pangkep Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pangkep/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 24 Oct 2023 08:22:53 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pangkep Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pangkep/ 32 32 135956295 Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah https://telusuri.id/riwayat-gunung-dan-silsilah-laut-mengulas-kota-mengingat-sejarah/ https://telusuri.id/riwayat-gunung-dan-silsilah-laut-mengulas-kota-mengingat-sejarah/#respond Tue, 24 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39928 Apa yang diingat dari sebuah kota? Banyak yang akan menjawab dengan bangunan trademark-nya; seperti Jakarta dengan Monasnya, Yogyakarta dengan Keratonnya, atau Bandung dengan Gedung Satenya. Namun, apakah trademark cukup sebagai pengingat bahwa sebuah kota tersebut...

The post Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah appeared first on TelusuRI.

]]>
Apa yang diingat dari sebuah kota?

Banyak yang akan menjawab dengan bangunan trademark-nya; seperti Jakarta dengan Monasnya, Yogyakarta dengan Keratonnya, atau Bandung dengan Gedung Satenya. Namun, apakah trademark cukup sebagai pengingat bahwa sebuah kota tersebut mengalami pasang surut sejarah dan perkembangan? Tentu tidak. Ada cerita-cerita keseharian yang luput dari perhatian, yang juga menyusun rangkaian sejarah kota nan perlahan-lahan mulai buram dari ingatan penduduknya.

Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah
Sampul depan buku Riwayat Gunung dan Silsilah Laut/M. Irsyad Saputra

Penelitian-penelitian mulai dilakukan, membentuk narasi tentang sebuah kota yang tumbuh dan berganti rupa. Buku yang berjudul Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep mencoba mengawetkan data-data yang tersebar di ingatan penduduk kota dan mengalami pasang surut perkembangan kota mereka.

Penulis buku ini adalah anak-anak muda yang terkumpul dalam berbagai komunitas di berbagai kota, seperti Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep dengan dukungan dari Yayasan Makassar Biennale, yang rutin menggelar Makassar Biennale sebagai ajang kerja-kerja kebudayaan berskala internasional. Yayasan Makassar Biennale menjadi penyokong anak-anak muda untuk menuliskan sejarah perubahan kota mereka dan cerita yang terekam di dalamnya. Dengan demikian akan menjadi sebuah kumpulan data yang berharga untuk penelitian-penelitian yang akan datang.

Anwar Jimpe Rachman sebagai penyunting, juga memberikan kata pengantar dan mengomentari penulisan buku ini sebagai “antara bermain dan serius”. Disebut bermain, karena dalam merekam data dan menulis para peneliti memiliki keleluasaan serta tanpa kekangan dari konsep dunia akademik. Disebut serius, karena prosesnya yang menuntut kedisiplinan dan komitmen setiap individu yang terlibat. Dan ia berharap buku ini dapat meretas kesenjangan penelitian-penelitian sejenis yang biasanya hanya menjadi ranah dari para perguruan tinggi. 

Tentang Perubahan Drastis dari Kota ke Kota

Tulisan “Tanah yang Bergerak Menuju Selat Makassar” oleh Aziziah Diah Aprilia dan kawan-kawan menjadi cerita pembuka. Mereka menyoroti perkembangan bentang alam pesisir Makassar dalam lima puluh tahun terakhir. Dalam kurun waktu tersebut lanskap berubah drastis, yang juga berarti mengubah nasib penghuninya. Aziziah dkk mengamati kehidupan sebelum dan sesudah reklamasi yang marak terjadi di daerah pesisir, mewawancarai orang-orang yang melihat perubahan lingkungan hidup secara langsung, juga mengambil sudut pandang personal dengan dampaknya terhadap kehidupan mereka masing-masing, serta melengkapinya dengan sejarah singkat masing-masing kampung yang terdampak.

Tulisan kedua, “Perigi-Perigi yang Kering di Bentangan Karst Pangkep-Maros”, menyoroti ironi di kala kemarau. Harusnya tangkapan air di sekitar Karst Pangkep-Maros yang begitu melimpah justru mengalami kekeringan. Tulisan ini adalah hasil kerja keras Firdaus AR dan teman-teman dalam mewawancarai warga setempat perihal distribusi air, mata air desa, air dan perempuan, juga teologi air sumur. 

Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah
Foto yang memuat gambar peta Kecamatan Mariso, di pesisir Kota Makassar/M Irsyad Saputra

Buku ini membawa kita ke kota selanjutnya dengan cerita yang berbeda dalam “Kedai, Jalan, dan Cerita Lainnya dari Pinggir Selengkung Teluk”. Parepare sebagai salah satu daerah tingkat II (kota) di Provinsi Sulawesi Selatan dan memiliki jumlah populasi penduduk kurang lebih 140.000 jiwa, ternyata punya cerita di sudut-sudut kotanya. Kita akan menikmati suguhan kisah bagaimana jalan-jalan di kota ini saling memberi cerita tentang kejayaan dan kemunduran Parepare sebagai kota yang disatroni oleh banyak etnis untuk mengadu nasib. Tentang sebuah jalan yang menjadi saksi bisu perekonomian warga Parepare, Pelabuhan Cappa Ujung yang tertua dan bersejarah, juga masjid yang menjadi marwah Parepare.

Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah
Contoh foto udara yang menggambarkan lanskap Pantai Kampung Ujung di Labuan Bajo/M. Irsyad Saputra

Cerita berlanjut ke daerah paling timur, Nabire. Sebuah kota di Papua Tengah yang berdiri di atas rawa-rawa. Kita akan larut dalam tulisan Fauzan Al-Ayyuby dan kawan-kawan, tentang bagaimana Nabire membentuk identitasnya di tengah arus transmigrasi pada masa Orde Baru. Orang-orang transmigran—yang kebanyakan berasal dari Jawa—bersinergi dengan penduduk asli menciptakan Nabire, yang dulunya adalah rawa-rawa penuh nyamuk dan sepi lalu bertransformasi menjadi kota yang ramai. Hubungan masyarakat transmigran dengan para penduduk asli tergambar dalam cuplikan kisah Mbah Alo.

Terakhir, “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut Labuan Bajo” karya Ade Awaluddin Firman dan kawan-kawan, yang menceritakan dua keluarga berbeda suku tentang pemukiman di Labuan Bajo dan sekitar pantai utara Flores bagian barat. Mereka mengulik kisah Rofina Tiwu yang mendatangi Labuan Bajo, kala kota ini hanya sebatas perkampungan nelayan yang masih sarat akan hutan.

Impresi Pribadi

Saya mendapati tiap narasi di buku ini ibarat kue kering; tiap gigitannya terasa renyah dan ingin mencicipinya kembali. Tulisan-tulisan di dalamnya mampu menjalin kisah-kisah personal para narasumbernya terasa lebih intim—mungkin karena berasal dari orang pertama.

Saya berhasil merasakan suasana tatkala banjir menghantam pesisir Makassar, pencarian sumber air bersih di Pangkep-Maros, atau merasakan rawa-rawa yang berubah menjadi pemukiman di Nabire. Pun, narasi yang tersusun juga menyertakan foto-foto serta gambar penunjang yang memberikan gambaran lebih lengkap tentang permasalahan kota-kota tersebut.

Buku setebal 167 halaman ini punya sampul atraktif yang berjudul The Three World of Galigo karya Maharani Budi dan Louie Buana, yang memvisualkan kosmologi masyarakat Bugis dan tergambar dalam epos La Galigo. Pameran visualisasi ini sebelumnya sudah terpajang dalam Festival Kertas Sejagat dan Proyek Indonesia, dan selanjutnya terpilih menjadi sampul buku karya 25 peneliti muda tersebut.

Bagi saya, buku ini tidak hanya memaparkan narasi-narasi yang terserak di antara kehidupan bermasyarakat. Ia sekaligus menjadi bukti bahwa anak-anak muda dapat berkontribusi dalam bidang penelitian tanpa harus terikat lembaga pendidikan formal.


Judul Buku: Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep
Penulis: Aziziah Diah Aprilya, Feby A. Pasangka, Ikhlasy M., Regina Meicieza S., Wahyuni Hasdar [dan 14 lainnya]
Penyunting: Anwar Jimpe Rachman
Penerbit: Yayasan Makassar Biennale, Makassar
Cetakan: Pertama, 2023
Tebal Buku: 167 Halaman
ISBN: 978-623-90129-4-6


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Mengulas Kota, Mengingat Sejarah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/riwayat-gunung-dan-silsilah-laut-mengulas-kota-mengingat-sejarah/feed/ 0 39928
Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau https://telusuri.id/sarappo-caddi-dan-semangat-anak-anak-pulau/ https://telusuri.id/sarappo-caddi-dan-semangat-anak-anak-pulau/#respond Sun, 01 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39879 Bersama doa yang intens dan usaha-usaha untuk mewujudkan acara yang menyenangkan bersama anak-anak di Pulau Sarappo Caddi, Kabupaten Pangkep, saya dan sejumlah teman di Sikola Cendekia Pesisir menyibukkan diri dalam program Ramadan. Kami mengadakan aneka...

