pantai sembilan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pantai-sembilan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 06 Aug 2024 09:11:26 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pantai sembilan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pantai-sembilan/ 32 32 135956295 Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura https://telusuri.id/perjalanan-ke-pantai-sembilan-dan-gili-labak-madura/ https://telusuri.id/perjalanan-ke-pantai-sembilan-dan-gili-labak-madura/#respond Tue, 06 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42465 Latar belakang perjalanan kali ini sebenarnya cukup sederhana. Saya ingin membuktikan perkataan teman tentang cerita keindahan Pantai Sembilan dan Gili Labak. Apakah benar demikian atau hanya sebuah jawaban yang berusaha menyenangkan?  Awalnya saya sedikit ragu...

The post Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
Latar belakang perjalanan kali ini sebenarnya cukup sederhana. Saya ingin membuktikan perkataan teman tentang cerita keindahan Pantai Sembilan dan Gili Labak. Apakah benar demikian atau hanya sebuah jawaban yang berusaha menyenangkan? 

Awalnya saya sedikit ragu untuk pergi ke sana, karena jaraknya lumayan jauh dari Kota Surabaya. Saya sempat memutuskan mengikuti paket wisata sendirian, sebelum akhirnya berubah wacana mengajak kedua teman saya.

Alasannya, jadwal kapalnya tidak tentu. Sementara kami hanya luang di hari Sabtu dan Minggu. Padahal kedua tempat tersebut mengharuskan kami menyeberangi lautan. Selain itu, kebetulan ada paket wisata yang menawarkan dua destinasi sekaligus, yakni Pantai Sembilan dan Gili Labak. Perjalanan kali ini mungkin terbilang singkat karena kami berangkat malam hari, lalu kembali ke Surabaya keesokan harinya. 

Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura
Berlabuh di Pantai Sembilan/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Kesabaran Diuji Menuju Pantai Sembilan

Perjalanan dimulai dari Surabaya pada malam hari pukul 23.00 WIB. Kami bersama rombongan peserta tur yang berasal dari berbagai daerah. Kami pergi menggunakan mobil Isuzu Elf dengan jumlah 12 orang. Estimasi perjalanan menuju Sumenep, Madura sekitar empat jam, belum termasuk penyeberangan.

Ternyata, perjalanan tidak sesuai ekspektasi karena ada kecelakaan truk yang mengangkut tabung gas LPG 3 kg di suatu tempat. Alhasil, terjadi macet berkepanjangan dan kendaraan mengular tak bergerak sampai dua jam. Total durasi perjalanan kami menjadi enam jam.

Rasanya cukup frustrasi dan melelahkan karena kami baru tiba pukul 05.00 WIB. Setelah istirahat, sekitar pukul 08.00 WIB kami kemudian menuju dermaga pelabuhan penyeberangan di wilayah Bringsang, Kecamatan Giligenting.

Menurut pemandu wisata, ombak di bulan Agustus sedang tinggi-tingginya sehingga kami sebaiknya berangkat lebih pagi. Salah seorang warga pemilik perahu sewaan bercerita, bahwa ada seorang yang mengangkut melon di perahu, terpaksa harus diceburkan ke laut karena perahu kelebihan muatan akibat besarnya terpaan ombak.

Bersama rasa cemas, kami tetap menyeberangi lautan selama kurang lebih 40 menit menuju destinasi pertama, yakni pantai Sembilan.

Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura
Cottage unik di Pantai Sembilan/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Fasilitas Lengkap di Pantai Sembilan

Ternyata, sebelum dikenal dengan Pantai Sembilan, pantai ini sempat dinamai pantai “Mareddan” dalam bahasa Madura, yang artinya “kuburan”. Hal ini karena memang letaknya bersebelahan dengan pemakaman umum warga. 

“Dulu sebelum dibuka untuk umum, pantai ini terkesan mistis dan angker karena memang bersebelahan langsung dengan makam yang membuat pantai ini sepi pengunjung,” cerita seorang tour guide kami sembari menunjuk pagar yang dimaksud.

Kini kesan tersebut tidak tampak karena sudah ada pagar tinggi yang menutupi. Para pengunjung bisa menikmati pantai tanpa perlu khawatir lagi. Selain itu, untuk menghilangkan kesan mistis juga dilakukan perubahan nama menjadi Pantai Sembilan. Jika dilihat dari ketinggian, memang menyerupai lengkungan angka sembilan.

