pangan lokal Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pangan-lokal/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:32:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pangan lokal Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pangan-lokal/ 32 32 135956295 Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial https://telusuri.id/simpang-belajar-2025-melestarikan-pangan-lokal-melalui-konten-media-sosial/ https://telusuri.id/simpang-belajar-2025-melestarikan-pangan-lokal-melalui-konten-media-sosial/#respond Tue, 13 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46902 Sebanyak 15 orang muda Manggarai Barat, baik yang sebelumnya menjadi peserta Simpang Belajar: Co-creation for City Vision tahun 2024 maupun komunitas Lino Tana Dite, berpartisipasi aktif pada Workshop Content Creation and Gastronomy Movements (WCGM) atau...

The post Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebanyak 15 orang muda Manggarai Barat, baik yang sebelumnya menjadi peserta Simpang Belajar: Co-creation for City Vision tahun 2024 maupun komunitas Lino Tana Dite, berpartisipasi aktif pada Workshop Content Creation and Gastronomy Movements (WCGM) atau Lokakarya Pembuatan Konten dan Gerakan Gastronomi pada 21–23 April 2025 di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Kegiatan ini dipimpin oleh Pamflet Generasi (Pamflet) dan bekerja sama dengan Rombak Media, sebagai Konsorsium Simpul Pangan yang merupakan bagian dari program Urban Futures—program global lima tahunan yang diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis).

Lokakarya kali ini berfokus pada peningkatan pemahaman orang muda terkait produksi konten-konten seputar pangan, pemanfaatan media sosial, dan kegunaannya dalam gerakan gastronomi lokal. Media sosial masih dianggap sebagai wadah kampanye untuk menggugah kesadaran warganet atas isu-isu gastronomi, yang beberapa waktu belakangan hampir selalu mendapat tempat perbincangan di lini masa maya.

Kegiatan Simpang Belajar tahun ini merupakan momentum untuk mengakselerasi produksi konten-konten media sosial oleh orang muda yang membicarakan sistem pangan lokal. Masifnya audiens media sosial di kalangan Gen Z dan Milenial merupakan peluang besar bagi orang muda mendorong perubahan dengan media digital.

Melalui WCGM, peserta diharapkan mampu menyusun narasi kampanye tentang isu pangan lokal secara kreatif dan bernuansa positif di media sosial, khususnya Instagram. Selain itu, kegiatan pembuatan konten bertujuan untuk menguatkan kesinambungan antara visi kota berkelanjutan yang telah dirumuskan dalam lokakarya sebelumnya, dengan kemampuan produksi konten media sosial yang berdampak. 

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Elisabeth Ester Umbu Tara (Ete) memberi materi di sesi pertama lokakarya/Dokumentasi Simpang Belajar

Cerita dan media sosial sebagai ruh dari sistem pangan

Sesi pembuka di hari pertama kegiatan diawali dengan pemaparan materi oleh Ester Elisabeth Umbu Tara selaku fasilitator. Perempuan kelahiran Kupang yang akrab disapa Ete itu merupakan pendiri komunitas Bapalok (Bacarita Pangan Lokal), sebuah wadah yang bertujuan mengarsipkan dan mendokumentasikan tanaman pangan khas berbagai daerah melalui tulisan, fotografi, hingga bentuk audiovisual lainnya, dengan salah satu fokus pada pemberdayaan perempuan.

Terbagi dalam dua segmen, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang membahas lima materi seputar pembuatan konten dan pemanfaatannya untuk mengampanyekan sistem pangan lokal. Pada segmen pertama, Ete berbagi materi tentang cara mencari ide konten, melakukan riset yang terarah, dan menyusun naskah yang efektif pun menarik. Di segmen ini pula Ete memberikan pemahaman mengenai aspek-aspek yang menjadi kesatuan dalam gastronomi, yaitu budaya, sejarah, teknik memasak, pemilihan bahan, penyajian, dan interaksi sosial. Ia menegaskan dalam satu jenis pangan bisa melahirkan banyak ide konten dari berbagai sisi, sehingga seorang kreator konten tidak akan kehabisan bahan.

Lalu di segmen kedua, Ete membantu peserta memahami teknik-teknik dasar fotografi dan videografi untuk kebutuhan visual konten, serta pengenalan platform CapCut dan Canva sebagai alat pendukung populer dan praktis untuk produksi dan editing konten—terutama berbasis perangkat mobile yang lebih mudah dijangkau peserta.

Dalam kacamata Ete, teknik pembuatan konten dan medium yang digunakan memang penting. Namun, ia juga menekankan narasi dan pesan yang ingin disampaikan dalam visual yang dibuat juga tak kalah krusial. Sebab, itu akan menentukan proses pengumpulan ide, riset, konsep, dan cara mengemas konten yang ingin dibuat. 

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Mardhatillah Ramadhan (Han) menyampaikan materi seputar pengelolaan akun media sosial/Dokumentasi Simpang Belajar

Pada sesi selanjutnya, Mardhatillah Ramadhan sebagai narasumber memaparkan materi tentang pengelolaan akun media sosial dan strategi pengelolaan konten. Pria yang biasa disapa Han itu berpengalaman menjadiSocial Media Specialist di TelusuRI, media perjalanan dan pariwisata Indonesia di bawah naungan Rombak Media. Sebagai pemantik, Han menggali preferensi peserta lokakarya soal ragam media sosial yang sering digunakan dan jenis konten-konten yang disukai. Di antara jenama media sosial yang ada, Instagram dan fitur-fitur di dalamnya menjadi fokus utama pembahasan, karena akan menjadi medium kerja pembuatan konten sebagai keluaran yang diharapkan dari peserta selama lokakarya.

Han membeberkan keunggulan Instagram, terutama fitur reels (video). Untuk saat ini reels Instagram jadi favorit karena memiliki jangkauan luas ke audiens, sehingga memudahkan untuk meningkatkan engagement dan tidak harus membutuhkan pengikut (followers) banyak supaya viral. Dampaknya akan lebih hemat biaya promosi produk-produk konten yang dihasilkan.

Kemudian Han berbagi tips strategi mengelola akun media sosial, agar narasi maupun pesan dalam konten-konten kampanye pangan lokal bisa tersampaikan secara optimal ke audiens. Mulai dari perlunya memerhatikan struktur publikasi konten (menyiapkan visual, caption, profil akun lengkap, dan konten-konten awal yang menarik), rutin mengunggah konten secara berkala, interaksi dengan akun Instagram yang relevan dan sedang ramai dibicarakan, memahami statistik konten (insight), hingga pemasangan iklan berbayar.

Di luar aspek teknis, Han menekankan pentingnya melihat kembali tujuan awal pembuatan akun agar topik dan produksi konten fokus sehingga memikat audiens. Ia menyampaikan, berdasarkan data penggunaan media sosial tahun 2024 oleh Databoks Katadata.co.id, seperti dikutip Radio Republik Indonesia,  tercatat 191 juta pengguna media sosial di Indonesia pada tahun tersebut, yang menjadi potensi audiens besar untuk diraih. Hal lain yang tidak kalah utama untuk diperhatikan adalah mau memulai dengan konten-konten sederhana, selalu terbuka peluang kolaborasi, dan konsisten.

Dari materi ruang yang disampaikan oleh Ete dan Han, peserta kemudian dibagi menjadi empat kelompok kecil. Di akhir setiap sesi Ete dan Han, tersedia ruang untuk latihan dan presentasi dari masing-masing kelompok, serta menyiapkan tema konten untuk kunjungan liputan di lapangan pada hari kedua kegiatan. 

Berburu konten bersama The Kitchen Garden dan Lompong Cama

Setiap kelompok memiliki fokus liputan dan target konten masing-masing. Keempat kelompok tersebut terbagi ke dua lokasi sasaran, yaitu The Kitchen Garden dan Lompong Cama, yang terletak di Labuan Bajo, Manggarai Barat.

The Kitchen Garden (TKG) yang didirikan dan dikelola Chef Michael merupakan restoran sekaligus inisiator gerakan yang menumbuhkan kesadaran akan pentingnya identitas budaya dan gastronomi lokal di Labuan Bajo. Adapun Lompong Cama yang didirikan oleh Citra Kader, seorang chef dan pegiat pangan lokal, merupakan tempat makan terbatas (melalui reservasi) yang mengajak pengunjung mempelajari metode bercocok tanam, mengolah hasil kebun berisi komoditas lokal menjadi makanan siap santap, hingga mengelola sisa bahan pangan menjadi kompos. Keduanya sama-sama berupaya mengusung masakan khas Manggarai sebagai hidangan utama.

Bersama pendampingan Chef Michael, Kelompok 1 berfokus pada dojang sebagai bagian dari preservasi pangan lokal, sedangkan Kelompok 4 mengambil angle sejarah dan pengolahan dojang dengan konsep dari kebun ke meja makan atau from farm to table. Di TKG, acara diawali dengan pemaparan profil dan filosofi restoran oleh Chef Michael. Ia menekankan bahwa pelestarian wilayah Labuan Bajo atau Manggarai Barat tidak hanya tentang alam atau Komodo, tetapi juga manusia dan pangan lokal sebagai bagian dari ekosistem itu sendiri. 

Chef Michael juga mengajak dua kelompok melakukan aktivitas tur kebun, demo masak, dan pengambilan dokumentasi tambahan (footages) untuk mencukupi kebutuhan produksi konten masing-masing kelompok. Dalam penjelasannya, ia berusaha menghidupkan kembali kuliner tradisional setempat yang sempat hilang, seperti tibu, manuk cuing, nasi kolo, tapa kolo, dan dojang dengan pendekatan yang berbeda. Pengunjung TKG tidak hanya sekadar makan, tetapi juga mendapat cerita dan pengalaman edukasi maupun pertukaran budaya.

