papua barat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/papua-barat/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 01 Nov 2020 04:37:48 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 papua barat Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/papua-barat/ 32 32 135956295 Yang Lebih Seru daripada Melipir ke Filipina https://telusuri.id/yang-lebih-seru-daripada-melipir-ke-filipina/ https://telusuri.id/yang-lebih-seru-daripada-melipir-ke-filipina/#comments Sat, 31 Oct 2020 18:00:46 +0000 https://telusuri.id/?p=24949 Obreng, sahabat saya, dalam sebuah perjalanan mendaki gunung, pernah cerita soal petualangannya di Indonesia bagian timur. Tapi sepintas saja. Intinya, suatu ketika cuaca buruk memaksa pesawat yang ditumpanginya melipir ke utara, lalu mendarat di sebuah...

The post Yang Lebih Seru daripada Melipir ke Filipina appeared first on TelusuRI.

]]>
Obreng, sahabat saya, dalam sebuah perjalanan mendaki gunung, pernah cerita soal petualangannya di Indonesia bagian timur. Tapi sepintas saja. Intinya, suatu ketika cuaca buruk memaksa pesawat yang ditumpanginya melipir ke utara, lalu mendarat di sebuah bandara yang di tiang-tiangnya berkibar bendera yang punya warna lebih dari dua.

Karena saya rasa cerita itu terlalu berkesan untuk tak diabadikan, suatu malam saya menghubunginya lewat sebuah aplikasi berkirim pesan dan mengajaknya mengobrol. Pertanyaan pertama pun terkirim.

“Nyasar ke Filipina itu, tuh, bonus, Jo,” ketiknya, dari Bandung, menjawab pertanyaan itu, membuyarkan pikiran-pikiran saya tentang kisah yang akan saya terima soal perjalanan udara itu. Ia bilang ada cerita yang lebih seru dalam petualangannya itu.


Jadi ceritanya begini:

Suatu siang di tahun 2012, nasib mengantarkannya ke Waiwo, sebuah pulau di Raja Ampat. Ia bersama dua orang kawan baru beberapa menit yang lalu meminta izin ke warga dan membuka tenda di atas pasir pantai. Lalu duduk-duduklah mereka sambil menyerap asap Gudang Garam Filter—Garpit—dan mengisap panorama.

Riak air dan suara alam menjelang tengah hari bikin suasana jadi syahdu. Namun kesyahduan itu diusik suara seorang wisatawan mancanegara sedang berlari-lari di pasir, dari sebuah hotel ke pantai. Sekali, dua kali, bolak-balik. Iseng sekali dia, pikir Obreng. Saat orang itu sedang sibuk mengkhatamkan putaran ketiga, Obreng mengajaknya bicara, “Can I help you? Do you need any help?

Ternyata dia sedang mencari kakaknya. Pemuda itu dari Finlandia. Dari negeri utara itu ia berangkat bertiga bersama kakak dan istri kakaknya. “Kakaknya, tuh, honeymoon,” jelas Obreng. “Dia jadi porter-nyalah.”

Persoalannya, ponsel sang pemuda ketinggalan di kamar, sementara kunci dibawa kakaknya. Ia sudah usaha minta tolong pada resepsionis. Tapi, malang, kecakapan bahasa Inggris sang awak hotel kurang. Komunikasi gagal. Jadilah ia menghabiskan waktu bolak-balik dari hotel ke pinggir laut. Menghilangkan kegalauan, barangkali. Singkat cerita, Obreng digiring nasib jadi interpreter dadakan.

Sambil menunggu sang kakak tiba, ia ikut nongkrong bareng Obreng dkk. dan mengobrol santai. Rupanya ia punya lisensi scuba diving. Sudah lama ia tahu soal Raja Ampat dan dunia bawah lautnya. Perjalanan bulan madu sang kakak ke Raja Ampat itu adalah idenya.

Mereka merokok. Manusia Eropa itu mengisap Marlboro seharga Rp100 ribu per bungkus, sementara Obreng merokok Garpit yang harganya berlipat-lipat lebih murah. Aroma cengkih yang menguar dari kretek filter murah itu menarik perhatian hidung sang musafir. Ia penasaran, akhirnya meminta sebatang, lalu membakarnya.

“Habis ketemu kakakku nanti, tolong antar beli rokok itu, ya?” ujarnya.

Sang pemuda lalu bercerita bahwa mereka sudah menyewa kapal untuk keliling perairan Raja Ampat. Tapi ternyata ia keliru memesan logistik. Awak kapal menyiapkan bekal untuk enam orang, padahal mereka cuma bertiga. Sewaktu mengurus pemesanan, agen kapal bertanya: kapal itu disewa untuk berapa hari dan untuk berapa orang makanan mesti disiapkan?

Three,” jawab sang pemuda. Maksudnya, tolong persiapkan makanan untuk tiga orang. Namun ujung-ujungnya yang datang adalah makanan porsi enam orang untuk tiga hari. Angka memang rumit—dan akan jadi lebih rumit jika diperbincangkan dalam bahasa asing.

“Jadi makanannya kebanyakan,” lanjut Obreng.

Kakak dan kakak iparnya pun tiba. Mereka berkenalan. Sang kakak bernama Erik. “Istrinya Ryiandrjik—apa gitu, susah namanya,” lanjut Obreng. Adiknya—sang pemuda itu—bernama Alex.

