pangan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pangan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 10 Jul 2023 05:51:44 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pangan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pangan/ 32 32 135956295 Nasi Oyek Khas Kebumen sebagai Alternatif Pangan https://telusuri.id/nasi-oyek-khas-kebumen-sebagai-alternatif-pangan/ https://telusuri.id/nasi-oyek-khas-kebumen-sebagai-alternatif-pangan/#respond Mon, 10 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39263 Masyarakat Indonesia begitu dekat dengan beras. Bahkan penyematan “agraris” tidak lepas dari relasinya dengan beras. Namun, fenomena tersebut justru memicu ketergantungan kita terhadap beras dan ini cukup mengkhawatirkan. Tahun 2022 lalu, pemerintah menerapkan kebijakan impor...

The post Nasi Oyek Khas Kebumen sebagai Alternatif Pangan appeared first on TelusuRI.

]]>
Masyarakat Indonesia begitu dekat dengan beras. Bahkan penyematan “agraris” tidak lepas dari relasinya dengan beras. Namun, fenomena tersebut justru memicu ketergantungan kita terhadap beras dan ini cukup mengkhawatirkan. Tahun 2022 lalu, pemerintah menerapkan kebijakan impor guna menutupi stok Bulog yang anjlok. Alhasil harga beras melonjak. Masyarakat pun mulai mengeluh, terlebih saat memasuki musim-musim perayaan besar.

Sebab lumpuhnya ketersediaan beras dan kebijakan impor dari pemerintah dapat ditelusuri ketika masa Orde Baru. Kala itu pemerintah begitu bangga terhadap kualitas pangan yang dinilai mapan. Bahkan, pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada beras hingga 1986. Selama periode tersebut, pemerintah begitu fokus terhadap kebijakan beras dan mengampanyekan beras sebagai satu-satunya kebutuhan pangan bagi masyarakat.

Namun, memasuki dekade 1990-an, Indonesia justru menemui titik lumpuhnya. Pemerintah terpaksa kembali mengimpor beras dari negara lain, bahkan tahun 1995 ketergantungan impor beras melonjak tajam. Banyak pihak menilai, kegagalan mempertahankan swasembada pangan karena pembacaan masalah yang keliru. Beras yang digadang-gadang sebagai satu-satunya kebutuhan pangan bagi rakyat Indonesia, justru rapuh dan tidak sedikit yang mengeluh akan tingginya harga pangan.

Tidak semua orang terdampak serangkaian krisis akibat ketergantungan terhadap beras. Nyatanya jauh di pinggiran Kebumen, tepatnya Desa Karanggayam, keadaan suram tersebut tidaklah begitu penduduk setempat. Bagi masyarakat Karanggayam, beras bukan menjadi satu-satunya andalan untuk memenuhi kebutuhan perut. Penyelamat mereka dari krisis adalah nasi oyek.

Nasi Oyek Khas Kebumen sebagai Alternatif Pangan
Pemandangan persawahan di Desa Karanggayam Kebumen via Wikipedia/S Budi Masdar

Menyusuri Nasi Oyek Khas Kebumen

Pada suatu waktu, saya memutuskan untuk tinggal di Karanggayam beberapa hari. Dari pengalaman ini, saya membaca bahwa mereka memiliki kemandirian pangan. Meskipun cukup jauh dari pusat kota Kebumen, tidak lantas membuat masyarakat harus bergantung pada kebijakan dan keadaan pangan di kawasan perkotaan.

Saat itu, ketika hendak menyusuri Pasar Karanggayam, saya melihat banyak dari para pedagang pasar menjajakan nasi oyek. Saya putuskan untuk membeli karena perut sudah terlalu lapar dan jam makan sudah terlewat.

Harga nasi oyek tersebut tergolong murah bagi saya. Saya hanya mengeluarkan uang tiga ribuan untuk membawanya pulang. Secara penampilan cukup jauh dengan nasi (beras), meskipun berbentuk seperti butir-butir beras pada umumnya. Bahan dasar nasi oyek berasal dari singkong.

Penjual mengambil langsung dari keranjang nasi menggunakan centong lalu membungkusnya dengan kertas minyak. Lantaran sisa uang saya masih cukup banyak, saya sekalian memesan dan membungkus satu porsi sayur bayam serta lauk mendoan untuk menemani makan pagi saya..

Dalam perjalanan kembali ke rumah tempat saya menginap, sembari berjalan-jalan menyusuri pasar, saya mencari kudapan lain yang sekiranya dapat saya cicipi. Ketika sampai di rumah, kepulan nasi oyek segera menerpa wajah saya. Ternyata nasi tersebut masih bertahan dalam keadaan hangat meski sudah saya bawa berkeliling.

Segera saja menu sarapan tersebut saya santap, lengkap dengan mendoan dan bayam hijau di sampingnya. Tatkala mulut ini menyantap butir-butir nasi oyek, saya mendapati rasanya yang begitu lembut. Malah cenderung tidak berserat sebagaimana beras. Pikir saya, meskipun tanpa lauk sekalipun nasi oyek masih bisa dinikmati. 

