pantai Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pantai/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 29 Mar 2022 08:15:41 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pantai Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pantai/ 32 32 135956295 5 Pantai di Gunung Kidul yang Seru untuk ‘Camping’ https://telusuri.id/5-pantai-di-gunung-kidul-yang-seru-untuk-camping/ https://telusuri.id/5-pantai-di-gunung-kidul-yang-seru-untuk-camping/#respond Sat, 29 Jan 2022 12:01:04 +0000 https://telusuri.id/?p=32670 Jika kalian ingin merencanakan camping sekaligus melihat pemandangan laut, Gunung Kidul cocok menjadi pilihan utama. Salah satu kabupaten di Provinsi Yogyakarta ini menghadap langsung ke arah Samudera Hindia, menjadikannya tujuan orang-orang ketika mencari pantai yang...

The post 5 Pantai di Gunung Kidul yang Seru untuk ‘Camping’ appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika kalian ingin merencanakan camping sekaligus melihat pemandangan laut, Gunung Kidul cocok menjadi pilihan utama. Salah satu kabupaten di Provinsi Yogyakarta ini menghadap langsung ke arah Samudera Hindia, menjadikannya tujuan orang-orang ketika mencari pantai yang bagus dan tidak ramai. Airnya berwarna biru dengan kedalaman bervariasi kisaran 200-2000 meter.  

Pantai di daerah selatan Pulau Jawa terkenal dengan ombak yang ganas dan legenda Ratu Pantai Selatan yang konon akan menculik siapapun yang memakai baju hijau ketika berada di pantai. Legenda ini turut mewarnai laut selatan Jawa sebagai tempat yang kaya; rumah bagi biota laut yang unik dan tempat budaya dan laut bersinergi saling melindungi.

Berikut lima rekomendasi pantai di Gunung Kidul yang dapat kamu jadikan sebagai pilihan lokasi berkemah!

Camping Gunung Kidul
Letaknya yang terpencil membuat Pantai Sedahan ini sepi dan cocok buat yang ingin mencari ketenangan via Flickr/JendelaKUncung

1. Pantai Sedahan

Suasananya sepi, ditambah garis pantai yang pendek, pantai ini sangat cocok untuk kamu yang mencari ketenangan. Jarak tempuh dari jalan raya juga lumayan jauh dan harus mendaki beberapa bukit kecil untuk mencapainya.

Ketika sampai, semua lelah bakal terbayar lunas, pemandangan pantai yang diapit oleh bukit, membuatnya sedikit terisolir dibanding pantai-pantai lainnya di Gunung Kidul. 

Waktu terbaik untuk mengunjunginya adalah saat musim kemarau .Sangat tidak disarankan mengunjungi pantai ini pada musim hujan karena air laut bisa pasang tiba-tiba dan dapat membuat pantai menjadi terendam air. 

Camping Gunung Kidul
Pantai Sadeng yang juga ramai sebagai dermaga via TEMPO/ Suyatmin

2. Pantai Sadeng

Pantai ini berada jauh di ujung timur Kabupaten Gunung Kidul, sedikit dekat dengan perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur. Pantai Sadeng cukup ramai karena merupakan sebuah pemukiman nelayan dan dermaga yang cukup maju di Gunung Kidul lengkap dengan terminal pengisian bahan bakar, koperasi, juga tempat pelelangan ikan.

Menurut sejarah, Sadeng dahulunya adalah muara sungai Bengawan Solo purba jutaan tahun lalu. Meskipun telah banyak berubah, yang dapat kita saksikan hingga sekarang dari sungai purba itu adalah hutan yang indah serta perbukitan kapur.

Pengunjung bisa berkemah di pantai sambil menikmati ikan segar, kumpulan kapal nelayan yang bersandar, serta pemandangan sore hari Samudera Hindia. Apabila membutuhkan bantuan, penduduk di sini juga sangat terbuka untuk menolong.

Camping Gunung Kidul
Namanya Jungwok seperti nama suatu pantai di Korea tapi sebenarnya ini ada di Gunung Kidul via Flickr/Aditya Wicaksono

3. Pantai Jungwok

Kalau mendengar namanya, Jungwok terdengar seperti salah satu pantai yang ada di Korea. Percayalah, pantai ini asli Gunung Kidul! Area pantai cukup luas, mampu menampung banyak pengunjung. Dengan area bukit sekelilingnya, tempat berkemahnya pun jadi lebih variatif. 

Di sini kita bisa memilih untuk berkemah di atas bukit atau di pantai. Dua-duanya memiliki sudut pandang yang berbeda untuk menyajikan Samudera Hindia. Karena pantai ini berdekatan dengan pantai-pantai lainnya seperti Wedi Ombo, Watu Lawang, Botorubuh sehingga distribusi pengunjung lebih merata.

Camping Gunung Kidul
Wediombo mempunyai sudut pandang yang luas, cocok untuk menikmati matahari terbenam via TEMPO/Rahmat Setiadi

4. Pantai Wediombo

Pantai Wediombo, salah satu yang paling ramai dikunjungi di Gunung Kidul karena akses dari jalan raya ke pantai sangat dekat dibanding pantai-pantai lainnya di Gunung Kidul. Warung dan segala macam fasilitas juga mudah ditemui di sini. Garis pantainya cukup luas untuk dijelajahi dari ujung ke ujung. Banyak batu-batu karang yang dapat dijadikan pijakan dan dijadikan sudut foto menarik, bahkan ada yang membentuk kolam hingga kita bisa berenang di dalamnya!

Pantai di sini sedikit lebih dangkal dibanding pantai lainnya yang berdekatan tapi tetap saja tidak disarankan untuk berenang, karena arusnya yang deras dan dapat menarik pengunjung yang mencoba berenang terlalu jauh. 

Camping Gunung Kidul
Pantai yang menjadi tujuan utama snorkeling di Gunung Kidul via Flickr/Asmara Dewo

5. Pantai Nglambor

Pantai Nglambor adalah tujuan utama destinasi snorkeling di daerah Gunung Kidul, juga menjadi wilayah konservasi beberapa jenis biota laut serta terumbu karang. Untuk ukuran pantai selatan, kawasan pantai termasuk dangkal daripada yang lain, sehingga sangat cocok untuk melakukan snorkeling. Masyarakat di sini sangat menjaga kelestarian bawah laut, adanya tradisi ngalangi yaitu melarang penangkapan ikan kecuali sekali dalam setahun. Oleh sebab itu, kelestarian pantai selalu terjaga dari tahun ke tahun.

Nah, itu tadi merupakan pantai-pantai di Gunung Kidul yang TelusuRI  rekomendasikan untuk camping. Pastikan cuaca mendukung sebelum pergi agar tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain. Jangan lupa untuk selalu menjaga kebersihan pantai juga, ya!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 5 Pantai di Gunung Kidul yang Seru untuk ‘Camping’ appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/5-pantai-di-gunung-kidul-yang-seru-untuk-camping/feed/ 0 32670
Kemah di Pantai Karang Papak, Garut https://telusuri.id/kemah-di-pantai-karang-papak/ https://telusuri.id/kemah-di-pantai-karang-papak/#respond Mon, 03 Jan 2022 12:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31706 Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa teman memutuskan untuk berkemah di tepi pantai, tepatnya pantai di selatan Garut. Bukan tanpa alasan, kami memutuskan berangkat usai melihat data kasus COVID-19 melandai. Begitu pula dengan penerapan protokol...

The post Kemah di Pantai Karang Papak, Garut appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa teman memutuskan untuk berkemah di tepi pantai, tepatnya pantai di selatan Garut. Bukan tanpa alasan, kami memutuskan berangkat usai melihat data kasus COVID-19 melandai. Begitu pula dengan penerapan protokol kesehatan di tempat wisata yang cukup ketat. Kami kemudian bergegas mempersiapkan daftar pantai yang menjadi tujuan perjalanan kali ini. Adalah Pantai Cijeruk, Pantai Karang Papak, dan Pantai Cidora yang berada di pesisir selatan Garut.

Sebelum berangkat, kami mempersiapkan perlengkapan seperti tenda, perlengkapan tidur, beberapa senter dan baterai cadangan, perlengkapan memasak dan makan, pakaian ganti, obat, alat salat, dan lain-lain. Tidak lupa bawa minyak kayu putih kami bawa juga mengingat banyak nyamuk di pinggir pantai. Ditambah seperangkat teleskop kecil dan kamera untuk mengamati langit malam. Horizon yang terbuka lebar ditambah pengalaman melihat langit bertabur bintang saat ekskursi di Pantai Santolo membuat saya makin yakin untuk bawa teleskop.

Tujuan Pertama: Pantai Cijeruk

Kurang dari 4 jam perjalanan dari Garut Kota, kami sampai di daerah selatan Garut. Ada banyak sekali pilihan pantai menarik di sana. Prioritas utamanya memilih pantai yang nyaman, relatif sepi, dan mudah mendapat akses air bersih. Setelah berdiskusi sepanjang jalan, akhirnya ada dua pilihan, yaitu Pantai Cijeruk dan Pantai Karang Papak.

Lokasi pertama yang kami datangi adalah Pantai Cijeruk di Desa Sagara, Pameungpeuk. Belum banyak pengunjung yang datang ke pantai ini sehingga menjadi tempat yang cocok untuk berkemah.