The post Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
Bersama doa yang intens dan usaha-usaha untuk mewujudkan acara yang menyenangkan bersama anak-anak di Pulau Sarappo Caddi, Kabupaten Pangkep, saya dan sejumlah teman di Sikola Cendekia Pesisir menyibukkan diri dalam program Ramadan. Kami mengadakan aneka lomba, pembagian donasi yang berhasil kami kumpulkan, serta bermain dan belajar selama tiga hari kegiatan mulai Jumat sampai Minggu. Beberapa teman yang tidak begitu sibuk memutuskan berangkat lebih awal, sebab pulau menyimpan banyak sekali kegiatan menyenangkan yang jarang ditemui di kota. 

Sarappo Caddi adalah satu dari ratusan pulau di gugusan Kepulauan Spermonde. Pulau ini terletak di Kelurahan Mattiro Langi, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Dinamakan Sarappo Caddi, sebab pulau ini dahulu banyak ditumbuhi pohon pinang atau sarappo dalam bahasa Makassar. Sedangkan caddi berarti kecil, merujuk pada pulau yang berseberangan dengan pulau ini, yakni Sarappo Lompo.  Meskipun terletak di Kabupaten Pangkep, tetapi banyak aktivitas transportasi dari pulau ini bersandar di sepanjang kanal dekat Pelabuhan Paotere, Kota Makassar. 

Kanal ini letaknya sangat dekat dari Pelabuhan Paotere. Bedanya, kanal ini untuk kapal-kapal kecil dari berbagai pulau. Di sini cukup kotor. Ada banyak sampah dan jalannya sempit. Kita bisa menemukan pabrik es balok di ujung lorong. Es balok tersebut biasanya merupakan pesanan nelayan yang rutin diangkut dari kota ke pulau oleh kapal-kapal kecil ini. 

Tempat teraman menitipkan kendaraan bermotor kami adalah di dalam Pelabuhan Paotere, tepat di samping surau. Di sini seorang bapak setia menjaga motor dan helm-helm pengunjung. Untuk tarif parkir motor sebesar Rp10.000 selama 2—3 hari. Kami menaiki kapal milik warga Sarappo Caddi dengan membayar Rp25.000 per orang. Kapal ini bersedia mengantar kami melintasi laut Makassar selama satu jam lebih dari Kanal Paotere sampai ke Sarappo Caddi, tempat kami melakukan beragam aktivitas menyenangkan bersama warga pulau. 

Perjalanan laut berlangsung mulus, meskipun kapal kami tergolong cukup kecil. Kami menghabiskan waktu lebih lama dari perkiraan dan baru tiba di pulau saat lomba azan anak-anak hampir berakhir. Namun, tak mengapa. Toh kedatangan kami membawa misi tertentu, di antaranya membantu persiapan buka puasa bersama dan malam puncak dari rangkaian kegiatan Ramadan di Pulau Sarappo Caddi.

Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau
Seorang relawan bermain bersama anak pulau di lepas pantai/Nawa Jamil

Abrasi di Pulau Sarappo Caddi

Pulau ini tidaklah asing. Saya telah mengunjungi Sarappo Caddi sejak 2019. Perjalanan ini merupakan kali ketiga. Selain itu saya juga mengenal seorang kawan yang lahir dan besar di pulau ini. Namun, sama seperti sebagian besar pulau kecil yang bertarung dengan isu lingkungan, Sarappo Caddi pun bernasib sama.

Salah satu bagian pulau yang menjorok keluar menarik perhatian saya saat berlabuh di dermaga. Abrasi mengikis bagian pulau tersebut, menyisakan bangunan rumah kosong yang kehilangan sedikit pondasinya. Abrasi mengancam keberadaan banyak pulau-pulau kecil di Kepulauan Spermonde, apalagi melihat bagaimana permukaan air semakin menaik dan cuaca ekstrem yang kerap terjadi belakangan. 

Pulau ini tergolong padat. Sarappo Caddi (kecil) hanya memiliki luas sekitar 33.000 meter persegi, dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000 orang. Kami melewati jalan setapak yang tergenang, sehingga kami harus memutar. Mencari jalan alternatif yang tidak terendam. Faktanya kondisi ini tak hanya terjadi di Pulau Sarappo Caddi, melainkan juga di beberapa pulau lain. Parahnya cuaca ekstrem akhir tahun kemarin menyebabkan kejadian banjir rob di beberapa pulau, termasuk Sarappo Caddi. 