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Sebagian peserta menyaksikan dan merekam proses memasak saat kunjungan ke The Kitchen Garden/Dokumentasi Simpang Belajar

Di lain tempat, Citra Kader mendampingi Kelompok 2 yang mengulik kempalo, serta Kelompok 3 yang fokus pada ikan kombong kuah asam dan manfaatnya bagi gizi tubuh. Kempalo merupakan bahan makanan berbahan dasar beras ketan yang diimpor dari Sulawesi, sedangkan kombong merupakan sejenis ikan laut lokal yang memiliki nilai gizi tinggi.

Sebelumnya Citra mengajak kedua kelompok mengunjungi Pasar Rakyat Batu Cermin untuk mewawancarai sejumlah pedagang dan belanja sejumlah bahan baku masakan untuk dibawa ke Lompong Cama. Saat kunjungan di pasar, Citra menjelaskan bahwa langkah pertama untuk memahami pangan lokal adalah terlebih dahulu mengenal pasar tradisional. Kemudian di Lompong Cama, peserta diajak berdiskusi, melihat pengelolaan sampah organik dan anorganik, pemeliharaan kambing untuk produksi pupuk kandang, pemanfaatan daun kering, berkeliling kebun yang ditanami berbagai macam bunga dan buah, demo masak, serta mengumpulkan bahan konten.

Usai mengumpulkan bahan konten di lapangan, selanjutnya setiap kelompok mulai melakukan finalisasi produksi konten berdasarkan tema dan angle yang dipilih. Kecuali Kelompok 1 yang hanya membuat satu video reels (karena jumlah anggota lebih sedikit), tiga kelompok lainnya akan membuat satu video reels dan satu feed (seri foto atau carousel). Ketentuan khusus untuk reels, durasi video yang dikerjakan minimal 30 detik dan maksimal satu menit. Seluruh karya peserta akan diunggah pada Instagram @gandengpangan dengan menggunakan fitur tag dan collaboration post dengan akun masing-masing peserta.

Pada hari ketiga, setiap karya yang dibuat oleh masing-masing kelompok dibedah oleh Ete dan Han. Kedua fasilitator tersebut membuka ruang diskusi, memberi masukan, melakukan kurasi naskah, audio, dan visual, serta meninggalkan catatan untuk setiap progres kerja yang dicapai oleh keempat kelompok. Selanjutnya peserta masing-masing kelompok menyelesaikan produksi konten dan mempresentasikan materi konten yang sudah dibuat, lalu mendapatkan penilaian.

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Sejumlah peserta melakukan pembuatan konten saat kunjungan lapangan ke Lompong Cama/Dokumentasi Simpang Belajar

Kesan dan harapan

Sejumlah peserta menyampaikan kesannya terhadap lokakarya pembuatan konten dan gerakan gastronomi lokal selama tiga hari kegiatan. Erin, nama panggilan ​​Berta Ertin dari Kelompok 3 mengungkap banyaknya pengetahuan baru yang didapatkan, terutama soal pembuatan konten. 

“Yang saya dapatkan dari kegiatan Simpang Belajar ini adalah bagaimana cara kita membuat konten yang lebih baik,” kata peserta yang pernah menjadi administrator akun Neo Historia Indonesia (2019) itu. “Ini juga akan membantu proses pengarsipan atau dokumentasi pangan lokal di Manggarai Barat.”

Senada dengan Erin, Petrus Budi Handoyo yang akrab disapa Petu pun sejatinya memiliki banyak kesan mendalam terhadap lokakarya yang diikuti. “Tapi [ada] satu kesan yang paling menempel di pikiran saya, yaitu ilmu baru yang saya dapatkan, seperti pengeditan video. Sebelumnya pengeditan video yang saya lakukan tidak semenarik yang orang (audiens) inginkan.”

Anggota dari Kelompok 4 itu menambahkan, ada manfaat tambahan yang ia peroleh, terutama berkaitan dengan usaha pribadinya—Kedai Wae Nanggom—yang baru berjalan empat bulan. “Manfaat dari kegiatan Simpang Belajar sangat berdampak bagi saya. Ke depannya saya bisa mengubah pola pikir [pembuatan video], mulai dari penulisan naskah dan pengeditan video agar sesuai harapan orang (audiens).”

Maria Oktaviani Simonita Budjen, anggota Kelompok 1, menyampaikan kesannya soal dinamika yang terjadi selama kelas (materi ruang). “Saya disatukan dalam kelompok dengan teman-teman yang punya pengalaman dan skill yang berbeda, [sehingga] saya dapat banyak sekali hal baru dari mereka,” kata Ani.

Selama tiga hari kegiatan, Ani dan kelompoknya melatih diri untuk mengasah soft skill dan rasa percaya diri saat berdiskusi dan presentasi bersama. “Dan juga tentu saja field trip-nya. Kita diarahkan ke tempat-tempat yang punya ide cerita luar biasa, yang bisa mengangkat kembali cerita tentang pangan lokal yang ada di Manggarai Barat.”

“Harapannya, lokakarya ini dapat mendukung partisipasi bermakna dari kawan-kawan muda untuk pangan yang berkelanjutan. ‘Bermakna’ di sini berarti bahwa dengan bekal peningkatan kapasitas membuat konten, ke depannya kawan-kawan di Manggarai Barat sendirilah yang menentukan narasi dan gencar mengampanyekan pangan lokal kepada khalayak luas,” ujar Wilsa Naomi, Manajer Proyek Konsorsium Simpul Pangan dari Pamflet Generasi.

Lokakarya di Manggarai Barat bukanlah akhir, melainkan baru sebagai awal untuk harapan pelestarian pangan lokal di masa depan. Upaya tersebut tidak berhenti di The Kitchen Garden maupun Lompong Cama, tetapi terus bergulir di tangan orang-orang mudanya.

Foto sampul: modul kegiatan Simpang Belajar 2025/Dokumentasi Simpang Belajar


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/simpang-belajar-2025-melestarikan-pangan-lokal-melalui-konten-media-sosial/feed/ 0 46902
Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements https://telusuri.id/siaran-pers-simpang-belajar-2025/ https://telusuri.id/siaran-pers-simpang-belajar-2025/#respond Fri, 18 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46696 Setelah sukses menyelenggarakan Simpang Belajar: Co-creation for City Vision pada November 2024, Konsorsium Simpul Pangan kembali menghadirkan Simpang Belajar dalam bentuk lokakarya lanjutan bertajuk Workshop Content Creation and Gastronomy Movements atau Lokakarya Pembuatan Konten dan...

The post Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah sukses menyelenggarakan Simpang Belajar: Co-creation for City Vision pada November 2024, Konsorsium Simpul Pangan kembali menghadirkan Simpang Belajar dalam bentuk lokakarya lanjutan bertajuk Workshop Content Creation and Gastronomy Movements atau Lokakarya Pembuatan Konten dan Gerakan Gastronomi. Kegiatan ini dipimpin oleh Pamflet Generasi (Pamflet) dan bekerja sama dengan Rombak Media, sebagai bagian dari program Urban Futures–program global lima tahunan yang diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis).

Lokakarya ini digelar secara luring pada Senin hingga Rabu, 21–23 April 2025 di Labuan Bajo, Manggarai Barat. WCGM akan melibatkan partisipasi aktif orang muda Manggarai Barat yang sebelumnya telah mengikuti lokakarya Simpang Belajar: Co-creation for City Vision, serta orang muda dari komunitas Lino Tana Dite.

Siaran Pers Simpang Belajar 2025:
Workshop Content Creation and Gastronomy Movements

Kampanye narasi sistem pangan lokal berkelanjutan

Seiring berkembangnya teknologi digital dan internet, media sosial menjadi alat yang sangat efektif dalam mempromosikan, mengampanyekan, dan mengadvokasikan berbagai isu sosial, termasuk sistem pangan lokal berkelanjutan. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 20241 menunjukkan, pengguna internet terbanyak berasal dari kalangan usia muda dengan rincian 87,02% Gen Z (12–27 tahun) dan 93,17% Milenial (28–43 tahun). Empat platform media sosial yang paling banyak digunakan antara lain Facebook, Instagram, Youtube, dan Tiktok. Hal ini menunjukkan potensi besar anak muda dalam mendorong perubahan melalui media digital.

Melalui lokakarya ini, peserta dilatih untuk mengembangkan narasi kampanye yang positif terkait isu pangan lokal, serta mengemasnya dalam bentuk konten kreatif di media sosial, khususnya Instagram. Kegiatan ini juga bertujuan untuk menguatkan kesinambungan antara visi kota berkelanjutan yang telah dirumuskan dalam lokakarya sebelumnya, dengan kemampuan produksi konten media sosial yang berdampak.

Pada Simpang Belajar sebelumnya, 15 orang muda yang menamai kelompoknya “Uma Lestari,” berkolaborasi melakukan pemetaan potensi dan masalah seputar pangan di sekitar tempat tinggal mereka, membayangkan sistem pangan perkotaan yang mereka impikan, dan merencanakan inisiatif aksi lebih konkret untuk mewujudkan visi kota Manggarai Barat: “Selaras Alam, Budaya, Manusia”. Visi tersebut menggambarkan fokus aspirasi untuk memadukan tiga elemen utama—alam, budaya, dan manusia—melalui pangan. Dampak yang diharapkan bisa menjadikan Manggarai Barat memiliki sumber pangan yang berkelanjutan, melindungi identitas lokal melalui pelestarian tradisi pangan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui ekosistem pangan yang inklusif dan inovatif.