Pantai Cijeruk
Jasa penyebrangan kendaraan di Pantai Cijeruk/Listya Dara Sunda Prabawa

Dari parkiran mobil, kami berjalan kaki sedikit melewati rindangnya pepohonan untuk sampai di dekat pinggir pantai. Kami memilih bagian pantai yang menjorok ke dalam agak jauh dari laut lepas. Suasananya sangat tenang, namun sayang, akses menuju air bersih tidak terlalu dekat. Akhirnya kami mengurungkan niat untuk berkemah di sini dan hanya singgah untuk istirahat.

Sambil duduk menikmati suasana pantai, kami memperhatikan orang-orang di sekitar. Ada yang sedang memancing, berenang, dan yang paling mencuri perhatian adalah jasa perahu yang sedari tadi sibuk menyeberangkan orang dan kendaraan. Ternyata di seberang ada pemukiman, akses menuju ke sana hanya bisa memutar jauh lewat pantai atau menyebrang menggunakan perahu. Meskipun menyenangkan memperhatikan kegiatan di sana, kami harus melanjutkan perjalanan karena hari sudah menjelang sore.

Bermalam di Pantai Karang Papak

Pantai Karang Papak terletak di Cikelet. Sesuai dengan namanya, ‘Karang Mapak’ artinya sepanjang pantai ini dipenuhi oleh karang. Lokasi yang cocok untuk berkemah karena sepi dan konturnya naik. Kami datang tepat waktu karena air laut sedang surut. Deretan batu karang terlihat jelas.

Akhirnya kami memutuskan untuk memancing ikan-ikan kecil terlebih dahulu. Saat sedang memancing, tiba-tiba seorang anak datang menghampiri. “Kieu yeuh cara ngala laukna,” maksudnya “begini cara menangkap ikannya,” katanya sambil jeli melihat ikan di cekungan karang. Benar saja, tidak butuh waktu lama, si anak sudah dapat ikan kecil.

Selain ikan, saya juga mencari mata lembu, keong khas dari Karang Papak. Namun, mencarinya tidak semudah itu. Saya hanya sesekali menemukan cangkang tanpa isi.

Deretan Karang Pantai Karang Papak/Listya Dara Sunda Prabawa

Tidak terasa hari menjelang senja, air laut mulai naik. Kami sudahi kegiatan memancing dan mulai mencari tempat untuk berkemah. Si anak tadi juga dengan cepat pulang ke rumahnya.

Kami berkeliling menyusuri pantai, lalu memilih lokasi di dekat pohon yang tidak jauh dari warung serta lengkap dengan toilet umum. Setelah mengobrol dengan pemilik warung, kami pun mendirikan tenda. Untuk mengurangi hembusan angin, kami memasang tenda di antara mobil dan pohon. Lalu, ada halangan dari terpal di sisi lain yang juga ikut menghalau angin.

Api unggun mulai dinyalakan, malam makin larut. Teleskop sudah dikeluarkan, tapi sayang langit berawan malam itu. Alih-alih melihat bintang, kami mengarahkan teleskop ke cahaya lampu kapal di tengah laut. Belum rezeki.

Pagi Sibuk Para Nelayan

Pagi hari langit masih berawan. Kami putuskan main ke dekat karang mumpung air belum terlalu pasang. Dari kejauhan terlihat kapal nelayan satu persatu mulai pulang. Ada celah pantai yang tidak berkarang untuk akses keluar masuk perahu. Ketika perahu sampai di bibir pantai, orang-orang mulai membantu mendorong perahu. Dengan satu komando perahu perlahan bisa naik ke tempat ‘parkir’.

Pantai Karang Papak
Gotong rotong mendorong kapal nelayan/Listya Dara Sunda Prabawa

Beberapa dari kami ikut membantu. Mendorong satu perahu saja cukup membuat kewalahan. Hebat sekali para nelayan di sini. Kami menghampiri nelayan yang baru pulang untuk melihat hasil tangkapannya. Beberapa cumi ukuran besar akhirnya ikut pulang bersama kami. 

Setelah sarapan dan mandi, kami merapikan tenda. Selesai berkemas dan membersihkan semua sampah, kami pamit kepada pemilik warung.

Singgah ke Pantai Cidora

Dari Pantai Karang Papak, kami pergi ke Pantai Cidora. Lokasinya di Desa Purbayani, tidak jauh dari Pantai Rancabuaya. Sama seperti Pantai Karang Papak, di pantai ini pun terlihat banyak sekali batu karang. Air lautnya tampak cantik perpaduan warna hijau dan biru. Kami makan dan beristirahat di sana sebelum melanjutkan perjalanan pulang.

Pengalaman perdana kemah di tepi pantai ternyata sangat menyenangkan. Sepanjang hari ditemani deburan ombak dan mengamati kehidupan nelayan di sana. Apalagi ada banyak pantai yang bisa dikunjungi di daerah selatan Garut. Kemah di pinggir pantai bisa masuk ke dalam daftar liburan teman perjalanan. Selalu ingat untuk selalu waspada dan tahu waktu kapan air laut pasang agar traveling bisa tetap aman, ya!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Kemah di Pantai Karang Papak, Garut appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kemah-di-pantai-karang-papak/feed/ 0 31706
Mengunjungi Pantai Kuta Mandalika Semasa Pandemi https://telusuri.id/mengunjungi-pantai-kuta-mandalika-semasa-pandemi/ https://telusuri.id/mengunjungi-pantai-kuta-mandalika-semasa-pandemi/#respond Sat, 13 Nov 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30231 Rabu, 22 Juli lalu saya mengunjungi Pantai Kuta Mandalika. Pantai dengan pasir berwarna putih seperti butiran merica ini terletak di kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Desa Kuta kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Melakukan perjalanan di masa...

The post Mengunjungi Pantai Kuta Mandalika Semasa Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
Rabu, 22 Juli lalu saya mengunjungi Pantai Kuta Mandalika. Pantai dengan pasir berwarna putih seperti butiran merica ini terletak di kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Desa Kuta kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Melakukan perjalanan di masa pandemi rasanya boleh-boleh saja asalkan kita tetap menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.

Berangkat dari rumah saya menempuh perjalanan sekitar satu jam. Akses menuju lokasi pastinya sudah memadai sebab, Pantai Kuta menjadi salah satu pantai yang dekat dengan lokasi perhelatan MotoGP 2021. Saat sampai di jalan by pass Bandara International Lombok (BIL) menuju Pantai Kuta perjalanan saya sedikit tersendat. Adanya truk-truk besar yang membawa material untuk pembangunan sirkuit menjadikan perjalanan terasa lebih lama sebab sulit mendahului kendaraan tersebut.  

Jalan Menuju Kuta Mandalika
Jalan menuju Kuta Mandalika/Nirma Sulpiani

Tiba di sana sekitar pukul 14.00 WITA, lalu lalang pengunjung tak begitu ramai padahal masih dalam suasana libur lebaran Iduladha, rasanya ini kali pertama saya melihat pantai dengan laut berwarna hijau toska ini cukup lengang.

Dari jauh saya memperhatikan pedagang perempuan paruh baya, menggunakan jilbab berwarna ungu panjang menutupi dada sedang menjajakan dagangannya di bawah kaki bukit Kuta mandalika.  Wajahnya terlihat tak asing, benar saja ketika langkah kaki saya semakin dekat, saya ingat perempuan itu ialah Riam atau akrab dipanggil inaq Unggul (ibu Unggul), beberapa bulan lalu videonya sempat viral karena berdebat menggunakan bahasa inggris dengan petugas keamanan pantai yang memintanya agar tidak berjualan guna memutus rantai COVID-19. 

Pantai Kuta Mandalika
Pantai Kuta Mandalika/Nirma Sulpiani

Semenjak menyaksikan videonya viral, dari sana pula keinginan saya untuk bertemu dengan inaq Unggul secara langsung, dan hari itu tanpa direncanakan, tanpa sengaja saya bertemu langsung dengannya. Senyum ramah nya menyambut saat saya sampai di lapak dagangannya.  Di sana saya memesan kelapa muda, sembari membuka kulit kelapa inaq Unggul  bercerita beberapa hari terakhir pengunjung memang sepi sehingga pendapatannya pun menurun. Kelapa yang  telah ia buka pun merupakan kelapa pertama yang laku setelah dua hari sepi pembeli. 

“Ini kelapa pertama yang laku setelah dua hari sepi,” kata Unggul. 

Ketika saya menanyakan tentang videonya viral, inaq Unggul pun mengiyakan hal tersebut, ia mengetahui bahwa dirinya viral di Facebook, akan tetapi ia sendiri tidak memiliki akun Facebook, ia menambahkan bahwa teman-temannya memiliki akun Facebook. Unggul bercerita Ia belajar bahasa Inggris dari turis asing yang berbelanja di lapaknya. 

Kelapa dari inaq Unggul kemudian menemani saya menikmati keindahan pantai. Angin pantai membawa ingatan saya kembali saat masih berusia kanak-kanak. Pantai Kuta memang selalu menjadi andalan keluarga untuk berlibur. Ombak yang tenang, bukit-bukit besar yang ada di sekitar pantai dan batu besar yang ada di bibir pantai, dulu batu itu menjadi tempat kesukaan kamu untuk foto bersama, sampai saat ini pun demikian, keindahannya masih tetap sama.

