papua Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/papua/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:57:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 papua Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/papua/ 32 32 135956295 Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya https://telusuri.id/carstensz-pyramid-puncak-tertinggi-papua/ https://telusuri.id/carstensz-pyramid-puncak-tertinggi-papua/#respond Fri, 14 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46092 Carstensz Pyramid, atau Piramida Carstensz di Papua Tengah, Indonesia memiliki ketinggian puncak mencapai 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl). Area puncaknya sangat sempit dan berbatu, dikelilingi jurang-jurang terjal sedalam ratusan meter. Nama lokal dari...

The post Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Carstensz Pyramid, atau Piramida Carstensz di Papua Tengah, Indonesia memiliki ketinggian puncak mencapai 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl). Area puncaknya sangat sempit dan berbatu, dikelilingi jurang-jurang terjal sedalam ratusan meter. Nama lokal dari Carstensz Pyramid adalah Ndugu-ndugu. Sebagian pendapat mengatakan nama lain area puncak berbatu tajam ini adalah Puncak Jaya. Namun, versi lain lebih meyakini Puncak Jaya atau Puncak Sukarno merupakan bagian dataran puncak bersalju dan berdekatan dengan Carstensz Pyramid.

Menurut Hendri Agustin, pendaki gunung profesional dan penulis buku The Seven Summits of Indonesia: Tujuh Puncak Tertinggi di Tujuh Pulau/Kepulauan Besar Indonesia (Penerbit Andi, 2015), Carstensz Pyramid termasuk dalam bagian Barisan Pegunungan Sudirman (Sudirman Range atau Nassau Range) sebelah barat. Selain Carstensz, puncak-puncak tertinggi di kawasan tersebut di antaranya Sumantri, Ngga Pulu atau Puncak Jaya, Carstensz Timur, Trikora, dan Ngga Pilimsit atau Puncak Idenberg. Pertambangan emas Freeport juga ada di pegunungan ini.

Sementara di Pegunungan Jayawijaya (Orange Range), lanjut Hendri, berada di bagian tengah wilayah Papua. Letaknya membentang sepanjang 370 kilometer di sebelah timur Pegunungan Sudirman hingga Pegunungan Bintang. Titik tertinggi pegunungan yang menjadi hulu Sungai Baliem ini adalah Puncak Mandala (4.760 mdpl). Puncak-puncak di sekitar Mandala antara lain Yamin, Cornelis Speelman, dan Jan Pieterszoon (JP) Coen Peak.

Carstensz Pyramid terkenal sebagai salah satu dari tujuh tujuan utama ekspedisi puncak tertinggi dunia (World Seven Summits). Puncak ini mewakili subregional Australasia, bagian dari kawasan Oseania yang di dalamnya mencakup sebagian pulau-pulau Indonesia, Australia, Selandia Baru, dan wilayah kepulauan di Samudra Pasifik. Adapun enam puncak tertinggi lainnya adalah: Everest, Asia (8.848 mdpl); Aconcagua, Amerika Selatan (6.962 mdpl); Denali atau McKinley, Amerika Utara (6.914 mdpl); Elbrus, Eropa (5.642 mdpl); Kilimanjaro, Afrika (5.895 mdpl); dan Vinson Massif, Antartika (4.892 mdpl).

Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
Peta topografi Barisan Pegunungan Sudirman Barat, diinterpretasi dari fotografi udara oblique (sudut pandang miring) dan pengamatan lapangan oleh R. Milton dan D. Dow saat Carstensz Gletser Expedition 1968, sebuah ekspedisi gabungan Australian National University, Monash University, University of Melbourne, dan Departemen Sains Pemerintah Australia (Hope, 1972)

Sejarah Carstensz Pyramid dan satu-satunya kompleks salju abadi di Indonesia

Sejarah penamaan Carstensz Pyramid cukup unik, karena tidak berasal dari seseorang yang mendaki gunung ini. Neill (1973) menyebut penemunya justru seorang pelaut dan penjelajah Belanda Jan Carstenszoon. Pada tahun 1623, ia diperintahkan Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) untuk melakukan ekspedisi ke pesisir selatan Papua (dulu disebut New Guinea atau Nugini).

Perjalanan itu sebagai tindak lanjut ekspedisi Willem Janszoon tahun 1606, yang melihat kemungkinan adanya daratan yang tampaknya seperti masih berderet memanjang ke arah selatan. Dari Ambon, dengan kapal pesiar Pera—rombongan lainnya menumpang kapal Arnhem dengan kapten Willem Joosten van Colster—rombongan bergerak ke tenggara Papua hingga ke Australia.

Di satu kawasan perairan, cuaca bersahabat memungkinkan Carstenszoon melihat gugusan pegunungan serupa piramida menjulang dengan padang es atau gletser di bagian puncak. Ia pun menjadi orang Eropa pertama yang menyaksikan itu dan menamainya Carstensz Pyramid. Laporan temuannya sempat tidak dipercayai di Eropa, karena tidak umum terdapat salju di daerah tropis dan dilintasi garis khatulistiwa.

Penemuan Carstenszoon menjadi tonggak penting pada sejumlah kegiatan eksplorasi di tahun-tahun setelahnya. Benja V. Mambai dalam Masyarakat dan Konservasi: 50 Kisah yang Menginspirasi dari WWF untuk Indonesia (2012), menulis ekspedisi tahun 1909 oleh Hendrikus Albertus Lorentz berhasil menjangkau daerah pedalaman dan pegunungan Mandala, hingga mencapai kawasan gletser Puncak Jaya. Lorentz seperti memvalidasi temuan puncak pegunungan bersalju yang dulu dilihat Carstenszoon. Nama Lorentz pun diabadikan sebagai nama taman nasional terluas dan terbesar di Indonesia dengan luas 2.505.600 hektare: Taman Nasional Lorentz.

Perbandingan foto gletser oleh Jean Jacques Dozy pada Ekspedisi Carstensz 1936 (kiri) dan Ekspedisi Gletser Carstensz oleh gabungan universitas dan pemerintah Australia pada 1972. Foto udara dengan teknik oblique (sudut pandang miring) tersebut sama-sama menghadap ke timur. Tampak dari kiri ke kanan terhampar area gletser di sekitar Puncak Jaya, mulai dari Northwall Firn, Gletser Meren, dan Gletser Carstensz (Allison dan Peterson, 1989)

Kemudian Ekspedisi Carstensz tahun 1936 oleh trio pendaki Belanda Anton Colijn, Jean Jacques Dozy, dan Frits Wissel, yang berhasil menginjakkan kaki di Puncak Barat Daya atau Puncak Kedua Northwall (sekarang Puncak Sumantri) dan Puncak Jaya, tetapi belum mencapai Carstensz Pyramid. Ekspedisi pendaki gunung Austria Heinrich Harrer pada tahun 1962 akhirnya berhasil mencapai Carstenz Pyramid. Ia ditemani tiga anggota: Robert Philip Temple, Russell Kippax, dan Albertus Huizenga. Jalur pendakian yang mereka tempuh kemudian dikenal dengan nama Rute Harrer.

Beragam ekspedisi dan penelitian akhirnya mengungkap adanya salju abadi di puncak-puncak Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya. Menurut Allison dan Peterson (1989), hasil tangkapan citra satelit tahun 1974 hingga 1982 menunjukkan tiga lokasi padang es (gletser) abadi kecil di Papua, yaitu Puncak Jaya, Puncak Sumantri, Puncak Mandala, dan Ngga Pilimsit. Padang es terbesar ada di Puncak Jaya, dengan luas sekitar 7 km2. Kompleks gletser tropis lembah sejati yang berada di area puncak-puncak tersebut antara lain: terkenal antara lain Gletser Carstensz, Gletser Meren, Northwall Firn (terdiri dari West Northwall Firn dan East Northwall Firn), dan Southwall Hanging.

Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
Titik sebaran gletser tropis dunia berdasarkan pemetaan Randolph Glacier Inventory via mdpi.com (Veettil dan Kamp, 2019)

Adanya gletser di area puncak Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya merupakan satu-satunya di Indonesia, yang notabene merupakan negara beriklim tropis dan dikelilingi banyak gunung berapi. Tercatat hanya ada tiga kawasan gletser tropis di dunia. Selain Indonesia, gletser tropis lainnya berada di wilayah Pegunungan Andes Amerika Selatan (mencakup Peru dan Ekuador), serta di wilayah Afrika Timur: Gunung Kenya (Kenya), Gunung Kilimanjaro (Tanzania), dan Pegunungan Ruwenzori (perbatasan Uganda dan Republik Demokratik Kongo).

Namun, perubahan iklim dan pemanasan global yang nyata—termasuk El Nino berkepanjangan—membuat luasan padang es tersebut menyusut drastis. Dilansir Tempo.co (2/3/2025), Pakar Klimatologi BMKG Donaldi Sukma Permana, yang juga memimpin Studi Dampak Perubahan Iklim pada Gletser di Puncak Jaya, menyebut laju penipisan es sekitar 2,5 meter per tahun selama periode 2016–2022. Di akhir rentang waktu tersebut, tersisa luas tutupan es 0,23 kilometer persegi dan akan terus mencair, bahkan diprediksi punah dalam waktu kurang dari lima tahun mendatang—dan mungkin tidak akan bisa diselamatkan. Dampak kehilangan gletser di daerah hulu bisa memengaruhi pasokan sumber air dan aliran sungai untuk flora dan fauna endemis, serta masyarakat adat. 

Perubahan luasan tutupan es di area puncak Barisan Pegunungan Sudirman Barat selama 1974–2023 di platform Soar Earth (data diolah dari USGS, European Space Agency, Satelit Copernicus, dan Sentinel Hub)

World Seven Summits dalam daftar Messner

Masuknya Carstensz Pyramid sebagai bagian dari tujuh puncak tertinggi dunia tidak lepas dari peran Reinhold Andreas Messner. Pendaki profesional berkebangsaan Italia ini dikenal karena tercatat sebagai orang pertama yang mendaki solo tanpa suplemen oksigen di Gunung Everest pada tahun 1980. Messner juga merupakan pendaki pertama yang berhasil menginjakkan kaki di empat belas puncak (eight-thousanders) dengan ketinggian minimal 8.000 mdpl.

Diskursus tentang daftar tujuh puncak tertinggi dunia (World Seven Summits) telah berlangsung sejak era 1950-an. Dalam catatan ABC of Mountaineering, William D. Hackett melakukan pendakian puncak di lima benua pada tahun 1956. Ia mendaki McKinley (1947), Aconcagua (1949), Kilimanjaro (1950), Kosciuszko dan Mont Blanc (1956). Saat itu Kosciuszko (Australia) dan Mont Blanc (Eropa) dianggap sebagai gunung tertinggi di kawasannya.

Selanjutnya pendaki Jepang Naomi Uemura menjadi yang pertama mencapai lima dari tujuh puncak gunung: Mont Blanc (1966), Kilimanjaro (1966), Aconcagua (1968), serta pendakian solo ke Everest dan McKinley pada tahun 1970. Pendakian Denali merupakan persiapan Uemura untuk menyongsong ekspedisi Gunung Vinson Massif di Antartika. Namun, ia menghilang akibat badai saat perjalanan turun.

Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
Reinhold Messner saat diwawancarai jurnalis Isabella Fischer pada 2023/Olaf Krüger via Nürnberger Nachrichten

Capaian penting diraih Reinhold Messner, pendaki berpengaruh yang menjadi orang pertama mencapai enam dari tujuh puncak. Mulai dari Carstensz Pyramid atau Puncak Jaya (1971), Aconcagua (1974), McKinley (1976), Kilimanjaro (1978), Kosciuszko (1983), dan Elbrus (1983). Messner kemudian menetapkan Carstensz Pyramid sebagai puncak tertinggi di Australasia, begitu pun Elbrus yang lebih tinggi daripada Mont Blanc di Eropa. Ia akhirnya menjadi orang kelima yang khatam World Seven Summits setelah berhasil mendaki Vinson Massif pada 1986.

Sejak itu, ia menahbiskan daftar Messner untuk program pendakian tujuh puncak gunung tertinggi di dunia. Seperti diungkap Hamill (2012), Messner berargumen Carstensz Pyramid layak masuk dalam daftar karena pendakiannya bersifat ekspedisi sejati dan jauh lebih menantang, daripada Kosciuszko yang relatif lebih mudah. Daftar Messner ini pun akhirnya lebih banyak diikuti dan dipatuhi pendaki kawakan dunia, termasuk Patrick Morrow. Pendaki Kanada itu pada 1986 berhasil menjadi orang pertama yang menggenapi tujuh puncak versi Messner. Sebelum Messner, Richard “Dick” Bass juga memiliki versi tersendiri dengan memilih memasukkan Kosciuszko untuk mewakili kawasan Australia atau Oseania, bukan Carstensz Pyramid.

  • Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
  • Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya

Puncak-puncak tertinggi Papua selain Carstensz Pyramid

Tidak hanya Carstensz Pyramid, ada juga puncak-puncak tertinggi lain, baik di kawasan Pegunungan Sudirman maupun Pegunungan Jayawijaya. Kawasan pegunungan yang terbentuk karena proses konvergen lempeng Australia dan lempeng Pasifik tersebut berada di bawah pengelolaan Taman Nasional Lorentz.

1. Puncak Sumantri (4.870 mdpl)

Menurut SummitPost.org, Puncak Sumantri atau Soemantri—merujuk pada Soemantri Brodjonegoro, mantan menteri ESDM dan mendikbud era Orde Baru—terletak sekitar dua kilometer di utara Carstensz Pyramid. Dahulu disebut puncak barat daya (north west peak) dari Ngga Pulu—area puncak yang pernah lebih tinggi dari Carstensz—tetapi kehilangan ketinggian karena penyusutan gletser secara masif. Ekspedisi Carstensz tahun 1936 oleh trio pendaki Belanda Anton Colijn, Jean Jacques Dozy, dan Frits Wissel, menyebutnya sebagai Puncak Kedua Northwall; sedangkan Heinrich Harrer pada ekspedisi tahun 1962 menyebutnya Ngapalu, yang kemudian ia gambarkan dalam peta. Dalam bahasa lokal, “Ngga” berarti gunung.

Tebing-tebing besar dengan batuan cadas dan tajam mendominasi bagian timur dan barat puncak gunung ini. Masih terdapat sisa-sisa Northwall Firn (bagian daratan es) di sekitar puncak, yang mungkin akan lenyap di tahun-tahun mendatang karena perubahan iklim.

2. Ngga Pulu (4.862 mdpl)

Nama lain gunung ini adalah Puncak Jaya atau Puncak Sukarno, yang diberikan pemerintah setelah Papua bergabung dengan Indonesia. Anton Colijn, Jean Jacques Dozy, dan Frits Wissel berhasil menjadi kelompok pertama yang mencapai puncak di sisi utara Carstensz Pyramid itu dalam Ekspedisi Carstensz, 5 Desember 1936. Sampai pada tahun 1974, padang es terbesar Indonesia berada di Puncak Jaya, dengan luas sekitar 7 km2.

3. Puncak Carstensz Timur (4.820 mdpl)

Puncak ini berada di gugusan pegunungan yang sama dengan Carstensz Pyramid, yaitu di Barisan Sudirman Barat. Ekspedisi Carstensz tahun 1936 oleh Anton Colijn, Jean Jacques Dozy, dan Frits Wissel berhasil menjangkau padang gletser di kawasan puncak ini. Menurut catatan Ahmad (2020), jalur menuju kedua puncak tersebut berbeda arah, terpisah oleh Punggungan Tengah yang memanjang sejauh 4,5 kilometer. Selain Carstensz Pyramid dan Carstensz Timur, di antara punggungan ini juga terdapat titik persimpangan jalur menuju Puncak Sukarno dan Puncak Sumantri.

  • Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
  • Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
  • Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya

4. Puncak Mandala (4.760 mdpl)

Kawasan puncak gunung ini membentuk bentang alam Pegunungan Bintang dan dekat dengan perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Menurut Sitokdana (2016), nama lokal puncak gunung ini adalah Aplim Apom, sebuah peradaban komunitas suku lokal yang meliputi enam subsuku (Ngalum, Ketengban, Kambom, Murob, Kimki, dan Lepki), yang tinggal di kawasan Gunung Aplim Apom atau Pegunungan Bintang. Dulunya puncak gunung ini bernama Juliana Top atau Puncak Juliana. Diambil dari nama Ratu Belanda Juliana Louise Emma Marie Wilhelmina, yang diangkat menjadi ratu pada 6 September 1948.

Setelah Papua bergabung ke Indonesia, pemerintah memberi nama Puncak Mandala. Meski tak jelas apakah ada hubungan sejarah, tetapi tampaknya ada keterkaitan dari perspektif filosofis dan mitologi. Mandala (bahasa Sansekerta), yang melambangkan alam semesta, dianggap serupa dengan kepercayaan lokal tentang penciptaan manusia Pegunungan Bintang oleh Atangki (Tuhan) di Gunung Aplim Apom. Bagi masyarakat Aplim Apom, gunung merupakan pusat alam semesta dan menggambarkan kediaman Sang Pencipta. 

5. Puncak Trikora (4.750 mdpl)

Nama Trikora diambil dari Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora), sebuah operasi militer gabungan Indonesia-Uni Soviet pada 1961–1962 untuk merebut wilayah jajahan Belanda di Papua. Gunung ini terletak di bagian timur Pegunungan Sudirman. Menurut Schoorl (1996), suku Dani yang tinggal di dekat Danau Habema menyebut puncak Trikora dengan nama Ettiakup. Lalu pada 1905 diberi nama Ratu Belanda Wilhelmina.

Seperti puncak-puncak lain di Pegunungan Jayawijaya, lapisan es sempat menyelimuti Puncak Trikora. Namun, penelitian pencitraan satelit oleh Kincaid dan Klein (2006) menyatakan bahwa lapisan di puncak tersebut mencair dan lenyap dalam rentang tahun 1936–1962.

6. Ngga Pilimsit (4.717 mdpl)

Ngga Pilimsit merupakan nama lokal, sedangkan nama pemberian Belanda adalah Puncak Idenburg atau Puncak Idenberg. Puncak Idenberg terletak sekitar 21 kilometer ke arah barat laut dari Carstensz Pyramid. Di kawasan gunung ini terdapat Danau Idenberg yang dikelilingi tebing cadas. Pada 1974, riset citra satelit oleh Allison dan Peterson (1989) menunjukkan gletser juga ada di puncak Ngga Pilimsit—selain di Puncak Jaya dan Puncak Mandala— yang mungkin kian mencair seiring perubahan iklim. 