Alex semula ingin menghibahkan makanan yang berlebih itu pada trio Obreng. Tapi Erik malah sekalian mengajak mereka ikut berlayar.

Beh, baik bener,” ketik Obreng. “Ya, aing mau-mau aja, ya, Jo, naik kapal keliling-keliling Raja Ampat.”

Tenda yang sudah berdiri di atas pasir Waiwo itu pun dibongkar.


“Si Alex ini ternyata orangnya bengak level 100!” kenang Obreng. “Pelupa, sembronolah. Kocak juga. Kalau kakaknya serius.”

Menjelang naik kapal, Erik sang kakak bertanya ke Alex, “Nakhodanya mana?” Si Alex dengan tengil menjawab, “Buat apa pakai nakhoda kalau sudah ada Alex?!”

Setelah jangkar diangkat dan kapal melaju, baru Obreng sadar kalau ia lupa menemani Alex beli rokok. Akhirnya mereka tengmenan. Alex rupanya benar-benar bisa mengendarai kapal. Dengan rokok di tangan, sudah macam nakhoda lokal saja dia.

Tiba di lokasi penyelaman—yang sudah dicari tahu Alex sebelum bertolak ke Raja Ampat—keenam wetsuit yang dibawa dikeluarkan oleh awak kapal. “Di situ aing baru pertama kali pakai baju selam. Ternyata makenya harus dibalik, ya,” tulisnya, disambung “wkwkwkwkw.”

“Lho, maneh turun pakai tabung?”

Dia anak gunung sejati; jauh dari laut.

“’Kan kita bilang belum pernah diving,” jawab Obreng. “’Kata Alex, ‘santai aja.’ Jadi kita ikut turun pakai tabung. Dikasih les singkat sama Alex.”

Di sela-sela penyelaman-penyelaman itu, ada satu perkataan Alex yang diingat Obreng sampai sekarang: “Indonesia harusnya ganti nama jadi ‘Enormous’.”

Malamnya mereka menyelam lagi di perairan sebuah pulau di selatan Waiwo. Lalu mereka berlayar terus ke utara, mendekati garis khatulistiwa. Kata Alex, di utara sana ada titik untuk menyelam malam.

Terumbu karang di kawasan Waiwo, Raja Ampat, Papua Barat, Minggu, 3 Juni 2012 via TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Dalam penyelaman selanjutnya itu, dekat Pulau Batang Pele, Alex lupa menjangkarkan kapal. Begitu muncul ke permukaan, mereka lihat kapal sudah terbawa gelombang sampai jauh. Untuk mengejar kapal mereka enggan sudah. Maka, mereka biarkan kapal itu—dan Erik serta istrinya yang sedang berbulan madu—jauh di sana. Tak ada pilihan yang lebih bijaksana kala itu ketimbang bermalam di atas pasir Pulau Batang Pele.

“Kebanyakan merokok sama ngebir [dia],” kenang Obreng.

Mereka ngaso di pinggir laut sambil bakar-bakar ikan. Alex cerita kalau ia pernah lihat video orang menyemburkan api di Indonesia. “Itu, loh, yang dari mulut, Jo,” cerita Obreng. “Sama si Kandang diajarinlah caranya.”

Dan tenda Alex kebakaran.

Paginya, saat pulang ke kapal, bajunya gosong. Erik bertanya, “Kenapa bajunya? Tendanya mana?”

“Kena semburan mulut api penyihir Indonesia,” jawabnya.

Dua hari Obreng dan kawan-kawannya bertualang bersama ketiga orang Finlandia itu. Di hari ketika Erik mendapati baju Alex gosong itu, Obreng dan kedua kawannya diantar ke Bandara Marinda, sebab mereka mesti pulang keesokan harinya. Salam perpisahan dipertukarkan. Kenyataan segera berubah jadi kenangan.

Dari Marinda, mereka terbang ke Sorong menumpang pesawat kecil Aviastar. Di Soronglah cerita soal nyasar ke Filipina itu bermula.


“Mungkin pas di Raja Ampat aing udah beruntung bisa main gratisan sama bule dari Finlandia,” tulisnya di aplikasi pesan. “Makanya, pas naik pesawat, baru, deh, kena sialnya.”

Trio Obreng hendak ke Manado. Sore hari, sekira pukul 15.30 waktu setempat, mereka terbang menumpang Merpati tipe M60 yang berbaling-baling itu. Di awal penerbangan, lewat corong pilot memberi tahu bahwa cuaca di Maluku sedang kurang baik. Makanya sang pilot meminta izin terbang lewat utara Maluku.

Pesawat Merpati melintas di atas Kota Sorong, Papua Barat, Kamis, 31 Mei 2012 via TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Rupanya badai semakin melebar. Sudah kadung di utara, susah untuk berbalik ke selatan. Pilot kembali bersuara, meminta maaf kepada para penumpang karena perjalanan akan lebih lama ketimbang biasanya demi menghindari badai.

“Alhasil, pesawatnya terbang terlalu [ke] utara,” Obreng bercerita.

Melambung ke utara mendatangkan persoalan lain: bahan bakar tak cukup jika dipaksakan terbang langsung ke Manado.

“Aing kira mau ke mana. Eh, Filipina,” kenang Obreng. “Pilot bilang mau ke Filipina itu jam 6 sore.”

Pesawat pun akhirnya mendarat di General Santos International Airport, Mindanao, jam 7 malam. Muka para penumpang tampak lega sebab sudah terbebas dari badai. Obreng jelas lega juga, tapi pikirannya malah pergi ke kawan barunya. Alex, yang mestilah kala itu sedang merokok Garpit di kapal sewaannya.