Pada lokakarya kali ini, menghadirkan fasilitator utama, Ester Elisabeth Umbu Tara, pendiri komunitas Bapalok (Bacarita Pangan Lokal), yang aktif dalam pengarsipan pangan lokal dan pemberdayaan perempuan, di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Agenda kegiatan

Selama tiga hari pelaksanaan, peserta akan mengikuti rangkaian sesi produktif dengan pendampingan fasilitator lokal. Pada hari pertama (21/4), peserta akan diajak untuk mengenal kembali proses dan tahapan pembuatan konten media sosial sebagai bagian dari gerakan pangan dan gastronomi. Dalam praktiknya, peserta dilatih untuk mengeksplorasi ide dan riset, menulis naskah, pembuatan konten audiovisual, penyuntingan, hingga publikasi dan pengelolaan akun media sosial. 

Pada hari kedua (22/4), peserta diajak mengunjungi dua inisiatif kuliner lokal yakni, Lompong Cama dan The Kitchen Garden, yang dikenal karena upayanya memperkenalkan kembali masakan tradisional Manggarai Barat dengan memanfaatkan bahan-bahan lokal, di tengah arus modernisasi dan perubahan iklim. Di lokasi ini, peserta akan praktik langsung untuk membuat konten media sosial, baik berupa video pendek maupun fotografi, sesuai minat dan rencana kelompok masing-masing.

Bahan-bahan hasil perekaman lapangan tersebut kemudian disusun untuk menjadi konten yang utuh. Di hari ketiga (23/4), para peserta kemudian melakukan presentasi hasil konten kepada fasilitator dan narasumber untuk mendapatkan masukan sebelum dipublikasikan melalui media sosial. Setiap hasil karya peserta nantinya akan diunggah dan berkolaborasi dengan akun Instagram @gandengpangan.

Foto sampul: Demonstrasi memasak bahan pangan lokal di Lompong Cama/Dokumentasi Simpang Belajar


  1. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, “Survei Penetrasi Internet Indonesia 2024”, https://survei.apjii.or.id/survei/group/9. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/siaran-pers-simpang-belajar-2025/feed/ 0 46696
Menyambut Inisiatif Orang Muda Bandung dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Perkotaan https://telusuri.id/menyambut-inisiatif-orang-muda-bandung-dalam-mewujudkan-ketahanan-pangan-perkotaan/ https://telusuri.id/menyambut-inisiatif-orang-muda-bandung-dalam-mewujudkan-ketahanan-pangan-perkotaan/#comments Fri, 13 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44560 Sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Bandung memiliki tantangan serius untuk mencukupi kebutuhan pangan lokal warganya. Betapa tidak, sejumlah data statistik menunjukkan perlunya intervensi dan gebrakan besar yang bersifat kolaboratif untuk mengatasi persoalan tersebut. Kota...

The post Menyambut Inisiatif Orang Muda Bandung dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Perkotaan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Bandung memiliki tantangan serius untuk mencukupi kebutuhan pangan lokal warganya. Betapa tidak, sejumlah data statistik menunjukkan perlunya intervensi dan gebrakan besar yang bersifat kolaboratif untuk mengatasi persoalan tersebut.

Kota berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa pada tahun 2022 itu (BPS Kota Bandung, 2023), dengan populasi terbesar penduduk berusia produktif antara 15–29 tahun (mencapai 24%), harus menggantungkan pasokan sumber pangan segar yang aman dikonsumsi sebanyak 96% dari daerah luar Bandung (Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung, 2022). Baik dari provinsi di Jawa maupun luar Jawa. Jenis pangan itu antara lain tanaman pangan dan hortikultura (beras, buah-buahan, sayuran, palawija, rempah-rempah), hasil peternakan (telur, daging, susu), serta hasil perikanan (ikan segar dan ikan asin).

Selanjutnya tersisa hanya kurang dari 4% saja total kebutuhan pangan yang sanggup dipenuhi dari hasil produksi pertanian lokal. Penyebabnya antara lain ketersediaan lahan pertanian yang sangat kecil, yakni 807,11 hektare, atau hanya 4,8% dari total luas wilayah Kota Bandung yang mencapai 167,31 km2. Angka ini bisa terus menurun akibat konversi lahan untuk pembangunan nonpertanian dan lambatnya regenerasi petani (BPS Kota Bandung, 2023).

Kondisi alam turut memengaruhi stabilitas pasokan pangan di Bandung. Riset Adib (2014) mencatat curah hujan yang tinggi pada tahun 2010 menyebabkan hilangnya 30% pasokan sayuran segar untuk kota ini. Bencana hidrometeorologi lanjutan, yakni banjir, menghambat alur distribusi dan aksesibilitas pasokan pangan ke masyarakat.

Di tengah kondisi itu, Kota Bandung juga menghadapi dampak perubahan iklim yang memengaruhi kestabilan pasokan pangan. Pada tahun 2010, tingginya curah hujan menyebabkan hilangnya 30% pasokan sayuran untuk kota ini (Adib, 2014). Distribusi pangan juga terhambat oleh masalah banjir, terutama di bagian selatan kota, yang sering terjadi dan mengganggu aksesibilitas. Selain itu, inflasi sebesar 7,45% pada Desember 2022 telah meningkatkan harga barang pokok, memperburuk daya beli masyarakat dan menambah tekanan pada akses pangan (BPS Kota Bandung, 2023).

Tekanan lain datang dari pengolahan sampah yang belum optimal. Sebanyak 44,52% sampah perkotaan di Bandung berasal dari limbah makanan, mulai dari limbah rumah tangga, pasar, perhotelan, hingga limbah makanan kedaluwarsa yang terbuang begitu saja. Angka ini sekitar 3,88% lebih tinggi dari rata-rata nasional (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022). Padahal pengeluaran masyarakat Kota Bandung untuk makan cukup besar dan terjadi peningkatan setiap tahunnya. Jika tidak dikelola dengan baik, masalah-masalah tersebut bisa mengancam kegiatan perekonomian dan ketahanan pangan Kota Bandung.

Untuk itu perlu langkah progresif dan tepat sasaran agar penyediaan sumber pangan lokal tidak terus terjatuh dalam jurang krisis. Tingginya minat orang muda terhadap bisnis dan gerakan kemasyarakatan, ketersediaan lokapasar digital, hingga keterbukaan pada kolaborasi lintas sektor di hulu–hilir mesti disambut baik.

Inisiatif-inisiatif yang bermula dari lingkup kecil, tetapi bisa berdampak besar telah menunjukkan bukti konkret secara perlahan. Orang-orang muda muncul bak tunas pemberi harapan.

Fokus kegiatan Seni Tani menggarap lahan-lahan tidur di kawasan perkotaan menjadi kebun sayur produktif untuk menunjang
ketahanan pangan/Dokumentasi Seni Tani

Inisiatif ketahanan pangan berbasis masyarakat

Persoalan pemenuhan kebutuhan pangan lokal di Kota Bandung mengundang orang-orang muda bergerak. Salah satu yang populer adalah Seni Tani, sebuah kelompok orang muda yang diinkubasi atau diberdayakan dari Komunitas 1000Kebun. Seni Tani berfokus menghidupkan kembali lahan-lahan pertanian perkotaan yang “tertidur” alias tidak produktif di kawasan Arcamanik, khususnya Kelurahan Sukamiskin. 

Gerakan tersebut muncul dengan konsep Community Supported Agriculture (CSA), yang menghasilkan produk pertanian ramah lingkungan secara kolektif. Program CSA berupaya mengembangkan sistem pasar pangan lokal secara adil, menghubungkan konsumen dan petani tanpa sekat, hingga melakukan edukasi dan praktik pertanian berkelanjutan untuk generasi muda. Generasi muda di Bandung menjadi kelompok yang paling diperhatikan, mengingat tingginya tingkat depresi akibat pengaruh media sosial dan kesulitan ekonomi selama pandemi COVID-19 lalu.

Berdasarkan riset Pertiwi dkk (2021), pada Agustus 2020, dari 647 responden remaja usia 14–18 tahun di Kota Bandung, sebanyak 58,74 mengalami kecemasan sebagai bentuk kondisi psikologi negatif akibat pandemi COVID-19. Dari jumlah itu, 32,15% di antaranya mengalami depresi sedang atau berat. Mereka mengalami tekanan psikologis yang berat akibat adanya kebijakan pembatasan interaksi dan adaptasi kebiasaan baru oleh pemerintah. Sementara BPS Kota Bandung (2021) menyatakan adanya kenaikan tingkat pengangguran terbuka di kalangan muda (angkatan kerja di atas 15 tahun) di kota tersebut selama pandemi. Dari 105.067 orang (8,16%) pada 2019, meningkat menjadi sebanyak 147.081 orang (11,19%) pada 2020.

Kondisi itu termasuk yang melandasi lahirnya gerakan berbasis orang muda oleh Seni Tani. Setidaknya ada tiga aspek yang diperjuangkan Seni Tani, yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dari sisi lingkungan, Seni Tani mengubah lahan tidur di kawasan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) Arcamanik menjadi kebun pertanian organik. Lalu dari segi sosial, Seni Tani melibatkan orang muda dan komunitas setempat untuk mendapatkan pelatihan urban farming dan menyediakan akses pangan lokal dan sehat. Terakhir di aspek ekonomi, para petani muda kota yang tergabung dalam Seni Tani mendapatkan kepastian pendapatan dari hasil tani mereka dengan pendekatan sistem CSA atau Tani Sauyunan.

Contoh komoditas sayur organik hasil panen dari kebun-kebun yang dikelola Seni Tani maupun petani muda mitra
di Kota Bandung/Dokumentasi Seni Tani

“Sauyunan” bermakna kebersamaan, yang berarti sistem ini akan mendekatkan petani dan masyarakat secara langsung. Sampai dengan Oktober 2024, 189 orang warga Kota Bandung telah menjadi anggota CSA-Tani Sauyunan. Sejak Januari 2021, gerakan ini telah menggarap 913 m2 lahan tidur, mengolah 12.046 kg sampah dapur dan halaman, menghasilkan 6.023 kg kompos, dan memproduksi 1.934 kg sayuran sehat.