7. Puncak Yamin (4.540 mdpl)

Dalam artikel Fikri di Tempo.co (13/9/2018), jalur pendakian menuju Puncak Yamin baru dirintis oleh organisasi pencinta alam Wanadri pada tahun 2018. Agustian Maulana, Komandan Operasi Ekspedisi Puncak Yamin Wanadri, mengatakan bahwa titik awal pendakiannya berada di Desa Bime, Kabupaten Pegunungan Bintang. Informasi tentang puncak ini sangat minim. Hasil penelusuran Agustian, penduduk lokal menyebutnya Puncak Lim, sedangkan di luar negeri disebut Prins Hendrik Top. Nama tersebut diduga merupakan pendaki asal Inggris pertama yang bisa mencapai puncak.

Masih banyak lagi puncak gunung yang berada di Taman Nasional Lorentz. Beberapa di antaranya sudah didaki dan bernama, tetapi tak sedikit yang belum memiliki nama dan terjamah pendakian.

Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
Area pertambangan Freeport di bawah Puncak Idenberg (Ngga Pilimsit), difoto dari Puncak Jaya pada tahun 2010/Robert Cassady via GunungBagging.com

Jalur pendakian menuju puncak Carstensz Pyramid

Terdapat dua kategori rute pendakian menuju puncak Carstensz Pyramid, yaitu rute cepat dan lambat. Semuanya mengarah ke satu titik yang sama, yakni Basecamp Danau-Danau (4.261 mdpl), tempat camp terakhir dan aklimatisasi sebelum mendaki ke puncak (summit). Setiap jalur memiliki karakteristiknya tersendiri. 

Rute tercepat adalah melalui kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia—perizinannya mungkin lebih rumit—atau naik helikopter dari Timika ke Lembah Kuning (Yellow Valley), area dekat Basecamp Danau-Danau. Sementara rute lain yang memerlukan perjalanan kaki berhari-hari adalah Sugapa (Kabupaten Intan Jaya) dan Ilaga (Kabupaten Puncak) yang merupakan jalur utara, atau via Tsinga (Kabupaten Mimika) yang berada di jalur selatan.

Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya
Telaga di sekitar area Basecamp Danau-Danau sebagai tempat terakhir dan teraman untuk berkemah sebelum puncak/Robert Cassady via GunungBagging.com

Untuk mencapai puncak Carstensz Pyramid, meskipun didampingi pemandu profesional dan berpengalaman, seorang pendaki tetap harus melatih diri dan menguasai beberapa teknik pemanjatan, seperti menggunakan tali saat naik (ascending) dan turun (descending). Kemudian keterampilan rappelling (menuruni tebing vertikal), hingga penggunaan tali tetap dan simpul dasar.

Selain itu, juga terdapat teknik khusus dan memerlukan keberanian mental untuk menyeberangi celah jurang terjal saat mendekati puncak Carstensz. Rahman Mukhlis, pemandu gunung dan anggota Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA) Eka Citra UNJ, kepada Tempo.co (12/7/2020) menyebutnya sebagai teknik tyroleans (penyeberangan horizontal dengan tali). Jalur tali baja yang melintang antartebing dinamakan Burma Bridge.

Kiri: Penyeberangan dengan teknik tyroleans di atas jurang dalam, yang bergantung sepenuhnya pada kekuatan tali-tali baja yang disebut Burma Bridge untuk bisa menuju puncak Carstensz Pyramid. Kanan: Kelompok pendaki mancanegara berfoto usai berhasil mencapai puncak Carstensz Pyramid/Furtenbach Adventure

Berbeda dengan Carstensz Pyramid, lanjut Rahman, pendakian ke Puncak Jaya lebih mengutamakan teknik trekking atau berjalan di atas permukaan gletser. Setiap pendaki dihubungkan dengan tali karmantel yang dikaitkan pada harness di tubuh masing-masing. Peralatan pendakian lainnya yang diperlukan adalah crampon (alas sepatu bergerigi) dan kapak es.

Secara umum, waktu terbaik pendakian ke Carstensz Pyramid, Puncak Jaya, maupun puncak-puncak lainnya di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya berlangsung optimal pada musim kemarau (September–November). Waktu summit akan dimulai sejak dini hari dan turun sebelum tengah hari, untuk mengantisipasi cuaca buruk yang bisa datang secara tiba-tiba dan berpotensi menimbulkan hipotermia (kedinginan akut) pada pendaki.


Referensi:

ABC of Mountaineering. (2015, 17 Oktober). History of the Quest for the Seven Summits. https://web.archive.org/web/20151017102247/http://www.abc-of-mountaineering.com/articles/historysevensummits.asp. Diakses pada 12 Maret 2025.
Agustin, Hendri. (2024, 11 Agustus). Indonesia 4000er (Four Thousander). https://www.hendriagustin.com/?p=1746. Diakses pada 12 Maret 2025.
Achmad, Djali. (2020, 11 Desember). Catatan Jelang Puncak Carstensz. https://burangrang.com/catatan-jelang-puncak-carstensz/. Diakses pada 12 Maret 2025.
Allison, I. & Peterson, J. A. (1989). Satellite Image Atlas of Glaciers of the World: Glaciers of Irian Jaya, Indonesia. United States Geological Survey Professional Paper 1386-H. https://pubs.usgs.gov/pp/p1386h/.
Aminullah, M. (2020, 12 Juli). 3 Hal Ini yang Membedakan Carstensz Pyramid dan Puncak Jaya. Tempo.co, https://www.tempo.co/hiburan/3-hal-ini-yang-membedakan-carstensz-pyramid-dan-puncak-jaya-602309. Diakses pada 12 Maret 2025.
Fikir, A. (2018, 13 September). Ridwan Kamil Lepas Tim Wanadri Perintis ke Puncak Yamin Papua. Tempo.co, https://www.tempo.co/hiburan/ridwan-kamil-lepas-tim-wanadri-perintis-ke-puncak-yamin-papua-819350. Diakses pada 12 Maret 2025.
Hamill, Mike. (2012). Climbing the Seven Summits: A Comprehensive Guide to the Continents’ Highest Peaks. Seattle: The Mountaineers Books.
Hope, G. S., Peterson, J. A., Radok, U., & Allison, I. (1976). The Equatorial Glaciers of New Guinea: Results of the 1971-1973 Australian Universities’ Expeditions to Irian Jaya; survey, glaciology, meteorology, biology and palaeoenvironments. Rotterdam: A.A. Balkema.
Kincaid, J. L., & Klein, A. G. (2006). Retreat of the Irian Jaya Glaciers from 2000 to 2002 as Measured from IKONOS Satellite Images. Journal of Glaciology, Vol. 52, No. 176, 2006. Published online by Cambridge University Press, 8 September 2017. https://doi.org/10.3189/172756506781828818.
Neil, Wilfred T. (1973). Twentieth-Century Indonesia. New York: Columbia University Press.
Novita, M. (2025, 2 Maret). 5 Fakta tentang Carstensz Pyramid, Puncak Tertinggi di Indonesia. Tempo.co, https://www.tempo.co/hiburan/5-fakta-tentang-carstensz-pyramid-puncak-tertinggi-di-indonesia–1213993. Diakses pada 12 Maret 2025.
Schoorl, Pim. (1996). Besturen in Nederlands-Nieuw-Guinea, 1945–1962. Leiden: KITLV Uitgeverij.
Sitokdana, Melkior N.N. (2016). Menerima Misionaris Menjemput Peradaban: Sejarah Nama Pegunungan Bintang, Papua dan Awal Mula Peradaban Asli Pegunungan Bintang. Yogyakarta: Kanisius.
SummitPost.org. (2010). Sumantri. https://www.summitpost.org/sumantri/634409. Diakses pada 12 Maret 2025.
Veettil, B. K. & Kamp, U. (2019). Global Disappearance of Tropical Mountain Glaciers: Observations, Causes, and Challenges. Geosciences 2019, 9(5), 196. https://doi.org/10.3390/geosciences9050196.
WWF Indonesia. (2012). Masyarakat dan Konservasi: 50 Kisah yang Menginspirasi dari WWF untuk Indonesia. Tim Editor: Cristina Eghenter, M. Hermayani Putera, Israr Ardiansyah. Diterbitkan pada Oktober 2012 oleh WWF Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Carstensz Pyramid dan Puncak-puncak Tertinggi Papua di Pegunungan Sudirman dan Jayawijaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/carstensz-pyramid-puncak-tertinggi-papua/feed/ 0 46092
Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/ https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/#respond Fri, 07 Feb 2025 00:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45564 Wacana membuka 20 juta hektare lahan hutan yang keluar dari lisan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni seperti tidak menunjukkan marwah kementerian yang mengurusi hutan. Sekalipun itu untuk dalih mendukung proyek ambisius food estate, memperkuat cadangan...

The post Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah appeared first on TelusuRI.

]]>
Wacana membuka 20 juta hektare lahan hutan yang keluar dari lisan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni seperti tidak menunjukkan marwah kementerian yang mengurusi hutan. Sekalipun itu untuk dalih mendukung proyek ambisius food estate, memperkuat cadangan pangan, energi, dan air. Hal ini diperparah pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyamakan perkebunan sawit dengan hutan, yang menganggap deforestasi bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

Riset Satya Bumi menyebut daya dukung tampung lingkungan hidup untuk perkebunan sawit di Indonesia sudah mendekati ambang batas. Angka ambang batas atas (cap) sawit di Indonesia adalah 18,15 juta hektare, dengan daerah cakupan terluas ada di Pulau Sumatra dan Kalimantan, yang luasannya sudah melampaui kebutuhan (surplus). Sementara menurut data MapBiomas, luas perkebunan sawit saat ini sudah mencapai 17,7 juta hektare. Daripada memaksakan ekspansi sawit, mestinya pemerintah memerhatikan tata kelola yang lebih baik.

Arah kebijakan yang tidak memiliki sensitivitas pada alam tersebut berpeluang menimbulkan bahaya berupa bencana ekologis, mengancam ketahanan dan diversifikasi pangan lokal, serta merebut ruang hidup masyarakat adat. Belum lagi pemusnahan habitat satwa-satwa endemis yang populasinya sudah makin kritis.

Padahal, keanekaragaman hayati dan masyarakat yang majemuk justru menjadi nilai plus Indonesia. Masyarakat atau komunitas adat lokal, yang telah hidup berharmoni dengan hutan secara turun-temurun, terbukti mampu melestarikan tegakan hutan—baik itu hutan tropis di daratan maupun hutan mangrove di kawasan perairan—sekaligus menjaga ekosistem kehidupan di dalamnya. 

Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di wilayah adat Namblong, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura. PT PNM mendapatkan izin lokasi seluas 32.000 hektare dari Bupati Jayapura Mathius Awoitauw pada 2011. Kemudian izin konsesi kawasan hutan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lewat SK.680/MENHUT-II/2014 tanggal 13 Agustus 2014 dengan luas wilayah 16.182,48 hektare. Kawasan seluas itu telah mencaplok lebih dari separuh wilayah adat suku Namblong seluas 53.000 hektare yang membentang di Lembah Grime. Izin konsesi tersebut kemudian dicabut oleh Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar lewat SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Namun, aktivitas PT PNM masih berjalan. Pembabatan hutan terus berlangsung dan ratusan hektare lahan berhutan milik sejumlah marga telah rata dengan tanah. Meski belum ada kegiatan penanaman, tetapi perusahaan yang tidak memiliki kantor tetap itu telah menyiapkan bibit-bibit sawit siap tanam. Keberadaan industri ekstraktif ini sedang “dilawan” oleh masyarakat lokal dengan beragam cara, di antaranya pengelolaan sumber daya alam oleh Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA)/Foto oleh Deta Widyananda

Inilah cara kreatif “menjual” hutan tanpa harus membabat hutan

Pengalaman dari perjalanan ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI di Sumatra, Kalimantan, dan Papua dalam dua tahun terakhir telah memberikan sudut pandang nyata soal harmoni manusia dan alam, serta tantangan internal-eksternal yang bisa mengancam eksistensinya. TelusuRI ingin mengajak pemerintah maupun para pemangku kepentingan dengan kesadaran penuh untuk bercermin dari jalan hidup para local champion dan masyarakat adat tersebut. Mereka cerdas dan bijak dalam memanfaatkan hasil hutan dan mendapat keuntungan ekonomi, tetapi tanpa harus merusak hutan.

Inilah cara-cara mereka, yang (seharusnya) bisa menjadi pedoman nyata pemerintah agar lebih kreatif dan bijaksana dalam membuat kebijakan ramah lingkungan.

1. Ekowisata Tangkahan, Langkat, Sumatra Utara

Sepanjang 1995–2000, sekitar 400 hektare hutan di Tangkahan dibabat habis oleh pembalakan liar. Masyarakat dan cukong bekerja sama dalam bisnis kotor pada balok-balok kayu damar senilai jutaan rupiah. Padahal, kampung di pinggiran Sungai Sei Batang Serangan ini berbatasan langsung dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Satu dari lima taman nasional tertua di Indonesia, satu-satunya tempat empat mamalia besar endemis berada dalam satu ‘rumah’: harimau, gajah, orang utan, dan badak.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Pada 2001, sejumlah pembalak liar mulai menemukan kesadaran dan berubah haluan, yang kemudian membentuk komunitas pemuda Tangkahan Simalem Ranger tanggal 22 April. Salah satu inisiatornya adalah Rutkita Sembiring. Tugas utamanya antara lain menghentikan illegal logging, juga mengajak rekan-rekan pembalak untuk bertobat dan mencari jalan hidup yang lebih baik.

Inisiatif tersebut lalu berkembang melahirkan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT). Terinspirasi dari ekowisata Bukit Lawang, yang telah membuktikan upaya “menjual” hutan tidak dengan menebang, tetapi melalui ekowisata. LPT menggerakan ekonomi alternatif dan merestorasi alam melalui ekowisata berkelanjutan. Sampai sekarang, LPT bekerja sama dengan Conservation Rescue Unit (CRU) dan TNGL, yang bertanggung jawab menampung gajah-gajah sumatra di Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan. Gajah-gajah tersebut umumnya dievakuasi dari konflik manusia-satwa di Aceh-Sumatra Utara. Di PLSK, sejumlah induk dan anak gajah dirawat oleh mahout (pawang gajah), yang juga bertugas memberi edukasi konservasi kepada para tamu LPT, baik domestik maupun mancanegara.

2. Kelompok Tani Hutan Konservasi, Langkat, Sumatra Utara

Tidak hanya di Tangkahan. Selama lebih dari tiga dekade, riwayat perusakan kawasan penyangga TNGL  juga merambah 16.000 hektare hutan di daerah pedalaman Besitang. Alih fungsi lahan yang masif mengubah area hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. Mafia tanah pun merajalela, konflik horizontal antara masyarakat dengan pemangku kawasan konservasi tak terelakkan.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Pada 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk program Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) sebagai upaya memulihkan kawasan. Terdapat 16 KTHK yang masing-masing beranggotakan petani mitra sekitar dengan cakupan lahan mencapai hampir 1.000 hektare. Setiap petani diberi lahan garapan seluas dua hektare untuk menanam komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti durian, jengkol, cempedak, aren, petai, dan rambutan. Tanaman-tanaman HHBK ini disebut juga Multi-Purpose Tree Species (MPTS). Program KTHK membuat masyarakat anggota kemitraan tersebut memiliki potensi ekonomi alternatif sekaligus merestorasi kawasan hutan, sehingga tidak lagi bergantung pada perambahan, pembalakan, maupun sawit.

Salah satu kelompok yang masih aktif sampai sekarang adalah KTHK Sejahtera pimpinan Hatuaon Pasaribu. Mantan guru yang getol menggalakkan semangat konservasi dan ekonomi restoratif di tengah keterbatasan dan masih adanya ancaman mafia tanah. Sejauh ini, Pasaribu dan para anggota maupun sejumlah kelompok lainnya telah membuktikan hasil positif dari KTHK. Mereka hanya perlu dukungan pemerintah untuk menjamin keamanan pekerjaaan di lapangan, serta menjangkau akses pasar dan sarana-prasarana budidaya lebih luas lagi.

3. Hutan Mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau

Bertahun-tahun, setidaknya sampai 2002, Desa Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis rutin dihajar rob setengah meter setiap Oktober–Desember. Permukiman, rumah penduduk, dan lahan pertanian terendam air asin. Produktivitas karet menurun. Air kelapa tidak lagi segar. Hutan mangrove menyusut akibat perambahan dan pembalakan liar oleh panglong, perusahaan penebangan kayu setempat. Data mencatat, terjadi penurunan luas hutan mangrove sebanyak 5,25 persen di Pulau Bengkalis dalam kurun waktu 1992–2002. Dari sekitar 8.182,08 hektare pada tahun 1992 menjadi 6.115,95 hektare pada tahun 2002.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Situasi itu menggerakkan hati Samsul Bahri, seorang nelayan kecil berdarah Jawa untuk menyelamatkan ekosistem mangrove. Pada 2002, ia mulai membudidayakan dan menanam bibit-bibit mangrove di hutan rawa belakang rumahnya. Dua tahun kemudian, Samsul membentuk dan mengetuai Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap, yang diperkuat surat keputusan Bupati Bengkalis saat itu. Selain Belukap, juga ada KPM Perepat yang dipimpin M. Ali B. Dua kelompok ini merupakan pelopor pengelolaan mangrove dengan skema perhutanan sosial.

Lambat laun, 40 hektare hutan mangrove berhasil direstorasi. Pohon tertingginya bisa mencapai 20 meter. Banjir rob sudah berkurang signifikan. Kerja kerasnya mendapat atensi pemerintah dan sejumlah lembaga nirlaba internasional, yang kemudian memberi bantuan pendanaan kegiatan dan advokasi sampai terbentuknya legalitas Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Teluk Pambang. Kini, bukan hanya konservasi semata, Samsul dan masyarakat Teluk Pambang menatap masa depan ekonomi restoratif melalui ekowisata dan perdagangan karbon dari 1.001,9 hektare ekosistem mangrove yang telah merimbun.

4. Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur

Masyarakat suku Dayak Lebo di Kampung Merabu adalah jagawana ekosistem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Ekosistem karst terbesar di Kalimantan. Meski dikepung sawit yang tumbuh menjamur di kampung tetangga, orang-orang Merabu masih gigih mempertahankan hutan yang menjadi sumber penghidupan utama mereka. Sebab, Dayak Lebo lama dikenal sebagai suku pemburu dan peramu obat-obatan tradisional. Madu hutan alami juga jadi salah satu produk unggulan. Sejak 2014, ekowisata menjadi sumber ekonomi alternatif yang dikelola berbasis masyarakat dan berkelanjutan.

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Perbukitan karst Sangkulirang-Mangkalihat benar-benar jadi berkah untuk Merabu. Selain menyimpan jejak prasejarah lewat gua-gua purba, kawasan ini juga memiliki bentang alam yang menjadi daya tarik wisata, seperti Danau Nyadeng dan Puncak Ketepu. Pengelolaan ekowisata berada di tangan Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam). Sudah tak terhitung tamu yang datang untuk berwisata di Merabu, terutama mancanegara.

Program menarik yang memanfaatkan nilai hutan Merabu adalah adopsi pohon. Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kerima Puri. selaku penanggung jawab program, telah menghimpun hampir 300-an pohon yang diadopsi oleh banyak pihak, mulai dari turis biasa, lembaga nirlaba, hingga instansi pemerintahan. Rata-rata jenis pohon yang diaopsi antara lain damar, meranti merah, dan merawan. Nama yang disebut terakhir diadopsi sejak 2016 oleh Vidar Helgesen, Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia periode 2015–2018. Dana hasil adopsi pohon tersebut kemudian dialokasikan untuk biaya sekolah anak-anak Merabu dan biaya sosial warga kampung yang kurang mampu.

5. Ekowisata Malagufuk, Sorong, Papua Barat Daya

Suku Moi merupakan komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong, gerbang barat Tanah Papua. Masyarakat Moi dikenal dengan tradisi egek, yang membatasi atau melarang kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu di hutan maupun kawasan pesisir, agar kelestarian alam dan keanekaragaman hayatinya terjaga. Meski sejumlah daerah di Sorong sudah beralih fungsi menjadi area pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit, ada satu titik yang masih keras mempertahankan tanah ulayatnya, yaitu Malaumkarta Raya. 

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

Di antara lima kampung, hanya Malagufuk yang menempati pedalaman rimba Hutan Klasow. Sisanya berada di pesisir. Jalan kaki sejauh 3,5 kilometer di atas jembatan kayu adalah satu-satunya cara mencapai Kampung Malagufuk. Keterisolasian ini justru jadi nilai lebih Malagufuk, yang kemudian mendunia karena daya tarik ekowisata pengamatan burung (birdwatching). Terdapat lima spesies cenderawasih yang bisa ditemukan di Malagufuk, yaitu cenderawasih kuning-kecil, cenderawasih kuning-besar, cenderawasih raja, cenderawasih mati kawat, dan toowa cemerlang. Tidak hanya cenderawasih, burung-burung endemis lainnya juga ada, antara lain julang papua, mambruk, dan kasuari. Satwa unik seperti nokdiak atau landak semut dan kanguru tanah juga bisa ditemukan di sini.

Perputaran ekonomi restoratif melalui ekowisata dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat gelek (marga) Kalami dan Magablo di Malagufuk. Mulai dari pemandu, pengelola homestay, porter, hingga juru masak terlibat di dalamnya. Masyarakat Malagufuk mampu melihat nilai lebih dari hutan mereka tanpa harus merusak hutan. Keberagaman potensi burung dan satwa di Malagufuk mengundang turis pegiat birdwatching lintas negara. Di Papua, Malagufuk kini jadi destinasi pengamatan burung paling populer selain Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Jayapura.

6. BUMMA Yombe Namblong Nggua, Jayapura, Papua

Inisiatif luar biasa dalam mewujudkan ekonomi restoratif berbasis masyarakat lahir di Kabupaten Jayapura. Tepatnya di Lembah Grime, kawasan adat suku Namblong seluas 53.000 hektare yang menempati tiga distrik: Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mitra BUMMA, dan Samdhana Institute berkolaborasi dengan masyarakat adat Namblong membentuk Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua pada 12 Oktober 2022. Per Oktober 2024 lalu, BUMMA resmi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), dengan 44 Iram (pemuka marga) sebagai pemegang saham. 

  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah
  • Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah

BUMMA Yombe Namblong Nggua merecik harapan ekonomi kerakyatan di tengah tekanan deforestasi akibat alih fungsi lahan perusahaan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), yang hak konsesinya sudah dibatalkan pemerintah sejak 2022 lalu. Langkah progresif tersebut pertama di Papua, seiring penetapan pengakuan ribuan hektare hutan adat Namblong oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain Jayapura, BUMMA juga dibentuk di Mare, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya.

Pendirian BUMMA muncul atas keinginan mengelola sumber daya alam berbasis masyarakat adat secara berkelanjutan. Setidaknya terdapat tiga sektor unggulan yang dikerjakan, yaitu budi daya vanili, ekowisata, dan perdagangan karbon melalui restorasi hutan—termasuk memulai penanaman sagu di lahan-lahan terdampak konsesi sawit.

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hamparan hutan tropis di kawasan ekowisata Malagufuk, Sorong, yang dijaga dan disakralkan berdasarkan ketentuan adat. Sebatang pohon pun akan sulit dipulihkan dan butuh waktu lama untuk tumbuh seperti semula, apalagi jika sampai 20 juta hektare hutan hilang/Deta Widyananda

Tunggu apa lagi, Pak Presiden dan Pak Menteri?

Contoh riil di akar rumput tersebut mestinya sudah lebih dari cukup sebagai bukti agar pemerintah membuka mata lebar-lebar. Pemahaman sederhana soal keseimbangan ekosistem mestinya juga sudah didapat jika memang pernah melewati masa pendidikan sekolah dasar. Bahwa jika memutus satu rantai dalam ekosistem, maka akan menghapus entitas kehidupan yang bergantung padanya. Sebagaimana menghilangkan pohon-pohon pembentuk ekosistem pemberian Tuhan. Tidak hanya akan memusnahkan habitat keanekaragaman hayati, tetapi juga identitas kebudayaan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan.

Dampak keserakahan dan ambisi akibat menjadikan lahan hutan sebagai ladang bisnis telah nyata merusak segala lini kehidupan yang menjadi hak rakyat. Suku-suku adat terusir dari tanahnya sendiri, satwa-satwa endemis mengais-ngais makanan di tempat yang tidak semestinya—karena hutannya sudah hilang. Belum lagi konflik antara manusia dan satwa, yang sudah amat sering terjadi hingga soal bencana ekologis yang akan timbul. Banjir bandang, sungai meluap, dan tanah longsor merenggut banyak hal, yang seringkali hujan lebat maupun cuaca ekstrem menjadi sasaran tuduhan pemerintah, yang tutup mata pada masalah sebenarnya: hilangnya pohon-pohon di hutan sebagai penyerap dan penahan air.

Ayolah, Pak Presiden dan Pak Menteri. Masyarakat adat dan komunitas lokal lebih memahami hutan mereka. Mereka hanya perlu pengakuan legal dan pendampingan, agar hutan alami yang menghidupi mereka terjaga sampai anak cucu. Sebab, jika masih tutup mata, slogan Indonesia sebagai paru-paru dunia sejatinya sudah menjadi sekadar romantisme belaka. Setop mengoceh soal Indonesia yang kaya sumber daya alam, jika kebijakan-kebijakan di tingkat elite tidak berpihak pada alam itu sendiri.


Foto sampul oleh Deta Widyananda


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Surat Terbuka untuk Rencana Deforestasi 20 Juta Hektare Hutan oleh Pemerintah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/surat-terbuka-menentang-rencana-deforestasi-pemerintah/feed/ 0 45564
Terima Kasih, Papua https://telusuri.id/terima-kasih-papua/ https://telusuri.id/terima-kasih-papua/#respond Thu, 16 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45376 Tidak ada pelajaran terbaik dari sebuah perjalanan, selain hati dan kenangan indah yang tertinggal sebagai rindu. Papua, kami pasti kembali. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri Ada satu hal...

The post Terima Kasih, Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
Tidak ada pelajaran terbaik dari sebuah perjalanan, selain hati dan kenangan indah yang tertinggal sebagai rindu. Papua, kami pasti kembali.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Terima Kasih, Papua
Kabut tipis menyelimuti hamparan hutan adat Kampung Bariat, Sorong Selatan. Tampak aliran Sungai Kaibus yang bermuara ke laut. Di Papua, kawasan hutan dan perairan menjadi tempat sakral yang harus dijaga karena memberi sumber penghidupan masyarakat adat/Deta Widyananda

Ada satu hal yang sangat menakjubkan dari orang-orang Papua. Tanpa mengatakan nama daerah, hanya dengan menyebut nama marga, maka orang Papua akan tahu dari mana asal daerah seseorang. Ko pu marga Kalami, maka ko orang suku Moi dari Malaumkarta, Sorong. Kam pu marga Kareth, maka kam orang suku Tehit dari Bariat, Sorong Selatan. Dong pu marga Waisimon, maka dong orang suku Namblong dari Yenggu Baru, Jayapura. Dan seterusnya.

Bayangkan. Dari satu suku besar saja, terdapat turunan subsuku yang masing-masing bisa berisi puluhan atau ratusan marga. Itu satu tempat. Belum daerah yang lain. Lebih dari 250 suku dan 300 rumpun bahasa bertumbuh di Papua. 

Ini belum bicara soal zonasi wilayah adat antarmarga maupun antarsuku. Belum lagi konsep kebudayaan—dengan kombinasi religiositas—yang mengikat kehidupan masyarakat dari lahir sampai mati. Termasuk di antaranya perkawinan, penerapan hukum adat, hingga pergantian ketua adat; yang melibatkan komponen-komponen ritus nan rumit sekaligus filosofis. Sistem ini menyatu dengan prinsip hidup orang Papua dalam menjaga hutan, sungai, dan laut yang menjadi sumber kehidupan. Sebuah “kedaulatan konservasi” yang sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.

Sebab, seperti orang Papua yakini, hutan adalah ibu, hutan adalah mama. Pemberi kehidupan. Kita belajar banyak cara mereka menghargai alam. Bahkan di tengah keterbatasan atas hak mereka terhadap akses pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. 

Tak pelak jika lembaga-lembaga swadaya masyarakat di Papua memperjuangkan pengakuan wilayah hutan adat ke negara. Cara ini akan memperkuat legitimasi masyarakat adat sebagai pengelola hutan adat. Hanya merekalah yang jauh lebih memahami alam dan cara memanfaatkannya. Orang-orang Papua di kampung-kampung hanya perlu didampingi bagaimana meningkatkan nilai ekonomi dari mengolah hasil alam, tanpa harus merusak alam.

Pemanfaatan hutan berkelanjutan tentu akan berdampak pada pelestarian hutan itu sendiri. Berbeda dengan investasi industri ekstraktif yang berorientasi kuantitas, ekspansi, dan profit. Jika akses maupun kepemilikan komunitas adat pada hutan atau laut hilang, seperti kata Torianus Kalami, tokoh Moi di Sorong dan Malaumkarta Raya, itu sama saja dengan menghapus satu per satu kebudayaan asli Papua.

* * *

Terima Kasih, Papua
Alberto Yekwam di Pulau Um, Malaumkarta. Perjalanan pendidikan dan pengalaman hidupnya memberi pandangan tegas bagaimana semestinya negara memberi perhatian kepada orang-orang Papua/Rifqy Faiza Rahman

Kami jadi teringat Alberto Yekwam saat hendak meninggalkan Kampung Malaumkarta untuk kembali ke Kota Sorong. Pria berdarah Tambrauw-Maybrat itu adalah sopir mobil Hilux yang kami sewa selama perjalanan ke Malagufuk–Malaumkarta. Ia memang sedang mengambil jatah libur selepas lulus sekolah pilot di Colorado, Amerika Serikat; dan kami sangat beruntung bisa mengenalnya.

Sembari menunggu barang-barang bawaan kami dimuat di bagasi belakang, kami mengobrol sejenak. Salah satu yang menarik adalah sudut pandangnya dalam memaknai “kemerdekaan” untuk Orang Asli Papua (OAP). Di Papua, isu soal kemerdekaan memang sangat sensitif untuk dibahas. Namun, Berto, sapaan akrabnya, tidak sedang membicarakan itu. Sebab, menurut dia, ada sisi lain kemerdekaan yang harus diperjuangkan.

“Saya rasa, kami tidak memerlukan kemerdekaan Papua untuk menjadi sebuah negara baru, lepas dari Indonesia. Bukan itu. Yang kami inginkan [kepada pemerintah], berilah kami kemerdekaan atau kebebasan untuk mengelola hutan adat kami,” tegas Berto.

Pandangan Berto senada dengan Torianus Kalami, tokoh suku Moi di Sorong dan Malaumkarta Raya. Membangun Papua berbeda dengan Jawa, apalagi menggunakan “kacamata” Jakarta. Pendekatan yang dilakukan mesti berbasis budaya, bijaksana dalam memanfaatkan sumber daya alam, dan melibatkan masyarakat adat—karena begitulah keistimewaan Papua. 

Sekelumit contohnya sudah ada. Kita bisa lihat masyarakat Malagufuk telah memetik hasil dengan ekowisata pengamatan burung (birdwatching), membiarkan tamu rela berjalan 3,5 kilometer ke kampung agar hutan tetap asri tanpa polusi kendaraan bermotor. Ekowisata berkelanjutan juga menjadi salah satu program prioritas pace-mace di Jayapura lewat Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua, selain pengembangan budi daya vanili.

Atau kiprah personal lainnya, seperti Yuliance Yunita Bosom Ulim alias Yuyun, pendiri Sinagi Papua. Jatuh bangun usahanya membuat produk bumbu asin nipah atau garam hutan kini mulai diapresiasi khalayak. Misinya untuk memberi generasi muda Papua gambaran pekerjaan alternatif selain pegawai negeri sipil (PNS) tampak sederhana, tetapi dampaknya bisa besar. Orang-orang akan tahu betapa kayanya hutan dan lautan di tanah kelahiran mereka, yang akan memberi manfaat ekonomi jika diolah dengan baik.

Kisah-kisah inspiratif yang kami temui di sebagian kecil Papua itu sejatinya menumbuhkan harapan. Di tengah keterbatasan, orang-orang Papua menunjukkan kepada kami, hubungan yang harmonis dengan alam pada akhirnya akan menjaga kehidupan manusia juga. Mereka hanya ingin agar pemerintah berpihak kepada masyarakat adat, serta membatasi upaya alih fungsi lahan adat menjadi industri ekstraktif.

Setiap tempat, setiap suku dan marga, bisa menjadi benteng terakhir yang menjaga hutan, “ibu kandung” mereka. Di luar dukungan para pemangku kebijakan, pemetaan dan pengembangan potensi ekonomi restoratif pada skala lokal menjadi salah satu jalan terbaik untuk tetap mewariskan sumber penghidupan kepada anak cucu di masa depan.

* * *

Terima Kasih, Papua
Zet Manggo (tampak punggung) mengajak anak-anak Kampung Berap bermain dengan perahu di Kali Biru. Generasi muda Papua mengemban tanggung jawab untuk mewarisi pengetahuan adat dari orang tua dan leluhur, agar kelestarian hutan adat dan hak ulayat terjaga/Mauren Fitri

Perjalanan kami di Papua pada Agustus–September lalu hampir merentang 10.000 kilometer. Ini jadi perjalanan terjauh kami. Perjalanan serba pertama bagi kami. Seperti halnya ekspedisi tahun lalu di Sumatra dan Kalimantan, kami menggunakan hampir beragam moda transportasi, kecuali bus dan perahu—ini pun hanya dipakai sebentar saat menyeberang Sungai Kaibus untuk melihat hutan mangrove di Konda, Sorong Selatan. 

Lebih dari 20 narasumber lokal, baik itu ketua adat, kepala kampung, tokoh masyarakat, mama-mama, maupun orang muda, memberi wawasan dan pandangan mencerahkan untuk bahan belajar kami. Bahkan mungkin juga Anda, sebagai pembaca TelusuRI. Sebagai orang yang tinggal di luar Papua, kita mesti berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada orang-orang Papua terhadap upaya mereka melestarikan kekayaan alam yang tersisa.

Satu bulan jelas tidak cukup untuk mengenal Papua lebih dalam. Setiap tempat, setiap suku, setiap marga, bahkan setiap keluarga memiliki ciri khas masing-masing. Satu bulan, bukan waktu ideal untuk memberi penilaian utuh soal Papua. Sebab, setiap isu dan situasi memiliki pendekatannya sendiri-sendiri. Satu hal yang niscaya, sudut pandang kami tentang Papua semakin luas dari sekelumit pengalaman dan perjalanan di antara Sorong sampai Jayapura.

Kalau saja Piter Meres benar-benar membuatkan kami rumah di Konda, mungkin kami belum pulang sampai sekarang. Sebab, sudah pasti kami akan diberi nama marga dan diangkat sebagai keluarga besar suku Tehit. Walaupun, toh, tanpa itu kami sudah dianggap seperti keluarga. Adakalanya perjalanan itu memang harus diakhiri dan dirindukan, agar kami punya alasan untuk kelak kembali belajar kehidupan di bumi cenderawasih.

Terima kasih, Papua!


Anak-anak berlarian di jalan kampung Malaumkarta, Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Terima Kasih, Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/terima-kasih-papua/feed/ 0 45376
Papua: Taman Bermain Burung-Burung https://telusuri.id/papua-taman-bermain-burung-burung/ https://telusuri.id/papua-taman-bermain-burung-burung/#respond Wed, 15 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45341 Ternyata, melihat burung-burung liar secara langsung di habitatnya memberi pengalaman dan pelajaran yang jauh berbeda. Meski mengalami keterbatasan, rasanya sudah seperti candu. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri Kami...

The post Papua: Taman Bermain Burung-Burung appeared first on TelusuRI.