The post Yang Lebih Seru daripada Melipir ke Filipina appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yang-lebih-seru-daripada-melipir-ke-filipina/feed/ 1 24949
Sederhananya Pulau Meosmanggara di Raja Ampat https://telusuri.id/pulau-meosmanggara-raja-ampat/ https://telusuri.id/pulau-meosmanggara-raja-ampat/#respond Tue, 22 Oct 2019 13:03:29 +0000 https://telusuri.id/?p=18198 Raja Ampat mungkin destinasi yang diimpikan banyak orang. Bagaimana tidak? Kepulauan Wayag dan Pianemo yang sangat terkenal itu tampak begitu mengagumkan di Google. Tetapi, dalam perjalanan kemarin saya tidak ke kedua gugusan kepulauan itu. Yang...

The post Sederhananya Pulau Meosmanggara di Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
Raja Ampat mungkin destinasi yang diimpikan banyak orang. Bagaimana tidak? Kepulauan Wayag dan Pianemo yang sangat terkenal itu tampak begitu mengagumkan di Google.

Tetapi, dalam perjalanan kemarin saya tidak ke kedua gugusan kepulauan itu. Yang saya tuju adalah sebuah pulau kecil tanpa sinyal bernama Meosmanggara. Bersama 26 orang teman, saya berkesempatan tinggal di sana selama hampir dua bulan.

Perjalanan panjang itu dimulai dari Bandara Adisucipto Yogyakarta (JOG) pukul 18.00 WIB menggunakan maskapai plat merah. Kami transit di Makassar (UPG) selama lima jam. Waktu transit ini saya pergunakan untuk makan malam dan tidur sejenak di boarding room.

Penerbangan selanjutnya pukul 02.50 WITA menuju Sorong dengan pesawat lebih kecil. Setiba di di Bandara Domine Eduard Osok (SOQ) pukul 07.00 WIT, kami naik bis menuju Pelabuhan Sorong kemudian lanjut lagi naik kapal ke Pelabuhan Waisai. Kapal Express Bahari yang kami tumpangi itu hanya beroperasi pada hari-hari tertentu. Jadi, jika hendak ke Waisai, usahakan untuk menyesuaikan waktu kedatangan pesawat dengan waktu keberangkatan kapal menuju Waisai. Tarifnya Rp150.000 dengan fasilitas bangku bernomor, AC yang dingin banget, televisi, dan kamar mandi.

Teluk Kabui/Tika Ulfianinda

Setelah dua jam perjalanan, tiba juga kami di Waisai, pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Raja Ampat. Cuaca saat itu sangat panas.

Saya dan tim tinggal selama tiga hari di Waisai. Setiap sore saya dan beberapa teman jalan-jalan keliling kota Waisai. Salah satu tempat yang kami datangi adalah Pantai WTC (Pantai Waisai Torang Cinta). Tidak ada pasir putih di bibir pantai itu, hanya ada tumpukan dinding batu dan jembatan kayu tempat para bocah lokal loncat ke laut. Di sana, kami membaur dengan bocah-bocah itu. Teman-teman saya yang laki-laki bahkan ikut berenang bersama mereka.

Dari Waisai, kami bertolak ke tujuan utama, Pulau Meosmanggara, dengan kapal milik bupati. Karena transportasi umum dari/ke Pulau Meosmanggara tidak ada, perjalanan hanya bisa dilakukan dengan kapal milik warga atau pemerintah. Kenyataan seperti inilah yang membuat berwisata ke pulau terpencil menjadi sulit untuk dilakukan.

Menuju Pulau Meosmanggara, kapal saya melewati sebuah tempat bernama Teluk Kabui. Kata sang nakhoda kapal, Teluk Kabui ini ibarat KW-nya Wayag, gugusan kepulauan karst dengan air laut yang super jernih. Tapi, meskipun dibilang KW, tetap saja rasanya saya ingin menyemplungkan diri!

Kapal saya akhirnya merapat di dermaga sederhana Pulau Meosmanggara. Saya dan tim disambut hangat oleh warga, yang kemudian berbaik hati membawakan gembolan kami yang berat-berat itu.

pulau meosmanggara
Ombak kecil menghempas ke Pantai Meosmanggara/Tika Ulfianinda

Pulau Meosmanggara kecil. Hanya ada 40 rumah warga. Tidak ada moda transportasi bermesin apa pun, entah motor atau mobil, di daratan. Jalan hanya berupa semen selebar satu meter, tidak beraspal. Benar-benar hidup bebas polusi.

Selama dua bulan saya dan tim tinggal di salah satu bangunan rumah bekas kantor PKK. Bangunannya berdinding kayu dan berlantai semen, dilengkapi dua kamar dan satu kamar mandi dengan bak mandi yang airnya harus diambil dari sumur yang berjarak lima meter dari dari sisi belakang rumah. Warga membuatkan dapur di luar rumah. Atapnya daun kelapa kering, dindingnya seng, mejanya dari kayu bekas, dan lantainya pasir pantai. Walau sederhana, dapur itu adalah saksi dari banyak resep spesial yang tercipta untuk mengenyangkan perut kami.