Keseruan Lomba bersama Anak-anak Sarappo Caddi

Setiap kali saya dan teman-teman ke pulau, kami selalu pulang membawa kesenangan berlipat ganda. Sama seperti momen mengunjungi Sarappo Caddi di bulan Ramadan. Perlombaan dimulai sejak hari Kamis sampai Sabtu. Kemudian lanjut buka puasa bersama dan pembagian hadiah pada Sabtu malam sebelum kembali ke daratan Kota Makassar pada Minggu pagi. 

Bertahun-tahun ke belakang, saya sering berpikir dunia tidak adil pada sebagian orang. Beberapa kelompok tidak memiliki banyak pilihan dalam hidup, seperti kelahiran mereka beriringan dengan batasan-batasan pencapaian—dan saya cukup sering patah semangat dalam beberapa kesempatan. Namun, menghabiskan banyak masa muda mengelilingi pulau-pulau dan bertemu banyak orang, membuat saya tersadar. Mungkin saja selama ini saya terlalu pesimis dan memaksakan sepatu sendiri pada orang lain—bisa saja bahagia mereka berbeda. Di pulau ini, di tengah air payau, listrik sepanjang 12 jam sehari, dan tanpa motor untuk berkeliling; senyum anak-anaknya tidak kalah lebar dari anak-anak kota. Di sini, laut menjadi taman bermain terbaik dan di atas pasir anak-anak berkreasi tanpa batas. Bermain di bawah terik matahari tanpa memedulikan kulit yang makin menghitam. 

Kehadiran kakak-kakak dari Makassar selalu mereka tunggu-tunggu. Biasanya kami mengajar di dalam kelas, menggelar tikar penuh buku-buku anak, lalu bermain di pantai saat sore. Namun, kali ini kami membawa semangat perlombaan bernuansa Ramadan, seperti lomba praktik salat, hafalan surah pendek, sambung ayat Al-Qur’an, dan hafalan doa sehari-hari. Anak-anak mengikuti lomba dengan semangat. Saat kami datang, lantunan anak-anak yang tengah menghafal surah pendek terdengar dari corong suara surau, diikuti seruan anak-anak lainnya. Terdengar menyenangkan. Sayangnya kami harus sesegera mungkin menyiapkan hidangan berbuka puasa bersama. 

Buka Puasa Bersama dan Perpisahan yang Menyenangkan

Begitu tiba, kami langsung membuka barang bawaan kami. Aneka buah dan bahan-bahan bakal es buah, gorengan, dan kue basah yang mudah dibuat untuk sore nanti. Setelah bercerita sedikit dengan kawan-kawan yang datang lebih awal, saya langsung menyibukkan diri di dapur. Sebagian mengerjakan agar-agar, lainnya mulai memotong buah-buah, seperti pepaya, apel, melon, dan semangka.

Tidak ada yang jauh berbeda dengan menyiapkan buka puasa di rumah. Kecuali, tidak ada opsi memasukkan agar-agar di dalam kulkas agar cepat mengeras sebab listrik tidak menyala kala siang hari. Kami sibuk menyiapkan takjil sejak siang dan rampung sekitar pukul 17.00 sore. Waktu yang tepat. Saya lekas memberesi semuanya dan menikmati waktu sore di pinggir pantai. Relawan lain mengambil alih untuk membagikan takjil di surau. 

Selepas magrib dan langit mulai gelap, kami mengikuti ibadah salat berjemaah di masjid. Selanjutnya bersiap menuju lapangan serbaguna pulau yang terletak persis di samping masjid. Anak-anak ramai berkumpul, begitu pun orang tua mereka. Segalanya berlangsung menyenangkan dan kami mengakhiri hari dengan menyantap aneka kuliner malam di pulau ini. Meskipun tidak banyak yang dapat dicoba, tetapi melahap bakso tahu ikan dengan kecap manis dan saus kacang, asinan mangga, dan bakwan bersama kawan relawan lainnya, sembari mendengar riuh angin malam dan deburan ombak, hanya dapat kami nikmati sekali di malam itu saja. 

  • Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau
  • Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau

Pulang saat Subuh

Berbeda dengan waktu keberangkatan dari daratan Makassar ke Pulau Sarappo Caddi, jadwal kapal kembali dari pulau ke kota selalu saat Subuh. Saya memutuskan tidak tidur selepas sahur agar tetap terjaga dan membereskan perlengkapan. 