]]>
Ternyata, melihat burung-burung liar secara langsung di habitatnya memberi pengalaman dan pelajaran yang jauh berbeda. Meski mengalami keterbatasan, rasanya sudah seperti candu.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Papua: Taman Bermain Burung-Burung
Hutan kecil di tengah Pulau Um, Malaumkarta, Sorong. Ruang hidup bagi kelelawar, camar, dan beberapa burung yang bermigrasi dari Australia/Deta Widyananda

Kami berangkat ke Papua berbekal fakta: tutupan hutan di pulau ini paling luas di Nusantara. Lebih dari 30 juta hektare, mencakup 30 persen dari total luas hutan Indonesia. Hutan dan seisinya menjadi tempat menggantungkan hidup bagi masyarakat adat. Sejumlah aturan adat diberlakukan untuk menjaga sumber kehidupan pemberian Tuhan tersebut.

Bicara Papua tak bisa lepas dari cenderawasih, burung endemis Papua yang sering disebut burung surga. Laiknya manusia, cenderawasih juga menggantungkan hidupnya pada ekosistem hutan yang asri. Kemolekan burung ini mengundang banyak turis lintas negara berkunjung dan rela blusukan ke pelosok rimba tropis untuk melihatnya bernyanyi dan menari. Tak mengherankan ketika pada 1970-an kakak-beradik Lawrence dan Lorne Blair dari Inggris melakukan ekspedisi gila keliling Nusantara dalam program Ring of Fire, yang salah satunya demi mencari dan merekam cenderawasih bersama suku lokal.

Papua: Taman Bermain Burung-Burung
Sefnat Magablo, salah satu tokoh adat Moi Kelim di Kampung Malagufuk, menunjukkan pohon merbau berusia tua yang biasa dijadikan tempat singgah dan bernaung banyak burung. Peran masyarakat adat sangat penting dalam memastikan kelestarian hutan di Papua/Deta Widyananda

Tempat-tempat yang kami datangi, dari Sorong sampai Jayapura, ternyata bukan hanya jadi rumah aman bagi cenderawasih, melainkan juga burung-burung lain yang tidak kalah menarik. Sisi lain yang paling penting dalam perjalanan Arah Singgah, di antaranya mengajarkan kami tentang penghormatan manusia—masyarakat adat—pada alam dan makhluk hidup yang berdampingan secara harmonis dalam mengisi hari-harinya.

Dan inilah hasil pengamatan kami—di tengah keterbatasan alat, tenaga, dan waktu—selama keluar masuk hutan Papua. Kami merasakan nuansa alam yang menjadi ruang hidup sekaligus taman bermain burung-burung cantik itu.

The post Papua: Taman Bermain Burung-Burung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/papua-taman-bermain-burung-burung/feed/ 0 45341
Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura https://telusuri.id/melihat-cenderawasih-potensi-ekowisata-baru-kampung-berap-jayapura/ https://telusuri.id/melihat-cenderawasih-potensi-ekowisata-baru-kampung-berap-jayapura/#respond Tue, 14 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45325 Di pedalaman hutan sebelah utara Kampung Berap, cenderawasih kuning-kecil silih berganti menghinggapi pucuk-pucuk ranting pohon laban tua. Meski baru merintis, masyarakat perbukitan utara Lembah Grime itu tengah melirik peluang ekowisata baru selain Kali Biru. Teks:...

The post Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
Di pedalaman hutan sebelah utara Kampung Berap, cenderawasih kuning-kecil silih berganti menghinggapi pucuk-pucuk ranting pohon laban tua. Meski baru merintis, masyarakat perbukitan utara Lembah Grime itu tengah melirik peluang ekowisata baru selain Kali Biru.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Tidak hanya vanili, pengembangan ekowisata juga menjadi prioritas BUMMA Yombe Namblong Nggua. Lokasi utamanya di Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, yang sudah lama dikenal dengan destinasi wisata Kali Biru. Sungai berair jernih ini mengalir dari hulu melewati wilayah lima marga di Kampung Berap, yaitu Tarkuo, Kasse, Buwe, Yosua, dan Manggo. 

Kali Biru terbilang cukup populer, khususnya bagi wisatawan domestik dari Kota Jayapura dan sekitarnya. Kebanyakan pengunjung datang saat akhir pekan untuk susur sungai dengan ban (tubing), atau sekadar mandi dan berenang di sungai yang panjangnya mencapai 10–12 kilometer tersebut. 

Di samping itu, ternyata Kampung Berap punya permata lain, yaitu burung cenderawasih. Wisata minat khusus ini benar-benar belum dipoles sama sekali. 

Aliran Kali Biru di permukiman marga Manggo, wilayah paling hilir di Kampung Berap. Tampak di sisi kanan jalan cor penghubung Distrik Nimbokrang menuju Distrik Demta, pesisir utara Kabupaten Jayapura/Deta Widyananda

Menembus hutan dan menyusuri sungai demi cenderawasih

Sebenarnya hutan Nimbokrang telah lama masuk radar para pegiat pengamatan cenderawasih dan burung-burung endemis lainnya di Papua. Seperti halnya di Raja Ampat, Sorong, dan Pegunungan Arfak. Di Nimbokrang, kegiatan birding dirintis oleh Alex Waisimon, pendiri dan pengelola Isyo Hills, Kampung Rhepang Muaif. Ia telah memandu banyak tamu dan memetakan spesies-spesies cenderawasih yang terlihat di hutan yang terletak di belakang penginapan Isyo Lode miliknya. 

Seperti di Hutan Klasow Malagufuk, Sorong, setidaknya ada lima spesies cenderawasih yang sudah terpantau: cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus). Dalam katalog eBird, platform basis data temuan spesies burung endemis buatan Cornell Lab of Ornithology, ada beberapa spesies cenderawasih lainnya, di antaranya cenderawasih belah rotan (Diphyllodes magnificus), cenderawasih panji (Pteridophora alberti), dan burung paruh sabit atau kuakalame paruh-putih (Drepanornis bruijnii). Semuanya dilindungi undang-undang negara.

Sementara di Kampung Berap, sudah lama orang-orang kampung tahu kalau banyak cenderawasih yang hilir mudik di hutan-hutan lebat belakang rumah mereka. “Setiap pagi dan sore, terdengar itu suara-suara burung cenderawasih di hutan,” Humas BUMMA, Zet Manggo (51) bercerita.

Wacana pengembangan ekowisata khusus pengamatan burung di Berap memang tengah mengemuka belum lama ini. Dalam satu tahun belakangan, tercatat baru ada dua kali survei kecil-kecilan sebagai tindak lanjut pendirian BUMMA, yang juga diikuti oleh Mitra BUMMA dan Samdhana Institute—lembaga nonprofit yang mendampingi BUMMA. Pemetaan potensi ekonomi tersebut bertujuan memberi destinasi birdwatching alternatif selain Isyo Hills yang sudah masyhur. 

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mesak Manggo, pemandu kami/Rifqy Faiza Rahman

Namun, baru ada satu orang yang tahu persis lokasi pertama pemantauan burung itu, yaitu Mesak Manggo. Pria berusia 54 tahun tersebut juga merupakan pemandu lokal yang ikut mengawal kegiatan survei BUMMA beberapa waktu lalu. Dialah perintis jalur trekking yang menembus lebatnya belantara Ktu Ku, yang terletak sekitar 10 kilometer dari pusat pemerintahan Kampung Berap ke arah Distrik Demta. Ruas jalan ini juga menjadi lintasan utama truk-truk pengangkut kelapa sawit dari Demta ke Jayapura.

Namun, jarak sejauh itu tidak sepenuhnya ditempuh dengan jalan kaki. Rinciannya, delapan kilometer ditempuh dengan kendaraan bak terbuka milik Ishak Yosua ke pintu hutan, sisanya benar-benar bergantung pada kekuatan langkah kaki.

Tidak ada patokan yang jelas sebagai penanda gerbang masuk hutan. Hanya Mesak yang tahu. Zet cukup sering masuk belantara ini untuk mencari bahan makanan hutan, tetapi ia belum pernah sampai ke titik pengamatan burung yang ditemukan Mesak. Yang jelas, rumus perjalanan untuk melihat cenderawasih selalu sama, yaitu harus bergerak sedari pagi—bahkan sebelum hari benar-benar terang. 

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mesak Manggo (paling depan) dan Zet Manggo memandu tim Ekspedisi Arah Singgah Papua 2024 menyusuri aliran kali kecil menuju lokasi baru pengamatan cenderawasih/Mauren Fitri

Treknya bisa dibilang tidak terlalu mudah. Tutupan vegetasinya cukup rapat dan lembap khas hutan tropis. Jalan setapak yang tertutup belukar penuh lumpur sehabis hujan deras semalam. Kami harus memakai sepatu bot agar lebih mudah melangkah. Sesekali dengan parang Mesak menebas ranting dan daun yang rebah menutup jalur. Kondisinya jelas sudah lama belum dilewati manusia. Kami, tim TelusuRI bersama seorang jurnalis Tempo, adalah rombongan ketiga yang masuk hutan ini untuk melihat cenderawasih, setelah survei terakhir BUMMA di awal tahun ini.

Medan yang kami lalui bervariasi. Mulai dari melawan arus kali kecil yang penuh batuan berlumut, hingga meniti tanjakan curam dengan tanah gembur dan licin. Perjalanan turun lebih sulit karena bergantung pada akar atau dahan pohon untuk menjaga keseimbangan tubuh. Tidak ada petunjuk jalur yang jelas, entah itu berupa papan informasi atau string line, karena memang masih benar-benar murni.

Setelah berjalan hampir dua jam atau kurang lebih dua kilometer dari pinggiran jalan Berap–Demta, kami tiba di lokasi pengamatan. Ada satu tempat datar agak terbuka luasnya kira-kira seukuran lapangan futsal, yang dikelilingi pohon-pohon menjulang. Termasuk di antaranya adalah pohon laban setinggi belasan atau mungkin puluhan meter dengan diameter batang yang tidak cukup dipeluk satu orang. Kepala kami mendongak nyaris 90 derajat karena saking tingginya. Di pucuk pohon tahan api dan biasa dimanfaatkan sebagai bahan baku furnitur itulah cenderawasih kuning-kecil terlihat silih berganti datang dan pergi. Mereka menari-nari dan melompat dari satu dahan ke dahan lainnya.

  • Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
  • Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura

Mesak menginstruksikan bersembunyi di antara semak-semak agar kami tidak terlihat burung-burung. Sebab, indra cenderawasih sangat sensitif pada aroma dan gerak-gerik manusia. Deta, fotografer dan videografer tim ekspedisi, tiada henti merekam burung dengan ciri khas warna dasar bulu kuning dan putih itu dengan lensa tele 50–400mm. Burung jantan memiliki warna hijau zamrud pada bulu lehernya, dengan ekor berwarna kuning lebih pekat dan panjang daripada betina. Adapun burung bertina yang berukuran lebih kecil memiliki dada berwarna putih tanpa bulu-bulu hiasan. 

Pemandangan menakjubkan itu sesekali diiringi kicau burung lainnya. Berdasarkan pengalaman di Malagufuk, di Ktu Ku kami mendengar setidaknya ada dua jenis suara yang familiar dan sama-sama lantang, yaitu taun-taun atau julang papua (Rhyticeros plicatus), dan toowa cemerlang. Si julang sempat kami lihat terbang cukup tinggi di atas pohon laban, tapi tidak sempat terpotret. Sementara burung toowa tidak menampakkan diri.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Cenderawasih kuning-kecil jantan/Deta Widyananda

Birdwatching sebagai mitigasi perburuan liar

“Lokasi ini sebenarnya juga jadi tempatnya para pemburu [cenderawasih] ilegal,” sebut Mesak. Ia menunjukkan titik jejak kaki manusia dan bekas pemasangan jebakan. “Biasanya mereka pasang jaring yang tinggi buat menangkap cenderawasih.”

Tidak hanya burung, orang-orang itu kadang juga membalak kayu secara ilegal di luar wilayah adatnya. Pelaku bisa jadi oknum warga setempat atau masyarakat dari luar kampung. Melihat lokasi yang jauh dari kampung dan begitu terpencil, sulit sekali untuk melakukan pengawasan apalagi penindakan tegas dengan hukuman. 

Dengan kata lain, BUMMA dan pengelola pariwisata Kampung Berap berkejaran dengan waktu. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Manajer Ekowisata BUMMA Yombe Namblong Nggua Octovianus Manggo mengakui ada peluang ekonomi restoratif dari kegiatan pengamatan burung atau birdwatching. Bersama pengelola pariwisata kampung, mereka masih akan memetakan potensi lokasi pengamatan lainnya, menyiapkan infrastruktur agar pemantauan burung lebih nyaman untuk tamu atau para birder.

Suasana pengamatan burung cenderawasih yang sedang bertengger di pucuk pohon laban. Tempat baru ini berada di area hutan tropis Gunung Ktu Ku, Kampung Berap, Jayapura/Rifqy Faiza Rahman-Mauren Fitri

Sejumlah ruang pengembangan yang bisa dilakukan antara lain pembuatan rumah pohon sebagai anjungan pandang. Tujuannya agar memudahkan tamu melihat cenderawasih lebih dekat. Rumah pohon itu nantinya disamarkan dengan daun-daun atau ranting sebagai kamuflase, sehingga tidak terlihat oleh cenderawasih. 

Jalur trekking juga perlu dipoles agar aman dilewati. BUMMA dan masyarakat perlu mengukur jarak perjalanan, memilih rute yang menarik dengan tetap memerhatikan keamanan pengunjung, sampai dengan rencana evakuasi jika ada keadaan darurat. 

“Bisa juga membuat rute trekking yang bervariasi, tidak seperti tadi kita berangkat dan pulang lewat jalur yang sama,” usul Zet pada Mesak dan Octo setibanya di kampung. Ia menyebut jalur berangkat bisa melewati areal air terjun yang lebih landai dan istirahat sejenak di sana, baru pulang menyusuri kali.

Sampai sekarang, belum ada kepastian kapan birdwatching di Berap akan dibuka secara resmi sebagai paket wisata. Bagaimanapun, masyarakat Kampung Berap telah memahami, selain dari segi ekonomi, kontribusi ekowisata birdwatching ternyata juga bisa mencegah aktivitas ilegal yang bisa mengancam kelestarian cenderawasih dan burung-burung endemis lainnya.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Simon Manggo (kiri), ketua kelompok sadar wisata (pokdarwis) Kampung Berap didampingi Octo membahas rencana pengembangan ekowisata Kali BIru dan pengamatan burung cenderawasih/Rifqy Faiza Rahman

Integrasi program ekowisata dan konservasi hutan

Pada 3 Oktober 2024 lalu, BUMMA merilis uji coba paket wisata baru bernama river trip atau susur sungai dengan rakit. Nicodemus Wamafma atau Niko (49), General Manager BUMMA, menyebutkan tur akan berlangsung sekitar 45–60 menit, dengan harga paket sekitar Rp150.000 per orang. Dalam satu perahu rakit berisi maksimal tamu tiga orang, yang ditemani seorang pemandu dan juru mudi. Selama perjalanan tamu akan dijelaskan keanekaragaman hayati yang ditemui, baik itu flora maupun fauna. 

Kelak akan ada wacana memperpanjang jalur dari kawasan hulu, Enggam, sampai ke daerah muara yang bernama Sungai Grime, kali besar yang membelah wilayah adat suku Namblong. Tantangannya adalah menjaga kebersihan ekosistem sungai, yang akhir-akhir ini tercemar eceng gondok dan aneka sampah plastik, seperti sabun cuci dan kemasan bekas makanan-minuman. Untuk melakukan ini, BUMMA dan kelompok pengelola pariwisata setempat akan bekerja sama dengan masyarakat lima marga yang wilayahnya dilalui Kali Biru.

Octo mengatakan, pihaknya akan berusaha memadukan paket wisata Kali Biru dengan kegiatan pengamatan burung cenderawasih. Selain mempersiapkan infrastruktur jalur birdwatching secara bertahap, ia bersama jajaran pengurus BUMMA juga akan melakukan sosialisasi dan melibatkan masyarakat lima marga di Berap agar mendapat manfaat ekonomi.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mauren (depan), ketua tim ekspedisi, mencoba perahu wisata menyusuri Kali Biru didampingi Zet Manggo dan Simon Manggo. Aneka vegetasi nipah, sagu, dan tumbuhan sekitar menjadi daya tarik tambahan untuk integrasi paket ekowisata susur sungai dan birdwatching di Kampung Berap/Deta Widyananda

Di sisi lain, Bernard Yewi selaku Manajer Kehutanan BUMMA juga punya tanggung jawab yang tak kalah penting. Riwayat perburuan liar di hutan Ktu Ku jelas mendorong pria yang ikut kami melihat cenderawasih hari itu untuk segera melakukan konservasi hutan. 

“Karena akan ada rencana perdagangan karbon, kami akan melakukan pemetaan potensi dan memperbanyak pohon-pohon dengan potensi penyerap karbon tertinggi selain sagu,” jelasnya. Langkah ini akan mendukung pengembangan ekowisata pengamatan burung, sekaligus menjaga habitat satwa di dalamnya. Kuncinya, komunikasi dan kerja sama dengan para marga pemilik hak ulayat di kawasan tersebut.

Niko mengakui, jalan pengembangan ekowisata pengamatan burung di Kampung Berap masih panjang. Tapi, setidaknya masyarakat Berap memiliki alternatif daya tarik yang segar dan baru untuk wisatawan, melengkapi Kali Biru. (*)


Foto sampul:
Cenderawasih kuning-kecil betina terbang meninggalkan cenderawasih jantan yang masih bertengger di pohon usai menari/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-cenderawasih-potensi-ekowisata-baru-kampung-berap-jayapura/feed/ 0 45325
Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili https://telusuri.id/meniti-mimpi-lewat-wangi-vanili/ https://telusuri.id/meniti-mimpi-lewat-wangi-vanili/#respond Mon, 13 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45312 Ada harapan besar masyarakat adat Namblong pada sulur-sulur bunga vanili yang tumbuh menjalar. Perlu komitmen bersama agar usaha perkebunan vanili rakyat tetap produktif dan berkelanjutan, demi menuju kemandirian ekonomi. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda,...

The post Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili appeared first on TelusuRI.