Di Pulau Meosmanggara hanya ada satu sekolah, SD YPK Ebenheizer. Gedung sekolah itu berlantai semen dengan papan tulis kapur. Jumlah siswa di tiap kelas bervariasi. Siswa kelas satu sampai kelas tiga biasanya paling banyak, bisa mencapai 30 orang. Tapi, siswa kelas empat dan kelas lima tidak sampai 10 orang.

Adik-adik yang bersekolah di SD YPK Ebenheizer menggunakan seragam selayaknya murid di tempat lain, merah-putih dan pramuka. Tapi, terkadang ada saja yang memakai seragam tidak sesuai jadwal. Sebagian besar dari mereka ke sekolah tanpa alas kaki. Hanya beberapa yang menggunakan sandal. Saya lihat-lihat, hanya satu atau dua orang yang menggunakan atribut lengkap—dasi, kaus kaki, dan sepatu.

Guru yang mengajar hanya empat orang termasuk sang kepala sekolah. Buku pelajaran tersedia, tapi sangat kurang. Sehari-hari, para murid hanya membawa satu buku tulis untuk merekam semua pelajaran yang mereka terima dari para guru.

pulau meosmanggara
Menggambar dan mewarnai bersama siswa-siswi kelas 3 SD YPK Ebenheizer/Tika Ulfianinda

Bel sekolah akan berbunyi pukul 10.00 WIT untuk memulangkan siswa kelas satu sampai kelas tiga, kemudian kembali bersuara pukul 12.00 WIT untuk melepas kepulangan anak-anak kelas empat sampai kelas enam. Jangan bayangkan belnya seperti yang biasa kamu lihat di depan rumah, yang begitu dipencet akan langsung bersuara. Bel SD YPK Ebenheizer cuma besi panjang yang harus dipukul kencang agar berbunyi.

Tapi, jangan kaget mendapati mereka sudah minta pulang sebelum bel berbunyi. Mereka sudah tak betah dan ingin segera bermain. Sepulang sekolah biasanya mereka akan bermain sampai hari mulai gelap. Halaman luas depan tempat tinggal kami—yang semakin ramai saat sore tiba—jadi salah satu taman bermain mereka. Kalau haus, mereka memetik buah kelapa langsung dari pohon.

Menjelang sore, jika hari itu saya piket masak, saya dan beberapa teman akan ke dermaga memancing ikan untuk dimakan. Tapi, memancing rupanya bukan hal yang mudah; mendapat ikan ternyata susah. Untungnya warga sering membagi hasil pancingan untuk kami jadikan lauk. Jadilah, selama dua bulan di sana, hampir setiap hari kami makan ikan yang dimasak dengan berbagai resep.

Masyarakat Meosmanggara memang sangat menggantungkan hidup pada alam, baik laut maupun daratan. Karena sangat bergantung pada alam, masyarakat Meosmanggara pun berkewajiban untuk melestarikannya. Salah satu cara yang mereka praktikkan adalah Sasi. Sasi, singkatnya, adalah pelarangan [untuk] menggunakan sumber daya alam dalam [rentang] waktu tertentu.

pulau meosmanggara
Salah satu pantai di Pulau Meosmanggara/Tika Ulfianinda

Pada sore-sore saat saya tidak kebagian piket masak, saya bersama teman-teman akan bersosialisasi dengan warga. Sebagian di antara kami snorkeling, sebagian lain jogging keliling pulau, ada pula yang bermain voli di lapangan. Percayalah, ini sangat menyenangkan; sambil menunggu senja bersosialisasi dengan warga.

Di Pulau Meosmanggara hanya ada satu warung yang menjual kebutuhan sehari-hari. Warung itu menjual beras, minyak, tepung, gula, bawang, air mineral botol, sampai camilan-camilan ringan. Tapi, setiap jajan kita harus mengecek tanggal kedaluwarsanya, sebab banyak makanan yang sudah lewat tenggat kelayakan. Pemilik warung punya kapal yang digunakan untuk berbelanja. Terkadang teman-teman saya, Bima dan Agung, ikut sang pemilik warung pergi ke Waisai untuk belanja kebutuhan tim kami.

Gereja Ebenhaezer adalah satu-satunya rumah ibadah di Pulau Meosmanggara. Mayoritas warga memeluk Kristen. Seingat saya, hanya ada dua rumah penganut Islam. Setiap Minggu dan setiap habis ada acara besar di gereja adalah waktu paling saya tunggu-tunggu, sebab kami bisa menyantap makanan super enak—sotong dan ikan-ikan super besar!

Omong-omong, tidak ada warga Pulau Meosmanggara yang memelihara babi. Jadi, jarang sekali mereka memasak babi. Selama dua bulan saya di sana, hanya sekali warga memasak babi.

Toleransi di Meosmanggara begitu besar. Warga membantu kami saat hendak beribadah; mayoritas tim saya Islam. Kebetulan, saat berada di sana, kami melewati Idul Fitri. Untuk beribadah, kami yang memeluk Islam diantarkan oleh warga dengan kapal kecil ke Pulau Manyaifun, setengah jam perjalanan dari Meosmanggara, yang dihuni komunitas muslim dan memiliki satu masjid kecil.

Foto bersama warga Meosmanggara sebelum kembali ke Jogja/Tika Ulfianinda

Rumah-rumah penduduk Meosmanggara sangat sederhana, hanya berlantai semen dan berdinding kayu atau rotan. Meskipun bersahaja, rumah-rumah itu penuh kehangatan yang terkadang bisa membuat kami lupa kalau di pulau itu tidak ada sinyal. Kalau sudah mengobrol dengan warga, kami sampai lupa dengan gawai.