Terlepas dari kesan yang dulunya mistis, Pantai Sembilan memiliki daya tarik yang membuat saya kagum. Panasnya pantai tidak terlalu menyengat. Bentang pasir putih serta birunya air laut membuat semakin betah. Terdapat banyak gazebo di pinggir pantai untuk bersantai, tempat berfoto, serta dilengkapi berbagai wahana, seperti banana boat dan ATV.

Menariknya, tidak ada sampah yang berserakan di pantai. Ada banyak tong sampah tersebar di area pantai sehingga pengunjung bisa membuang sampahnya dengan mudah. Ini upaya menarik yang bisa diterapkan di wisata pantai lain agar kebersihan tetap terjaga. Tak hanya itu. Pantai ini juga memiliki aspek ramah lingkungan. Pasokan listrik di Pantai Sembilan menggunakan panel surya.

Bagi yang ingin bermalam, tersedia penginapan di pinggir pantai yang bisa disewa dengan harga sekitar Rp300.000 per malam. Namun, banyak juga pengunjung yang berkemah dengan tenda pada akhir pekan.

Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura
Suasana pesisir Gili Labak/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Teriknya Gili Labak

Tak terasa dua jam kami habiskan di Pantai Sembilan. Kami pun melanjutkan perjalanan ke destinasi kedua, yakni Gili Labak. Perlu waktu kurang lebih 30 menit menuju pulau yang terletak di tenggara Pulau Poteran, Desa Kembang, Kecamatan Talango tersebut.

Dahulu, sebelum ramai wisatawan, Gili Labak adalah sarang tikus. Tak heran jika masyarakat menyebutnya “Pulau Tikus”. Hingga akhirnya nama tempat ini berubah menjadi Gili Labak untuk menggambarkan keindahan alam, serta memiliki potensi wisata yang besar jika dikembangkan lebih baik lagi. 

Sejujurnya, Gili Labak menjadi tempat dengan panas paling menyengat yang pernah saya kunjungi. Matahari di sini seakan menusuk kulit, bahkan menjelang sore hari. Akan tetapi, beruntung telah tersedia sejumlah gazebo di sini untuk berlindung dari sengatan teriknya matahari.

Setelah menikmati hidangan ikan bakar yang termasuk dalam paket wisata, kami menuju spot snorkeling di Gili Labak. Untuk menuju ke sana, kami menggunakan perahu lagi karena memang berada tak jauh dari Gili Labak. Untuk aktivitas snorkeling sendiri sudah termasuk dalam paket, yakni seharga Rp250.000 lengkap dengan peralatan. 

Biota bawah lautnya cukup beragam. Ada berbagai jenis ikan yang saya temui, seperti clown fish, palette surgeonfish, hingga ikan dengan corak tubuh menyerupai zebra. Terumbu karang di sini dijaga dengan baik oleh kelompok sadar wisata (pokdarwis) setempat.

Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura
Biota bawha laut di sekitar Gili Labak/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Tantangan Kehidupan Warga Setempat

Di balik geliat pariwisata, ternyata masyarakat Gili Labak masih menghadapi tantangan ekonomi yang berdampak pada pendidikan anak-anak. Banyak anak terpaksa putus sekolah karena harus menyeberang satu jam ke Pulau Talango untuk bersekolah. 

“Bahkan dulunya ada sekitar 35 keluarga di Gili Labak, tetapi kini hanya tersisa sekitar 25 keluarga karena memilih untuk merantau,” ungkap pemandu tur kepada kami.

Selain itu, warga juga kesulitan mendapatkan air tawar. Pengeboran hanya menghasilkan air payau atau asin di area ini. Warga harus membeli air bersih yang berasal dari pulau lain dengan harga Rp5.000 per jeriken. Sementara itu, listrik di Gili Labak juga menyala saat malam hari saja.

Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura
Pemandangan matahari terbenam saat perjalanan kembali ke pelabuhan/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Tepat pukul 15.00 WIB kami bergegas kembali ke dermaga. Matahari terbenam mulai terlihat, semakin lama semakin menawan. Perjalanan kali ini ditutup dengan pemandangan kesekian kalinya yang saya rindukan, yaitu menikmati sunset hampir satu jam.