Inisiatif hebat dari orang muda tersebut disambut positif oleh AKATIGA, lembaga penelitian nonprofit yang berdiri sejak tahun 1991 dan didirikan oleh sekelompok peneliti ilmu sosial Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan International Institute of Social Studies Den Haag (ISS). Lembaga ini bergerak dengan tiga fokus kegiatan: penelitian sosial, monitoring dan evaluasi program-program pembangunan, serta rekomendasi kebijakan.

Sebagai upaya memastikan kelestarian sistem CSA oleh Seni Tani, kedua pihak kemudian sepakat membangun Konsorsium Paguyuban Pangan (PUPA) dengan program utama penguatan kapasitas komunitas dalam mengembangkan sistem pangan lokal Kota Bandung secara berkelanjutan. Dalam rilis resminya, AKATIGA meyakini CSA Tani Sauyunan sebagai peluang orang-orang muda untuk menciptakan lingkungan sosial, politik, dan ekonomi; yang memungkinkan orang muda memiliki akses dan kontrol lebih besar terhadap sumber daya penghidupan berkelanjutan di perkotaan.

Konsorsium ini adalah bagian dari program Urban Futures yang didukung oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis). AKATIGA berupaya mendukung perkembangan CSA Tani Sauyunan melalui kerangka riset dan advokasi kebijakan. Harapannya, kemudian mendorong ruang kebijakan yang dapat memfasilitasi sistem berbasis komunitas tersebut sebagai alternatif untuk memperkuat sistem pangan berkelanjutan di Kota Bandung.

Dalam pernyataan resminya di acara peluncuran Urban Futures di Pendopo Kota Bandung (8/3/2024), Vania Febriyantie, pendiri Seni Tani, menganggap Seni Tani bagaikan doa yang diaminkan lewat program Urban Futures. Baginya, sangat penting untuk mengenal asal makanan, siapa yang menanam, dan bagaimana cara menanam agar menimbulkan empati pada sepiring makanan yang tersaji. Ia berharap bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk menjaga ketahanan pangan di Kota Bandung secara berkelanjutan.

Program CSA-Tani Sauyunan menghubungkan distribusi produk sayuran antara petani dengan pemesan (pasar)
secara langsung/Dokumentasi Seni Tani

Gandeng tangan untuk ketahanan pangan Bandung

AKATIGA dan Seni Tani tidak bisa berjalan sendirian. Langkah progresif lewat bingkai Konsorsium PUPA perlu kawalan tangan multipihak untuk menjamin keberlanjutan. Sebab, pertumbuhan populasi penduduk merupakan keniscayaan. Kian banyak orang yang harus dicukupi kebutuhan pangan dan nutrisinya. Pun perubahan iklim terus menggerus bumi, menimbulkan ketidakpastian dalam sistem pertanian masyarakat. Butuh banyak tangan orang muda untuk saling bergandengan mewujudkan ketahanan pangan perkotaan.

Urban Futures menjadi salah satu medium untuk mewujudkan itu. Program global lima tahun (2023–2027) tersebut berfokus pada sistem pangan perkotaan, kesejahteraan golongan muda, dan aksi iklim. Di Indonesia, selain Manggarai Barat, pelaksanaan program yang dikelola Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis) dengan dukungan mitra, jaringan, dan pakar lokal tersebut juga berlangsung di Bandung. Acara kick-off Urban Futures Bandung berlangsung pada 5–6 Maret 2024 di Pendopo Kota Bandung. Sejumlah pemangku kepentingan hadir. Mulai dari Yayasan Humanis, Pemerintah Kota Bandung, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung, hingga pelaksana program Urban Futures di Bandung, seperti RISE Foundation dan Konsorsium KOPAJA. 

Dalam keterangannya melalui portal berita Pemerintah Provinsi Jawa Barat (8/3/2024), Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemerintah Kota Bandung Eric M. Attauriq menyambut positif kegiatan tersebut. Ia menyebut kolaborasi tidak hanya penting untuk mendukung ketahanan pangan, tetapi juga memberi kemudahan akses pangan berkelanjutan, beragam, dan bergizi. Baginya, Urban Futures sangat relevan dengan budaya kreatif yang dimiliki orang muda Kota Bandung dalam melakukan transformasi sistem pangan yang inklusif dan berkelanjutan.

Di sisi lain, Kepala DKPP Kota Bandung Gin Gin Ginanjar mengungkapkan rasa syukurnya karena, Kota Bandung mendapat kesempatan menyelenggarakan kegiatan Urban Futures. Ia menyebut kegiatan ini merupakan buah dari upaya Pemerintah Kota Bandung dalam menggalakkan program Buruan Sae, sebuah program pertanian perkotaan (urban farming) terintegrasi yang ditujukan untuk menanggulangi ketimpangan permasalahan pangan di Kota Bandung. Program ini mengajak masyarakat memanfaatkan pekarangan atau lahan yang ada untuk berkebun memenuhi kebutuhan pangan di lingkup keluarga.

Pernyataan dari perwakilan pemerintah daerah tersebut menunjukkan komitmen dan dukungan pada ikhtiar mewujudkan kemandirian pangan lokal, termasuk mengakomodasi peluang kolaborasi dengan inisiatif-inisiatif komunitas setempat. Tujuannya adalah agar Kota Bandung tidak bergantung pada wilayah lain.

Direktur Eksekutif Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, Tunggal Pawestri menyampaikan apresiasi terhadap Pemerintah Kota Bandung. Kota Kembang ini terpilih sebagai kolaborator berkat sejumlah prestasi serta rekam jejak aktivasi Pemerintah Kota Bandung dalam upaya menjaga ketahanan pangan. Lebih lanjut, Tunggal Pawestri mendorong generasi muda untuk menjadi aktor transformasi ketahanan pangan di masa depan.

Maka terbitnya Perda Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2024 tentang Pelayanan Bidang Pangan, Pertanian dan Perikanan, yang berimplikasi mendorong peningkatan produksi pangan lokal, perlu diterjemahkan lebih teknis ke dalam peraturan-peraturan turunan. Tujuannya, payung-payung hukum tersebut akan melindungi upaya peningkatan produksi pangan lokal berbasis masyarakat, memastikan akses pangan secara sehat dan aman, serta mencari bibit orang-orang muda lainnya sebagai garda terdepan dalam peningkatan produksi dan ketahanan pangan lokal di Kota Bandung. 


Referensi:

Adib, M. (2014). Pemanasan Global, Perubahan Iklim, Dampak, dan Solusinya di Sektor Pertanian. BioKultur, Vol.III/No.2/Juli–Desember 2014, hal. 420–429. https://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-bkbbfe09eddcfull.pdf.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2020). Kota Bandung dalam Angka 2020. Diakses dari https://bandungkota.bps.go.id/id/publication/2020/04/27/0a1cfa49906db067b3fb7e5e/kota-bandung-dalam-angka-2020.html.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2021). Kota Bandung dalam Angka 2021. Diakses dari https://bandungkota.bps.go.id/id/publication/2021/02/26/2fb944aeb2c1d3fe5978a741/kota-bandung-dalam-angka-2021.html.
Badan Pusat Statistik Kota Bandung. (2023). Kota Bandung dalam Angka 2023. Diakses dari https://bandungkota.bps.go.id/id/publication/2023/02/28/13fdfc9d27b1f2c450de2ed4/kota-bandung-dalam-angka-2023.html.
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung. (2022). Rencana Strategis (Renstra) Perubahan Kota Bandung 2018–2023. Diakses dari https://ppid.bandung.go.id/storage/ppid_pembantu/informasi_setiap_saat/dS2XItXwdwGYkIrVET4EaaEYPawo6S1qeq4FFWUZ.pdf.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional. SIPSN. Diakses dari https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/.
Pertiwi, S. T., Moeliono, M. F., dan Kendhawati, L. (2021). Depresi, Kecemasan, dan Stres Remaja selama Pandemi Covid-19. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI HUMANIORA, Vol. 6, No. 2, September 2021. DOI: http://dx.doi.org/10.36722/sh.v6i2.497.

Foto sampul: Inisiatif orang muda peduli sistem pangan berkelanjutan lewat gerakan Seni Tani di Kota Bandung, Jawa Barat/Dokumentasi Seni Tani


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyambut Inisiatif Orang Muda Bandung dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Perkotaan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyambut-inisiatif-orang-muda-bandung-dalam-mewujudkan-ketahanan-pangan-perkotaan/feed/ 1 44560
Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan https://telusuri.id/saatnya-orang-muda-manggarai-raya-berdaulat-atas-pangan-berkelanjutan/ https://telusuri.id/saatnya-orang-muda-manggarai-raya-berdaulat-atas-pangan-berkelanjutan/#respond Wed, 03 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42272 Sebagai kelompok etnis paling barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Manggarai memiliki jejak panjang histori dan corak kebudayaan yang menarik. Mulai dari sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal dan tatanan sosial di masa lampau yang pernah...

The post Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai kelompok etnis paling barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Manggarai memiliki jejak panjang histori dan corak kebudayaan yang menarik. Mulai dari sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan lokal dan tatanan sosial di masa lampau yang pernah dikuasai secara bergantian oleh Kesultanan Bima (Sumbawa) dan Kesultanan Gowa (Sulawesi); sampai dengan ritus-ritus adat sebagai bentuk harmoni dengan alam di sekitarnya. Masyarakatnya tersebar di tiga kabupaten yang biasa disebut kawasan Manggarai Raya, yaitu Manggarai Timur, Manggarai, dan Manggarai Barat. 