Sebenarnya ada satu titik khusus di mana saya bisa mendapatkan sinyal, namanya “pohon sinyal.” Kalau dideskripsikan, kira-kira lokasi ini ada di bawah pohon dekat pantai. Di bawah pohon itu ada satu tiang dari bambu setinggi satu meter. Di atas tiang tersedia wadah dari botol air mineral yang dipotong ujungnya: tempat meletakkan ponsel. Bentuknya serupa mikrofon lengkap dengan stand. Jadi, menelepon hanya bisa dilakukan dengan mengaktifkan loudspeaker. Sinyal internet? Jangan harap. Sinyal telepon saja kadang putus-putus.

Jika malam datang dan hari mulai gelap, saya dan beberapa teman biasanya bertandang ke rumah warga untuk bertukar cerita dalam cahaya senter yang mulai redup. Tidak ada listrik di Pulau Meosmanggara. Listrik hanya dari genset yang dinyalakan jika saya dan tim butuh listrik untuk program kerja. Sekali pun menyala, laptop, kamera dan senterlah yang jadi prioritas untuk di-charge. Ponsel belakangan saja, toh tidak ada sinyal.

Beberapa kali warga mengadakan acara besar dan memainkan tambur, alat musik seperti gendang berukuran besar yang dimainkan secara berkelompok. Tambur-tambur itu memberi ketukan pada alunan suling. Pemain tambur berjalan keliling pulau diikuti oleh massa. Saya dan tim tidak pernah melewatkan tambur. Alunan musik tradisional itu menghipnotis saya—dan warga lain—untuk berjoget keliling pulau. Semua berbahagia!

Dengan segala keterbatasan fasilitas, Pulau Meosmanggara punya keindahan yang luar biasa. Toleransi yang sangat hangat dan kesederhanaannya membuat saya dan tim begitu merasa berat utuk pulang.

Inilah pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di Papua. Semoga suatu hari Tuhan mengizinkan kami kembali ke Meosmanggara.

Saat kami menjauh dari pulau, sepenggal lagu yang sering dinyanyikan warga Meosmanggara terngiang-ngiang dalam kepala saya, “Meosmanggara, pulau tercinta…..”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sederhananya Pulau Meosmanggara di Raja Ampat appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pulau-meosmanggara-raja-ampat/feed/ 0 18198
Rumah Kata Sorong, Menularkan Budaya Berbagi dan Membaca https://telusuri.id/rumah-kata-sorong/ https://telusuri.id/rumah-kata-sorong/#respond Tue, 12 Jun 2018 09:00:58 +0000 https://telusuri.id/?p=9129 Nama saya Suhardi Aras. Tanah Papua adalah tanah pertama yang saya tapaki, tempat saya tumbuh besar. Sebelum melanjutkan pendidikan S1 di STMIK Dipanegara Makassar, saya menghabiskan masa SD sampai SMA di Kota Sorong. Sekarang, selain...

The post Rumah Kata Sorong, Menularkan Budaya Berbagi dan Membaca appeared first on TelusuRI.

]]>
Nama saya Suhardi Aras. Tanah Papua adalah tanah pertama yang saya tapaki, tempat saya tumbuh besar. Sebelum melanjutkan pendidikan S1 di STMIK Dipanegara Makassar, saya menghabiskan masa SD sampai SMA di Kota Sorong. Sekarang, selain bertugas menjadi seorang ayah dan suami, saya bekerja di Kantor SKK Migas Perwakilan Papua dan Maluku di Kota Sorong.

Sejak kuliah, saya terbiasa menyisihkan uang kiriman bulanan untuk beli buku. Minimal satu buku tiap bulan. Tak jarang saya khilaf sehingga mesti mengorbankan anggaran untuk kebutuhan lainnya.

rumah kata sorong

Berfoto bersama di Rumah Kata Sorong/Rumah Kata Sorong

Maka ketika saya kembali dari Makassar tahun 2004 silam, saya mengalami gegar budaya. (Rasanya hal ini juga dialami oleh sebagian besar anak Papua yang mesti kembali ke tanah kelahiran selepas lulus kuliah.)

Kebetulan, selama kuliah di Makassar, saya cukup dekat dengan buku dan senang berdiskusi. Malangnya kedua hal itu sulit saya temukan ketika akhirnya harus kembali hidup di Sorong. Di kota itu buku-buku bagus susah dicari, apalagi ruang-ruang untuk mendiskusikan ilmu.

Ruang baca untuk umum di ruang tamu kecil

Akhinya saya berusaha untuk menciptakan ruang itu. Buku-bukunya adalah koleksi pribadi yang saya bawa pulang dari Makassar. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi barangkali akan bikin termangu mereka-mereka yang baru mengenal buku. Aktivitas pinjam-meminjam di ruang baca itu berlangsung alami saja tanpa formalitas.

Seiring berjalannya waktu, tahun 2007 penggiat literasi di Sorong mendirikan ruang baca yang diberi nama Rumah Baca Komunitas Buka Mata. Setelah itu saya sempat ke luar Papua selama beberapa tahun untuk bekerja. Pulang dari perantauan, Surabaya, saya kembali membawa buku dengan jumlah yang cukup banyak.