Apa kata teman tentang Pantai Sembilan dan Gili Labak memang benar. Kami membuktikan, masih ada pantai dengan segala potensi ekowisatanya yang harus tetap dikembangkan dan dilestarikan. Terlepas dulunya dianggap mistis, kedua destinasi tersebut kini menjadi lebih menarik untuk dikunjungi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan ke Pantai Sembilan dan Gili Labak Madura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-ke-pantai-sembilan-dan-gili-labak-madura/feed/ 0 42465
Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting https://telusuri.id/vakansi-sehari-ke-pulau-giligenting/ https://telusuri.id/vakansi-sehari-ke-pulau-giligenting/#respond Wed, 29 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42051 Sehari setelah lebaran ketupat, aku, Ibna, dan Gusti bervakansi ke Pulau Giligenting—salah satu pulau di antara 126 pulau yang ada di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Selain tertarik untuk menikmati keasrian pantainya, akses yang lebih mudah...

The post Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting appeared first on TelusuRI.

]]>
Sehari setelah lebaran ketupat, aku, Ibna, dan Gusti bervakansi ke Pulau Giligenting—salah satu pulau di antara 126 pulau yang ada di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Selain tertarik untuk menikmati keasrian pantainya, akses yang lebih mudah dibanding pulau-pulau lain adalah alasan utama kami mengapa memilih Pulau Giligenting sebagai destinasi liburan.

Beberapa hari sebelumnya, aku dan Ibna sempat merembukkan rencana liburan ini kepada Fai dan Romzul. Mereka bersilaturahmi ke rumah kami di hari yang sama, tetapi dalam waktu yang berbeda. Namun, Fai memutuskan tidak ikut karena suatu kendala. Sejak awal Fai memang menjawab ragu-ragu.

Romzul lain lagi. Penyair cum Madridista itu tidur kebablasan sehabis nonton pertandingan tim sepak bola kesayangannya melawan Manchester City. Delapan kali kutelepon selama pukul 07.30–09.00 tetap saja tak ada respons. Untunglah ada Gusti dan Ummul yang menyatakan siap ikut ketika kucoba hubungi, meskipun Ummul juga gagal pada akhirnya.

Terpaksa kami berangkat bertiga dengan menanggung rasa tidak enak pada Romzul. Mau bagaimana lagi, cuma hari itu (18/04/2024) satu-satunya kesempatan berlibur saat momen lebaran tahun ini. Hari berikutnya kami akan disibukkan dengan aktivitas masing-masing, sedangkan Romzul sendiri bakal segera balik ke Jogja untuk jangka waktu yang tak tentu lamanya.

Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting
Aktivitas awak perahu menaikkan motor penumpang di pelabuhan Tanjung/Daviatul Umam

Berlayar ke Giligenting

Pukul 09.15 aku dan Ibna berangkat dari rumah. Sementara Gusti yang rumahnya tak jauh dari pusat kota akan menunggu kami di Saronggi. Setelah bertemu, kami meneruskan perjalanan bersama-sama.

Dari pertigaan Saronggi, kami meluncur ke arah timur. Mungkin sekitar 15 kilometer sebelum akhirnya tiba di pelabuhan Tanjung pada pukul 10.33. Di sana tampak orang-orang sudah bersantai di tubuh perahu bersama kendaraan roda duanya.

Lalu seorang lelaki bertopi menagih uang tiket pada kami sebesar Rp15.000 per orang. Para petugas pelabuhan lantas menaikkan motor kami ke atas perahu dengan melewati titian papan kayu. Upah angkutnya sebesar Rp3.000 per motor. Setelah memastikan si kuda besi aman, kami menyusul naik dan memutuskan duduk di buritan. Tak berselang lama, mesin perahu menyala dan berangkat sepuluh menit kemudian.

Ini sensasi anyar bagiku karena baru pertama kalinya naik perahu dalam jarak tempuh yang cukup jauh. Sebelumnya hanya terbiasa menyeberang Kalianget–Talango PP yang butuh waktu lima sampai tujuh menit saja.

Kemudian seorang awak perahu meminta lagi karcis sekaligus ongkos motor sebesar Rp10.000. Aku tidak kaget, sebab memang begitulah peraturan berikut tarifnya menurut seorang teman yang pernah ke Giligenting. “Itu sudah terbilang murah,” imbuhnya.

Di tengah pelayaran, kami tidak banyak mengobrol. Kalaupun bercakap tiada topik penting yang kami bicarakan. Sebatas gurauan receh belaka. Sesekali mengabadikan momen untuk dipamerkan di akun media sosial kami. Sesekali pula ombak menerkam lambung perahu dengan amat kasar, membuat tubuhku hampir kehilangan keseimbangan. Bila sudah demikian, aku akan memegang tulang tepian geladak atau dinding perahu kuat-kuat. Beda halnya Ibna dan Gusti yang terlihat anteng-anteng saja menyikapi situasi tersebut.