Tak hanya itu. Sebagai bagian dari budaya, alam dataran rendah Flores yang relatif kering dengan curah hujan rendah, menumbuhkan komoditas-komoditas pangan endemik dan unik. Salah satu yang khas adalah sorgum atau garai. Produk kuliner yang sempat lama melekat sebagai bahan pokok utama di NTT selain jagung.

Namun, gempuran beras dan kenikmatan tepung terigu (seperti digunakan pada adonan mi dan roti) turut berkontribusi pada terpinggirkannya sorgum dari daftar utama makanan pokok. Liputan Tirto (04/10/2023) menyebutkan bahwa banyak generasi muda tidak tahu nama dan bentuk sorgum itu sendiri. Sebab sorgum dan varietas pangan lokal lainnya sudah digeser dari meja makan orang-orang NTT, tak terkecuali di Manggarai Raya. Padahal sorgum jauh lebih bermanfaat dan sehat karena bebas gluten, tetapi terabaikan saat program swasembada beras merebak di masa Orde Baru.

Kini, belakangan mulai tumbuh optimisme dan kepercayaan diri untuk mengangkat kembali aneka pangan lokal yang terlupakan. Satu hal yang menarik, harapan itu muncul dari generasi muda, khususnya di Manggarai Raya. Manggarai Raya, khususnya Manggarai Barat, bukan hanya membicarakan Labuan Bajo dan komodo. Di balik gemerlap polesan destinasi wisata super premium, terdapat gebrakan para orang muda yang peduli pada kehidupan berkelanjutan. Salah satunya dengan upaya melestarikan pangan lokal dengan memanfaatkan komoditas-komoditas yang tumbuh di sekitar rumah. Menyeimbangkan kebutuhan ekonomi sekaligus fungsi ekologis.

Bisnis lestari di Lembah Pesari

Tidak terlalu jauh dari gemerlap destinasi wisata super premium Labuan Bajo, kira-kira berjarak tak lebih dari 20 km, nyala terang kiprah perempuan Flores tergambar pada sosok Elisabet Yana Tararubi (39). Seorang lulusan D3 kebidanan dan pernah bekerja di salah satu klinik di Banyuwangi, Jawa Timur, yang kemudian mengubah haluan hidupnya untuk berdikari di tanahnya sendiri.

Bersama sang suami, perempuan kelahiran Sikka itu mendirikan Sten Lodge Eco Homestay di kampung Melo, Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Manggarai Barat. Di dalamnya, Dapur Tara yang menjadi bagian penginapan ramah lingkungan tersebut menjadi daya tarik lebih bagi pengunjung, baik itu dari kalangan domestik maupun mancanegara. Kedua bidang bangunan itu bersanding dengan kebun berlimpah varietas lokal yang jadi kebanggaan Liz, sapaan akrabnya.

Pernyataan yang disampaikan di akun Instagram pribadinya, saat Najwa Shihab—jurnalis kenamaan—berkunjung ke Dapur Tara belasan minggu yang lalu, menegaskan misi utama Liz dalam melestarikan sumber-sumber pangan lokal yang terlupakan. “Hari ini, [kami] menyediakan apa yang dikasih semesta,” katanya.

Dalam usahanya menjaga keberlanjutan lingkungan di Lembah Pesari, nama lain dari daerah yang ia tempati sekarang, Liz memutuskan untuk menerapkan teknik permakultur tradisional. Keputusan itu lahir dari kesadarannya akan bahaya pertanian dengan pola tanam monokultur yang kurang berkelanjutan. Hasil makanan yang ia olah bukan hanya untuk dirinya dan keluarga, melainkan juga tamu-tamu yang menginap di homestay miliknya

Liz (kiri) dan sudut kebun permakultur di kompleks Dapur Tara dan homestay miliknya (Instagram Dapur Tara Flores)

Menurut Kementerian Pertanian, permakultur merupakan salah satu desain sistem produksi pangan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Lanskap produksi pangan yang dikerjakan meniru keragaman dan ketahanan ekosistem alami yang tumbuh di lingkungan sekitar.  Sistem ini mendasarkan pendekatan desain holistik dengan kepedulian terhadap kesehatan lingkungan. Salah satu penerapan permakultur yang dilakukan Liz adalah menanam berbagai jenis tanaman sesuai fungsinya dalam mendukung ekosistem. Misalnya, rumput untuk meningkatkan sumber air bersih, lalu tanaman kemangi dan serai yang mampu mengurangi populasi hama serangga yang berpotensi merugikan.

Namun, ada satu kendala yang ia hadapi, yaitu belum adanya pasokan listrik di tempat tinggalnya itu sehingga ia tidak bisa memanfaatkan lemari pendingin untuk menyimpan makanan. Sebagai solusi agar kualitas bahan makanan tetap terjaga, Liz aktif mempraktikkan metode pengawetan tradisional, seperti pengasapan dan pengawetan sambal dalam bambu.

Bisnis lestari yang dilakukan Liz memang sekilas tidak “seksi” atau jauh dari kata “modern”. Akan tetapi, ia melakukannya untuk menciptakan kedaulatan pangannya sendiri demi masa depan berkelanjutan. Di tengah maraknya jual beli lahan untuk keuntungan individu dan atas nama pengembangan pariwisata, Liz menitipkan pesan. Ia mengatakan, “Penting sekali untuk tidak menjual tanah yang kita punya, sebab tanah dan hutan adalah sumber makanan dan obat-obatan yang tak ternilai harganya.”

Perenungan berbuah kecap raping

Namanya Angela Ratna Sari Biu. Akrab disapa Angel Biu. Perempuan muda asal Desa Kajong, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai ini adalah seorang lulusan S-1 Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana, Kupang. Namanya mencuat ke publik ketika ia mulai dikenal setelah menemukan kecap raping atau kecap berbahan gula aren beberapa tahun lalu.

Pertemuan Angel Biu dengan kecap raping tidak berlangsung tiba-tiba. Semua bermula pada perenungan Angel Biu terhadap perjalanannya berbisnis pangan selama lima bulan. Penggunaan plastik dalam bahan baku dan kemasan makanan yang dijual membuatnya sadar jika telah berkontribusi pada kerusakan lingkungan. 

Sejak saat itu, Angel Biu mulai mengubah sudut pandang dan pola bisnisnya. Ia berupaya mengolah pangan lokal untuk mengurangi potensi sampah anorganik yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Meskipun awalnya merasa kebingungan, ia menantang dirinya sendiri untuk menciptakan resep-resep baru yang unik dan menarik bagi konsumen.

Pelbagai riset maupun wawancara ke masyarakat lokal dilakoni Angel Biu. Hingga akhirnya ia sampai pada satu simpulan setelah berbicara dengan para petani gula aren. Mereka mengungkapkan masalah yang sering dihadapi, yaitu produksi gula aren berlebih. Angel Biu pun kembali merenung, mengapa tidak mengolah sisa gula aren menjadi sesuatu yang baru? 

Pertanyaan kunci tersebut menghasilkan jawaban-jawaban setelahnya. Angel Biu menemukan bahwa rasa dari gula aren hampir sama dengan kecap, yang manisnya disukai oleh banyak ibu di dapur mereka. Ia juga menyadari pohon aren merupakan varietas lokal yang tumbuh di lingkungan sekitar, sehingga mengolah limbah gula aren menjadi kecap merupakan solusi yang tepat dan berkelanjutan. Pengolahan sisa gula aren menjadi kecap ramah lingkungan itu diberi nama kecap raping. Dalam bahasa Manggarai, “raping” berarti aren.

Angel Biu (kiri) dan produk kecap gula aren cap Raping sebagai salah satu produk unggulan UMKM Hekang Dite (Instagram Angel Biu dan Hekang Dite)

Pada 2021, ia mendirikan UMKM Hekang Dite dan menjadi direktur program untuk memperluas bisnisnya. Tujuan utamanya sesuai nama “hekang” yang tersemat di jenama tersebut, yang dalam bahasa setempat berarti rumah. Angel Biu ingin membawa konsep rumah untuk menjadi tempat yang dekat dan akrab bagi masyarakat lokal.

Tentu saja jalan Angel Biu tak semulus yang dibayangkan. Menurutnya, penerapan lingkungan berkelanjutan di Manggarai Barat masih memiliki banyak tantangan. Meskipun sudah ada banyak advokasi tentang keberlanjutan, implementasinya masih minim. Sebab, banyak yang mengira bahwa keberlanjutan hanya berkaitan dengan isu lingkungan. Padahal konsep berkelanjutan sebenarnya melibatkan semua aspek kehidupan. Belum lagi berbagai macam stereotip, seperti budaya patriarki yang masih menempatkan laki-laki sebagai peran sentral, atau pandangan miring padanya sebagai lulusan universitas yang harusnya bekerja di perusahaan besar.

Namun, tantangan demi tantangan yang dihadapi bukanlah akhir perjalanan. Angel Biu percaya diri untuk terus maju dan tidak takut dengan jalan hidupnya berbisnis pangan lokal yang ramah lingkungan. Sebab baginya, setiap kontribusi, sekecil apa pun itu memiliki nilai yang baik. Ia berpesan kepada semua perempuan di mana pun berada, “Mereka tidak perlu takut untuk bermimpi dan menekuni passion mereka, karena setiap pribadi memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang.”

Setiap orang berhak atas pilihan hidupnya. Semua memiliki kesempatan yang sama untuk setara.

Urun tangan orang muda lewat Urban Futures

Kiprah-kiprah orang muda Manggarai Raya tersebut merupakan secercah harapan bagi pelestarian sumber daya pangan lokal dan lingkungan. Namun, mereka tidak bisa berjalan sendirian. Harus ada urun tangan orang-orang muda lainnya, bahkan lintas generasi, serta sinergi lintas sektor untuk mewujudkan transformasi sistem pangan perkotaan yang lebih berkelanjutan. 