]]>
Ada harapan besar masyarakat adat Namblong pada sulur-sulur bunga vanili yang tumbuh menjalar. Perlu komitmen bersama agar usaha perkebunan vanili rakyat tetap produktif dan berkelanjutan, demi menuju kemandirian ekonomi.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Vanili, salah satu komoditas unggulan masyarakat adat Namblong, Papua/Deta Widyananda

Hampir sebagian besar masyarakat adat suku Namblong di Kabupaten Jayapura, Papua sudah terbiasa membudidayakan vanili (Vanilla planifolia) secara organik. Tanaman yang termasuk dalam famili anggrek (Orchidaceae) ini dikenal karena menghasilkan bubuk vanili sebagai bahan baku aroma atau perisa pada makanan dan minuman. 

Di wilayah adat Namblong yang mendiami Lembah Grime—mencakup Distrik Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong—secara umum vanili tidak dibudidayakan dalam perkebunan skala besar. Meskipun begitu, komoditas mahal tersebut melengkapi kakao yang sebelumnya pernah menjadi sumber ekonomi unggulan karena berkualitas ekspor. 

Biasanya, petani vanili menyetor hasil panen basah ke Koperasi Serba Usaha (KSU) Nimboran Kencana. Namun, sebagai pengepul—dan mungkin jadi satu-satunya di sana—koperasi tersebut membeli vanili basah dengan harga yang fluktuatif untuk semua ukuran per kilogramnya. Baik vanili yang berkualitas bagus maupun yang kurang pun dibeli dengan satu harga yang sama. Skema jual beli—permainan harga—seperti ini jelas merugikan petani. Akibatnya, beberapa petani kecil merasa kecewa dan malas untuk membudidayakan vanili lagi. Tidak sedikit pula ditemukan bekas lahan vanili yang telantar dan sudah tidak produktif. 

Kondisi itulah yang turut mendasari pendirian Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua pada 12 Oktober 2022. Pembentukan BUMMA merupakan inisiatif dan kolaborasi bersama antara Mitra BUMMA, Samdhana Institute, masyarakat adat Namblong. Kelembagaan ini hadir sebagai bentuk kesadaran bersama untuk mengelola sumber daya alam hulu–hilir berbasis adat dan berkelanjutan. Pada 30 September 2024 lalu, BUMMA resmi menjadi Perseroan Terbatas (PT), dengan kepemilikan saham berada di tangan 44 Iram (pemuka atau pemimpin marga) suku Namblong. 

Nicodemus Wamafma (49), General Manager BUMMA Yombe Namblong Nggua, menegaskan vanili jadi prioritas pertama pengembangan bisnis BUMMA. Lahan-lahan dan sebaran tanaman vanili yang ada perlu dimaksimalkan kembali. “Sebab, sudah ada aktivitas [budi daya] yang betul-betul berjalan [sejak lama],” kata pria berdarah Biak yang biasa disapa Niko itu.

Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Niko Wamafma saat ditemui di rumah pengeringan vanili BUMMA Yombe Namblong Nggua/Rifqy Faiza Rahman

Vanili, si emas hijau yang manja

Vanili bukan tanaman asli Indonesia. Manusia pertama di dunia yang menemukannya adalah suku Aztec di pedalaman Meksiko pada abad ke-15. Di masa itu, vanili dimanfaatkan sebagai pewangi minuman cokelat. Vanili kemudian berkelana keliling dunia, khususnya Eropa, yang fungsinya berkembang menjadi penambah rasa dan aroma untuk makanan dan minuman, alkohol, tembakau, dan parfum.

Di Indonesia, vanili baru masuk pada 1819 lewat botanis Belanda, Prof. Dr. Reinwadt. Dari semula untuk bibit koleksi Kebun Raya Bogor, kemudian berhasil dibudidayakan kali pertama di Jawa. Namun, dalam setengah abad kemudian menyebar luas ke Sumatra, Bali, Kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua. Pada 2020, organisasi pangan dunia (FAO) menyebut Indonesia merupakan negara produsen vanili terbanyak kedua di dunia (2.306 ton) setelah Madagaskar (2.975 ton). Keduanya menopang hampir tiga perempat produksi vanili global.

Di pasar dunia, harga vanili kering berkualitas—khususnya yang dihasilkan melalui pertumbuhan secara alami—bisa menembus kisaran angka sedikitnya 1–3 juta rupiah per kilogram. Kira-kira setara atau bahkan melebihi nilai dari satu gram emas, sehingga vanili kerap disebut “emas hijau”. Selain aroma yang lebih kaya dibanding vanili sintetis, vanili organik dihargai mahal karena prosesnya yang rumit dan memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk menghasilkan buah.

Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Selain di perkebunan khusus, vanili juga mudah dijumpai di lahan pinggir jalan seperti foto ini, yang terletak di tepi ruas jalan menanjak yang menghubungkan wilayah Genyem (Distrik Nimboran)-Sarmai Atas (Distrik Namblong)/Mauren Fitri

Vanili biasa tumbuh di tanaman gamal—sejenis perdu—atau media tanam sederhana, seperti batang kayu atau tiang penyangga sebagai tempat rambatan vanili yang tumbuh horizontal ke atas. Meskipun putik dan serbuk sari berada dalam satu kelopak bunga, proses penyerbukannya tetap melibatkan tenaga manusia. Sebab, putik pada bunga vanili terhalang oleh lidah bunga (labellum), sedangkan bagian kepala sari terletak lebih tinggi daripada kepala putih. Petani harus menempelkan secara manual tepung sari ke atas kepala putik yang memiliki kandungan cairan perekat. Dari situ baru bisa terjadi pembuahan.

Bunga vanili yang telah mekar hanya mampu bertahan satu hari saja. Jika tidak segera dikawinkan, bunga akan layu dan rontok seketika. Bahkan apabila terjadi kesalahan saat mengawinkan putik dan serbuk sari, semisal kepala putik jatuh ke tanah, maka tidak akan terjadi pembuahan. 

“Kalau sampai gagal, maka saya harus menunggu sembilan bulan lagi supaya vanili bisa berbunga,” ujar Yonas Yaung (40), petani vanili anggota mitra BUMMA Yombe Namblong Nggua. Belum lagi vanili yang gugur secara alami karena penyerbukan kurang sempurna. 

Yonas memiliki lebih dari 800 pohon vanili di lahan seluas 150 meter persegi di Kampung Sarmai Atas, Distrik Namblong. Bisa dibayangkan berapa lama ia berkeliling setiap pagi dalam satu hari untuk mengontrol perkembangan bunga vanili. Senjatanya hanya satu: sebatang tusuk gigi atau jarum. Satu tangan membuka bunga yang muncul dari ketiak daun di ujung batang, satu tangan lagi melekatkan putik-serbuk sari dengan alat tersebut. Itu pun belum menjamin satu bunga akan menghasilkan bakal buah yang diharapkan. 

Salah satu indikator pembuahan berhasil adalah warna bunga vanili akan berubah lebih pucat. Buah vanili akan mencapai kematangan optimal setelah beberapa bulan. Dari yang semula hijau, lama-lama akan berwarna cokelat tua dan mengeluarkan aroma harum. Hasil panen buah vanili yang masak inilah yang disebut vanili basah. Di Lembah Grime, rata-rata puncak musim panen vanili berlangsung pada bulan Agustus.

  • Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
  • Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili

Yonas mempraktikkan cara mengawinkan vanili yang sudah berbunga/Deta Widyananda

Ribka Waibro (60), petani sekaligus manajer divisi vanili BUMMA, mengaminkan kalau merawat vanili itu gampang-gampang susah. Gampang, karena budi dayanya organik tanpa obat macam-macam. Susah, karena seorang petani vanili harus meluangkan waktu dan tenaga ekstra, terutama masa-masa berbunga dan siap untuk dikawinkan secara generatif. 

“Vanili itu tanaman manja,” seloroh Mama Ribka—sapaan akrabnya. Meski terhitung cukup baru mengenal budi daya vanili, tetapi ia cepat belajar dan mampu mengenal proses budi daya vanili dengan baik. Sebelumnya Mama Ribka lebih banyak berkebun pinang. 

Mama Ribka terbilang sosok perempuan lokal yang progresif di Lembah Grime. Ia optimis dengan masa depan vanili Namblong, terutama karena keberadaan BUMMA yang mendukung petani lokal dan terbuka untuk kolaborasi ekonomi berbasis masyarakat adat. Pembawaannya yang ceria, jenaka, dan luwes membuatnya mudah berbaur dengan masyarakat. Terutama saat turun ke kampung-kampung untuk sosialisasi BUMMA sebagai mitra bisnis dan pembeli vanili basah paling potensial di Lembah Grime. 

Kepercayaan Mama Ribka pada prospek BUMMA dibuktikan dengan kerelaannya menyediakan lahan kosong di samping kediamannya untuk dibangun rumah pengeringan (dry house) vanili. Rumah pengeringan itu hingga per September 2024 kemarin sekaligus menjadi bangunan kantor dan sekretariat BUMMA Yombe Namblong Nggua.

Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Mama Ribka menunjukkan bagian-bagian vanili di kebun Yonas Yaung/Deta Widyananda

Adil dan berkelanjutan dengan sistem grading 

Pengalaman pahit masyarakat saat berurusan dengan koperasi pengepul vanili tidak ingin diulang oleh BUMMA. Ketika BUMMA hadir di tengah masyarakat, para petani vanili hanya meminta satu hal mutlak terhadap tanaman mereka: harga wajar dan stabil. Intinya, ada garansi ekonomi atas jerih payah petani membudidayakan vanili.

Untuk itulah BUMMA menerapkan sistem grading atau pemeringkatan dengan standar harga yang tetap per kilogram. Ada tiga tingkat atau kelas (grade) untuk mengelompokkan vanili basah yang dibeli dari petani setempat. Indikator utamanya adalah ukuran (panjang) vanili, Grade A (18 cm ke atas) Rp17.500/kg, Grade B (15–17 cm) Rp12.500/kg, dan Grade C (10–14 cm) Rp10.000 per kg.

Pada kuartal pertama tahun ini, tercatat BUMMA sudah membeli 56,7 kg vanili basah dari 27 petani. Rincian tingkatannya sekitar 23,5 kg Grade A, 17,2 kg Grade B, dan 16 kg Grade C. Total pembelian mencapai 7,8 juta rupiah. Masing-masing petani membawa hasil panen beragam, paling sedikit 0,6 kg dan paling banyak 13,9 kg.

Angka itu diharapkan bertambah, baik dari sisi jumlah petani maupun produksinya. Menurut Yohana Yokbeth Tarkuo (29), Direktur BUMMA Yombe Namblong Nggua, pihaknya berharap secara bertahap menargetkan bisa membeli 200 kg vanila basah secara reguler setiap bulannya. Yang jelas, berapa pun kilogram yang terbeli akan sangat berarti bagi petani.

Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Yohana menunjukkan contoh vanili-vanili kering yang sudah dipilah sesuai kelasnya di rumah pengeringan/Deta Widyananda

Kepastian harga berdasarkan sistem grading tersebut menepis kekhawatiran petani vanili soal siapa yang akan membeli hasil panen mereka. Dampaknya, para petani akan semangat melanjutkan eksistensi budi daya vanili di wilayah adat Namblong. Soal pemasaran atau mencari pembeli selanjutnya adalah tugas BUMMA. 

Maka, keberadaan rumah pengeringan vanili menjadi amat krusial. Meskipun sederhana, setidaknya BUMMA telah berupaya mengoperasikannya sesuai standar yang berlaku. Tantangannya sejauh ini mencakup kapasitas penyimpanan yang terbatas dan masa simpan yang pendek, biasanya 1–2 tahun jika kondisi ruang dan perlakuan penyimpanan bagus. 

Sebagai upaya mendukung pemasaran vanili, Mitra BUMMA menyediakan halaman khusus sebagai lokapasar vanili Namblong di situs web resminya: www.mitrabumma.com/vanilla. Informasi terakhir, tersedia prapesan untuk vanili kering hasil panen 2023 lalu dengan varietas benih planifolia yang sangat aromatik, bercita rasa seperti buah kering, pala, dan jeruk bali. Pemanfaatannya bisa untuk bahan baku makanan atau minuman, baik dengan biji maupun ekstrak. Kisaran harganya mulai dari Rp250.000 untuk berat 10 gram. Semakin banyak yang dibutuhkan semakin mahal.

Niko pun berharap agar petani Namblong bisa tekun merawat dan meningkatkan kapasitas pemahaman budi daya vanili. Sebab, harga jualnya tinggi. “Kalau mereka bisa menjaga kualitas dan mendapatkan jumlah banyak [sedikitnya] 30–40 kilogram [setiap panen] itu kan lumayan [pendapatannya],” ujar Niko.

Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Sejumlah vanili kering yang sudah dikemas sesuai grade-nya dan siap dijual. Informasi pada kemasan memuat keterangan grade, berat, tanggal proses pengeringan, lokasi kebun asal, dan tanggal inspeksi/Mauren Fitri

Tantangan dan prospek ekonomi vanili Namblong

Ambrosius Ruwindrijarto (53), salah satu pendiri Mitra BUMMA, mengungkap vanili Namblong memiliki prospek besar untuk ekspor. Pertengahan November 2024 lalu Ruwi—panggilan akrabnya—menyampaikan kabar baik. Puluhan kilogram vanili kering produksi BUMMA Yombe Namblong Nggua berhasil dibawa ke Amerika Serikat oleh Dominique Tan, pendiri dan juga direktur eksekutif Mitra BUMMA. 

Perempuan berdarah Indonesia-Amerika itu turut memasarkan lewat jejaringnya, baik itu hubungan kekerabatan maupun profesional. Walau tentu saja, karena baru skala uji coba, angka tersebut masih terbilang kecil. Namun, Ruwi tetap mengapresiasi. “Puji syukur, ya. Begitu hari ini laku) teman-teman di dry house lumayanlah ada [tambahan] semangat,” ujarnya.

Walaupun, kata Ruwi, segmentasi pasar lokal seperti wilayah adat Namblong maupun Kota Jayapura, tetap mendapat prioritas penjualan. Ia menganggap konsumen lokal juga penting, sebab secara karakter rasa lebih ada kedekatan dan mudah disukai. Ia membayangkan vanili Namblong juga bisa terserap oleh para pembeli di kafe, restoran, maupun masyarakat di Kota Jayapura.

Dalam liputan khusus M. Ikbal Asra di Betahita (4/11/2024), sejatinya tercatat capaian-capaian positif dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Yombe Namblong Nggua tahun ini. Salah satunya adalah kenaikan produksi dan pengolahan vanili sebesar 320% daripada tahun sebelumnya, dengan total 144 kg vanili basah berhasil dibeli dari petani lokal. Bersama sektor bisnis lain, seperti ekowisata, pendapatan bertambah signifikan mencapai ratusan juta rupiah. Penerima manfaat pun bertambah menjadi sebanyak 1.400 warga yang terlibat dalam sejumlah kegiatan ekonomi, termasuk budi daya vanili.

Menurut Yohana, kehadiran rumah pengeringan vanili sebenarnya merupakan progres fisik yang baik. Sebab, rumah ini merupakan bangunan pertama yang dioperasikan oleh BUMMA. Ia dan pengurus akan terus belajar menjalankan rumah pengeringan tersebut sesuai prosedur operasi standar (SOP), termasuk bermitra dengan Teman Belajar Jogja, yang telah sukses sebagai koperasi vanili.

Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili
Yohana di depan rumah pengeringan vanili sekaligus kantor sementara BUMMA Yombe Namblong Nggua/Deta Widyananda

Di luar itu, Ruwi mengingatkan satu hal penting, yaitu tantangan produktivitas yang masih rendah dan belum ada jaminan stabilitas pendapatan. Sebab, kondisi petani dan kebun vanili yang dikelola memiliki karakteristik berbeda-beda. Apalagi tidak sedikit kebun vanili yang sudah lama tidak diurus, sehingga berimbas pada produksi. Fokus pada perawatan dan produktivitas vanili juga memudahkan untuk menentukan proyeksi penjualan dan pendapatan di masa mendatang. Bahkan kelak mungkin BUMMA perlu mempertimbangkan diversifikasi produk turunan selain vanili kering.

Mama Ribka juga mengakui kendala yang dihadapi seputar produktivitas vanili dan keterbatasan sumber daya manusia. Untuk itu, sebagai manajer vanili BUMMA, ia akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi budidaya vanili kepada masyarakat agar sesuai standar yang diinginkan BUMMA. Mulai dari mengawinkan bunga vanili, memanen, memilah, mengeringkan, sampai menyimpan.

Namun, meskipun jalan kesuksesan masih panjang, Ribka terang-terangan menaruh harap pada emas hijau Namblong yang mulai bergeliat di daerahnya. Ia tidak akan kenal lelah untuk turun dari kampung ke kampung, mengajak warga mau menjalin kemitraan bersama BUMMA, menawarkan alternatif yang lebih baik dan berkelanjutan daripada bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit.

“Ke depannya, harapan dari mama, [semoga] vanili Namblong menjadi nomor satu di dunia,” ucap Mama Ribka bermimpi besar. Sepintas tampak berat, tetapi itu bukan kemustahilan. Tidak ada yang tidak mungkin. (*)


Foto sampul:
Ambrosius Waisimon—Iram (pemuka marga) Waisimon di Yenggu Baru, Nimboran, Jayapura—mengecek vanili yang sesaat lagi berbunga dan siap dikawinkan di kebun miliknya/Mauren Fitri

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Meniti Mimpi lewat Wangi Vanili appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meniti-mimpi-lewat-wangi-vanili/feed/ 0 45312
Optimisme dari Lembah Grime https://telusuri.id/optimisme-dari-lembah-grime/ https://telusuri.id/optimisme-dari-lembah-grime/#respond Sun, 12 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45289 Komunitas adat suku Namblong di Jayapura berusaha mempertahankan hak tanah ulayat mereka, sementara tekanan alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit terus mengancam. Berbekal riwayat historis dan pengakuan hutan adat oleh negara, masyarakat 44 marga di...

The post Optimisme dari Lembah Grime appeared first on TelusuRI.

]]>
Komunitas adat suku Namblong di Jayapura berusaha mempertahankan hak tanah ulayat mereka, sementara tekanan alih fungsi lahan perkebunan kelapa sawit terus mengancam. Berbekal riwayat historis dan pengakuan hutan adat oleh negara, masyarakat 44 marga di Lembah Grime berupaya mandiri ekonomi secara berkelanjutan lewat Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA).

