusia. Namun, ia berada dalam posisi salat—tepatnya duduk di antara dua sujud.

Sementara itu Yaya memberitahuku interpretasi lain. Bukan potret manusia atau manusia yang sedang dalam posisi salat. Yaya justru melihat adegan perang yang tergambarkan dari lukisan tersebut. Unik bukan? Beberapa orang dalam ruang dan waktu yang sama bisa memiliki interpretasi berbeda pada satu objek abstrak. 

Kesan Pameran Pertama yang Menyenangkan

Ri’ Boko, yang berarti ‘di belakang’, merujuk dari tata letak bangunan ini. Ruang-ruang berbaginya ia mulai di halaman belakang. Sedangkan dari luar Riboko terlihat seperti bengkel atau pusat pertukangan, menjadikan lokasi pameran seni dan kafe yang cukup menyegarkan ini agak tersembunyi. Saya sudah sering mengunjungi Riboko, bahkan sebelum bergabung sebagai penulis magang di Makassar Biennale tahun ini. 

Namun, pengalaman tur galeri, mendengar langsung penuturan senimannya, dan bebas bertanya dengan luwes hari ini menjadikan pengalaman pertama sebagai pengunjung pameran yang sungguh menyenangkan. Saya juga menyukai antusiasme dan pesan-pesan mendalam dalam karya-karya artistik Kak Ical. 

Semua karya yang terpajang dalam The Silent Text merupakan karya tunggal Kak Ical yang telah tampil di pameran berbeda sebelumnya. Kedua instalasi karya yang lainnya, yakni “The Flow” dan “Pejuang Tangguh” juga tak kalah inspiratif. Sang seniman berhasil mengubah semen hebel, serat fiber, kain, kawat tembaga, serta dengan sentuhan cat akrilik menjadi tiruan batu-batu berbentuk alami yang mudah kita temui sepanjang Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Kabupaten Maros sampai Kabupaten Barru. Tidak hanya lukisan Kak Ical yang menggunakan bahan daur ulang, sebagian besar media karya-karyanya yang lain juga menggunakan bahan sisa, baik dari luar secara acak, atau pun bekas pameran sebelumnyaa. 

  • Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Proses Kontemplasi
  • Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Proses Kontemplasi

The Silent Text membawa penikmatnya ke dalam fase perenungan yang tidak membutuhkan banyak bicara. Mulai dari kontemplasi melihat dan merenungkan bagaimana waktu-waktu sulit terjadi di beberapa tahun belakangan, berubah menjadi fase usaha dalam menemukan ketenangan di tengah gempuran masalah-masalah. Lalu berubah ke fase penerimaan, sebagaimana yang Kak Ical gambarkan dalam “The Flow”.

Sang seniman menggambarkan mengikuti arus dengan sangat baik lewat penempatan batu-batu pada medianya. Setelah menemukan ketenangan, maka bergerak sesuai aliran kehidupan merupakan suatu keniscayaan. Lalu tibalah pada karya seni terakhir, yakni “Pejuang Tangguh”. Batu menggambarkan manusia yang kuat, tetapi sang seniman dengan sengaja membuat satu lubang masing-masing pada setiap batunya. Menciptakan rongga untuk saling mengisi. 

Tidak terbatas pada peristiwa pandemi Covid-19, pameran The Silent Text karya Faisal Syarif menggambarkan bahwa manusia yang tangguh tumbuh dari hal-hal yang tidak mudah. Mereka adalah orang-orang yang mampu beradaptasi dan melewati seluruh proses pembentukan yang berliku. Hari ini, saya benar-benar berterima kasih dan akan selalu mengingat momen menyenangkan saat bertemu dan bercerita, sembari melihat langsung karya seni visual yang menyenangkan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Pameran “The Silent Text”, Seni yang Lahir dari Kontemplasi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-pameran-the-silent-text-seni-yang-lahir-dari-kontemplasi/feed/ 0 39986