Di beberapa kesempatan saya sempat bertanya terkait kapal yang berangkat lebih siang, tetapi nihil. Kapal yang berangkat lebih siang jarang ditemui, sebab para penumpang dari pulau berangkat ke kota untuk berbelanja kebutuhan dapur. Waktu tempuh sekitar satu jam lebih dan mereka butuh waktu lama untuk berbelanja. Jika kembali ke pulau pada siang hari, maka ombak akan makin kencang. 

Subuh itu, kami berangkat saat langit masih setengah terang dan cahaya fajar masih belum terlihat. Kapal ukuran sedang itu mengangkut sekitar 20 relawan. Kami duduk berdempetan. Beberapa kawan duduk di bagian belakang kapal, tepat di bawah mesin dengan bunyi yang memekakkan. Sementara tiga orang relawan laki-laki berani duduk di ujung kapal yang lancip. Sinar fajar yang hangat dan syahdu menyambut kami di tengah perjalanan, di antara pulau-pulau kecil dan laut Makassar.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sarappo Caddi dan Semangat Anak-Anak Pulau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sarappo-caddi-dan-semangat-anak-anak-pulau/feed/ 0 39879
Melaut Bersama Sapi Menuju Kapoposang https://telusuri.id/melaut-bersama-sapi-menuju-kapoposang/ https://telusuri.id/melaut-bersama-sapi-menuju-kapoposang/#respond Sun, 07 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34869 Gema takbir seusai shalat subuh berkumandang dari Masjid Mujahidin Pangkep. Jaraknya hanya dua blok dari Kedai Opu. Warung kopi tempat saya dan beberapa warga Pulau Kapoposang menginap. Kami telah bangun dan memang sedang bersiap-siap, bukan...

The post Melaut Bersama Sapi Menuju Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
Gema takbir seusai shalat subuh berkumandang dari Masjid Mujahidin Pangkep. Jaraknya hanya dua blok dari Kedai Opu. Warung kopi tempat saya dan beberapa warga Pulau Kapoposang menginap. Kami telah bangun dan memang sedang bersiap-siap, bukan untuk mengikuti salat Id hari ini tapi untuk bersiap menuju ke Pulau Kapoposang. Kami memang mempersiapkan perjalanan kali ini agar bisa menikmati Iduladha di pulau. Tahun ini ada perbedaan penetapan hari raya Idul Adha. Hari ini Sabtu, 9 Juli 2022 adalah jadwal Muhammadiyah. Sementara kami ikut keputusan Kementerian Agama, lebaran kurban dirayakan esok harinya Minggu, 10 Juli 2022.

Suasana dalam kedai sudah tak tampak seperti tempat nongkrong ngopi lagi. Lebih seperti ruang tamu yang dipakai menginap handai taulan. Berantakan, kursi-kursi yang dijadikan tempat tidur darurat dengan tas menumpuk sana sini serta plastik-plastik berwarna merah berisikan sayur dan bahan kebutuhan lain untuk membuat coto dan konro sudah kami siapkan.

Masyarakat di Kapoposang tak memelihara ternak berkaki empat. Tentu ini membuat banyak orang penasaran karena di sana tak sulit mendapatkan pakan hijau untuk berternak. Masyarakat pulau bukannya tak mencoba memelihara, namun entah kenapa binatang ternak selalu kurus, tak pernah gemuk. Padahal Pulau Pandangan yang masih satu desa dengan Kapoposang punya banyak ternaknya yang gemuk. Cukup aneh kalau dipikir. Ternak-ternak ini memakan sampah, bahkan sampah kertas atau apapun yang bisa dikunyah bakal mereka makan. Misteri tersebut sampai sekarang tak bisa dipecahkan dan memang tak dicarikan pula jawabannya. Masyarakat Kapoposang lebih memilih membeli sapi atau kambing dari luar pulau untuk hajatan nikahan atau aqiqah daripada memelihara. 

Persiapan menuju Kapoposang
Persiapan menuju Kapoposang/Syukron

Seperti untuk Idul Adha kali ini. Tiga ekor sapi diturunkan ke kapal kami sebagai persiapan kurban. Mereka diposisikan seperti layaknya baris berbaris. Pembeliannya patungan dari beberapa warga sekitar 10 juta per ekornya. Tentu tidak mudah memindahkan hewan yang bobotnya lebih dari 100 kilo. Bagian depan kapal Jolloro memang mempunyai desain terbuka hingga terlihat luas, kapal ini diperuntukkan untuk memuat barang yang cukup banyak. Kebalikan dari mobil pickup, bagian bak kosong di justru berada di depan namun penumpang berada di bagian belakang bersama juru mudi kapal. 