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Optimisme dari Lembah Grime
Aliran Sungai Bob (paling atas), batas alam antara area hutan garapan (bagian bawah) milik komunitas adat Namblong marga Waisimon di Kampung Yenggu Baru, Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura, dengan hutan lindung yang disebut dengan Ku Defeng Yano Akrua. Satu dari empat hutan adat yang diakui negara di Lembah Grime/Deta Widyananda

Dari riwayat sejarah, sebelum adanya negara, seluruh tanah di Papua merupakan tanah ulayat atau tanah adat. Sebagaimana halnya suku Moi di Tanah Malamoi (Sorong), atau suku Tehit di Tanah Metamani (Sorong Selatan), suku Namblong juga menempati bagian Wilayah Budaya Mamta bernama Lembah Grime di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Nama Grime diambil dari salah satu sungai besar yang mengalir di kawasan tersebut dan tidak pernah kering. Selain Sungai Grime, juga terdapat Sungai Yenggu dan Sungai Muaif. Namblong merupakan suku besar yang mencakup 44 marga dengan populasi penduduk lebih dari 50.000 jiwa. Komunitas adat ini mendiami wilayah seluas 53.000 hektare (ha) di 31 kampung dan tiga distrik, yaitu Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong.

Berdasarkan keterangan Zet Manggo, perwakilan humas Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua, seluruh marga tersebut tersebar ke dalam lima subsuku atau subwilayah berdasarkan kondisi geografis. Ktu Mai Ru, sebutan untuk orang-orang yang hidup di daerah rawa dan sagu berduri. Daerah tersebut kini ditempati oleh sebagian marga dan banyak kelompok transmigran. Jalan poros utama yang menghubungkan antara Kabupaten Jayapura dengan Kabupaten Sarmi juga dibangun melintasi wilayah dataran rendah ini. Fou Ru, yakni orang-orang yang mendiami dataran tinggi, mulai dari Nimbokrang Sari naik ke Nimboran melalui daerah Genyem kota (sebutan pusat kelurahan Genyem).

Lalu Banu Ru adalah orang-orang yang mendiami bagian timur wilayah Distrik Namblong, mulai dari Yakotim, Kaitemung, sampai Besum. Tabo, merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah selatan perbukitan Tabo, Ombrob, hingga Yenggu. Daerah ini juga disebut dengan Perbukitan Selatan. Terakhir, Iwarom, yaitu orang-orang yang menempati wilayah perbukitan karang bercampur “iwarom” atau tanah merah “iwarom” di sebelah utara atau Perbukitan Utara dekat pesisir pantai.

Selain pemerintahan sipil yang mencakup kepala distrik (camat) dan kepala kampung (setingkat lurah), sistem pemerintahan adat juga masih dihormati di Namblong. Terdapat tiga unsur utama di dalamnya, yaitu Ondoafi atau Iram (tetua adat atau pemuka marga), Tekai (simbol pemangku aturan adat), dan Dunenskingwow (semacam humas pelaksana program adat). 

Sebagai pemimpin marga, Iram berperan besar dalam menentukan batas-batas tanah ulayat untuk setiap keluarga dalam satu marga. Namun, dalam satu dasawarsa terakhir, masyarakat adat Namblong menghadapi tekanan pencaplokan tanah adat oleh PT Permata Nusa Mandiri (PNM), perusahaan kelapa sawit. Modusnya sama, yaitu pemalsuan tanda tangan kehadiran warga dalam acara sosialisasi plasma nutfah kelapa sawit, yang diubah sepihak sebagai dokumen persetujuan pembukaan lahan untuk diajukan ke Bupati Jayapura dan Menteri Kehutanan selama 2011–2014.

Sejumlah oknum keluarga marga ikut terseret karena tergiur uang cepat yang nilainya tidak seberapa dibanding warisan adat. Untuk melawan itu, selain melalui gerakan aktivis, masyarakat Lembah Grime membentuk unit bisnis BUMMA Yombe Namblong Nggua. Pembentukan dan pendampingan program BUMMA dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mitra BUMMA, dan Samdhana Institute. Konsep kepemilikan saham perusahaan oleh 44 marga menjadi pijakan kuat untuk mengikat pengelolaan sumber daya alam berbasis adat. 

Kiri: Jalan nasional penghubung Kabupaten Jayapura dengan Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua. Beberapa distrik di sekitarnya telah berubah menjadi kawasan transmigrasi sejak zaman pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto. Kanan: Kondisi jalan kampung di Yenggu Baru, Nimboran. Masyarakat kampung umumnya menggantungkan sumber ekonominya pada hasil hutan yang dikelola secara ketentuan adat/Rifqy Faiza Rahman

Amanah daerah otonomi khusus dan filosofi Gerakan Menoken

Ambrosius Ruwindrijarto atau akrab disapa Ruwi (53), salah satu pendiri dan direktur eksekutif dari Mitra BUMMA dan Samdhana Institute, mengungkap inisiasi pendirian BUMMA di wilayah Namblong sejatinya merentang jauh 16 tahun ke belakang. Persisnya ketika pemerintah mengetuk palu, melahirkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.

Peraturan perundang-undangan itu kemudian diterjemahkan dan dilaksanakan lebih implementatif dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua. “Keberadaan undang-undang dan Perdasus berlandaskan pada semangat dan kenyataan [yang mengakui] bahwa seluruh tanah Papua adalah tanah adat dan seluruh masyarakat Papua adalah masyarakat adat,” jelas Ruwi.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) turut memiliki andil dalam mengegolkan dan menindaklanjuti pengakuan legal formal tersebut. Selanjutnya dilakukan pemetaan, pengumpulan data etnografi, pengusulan dan verifikasi, sampai dengan penetapan pengakuan masyarakat dan wilayah hukum adat di tingkat provinsi maupun kabupaten. Di dalamnya, termuat salah satu ketentuan yang mengatur kewajiban masyarakat adat Papua untuk membangun badan usaha milik masyarakat adat (BUMMA). Tujuan utama pendirian BUMMA bertujuan adalah untuk mengelola secara kolektif segala kekayaan dan segala sumber perekonomian di dalam wilayah adatnya.

Namun, setelah serangkaian perjuangan oleh masyarakat adat bertahun-tahun, langkah yang lebih progresif dan komprehensif baru dilakukan pada periode 2020–2021 ketika muncul inisiatif Gerakan Menoken. Sebuah program dari Samdhana Institute untuk penguatan kapasitas masyarakat adat Papua, khususnya suku Namblong di Jayapura. Penamaan “menoken” merupakan bentuk praktis dari noken, sebuah benda multifungsi yang diakui dunia sebagai warisan budaya. Bicara noken berarti bicara Papua, dan sebaliknya.

  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime

Noken tidak hanya sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga. Banyak masyarakat pun menggunakannya untuk membawa dan melindungi bayi. Selain itu, noken juga memiliki seperangkat nilai dan filosofi mendalam. Noken bermakna kelenturan (fleksibilitas), keterbukaan (transparansi), kebersamaan (persaudaraan), keterajutan (saling terhubung), keberdayagunaan, juga sebagai identitas dan perawat kehidupan. 

“Noken itu seperti layaknya rahim, di mana ia mengkerut atau mengecil pada saat tidak ada isinya [tidak digunakan]. Tapi kalau ada isinya, maka ia akan menyesuaikan diri [mengembang], menyimpan, dan melindungi apa yang ada di dalamnya,” tutur Ruwi.

Melalui Gerakan Menoken, masyarakat diajak berdiskusi bersama. Duduk melingkar, sama rata. Tidak ada yang menonjol sebagai narasumber seperti lazimnya sebuah acara diskusi. Program ini lebih dari sekadar lokakarya biasa. Setiap orang berbagi informasi tentang isi noken miliknya, menerima pemberian dari isi noken orang lain, sampai menceritakan pengalaman-pengalaman seputar kehidupan sebagai masyarakat adat.

Di tengah rangkaian kegiatan, berikutnya muncul topik pembahasan mengenai tantangan-tantangan pengelolaan kekayaan alam dan budaya yang ada di masyarakat. Sebab, timbul kesadaran dalam menjaganya sebagai sumber penghidupan dan warisan untuk anak cucu. Semangat diskursus lalu berkembang sampai mengerucut dan menghasilkan kesepakatan untuk membentuk forum khusus dan resmi di tingkat masyarakat adat. 

Pada 12 Oktober 2022, lahirlah BUMMA Yombe Namblong Nggua, dengan Yohana Yokbeth Tarkuo (29) didapuk sebagai direktur utama. Penetapan warga Kampung Berap, Distrik Nimbokrang itu, bersama pengurus struktural BUMMA lainnya, dilakukan secara adat. Kabar gembira ini mengiringi momen puncak penyerahan surat keputusan hutan adat oleh pemerintah saat Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Stadion Barnabas Youwe, Sentani, Jayapura (24/10/2022).

Melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah menetapkan tujuh hutan adat di Papua. Enam di antaranya berada di Kabupaten Jayapura, sedangkan satu hutan adat ada di Distrik Merdey, Teluk Bintuni, Papua Barat. Dari enam itu, empat hutan adat berada di Lembah Grime: 1) Hutan Adat Yano Wai di Kampung Singgriwai, Distrik Nimboran (2.593,74 ha); 2) Hutan Adat Yano Akrua di Kampung Yenggu Baru dan Yenggu Lama, Distrik Nimboran (2.177,18 ha); 3) Hutan Adat Yano Meyu di Kampung Meyu, Distrik Nimboran (411,15 ha); dan 4) Hutan Adat Yano Takwobleng di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang (404,9 ha).

Optimisme dari Lembah Grime
Nicodemus Wamafma di pinggiran Kali Biru, destinasi wisata unggulan Kampung Berap. Niko yang telah kenyang pengalaman dalam pekerjaan lingkungan dan advokasi masyarakat adat kini pulang ke kampung halaman untuk membantu BUMMA Yombe Namblong Nggua/Deta Widyananda

Sisanya, menurut Nicodemus Wamafma alias Niko (49), General Manager BUMMA Yombe Namblong Nggua, akan diperjuangkan mendapatkan pengakuan yang sama. Sebab, memang sudah semestinya seluruh lahan di Lembah Grime merupakan wilayah hukum adat. Termasuk tanah-tanah transmigrasi, serta lahan-lahan yang dialihfungsikan perusahaan, seperti HPH industri kayu maupun Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.

Ruwi menegaskan, BUMMA berbeda dengan badan usaha milik kampung (BUMKam) atau desa (BUMDes). Selain memang menjadi “perintah” dari undang-undang, BUMMA lebih cocok diterapkan di kalangan masyarakat adat yang lebih kompleks. “BUMMA lebih berasas adat dan suku di Papua. Cakupannya lebih luas dan lebih bisa ‘melawan’ kapitalisme perusahaan besar,” tegas pria kelahiran Semarang itu. 

Untuk itulah Mitra BUMMA bekerja sama dengan para Iram dan masyarakat untuk memperkuat struktur dan kelembagaan, serta memetakan fokus bisnis BUMMA Yombe Namblong Nggua. Salah satu keluaran BUMMA Yombe Namblong Nggua sebagai unit usaha adalah menghasilkan produk-produk ekonomi yang dikelola berbasis masyarakat. Tidak hanya mengakomodasi setiap marga, tetapi juga mengusahakan proses hulu-hilirnya berkelanjutan. 

Mengutip pernyataan Yohana, sesuai arahan dan pendampingan Mitra BUMMA, serta berdasarkan hasil pemetaan potensi, fokus pengembangan ekonomi mengerucut pada komoditas vanili dan ekowisata. Meskipun sebelumnya masyarakat Namblong juga berkecimpung di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan—yang mana akan kelak juga akan menjadi fokus pengembangan di tahun-tahun berikutnya.

  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime

Para srikandi Namblong yang memiliki peran penting dalam pengembangan BUMMA Yombe Namblong Nggua, yaitu (berurutan) Yohana Yokbeth Tarkuo, Dorlince Yambeyapdi (bendahara BUMMA), dan Ribka Waibro (manajer divisi vanili BUMMA)/Deta Widyananda-Rifqy Faiza Rahman

Mandat berat menjaga hutan adat

Selain vanili dan ekowisata, restorasi hutan merupakan satu sektor penting yang menjadi fokus BUMMA. Terlebih PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih menunjukkan eksistensi di dekat kawasan hutan adat Yano Akrua, berbatasan dengan wilayah Beneik, Distrik Unurum Guay. 

Sejarah upaya deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PNM di wilayah adat Namblong membentang cukup panjang, lebih dari sedekade lalu. Perusahaan yang tidak jelas alamat kantor dan struktur organisasinya itu—baik di Jayapura maupun Jakarta—mendapatkan izin lokasi seluas 32.000 hektare dari Bupati Jayapura Mathius Awoitauw pada 2011. Kemudian izin konsesi kawasan hutan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lewat SK.680/MENHUT-II/2014 tanggal 13 Agustus 2014 dengan luas wilayah 16.182,48 hektare. Kawasan seluas itu telah mencaplok lebih dari separuh wilayah adat suku Namblong.

Padahal, izin konsesi tersebut kemudian dicabut oleh Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar lewat SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Dengan kata lain, negara sudah melarang PNM melanjutkan operasionalnya. Namun, faktanya aktivitas PT PNM masih berjalan terang-terangan, seolah-olah ketetapan hukum selevel kementerian tidak bertaji.

  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime
  • Optimisme dari Lembah Grime

Pembabatan hutan terus berlangsung. Pekik senso atau gergaji mesin, yang entah di mana sumber suaranya, terdengar meraung-raung dari pedalaman belantara. Jelas sekali mata gergaji berbahan baja itu mengiris pohon-pohon berusia tua sampai rebah ke tanah. Seperti gemuruh longsoran bukit dengan batu-batu besar menggelinding. Sementara di seberang hutan yang sudah gundul, polybag plastik hitam berisi tanaman sawit berusia muda ditata berjejer di kebun pembibitan. 

Jauh sebelum itu, sejumlah kebijakan semasa pemerintahan Orde Baru turut memberi dampak pada berkurangnya tutupan hutan dan tanah adat. Sebut saja program transmigrasi maupun pembukaan industri kayu lewat Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Padahal, masyarakat menggantungkan kehidupannya bersumber dari hutan. Banyak wawasan leluhur tentang pemanfaatan hutan untuk makan, minum, hingga obat-obatan tradisional. Tak pelak Ambrosius Waisimon (67), Iram di Kampung Yenggu Baru, menolak keras perusahaan apa pun (yang bersifat ekstraktif) masuk ke hutan adat mereka—Ku Defeng Akrua.

Jelas akan jadi pekerjaan berat bagi Bernard Yewi (42), Manajer Kehutanan BUMMA. Ia  mengemban tanggung jawab untuk menjaga dan memulihkan hutan adat Namblong. Belum lagi jika bicara soal dampak perubahan iklim dan upaya penyerapan karbon. Tak heran jika Abner Tecuari (49), pemuka marga Tecuari di Bunyom, kukuh mengusulkan kepada BUMMA agar membangun kembali dusun (hutan) sagu. Selain faktor pangan pokok dan penyerap karbon terbaik, program ini juga memperlihatkan bentuk perjuangan masyarakat Namblong mempertahankan hak ulayat mereka. 

Optimisme dari Lembah Grime
Hutan adalah sumber kehidupan bagi masyarakat adat Namblong di Lembah Grime. Bukan hanya bermanfaat bagi manusia, melainkan juga satwa dan keanekaragaman hayati lainnya yang menjadikan rimba sebagai rumah mereka/Deta Widyananda

“Dengan menanam sagu di hutan, kita tunjukkan kepada perusahaan [sawit dan kayu] bahwa [hutan] itu milik kita, bukan cuma tanah kosong,” jelas Abner tegas.

Bernard pun tidak bisa untuk tidak setuju dengan permintaan Abner. Untuk itulah ia bersama pengurus telah melakukan rencana tindakan awal. Setidaknya ada empat tahapan yang harus dilakukan BUMMA di sektor kehutanan.

Pertama, pengelolaan area hutan adat yang sudah ada—baik yang diakui negara maupun bukan— agar dipertahankan, dan menegaskan kembali batas-batas antarmarga sehingga tidak terjadi saling klaim kepemilikan lahan. Kedua, pengayaan atau rehabilitasi untuk memperbanyak tegakan pohon dengan kandungan penyerapan karbon tertinggi, seperti sagu yang sekaligus menjadi sumber pangan pokok. Ketiga, penghijauan atau reboisasi hutan yang “terluka”, terutama kawasan terdampak konsesi PNM. 

“Yang terakhir, penelitian. Kami akan melakukan pemetaan lahan-lahan prioritas yang memiliki sebaran pohon dengan potensi stok karbon terbanyak di Lembah Grime,” jelas Bernard. Pada jangka panjang, BUMMA Yombe Namblong Nggua memang berencana akan terlibat dalam perdagangan karbon berbasis masyarakat adat.

Optimisme dari Lembah Grime
Bernard Yewi memiliki sejumlah program untuk menjaga dan merestorasi hutan adat di Lembah Grime/Deta Widyananda

Butuh waktu untuk berdikari

Pada 30 September 2024 lalu, melalui saluran komunikasi pribadi, Niko mengabarkan bahwa BUMMA sudah memiliki akta resmi sebagai Perseroan Terbatas (PT). Transformasi legalitas ini merupakan pencapaian besar yang diraih dengan tidak mudah.

Ruwi mengatakan, pembentukan PT di wilayah masyarakat hukum adat merupakan terobosan baru. Namun, ia mengakui prosesnya menemui banyak tantangan dan kendala, terutama aspek administrasi. Sebab, konsep BUMMA benar-benar merupakan hal baru bagi legalitas bisnis. Di samping itu, platform prosedur pembuatan PT di Indonesia secara teknis belum spesifik mengakomodasi komunitas adat—dalam hal ini pemimpin marga Namblong—sebagai pemilik saham. 

“Dari 44 Iram, separuhnya belum punya KTP. Lalu namanya beda dengan catatan yang dimiliki dinas kependudukan dan catatan sipil setempat,” terang Ruwi. Akhirnya ia bersama BUMMA membantu pembuatan identitas kependudukan tersebut. Termasuk NPWP, sebab dokumen ini menjadi syarat wajib saat mendirikan perusahaan.