Jika membandingkan dengan beras, kandungan gizi nasi oyek tetap dapat mengisi perut saya yang masih kosong. Hanya dengan mengonsumsi satu porsi, rasanya tubuh ini sudah mendapatkan energi tambahan untuk melanjutkan aktivitas.

Nasi Oyek Khas Kebumen sebagai Alternatif Pangan
Penjual nasi oyek khas Kebumen dan sayuran pelengkap/Mohamad Ichsanudin Adnan

Alternatif Pangan dari Kebumen

Jika menelusuri menurut tutur lisan yang beredar, hadirnya nasi oyek bermula dari keadaan masyarakat yang sedang mengalami kesulitan untuk bertahan hidup. Hal ini salah satunya merujuk pada masa pendudukan Jepang. Saat itu masyarakat terkendala untuk mendapatkan beras karena kebijakan pangan yang timpang di daerah tersebut. 

Kondisi itu berlanjut hingga masa perjuangan merebut kemerdekaan. Tak sedikit dari para pejuang yang kelelahan hingga kelaparan menghadapi tentara kolonial. Penyebabnya antara lain kebutuhan logistik yang tidak mendukung mereka untuk bisa bertahan. 

Berangkat dari keadaan tersebut, singkong pun menjadi pilihan alternatif untuk menggantikan nasi. Terlebih singkong di Karanggayam mudah dijumpai. Hampir setiap kepala keluarga menanam singkong di pekarangan rumahnya. Bahkan sampai dewasa ini, ketika saya menyusuri desa tersebut, gampang sekali saya menemui tanaman singkong yang tumbuh subur hingga ke tebing-tebingnya.

Tingginya harga beras yang beredar di banyak daerah saat ini, tampaknya tidak begitu berpengaruh bagi penduduk Karanggayam. Sejarah dan masa krisis telah memberi pelajaran yang begitu berarti bagi mereka untuk membangun alternatif pangan yang berkelanjutan. Juga harapan untuk menjaga diversifikasi pangan selain beras.

Upaya mandiri pangan tersebut tampaknya bisa menjadi pelajaran penting bagi masyarakat lainnya di luar Karanggayam. Terutama kawasan perkotaan. Tidak semuanya memiliki bekal atau kemampuan untuk bersiap diri menghadapi krisis, dalam hal ini di sektor pangan. Di balik anggapan mapan dan modern, sejatinya ada kerapuhan. 

Maka terlintas pertanyaan-pertanyaan besar di benak saya. Perlukah orang-orang kota kembali belajar ke desa? Atau, haruskah kita tak lagi menempatkan desa sebagai tempat yang “tertinggal”?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Nasi Oyek Khas Kebumen sebagai Alternatif Pangan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/nasi-oyek-khas-kebumen-sebagai-alternatif-pangan/feed/ 0 39263
Ambon Jawa dan Rumah Hobbit di Tengah Pulau https://telusuri.id/ambon-jawa-dan-rumah-hobbit-di-tengah-pulau/ https://telusuri.id/ambon-jawa-dan-rumah-hobbit-di-tengah-pulau/#respond Wed, 25 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36939 Beberapa bulan lalu secara impulsif saya melakukan perjalanan ke Lombok. Tak tahu pasti mau ke destinasi apa dan melakukan apa. Saya hanya kontak kawan di sana dan membebaskan dia, baiknya saya pergi ke mana. Pada...

The post Ambon Jawa dan Rumah Hobbit di Tengah Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa bulan lalu secara impulsif saya melakukan perjalanan ke Lombok. Tak tahu pasti mau ke destinasi apa dan melakukan apa. Saya hanya kontak kawan di sana dan membebaskan dia, baiknya saya pergi ke mana. Pada akhirnya kami memilih untuk menjelajah ke berbagai gili di Lombok Timur. Pertimbangannya agar dekat dengan lokasi menginap saya di sebuah kos teman yang sedang mondok.

Maka, perjalanan menyusuri berbagai gili dengan perahu jadi juga. Saat itu saya ditemani 3 kawan lama dan seorang kawan baru yang sekaligus sembari memandu perjalanan. Kawan baru inilah yang berkoordinasi dengan si empunya perahu dan warga setempat. Sisanya kami hanya tinggal menikmati perjalanan sambil bercerita ngalor ngidul tentang kehidupan yang semakin tak karuan

Perjalanan kali ini, kami akan menyusuri tiga gili. Satu di antaranya ialah Gili Bidara. Kami melabuhkan kapal di tepian dan segera beranjak ke sebuah saung di pinggir pantai. Membuka camilan sekaligus kembali melanjutkan cerita yang dipenuhi pengalaman spiritual sekaligus romansa. Tak lupa, di antara celetukan ini dan itu, kami mengabadikan diri sambil main air dan pasir putih meski matahari benar-benar terasa sejengkal di atas kepala.