Ada 25 orang ikut menumpang kapal. Saya lebih memilih mencari tempat di ujung depan kapal. Agak leluasa untuk sedikit rebahan. Posisi ini tentu bukan tempat favorit bagi penumpang lain karena musti berhadap-hadapan dengan sapi. Saya menerima resiko ini. Beberapa kali badan saya terdorong oleh kepala sapi. Untung saja sapi-sapi ini terikat dengan baik.

Kapal yang kami gunakan adalah kapal milik desa. Kapal kayu panjang 17 meter dan lebar 2 meter dengan mesin kekuatan enam silinder. Dari mesin hingga ukuran terbilang paling bagus dibandingkan kapal-kapal warga lain. Soal daya tempuh juga yang biasanya sekitar 6-8 jam jadi bisa dipangkas menjadi 3-4 jam saja.

Sapi, hujan dan ombak/Syukron

Dengan kondisi perairan berombak dan diiringi hujan tipis-tipis, kami melaju pukul 5.30 pagi. Menembus sungai Pangkep lalu keluar ke laut lepas. Selama perjalanan sapi-sapi ini dituntut memiliki keseimbangan tinggi, mereka harus berdiri dan berusaha tidak terjatuh. Sesekali ada saja sapi yang kehilangan keseimbangan karena kapal diterpa ombak rasanya naik turun seperti roller coaster. Dengan susah payah si sapi kemudian bangkit, berdiri kembali. Di tengah kondisi seperti itu, sapi-sapi ini cukup tenang, atau mungkin tegang luar biasa sehingga mereka hanya terdiam saja.

3 jam berlalu, Setelah melewati Pulau Gondong Bali, Pulau Pandangan dan Pulau Kapoposang tampak mulai mendekat. Arah kapal menuju ke Pulau Pandangan, kami mampir untuk menurunkan salah satu sapi milik haji Jafar, warga Pandangan. 

Menarik sapi di Pulau Pandangan
Menarik sapi di Pulau Pandangan

Sudah belasan cara dilakukan tapi belum juga bisa membuat sapi ini berniat menggerakkan kakinya untuk turun ke tepi pantai. Kerumunan orang diatas kapal sepertinya makin membuat sapi ini kebingungan. 15 menit berlalu setelah sang sapi tenang, kakinya mulai bergerak ingin berjalan. Hasrat untuk keluar dari kapal sudah mulai nampak. Dengan satu hentakan tali, sapi itu mulai mencoba meloncat keluar dari kapal. Semua bersorak lega. Kami yang di kapal semakin lega akhirnya bisa bergegas.  

Sapi di halaman Masjid
Sapi di halaman masjid/Syukron

Kami tiba sebelum adzan Dzuhur memanggil. Air laut mulai surut kami terhenti sekitar 30 meter dari bibir pantai. Saya dan tiga orang lainnya turun berbasah ria. Air laut sama rata dengan pinggang saya. Kami memikul barang-barang yang akan diturunkan, berjalan menuju tepi pantai. Belajar dari cara menurunkan sapi di Pulau Pandangan, kami memberikan waktu agar 2 sapi yang tersisa dapat turun dengan tenang. Dengan segala kerumitan proses mengangkut sapi dari Pangkep, membawa menembus ombak hingga tiba di Kapoposang. Perayaan kurban tetap menjadi salah satu hajatan favorit orang pulau. Karena itulah momen yang sehari-harinya lauk ikan berganti dengan coto atau konro yang aromanya keluar dari tiap-tiap dapur rumah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melaut Bersama Sapi Menuju Kapoposang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melaut-bersama-sapi-menuju-kapoposang/feed/ 0 34869
Cerita dari Air Terjun Gollae dan Permandian Alam Dewi Lamsang https://telusuri.id/dari-air-terjun-gollae-dan-permandian-alam-dewi-lamsang/ https://telusuri.id/dari-air-terjun-gollae-dan-permandian-alam-dewi-lamsang/#respond Fri, 05 Nov 2021 23:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30880 Di akhir Juni, saat matahari bahkan belum naik sempurna di ufuk timur, saya dan beberapa teman sudah memacu kendaraan dari Kampus Universitas Hasanuddin di Perintis Kemerdekaan menuju Kabupaten Pangkep. Rombongan kami berjumlah empat orang, melaju...

The post Cerita dari Air Terjun Gollae dan Permandian Alam Dewi Lamsang appeared first on TelusuRI.