Salah satu langkah progresif untuk mewujudkan itu adalah melalui Urban Futures. Sebuah program global berjangka waktu lima tahun yang dikelola Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis). 

Di Indonesia, Manggarai Barat merupakan kota pertama (disusul Bandung) untuk peluncuran Urban Futures. Acara yang berlangsung pada 24 Januari 2024 di Aula Sekretariat Pemerintah Daerah Manggarai Barat tersebut diresmikan Yayasan Humanis bersama dengan Kementerian PPN/Bappenas, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, dan Koalisi Pangan Bernas yang mencakup Yayasan KEHATI selaku ketua serta Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) dan Yakines sebagai anggota. Tujuan penyelenggaraan program Urban Futures adalah untuk memadukan sistem pangan perkotaan, kesejahteraan generasi muda, dan aksi iklim untuk partisipasi aktif orang muda dalam transformasi pangan yang ramah lingkungan dan inklusif.

Menyambut baik program ini, Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas, Jarot Indarto, Ph.D., mengatakan, “Fokus utama kami hingga tahun 2027 adalah memperkuat aspek pangan lokal, memanfaatkan sumber pangan alternatif seperti yang terdapat di wilayah pesisir, mengurangi pemborosan dan limbah pangan, meningkatkan kandungan gizi melalui biofortifikasi, dan menyediakan data yang dapat menjadi dasar bagi pengambilan keputusan.”

Angel Biu, pendiri UMKM Hekang Dite Manggarai dan pebisnis kecap raping, turut hadir menyampaikan kisah inspiratifnya dalam acara ini. “Orang muda bukan masa lalu dan bukan masa depan, tetapi masa sekarang. Orang muda harus aktif, kreatif, dan inovatif untuk memanfaatkan sumber daya lokal,” tegasnya.

Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan
Petrus Antonius Rasyid dari Bappeda Kabupaten Manggarai Barat (kiri) memberikan cendera mata kepada Marius Bria Nahak, pemilik usaha Kopi Wamor Labuan Bajo/Koalisi Pangan Bernas

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Marius Bria Nahak, orang muda yang mendirikan usaha kopi Manggarai bernama Kopi Wamor Labuan Bajo. Menurutnya, masyarakat lokal Manggarai sendiri juga berhak menikmati kopi berkualitas. Tak melulu hasilnya diekspor ke luar negeri.

Urban Futures memercayai bahwa wirausaha muda, seperti halnya Liz, Angel Biu, dan Marius bukanlah hal baru. Namun, ekosistem yang mewadahi mereka masih minim. Oleh karena itu, Urban Futures ingin merangkul orang muda dan UMKM untuk mencapai kedaulatan pangan yang inklusif dan berkelanjutan.

“Orang muda memiliki identitas dan posisi unik dalam masyarakat, namun ruang-ruang atau ekosistem dalam sistem pangan yang dapat mewadahi aspirasi orang muda masih belum tersedia,” ucap Rebecca, perwakilan dari Pamflet Generasi, salah satu mitra program Urban Futures.

Kedaulatan pangan adalah masa depan. Berdaulat pangan berarti berdaulat atas kehidupan.


Foto sampul: Acara Kick-off Program Urban Futures di Manggarai Barat/Koalisi Pangan Bernas


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Saatnya Orang Muda Manggarai Raya Berdaulat atas Pangan Berkelanjutan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/saatnya-orang-muda-manggarai-raya-berdaulat-atas-pangan-berkelanjutan/feed/ 0 42272
Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi https://telusuri.id/tak-ada-nasi-growol-pun-jadi/ https://telusuri.id/tak-ada-nasi-growol-pun-jadi/#respond Thu, 18 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41717 Sejujurnya saya tidak begitu khawatir saat pembelian beras di minimarket mulai dibatasi, seperti yang terjadi belakangan ini. Saya malah jauh lebih khawatir kalau sumber karbohidrat lainnya yang menghilang di pasaran. Maklum, keluarga saya terbilang cukup...

The post Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejujurnya saya tidak begitu khawatir saat pembelian beras di minimarket mulai dibatasi, seperti yang terjadi belakangan ini. Saya malah jauh lebih khawatir kalau sumber karbohidrat lainnya yang menghilang di pasaran. Maklum, keluarga saya terbilang cukup dekat dengan golongan umbi-umbian, mulai dari singkong, ubi jalar, uwi hingga tanaman garut atau nggarut. Selain itu di sekitar tempat tinggal saya, sumber karbohidrat nonberas masih cukup mudah ditemui.

Bagi saya pribadi, karbohidrat tidak melulu harus bersumber dari satu atau dua centong nasi. Soalnya diversifikasi karbo yang bersumber dari umbi tidak kalah enaknya, kok. Apalagi kalau dinikmati lengkap dengan kombinasi lauk selayaknya makan nasi. Kalau disantap dengan nilai gizi yang seimbang sesuai anjuran kesehatan, rasa-rasanya tidak perlu khawatir yang berlebihan saat menemui kelangkaan beras di pasar atau supermarket. Sebab selain nasi, masih banyak opsi karbo lain yang bisa dinikmati. 

Singkong, misalnya. Dilansir dari Kompas.com, dokter dan ahli gizi masyarakat DR. dr. Tan Shot Yen, M.Hum. menjelaskan bahwa dalam 100 gram nasi mengandung 129 kkal kalori dengan 27,9 gram karbohidrat, sedangkan 100 gram singkong mengandung sekitar 160 kkal dengan 38,06 gram karbohidrat. Dengan harga yang jauh lebih rendah dari beras, seperti halnya nasi, singkong juga dapat diolah menjadi beragam sumber karbohidrat yang enak dan mengenyangkan. Macam tak ada nasi, olahan singkong pun jadi. 

Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi
Saya biasa memakan growol sebagai pengganti nasi, lengkap dengan sayur dan lauk/Retno Septyorini

Menikmati Growol, Pengganti Nasi yang Tak Kalah Enak

Di sekitar tempat tinggal saya di Yogyakarta, singkong berhasil diolah menjadi beragam makanan yang cukup eksis di kancah lokal. Selain ada yang diolah menjadi camilan bercita rasa manis, seperti getuk, gatot, dan tiwul. Ada pula yang diolah khusus menjadi pengganti karbo, di antaranya telo kukus, telo liwet (singkong yang dimasak dengan santan gurih), tiwul gurih (biasa dijual paketan bersama dengan urap dan ikan asin), mie lethek, dan growol. Kudapan yang disebut terakhir adalah olahan singkong khas Kulon Progo.

Lini penjualan growol bahkan sudah sampai Pasar Bantul. Salah satu pasar tradisional yang kerap menjadi rujukan saya untuk berbelanja sayur. Jadinya, selain ngliwet telo, sampai sekarang growol masih menjadi alternatif karbohidrat yang acap kali tersedia di rumah. Sayangnya, saya sendiri belum pernah melihat pembuatan growol secara langsung. Sedari dulu tahunya hanya lokasi jualan growol di pasar tersebut.

Growol sendiri dibuat dengan mengolah singkong kupas yang direndam selama beberapa hari. Saat proses perendaman, air akan diganti setiap hari. Selanjutnya untuk menghilangkan aroma kecing (asam), singkong dicuci berulang kali sampai bersih, Setelah itu singkong masuk ke tahap penggilingan, pengukusan, dan pencetakan. Di Pasar Bantul, growol utuh dicetak dalam bentuk menyerupai tabung dengan diameter sekitar 20 cm. Harga jual growol tergantung besar kecilnya ukuran cetakan.

Tak hanya utuhan, growol juga dijual dalam bentuk potongan dengan harga mulai Rp2.500. Selain dimanfaatkan sebagai pengganti nasi, growol di rumah saya sering diolah dengan cara digoreng dalam balutan tepung asin yang tipis. Bisa dinikmati bersama dengan lauk yang ada tersedia di rumah. Sekilas bentuk dan tekstur growol mirip getuk. Keduanya sama-sama empuk dan tanpa serat, tetapi hanya beda di cita rasa saja. Kalau getuk condong ke manis, sedangkan growol cenderung tawar dengan sekelebat aroma asam. 

Di Bantul, growol biasa dijual bersama dengan pasangannya yang bernama kethak. Kethak merupakan kudapan yang dibuat dari ampas atau sisa pembuatan minyak kelapa (blondo), dengan ditambah bumbu manis maupun asin. Oleh karena itu di Pasar Bantul juga terdapat dua jenis kethak, yakni kethak manis dan kethak asin. Karena bukan penggemar kudapan manis, saya cenderung membeli kethak asin sebagai pelengkap growol. Seporsi kethak gurih biasa dijual dengan harga Rp5.000. 

  • Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi
  • Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi
  • Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi

Manfaat Growol

Meski terlihat sederhana, ditengarai growol baik dikonsumsi bagi penderita diabetes karena menawarkan indeks glikemik (IG) yang rendah. Indeks glikemik merupakan penanda yang digunakan untuk mengetahui seberapa cepat makanan yang dikonsumsi akan berpengaruh pada kenaikan gula dalam darah. 

Semakin tinggi indeks glikemik dalam suatu makanan, semakin cepat pula makanan tersebut menaikkan kadar gula dalam darah. Sebaliknya, semakin rendah indeks glikemik suatu makanan, maka semakin lama pula reaksi makanan tersebut menaikkan gula darah. Tidak heran jika kini beragam makanan dengan indeks glikemik rendah mulai banyak diminati. Tujuan pokoknya sebagai bentuk pencegahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh lonjakan gula darah. Termasuk si growol khas Kulon Progo ini. 