Lamunan saya terhenti ketika saya ditawarkan untuk membeli gelang dan mainan kunci khas Lombok. Memang, jika berkunjung ke Pantai Kuta, kita akan mudah menemui anak-anak yang menawarkan kerajinan tangan. 

Menikmati pesona pantai Kuta rasanya tidak cukup jika hanya duduk saja. Saya lalu menyusuri  keindahannya sambil berjalan kaki. Sesekali, saya memotret beberapa sudut Pantai Kuta. Salah satu yang saya foto yakni suasana Bukit Kuta Mandalika.

Masjid Nurul Bilad  Mandalika

Masjid Nurul Bilad
Masjid Nurul Bilad/Nirma Sulpiani

Hari itu, sebelum bertolak pulang saya singgah di Masjid Nurul Bilad untuk menunaikan salat Ashar. Lokasi Masjid Nurul Bilad berjarak sekitar 400 meter dari Pantai Kuta. Nuansa tradisional serta modern adalah kesan yang tersirat saat mengunjungi masjid yang diresmikan pada tahun 2017 oleh Presiden Joko Widodo ini. Dari beberapa artikel yang saya baca, bangunan Masjid Nurul Bilad terinspirasi dari Masjid Kuno Bayan, masjid pertama di Lombok yang terletak di Lombok Utara. 

Saat memasuki masjid kita akan menemukan miniatur masjid yang menggambarkan secara detail seluruh area masjid. Penerapan protokol kesehatan dalam beribadah juga telah diberlakukan di masjid ini,  pengaturan jarak satu meter posisi atar jamaah dengan memberikan tanda silang menggunakan isolasi. Melakukan perjalanan di masa pandemi ada baiknya jika membawa peralatan salat sendiri, khususnya untuk perempuan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Mengunjungi Pantai Kuta Mandalika Semasa Pandemi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengunjungi-pantai-kuta-mandalika-semasa-pandemi/feed/ 0 30231
Memaknai Fenomena Alam Pasca Badai Seroja https://telusuri.id/memaknai-fenomena-alam-pasca-badai-seroja/ https://telusuri.id/memaknai-fenomena-alam-pasca-badai-seroja/#respond Sat, 16 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30238 Seroja, bagi sebagian besar atau bahkan semua masyarakat Nusa Tenggara Timur pasti memiliki ketakutan, trauma, serta pengalaman tersendiri terhadap siklon tropis yang satu ini. Pasalnya, Seroja merupakan badai yang sempat menghantam dan memporak-porandakan wilayah Nusa...

The post Memaknai Fenomena Alam Pasca Badai Seroja appeared first on TelusuRI.

]]>
Seroja, bagi sebagian besar atau bahkan semua masyarakat Nusa Tenggara Timur pasti memiliki ketakutan, trauma, serta pengalaman tersendiri terhadap siklon tropis yang satu ini. Pasalnya, Seroja merupakan badai yang sempat menghantam dan memporak-porandakan wilayah Nusa Tenggara Timur pada Minggu, 4 April 2021 pukul 24.00 WITA.

Badai tersebut berupa hujan deras dan angin kencang yang berlangsung selama beberapa jam. Badai yang terjadi malam itu benar-benar membuat saya dan seisi rumah, bahkan semua masyarakat NTT, ketakutan setengah mati. Benar-benar dahsyat. Cuaca ekstrem tersebut di diklaim merupakan Siklon Tropis Seroja yang terkuat dibandingkan siklon-siklon sebelumnya yang pernah terjadi di Indonesia.

Kekuatan angin kencang dan hujan deras sepertinya tidak saja mengakibatkan gedung menjadi rusak, rumah, jalan, jembatan, fasilitas umum, sawah, dan sebagainya rusak. Tetapi juga meninggalkan fenomena-fenomena alam yang unik dan berkesan. Diantaranya, kemunculan danau dan pulau baru setelah hantaman Badai Seroja malam itu, yang keindahan dan kenikmatannya masih dirasakan hingga saat ini.

Gundukan batu-batu besar
Gundukan batu-batu besar/Resti Seli

Kali ini saya “berkelana” mengunjungi salah satu fenomena alam yang terbentuk pasca Seroja di wilayah Pantai Nunhila, Kecamatan Alak, Kota Kupang, ialah gundukan pasir dan bebatuan besar, tersusun memanjang lebih dari 100 meter. Gundukan ini jika dilihat dari jauh maka akan terlihat seperti pagar yang menghalangi amukan gelombang besar terjadi di pantai ini. Namun jika dilihat secara dekat yaitu ketika kamu menginjakkan kaki di atasnya, maka gundukan ini terlihat seperti sebuah pulau kecil yang terdiri dari bebatuan besar, pasir laut, serta karang-karang kecil.

Gundukan ini hanya terbentuk satu malam saja selama Badai Seroja berlangsung. Diperkirakan, saat Badai Seroja terjadi, angin kencang menyebabkan gelombang besar yang dapat memberikan dorongan besar sehingga mampu membawa pasir dan bebatuan besar menjadi bertumpuk pada suatu tempat, maka terbentuklah gundukan mirip pulau tersebut. Saya mengambil nilai positifnya saja, mungkin dengan adanya pagar buatan alam ini dapat menahan laju gelombang yang begitu besar malam itu, tentu untuk keselamatan warga pesisir.

Terletak di Kota Kupang sehingga mudah dijangkau oleh siapa saja, ditambah lagi untuk biaya masuk hanya perlu membayar Rp2.000/motor. Ketika saya datang, saya disambut senyum hangat dari anak-anak sekitar yang bertugas menjaga pintu masuk menuju pantai sehingga, kesan pertama yang saya dapat adalah ramah. Namun, bukankah memang orang-orang Nusa Tenggara Timur selalu ramah terhadap siapa saja?

Tempat menikmati jajanan mirip kafe
Tempat menikmati jajanan mirip kafe/Resti Seli

Untuk mencapai pulau ini, kamu cukup berjalan kaki saja ketika air sedang surut. Saran saya, silahkan datang ketika sore hari, terlepas dari air yang sedang surut, menikmati senja dan berfoto-foto di pulau kecil ini sangat bagus dan mengasyikan. Terdapat juga kapal-kapal kecil yang terparkir dengan baik.

Pengunjung yang hadir terlihat antusias menapaki gundukan ini dan berlomba-lomba berburu foto bersama kilaunya senja. Jika kamu datang pada siang hari, sebaiknya bawalah payung untuk berteduh dari terik matahari karena di sini belum tersedia lopo atau gazebo. Hanya terdapat beberapa pohon lontar yang berjejer rapi, namun posisinya tidak strategis untuk menikmati keindahan pantai dari situ, apalagi pohon-pohon ini berbatasan langsung dengan jalan raya, sehingga akan sangat terdengar keributan kendaraan yang lewat.

Jadi, saran saya sebaiknya datang lah pada sore hari. Namun, lampu penerang yang belum memadai membuat suasana pada malam hari akan terasa sangat gelap. Pada malam hari, dari pantai ini kamu bisa melihat nyala lampu rumah-rumah yang berada di dataran tinggi, sehingga bisa menambah kesan romantis.

Anak-anak bermain
Anak-anak bermain/Resti Seli

Saya melihat suasana sore di pantai ini cukup ramai. Pesisir pantai yang luas dimanfaatkan anak-anak sekitar untuk bermain bola kaki, berlarian kesana kemari dan tertawa, serta pengunjung yang duduk pada tanggul-tanggul yang disediakan sambil menikmati salome—jajanan yang terkenal di NTT, mirip cilok namun lebih sedikit padat dan berserat—lalu jagung bakar, bagi kamu pecinta kopi, di sini juga tersedia kopi panas atau dingin. Untuk menikmati salome, pengunjung bisa duduk kursi kecil dan meja kecil yang terlihat seperti “kafe” karena dihiasi lampu tumblr.

Setelah Seroja terjadi, pantai yang hancur ini kembali ditata jauh lebih baik sebagai tempat wisata yang menarik perhatian, ditambah lagi muncul fenomena gundukan batu dan pasir tersebut, tentu semakin menambah kesan menarik, indah, dan “ajaib”. 

Saya tertegun dan berpikir “Ada pelangi sehabis hujan.” Artinya setelah hantaman Badai Seroja yang begitu dahsyat, ketakutan dan kekhawatiran selama satu malam itu, oleh-Nya digantikan mahakarya yang bisa kita nikmati keindahannya, bahkan bisa menjadi tempat melepas lelah, mencari inspirasi, ketenangan, dan pastinya memanjakan mata kita. Ini semua bisa kita nikmati untuk jangka waktu yang lama, asalkan kita mau menjaga dan memelihara fenomena-fenomena indah ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memaknai Fenomena Alam Pasca Badai Seroja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memaknai-fenomena-alam-pasca-badai-seroja/feed/ 0 30238
Bermain Galasin dan Melihat Aktivitas Penduduk di Pantai Oesina https://telusuri.id/bermain-galasin-di-pantai-oesina-dan-melihat-aktivitas-penduduk/ https://telusuri.id/bermain-galasin-di-pantai-oesina-dan-melihat-aktivitas-penduduk/#respond Thu, 30 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29351 04 Juli 2021 lalu, saya bersama 30 orang teman pemuda dan pemudi gereja memiliki agenda akhir pekan yakni melakukan rekreasi bersama di Pantai Oesina atau yang dikenal dengan sebutan Pantai Air Cina. Dinamakan Air Cina...