Abner Tecuari (kiri) dan Ambrosius Waisimon berkomitmen akan membantu pengembangan BUMMA selama program-programnya konsisten berpihak pada masyarakat adat Namblong di Lembah Grime/Deta Widyananda

Ketentuan lainnya yang harus diikuti adalah permodalan yang harus disetor oleh masing-masing Iram suku Namblong. Jumlah modal disepakati sebesar Rp 100 juta, yang akan disetor secara bertahap. Para pemimpin marga, seperti Ambrosius Waisimon dan Abner Tecuari, serta 42 Iram lainnya, akan menyetor minimal 20 juta rupiah selama lima tahun, yang akan dimulai pada 2025 nanti. Penyetoran modal ini menjadi bukti sahih kepemilikan masyarakat adat terhadap BUMMA atau PT Yombe Namblong Nggua.

Namun, sebagaimana halnya Yohana, Niko, Bernard, dan pengurus lainnya di BUMMA, Ruwi juga punya banyak alasan untuk optimis. Meski masih akan melakukan pendampingan hingga beberapa tahun mendatang sampai operasional stabil dan kapabilitas pengurus meningkat, kelak pasti ada masanya BUMMA akan mampu mandiri sepenuhnya. Sebab, memang sudah semestinya begitu sebagai sebuah badan usaha. Ini sesuai makna nama “Yombe Namblong Nggua”. Yohana mengartikannya, “Bangkit dan bersama-sama membangun (yombe) suku Namblong lebih mandiri (nggua).”

Pemilihan Yohana sendiri sebagai direktur BUMMA juga menarik. Selain masih sangat muda, latar belakang pendidikannya sebagai lulusan sekolah keperawatan sangat kontras dengan dunia barunya saat ini. Di sisi lain juga unik. Sebab, hal ini seperti mendobrak kebiasaan patriarkat yang umum terjadi di Papua. Akan tetapi, para Iram bermufakat dan memercayainya memimpin perusahaan. Penetapannya pun sakral karena melalui rangkaian upacara adat.

Optimisme dari Lembah Grime
Tim TelusuRI foto bersama pengurus BUMMA Yombe Nangglong Nggua di area rumah pengeringan vanili/Deta Widyananda

Menurut Niko, kesepakatan dan mandat dari para Iram sangat penting. Sebab, iram merupakan pemimpin marga yang mewakili banyak keluarga, bahkan lebih dihormati daripada jabatan kepala kampung. Pendekatan dan koordinasi yang baik akan memudahkan BUMMA melaksanakan program-programnya. Terutama keterbukaan atau transparansi soal pemanfaatan dan pengelolaan potensi kawasan hutan dan kawasan penyangga (perkebunan vanili, perikanan, dan peternakan) yang pasti bakal bermitra dengan masyarakat.

“[Jika] kemudian masyarakat mendapat keuntungan secara ekonomi, muncul kesadaran kritis [dari] masyarakat, bahwa membangun kehidupan mereka dalam wilayah adat ini tidak harus dengan melepaskan hak mereka atas tanah, hutan dan sumber alam,” jelas Niko. 

Berdasarkan pola pendekatan seperti itu, maka akan lebih menjamin kedaulatan atas hak ulayat yang dimiliki setiap marga. Sekaligus memastikan keutuhan sumber daya alam yang ada di Lembah Grime akan tetap berada dalam genggaman masyarakat adat. (*)


Foto sampul:
Salah satu sudut dataran rendah di Lembah Grime, kawasan yang dihuni masyarakat adat suku Namblong turun-temurun/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Optimisme dari Lembah Grime appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/optimisme-dari-lembah-grime/feed/ 0 45289
Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura https://telusuri.id/perjalanan-penuh-doa-di-langit-sorong-jayapura/ https://telusuri.id/perjalanan-penuh-doa-di-langit-sorong-jayapura/#respond Sat, 11 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45271 Tiga pekan mengarungi kisah masyarakat adat di Sorong dan Sorong Selatan, ekspedisi Arah Singgah berlanjut ke ujung timur Provinsi Papua. Cuaca kembali jadi kendala. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda & Rifqy Faiza Rahman Perjalanan...

The post Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
Tiga pekan mengarungi kisah masyarakat adat di Sorong dan Sorong Selatan, ekspedisi Arah Singgah berlanjut ke ujung timur Provinsi Papua. Cuaca kembali jadi kendala.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda & Rifqy Faiza Rahman


Perjalanan Arah Singgah telah sampai di etape finalnya: Jayapura. Daerah paling timur Provinsi Papua, berbatasan dengan Papua Nugini. Di sana kami berencana melakukan liputan ekonomi restoratif berbasis adat suku Namblong di tiga distrik, yaitu Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong. Jaraknya kira-kira 65 kilometer dari Bandara Sentani.

Tentu saja, satu-satunya pilihan transportasi menuju Sentani yang paling masuk akal dan cepat adalah pesawat. Waktu itu, cuma ada dua pilihan jadwal, semua dilayani Lion Air. Kami mendapat tiket penerbangan berjadwal pukul 06.50 WIT hari Kamis (3/9/2024) dengan transit di Manokwari, karena seat penerbangan siang tanpa transit sudah habis. 

Sama halnya ketika gagal naik Susi Air ke Teminabuan dua minggu sebelumnya, kami kembali check out dari hotel sejak Subuh. Supaya praktis, kami memesan layanan mobil airport transfer lewat resepsionis.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Akhirnya, meninggalkan Sorong Raya/Rifqy Faiza Rahman

Lagi-lagi, drama pagi

Domine Eduard Osok (DEO), yang melekat pada nama bandara Sorong (kode IATA: SOQ), merupakan putra daerah asli suku Moi, yang kemudian menjadi seorang penginjil pertama di Sorong Raya. Ia dikenal sebagai sosok yang bersahaja dan dicintai umatnya. Menurut Torianus Kalami, tokoh Moi dari Malaumkarta Raya, usulan penyematan Pendeta Domine Eduard Osok sebagai nama bandara melalui perjalanan panjang, sampai akhirnya disetujui Kementerian Perhubungan. Kata Kaka Tori, sapaan akrabnya, nama tokoh penting di bandara sebagai wajah dan identitas suku Moi.

Namun, jejak kepahlawanan, kerendahan hati, dan ketokohan Domine seolah tak begitu membekas pagi itu. Sesuai dugaan, Bandara Domine Eduard Osok belum buka pagi buta. Penumpang sudah mulai ramai, tetapi petugas bandara tampak baru berdatangan, mepet dengan jadwal penerbangan pertama hari itu. Kalau tidak salah ke Jakarta dan Makassar. Situasi seperti ini kerap dikeluhkan pula oleh Kaka Tori. Setiap akan terbang dari bandara Sorong, anggota DPRD Kabupaten Sorong 2014–2019 itu sampai selalu menegur para petugas agar bekerja dengan disiplin.

Di selasar terminal keberangkatan, kami berkenalan dengan seorang pria berbadan tegap yang memakai topi dan kemeja biru. Ternyata anggota kepolisian yang sedang cuti pulang kampung sebentar ke Jayapura. Saat ini berdinas di Jawa Timur. Ia serupa kami yang heran kenapa bandara belum segera dibuka. “Lihat petugas-petugas itu, baru datang jam segini, jalannya santai kayak gak merasa bersalah,” cetusnya sembari melihat arloji. Sudah pukul 5.00 WIT, hari mulai terang. Saya menimpali, “Ya, dua minggu lalu juga seperti itu saat kami menunggu jadwal penerbangan pagi ke Teminabuan.”

Bahkan ketika harus antre memasukkan barang-barang ke mesin X-Ray, petugas setengah berteriak memburu-buru para penumpang. Maunya biar cepat, sampai-sampai prosedur melepas ikat pinggang dan arloji, atau mengeluarkan handphone dan dompet terpaksa dilonggarkan saking banyaknya penumpang yang ingin segera check in

Saya menggerutu lirih, “Salah sendiri datang telat, jadinya buru-buru dan desak-desakan.” Entah omelan saya didengar atau tidak.

Bandara yang semula hening berubah sibuk. Proses pelaporan check in cukup mulus. Barang-barang besar, seperti tas carrier, tripod, dan koper masuk bagasi. Tidak ada kendala berarti sampai kami naik ke ruang tunggu.

Akan tetapi, seperti biasa, selalu ada sedikit drama kalau naik Singa Terbang. Pertama, kode penerbangan berubah dari JT788 menjadi JT944. Mulanya kami tidak menyadari, sampai akhirnya melihat layar informasi penerbangan atau Flight Information Display System (FIDS). Di jam dan maskapai yang sama, tiba-tiba muncul kode JT944, tidak ada kode JT788 sesuai tertera dalam tiket elektronik dan boarding pass.

Saya mencoba konfirmasi ke petugas di ruang tunggu, ternyata itu memang pesawat yang sama, yang akan kami naiki. Masalahnya, tidak ada sosialisasi perubahan kode penerbangan. Tidak lucu kalau sampai ketinggalan pesawat gara-gara menunggu pesawat sesuai kode tiket yang ternyata tidak akan pernah datang.

Anggota polisi tadi kembali mengungkap kekesalannya. Ia mengkritik kebiasaan buruk maskapai yang selalu terjadi berulang. “Pasti sudah tahu juga, kan, sering terjadi kasus jual beli seat yang sudah dipesan penumpang? Apalagi di Indonesia Timur kayak Makassar dan Papua. Orang dalam bandara dan maskapai main, kok, Mas,” bocornya. Saya pikir, bukan hanya di sini saja, di banyak tempat juga saya kerap melihat keluhan serupa. Padahal, setahu saya manifes penumpang tidak boleh diutak-atik sembarangan. Itu sama dengan mencederai hak penumpang yang sudah reservasi jauh-jauh waktu.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Suasana ruang tunggu dekat Gate 2 di bandara Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Drama kedua, sebuah realitas yang sudah jadi rutinitas, penerbangan molor nyaris satu jam. Sebab, kabarnya masih menunggu pesawat dari Makassar. Tapi, ini hampir lumrah di Indonesia, sebuah pesawat low cost pasti memiliki banyak jadwal penerbangan dalam satu hari. Alasannya, untuk efisiensi, mengingat rute-rute penerbangan di Indonesia sangat banyak dan bisa dioptimalkan sekali jalan.

Saya pernah sekali terbang dari Kupang ke Maumere dengan NAM Air, anak perusahaan Sriwijaya Air. Di Bandara El Tari, jadwal mengalami delay cukup lama, hampir dua jam. Saya kemudian melacak lewat aplikasi Flightradar24. Rupanya hari itu pesawat terlambat terbang dari Denpasar. Dari Kupang, pesawat akan terbang ke Maumere dan Ende, lalu kembali ke Bali. Bisa dibayangkan akan berapa lama penumpang menunggu di dua bandara kabupaten yang terletak di Flores itu.

Tak heran, satu pesawat akan bekerja keras memenuhi target okupansi dan biaya operasional yang jumbo per harinya. Rata-rata bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, mencakup avtur, biaya kru pesawat dan ground staff, parkir apron, dan ongkos perawatan rutin. Sebenarnya cukup bisa memahami konsekuensi dari penerbangan berbujet rendah, tetapi menurut saya masih ada ruang untuk dikelola lebih baik jika mau.

Suara pengumuman terdengar menggema di dalam terminal. Pesawat berjenis Boeing 737-900ER dengan livery putih-merah khas Lion Air baru saja mendarat. Para penumpang yang tampak kuyu menahan kantuk setelah melalui dini hari di udara terlihat keluar dari pesawat dan memasuki gedung terminal. Kami mulai bersiap-siap menunggu panggilan boarding, sembari membayangkan pramugrari yang supersibuk—mungkin juga agak tergesa—merapikan kabin agar kembali siap. Pun para ground staff dan mekanis di apron, yang harus segera mengecek kondisi mesin, roda pesawat, dan aspek-aspek keselamatan lainnya dengan teliti.

  • Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
  • Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura

Gelap di langit Manokwari

Pagi itu Sorong cukup basah. Jejak hujan semalaman sampai jelang Subuh masih membekas di landasan pacu. Cuaca tidak cerah-cerah amat, awan-awan putih tebal masih menggantung di langit. Dugaan saya, tampaknya akan ada potensi turbulensi dalam penerbangan ke Manokwari. Saya hanya bisa berdoa semoga selamat selama perjalanan.

Kami kembali duduk satu baris. Mauren di sisi jendela sebelah kiri, Deta di tengah, dan saya di sisi lorong. Tampaknya hampir semua kursi terisi penumpang, yang terbagi tujuannya antara Manokwari atau Jayapura. Perintah mengenakan sabuk pengaman telah disampaikan pramugari. Saya tidak terlalu ingat siapa kapten pilot dan kopilot yang bertugas saat itu. Proses boarding relatif kondusif.

Tak seberapa lama, operator aircraft pushback tractor mendorong keluar pesawat dari parkir dan segera disetujui pemandu lalu lintas udara atau Air Traffic Controller (ATC) untuk menuju Runway 27 di sisi timur. Adapun Runway 09 yang berdekatan dengan laut biasanya digunakan untuk titik awal pendaratan. Panjang landasan pacu bandara Sorong ini sekitar 2.500 meter, seribu meter lebih pendek daripada landasan pacu Bandara Frans Kaisiepo, Biak, yang menjadi paling panjang di Papua dan nomor empat di Indonesia setelah Hang Nadim (Batam), Kualanamu (Deli Serdang), dan Soekarno-Hatta (Tangerang). Sudah lebih dari cukup untuk didarati pesawat berjenis Boeing 737 atau Airbus A320.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Jejak hujan semalaman di area bandara Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Pesawat kelas ekonomi berkapasitas 189 penumpang ini pun lepas landas. Pilot membawa kami meninggalkan Sorong Raya, yang sudah mengisi cerita ekspedisi Arah Singgah selama tiga pekan. Kelak pasti akan kembali ke Tanah Malamoi (sebutan wilayah suku Moi di Kabupaten Sorong) dan Metamani (sebutan wilayah suku Tehit di Kabupaten Sorong Selatan), tempat yang sudah kami anggap seperti rumah sendiri. Rasanya bersyukur sekali bisa ketemu orang-orang hebat dan berdedikasi pada adatnya: Yuyun di Sinagi Papua, orang-orang Moi Kelim di Malaumkarta Raya, keluarga besar Afsya di Bariat, dan masyarakat Konda-Wamargege di hilir Sungai Kaibus.

Dalam 15 menit pertama, pesawat mencapai fase puncak ketinggian 23.000 kaki dan kecepatan setara 740 km/jam, melintasi wilayah Tambrauw yang sudah dikepung awan. Lalu selama 20 menit, kami menyusuri lorong-lorong gumpalan awan kelabu yang makin pekat. Kami mengalami guncangan yang lumayan terasa menggetarkan kabin. Indikator lampu sabuk pengaman sedari tadi menyala. Mulut saya komat-kamit membaca doa memohon keselamatan. Sisanya pasrah.

Kecepatan pesawat kemudian sedikit berkurang dan turun ke 15.000 kaki. Tampaknya kami mulai memasuki wilayah udara Kabupaten Manokwari. Pemandangan di sisi jendela penumpang hanya putih dan putih, sebagian mendung kelabu. Hasil dari proses presipitasi sempat membasahi jendela pesawat. Butiran-butiran air menempel di kaca, lalu terlepas seiring laju kencang pesawat.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Cuaca kelabu sebelum akhirnya memburuk ketika mendekati Manokwari/Rifqy Faiza Rahman

Setelah 45 menit terbang, pilot mengungkap cuaca buruk di area Bandara Rendani Manokwari. Menara ATC Rendani mengarahkan pilot untuk go around karena jarak pandang yang sangat terbatas (low visibility) untuk fase pendaratan. Menurut aturan Kementerian Perhubungan, jarak pandang aman minimal adalah lima kilometer. Bagi pejalan kaki atau pengendara motor, lima kilometer tampak jauh. Namun, bagi pesawat, itu pendek sekali.

“Wah, kayaknya lagi hujan deres di Manokwari,” kata saya pada Deta dan Mauren.

Belakangan saya tahu saat mengecek aplikasi Flightradar24 di ponsel. Di rentang ketinggian 6.000–8.000 kaki dan kecepatan 220–250 knots, pesawat kami berputar-putar tiga kali selama 15 menitan di pesisir timur Manokwari-Pulau Mansinam. Sampai akhirnya setelah satu jam di udara, pilot seperti menambah kecepatan dan ketinggian. Putar balik, menjauhi Manokwari.

“Para penumpang yang kami hormati, karena cuaca buruk Bandara Rendani Manokwari dan jarak pandang di bawah minimal, untuk alasan keselamatan pesawat harus kembali ke Sorong,” pilot mengumumkan rencana Return to Base (RTB).  Batik Air ID6154, yang terbang sebelum kami, bahkan terpaksa dialihkan ke Biak. 

Pikiran saya mendadak berkelana, apakah bahan bakarnya cukup? Sementara penumpang pria yang duduk di kursi D sebelah kanan saya menceletuk, “Ternyata kita hanya jalan-jalan saja ini sehingga pulang lagi ke Sorong.” Saya tersenyum dan menambah panjatan doa.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Mendarat lagi di Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Tegang di Rendani

Hanya perlu 40 menit terbang kembali ke Sorong. Pesawat harus memutar di utara Pulau Salawati, Raja Ampat untuk mendarat di Runway 09. Landasan pacu sudah mulai mengering. Tepat pukul 09.40 WIT, pesawat terparkir sempurna. Di sinilah kami, di Domine Eduard Osok untuk yang kesekian kalinya.

Kami diarahkan pramugari untuk turun dulu ke ruang tunggu bandara dan menantikan informasi selanjutnya, apakah tetap bisa terbang hari itu atau batal. Saya berkabar pada istri dan orang tua, memastikan kami baik-baik saja.