Karena sudah lumayan lama mengenal growol, saya sangat mengapresiasi kinerja para pembuat growol yang senantiasa berinovasi dari waktu ke waktu. Pasalnya dulu growol dikenal luas dengan sebutan growol kecing. Sesuai namanya, growol di masa lampau memang berbau asam yang cukup menyengat di hidung. Jadi, jangan heran kalau dahulu penggemar growol kebanyakan adalah orang tua atau lansia. Terutama mereka yang harus menjalani pola makan sehat agar kadar gula dalam darah tetap terjaga.

Seiring berjalannya waktu pula, belakangan bau kecing dari growol sudah banyak berkurang. Kalaupun ada, baunya hanya sepintas lalu saja. Di indra penciuman saya, saat ini bau asam dari growol tidak begitu mengganggu sehingga sama sekali tidak mengurangi selera makan saya untuk menikmatinya.

Sekiranya penasaran ingin mencicipi sensasi makan growol saat berkunjung ke Bantul, teman-teman bisa langsung menuju jalan di belakang Pasar Bantul. Kios growol tepat berada di selatan pintu belakang pasar, tepatnya pasar yang berada di sisi timur.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tak Ada Nasi, Growol pun Jadi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tak-ada-nasi-growol-pun-jadi/feed/ 0 41717
“Hula-Keta”, Melihat Maluku dari Sagu https://telusuri.id/hula-keta-melihat-maluku-dari-sagu/ https://telusuri.id/hula-keta-melihat-maluku-dari-sagu/#respond Tue, 29 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39685 Berbicara mengenai Maluku, sepintas yang tersaji di lembar sejarah hanya berkutat pada komoditas rempahnya yang begitu mendunia pada abad perniagaan. Di baliknya terdapat narasi besar mengenai ritme perdagangan dunia yang memengaruhi hadirnya gelombang kolonialisme Eropa...

The post “Hula-Keta”, Melihat Maluku dari Sagu appeared first on TelusuRI.

]]>
Berbicara mengenai Maluku, sepintas yang tersaji di lembar sejarah hanya berkutat pada komoditas rempahnya yang begitu mendunia pada abad perniagaan. Di baliknya terdapat narasi besar mengenai ritme perdagangan dunia yang memengaruhi hadirnya gelombang kolonialisme Eropa besar-besaran. Seolah Maluku sendiri tak memiliki identitas yang kuat selain mengandalkan komoditas rempahnya, serta narasi yang terbawa oleh para bangsawan Eropa kala itu. Alhasil kami yang meyakini adanya peristiwa sejarah turut mengamini dan melanggengkan narasi tersebut.

Padahal sebagaimana tradisi tutur yang berkembang di Maluku, bangsa Portugis dan Spanyol yang merapat ke daerah itu mampu bertahan selama berabad-abad lamanya hanya dengan mengonsumsi pangan lokal. Pangan tersebut merujuk pada olahan sagu yang sampai sekarang jarang terekam oleh sejarah.

Di dalam sagu terdapat pengetahuan lokal, seperti teknik pengelolaan serta budaya masyarakat yang sampai hari ini masih bertahan. Sekalipun pada masa pemerintahan Soeharto, sagu tersebut sempat mengalami penyingkiran akibat kebijakan penyeragaman pangan yang berlangsung di hampir setiap daerah.

Diskusi Film Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu

Prolog tersebut merupakan catatan elaborasi mengenai sebuah diskusi yang berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta pada 21 Juni 2023. Diskusi sekaligus screening dokumenter tersebut merupakan inisiasi Lingkar Studi Sejarah (LSS) Arungkala Yogyakarta bersama tim produksi film Hula-Keta: Bukan Maluku Tanpa Sagu.

Membawa historiografi mengenai sagu yang jarang diproduksi oleh narasi sejarah di Indonesia, film Hula-Keta berupaya menyoroti cara memperoleh, mengolah, hingga mengonsumsi sagu, serta kaitannya dengan konteks tradisi yang berlangsung di kawasan Maluku Utara. Bahkan dalam tagline-nya, film ini membawa premis “Bukan Maluku Tanpa Sagu” yang menegaskan pentingnya sagu bagi kehidupan masyarakat di daerah tersebut.

Menurut Daya, produser di balik terciptanya film tersebut, mengungkapkan alasan di balik pemilihan nama “Hula-Keta”. “Hula” memiliki arti sagu bagi masyarakat Maluku, serta “Keta” mengacu pada teknik pengolahannya, yakni memanggang.

Hula itu sagu, sedangkan keta memiliki makna panggang. Istilah keta kerap masyarakat Maluku gunakan untuk merujuk pada cetakan sagu,” pungkasnya sembari menjawab pertanyaan dari pengunjung.

Daya juga mengisahkan pengalamannya selama satu minggu berada di Maluku. Pada saat itu, orang di luar Maluku kerap mengenal makanan khas Maluku Utara itu dengan sebutan roti sagu. Namun, bagi masyarakat Maluku Utara sendiri istilah tersebut justru asing. Mereka malah lebih mengenal hula sebagai makanan yang telah menghidupi mereka sehari-hari.

Sejalan dengan hal tersebut, Hula-Keta berupaya menyoroti beberapa aktivitas warga lokal yang sehari-harinya mengonsumsi sagu. Biasanya mereka mengonsumsi sagu sembari menyeduh teh di pagi hari, atau kerap menyelingi dengan beberapa lauk tambahan, seperti ikan, daging, sayur, hingga kudapan lainnya. Bahkan yang menarik, sedari bayi masyarakat Maluku Utara sudah terbiasa mengonsumsi sagu encer yang lebih menyerupai papeda. Maka sejalan dengan kehidupan mereka, sagu begitu menumbuh melalui identitas maupun kebutuhan mereka.

Selain menyoroti ihwal konsumsi, film Hula-Keta juga menghadirkan cara memperoleh dan mengolah sagu. Di beberapa adegan, terdapat adanya para lelaki yang mengambil hula dari ketela pohon yang kemudian menggunakannya sebagai bahan dasar pembuatan sagu. Setelah mendapatkan bahan dasar tadi, kemudian para ibu mengolahnya melalui alat cetak khas mereka yang terbuat dari tanah liat. Olahan tersebut menghasilkan bentuk hula yang lebih menyerupai roti kotak dengan kepulan asap yang masih segar.

  • "Hula-Keta", Melihat Maluku dari Sagu
  • "Hula-Keta", Melihat Maluku dari Sagu

Alternatif Pangan di tengah Gempuran Beras

Saya sendiri berkesempatan menjadi moderator selama berlangsungnya diskusi tersebut. Saya berhasil mencatat beberapa poin yang kiranya menarik untuk dibicarakan. Salah satu poinnya adalah kehadiran sagu atau hula sebagai alternatif pangan di tengah ketergantungan akut masyarakat dengan beras.

Sejalan dengan itu, Shinta Dewi Novita Sari selaku pengulas ketahanan pangan pada film tersebut turut menegaskan pentingnya kehadiran sagu. Menurutnya sagu bisa menjadi alternatif pangan lokal maupun nasional, karena pengelolaannya yang tidak memakan banyak ruang. Serta kandungan di dalamnya yang lebih minim risiko daripada beras. Adapun beras sendiri kerap menjadi masalah, lantaran kurangnya lahan pengolahan serta kandungan gulanya yang berisiko pada diabetes.

Di luar konteks biologis, sagu sendiri ternyata bisa ditarik dengan konteks sejarah dan politik di negeri ini. Hal tersebut ditegaskan oleh Subiyanto, sutradara di balik hadirnya film Hula-Keta. Menurutnya, sebelum para tim produksi terjun ke lapangan, beberapa dari mereka melayangkan pembacaan bahwa masyarakat Maluku hari ini telah mengalihkan sagu menjadi beras. Pembacaan tersebut berdasarkan pada konteks kebijakan penyeragaman pangan oleh rezim Orde Baru ke berbagai daerah di Indonesia.

Akan tetapi, pembacaan tersebut segera dinegasikan dengan kondisi faktual di lapangan. Ternyata sampai hari ini masyarakat Maluku Utara, sedari bayi sampai lansia, masih menjadikan sagu sebagai kebutuhan utama. Bahkan sagu dapat mereka peroleh dengan mudah di pasar layaknya mencari mi instan di warung.

Berangkat dari diskusi tersebut, saya sendiri menyadari betapa pentingnya pengetahuan lokal bagi kelangsungan masyarakat lokal itu sendiri. Ketika penduduk Jawa hari ini amat bergantung terhadap beras, justru di Maluku Utara ketergantungan tersebut tidak begitu berlaku lantaran kuatnya pengetahuan lokal yang mereka tanamkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Hula-Keta”, Melihat Maluku dari Sagu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hula-keta-melihat-maluku-dari-sagu/feed/ 0 39685
Perempuan dan Pangan Lokal: Merayakan Hari Kartini dan Hari Bumi 2023 https://telusuri.id/perempuan-dan-pangan-lokal-merayakan-hari-kartini-dan-hari-bumi-2023/ https://telusuri.id/perempuan-dan-pangan-lokal-merayakan-hari-kartini-dan-hari-bumi-2023/#respond Tue, 18 Apr 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38360 Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan panel ilmiah antarpemerintah di bawah United Nations, perempuan memiliki peran penting dalam isu ketahanan pangan dunia. Dalam data FAO, badan pangan dunia, perempuan memproduksi lebih dari 50%...

The post Perempuan dan Pangan Lokal: Merayakan Hari Kartini dan Hari Bumi 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan panel ilmiah antarpemerintah di bawah United Nations, perempuan memiliki peran penting dalam isu ketahanan pangan dunia. Dalam data FAO, badan pangan dunia, perempuan memproduksi lebih dari 50% kebutuhan pangan dunia. Andil besar itu berawal dari lingkaran terkecil, yaitu keluarga. Pembentukan pola konsumsi keluarga pun berlanjut ke tingkat komunitas maupun pengembangan usaha pangan lokal.

