pameran Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pameran/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 27 Nov 2023 02:13:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pameran Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pameran/ 32 32 135956295 Memaknai Tradisi Budaya Maritim NTT lewat Pameran “Nenek Moyangku Orang Pelaut” https://telusuri.id/memaknai-tradisi-budaya-maritim-ntt-lewat-pameran-nenek-moyangku-orang-pelaut/ https://telusuri.id/memaknai-tradisi-budaya-maritim-ntt-lewat-pameran-nenek-moyangku-orang-pelaut/#respond Tue, 28 Nov 2023 07:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40150 Halaman UPTD Museum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur tampak ramai begitu kami tiba di sana. Suasana kian hidup dengan alunan “Dendang Dikideng” yang mengiringi gerakan tari salah satu sanggar tari yang tampil mengisi acara malam...

The post Memaknai Tradisi Budaya Maritim NTT lewat Pameran “Nenek Moyangku Orang Pelaut” appeared first on TelusuRI.

]]>
Halaman UPTD Museum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur tampak ramai begitu kami tiba di sana. Suasana kian hidup dengan alunan “Dendang Dikideng” yang mengiringi gerakan tari salah satu sanggar tari yang tampil mengisi acara malam itu. 

Seperti penyelenggaraan pada tahun-tahun sebelumnya, pameran temporer yang diselenggarakan pihak museum selalu menarik untuk dikunjungi. Tahun ini, tepatnya pada 8–11 November 2023, pameran temporer kembali digelar dengan mengangkat tradisi budaya maritim di Nusa Tenggara Timur. 

Pameran ini bertajuk “Nenek Moyangku Orang Pelaut”. Sebuah tema yang menggariskan bagaimana tradisi budaya maritim telah menjadi warisan sejarah yang turut menjadi bagian kehidupan masyarakat NTT sejak dahulu. 

Bila berkaca pada kondisi geografis NTT, terutama dengan topografi kepulauannya, tentu dapat memahami betapa tradisi budaya maritim turut menjadi aspek utama yang berpengaruh terhadap mata pencaharian masyarakat sebagai nelayan. Namun ternyata, kenyataan yang terjadi justru berbanding terbalik. Masyarakat NTT justru terkenal sebagai masyarakat agraris, dengan pertanian sebagai sektor dominan. Data BPS pada 2021 misalnya, mencatat 56,24% jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di NTT, merupakan pekerja di sektor pertanian. 

Penjelasan itu lantas membuat saya tertarik untuk menjelajahi pameran lebih jauh. Di satu sisi, saya memahami penjelasan tersebut sebagai fakta kehidupan masyarakat NTT yang erat dengan kehidupan agraris. Namun, di sisi lain, ini juga memantik rasa penasaran, terutama bagaimana tradisi budaya maritim hidup sebagai bagian kebudayaan masyarakat NTT. 

Saya berpindah. Ragam koleksi bernuansa maritim terpajang dengan begitu rapi. Saya menyaksikan beragam koleksi, mulai dari miniatur kapal, peralatan tangkap ikan tradisional, juga karya seni seperti tenunan, perhiasan, ukiran, anyaman, dan koleksi-koleksi lainnya. Semuanya seperti menggariskan makna yang sama: tradisi budaya maritim melekat dalam kehidupan masyarakat NTT, lewat kepercayaan nenek moyang, upacara adat, pengetahuan sosial, dan hingga tercermin lewat berbagai karya seni. 

Tradisi Budaya Maritim di Tanah Kering

Sembari berkeliling mengamati ragam koleksi yang ada, saya lalu berhenti, membaca dengan saksama tentang budaya laut di tanah kering. Masyarakat agraris NTT, demikian diterangkan pada papan informasi, memiliki orientasi terhadap laut melalui berbagai ritual adat, cerita-cerita rakyat, motif tenunan, anyaman, ukiran, dan karya-karya seni lain.

Lebih lanjut, hubungan erat masyarakat dengan laut  tergambar lewat kepercayaan masyarakat. Laut berombak ganas diyakini sebagai laut laki-laki (tasi mane), sedangkan laut tenang diyakini sebagai perempuan (tasi feto). Widiyatmika (2011) mencatat, bahwa kepercayaan demikian merupakan klasifikasi budaya masyarakat di Pulau Timor bagian barat. 