Rumah Kata Sorong

Beberapa orang anak memanfaatkan ruang baca/Rumah Kata Sorong

Aktivitas pinjam-meminjam buku pun kembali saya lakukan. Tapi muncul sebuah persoalan. Karena membaca buku akan berujung ke diskusi, tentu saya akan sering pergi ke luar. Sementara itu saya sudah dikaruniai anak yang saat itu sedang berada di usia keemasan. Tentu sering keluar rumah tidak masuk dalam pilihan.

Akhirnya kami mengorbankan ruang tamu kecil untuk disulap menjadi ruang baca. Di ruang kecil itu kami meletakkan sebuah rak berisi buku-buku koleksi pribadi. Rumah baca yang terbuka untuk umum itu, Rumah Kata Sorong (RKS), diresmikan pada 25 Agustus 2015.

Secara bertahap menyediakan buku untuk anak-anak

Semula, karena ruang baca ini dibangun dari perpustakaan pribadi, buku-buku yang tersedia di Rumah Kata Sorong adalah buku-buku sastra, [studi] sosial, politik, filsafat, sejarah, psikologi, dan sejenisnya.

Muncul lagi persoalan baru: Rumah Kata Sorong berada dekat sekolah tingkat TK sampai SMA namun koleksinya adalah buku-buku yang biasanya dibaca anak-anak kuliah. Sementara itu makin banyak anak sekolah—dan anak tetangga—yang main ke Rumah Kata Sorong.

Sedang asyik membaca/Rumah Kata Sorong

Maka saya mulai memikirkan untuk mengadakan buku-buku untuk anak. Program Free Cargo Literacy yang diadakan oleh Kantor Pos—serta media sosial—sangat membantu pengadaan buku untuk anak-anak bagi Rumah Kata Sorong. Entah sudah berapa buku yang berhasil dikirimkan ke Papua lewat program Free Cargo Literacy.

Sekarang, di Rumah Kata Sorong ada sekitar 2.000 buku. Genrenya pun beragam, dari mulai komik, cerita anak, buku bantu belajar anak, novel teenlit, metropop, sastra, sampai sosial budaya (yang terakhir ini biasanya didonasikan oleh individu).

Kerja budaya yang harus dilakukan secara kolektif

Selama mengelola Rumah Kata Sorong, tentu saja saya mengalami banyak kejadian menarik. Salah satu pengalaman yang menurut saya patut untuk diceritakan adalah kisah tentang seorang ibu—seorang guru—yang datang mencari buku fiksi untuk tugas kuliahnya.

Yang bikin kaget adalah ia bercerita bahwa ia melarang anaknya membaca buku fiksi dan hanya mengizinkan anaknya untuk membaca buku pelajaran. Alasan ibu itu adalah: membaca novel, fiksi, ataupun karya sastra lainnya tidak penting bagi pembelajaran anak. Ironis sekali menemukan bahwa minat baca anak justru dihambat pertumbuhannya oleh orangtua.

(Saya dan istri kemudian yakin bahwa sang ibu pasti takkan membawa anaknya main ke rumah baca ini. Padahal, jika ibu itu jeli, rak-rak buku dalam ruang baca yang kami kelola punya banyak koleksi fiksi dan karya sastra lainnya.)

Selain cerita yang bikin miris itu tentu saja masih banyak cerita lain. Ada orangtua yang bahkan tidak mematikan kendaraannya saat menunggu anaknya memilih-milih buku (“Jangan lama-lama, ya!”), ada yang ikut menemani terus menginterogasi pengelola, ada yang sangat mengatur buku apa yang boleh atau tidak boleh dibaca, dll.

Makanya kerja-kerja budaya seperti ini takkan berhasil jika dilakukan sendiri. Ini mesti dilakukan secara kolektif, mesti ada baku bantu untuk memunculkan ruang-ruang baca lain. Ruang-ruang baca lain itu nantinya akan membuat semakin banyak individu yang terpapar budaya membaca, yang pada akhirnya akan berujung pada perubahan sosial budaya ke arah yang lebih baik. Barangkali ini terlalu ideal. Namun rasa-rasanya juga tidak salah untuk dilakukan.

Menularkan budaya berbagi dan membaca

Dengan Rumah Kata Sorong, setidaknya saya dapat menularkan dua hal, yakni kebiasaan berbagi dan membaca. Kalaupun ada hal-hal lain yang didapat seseorang setelah berkunjung dari Rumah Kata Sorong—pengetahuan, pemahaman baru, atau kebahagiaan—itu adalah konsekuensi dari membaca buku.

Sampai sekarang saya pribadi masih berusaha untuk menambah koleksi buku, khususnya buku-buku baru dan langka. Biasanya buku-buku baru saya beli ketika berkesempatan untuk pergi ke luar Papua, atau menintipkannya pada rekan-rekan kerja.

rumah kata sorong

Kendalanya adalah biaya kirim yang bisa melebihi harga buku itu sendiri. Dari Jakarta ke Sorong, sebuah buku yang beratnya tak sampai 1 kg seharga Rp 50.000 saja memerlukan biaya kirim Rp 60.000-90.000. Untuk mengatasi kendala itu, biasanya saya membeli buku daring dan mengirimkannya ke rumah teman di Jakarta atua kota lain sebagai alamat drop point. Nanti, setelah terkumpul banyak, baru akan diambil.

Pengelolaan profesional layaknya perpustakaan masih sulit untuk dilakukan karena Rumah Kata Sorong masih dikelola secara swadaya bersama keluarga. Saat ini jam operasional RKS adalah hari libur kerja, yakni Sabtu dan Minggu—atau tanggal merah lain—sehingga weekend saya dan keluarga diisi dengan menunggui ruang baca dan menemani para pengunjung.