Hasil kajian Pusat Studi Wanita UGM tahun 2010 memperkuat hal itu. Perempuan bahkan mempunyai peran sentral dalam melakukan konservasi alam. Terutama berkaitan dengan lingkungan sekitar dan di daerah sumber pangan yang dikerjakan. Peran ganda di ranah domestik maupun publik menjadi faktor yang signifikan dalam upaya memenuhi dan memastikan ketersediaan dan ketahanan pangan.

Di satu sisi, dilema mengadang di depan mata. Laporan jurnal Nature Food tahun 2021 menyebut sektor pangan juga memiliki kontribusi sebesar 35 persen terhadap emisi global. Namun, perubahan iklim ekstrem turut mengancam. Climate Change 2023: Synthesis Report menyatakan bahwa peningkatan laju krisis iklim dapat dan telah mengurangi ketahanan pangan serta memengaruhi ketersediaan air.

Sebagai bentuk langkah kecil untuk meningkatkan kesadaran akan isu tersebut, dalam rangka meramaikan rangkaian #RamadanBarengTelusuRI serta merayakan Hari Kartini dan Hari Bumi 2023, TelusuRI menyelenggarakan seminar daring pada 15 April 2023, pukul 15.00-16.30 WIB. Berkolaborasi dengan Kalara Borneo dan SayaPejalanBijak, webinar kali ini mengangkat tema “Perempuan dan Pangan Lokal”. 

Didi Kaspi Kasim, narasumber dari National Geographic Indonesia
Didi Kaspi Kasim, narasumber dari National Geographic Indonesia

Perempuan Lebih Jeli Melihat Potensi Pangan Lokal

Dalam sesi diskusi yang dimoderatori oleh Novrisa Briliantina, TelusuRI mengundang tiga narasumber: Wida Winarno (Co-Founder Indonesian Tempe Movement), Yohana Tamara (Co-Founder Kalara Borneo), dan Didi Kaspi Kasim (Editor in Chief National Geographic Indonesia). 

Sesi pertama memberikan kesempatan untuk Didi Kasim. Dari rumahnya di Jakarta, ia berbagi informasi tentang ekspedisi Saya Pejalan Bijak bersama National Geographic Indonesia. Pria berkacamata itu baru saja pulang dari perjalanan menyusuri kawasan Sausapor, Kabupaten Tambrauw hingga Misool Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papu Barat. 

“Kalau melihat perempuan, alam, dan lingkungan, saya pikir tidak ada cerita terbaik yang bisa kita dapatkan selain dari Papua. Mama-mama Papua adalah figur yang mampu menjaga komunitasnya dari perubahan teknologi dan perubahan zaman. Bagi mereka, alam adalah ibu dari semuanya. Sosok ibulah yang hari ini menjaga keutuhan masyarakat,” tutur Didi membuka cerita.  

Salah satu tujuan ekspedisi tersebut adalah menyoroti sebuah acara bernama Sasi. Semacam acara kesepakatan warga antarkampung. Para mama menyepakati bahwa mereka tidak akan mengambil apa pun dari laut selama November-April. Khususnya lobster, teripang, dan oyster (tiram). Mereka percaya bahwa saat itulah laut menyembuhkan dirinya sendiri. 

“Cerita-cerita seperti itu menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran kunci dalam roda perubahan dan kebaikan,” tegas Didi.

Bergeser ke Bogor, Wida Winarno menceritakan perjalanan terbentuknya Indonesian Tempe Movement. Sebuah organisasi nonprofit yang melihat potensi besar dari tempe dari sisi ilmiah dan nilai ekonomis, yang selama ini sebagian orang memandang sebelah mata. Menurut Wida, meskipun orang Indonesia lebih gemar makan tempe dari kedelai, sebenarnya masih banyak jenis kacang-kacangan lain yang dapat “ditempekan”. 

“Dari sisi ilmu pengetahuan, tempe baik untuk dipromosikan. Tempe adalah produk asli milik bangsa dan memiliki potensi menyelesaikan beberapa masalah gizi dan lingkungan yang dialami Indonesia,” jelas Wida. 

Indonesia Tempe Movement juga sangat memerhatikan keterlibatan perempuan. “Kami telah berkolaborasi dengan 14 negara dengan segudang aktivitas yang banyak menggerakkan perempuan.. Mulai dari edukasi hingga workshop pembuatan tempe, menceritakan hal-hal baik dari tempe yang berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan,” tambahnya.

  • Wida Winarno, narasumber dari Indonesian Tempe Movement/TelusuRI
  • Profil Indonesian Tempe Movement
  • Menggali potensi tempe yang selama ini kerap terabaikan

Peran Perempuan terhadap Ketahanan Pangan Lokal

Yohana Tamara dari Pontianak mengungkapkan hal senada tatkala mengembangkan Kalara (Kalimantan Lokal Karya) Borneo. Sebuah merek yang berfokus mengolah hasil alam hutan non-kayu khas Kalimantan menjadi produk berkualitas.

Ara—panggilan akrabnya—mendorong hilirisasi produk mentah menjadi lebih bernilai ekonomis dan berkelanjutan. Kalara adalah jalan perjuangan atas keresahan Ara terhadap potensi komoditas hutan lokal yang kerap terbuang sia-sia.

Contoh saja buah asam maram. Buah yang mirip salak dan mampu tumbuh sepanjang tahun di lahan gambut. Dari semula hanya jadi bahan olahan rujak, Ara menyulapnya menjadi produk turunan berupa sirup maram. Selain maram, tersedia pula produk olahan gula aren dan kakao (cokelat). Hal menarik adalah tulang punggung utama proses hilirisasi ini adalah perempuan.

“Di Kalimantan, masyarakat adat yang berperan dalam keseharian dan pangan lokal, lalu meneruskan tradisi-tradisi setempat kebanyakan perempuan. Mulai dari mencari, mengumpulkan buah maram, sampai membantu pengolahan adalah ibu-ibu dan anak perempuannya,” tutur Ara.

Proses perenungan panjang dan membaca banyak referensi membawa Wida pada sebuah kesimpulan: peran perempuan sangat besar untuk menjaga ketahanan pangan. Kuncinya adalah mencerdaskan perempuan sejak dini. “Kalau mau punya bangsa yang isinya orang-orang pintar, maka kita harus membuat perempuan pintar supaya generasi berikutnya pintar.”

Wida juga menambahkan bahwa ketahanan pangan di lingkup keluarga sejatinya sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan. Kecerdasan dalam mengonsumsi bahan pangan yang baik untuk anak bermula dari kualitas ASI yang diberikan.

“Peran perempuan sangat krusial di tatanan pangan lokal kita. Kalau bicara way of life, peran ibu adalah peran kunci,” kata Didi mendukung pernyataan Wida.

Ia mencontohkan kehidupan di pesisir Papua. Jika sang bapak pergi melaut, maka yang menjaga kebutuhan keseharian di rumah adalah perempuan atau ibu. Para mama lebih banyak menceritakan soal melestarikan tradisi dan sejarah leluhur. “Mereka adalah orang yang memiliki memori kolektif sangat baik, mengingatnya, dan menerapkannya dalam kehidupan sampai hari ini.”

  • Yohana Tamara, narasumber dari Kalara Borneo
  • Sirup Maram, salah satu produk Kalara Borneo
  • Peran penting perempuan dalam hilirisasi produk non-kayu Kalara Borneo

Menjaga Pangan Lokal untuk Antisipasi Krisis Iklim dan Ledakan Populasi

Iklim nyata-nyata telah berubah. Dampak perubahan iklim ekstrem yang terjadi begitu terasa, khususnya di sektor produksi pangan. Namun, kekayaan khasanah pangan lokal yang kita miliki menumbuhkan optimisme. Kita belum benar-benar terlambat untuk selangkah lebih maju menjaga keberlangsungan pangan lokal..

“Sebisa mungkin mempertahankan pangan-pangan dari tumbuhan yang sudah ada saat ini. Jangan sampai punah. Jika hilang, apalagi yang bisa kita banggakan? Jangan seperti buah asam maram yang sebelumnya banyak terbuang percuma,” Ara mengingatkan, “penting sekali buat generasi mendatang lebih memerhatikan dan mengedukasi diri, agar lebih menggali dan mengembangkan pangan-pangan lokal.”

Tak terkecuali dengan tempe. Wida meyakinkan kita bahwa produksi tempe, dari bahan kacang-kacangan jenis apa pun, akan menghasilkan protein menjadi berlipat. “Tempe jauh lebih efisien dalam menghasilkan protein dibandingkan pangan hewani,” tegasnya, “dan minim jejak karbon di alam.”

Sebagai penutup diskusi, Didi mengingatkan potensi ancaman baru yang harus kita antisipasi cepat. Saat ini kita mulai memasuki era delapan milyar populasi manusia. Artinya, penyerobotan lahan oleh manusia akan sangat besar. Menurut Didi, hal itu bisa menjadi bentuk pandemi baru. “Karena kita harus berpikir cara memberi makan delapan milyar manusia.” 

Didi menekankan pentingnya menjaga adat dan tradisi lokal yang sangat kuat dan mengakar pada masyarakat kita. Selanjutnya berpikir cara membuat adat dan tradisi tersebut bisa beradaptasi dengan perubahan zaman. “Kita punya kok bekalnya. Tinggal mau atau tidak untuk mereplikasi dan menyuarakan ulang cerita itu, sehingga bergulir dan menjadi pegangan bagi seluruh tatanan masyarakat.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perempuan dan Pangan Lokal: Merayakan Hari Kartini dan Hari Bumi 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perempuan-dan-pangan-lokal-merayakan-hari-kartini-dan-hari-bumi-2023/feed/ 0 38360