Selain itu, di beberapa tempat, seperti di Sumba Barat dan Malaka, hubungan erat dengan laut tergambar lewat kepercayaan khusus terhadap keberadaan buaya. Buaya tidak diperlakukan sebagai binatang dan, masyarakat mengganggapnya sebagai binatang mitologi yang menyimpan banyak cerita. 

Keterhubungan masyarakat NTT dengan laut juga terlihat melalui perlengkapan ritual yang lekat dengan unsur laut. Hal ini misalnya berupa perhiasan wuli, yang memiliki nilai kesakralan dan keunikan tersendiri sebagai unsur budaya masyarakat Ngada. Selain itu, catatan sejarah juga menunjukkan bagaimana masyarakat Ngada pada masa prasejarah, menggunakan kerang laut untuk diasah/diupam menjadi mata uang yang bernama ai’dala. 

Ragam tradisi unik yang berhubungan dengan laut juga menjadi bentuk lain keterhubungan masyarakat NTT dengan laut. Masyarakat Sikka etnis Krowe di wilayah pegunungan, sebelum melaut biasanya melakukan upacara (piong) di Nuba Nanga. Upacara ini bertujuan untuk memberi sesajen sekaligus memohon perlindungan Ina Nian Tana sebagai penguasa bumi dan Ama Lero Wulan sebagai penguasa langit. Sementara itu, tradisi unik lain dilakukan oleh masyarakat kampung Maa Bele di Pulau Adonara, Flores Timur, dengan melakukan ritual pao boe—memberi sesajen kepada leluhur—ketika hendak melaut.

Bryan, yang datang bersama saya ke tempat pameran, menunjuk salah satu koleksi dari tanah kelahirannya, Kabupaten Sikka. Koleksi yang ia maksud adalah kain upacara (dugu raga), tenunan Sikka yang dipakai dalam upacara adat di pantai guna memohon cuaca yang bersahabat dalam pelayaran.

Selain koleksi tersebut, beberapa tenunan khas dari berbagai daerah lainnya turut menghias ruang pameran. Di antaranya sarung wanita Kabupaten Lembata, sarung wanita (tenapi) Kabupaten Alor, sarung (lawo wutu) Kabupaten Ngada, sarung wanita (tais feto) Kabupaten Belu, lawo butu Kabupaten Ende, serta sarung (lau witikau/lau hada) Kabupaten Sumba Timur. Tenunan-tenunan tersebut umumnya berupa tenunan yang memiliki hubungan tradisi budaya maritim di NTT, baik dalam bentuk motif tenunan maupun konteks pemakaiannya dalam upacara tertentu.

Koleksi budaya lainnya tampak dalam beberapa koleksi berupa arca kuda dan manusia pemain pasola, mata uang ai’dala, benda budaya berupa perhiasan wuli, saku sirih pinang (kakaluk) dan pompa riul, serta tiang rumah adat bermotif empat ekor buaya berkepala manusia dan kalajengking dari Kabupaten Belu.

Selain itu, tradisi budaya maritim dalam konteks masyarakat NTT semakin kelihatan melalui koleksi peralatan tradisional yang digunakan dalam aktivitas melaut. Malam itu saya menemukan beberapa koleksi, seperti maket perahu layar (Flores Timur), alat penjaring ikan/maruattu (Sumba Barat Daya), alat jaring udang/manggoho kura (Sumba Barat Daya), alat menjaring ikan/wewa (Flores Timur), alat tangkap ikan air dalam/bubu, jala/jala pu (Sabu Raijua), alat menjaring ikan/dalang fufo, lete-lete/perahu layar (Pulau Rote), tombak/tempuling/bho’u (Lembata), alat pancing tradisional (Alor), wadah penampung ikan (Rote Ndao), alat penangkap ikan (Kabupaten Kupang), wadah penampung ikan/kelera (Sabu Raijua), miniatur paledang (Lembata), tombak ikan/keturak (Flores Timur), alat penangkap kepiting/hodo (Sumba Barat Daya), alat penjaring ikan/kenaha (Sabu Raijua),  senapan tembak ikan/bedi (Flores Timur), wadah penampung ikan/pendo (Manggarai), dan berbagai koleksi lainnya. 