The post Bermain Galasin dan Melihat Aktivitas Penduduk di Pantai Oesina appeared first on TelusuRI.

]]>
04 Juli 2021 lalu, saya bersama 30 orang teman pemuda dan pemudi gereja memiliki agenda akhir pekan yakni melakukan rekreasi bersama di Pantai Oesina atau yang dikenal dengan sebutan Pantai Air Cina. Dinamakan Air Cina bukan berarti penduduk di sini keturunan Cina, tetapi karena dulunya pantai ini menjadi tempat bersandar kapal-kapal dagang dari Cina. Sedangkan, Oesina sendiri memiliki arti Oe “air” dan Sina “Cina”. Jadi, Oesina berarti Air Cina.

Pantai Oesina terletak di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pantai ini terletak sekitar 30 km dari pusat Kota Kupang dan memerlukan waktu kurang lebih 1 jam untuk sampai. Akses jalan sudah cukup baik, walaupun masih terdapat banyak lubang dan juga jalan bebatuan. Namun, masih sangat bisa ditempuh oleh motor, mobil, maupun truk.

Kami pergi dengan menggunakan kendaraan yang telah kami siapkan sebelumnya, dikarenakan tidak ada angkutan umum yang memiliki jalur rute menuju pantai tersebut. Kami sampai pukul 13.00 WITA dengan disambut oleh dua ibu-ibu yang duduk menjaga gerbang masuk pantai. Kami membayar uang masuk dengan kisaran Rp6.000 untuk masing-masing dua orang dan motor yang ditumpangi.

Jejeran Gazebo Pantai Oesina
Jejeran gazebo di Pantai Oesina/Resti Seli

Pantai ini tertata rapi dengan jejeran gazebo sebagai alternatif tempat berteduh dan berkumpul sambil melakukan kegiatan-kegiatan santai. Jangan khawatir apabila tidak membawa persediaan makanan yang cukup, karena pantai ini memiliki warung atau kios-kios untuk menjajalkan makanan dan minumannya.

Setelah sampai, kami langsung menuju gazebo yang sudah dipesan sebelumnya dengan membayar uang sewa Rp50.000. Namun, karena kami berjumlah 30 orang sehingga gazebo kecil itu tidak akan cukup menampung kami maka, gazebo itu hanya kami pakai untuk menaruh makanan dan minuman yang telah kami bawa masing-masing. Sedangkan untuk duduk dan bersantai, kami membuka terpal yang dibawa sebagai alas duduk kami. Sederhana, tetapi sangat menyenangkan. Kami memilih tempat yang sangat strategis, tepat dibawah sebuah pohon rindang sehingga kami tidak memerlukan “atap” lagi. Setelah mendapatkan tempat yang nyaman, kami memulai rekreasi dengan bermain games mulai dari flip bottle, mencari dan mengumpulkan teman, hingga permainan tradisional galasin atau gobak sodor. 

Suasana di Pantai Oesina
Suasana di Pantai Oesina/Resti Seli

Pasir pantai yang putih dan bersih membuat siapa saja dengan rela merebahkan diri diatas pasir ini. Namun, pasir ini merupakan jenis yang biasa kami sebut “pasir tanam” sehingga cukup melelahkan apabila berlari dan melompat di pasir ini. Jenis pasir ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami untuk bermain galasin. Kami membuat dua tim dengan masing-masing berjumlah 6 orang. Satu tim bermain dan satu tim berusaha menghadang.

Permainan ini mudah dimengerti dan mudah dilakukan karena tidak memerlukan peralatan-peralatan pendukung lainnya. Cukup membutuhkan ketangkasan dan kecepatan dalam berlari. Namun, apabila berlari diatas “pasir tanam” itu sangat membutuhkan energi dan tenaga yang banyak. Itulah kenapa tim yang mendapat giliran bermain sangat sering tertangkap. Kami menikmati permainan itu, bahkan cuaca panas terik tak kami hiraukan.

Setelah cukup puas bermain, kami mulai berpencar untuk mencari spot foto masing-masing. Saya berjalan menuju arah tebing yang sepertinya akan dibangun dermaga disana. Tebing itu besar dan panjang, menjadi ikon khas Pantai Air Cina. 

Aktifitas Penduduk Mencari Batu Karang Kecil
Aktifitas penduduk mencari batu karang kecil/Resti Seli

Sembari melihat-lihat aktivitas pengunjung, saya juga melihat aktivitas penduduk di sekitaran pantai ini. Ada yang sedang memeriksa juluran temali memanjang dan mengapung di permukaan air dengan bantuan botol plastik, menandakan penduduk disini aktif membudidayakan rumput laut. Saya juga melihat ada seorang ibu bersama dua anaknya yang sedang memilih batu-batu karang kecil, sepertinya akan dijual bagi pengunjung yang mampir atau untuk keperluan mereka sendiri. Saya teringat pada kalimat pendek yang pernah saya dengar “alam telah menyediakan semuanya, tinggal bagaimana kamu mengusahakannya” dan memang benar. Buktinya mayoritas masyarakat pesisir sangat bergantung pada laut dan segala isinya. Begitu juga bagi masyarakat di daerah dataran tinggi misalnya, penduduknya pasti sangat bergantung pada kondisi pertanian mereka.

Jalan-jalan singkat sembari mengamati sekeliling membuat saya tidak menyadari bahwa hari sedikit lagi akan selesai, dan matahari mulai menampakkan senjanya seolah-olah sebagai ucapan pamit kepada saya dan orang-orang di pantai ini. Senja disini indah bukan main, sangat pas bagi yang ingin berfoto ala-ala siluet.

Senja di Pantai Oesina
Senja di Pantai Oesina

Hari semakin gelap, kami kembali berkumpul kemudian bersiap-siap membereskan barang bawaan kami dan tidak lupa memungut sampah kami dan membuangnya ke tempat yang telah disediakan. Tentu saja, agar pantai ini tetap bersih dan memiliki keindahan yang asri.

Kami pulang dengan rasa lelah bercampur senang, bahagia, dan bersyukur (setidaknya bagi saya). Iya, bersyukur! karena masih diberi kesempatan untuk menghabiskan waktu, bermain, tertawa, dan bergembira bersama hari itu. Sekaligus, bisa melihat dan mengamati aktivitas penduduk di sana lebih dekat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bermain Galasin dan Melihat Aktivitas Penduduk di Pantai Oesina appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bermain-galasin-di-pantai-oesina-dan-melihat-aktivitas-penduduk/feed/ 0 29351
Suasana Bali di Pantai Bali Lestari, Serdang Bedagai https://telusuri.id/suasana-bali-di-pantai-bali-lestari-serdang-bedagai/ https://telusuri.id/suasana-bali-di-pantai-bali-lestari-serdang-bedagai/#comments Sat, 25 Sep 2021 00:52:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30543 Random banget seharian bosan di rumah, lihat berita tentang COVID-19 tak ada habisnya. Saya putuskan ikut keluar bersama 3 pasang teman yang sudah berumahtangga. Berusaha menjadi jomblo happy dengan mengendarai motor sendiri.  Setelah mengadakan diskusi...

The post Suasana Bali di Pantai Bali Lestari, Serdang Bedagai appeared first on TelusuRI.

]]>
Random banget seharian bosan di rumah, lihat berita tentang COVID-19 tak ada habisnya. Saya putuskan ikut keluar bersama 3 pasang teman yang sudah berumahtangga. Berusaha menjadi jomblo happy dengan mengendarai motor sendiri. 

Setelah mengadakan diskusi ringan, dan menyelesaikan makan siang kami memutuskan untuk mengunjungi pantai. Sebuah pantai yang sudah lama menjadi pusat perhatian warga Sumatera, khususnya Kota Medan, namanya “Pantai Bali Lestari”. Letaknya juga tak jauh dari kota Medan. Kurang lebih 1 jam untuk sampai di lokasi, tepatnya di Serdang Bedagai. 

Matahari bersahabat hari ini, saya yang mengendarai motor sendiri harus sabar menyaksikan genggaman erat para istri di belakang supirnya masing-masing, yang tak lain adalah suami mereka sendiri. Sedangkan saya, harus bergenggaman dengan setir motor. Tak apa, pikir saya. Kelak juga akan merasakan yang sama. 

Payung Gantung
Payung Gantung/Anggi Kurnia Adha

Setelah menempuh jalanan penuh debu dan angin yang kian masuk ke tubuh, kami pun sampai di Pantai Bali-nya Sumatera. Baru saja memarkirkan motor, lagu khas Jawa sudah berdendang di telinga. Padahal jarak parkiran dengan pintu masuk cukup jauh. Kami pun  disambut dengan ramah oleh pelayan yang mengenakan bunga tepat di belakang telinganya, lengkap dengan pakaian khas Jawa.