Sepintas terbayang perjuangan para nelayan di antara ganas gelombang dan amuk badai. Sejak subuh hingga sore hari mereka tahan banting dalam kerasnya tantangan. Walaupun terkadang laut tidak memberinya apa-apa selain rasa lelah, mereka tetap tak jera untuk kembali mengarungi samudra. Begitu terus-menerus seperti yang digambarkan D. Zawawi Imron dalam sebuah puisinya, Kita Berlayar.

Kita tetap berlayar
melunasi hutang yang belum terbayar
Dahaga dan lapar
kobarkan di tiang layar

Persis bunyi larik ketiga dalam bait itu, perutku keroncongan lantaran sedari pagi cuma diisi camilan. Beruntung aku tidak pusing atau mabuk laut. Tapi, saking senangnya menikmati pelayaran, lapar tidak terlalu mengusik suasana hati. Isi kantung (dompet) yang sebetulnya juga sangat tipis, yang terkadang membayang, tidak begitu kuhiraukan. Aku lebih suka menghambakan uang demi kesejahteraan rohani daripada bertindak sebaliknya.

Bertamu ke Rumah Sri

Layar ponsel menerakan angka 11.20 ketika perahu yang kami tumpangi berlabuh di dermaga. Artinya, dari pelabuhan Tanjung ke Giligenting memakan waktu kurang lebih 37 menit. Siang itu langit sedikit kusam. Tidak seperti di tengah segara yang tampak berseri-seri dengan sapuan awan putih tak beraturan.

Aku dapat melihat jelas sebuah tulisan “Pantai Sembilan” yang terpancang di atas sebujur tembok. Pantai yang acap kudengar namanya itu ternyata berada di kawasan pelabuhan. Sudah sejak lama aku ingin menginjakkan kaki di atas hamparan pasir putihnya. Namun, kami terlebih dahulu bergegas menuju rumah Sri, kawan nongkrong kami—si paling dermawan. Dia warga asli Giligenting. Tak etis rasanya jika kami sebatas piknik tanpa bertamu ke rumahnya.

“Pengin beli apa gitu dulu, Gus. Aku lapar banget,” ucapku setelah kami menghentikan laju motor sejenak dengan mesin tetap menyala.

“Oke, ayo!” tanggap Gusti.

“Kamu mau makan juga?”

“Enggak, kenyang. Tadi udah makan di Saronggi.”

Ibna juga bilang kenyang. Maka, saat kami menemukan lapak makanan di samping kantor Kecamatan Giligenting, cuma aku seorang yang menyantap semangkuk mi ayam bakso. Ibna dan Gusti duduk menunggu di gardu. Sebenarnya sempat terpikir olehku untuk makan bersama di rumah Sri. Pasti dihidangi makanan berat, pikirku. Ya, seyakin itu. Sayangnya perut tak bisa diajak kompromi.

Benar saja, di rumah Sri kami ditawari makan. Kami tahu betul kemurahan hati Sri. Beberapa kali kami ditraktirnya makan di kafe. Namun, karena kami kompak bilang kenyang dengan alasan baru saja makan, Sri percaya dan takluk. Sebagai bentuk penghormatan yang agak brutal, kami mencicipi apa saja dari sekian jenis makanan ringan serta minuman yang tersuguh di atas meja.

“Enaknya mau dibawa ke mana, nih, anak-anak?” Gusti meminta pertimbangan Sri. Anak-anak yang dia maksud tak lain aku dan Ibna. Dia berlagak begitu karena dia sudah berkali-kali ke Giligenting. Kemungkinan dia banyak tahu tempat-tempat eksotis di pulau itu.

“Mending ke Pantai Kahuripan,” saran Sri dengan wajah pasi.

“Lebih asyik mana dibanding Pantai Sembilan?” tanyaku.

“Kahuripan, lah! Pantai Sembilan udah kurang terawat sekarang.” Kalau penghuni Giligenting sendiri sudah menyatakan demikian, otomatis otak kami langsung tersugesti.

Aku tidak tahu seberapa lama kami di rumah anak Fatayat itu. Yang jelas, perbincangan kami tidak panjang lebar dan berlarut-larut. Maklum, Sri masih dalam proses sembuh dari demamnya. Itu sebabnya dia tidak bisa menemani kami jalan-jalan. Andai saja dia sedang sehat walafiat, tentu akan beda cerita.

Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting
Ibna berpose di jembatan bambu Pantai Kahuripan/Daviatul Umam

Berpelesir ke Kahuripan

Beranjaklah kami dari rumah Sri menuju Pantai Kahuripan. Dengan bantuan Google Maps yang rada ngawur, kami melewati jalan aspal rusak, berliku, menanjak, hingga sempat kesasar ke bibir pantai berkerikil entah apa.