Kebersahajaan Tradisi Maritim di Lamalera dan Wanokaka

Di sisi lain ruang pameran, saya menemukan dua tradisi laut yang khas dan unik dalam konteks masyarakat NTT. Keduanya mendapat tempat khusus, dengan penjelasan informasi yang cukup panjang. Begitu menemukan informasi tentang Lamalera, saya sudah menebak bahwa ini akan mengacu pada penjelasan tentang leva nuang atau upacara penangkapan ikan paus oleh masyarakat nelayan Lamalera. Benar saja, pada bagian lain saya menemukan penjelasan detail tentang leva nuang, terutama tentang waktu dan tahapan pelaksanaan upacara ini. 

Tak jauh dari situ, informasi tentang ritual nyale dan pasola di Wanokaka, Sumba Barat, benar-benar mencuri perhatian saya. Saya menaruh fokus, meski ruangan pameran kian ramai. Menurut catatan informasi di ruang pameran, upacara ini merupakan ritus tahunan yang dilaksanakan masyarakat Sumba Barat, terutama di Wanokaka, dan diselenggarakan dalam satu rangkaian dengan pajurra (tinju tradisional di Pantai Taitena), madidi nyale di Pantai Pahiwi dan pasola

Meski sering bertanya pada Umbu Riswan tentang ragam budaya di Sumba, ritual penangkapan nyale belum pernah kami bahas. Saya terus membaca informasi demi informasi yang tertulis di sana. Tradisi ini benar-benar unik, dengan persiapan batin yang dimulai pada bulan pemali atau Wula Biha, larangan-larangan yang wajib dipatuhi dan sanksi adat yang disepakati, pembagian tugas yang melibatkan seluruh kampung yang mengikuti upacara, hingga waktu pelaksanaan yang ditentukan berdasarkan bentuk bulan dan beberapa tanda alam. 

Ritual ini rupanya mengacu pada ritual menangkap cacing laut dalam kebudayaan masyarakat Sumba Barat. Sebagai sebuah tradisi yang telah berlangsung sejak dulu, nyale diyakini akan menjadi petunjuk awal yang menentukan hasil panen dalam tahun berjalan. 

Penangkapan nyale diyakini dalam beberapa kepercayaan, di mana panen akan berhasil apabila nyale yang ditangkap banyak dan bersih. Jika nyale yang ditangkap mengigit tangan rato, hal itu menjadi pertanda akan ada hama yang menyerang. Selain itu, nyale yang membusuk, menandakan akan ada hujan berlebihan yang membuat padi membusuk. Sementara, jika nyale tidak muncul artinya akan ada kemarau panjang yang menyebabkan gagal panen dan wabah kelaparan dalam masyarakat. 

Saya mengangguk paham. Kekaguman kian menyeruak dalam dada. “Semoga bisa melabuhkan kaki di tanah Sumba,” gumam saya malam itu.

Peta pelayaran purba/Oswald Kosfraedi
Peta pelayaran purba/Oswald Kosfraedi

Nenek Moyangku Orang Pelaut: Sebuah Refleksi 

“Nenek Moyangku Orang Pelaut” menyiratkan pentingnya permenungan yang mendalam terhadap kekayaan warisan leluhur, terutama terkait tradisi budaya maritim di NTT. Melalui setiap koleksi dan narasi, setiap kita didorong untuk menyadari pentingnya menjaga tradisi sebagai fondasi keseimbangan hidup manusia, alam, dan lingkungan.

Pameran ini bukan hanya sekadar kumpulan benda bersejarah, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang mengajarkan kita hari ini tentang kedalaman hubungan antara manusia dan laut. Warisan leluhur yang terpelihara dengan baik bukan hanya membanggakan, tetapi juga merupakan tuntutan moral untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang memberi kita kehidupan.

Secara pribadi, saya menemukan bahwa menggali akar sejarah ini memberikan wawasan baru tentang nilai-nilai yang mendasari kehidupan sehari-hari. Perjalanan ini tidak hanya membawa saya kembali ke masa lalu, tetapi juga mengajak saya untuk merenung tentang bagaimana kita sebagai individu dan masyarakat dapat lebih bertanggung jawab terhadap warisan budaya ini.