Berdirinya pohon pinus dengan sejajar menambahkan suasana yang damai di tepi pantai.  Tidak hanya itu, berbagai patung yang diukir menjadikan pantai ini benar-benar ingin mengenalkan budaya Bali. Di pintu masuk saja sudah berdiri kokoh beberapa patung besar beserta gapuranya. Bukan cuma patung Bali yang menjadi daya tarik, akan tetapi payung-payung yang bergantungan menjadi hal unik. Saya tidak mengerti filosofi payung warna-warni tersebut, yang saya tahu payung berfungsi untuk melindungi diri dari buruknya cuaca.

Patung Bali
Patung Bali/Anggi Kurnia Adha

Perlahan saya mulai mendekati suara yang sedari tadi sudah memanggil ketenangan jiwa. Itu adalah deburan ombak. Meskipun air lautnya tidak sebening Bali, tapi angin laut tetap memberikan ketenangan yang sama. Alam sungguh magis, sebab mampu menyejukkan hanya dengan sekali tarikan napas. 

Deburan ombak beradu keras dengan suara kapal-kapal kecil mencari penumpang yang ingin menyeberang. Tak banyak yang menaiki kendaraan laut tersebut, mungkin karena cuaca yang tak menentu akhir-akhir ini menjadi alasannya. Atau tidak ada pulau di seberang yang bisa dikunjungi. Meski begitu, beberapa remaja terlihat bermain banana boat dengan serunya. Sesekali teriakan dan tawa terdengar nyaring. 

Saya urungkan niat untuk bermain air dan meninggalkan mereka Saya memilih berjalan mengitari tepi pantai, melihat senja mulai menunjukkan rupanya. Perlahan matahari mulai turun, pertanda malam akan segera turun. Semilir angin menyadarkan saya dalam lamunan, bahwa yang saya lihat adalah senja, bukan kenangan bersama mantan. 

Berjalan Mengitari Tepi Pantai
Berjalan Mengitari Tepi Pantai/Anggi Kurnia Adha

Ketika mengitari tepi pantai, saya melihat sebuah patung wanita yang sangat tak asing tokohnya dalam cerita Indonesia. Rambutnya diukir begitu panjang, dengan mengenakan pakaian duyung. Di satu sisi patung itu mirip dengan putri duyung, di sisi lain ia juga terlihat seperti Ratu Roro Kidul. Saya tak memahami apa maksud patung tersebut berdiri kokoh di tepi pantai. Untung saya tak mengenakan baju hijau, seperti yang dikisahkan. Konon katanya Ratu Laut tersebut akan membawa siapa saja ke dunianya yang memakai baju hijau jika di laut. Tak perlu untuk dipercaya, tapi tak salah juga jika tak ingin mengenakan warna baju yang dimaksud. Hidupkan pilihan, apa lagi soal keyakinan. 

Setelah menikmati alam dan segala kemistisannya, saya dan tiga pasang suami istri mulai mengabadikan gambar dan beberapa video. Sudah dipastikan saya yang akan memotret mereka dan sudah jelas bahwa mereka juga yang mengambil gambar saya. Namanya juga manusia, harus saling membutuhkan. Mereka perlu gambar untuk mengenang kebersamaan di pantai, saya perlu juga untuk mengabadikannya di sosial media. 

Icon Pantai Bali Lestari
Icon Pantai Bali Lestari/Anggi Kurnia Adha

Angin sepoi-sepoi membuat daun pinus menari ke kanan dan kiri seirama. Menyejukkan mata melihatnya. Saya pun duduk tepat dikelilingi pohon-pohon tersebut. Ternyata perut mulai menggerutu, waktunya menyantap makanan sesuai dengan isi kantong masing-masing. Kalau di pantai enaknya makan seafood, akan tetapi cuan tak mencukupi. Saya hanya memesan semangkuk mie instan dan secangkir kopi. Perpaduan yang dapat mengenyangkan dan mengurangi rasa kantuk ketika berkendara akan pulang. Maklum, saya masih mahasiswa. Bisa liburan di pantai saja sudah bahagia, apa lagi adanya kopi dan semangkuk mie, inilah definisi jomblo happy

Langit semakin gelap, matahari tak lagi terlihat. Waktunya untuk pulang. Saya lupa, kalau semakin sedikit cahaya, semakin sulit untuk melihat. Silindris ini menjadi tantangan bagi saya agar bisa menaklukan rasa takut. Bila saat perjalanan menuju Pantai Bali Lestari memakan waktu 1 jam. Untuk pulang ke rumah saya harus sabar menempuh waktu kurang lebih 2 jam. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Suasana Bali di Pantai Bali Lestari, Serdang Bedagai appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suasana-bali-di-pantai-bali-lestari-serdang-bedagai/feed/ 1 30543
Merekam Kebersamaan di Pantai Air Cina https://telusuri.id/merekam-kebersamaan-di-pantai-air-cina/ https://telusuri.id/merekam-kebersamaan-di-pantai-air-cina/#respond Sun, 05 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29012 Akhir pekan tanggal 19 Juni 2021 lalu, saya dan beberapa teman memilih Pantai Oesina atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan Pantai Air Cina sebagai tempat untuk menghilangkan kepenatan sekaligus mengukir satu lagi kisah kebersamaan...

The post Merekam Kebersamaan di Pantai Air Cina appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir pekan tanggal 19 Juni 2021 lalu, saya dan beberapa teman memilih Pantai Oesina atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan Pantai Air Cina sebagai tempat untuk menghilangkan kepenatan sekaligus mengukir satu lagi kisah kebersamaan kami. Tentunya agenda ini kami lakukan sebelum kembali kesibukan menjalani peran sebagai mahasiswa tingkat akhir yang akan membuat kami kehilangan kesempatan untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama. Untuk alasan kuat inilah, kami menyusun rencana jauh-jauh hari.

Pemilihan Pantai Air Cina bukan tanpa alasan. Sejak kepulangan kami dari sana beberapa tahun lalu, tempat itu seperti menarik kami untuk kembali lagi. Karena itu, kami memutuskannya tanpa banyak pertimbangan.

Menurut beberapa sumber, penamaan Air Cina sendiri berasal dari kata “oe” yang berarti air dan “sina” yang dipercayai merupakan nama nenek moyang Desa Nefo yang dulunya pernah tinggal di pinggir pantai ini. Namun, pengunjung yang datang sering melafalkan Sina dengan Cina, sehingga lambat laun pantai ini dikenal dengan sebutan Air Cina.

Terletak di antara Desa Nefo dan Desa Panaf, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, kami harus menempuh perjalanan sekitar 1 jam dari Kota Kupang menggunakan sepeda motor. Sebagian jalan yang tidak cukup ramah terutama saat mendekati tempat tujuan, membuat kami harus ekstra hati-hati serta bersabar agar dapat menjumpai keindahan Pantai Air Cina dengan aman dan selamat. Begitu sampai di pintu masuk, kami diberi karcis yang dikenakan biaya Rp2.000 untuk setiap orang dan Rp2.000 untuk kendaraan beroda dua. 

Langit cerah, laut biru kehijauan dan pasir putih halus yang membentang sepanjang pesisir pantai Air Cina menyambut kedatangan kami sekitar pukul 15.30 WITA. Awalnya, kami sedikit kebingungan mencari tempat istirahat, sebab hampir semua pondok telah ramai oleh pengunjung. Tidak dapat dipungkiri Pantai Air Cina punya pesona yang tidak bisa diabaikan meski lokasinya yang sedikit tidak mudah dijangkau.

Selang beberapa menit pencarian, akhirnya kami menemukan satu pondok yang tepat berada di depan laut, baru saja ditinggalkan penghuninya. Saya dan teman-teman bergegas menempatinya sebelum ada yang mendahului. Panas matahari memenuhi sebagian besar pondoknya, sehingga kami harus duduk di salah satu sudutnya. 

Berjalan di tepi pantai/Yosefa Rosa Bruno Saru

Setelah sedikit melepas lelah, saya dan teman-teman memutuskan untuk terlebih dahulu mengembalikkan energi kami yang cukup terkuras selama perjalanan. Mula-mula, kami menyantap pisang dan roti goreng, buatan salah seorang teman kami bernama Anggie. Lalu dengan kompor lapangan dan gas kaleng serta peralatan masak seadanya, kami membuat kudapan selanjutnya yang terdiri dari sosis, bakso ikan, dan bakso telur. Rasanya berkali-kali lipat lebih nikmat. Mungkin karena dimakan secara bersama-sama dengan suguhan pemandangan yang begitu memanjakan mata. Diiringi musik yang membuat kami mengadakan konser kecil-kecilan serta diselingi cerita-cerita lucu, tidak terasa kami telah menghabiskan waktu sekitar 1 jam lebih beberapa menit, makanan kami pun habis tak tersisa.

Hari semakin sore, tapi nyatanya suasana sekeliling masih begitu ramai. Tidak sedikit yang berjalan menyusuri pantai, mencari angle foto yang menarik. Namun ada yang tetap setia berada di dalam pondok, menikmati suasana Pantai Air Cina sambil bercengkrama dengan teman-teman mereka, tapi tentunya kami tidak termasuk dalam kategori ini. Saya dan teman-teman, seperti kebanyakan pengunjung, tidak ingin meninggalkan Pantai Air Cina tanpa membawa pulang kenang-kenangan dalam bentuk foto dan video. 