Menariknya, akses ke Kahuripan cukup puitis. Di sisi kiri-kanan jalan, berjajar pohon Plumeria rubra yang dahan-dahannya menjulang liar dan rindang. “Ketidakterurusan” pohon ini justru menciptakan panorama yang khas, seperti memasuki terowongan alami. Berpagar batang-batang kekar, beratap rimbun daun-daun, serta minim cahaya. Sial, aku tidak kepikiran memotretnya.

Sesampainya di Kahuripan, hal pertama yang kudapati adalah lanskap yang tak terlalu menggoda, tetapi juga tidak menimbulkan penyesalan. Kotoran sapi bertebaran di mana-mana. Dan kebetulan memang ada beberapa sapi di tepi pantai, memamah rumputan sembari menyimak debur gelombang. Jadi, pantai ini terbuka gratis bagi siapa saja, apa pun wujudnya.

Selain itu, tiada ciri mencolok dari pantai ini ketimbang sejumlah pantai yang pernah kusambangi. Tebing tinggi berbatu, daratan merimba didominasi pohon-pohon kuda, jembatan bambu yang menjulur ke batu danawa di lautan, tak cukup kuat memikat apalagi menjadi alasan untuk dirindukan.

Waaaw… Airnya sangat biru!” seru Ibna. Lagi-lagi itu bukan sebuah keunikan. Pantai Ponjuk Timur di pulauku juga biru sekali airnya.

Sebagaimana wisatawan pada umumnya, kami sibuk berswafoto dan merekam aksesori jagat raya. Memang, zaman digital telah banyak mengubah cara pandang. Dalam menikmati sebuah vista, kami lebih cenderung melihat melalui mata kamera daripada menghayatinya sepenuh jiwa.

Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting
Spot foto yang tak terurus di Pantai Sembilan/Daviatul Umam

Bertandang ke Pantai Sembilan

Kendatipun Pantai Sembilan dinilai kurang terawat oleh Sri, aku tetap penasaran akan salah satu pantai termasyhur di Sumenep ini. Lebih baik melihat satu kali daripada mendengar seribu kali; kiranya adagium itu akan selalu segar di kepalaku.

Pukul setengah empat, kata Gusti, perahu bakal berhenti beroperasi. Masih ada sisa waktu setengah jam lagi untuk sebatas jingkrak-jingkrak di Pantai Sembilan. Namun, Gusti menampik. Barangkali dia sudah kelewat bosan saking seringnya ke pantai itu. Dia menungguku dan Ibna di dermaga.

Sementara itu kami berdua berjalan kaki menyisir garis pantai. Ajaib! Kami bebas tiket  yang harusnya Rp5.000 per orang. Tak ada satu pun makhluk yang menegur kedatangan kami. Syukurlah.

Pasir nan putih rupanya tak sehalus pasir Lombang. Belum lagi udaranya. Meski ditanami beragam pohon hias, rasa gerah tak dapat dihindari. Matahari sore amat menyengat. Keringat merembes. Kami tak betah menyusuri pasirnya. Jika memaksakan diri berlama-lama di bibir pantai, mungkin kami akan segosong ikan pindang.

Bagaimanapun bentuk setiap tempat wisata, termasuk pantai, memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Pantai ini punya nilai unggul dengan fasilitasnya yang cukup memadai: gubuk penginapan, wahana rumah apung, banana boat, gazebo, dan berbagai jenis spot foto. “Coba lihat, airnya sangat bening!” Ibna menambahkan.

Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting
Sampah-sampah berserakan di kawasan Pantai Sembilan/Daviatul Umam

Adapun dari sekian pantai (atau objek wisata lainnya) yang pernah kukunjungi selalu punya satu kesamaan yang urgen: ada saja umat manusia yang hobi mencemari lingkungan. Seolah sampah memang sepantasnya dibuang di mana saja. Seolah semua tempat adalah tempat sampah.

Sayang sekali kami tak bisa menyaksikan suasana sunset di pantai ini. Selepas foto-foto sebentar, kami lalu balik menghampiri Gusti di dermaga. Berkerumun bersama orang-orang yang hendak menggunakan jasa perahu ke pelabuhan Tanjung. Masih dengan tarif yang sama, kami kembali berlayar dan pulang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Vakansi Sehari ke Pulau Giligenting appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/vakansi-sehari-ke-pulau-giligenting/feed/ 0 42051