Dengan mengenang nenek moyang sebagai orang pelaut, kita diingatkan untuk tidak hanya mengejar kemajuan tanpa arah, tetapi juga memelihara keseimbangan dengan alam. Kesadaran akan pentingnya menjaga tradisi warisan leluhur bukan hanya sebagai cermin diri, tetapi sebagai panggilan untuk melibatkan diri aktif dalam pelestarian dan memastikan keberlanjutannya di masa depan.

Pada akhirnya, kesadaran untuk menghormati dan memahami akar budaya kita adalah langkah awal menuju keseimbangan yang lebih baik antara manusia, alam, dan lingkungan. Bekal pemaknaan tentang “Nenek Moyangku Orang Pelaut” dapat menjadi panduan, untuk merangkul masa depan dengan menghargai warisan yang telah ditinggalkan, sekaligus menjadi tonggak baru untuk menjadi lebih baik dalam menjaga harmoni hidup.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memaknai Tradisi Budaya Maritim NTT lewat Pameran “Nenek Moyangku Orang Pelaut” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memaknai-tradisi-budaya-maritim-ntt-lewat-pameran-nenek-moyangku-orang-pelaut/feed/ 0 40150
Pameran CREATE Moments Jadi Ruang Menyuarakan Anti Kekerasan dan Keberagaman https://telusuri.id/pameran-create-moments-jadi-ruang-menyuarakan-anti-kekerasan-dan-keberagaman/ https://telusuri.id/pameran-create-moments-jadi-ruang-menyuarakan-anti-kekerasan-dan-keberagaman/#respond Mon, 05 Dec 2022 12:30:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36551 Konsorsium Creative Youth for Tolerance (CREATE) menyelenggarakan “CREATE Moments: Pameran Seni Siswa Nasional untuk Toleransi, Anti Kekerasan, dan Keberagaman”, pada 1-4 Desember 2022, di Museum Nasional, Jakarta. Kegiatan merupakan puncak dari pameran-pameran sebelumnya yang sudah...

The post Pameran CREATE Moments Jadi Ruang Menyuarakan Anti Kekerasan dan Keberagaman appeared first on TelusuRI.

]]>
Konsorsium Creative Youth for Tolerance (CREATE) menyelenggarakan “CREATE Moments: Pameran Seni Siswa Nasional untuk Toleransi, Anti Kekerasan, dan Keberagaman”, pada 1-4 Desember 2022, di Museum Nasional, Jakarta. Kegiatan merupakan puncak dari pameran-pameran sebelumnya yang sudah terselenggara secara serentak di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan pada September 2022 lalu.

“Mengedukasi orang muda mengenai toleransi dan perdamaian menjadi hal yang menantang bagi para orang tua, guru, pemerintah dan masyarakat sipil terutama dalam konteks pandemi dan konteks politik elektoral yang kerap penuh dengan kebencian, disinformasi dan kekerasan. Namun, menyaksikan bagaimana para siswa SMA, Madrasah Aliyah dan sederajat belajar mengelola perbedaan dan berkolaborasi satu sama lain membuat saya percaya bahwa ada masa depan yang lebih cerah bagi generasi yang akan datang dan bagi bangsa ini, ” ujar Dewi Suralaga, Board Yayasan Hivos.

CREATE Moments
Penjelasan terkait CREATE Moments/CREATE Moments

Bersamaan dengan serangkaian momentum seperti Tahun Toleransi 2022, Hari Toleransi Internasional 16 November 2022, Hari Hak Asasi Manusia 10 Desember 2022, hingga 16 Hari Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan/Anti Kekerasan Berbasis Gender (25 November – 10 Desember), CREATE Moments hadir sebagai ruang temu untuk menyuarakan isu-isu tersebut dan mengapresiasi karya seni yang dihasilkan oleh para seniman muda dari SMA dan sederajat. 

Pada pameran “CREATE Moments” di Jakarta kali ini, sebanyak 41 karya seni berupa instalasi, lukisan, kolase, cerita foto hingga drama pementasan yang dibuat oleh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat ditampilkan untuk publik. Karya-karya seni tersebut dibuat oleh 49 siswa baik secara individu atau kolaboratif yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, hingga Nusa Tenggara Timur.