Berfoto bersama/Yosefa Rosa Bruno Saru

Matahari hampir tenggelam, semburat jingga mendandani cakrawala dengan sangat indah, Pantai Air Cina semakin mempesona di bawahnya. Beberapa pengunjung mulai berkemas untuk pulang, begitu juga dengan kami. Ungkapan yang mengatakan bahwa ketika kita sedang bahagia, waktu terasa berjalan lebih cepat, sepertinya benar. Waktu 2.5 jam yang kami habiskan di sini, rasanya masih kurang. Meski sangat betah, kami tetap harus kembali. Setidaknya, kami tidak pulang dengan tangan kosong. Kami telah mengantongi harapan untuk kembali melangkah ke depan dengan penuh semangat dan lebih dari itu, kami berhasil mengukir satu lagi kenangan indah bersama. 

Saya dan teman-teman menyimpan semua barang bawaan kami dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah beres, kami pun meninggalkan pondok. Namun sebelum pulang, kami mengumpulkan sampah-sampah kami dalam satu plastik, lalu membuangnya pada tempat yang telah tersedia. Setidaknya itu merupakan cara kami berterima kasih kepada alam sekaligus merawat keindahan Pantai Air Cina yang telah membantu kami untuk beristirahat sejenak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merekam Kebersamaan di Pantai Air Cina appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merekam-kebersamaan-di-pantai-air-cina/feed/ 0 29012
Pantai Sundak dan Kemping Tanpa Rencana https://telusuri.id/pantai-sundak-dan-camping-tanpa-rencana/ https://telusuri.id/pantai-sundak-dan-camping-tanpa-rencana/#respond Sat, 04 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29019 Sekiranya tengah hari, matahari terik, dan suara-suara kendaraan yang amat mengganggu gendang telinga. Kepala terasa pening, rasanya gelisah, bosan, semua yang dilakukan di kamar kos amat membosankan. Maklum mahasiswa yang tiap hari berhadapan dengan laptop....

The post Pantai Sundak dan Kemping Tanpa Rencana appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekiranya tengah hari, matahari terik, dan suara-suara kendaraan yang amat mengganggu gendang telinga. Kepala terasa pening, rasanya gelisah, bosan, semua yang dilakukan di kamar kos amat membosankan. Maklum mahasiswa yang tiap hari berhadapan dengan laptop. Kuliah. Kuliah online, bosan bukan?

Saya tentu harus jujur sangat bosan. Siapa coba yang tak bosan menghadapi tugas-tugas yang ruwetnya minta ampun, apalagi kalau materinya sulit dipahami, ampun dah. Canda.

Saya menghubungi seorang kawan lewat WhatsApp. Siang itu. Pesan terkirim, centang dua. Beberapa menit kutunggu, setengah jam, belum ada balasan. Setelah satu jam, masih sama juga, dua jam lewat kiranya, “Ayo, gas,” balasnya.

Menyiapkan tas, sepasang pakaian ganti, kompor portable, dan wajan kecil, untuk masak. Saya berangkat menjemput kawan yang baru saja ajak. Ada beberapa kawan lain di sana. Kami ajak beberapa kawan itu untuk ikut. Mereka sepakat mau ikut.

Satu dua hal yang harus disiapkan adalah tujuan. Mau kemanapun, yang harus jelas ya tujuan. Karena camping yang diadakan, tanpa direncanakan sebelumnya, hanya berselang beberapa jam saja, karena pengen saja, tempat memang belum kami tentu. Di sinilah memakan cukup waktu lama. Kami membuka Google dan Google Maps. Pilih-pilih tempat mana yang sekiranya cocok. Tapi, mungkin satu jam, tidak ada hasil pantai mana yang mau dituju.

Beberapa teman yang kami ajak akan menyusul pagi hari. Karena tidak mau ambil pusing, jadi kami tetap berangkat berdua saja. Kami kemudian mampir di salah satu tempat penyewaan alat-alat outdoor. Satu tenda dan dua matras kami angkut. Awalnya kami tidak ingin menyewa tenda, sebab beberapa hari ini sering hujan kami pikir benda ini akan diperlukan.

Pantai Sundak jadi pilihan

Papan alamat/Janika Irawan

“Jalan saja, entar tak cari pantai sembari di motor,” ujar saya pada seorang kawan. Kebetulan saya bonceng.

Mencari-cari di Google, banyak pantai yang terlihat cukup menarik di Gunung Kidul—dipinggir pantai banyak warung yang menjajakan makan-makanan, yang tak akan kesusahan saat perut terasa lapar, tenda-tenda bercokol di sisi pinggir pantai, bukit-bukit, menjadi sangat kelihat apik di layar gawai saya yang sudah butut ini.

Sebab pertimbangan, tempat: tidak terlampau jauh, saya langsung membuka Maps, Google Maps maksudnya. Toh, dalam aplikasi ini lengkap menyajikan informasi tempat hingga foto lokasi. Klik ini, klik itu, klik lagi, hampir semua pantai yang ada di Gunung Kidul saya kunjungi, tentu lewat Google Maps. Saya tetap bingung pilih yang mana, masing-masing menarik dan indah. Ada yang asri sepi pengunjung, ada pula yang ramai dan sering jadi destinasi keluarga.

Tribun mengarah ke pantai/Janika Irawan

Tentu, buat camping kami harus memilih yang sepi, terpencil bahkan. Tapi tetap yang sedikit dekat. Sundak, ya, pantai Sundak. Itulah pilihan saya dan kawan waktu itu. Tepatnya saya sendiri yang pilih. Maps langsung saya aktifkan rutenya melalui panduan teknologi yang cukup cerdas itu. Teknologi yang amat membantu.

Pantai Sundak. Sekiranya dua jam lebih sedikit dari pusat Kota Yogyakarta, terletak di Desa Sidoharjo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul. Akses jalan ke pantai Sundak, dan mayoritas pantai Gunung Kidul sudah sangat baik. Aspal mulus. Ada yang parkir motor atau mobil langsung di tepi pantai, ada pula yang sedikit jauh, butuh jalan kaki sedikit ekstra. Tapi untuk Sundak, memang sangat bersahabat, tak perlu jalan kaki jauh-jauh, hanya beberapa meter saja.

Bermalam Di Pantai Sundak

Berangkat pukul 15.45—lebih atau kurang sedikit—dari Jogja, pukul 18.00 kami baru sampai. Sudah gelap, dan angin-angin pantai cukup syahdu. Gemuruh ombak yang cukup pelan dan bersahabat layak alunan nada-nada. Kami memarkirkan motor. Biaya parkir satu motor Rp10.000, dan biaya masuk kawasan wisata Rp10.000 per orang. 

Kami tidak langsung mendirikan tenda. Kami duduk di pondok-pondok kecil di tepi pantai. Kalau malam gratis, tapi kalau siang ada biaya sewanya. Bisa dibilang pantai ini cukup ramai, sangat komersialisasi bagi anak kos seperti kami. “Ini kalau siang ditagih bayar,” ujar kawan saya sembari melepaskan asap rokok dari mulutnya.

Angin pantai yang tidak terlalu kencang. Kawan saya mulai memainkan kamera gawainya, merekam sudut-sudut malam pantai. Sesekali ia arahkan ke laut lepasan, sesekali ia arahkan ke tebing.

Beberapa saat duduk menghabiskan keripik singkong, kami memilih lokasi untuk menghamparkan tenda, dan mendirikannya. Beberapa saat tenda berdiri, barang-barang kami masukkan. Dan waktu itu pula panggilan perut cukup terasa.

Kami menghidupkan kompor dan mulai memasak. Sebab kami bukan lelaki yang punya banyak uang, lebih-lebih buat ongkos pulang. Mie instan, itu menu makan malam pilihan kami. Mie kuah diterpa angin laut dan suara ombak-ombak, terasa lebih nikmat.

Pantai Sundak pagi hari/Janika Irawan

Pagi. Cahaya masuk di sela-sela jendela tenda. Saat itu saya sudah diluar sebelum matahari nampak jelas. Dari bagian barat, dan timur, sisi kiri dan kanan, ternyata Pantai Sundak cukup indah juga. Sisi-sisi tebing bebatuan, sebagian dirambah bangunan, pasir-pasir putih coklat, dan para pasangan muda yang muncul dari salah satu penginapan. Sialnya saya diminta memotret pasangan tersebut. Ah, pas lagi bermesraan lagi!

Semasa corona ini, mari pandai-pandai memilih waktu berlibur. Untuk sekedar menghela nafas diantara kesibukan kerja dan kuliah. Tapi, tetap patuhi protokol kesehatan tentunya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pantai Sundak dan Kemping Tanpa Rencana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pantai-sundak-dan-camping-tanpa-rencana/feed/ 0 29019
Yang Datang Selepas Hujan di Pantai Muaro Mangguang https://telusuri.id/yang-datang-selepas-hujan-di-pantai-muaro-mangguang/ https://telusuri.id/yang-datang-selepas-hujan-di-pantai-muaro-mangguang/#respond Wed, 18 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28832 Bunyi hempasan ombak sayup-sayup mulai menyerang telinga saya secara perlahan. Saya menghentikan sepeda motor di tepian dermaga sebelah kanan tepat menghadap ke laut. Dermaga ini terbagi dua dengan jalur masuk yang berbeda pula. Di antara...

The post Yang Datang Selepas Hujan di Pantai Muaro Mangguang appeared first on TelusuRI.