]]>
Di akhir Juni, saat matahari bahkan belum naik sempurna di ufuk timur, saya dan beberapa teman sudah memacu kendaraan dari Kampus Universitas Hasanuddin di Perintis Kemerdekaan menuju Kabupaten Pangkep. Rombongan kami berjumlah empat orang, melaju dengan dua sepeda motor di atas jalan yang masih tampak lengang. Jalanan yang biasanya ditempuh sekitar 45 menit kala jam sibuk, hanya ditempuh sekitar 20 menit pagi itu. Kami berhenti sementara di salah satu gerai minimarket tidak jauh dari Grand Mall Maros, dua orang kawan telah menunggu di sana. Setelah bertemu dan beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi pertama, Air Terjun Gollae. Enam perempuan dengan tiga motor yang melaju beriringan.

View selama perjalanan
View selama perjalanan/Nawa Jamil

Rute menuju Air Terjun Gollae

Berdasarkan informasi di Google Maps, Air Terjun Gollae yang terletak di kaki Gunung Bulusaraung, tepatnya Desa Lanne, Kecamatan Tondong Tallasa ini membutuhkan waktu tempuh sekitar satu jam dari Kota Pangkep. Pagi itu, motor kami yang beriringan langsung putar balik tepat saat pigura bertuliskan ‘Selamat Datang Di Kota Pangkep’ dengan warna dominan kuning itu terlihat. Setelah memutar, motor kami pun langsung berbelok ke arah kiri, ke Jalan Poros Bontoa Siloro. 

Begitu berbelok ke jalan poros lokasi Kantor Pusat PT Semen Tonasa, kami dibuat takjub dengan deretan pegunungan karst yang menjulang tinggi. Letaknya yang begitu dekat dan hanya dipisahkan oleh ladang-ladang persawahan warga membuat perjalanan menuju lokasi air terjun tidak kalah menghibur.

Kami berkendara cukup lama. Panorama pun berganti, mulai dari rumah-rumah warga hingga persawahan luas, mulai dari pegunungan karst alami yang ditumbuhi pepohonan-pepohonan jarang, sampai gunung-gunung karst yang sudah diambil setengahnya, dijadikan tambang bahan baku semen, menyisakan sisa gunung karst yang tandus dan mobil-mobil besar yang keluar masuk daerah tambang.

Setelah melewati lokasi perusahaan semen tadi, jalanan mulai menanjak dan pemandangan gunung-gunung karst yang tandus berganti persawahan luas milik warga. Beberapa kali saya melihat tanaman yang tidak saya ketahui ditanam secara masif di sepanjang persawahan, juga berjumpa dengan sapi-sapi ternak warga serta beberapa anjing penggembala yang dibiarkan bersantai di pinggir jalan.  

Trekking menuju air terjun
Trekking menuju air terjun/Nawa Jamil

Suasana Air Terjun Gollae

Motor kami melaju di pinggir aliran sungai besar. Tidak jauh dari sana, jalanan yang semula berbeton mulus mulai berubah; ada lubang di sepanjang jalan, bebatuan kerikil, hingga kubangan yang cukup dalam sehingga kami harus lebih berhati-hati dan memperlambat laju kendaraan. Kami berkendara sekitar dua jam lebih untuk sampai ke parkiran Air Terjun Gollae, setelah kejadian mesin motor yang mati di Desa Tondong Kura, tidak jauh dari lokasi air terjun. Parkiran ini dijaga oleh seorang kakek tua. Beliau berkata, “Tarif parkirnya seikhlasnya saja,” serta mewanti-wanti kami untuk mengamankan helm di bagasi motor sebab beliau hendak mengerjakan hal lain pagi itu. 

Dari parkiran motor, kami melakukan trekking sekitar lima menit menuju lokasi air terjun. Medan yang cukup sulit dan masih sangat alami langsung terbayarkan begitu Air Terjun Gollae terlihat di depan mata. Air yang berwarna biru kehijauan dengan air terjun yang bertingkat tiga dan dikelilingi dengan rerimbunan pepohonan besar benar-benar membayar habis perjalanan jauh kami. 

Kami bermain di air terjun sampai tepat sebelum tengah hari. Dikarenakan wisata ini masih belum dikelola, maka belum ada toilet atau tempat ganti pakaian maupun fasilitas wisata lain. Saat hendak pulang, saya berinisiatif untuk berganti pakaian di satu-satunya rumah panggung di dekat lokasi parkir, yang ternyata adalah milik kakek yang kami temui pagi itu. Bersama dengan beberapa perempuan dari rombongan lain, kami saling bergantian memakai kamar mandi sederhana di sana sekaligus menunaikan salat.