Jeff Cohen, Direktur USAID Indonesia, mengungkapkan kebanggaannya melihat bagaimana generasi muda dapat mengekspresikan betapa toleran dan damainya masyarakat Indonesia secara luar biasa.

“Kami percaya bahwa tercapainya masyarakat yang damai dan toleran adalah tanggung jawab bersama dan bahwa setiap manusia dapat hidup dengan bebas dan bermartabat dalam masyarakat yang beragam. Kami berharap anak-anak muda ini terus menyosialisasikan pesan toleransi kepada semua orang di Indonesia,” jelasnya.

Sejak 2020, CREATE menggunakan pendekatan seni-budaya untuk meningkatkan toleransi di lingkungan sekolah. Siswa sebagai seniman muda diajak untuk merefleksikan diri mereka dalam menyikapi isu intoleransi di lingkungan terdekatnya untuk kemudian disalurkan melalui karya-karya kreatif yang akan dibuat. 

“Para siswa berkunjung ke tempat yang belum pernah dikenali sebelumnya seperti komunitas yang termarjinalkan dan rumah ibadah tertentu. Mereka merefleksikan persoalan tersebut melalui beragam media seni seperti fotografi, tari, kabaret, drama musikal, puisi, komik, poster, lukisan, dan seni instalasi mix media. Melalui pengalaman berproses di CREATE, para siswa menjadi dapat memahami keberagaman dan nilai-nilai kesetaraan,” ujar Angga Wijaya, sebagai kurator pameran CREATE.

  • CREATE Moments
  • CREATE Moments
  • CREATE Moments

Setelah 3 tahun berjalan, CREATE berhasil menjangkau 194 SMA dan Madrasah, 23 di antaranya mendapatkan pendampingan program intensif di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

“Program CREATE melalui pendekatan seni dan inovatif, telah berupaya membangun karakter siswa, menghargai perbedaaan, saling toleransi antar umat bangsa. Yang mana, yang dilakukan CREATE sejalan dengan rencana strategis pengarusutamaan kebudayaan melalui pendidikan,” jelas Binsar Simanulang, Kepala Pokja Ketahanan Budaya Kemenristekdikti RI mewakili Direktur Jenderal Kebudayaan Kemenristekdikti RI.

Sebagai praktik kreatif, seni sudah seharusnya dapat menyalurkan gagasan kritis agar lebih bermakna dan membawa perubahan. CREATE Moments tidak sekadar menampilkan beragam karya seni yang dibuat oleh siswa sebagai seniman muda, melainkan juga memaparkan temuan-temuan kunci untuk lebih memahami nilai-nilai toleransi di sekolah. Sebab sudah sepatutnya institusi pendidikan menjadi tempat yang aman dan inklusif  bagi semua.
Selain dilaksanakan secara luring, pameran ini juga dilaksanakan secara virtual melalui www.createmoments.id. Pameran tersebut bisa diakses secara gratis oleh masyarakat umum mulai tanggal 1-14 Desember 2022.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pameran CREATE Moments Jadi Ruang Menyuarakan Anti Kekerasan dan Keberagaman appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pameran-create-moments-jadi-ruang-menyuarakan-anti-kekerasan-dan-keberagaman/feed/ 0 36551
Singgah ke Pameran Ondel-Ondel https://telusuri.id/singgah-ke-pameran-ondel-ondel/ https://telusuri.id/singgah-ke-pameran-ondel-ondel/#respond Thu, 07 Jul 2022 06:47:28 +0000 https://telusuri.id/?p=34472 “Lho, ternyata nggak bisa masuk dari sini?” Kata saya.  Kami berempat dalam mobil Honda Mobilio yang melintas Jalan Meruyung Raya, Limo, Depok. Padahal tepat di depan Gang Manggis (jalan yang saya maksud) terpantek plang Studio...

The post Singgah ke Pameran Ondel-Ondel appeared first on TelusuRI.

]]>
“Lho, ternyata nggak bisa masuk dari sini?” Kata saya. 