(Sesekali ada kegiatan hang out RKS, seperti gelaran Lapak Baca di ruang publik atau kegiatan bedah buku, yang melibatkan relawan.)

Ruang baca Rumah Kata Sorong sebenarnya tak jauh dari pusat kota, meskipun terletak agak di pinggir karena harus melewati lorong. Namun letaknya yang tak strategis itu justru membuat Rumah Kata Sorong biasanya dikunjungi oleh orang-orang yang berniat melihat [Rumah Kata Sorong] dan membaca buku—selain para tetangga dan siswa sekolah sekitar tentunya.


Rumah Kata Sorong, Jl. Ataa Km. 12, Pojok Klasaman, Kota Sorong


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rumah Kata Sorong, Menularkan Budaya Berbagi dan Membaca appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rumah-kata-sorong/feed/ 0 9129
“City Tour” Gratis di Arborek https://telusuri.id/city-tour-gratis-di-arborek/ https://telusuri.id/city-tour-gratis-di-arborek/#comments Mon, 09 Apr 2018 03:13:17 +0000 https://telusuri.id/?p=7915 Langit dari Bandara Pattimura Ambon hingga Domine Eduard Osok Sorong begitu cerah hari itu. Keluar dari Bandara Sorong, bergegas kucari ojek di sekitar pintu kedatangan agar bisa mengejar kapal ferry di Pelabuhan Kota Sorong. Dari...

The post “City Tour” Gratis di Arborek appeared first on TelusuRI.

]]>
Langit dari Bandara Pattimura Ambon hingga Domine Eduard Osok Sorong begitu cerah hari itu. Keluar dari Bandara Sorong, bergegas kucari ojek di sekitar pintu kedatangan agar bisa mengejar kapal ferry di Pelabuhan Kota Sorong.

Dari sana, aku meluncur di atas lautan selama dua jam menuju Pelabuhan Waisai, gerbang masuk Raja Ampat. Tapi perjalananku tidak berakhir di situ—aku terus ke Arborek.

arborek

Bandara Domine Eduard Osok Sorong/Tri Widya Asrie

Sebagian besar penumpang yang hendak ke Arborek tak perlu memutar otak lagi mencari moda transportasi. Sebab, mereka telah ditunggu oleh para pemandu dan perahu-perahu cepatnya masing-masing di dermaga. Sementara aku masih harus mencari.

Aku mencari dan bertanya sana-sini lumayan lama. Akhirnya, sekitar jam setengah enam, aku menemukan pertolongan. Seorang bapak yang dinas di Koramil Sektor Raja Ampat mencarikanku sebuah boat yang akan membawa bahan makanan dan para penumpang asing ke Arborek.

arborek

“Golden sunset”/Tri Widya Asrie

Dua jam waktu yang dihabiskan untuk ke desa itu. Untuk membunuh waktu aku mengajak para penumpang lain untuk ngobrol. Selidik punya selidik, mereka harus mengeluarkan biaya Rp 1 juta/orang untuk sekali penjemputan ke Arborek. I am very lucky then; I don’t have to pay anything!

Plus aku dapat bonus golden sunset di atas laut lepas. Luar biasa sekali. Perjalanan dua jam itu pun masih terasa seperti mimpi.

arborek

Anak-anak berfoto di depan SD Inpres/Tri Widya Asrie

“City tour” Arborek dipandu anak-anak

Keesokan paginya, aku terbangun sambil tersenyum saat menyadari di mana aku berada. Atap kamarku terbuat dari daun. Tiang penyangganya dari kayu yang hanya diikat tali, tanpa paku.

Diajak ke pantai saat “city tour”/Tri Widya Asrie

Aku beranjak ke luar dan duduk di bawah pohon introm. Lalu, anak-anak Arborek mulai cari perhatian dan senyum-senyum padaku.

arborek

Kerang, “Bia,” dan ikan/Tri Widya Asrie

Kuajak mereka bercerita, bercanda, dan berbagi biskuit yang kubeli beberapa hari yang lalu. Kemudian mereka memanggil lebih banyak teman untuk duduk di depan kamarku. Tak berapa lama, sebelas orang anak setempat mengajakku “city tour.”

Bak pemandu profesional, mereka dengan semangat dan percaya diri menunjukkan kepadaku objek-objek penting di pulau itu, dari mulai sekolah, gereja, rumah-rumah mereka masing-masing, kemudian mengajakku memancing dan jalan ke jetty Arborek yang terkenal itu. Keceriaan mereka, ditambah langit biru, air jernih, udara yang hangat, membuat pagi itu terasa sungguh luar biasa!