Nenek yang tengah memisahkan kacang dari tanamannya di dekat lokasi air terjun
Nenek yang tengah memisahkan kacang dari tanamannya di dekat lokasi air terjun/Nawa Jamil

Begitu saya selesai, saya pun turun dari rumah panggung kosong itu, hanya ada beberapa lapis terpal dan ember-ember penuh kacang. Begitu turun, saya pun ikut bergabung dengan si kakek dan istrinya. Mereka tengah duduk di bawah rumah panggungnya, di antara tumpukan tanaman-tanaman kacang yang telah dipanen, sibuk memisahkan umbi kacang yang menggantung dari akan tanamannya. Ternyata tanaman yang saya jumpai di persawahan warga selama perjalanan tadi adalah kacang tanah. Beliau bercerita bahwa daerah ini merupakan salah satu penghasil kacang tanah di Kabupaten Pangkep. 

Beliau juga bercerita bahwa rumah ini memang bukan rumah tinggalnya. Mereka tinggal di salah satu kampung yang sempat kami lewati tadi. Siang itu kami tidak bercerita banyak sebab harus segera kembali. Di akhir perpisahan ketika kami berpamitan, beliau mengundang kami berkunjung saat hari raya ke rumahnya, bahkan memberikan kami sekantong kacang rebus dan sekantong kacang mentah, katanya “Untuk bekal di jalan pulang.”

Mampir ke Permandian Alam Dewi Lamsang

Kami kembali mengendarai motor menyusuri jalan pulang, melewati semua jalanan-jalanan ekstrim tadi. Setelah sampai di pertigaan Jalan Arung Kajuara, atau sekitar satu jam berkendara, kami memutuskan untuk makan siang di sebuah warung bakso tepat setelah pertigaan, sekaligus melepas penat selama berkendara.

Kami berenam berbincang santai setelah menghabiskan makanan masing-masing. 

“Setelah dari sini kita langsung balik ke Makassar atau bagaimana?” Tanya seorang teman. 

“Terserah saja. Tapi di sekitar sini juga ada banyak objek wisata. Bagaimana kalau kita mendatangi salah satunya sebelum pulang? Mumpung kita di sini.”  

Saya setuju-setuju saja. Saat itu waktu masih menunjukkan pukul tiga sore dan jarak Makassar dari lokasi kami sekarang sekitar satu setengah jam. Akhirnya setelah mencari dan menyeleksi beberapa wisata di sekitar, kami memutuskan untuk menutup jalan-jalan sehari ini dengan berkunjung ke Permandian Alam Dewi Lamsang yang terletak 2,5 km dari warung bakso tempat kami beristirahat, atau sekitar tujuh menit dengan berkendara. 

Permandian alam dewi lamsang
Permandian alam Dewi Lamsang/Nawa Jamil

Kami melintasi jalan-jalan kecil di dalam perkampungan warga untuk sampai ke Dewi Lamsang. Tidak butuh waktu lama, penanda jalan pertama sudah terlihat. Untuk para pengunjung yang hendak berkunjung ke sini, anda tidak perlu khawatir tersesat sebab rute menuju Dewi Lamsang dipenuhi banyak penanda jalan. Begitu sampai di gerbang permandian, kami membayar retribusi dana parkir sebesar Rp5.000 per motor. Permandian alam ini sudah dikelola oleh warga, dengan banyak bangunan gazebo, fasilitas tempat wisata, juga berbagai tenda-tenda yang menawarkan aneka kuliner.   

Keunikannya yakni tebing karst besar menjulang tepat di depan pengunjung. Kami berjalan melewati tenda-tenda yang menawarkan makanan, begitu pula dengan gazebo-gazebo yang mulai sepi. Permandian ini memiliki warna air biru kehijauan yang nampak segar. Saat kami tiba sore itu, masih banyak pengunjung khususnya anak-anak dan orangtua mereka yang menikmati berenang di pemandian alami itu. Sayang, saya melihat adanya masalah lingkungan khususnya kebersihan aliran sungai yang masih bersambung dengan permandian.

Mengingat hari sudah semakin sore, kami tidak terlalu lama di Dewi Lamsang, mungkin sekitar tiga puluh menit saja. Setelah cukup mengambil beberapa foto, kami pun langsung berkendara pulang setelah sempat singgah di salah satu SPBU di Pangkep yang menawarkan pemandangan pegunungan karst dan hamparan persawahan yang tidak akan pernah cukup untuk dinikmati. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Cerita dari Air Terjun Gollae dan Permandian Alam Dewi Lamsang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-air-terjun-gollae-dan-permandian-alam-dewi-lamsang/feed/ 0 30880