Kami berempat dalam mobil Honda Mobilio yang melintas Jalan Meruyung Raya, Limo, Depok. Padahal tepat di depan Gang Manggis (jalan yang saya maksud) terpantek plang Studio Hanafi, namun tanda verboden terpasang jelas di atas palang hitam putih yang melintang di gang itu. 

Meski motor tampak melintas keluar masuk, kami memutuskan untuk tidak ambil risiko. Kami melanjutkan perjalanan dan parkir di halaman ruko-ruko.  

“Pantesan Google Maps nggak ngarahin lewat situ,” kata saya yang sejak tadi memang sok tahu mengarahkan jalan lewat Meruyung Raya daripada mengikuti petunjuk Google Maps yang menyuruh kami berputar dulu lewat Jalan Raya Muchtar. 

Bukan apa-apa, banyak pengalaman pahit ketika manut sama Google Maps malah diarahkan lewat jalan yang terlalu sempit atau terlalu curam untuk kami. Wajar dong kalau saya skeptis (dan sok tahu). 

“Ya, sudah. Parkir di sini, jalan kaki,” istri saya, memutuskan. 

Kebetulan hari itu panas sedang tajam-tajamnya. Saya langsung menghela nafas. Tapi, ya sudahlah, jalan kaki hanya 10 menit menurut Google Maps. Lho, sekarang percaya sama Google Maps? Ya, mau bagaimana lagi. 

Setelah menitipkan mobil ke penjaga parkir ruko, kami jalan kaki lewat gang kecil di samping taman pemakaman umum. Di ujungnya, kami menyusuri tepi kali kecil, semacam jalur irigasi yang padat dengan lumpur. 

Dalam hati saya membatin, sudah berapa lama ya tidak menyusuri jalan seperti ini? Jalanan yang hanya dilapisi semen seadanya dan lebarnya pas-pasan untuk dilalui dua motor. Aneh ya, sesuatu yang dulu jadi arena sehari-hari bisa begitu asing dan eksotis setelah situasi berubah. 

“Masih jauh?” tanya ibunya anak-anak.  

Saya coba untuk tidak marah-marah meskipun panas menyengat, meskipun kaos sudah banjir keringat. 

“Nggak usah ditanya, nanti juga sampe!” kata saya, gagal menahan kesal. 

Tak lama, kami sampai di sebuah jalan beraspal, dan tak jauh dari situ tujuan kami terlihat. Akhirnya, saya merasa lega. Entah kenapa harus kesal, apakah karena panas atau sedikit rasa bersalah telah ‘menjebak’ keluarga ke tujuan yang entah akan membuat mereka senang atau tidak. 

Apapun itu, akhirnya kami sampai di Galeri Kertas, salah satu (kalau bukan satu-satunya) galeri seni sungguhan di Depok. 

Pameran Ondel-Ondel  

Alasan kami berkunjung ke tempat ini memang berasal dari saya. Ya, saya sudah ingin mendatangi tempat ini sejak lama. Mungkin sejak empat atau lima tahun lalu. Bahkan, sempat punya niat mengajak kerjasama tempat ini dengan coworking space kami dulu. 

Tapi seperti biasa, kesibukan demi kesibukan dan perubahan demi perubahan selalu mengurungkan niat. Lalu, pandemi menghentikan kegiatan di tempat ini sementara. Sampai ketika kami berkunjung di ujung bulan Juni ini, beberapa hari setelah pembukaan pameran.

  • Sudut pandang lain dari karya Edi Bonetski yang dipamerkan
  • Salah satu lukisan berukuran besar karya Edi Bonetski
  • Salah satu karya Edi Bonetski
  • Karya Edi Bonetski berukuran besar di dinding Galeri Kertas
  • Instalasi yang menampilkan proses Edi Bonetski dalam berkarya

Pameran ini berjudul Ondel-Ondel: yang Rural dan yang Urban, menampilkan karya kertas dari Edi Bonetski, seorang street artist yang juga mendalami seni musik dan seni pertunjukan. Ya, deskripsi itu saya comot dari akun Instagram resmi mereka. Sebab saya juga belum kenal siapa itu Edi Bonetski. Maaf, pengetahuan seni saya memang minim dan miskin, makanya saya harus belajar. 