Setelah puas menertawakan berbagai cerita aneh di saung pinggir pantai, seorang kawan asli Lombok mengajak saya dan teman-teman lain—yang memiliki benang nasib sama yakni tidak jadi menikah—untuk melanjutkan perjalanan. Pilihannya ada dua: mengelilingi Pulau Bidara melalui susur tepi pantai atau melalui tengah pulau membelah perkebunan warga. Kami pada akhirnya memilih opsi dua dengan alasan tak jauh-jauh dari pengalaman menyantap ambon jawa dengan didahului melihat perkebunan—di tengah pulau kecil daerah Lombok—mungkin lebih langka dan menarik ketimbang “sekadar” melihat ombak yang berdesakan ke daratan.

Berjalanlah kami ke tengah pulau yang lautnya jamak dijadikan tempat snorkeling. Membelah perkebunan ini itu, termasuk ambon jawa atau ubi jalar itu sendiri. Sepanjang menapaki tengah pulau, kami tak ubahnya bercanda memparodikan acara penjelajahan televisi. Menertawakan berbagai hal dan menikmati perjalanan yang absurd dan “sangat khas wisatawan” ini.

pondok nelayan
Pondok di pinggir laut kepunyaan nelayan setempat/Dewi Rachmanita Syam

Hingga tibalah kami di area persinggahan para nelayan lengkap dengan rumah-rumah bak untuk hobbit dalam film Lord of The Ring versi pinggir laut. Dari kejauhan, bangunannya pendek dengan perkiraan tingginya tidak sampai 1.5 meter dan samar; apakah itu tempat tinggal, singgah sementara, tempat menyimpan peralatan melaut, atau hal lain. Bangunannya sederhana dengan atap dan dinding dari dedaunan khas pantai. Bentuknya pun bisa menyerupai gambaran rumah kebanyakan anak sewaktu kecil, bedanya tidak ada sawah maupun jalan menuju pegunungan. Pintunya pun sederhana, jendela pun bisa dihitung jari, bahkan beberapa tak memilikinya. Beberapa rumah berdekatan dengan ukuran yang berbeda.

Rumah-rumah sederhana itu biasa nelayan pakai untuk singgah atau menetap sementara demi efisiensi dan efektifitas waktu. Terlebih bila angin sedang kurang bersahabat. Mereka pun mengusahakan pemukiman layak dengan segala keterbatasan, termasuk untuk masak maupun berkumpul.

Di antara rumah-rumah sederhana tanpa panggung, terdapat semacam bale yang di dalamnya telah tersaji sepiring ambon jawa rebus hasil masakan mamak setempat. Tentu, ini saatnya kami menyantap si ambon jawa yang perawakan aslinya berkulit ungu dan berdaging kuning.

ambon jawa
Ambon Jawa yang rasanya seperti ubi/Dewi Rachmanita Syiam

Rasanya, ya seperti ubi pada umumnya, walau beberapa referensi menyebut padanan arti yang tepat untuk ambon jawa ialah singkong. Namun, dari segi bentuk maupun daging, panganan yang tersaji di hadapan saya saat itu lebih cocok dikategorikan sebagai ubi, walau tak manis-manis amat.

Kepulan uap panas muncul dari ambon jawa yang baru matang tersaji di piring. Potongan demi potongan kami santap dengan lahap. Menikmati perjalanan dengan tempo lebih rendah memang begitu nikmat, terlebih panganan ini kami dapat “fresh from the oven.”

“Panen setiap tiga bulan sekali tanam saja di sana,” kata salah seorang nelayan yang tengah membersihkan ambon jawa setelah dipanen.

Di sudut lain, seorang bapak dengan buff di kepala sibuk membersihkan ambon jawa. Sosok lain pun datang menambah pasokannya. Satu persatu ambon jawa dibersihkan dari daun dan akar, mereka mengkondisikannya untuk siap dijual ke masyarakat maupun konsumsi sendiri.

ambon jawa
Nelayan yang memanen ambon jawa/Dewi Rachmanita Syam

Umumnya di sini, ambon jawa memang untuk konsumsi pribadi, tapi tak menutup kemungkinan banyak yang menjualnya untuk warga setempat atau wisatawan. Saya pun kebagian dapat satu plastik berisi ambon jawa sebagai buah tangan yang siap diolah di Jakarta. Sayangnya, sesampainya di Jakarta tidak semua ambon jawa bisa saya nikmati. Karena perjalanan yang masih mampir ke beberapa tempat, beberapa ambon jawa terpaksa busuk di tengah perjalanan pulang dan saya harus membuangnya, meski sebenarnya merasa terpaksa.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ambon Jawa dan Rumah Hobbit di Tengah Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ambon-jawa-dan-rumah-hobbit-di-tengah-pulau/feed/ 0 36939