]]>
Bunyi hempasan ombak sayup-sayup mulai menyerang telinga saya secara perlahan. Saya menghentikan sepeda motor di tepian dermaga sebelah kanan tepat menghadap ke laut. Dermaga ini terbagi dua dengan jalur masuk yang berbeda pula. Di antara kedua dermaga, terbentang sebuah muara sungai yang menyatu dengan laut. Muaro Mangguang, begitulah warga sekitar menyebut kawasan ini. Jaraknya kurang lebih sekitar lima kilometer dari pusat Kota Pariaman, kota yang terletak di pesisir pantai Sumatera Barat. 

Sebagai daerah yang terletak di pinggir pantai, Pariaman sudah menjadi tujuan perdagangan dan rebutan bangsa asing yang melakukan pelayaran kapal laut beberapa abad silam. Tomé Pires, seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia dalam Suma Oriental (1513-1515) mencatat bahwa telah ada lalu lintas perdagangan antara India dengan Pariaman, Tiku dan Barus. Dua-tiga kapal Gujarat mengunjungi Pariaman setiap tahunnya membawa kain untuk penduduk asli di barter dengan emas, gaharu, kapur barus, lilin, dan madu. Pires juga menyebutkan bahwa Pariaman telah mengadakan perdagangan kuda yang dibawa dari Batak ke Tanah Sunda.

Dalam sebuah jurnal bertajuk Jejak Peradaban Masa Lalu di Kota Pariaman yang ditulis oleh Efrianto. A dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, menyebutkan bahwa ada beberapa pendapat mengenai asal – usul nama Pariaman. Berasal dari kata parik nan aman, maksudnya pelabuhan yang aman. Hal ini disebabkan setiap kapal yang singgah di pelabuhan untuk memuat hasil bumi berlabuh dengan aman. Sedangkan pendapat lain mengungkapkan Pariaman berasal dari kata peri yang aman, artinya orang yang baik, berbudi tinggi dan berbudi luhur, sehingga dikatakan Priaman.

Hamka menyatakan bahwa nama Pariaman berasal dari kata “bari aman,” yang berarti “tanah daratan yang amat sentosa.” Hal ini sesuai dengan literatur Belanda bahwa Pariaman sudah lama menjadi pelabuhan untuk menyalurkan emas dari pedalaman Minangkabau. Daerah dataran rendah Pariaman pernah menjadi daerah penghasil lada yang subur pada abad ke-15 sampai ke-17.  Dalam sebagian literatur Belanda, Pariaman ditulis “Priaman.”

Beberapa pengunjung bersantai menyaksikan gerombolan remaja berenang di pantai/Arif Rahman

Minggu sore menjelang petang cuaca sedikit bersahabat, tidak ada hujan yang turun. Padahal sudah hampir seminggu kota yang dijuluki Kota Tabuik  ini dilanda hujan lebat. Dari hari Senin sampai Sabtu, dari pagi bahkan sampai malam. Seakan – akan semesta membiarkan orang – orang untuk menikmati akhir pekan mereka. Memang, penghujung dan awal tahun merupakan musim penghujan. Saya duduk menghadap ke laut, membiarkan angin laut menampar muka. Melepas kejenuhan setelah dilanda hujan lebat nyaris seminggu penuh. 

Berabad – abad setelah silih bergantinya kapal – kapal perdagangan dunia yang berlabuh di pantai Pariaman, kini kawasan pantai tersebut beralih fungsi menjadi tempat rekreasi dan wisata. Pada tepian dermaga, beberapa orang duduk bersantai, bercerita, dan tertawa. Di bagian ujungnya, tampak beberapa orang memancing ikan ke laut. Ketika ombak sedang bagus, airnya menghempas tinggi ke atas dermaga. Sesekali orang – orang yang sedang memancing itu berlari menghindar cipratan ombak. Kawasan ini sering juga dikunjungi anak-anak remaja sekitar untuk bermain selancar. Ombaknya lebih besar dibanding pantai lain di Kota Pariaman.

Talao mangguang dengan sepeda gantung di atasnya/Arif Rahman

Pantai ini cukup sepi jika dibandingkan dengan Pantai Gandoriah, Pantai Cermin, dan Pantai Kata yang menjadi andalan pemerintah kota dalam mendatangkan wisatawan. Di bagian kiri dan kanan dermaga Pantai Muaro Mangguang, pohon – pohon pinus berbaris rapi menjulang ke langit. Ada sebuah penangkaran penyu sekitar dua ratus meter ke sebelah kiri. Terdapat juga beberapa warung – warung kecil diantara pohon – pohon pinus mulai dari dermaga hingga penangkaran penyu. Dan sebuah hutan mangrove terbentang bersebelahan dengan penangkaran tersebut. 

Tidak hanya itu, di sebelah kanan dermaga terdapat juga sebuah talao atau telaga kecil yang hanya berjarak kurang seratus meter dari bibir pantai. Saya penasaran dan memutuskan untuk melangkahkan kaki ke sana. Airnya tenang dihinggapi tumbuhan rawa pada tepiannya. Di atasnya, ada dua buah sepeda yang menggantung pada tali yang membentang ke tengah talao. Sepeda gantung ini dikhususkan untuk wisatawan yang ingin berswafoto di atas talao, namun terlihat seperti tak terurus. Untuk menuju kesana, dari dermaga saya berjalan kaki kurang dari dua ratus meter melewati barisan pohon-pohon pinus.Saya coba mengingat kembali rupa kawasan ini lima tahun sebelumnya.

Terakhir datang, tepian pantai belum ditumbuhi pohon apapun, hanya hamparan pasir yang membentang. Dermaga muara pun tidak sepanjang sekarang yang lebih mendekat ke tengah laut. Belum ada juga talao, hanyalah berupa rawa dan semak belukar. Meski kawasan ini bukanlah termasuk pantai primadona seperti pantai – pantai yang berada di pusat kota, harus diakui Kota Pariaman cukup gila – gilaan dalam membangun kawasan pantainya.

Pariaman begitu gencar dalam mengembangkan pariwisata pantai. Dalam sebuah reportase yang dimuat pada laman gatra.com dua tahun lalu, Pemerintah Kota Pariaman akan mengembangkan kawasan pariwisata terpadu dengan konsep Waterfront City yang mengintegrasikan berbagai spot menarik di sepanjang bibir pantai. Pengembangan sarana dan prasarana konsep terpadu tersebut mendapatkan kucuran dana dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebesar 8,3 miliar rupiah. 

Tumpukan sampah akibat pasang naik air lautJalan menuju talao mangguang dari dermaga

Ini tentu merupakan angin segar dalam upaya pengembangan pariwisata pantai. Namun, upaya tersebut tidak berbanding lurus dengan dampak kebersihan pantainya. Banyaknya sampah-sampah berserakan di sekitaran pantai seakan – akan sudah menjadi hal yang biasa. Semua orang yang berkunjung ke pantai seperti berteman akrab dengan sampah yang berserakan. Anehnya, banyak sampah – sampah yang seharusnya tidak berada di pantai saya jumpai di sini. Seperti tutup termos, cangkir plastik, bungkus pembalut, bola lampu, hingga boneka anjing. 

Faktor musim penghujan seperti saat ini mengakibatkan intensitas sampah di pantai meningkat. Ketika pasang air laut naik, sampah – sampah yang beredar di laut dan muara terkumpul di tepi pantai. Hal ini juga disebabkan oleh minimnya tempat pembuangan sampah yang disediakan. Hingga matahari perlahan terbenam di ujung cakrawala pun, saya tidak menemukan barang satupun tempat sampah yang disediakan di sekitar pantai ini. Yang ada hanya beberapa tumpukan – tumpukan sampah di setiap sudutnya.

Feri Musliadi pada laman covesia.com menuliskan, “Dengan jumlah penduduk sekitar 86.618 ribu jiwa, setiap harinya Kota Pariaman menghasilkan sampah sekitar 25 ton. Sedangkan untuk luas lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampahnya masih belum memadai.” Minimnya tempat pembuangan sampah di pantai dan pola perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan mengakibatkan kita ikut menyumbang sampah yang terbuang ke laut. 

Menurut UN Environment Programme, 6,4 juta ton sampah berakhir di laut setiap tahunnya, dengan sebagian besar tujuh puluh persen jatuh ke dalam laut. Sekitar lima belas persen tetap bersirkulasi pada arus laut, sementara sisanya berkumpul di pantai. Berdasarkan sebaran titik kumpul sampah laut di dunia, diketahui hampir di seluruh negara di dunia yang berbatasan dengan laut berkontribusi terhadap pencemaran sampah laut terutama sampah plastik. Dan berdasarkan hasil penelitian Jambeck yang berjudul Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean, Indonesia menduduki peringkat kedua dunia setelah China sebagai penyumbang sampah yang terbuang ke laut dengan 187,2 juta ton sampah. 