Sebentar, sebelum saya lanjut bercerita, saya mau comot lagi beberapa hal dari deskripsi pameran itu. Ya, sekadar memberi gambaran saja. 

“Pameran ini merupakan respon Edi Bonetski terhadap fenomena hilangnya memori kolektif masyarakat Indonesia terhadap sosok Ondel-Ondel yang bermula sebagai salah satu bentuk kesenian jalanan yang kaya akan sejarah dan kebudayaan.”

“Dalam konteks kontestasi ruang rural dan urban inilah sejarawan Th. Pigeaud dalam bukunya yang masyhur Javaanse Volkvertoningen (1928) mengemukakan para raksasa dan makhluk halus masih hidup dalam memori kolektif masyarakat Jawa. Sosok-sosok besar itu maujud dalam kesenian berbentuk boneka-boneka raksasa. Dihadirkan dalam- perayaan upacara-upacara terpenting siklus kehidupan manusia di antero Jawa dan Bali. (JJ Rizal/ Sejarawan, dalam catatan pengantar Pameran)” 

Oke, untuk yang paham seni mungkin bisa membaca dua paragraf di atas dan mengerti lebih jauh apa yang mau disampaikan pameran ini. Buat saya, mengunjungi pameran adalah membuka diri untuk pengalaman yang lain, yang mungkin jauh dari keseharian dan syukur-syukur bisa membantu saya memandang, merasakan dan mengerjakan apa-apa dengan lebih peka. 

Kalau dari yang saya amati, perupa Edi Bonetski sepertinya menampilkan ondel-ondel dalam berbagai bentuk yang bisa jadi jauh dari bentuk ondel-ondel yang masyarakat kenal pada umumnya. Ya, ada beberapa figur yang masih mirip ondel-ondel asli, seperti instalasi ondel-ondel kecil yang berbaris di tangga, tapi ada juga bentuk yang butuh imajinasi untuk melihat “di mana ondel-ondelnya?” 

Terus terang, lepas dari mengerti atau tidak, saya selalu senang melihat pameran seni. Melihat bentuk-bentuk yang menentang logika itu buat saya jadi ajang menelusuri perasaan saya sendiri. Bisa nggak saya menerima apapun yang ditampilkan ini sebagai “seni”? Atau, saya justru jadi memberontak dan berseru “ini bukan seni” di sosmed? Atau, saya malah berkata “saya tidak mengerti” dan berhenti di situ. Ah, jelas saya nggak mau yang seperti itu. Saya menolak untuk menutup pandangan dan perasaan pada hal-hal yang berbeda, hanya karena saya tidak mengerti atau tidak terbiasa dengannya. 

Saya ceritakan sedikit pameran ini. Di ruang pertama, dibagi atas beberapa bagian. Pertama, dari langit-langit bergantung kantong-kantong kertas dengan coretan dan kata-kata (protes?) di permukaannya. Bentuknya, sedikit banyak mengingatkan pada tubuh ondel-ondel yang gembung. 

Lalu di sisi-sisi ruangan ada karya pada kertas besar. Lukisan, saya kira, atau mungkin bentuk seni rupa gabungan antara lukis dan hal lain. Tapi yang menarik buat saya adalah karya di sudut ruangan yang dominan warna kuning dan hitam, di situ selain coretan di dinding, perupa juga menampilkan klise rontgen dengan cat putih yang sepertinya dari correction pen atau yang kita lazim sebut tip-eks

Area utama Galeri Kertas dan karya-karya Edi Bonetski di pameran Ondel-Ondel yang rural dan yang urban/Wicak Hidayat

Masih banyak sudut lain, dan instalasi lain di pameran ini. Saya tidak perlu mendeskripsikan semuanya kan? Paling baik adalah kalau kalian, yang kebetulan membaca tulisan ini, berkunjung langsung ke sana. 

Apalagi di lantai atas, yang dijangkau melalui tangga besi spiral. Masih banyak lagi karya-karya yang menarik. Kata-kata saya kok rasanya malah membuat karya-karya itu hambar, atau terkesan dibuat-buat karena saya berusaha menutupi kekurang tahuan saya soal seni dengan teori-teori yang tidak perlu. 