Kegiatan sehari-hari anak-anak Arborek selain sekolah adalah menghabiskan waktu di pantai yang sedang surut untuk memancing. Tak ada alat-alat canggih ala Mancing Mania. Mereka memancing secara sederhana, hanya dengan tali nilon yang digulung pada botol, dan pisang atau nasi sebagai umpan. Jika tak membawa pancingan, mereka mencari kerang dan bia (siput laut) untuk dimakan.

arborek

Foto bareng anak-anak setempat/Tri Widya Asri

Melihat anak-anak kecil bermain dan bercengkerama dengan teman-temannya, rasa-rasanya aku enggan mengizinkan matahari mengakhiri hari indah di Arborek yang seperti mimpi itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “City Tour” Gratis di Arborek appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/city-tour-gratis-di-arborek/feed/ 5 7915
Beginilah Kehidupan di Rumah Perahu yang Hilir Mudik di Sorong Selatan https://telusuri.id/kehidupan-di-rumah-perahu-sorong-selatan/ https://telusuri.id/kehidupan-di-rumah-perahu-sorong-selatan/#comments Mon, 27 Nov 2017 02:00:34 +0000 http://telusuri.id/?p=3551 Melihat rumah perahu yang hilir mudik di sungai sekitar Distrik Kokoda, Sorong Selatan, kamu pasti bertanya-tanya. Bagaimana kehidupan di rumah perahu? Bagaimana mereka bisa bertahan hidup dalam kondisi seperti itu? Apa yang mereka lakukan jika...

The post Beginilah Kehidupan di Rumah Perahu yang Hilir Mudik di Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
Melihat rumah perahu yang hilir mudik di sungai sekitar Distrik Kokoda, Sorong Selatan, kamu pasti bertanya-tanya. Bagaimana kehidupan di rumah perahu? Bagaimana mereka bisa bertahan hidup dalam kondisi seperti itu? Apa yang mereka lakukan jika hujan lebat turun? Atau ada badai?

Dengan panjang kira-kira 3-4 meter dan lebar 2 meter, rumah perahu kecil saja. Wujudnya seperti kole-kole (perahu bercadik) yang dilengkapi dinding sepanjang 1-2 meter. Atapnya dari pelepah sagu atau rotan. Maka, jika hujan turun, mereka akan segera ke tepian.

kehidupan di rumah perahu

Sebuah rumah perahu sedang mengarungi sungai/Dewie Suwiryo

Di dalam perahu ada kasur lipat, bantal, selimut, serta perkakas dapur semisal piring, panci, dan tungku kayu. Alat pancing dan berburu juga ada. Tidak mewah memang, namun cukup untuk bertahan.

Kehidupan di rumah perahu, sesekali berhenti di pinggir sungai

Saat penghuni rumah perahu sedang melakukan perjalanan jauh, mereka biasanya akan berhenti di tepian sungai agak lama untuk mencari persediaan makanan. Dalam perjalanan jarak dekat, mereka tetap singgah di tepian, namun hanya sebentar. Bahan makanan yang mereka cari bermacam-macam, dari mulai sagu, pinang, petatas (ubi), kasbi (umbi talas), ikan, sayuran, serta kayu bakar untuk memasak.

Saat-saat menepi ini juga mereka manfaatkan untuk mengecek atap. Kalau ada yang perlu diperbaiki, mereka akan mencari bahannya di hutan. Selain mencari bahan makanan dan memperbaiki perahu, mereka juga melakukan aktivitas lainnya seperti mengambil dan memasak air, mencuci pakaian, dan mencari ikan.

kehidupan di rumah perahu

Rumah perahu sedang menepi/Dewie Suwiryo

Sebelum mencari ikan, mengambil air, dan mencuci, penghuni rumah perahu biasanya melepaskan bagian atas rumah perahunya dan meninggalkannya sejenak di tepian hutan dekat mereka menepi. Setelah bagian atas dilepas, rumah perahu itu berubah jadi kole-kole yang lebih mudah untuk didayung ke mana-mana.

Pembagian tugas dalam keluarga, antara ibu, ayah, dan anak, berbeda-beda tergantung kesepakatan tiap keluarga. Ada keluarga yang memberikan tugas kepada anak untuk menunggui bagian rumah perahu yang dilepas sambil menjaga stok makanan. Sementara, sang ibu dan ayah mengayuh kole-kole untuk mengambil air, mencuci pakaian, dan memancing ikan. Ada pula keluarga yang ayah dan anaknya mencari air dan ikan, sementara ibu mencari bahan makanan di hutan.

kehidupan di rumah perahu

Sedang melakukan aktivitas harian/Dewie Suwiryo

Akan tetapi ada juga keluarga yang tidak memberikan tanggung jawab spesifik pada setiap anggota keluarga dan melakukan semua aktivitas harian secara bersama-sama.

Menjual bahan makanan yang berlebih ke kampung terdekat

Jika bahan makanan yang diperoleh melimpah, mereka akan menjualnya ke kampung terdekat. Sagu, misalnya, bisa dijual dalam keadaan kering atau sudah dibakar. Hasil penjualan itu digunakan untuk membeli bahan makanan yang tak bisa diperoleh di hutan, misalnya minyak goreng, telur, atau rica (cabai).

Jika ada anggota keluarga yang sakit, biasanya mereka hanya mengandalkan obat tradisional dari dedaunan berkhasiat yang mereka dapat di hutan.

kehidupan di rumah perahu

Sagu yang sudah dikeringkan/Dewie Suwiryo

Sederhana ‘kan cara mereka bertahan hidup? Kehidupan di rumah perahu mengajarkan banyak hal pada kita, yang tinggal di rumah “biasa.” Jika orang-orang rumah perahu saja bisa hidup tenang di atas air yang mengalir, kita juga pasti bisa bahagia tinggal di darat.

Kebahagiaan tak tergantung seberapa besar atau kecilnya rumahmu, namun seberapa bersyukur kamu atas karunia yang sudah diberikan oleh-Nya.

The post Beginilah Kehidupan di Rumah Perahu yang Hilir Mudik di Sorong Selatan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kehidupan-di-rumah-perahu-sorong-selatan/feed/ 2 3551