Sungguh sangat disayangkan, ketika pesisir pantai yang dulunya menjadi pembuka jalan masuknya interaksi perdagangan dunia, menjadi penyumbang banyaknya sampah yang terbuang ke laut di saat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat seperti sekarang. Kembali ke Pantai Muaro Mangguang. Matahari kian redup, perlahan cahaya jingga membias di langit. Suara adzan mulai berkumandang. Saya bergegas kembali ke dermaga melewati pohon – pohon pinus setelah melepas rasa penasaran melihat talao. Di tengah – tengah pohon pinus, segerombolan muda – mudi dengan bentangan hammock dan genjrengan gitar terlihat sangat menikmati suasana tenggelamnya mentari. Tiba – tiba sebuah pertanyaan terlintas di benak saya, “Apakah dulu ketika aktivitas perdagangan kapal – kapal asing ke Pariaman banyak menyisakan sampah yang berserakan di sekitar pantai?”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Yang Datang Selepas Hujan di Pantai Muaro Mangguang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yang-datang-selepas-hujan-di-pantai-muaro-mangguang/feed/ 0 28832
Menghabiskan Waktu Petang di Pantai Mertasari https://telusuri.id/menikmati-pantai-merta-sari-di-waktu-petang/ https://telusuri.id/menikmati-pantai-merta-sari-di-waktu-petang/#respond Sat, 14 Aug 2021 10:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29660 Sama sekali tidak ada rencana kala itu untuk pergi ke pantai. Ajakan ibu akhirnya meluluhkan hati saya untuk ikut bertandang ke tepi laut, tepatnya Pantai Mertasari.  Saya berangkat dengan menaiki mobil bersama 4 orang anggota...

The post Menghabiskan Waktu Petang di Pantai Mertasari appeared first on TelusuRI.

]]>
Sama sekali tidak ada rencana kala itu untuk pergi ke pantai. Ajakan ibu akhirnya meluluhkan hati saya untuk ikut bertandang ke tepi laut, tepatnya Pantai Mertasari.  Saya berangkat dengan menaiki mobil bersama 4 orang anggota keluarga lainnya dari arah Denpasar, tepatnya dari daerah Panjer.

Kira-kira, sekitar 15 menit kami menghabiskan waktu di perjalanan menuju pantai yang berlokasi di kawasan Sanur itu. Suasana lalu lintas kala itu sangat bersahabat. Tidak ada kemacetan berarti yang kami jumpai. 

Pukul 4 sore, kami pun tiba di sana. Sebelum memarkir mobil, kami bertemu beberapa orang berpakaian pecalang (polisi adat bali) yang berjaga di pinggir jalan dekat pantai. Mereka memberikan karcis masuk kepada saya setelah saya memberikan satu lembar uang lima ribu rupiah.

Saat mobil sudah berhenti melaju dan berada di parkiran, segera saya meraih tas berisi minuman dan bergegas membuka pintu. Baru saja menurunkan sebelah kaki, sudah saya rasakan angin pantai yang menyapa dan menyambut kedatangan saya.

Memang itu bukan kali pertama saya berkunjung ke sana, tapi rasanya selalu antusias untuk melihat hamparan pasir putih di pantai ini.

Tumpukan kano dan pelampung yang disewakan
Tumpukan kano dan pelampung yang disewakan/Komang Trisnadewi

Dari parkiran kami langsung mencari jalan yang sudah disediakan untuk pejalan kaki. Sekitar 5 menit kami berjalan ke arah utara menyusuri  jalan yang terkadang dilalui juga oleh pengendara sepeda dan sepeda motor.

Di sebelah kanan, dari kejauhan sudah terlihat pantai yang dipenuhi orang-orang dengan melakukan aktivitasnya masing-masing. Ada yang sedang menjajakan dagangannya, ada yang sedang bermain air, ada yang sedang berendam, ada yang sedang berenang, ada yang sedang duduk sambil menikmati pemandangan dan udara pantai, dan ada juga yang bermain kano.

Di satu bagian, saya melihat tumpukan pelampung dan kano yang siap untuk disewakan bagi mereka yang  ingin mencobanya. Warna yang disediakan untuk ban pelampung pun berwarna warni, menarik perhatian.

Dari kejauhan, pengunjung yang saya lihat pun beragam, mulai dari bayi, anak-anak, remaja bahkan dewasa. Tidak hanya warga lokal saja yang memenuhi pantai saat itu, tapi saya juga melihat beberapa turis yang ikut berbaur di sana.

Di sebelah kiri, pandangan saya dimanjakan oleh bangunan pendukung pariwisata mulai dari hotel, restoran dan café yang menyajikan santapan yang tentunya menggugah selera saya mulai dari kuliner lokal dan mancanegara seperti tipat cantok, rujak, pizza, spaghetti, dll. Sesekali langkah saya terhenti untuk sekedar mencari tahu nama tempat dan makanan yang disajikan. 

Langkah kaki kami akhirya berbelok ke kanan menuju laut yang dikelilingi pasir. Segera kami mencari tempat strategis, tempat yang tentunya berjarak dengan pengunjung lain agar lebih leluasa untuk meletakkan barang-barang bawaan.

Setelah menentukan posisi yang tepat, segera saya membuka alas kaki, menggesernya ke sebelah kanan dan langsung duduk sambil memeluk lutut. Tak lupa saya memainkan pasir dengan jari-jari kaki lalu sesekali menyembunyikannya ke dalam pasir. Ah, sungguh menyenangkan. Angin pantai memang agak kencang jadi saya akali dengan dengan memakai topi agar kepala tidak pusing. Cuaca saat itu berawan, syahdu.

Menghaturkan Canang Sebelum Melukat
Menghaturkan Canang Sebelum Melukat/Komang Trisnadewi

Saat itu tujuan awal kami ke pantai adalah untuk melukat atau membersihkan diri. Umat Hindu di Bali biasanya melukat pada hari Purnama, Tilem.  atau Kajeng Kliwon dan banyak yang melakukannya di pantai.  Nah kebetulan saat itu bertepatan dengan hari Kajeng Kliwon, jadi tidak hanya kami saja yang datang untuk melukat, tapi ada beberapa orang lain yang saya lihat memakai kamen (kain bawahan pakaian adat Bali) sambill membawa canang untuk dihaturkan terlebih dahulu sebelum membersihkan diri dengan air pantai seperti yang kami lakukan. 

Kebetulan saat itu saya sedang kedatangan tamu bulanan jadi tidak ikut masuk merasakan segarnya air pantai. Saya hanya duduk sambil melepaskan pandangan ke hamparan pasir putih dan birunya laut. Sama sekali tidak membosankan. Rasanya sangat bahagia melihat orang-orang tertawa lepas, berteriak-teriak sambil bermain air dengan puasnya. Terkadang mereka saling memercikkan air satu dengan yang lainnya, berkejar-kejaran dan ada beberapa yang hanya sekedar duduk di atas pasir sambil memainkannya dan membentuknya menjadi gunung, istana atau imajinasi lainnya. 

Saat sedang asyik menikmati sekeliling, tiba-tiba  pandangan saya teralihkan oleh seorang lelaki paruh baya yang sedang melintas sambil menyunggi kotak berisi makanan dengan ditutupi plastik. Ia seorang penjual lumpia. Lumpia adalah makanan khas yang dapat dijumpai di daerah pantai. Sangat identik dengan pantai dan menurut saya sangat cocok disantap sambil menghabiskan petang di pantai. Segera saya memanggilnya, “Lumpia!” Dengan sigap penjual tersebut menolehkan kepala dan membalikkan tubuhnya sambil tersenyum. Senyum bahagia menyambut pelanggan.

Lumpia di Pantai Merta Sari
Lumpia di Pantai Merta Sari/Komang Trisnadewi

Saat menurunkan dagangan yang disunggi dan membuka tutup plastiknya, saya dapati beberapa jenis gorengan. Gorengan yang dijual tidak hanya lumpia, ada juga tempe, tahu, dan ote-ote. Saya membeli satu porsi dengan isian yang dicampur. Gorengan tersebut dipotong-potong kecil dan selanjutnya disiram dengan saus kacang kental dan ditaburi irisan cabe hijau yang menambah cita rasa lumpia menjadi agak pedas.

Cukup dengan uang lima ribu rupiah, saya sudah bisa mencicipi makanan yang katanya adalah jajanan tradisional perpaduan Tionghoa-Jawa. Beberapa penjual lumpia memang terlihat lalu lalang di pantai dan sesekali juga terlihat penjual minuman, namun jumlahnya tidak banyak. Saya langsung menikmati santapan lezat itu dengan menggunakan alas plastik makanan yang dibentuk kerucut dan lidi sebagai sendoknya sembari menunggu anggota keluarga lainnya yang sedang berendam.  

Langit dan Air Pantai Merta Sari
Langit dan Air Pantai Merta Sari/Komang Trisnadewi

Setelah puas berendam dan menikmati lumpia, kami pun bergegas meninggalkan pantai. Sebelumnya keluarga saya sudah mengganti pakaian di tempat yang telah disediakan Terdapat bangunan khusus untuk berganti pakaian dan mandi yang berada di deretan restoran dan café di bagian barat. Di sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, pandangan saya tak henti-hentinya melirik ke arah pantai hingga beberapa kali saya tersandung.

Langit biru berawan, laut biru tenang dan hamparan pasir putih sangat menggoda saya. Pemandangan pantai itu seakan-akan memanggil saya untuk kembali duduk di sana. “Iya, saya akan datang lagi,” bisik saya dalam hati.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menghabiskan Waktu Petang di Pantai Mertasari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-pantai-merta-sari-di-waktu-petang/feed/ 0 29660