Memang klise jadinya, tapi memang sebuah pameran itu lebih baik didatangi. Karena dengan begitu, pengalamannya akan milik diri sendiri. 

Berbincang dengan Hanafi 

Di tempat itu kami memang sudah ada rencana untuk bertemu teman saya. Arkan, namanya, seorang yang pengetahuan seninya lebih baik dari saya. Kebetulan juga, dia cukup akrab dengan teman-teman di Galeri Kertas / Studio Hanafi, jadi saya punya kesempatan untuk bercengkrama dengan mereka. 

Sebuah gagasan, yang lama dorman, pun saya cetuskan kembali bersama Arkan. Gagasan itu sederhana: bahwa permainan bisa digunakan untuk membantu orang (atau kelompok) melahirkan karya. 

Buat saya gagasan itu menarik, namun saya selalu kesulitan menyampaikannya. Apalagi karena bentuk konkritnya masih jauh dari jelas. 

“Oh, games? Kayak mobile legend?” kata seorang pria dengan panggilan Om Sugeng, saya kurang tahu persisnya apakah juga seniman, pastinya saya yakin dia salah satu teman yang sering nongkrong di sana. 

Diskusi kami (saya, Arkan dan Om Sugeng) memanas, mulai dari origami, Angry Birds hingga permainan dampu jadi bahan obrolan. Sayangnya, saya juga masih belum bisa mengerucutkan ide itu: bagaimana menggunakan permainan sebagai alat bantu berkarya. 

Lalu, Arkan mengajak saya untuk duduk-duduk di taman dekat sungai. Tak lama Mas Hanafi, pelukis dengan reputasi internasional itu, menghampiri dengan santai. 

Ya, bukan kebetulan, toh dia memang sudah akrab dengan Arkan dan ini adalah rumahnya. Tapi saya tidak punya niat untuk bertemu langsung dengannya. Saya pikir, akan sulit dan dia pasti sibuk. Jadi, ini memang kejutan yang sungguh menyenangkan. 

Tapi, begini, tanpa bermaksud mengecewakan teman-teman yang baca tulisan ini. Saya tidak akan tuliskan obrolan saya dengan Arkan dan Mas Hanafi di sini. Bukan, bukan karena “harus datang sendiri” tapi karena saya tidak minta izin padanya untuk menuliskan percakapan itu. 

Lha, tulisan ini saja dibuat tanpa niat kok. Awalnya kan saya mengusulkan perjalanan ke Galeri Kertas atas alasan “mengantar anak-anak”. 

Jadi, maaf, percakapan yang sungguh membuka wawasan itu akan jadi bahan inspirasi pribadi saya dulu. Mungkin, kalau sempat, ada beberapa di antaranya yang bisa saya sarikan dan tuangkan ulang ke dalam bentuk yang berbeda. 

Apa sih yang kami bicarakan? Topiknya luas, mulai dari soal bagaimana pameran ini akhirnya bisa terjadi, kegiatan di galeri dan studionya, bagaimana ia mengawali studio itu hingga tentu saja soal pemerintah dan komunitas kesenian lain. 

Nah, iya, saya memang senang menyeret-nyeret gosip soal pemerintahan ke dalam percakapan. Sekadar mau tahu kok, bukan mau makar. Kalau sudah kenal lebih dalam, obrolannya bisa lebih ngaco, karena menyeret-nyeret soal kepercayaan. Ah, tapi saya kan belum kenal jauh dengan kalian yang baca tulisan ini? 

Oh ya, tentunya di kesempatan itu saya juga berusaha melempar gagasan soal menggunakan permainan dalam menghasil karya. Keringat dingin saya mengutarakannya, dan sepertinya saya masih gagal untuk menjelaskannya. Lagi-lagi, ini soal bentuk yang belum jelas. 

“Coba, kamu tulis dulu skemanya kayak gimana,” nasehat dari Mas Hanafi ke saya dan Arkan. Baiklah, boleh itu jadi PR kami. Hitung-hitung, bekal untuk perjalanan berikutnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Singgah ke Pameran Ondel-Ondel appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/singgah-ke-pameran-ondel-ondel/feed/ 0 34472