Mauren mengajak kami mengisi perut di Arvac Lounge & Cafe, di area ruang tunggu. Kafe ini juga dikelola oleh Papua Manokwari (PAWAI) Hawai Bakery. Produsen abon gulung terkenal asal Manokwari yang hanya bisa ditemui di kota-kota besar Papua. Saya dan Deta memesan kopi, plus kue abon gulung masing-masing seporsi, yang ternyata cukup bikin kenyang. Abon gulung ini dibuat organik tanpa pengawet buatan, sehingga masa kedaluwarsanya amat pendek, sekitar 2–3 hari suhu ruangan atau 4–5 hari disimpan di kulkas. Untuk itu, membelinya sebagai oleh-oleh dilakukan saat hari kepulangan atau sehari sebelumnya.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Karena penerbangan jadi lebih rileks, saya sempatkan membaca buku Ring of Fire karya kakak-beradik Lawrence-Lorne Blair/Rifqy Faiza Rahman

Satu jam menunggu, terdengar panggilan boarding ke pesawat kami. Kelihatannya cuaca di Manokwari sudah membaik sehingga diperbolehkan terbang lagi. Saya kembali melihat anggota polisi tadi, yang kini sedang bersama seorang bapak perwira TNI Angkatan Darat. Satu pesawat juga. Namanya tampak Jawa sekali, tetapi katanya sedang dinas di Manokwari. 

Di kabin, saya kembali menyapa penumpang di sebelah saya. Lelaki Papua itu menyapa sambil bercanda, “Akhirnya jadi ke Manokwari. Kayak jalan-jalan naik pesawat aja kita ini.” Kali ini saya bisa tersenyum lebih lepas, lebih rileks. Kru pesawat tidak berganti. Saya memuji keputusan tepat dari sang pilot tadi, yang membawa kami kembali ke Sorong dengan selamat. 

Pesawat lepas landas dan mengudara tanpa kendala berarti. Cuaca sudah tidak seburuk saat pertama berangkat. Masih ada turbulensi, tapi sedikit sekali. Sepertinya terbang kala musim-musim angin selatan di daerah Pasifik lumayan menantang juga.

Penerbangan memakan waktu hampir satu jam. Visual ibu kota Provinsi Papua Barat yang berada di tepi pantai begitu jelas ketika pilot menurunkan ketinggian pesawat dan mengurangi kecepatan. Jelang mendarat, di sebelah barat terlihat gugusan pegunungan memanjang, yang kemungkinan kawasan Pegunungan Arfak.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Sesaat sebelum mendarat di Bandara Rendani Manokwari/Rifqy Faiza Rahman

Pegunungan Arfak menjadi kabupaten baru pada 2012, hasil pemekaran dari Kabupaten Manokwari. Dalam hati, kelak saya ingin ke daerah dingin itu, mengunjungi danau kembar Anggi Gida dan Anggi Giji dan menengok rumah adat seribu kaki suku Arfak. Manokwari sendiri memiliki daya tarik wisata yang menarik. Selain komoditas cokelat berkualitas ekspor di Ransiki, Manokwari Selatan, saya juga ingin ke Kampung Kwau di perbatasan Manokwari–Pegunungan Arfak. Hutan di kampung tersebut merupakan tempat terbaik untuk melihat parotia arfak, cenderawasih endemis dengan mata biru dan bulu antena di kepalanya. Burung penari itu juga kabarnya bisa ditemukan di Semenanjung Wandamen, Kabupaten Teluk Wondama. 

Setibanya di Bandara Rendani (kode IATA: MKW), sejumlah penumpang turun. Kami dan banyak penumpang lain tujuan Jayapura, tetap menunggu di pesawat. Beberapa saat berselang, penumpang dari Manokwari memasuki pesawat. Sepenglihatan saya, tingkat keterisian kursi lebih banyak daripada Sorong–Manokwari. Proses parkir dan boarding berlangsung sekitar 20 menit.

Usai penerbangan yang cukup tenang, hati kembali dibuat tegang saat take off. Sebab, bandara ini ada di pinggir laut. Ujung Runway 35, landasan pacu yang menguruk lahan reklamasi, benar-benar sudah berbatasan dengan laut lepas. Panjang runway di Rendani lebih pendek 200–300 meter daripada Sorong. Namun, sudah lebih panjang daripada sebelumnya yang hanya 2.100 meter. Pemanjangan Runway 17 di utara bandara itu menempati lahan bekas permukiman dan jalan warga. Oleh karena itu, pilot harus memacu pesawat dengan kecepatan yang cukup dan aman saat mendekati fase kritikal V1, sehingga bisa lepas landas tepat waktu. 

Rasanya plong sekali begitu pesawat berhasil melayang di atas laut. Pemandangan Pulau Mansinam di arah timur melegakan hati. Pulau berjuluk Tanah Doreri yang dihuni sebagian besar keturunan suku Biak itu memiliki sejarah panjang. Di sanalah, misionaris Jerman Carl Wilhelm Ottouw dan Johann Gottlob Geissler datang pada 5 Februari 1855, lalu mengabarkan Injil dan menyebarkan ajaran Kekristenan untuk pertama kali di Papua. Dari Mansinam, agama Kristen kemudian menyebar hampir ke seluruh Papua, sehingga Manokwari dijuluki Kota Injil. Tanggal 5 Februari pun dirayakan oleh banyak orang untuk menapaktilasi jejak Ottow dan Geissler.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Langit biru di separuh perjalanan antara Manokwari-Jayapura/Rifqy Faiza Rahman

Akhirnya, Jayapura…

Pemandangan Danau Sentani yang dikepung perbukitan hijau bergelombang menjadi tanda bahwa kami sudah memasuki wilayah Kabupaten Jayapura. Perjalanan panjang sejak pagi dari Sorong, digoda cuaca yang tak menentu, akhirnya sesaat lagi menemui ujung. Penerbangan Manokwari–Jayapura menempuh waktu sekitar 1 jam 15 menit. 

Pesawat mendarat via Runway 30 di sisi tenggara bandara, dekat bibir Danau Sentani di kawasan Ifar Besar, lalu mengerem dan berbelok ke apron sebelum menyentuh ujung Runway 12 di barat laut. Di balik gedung bandara, tampak Cagar Alam Pegunungan Cycloop begitu gagah menjulang, berselimutkan hutan lebat dengan beberapa puncak lancip.

  • Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
  • Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura

Nomenklatur asli bandara ini adalah Bandar Udara Internasional Dortheys Hiyo Eluay (kode IATA: DJJ). Dortheys Hiyo Eluay atau Theys Hiyo Eluay dikenal sebagai tokoh asli Sentani kelahiran 1937, mantan ketua Presidium Dewan Papua bentukan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tonggak sejarah perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua dan penetapan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Seperti diketahui, Gus Dur dikenang sebagai sosok presiden yang peduli dan memahami antropologi rakyat Papua. Salah satu kebijakannya yang cukup kontroversial, adalah mengizinkan bendera Bintang Kejora berkibar, tetapi tetap berada di bawah kibaran Merah Putih.

Meski sempat menjadi pencetus dekrit gerakan Papua Merdeka, Theys Hiyo Eluay sebenarnya turut berjasa saat ambil bagian Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Ia termasuk salah satu dari sedikit delegasi asli Papua yang diundang ke Jakarta, dan hasilnya PBB memutuskan pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda untuk bergabung dengan NKRI. Ia juga yang pada 1992 ikut membentuk Lembaga Masyarakat Adat (LMA). Sayang, Theys Hiyo Eluay tewas terbunuh pada 10 November 2001, usai diculik oleh sejumlah oknum anggota militer dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Penyidikan saat itu dipimpin Kapolda Papua I Made Mangku Pastika, Gubernur Bali periode 2008–2018.

Theys Hiyo Eluay kemudian dimakamkan di tengah sebuah lapangan olahraga, yang terletak persis di seberang jalan masuk menuju bandara. Berdasarkan sejarah, lahan pendirian bandara itu dulunya merupakan tanah adat milik marga Eluay, yang telah dilepaskan ke pemerintah Belanda. Menurut Yanto Khomlay Eluay, putra Theys yang seorang politikus di Jayapura sekaligus merupakan ondoafi (pewaris dan pemimpin adat) di Tanah Tabi, Sentani, mengungkap perubahan nama bandara oleh Gubernur Papua Lukas Enembe 2020 merujuk pada peran ayahnya sebagai pejuang kemanusiaan pada Pepera 1969.

Namun, di balik sejarah panjangnya, bandara tersebut memang lebih dikenal karena keberadaan Danau Sentani, yang juga merupakan nama distrik sekaligus ibu kota Kabupaten Jayapura. Luas danau air tawar yang di dalamnya memiliki pulau-pulau kecil itu mencapai 9.360 hektare. Terluas di Papua, tetapi hanya sekitar 8,2 persen dari total luas Danau Toba di Sumatra Utara. 

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Saat perjalanan ke hotel, terlihat panorama Pegunungan Cycloop dari jalan akses Bandara Sentani Jayapura/Rifqy Faiza Rahman

Di teras terminal kedatangan, seorang petugas hotel menjemput kami. Kami akan menginap semalam di hotel yang sangat dekat dengan bandara dan tak jauh dari makam Theys, berjarak kurang dari lima menit. Keesokan paginya hingga beberapa hari mendatang, kami akan liputan ke Nimbokrang. Rutenya melewati pinggiran Danau Sentani, melintasi jalan aspal mulus berkelok, yang menghubungkan Jayapura dengan Kabupaten Sarmi. 

Akhirnya, Sentani. Akhirnya, Jayapura. Akhirnya, untuk pertama kalinya melihat Pegunungan Cycloop yang legendaris di depan mata.


Foto sampul:
Merekam pemandangan pesisir Manokwari sesaat sebelum mendarat untuk transit di Bandara Rendani/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-penuh-doa-di-langit-sorong-jayapura/feed/ 0 45271
Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih https://telusuri.id/arah-singgah-2024-kami-terbang-jauh-ke-bumi-cenderawasih/ https://telusuri.id/arah-singgah-2024-kami-terbang-jauh-ke-bumi-cenderawasih/#respond Wed, 01 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44945 Ini adalah episode ketiga Ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI. Di pulau paling timur Indonesia, kami menghadapi tantangan dan mengemban tanggung jawab sama-sama besar untuk disuarakan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda Papua. Sebuah pulau di...

The post Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih appeared first on TelusuRI.

]]>
Ini adalah episode ketiga Ekspedisi Arah Singgah oleh TelusuRI. Di pulau paling timur Indonesia, kami menghadapi tantangan dan mengemban tanggung jawab sama-sama besar untuk disuarakan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda


Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih
Hutan adat Ku Defeng Akrua di Yenggu Baru, Nimboran, Jayapura/Deta Widyananda

Papua. Sebuah pulau di timur Indonesia. Terbesar kedua di dunia setelah Greenland, Denmark. Luasnya mencapai 785.000 km2 yang terbagi ke dua negara dengan ukuran wilayah nyaris sama persis: Indonesia dan Papua Nugini. Dari satelit, pulau ini tampak seperti seekor burung cenderawasih, satwa endemis yang menjadi simbol masing-masing wilayah.

Terdapat garis batas yang memisahkan dengan bentuk hampir lurus nol derajat, kecuali pada bagian garis bujur 141 derajat BT. Terbentang dari timur Kota Jayapura di utara, hingga Merauke di selatan. Tepatnya di kawasan Sungai Fly yang berkelok bagai ular, meliuk di sepanjang sisi timur Boven Digul–Merauke, Papua Selatan. Sebuah batas yang menjadi legasi pendudukan Bangsa Barat, hasil dari klaim dan perjanjian ketat antara Belanda dan Inggris pada 1895. Seperti kita tahu, Belanda menduduki Indonesia, sementara Inggris menduduki Papua Nugini. Jerman menyusul memberi pengakuan enam tahun kemudian. 

Namun, peradaban sejatinya telah terbentuk jauh sebelum bangsa-bangsa Barat atau Republik Indonesia turun ke Tanah Papua. Lebih dari 250 suku besar mendiami bumi cenderawasih. Ini adalah tanah dengan keanekaragaman hayati dan keragaman budaya yang amat besar. Kemajemukan yang sangat berharga untuk Indonesia.

Sungguh, kami akhirnya menyadari isu-isu tentang Papua selalu seksi di pembicaraan level mana pun. Mulai dari akar rumput sampai elite, dari persoalan lingkungan hidup hingga sentimen politik, semuanya ingin terlibat dalam kepentingan apa pun untuk Papua. Akan tetapi, TelusuRI memilih jalan “termudah”, yaitu menggelar ekspedisi jurnalistik bernama Arah Singgah. Misi kami sederhana, ingin mengetuk kesadaran hati banyak orang, yang mungkin bahkan belum tahu bagaimana cara memandang Papua.

Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih
Masyarakat suku Moi di Kampung Malaumkarta dengan kostum adat saat menampilkan tarian tradisional untuk menyambut Festival Egek Malaumkarta Raya, Sorong. Suku Moi menerapkan aturan zonasi egek yang terlarang diakses untuk menjaga sumber daya alam, baik di hutan maupun laut/Deta Widyananda.

Menemui komunitas adat pejuang hak ulayat

TelusuRI melakukan ekspedisi Arah Singgah untuk menggali cerita-cerita dengan beragam isu, yang kerap terabaikan di pemberitaan media arus utama. Filosofi dasar perjalanannya berupaya menyentuh sisi-sisi lain yang tanpa disadari sebenarnya saling berhubungan. Setelah berkunjung ke enam provinsi selama 2022–2023, tahun ini kami menambah dua provinsi baru.

Di tahun ketiga kali ini, Arah Singgah mengusung tema “Suara-suara dari Timur Indonesia”. Kami singgah di pelbagai wilayah adat untuk mengindahkan dan merekam kisah-kisah upaya masyarakat adat mencari titik keseimbangan dengan alam. Sebab, bayang-bayang ancaman deforestasi akibat eksploitasi dan investasi industri ekstraktif, seperti pembukaan lahan kelapa sawit, minyak bumi, maupun batubara, bisa datang kapan saja. Maka, segala upaya masyarakat adat memperpanjang napas bumi di bagian timur Indonesia ini perlu pelantang agar terdengar dan menyentuh segala lapisan khalayak. 

Kami menghimpun narasi-narasi dan aneka perspektif tentang praktik kehidupan berkelanjutan itu dalam bingkai ekonomi restoratif. Tak terkecuali, tantangan dan tekanan yang mereka hadapi dalam mempertahankan hak ulayat yang digariskan turun-temurun oleh nenek moyang.

Di Kabupaten Sorong, kami menemui sosok-sosok inspiratif yang merepresentasikan kehebatan suku Moi, komunitas adat terbesar di Provinsi Papua Barat Daya. Di tengah masifnya arus modernisasi dan posisinya sebagai pintu gerbang di ujung barat Papua, orang-orang Moi berusaha melestarikan warisan leluhur dengan berbagai macam cara.

Kami bertandang ke rumah kaveling Yuliance Yunita Bosom Ulim di Aimas, Sorong. Perempuan yang akrab dipanggil Yuyun itu mendirikan Sinagi Papua. Sebuah inisiatif kewirausahaan sosial yang menghasilkan produk-produk pangan lokal khas suku Moi. Salah satu yang terkenal adalah bumbu asin nipah.

Berjarak sekitar satu jam berkendara ke timur, kami datang ke dua kampung kecil dengan nama besar. Malagufuk, tempat berkumpulnya fotografer alam liar lintas dunia yang ingin melihat lima spesies cenderawasih; serta Malaumkarta, pusat kebudayaan suku Moi yang masih mempertahankan tradisi leluhur demi menjamin keberlangsungan ekosistem.

Dinamika kehidupan yang agak berbeda kami jumpai di Kabupaten Sorong Selatan. Tempat di mana sagu menjadi komoditas dengan cadangan pangan terbesar di Papua Barat Daya. Di Kampung Bariat, Distrik Konda, masyarakat subsuku Afsya mengajak kami melihat proses pengolahan sagu secara gotong royong. Sementara di pesisir Sungai Kaibus, masyarakat adat Kampung Konda dan Wamargege tengah memperjuangkan pengakuan hutan adat serta meniti jalan kedaulatan pangan lokal dengan hasil udang melimpah.

Perjalanan paling ujung ke Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, membawa kami menemui masyarakat adat suku Namblong. Kami menyaksikan ikhtiar akbar mereka dalam mengelola sumber daya alam berbasis kearifan lokal lewat pembentukan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA). Mulai dari budidaya vanili, pengembangan ekowisata, hingga perdagangan karbon, BUMMA diharapkan menjadi jalan terbaik untuk mandiri secara ekonomi, tetapi tetap mempertahankan kelestarian lingkungan. Alih fungsi lahan konsesi milik PT Permata Nusa Mandiri, perusahaan perkebunan kelapa sawit, menjadi tembok tebal yang harus dilawan agar tidak semakin rakus melahap tanah adat Namblong.

Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih
Gotong royong mengolah sagu di hutan Kampung Bariat, Sorong Selatan. Sagu merupakan komoditas pangan pokok asli Papua yang masih dilestarikan dan menjadi sumber ekonomi berkelanjutan masyarakat Papua sampai sekarang/Deta Widyananda

Inilah suara-suara dari timur

Jelas, Papua menjadi tujuan liputan terjauh TelusuRI sepanjang ekspedisi Arah Singgah. Kami benar-benar berjarak ribuan kilometer dari rumah kami di Jawa. Benar-benar jauh secara harfiah. Namun, faktanya kami seperti menemukan rumah yang lain di Papua. Perbedaan ras dan suku tidak menjadi sekat yang membatasi persahabatan baru.

Seperti halnya ekspedisi dua tahun sebelumnya, orang-orang lokal maupun masyarakat adat adalah pemeran utama dalam cerita-cerita kami. Kami hanya menjadi perpanjangan tangan dan corong suara dari mereka yang gigih mempertahankan tanah adat dari ancaman investasi industri ekstraktif. Orang-orang Papua percaya, merekalah benteng terakhir paru-paru dunia di Indonesia, setelah deforestasi yang memprihatinkan melanda Sumatra dan Kalimantan.

Inilah, Arah Singgah 2024. Suara-suara dari timur yang harus Anda dengarkan. Selamat menikmati dan belajar kehidupan dari tutur serta laku orang-orang berhati tulus yang kami temui. Bukan hanya Anda, kami pun turut belajar dan merenungi pesan-pesan kehidupan yang jauh melampaui peradaban.

Ritme dan senyawa perjalanan Arah Singgah mungkin bukan untuk semua orang. Tak terkecuali Anda sekalipun. Namun, kami berharap perjalanan ini kelak akan menjadi bagian dari perjalanan hidup kita. (*)


Foto sampul:
Potret ceria anak-anak Papua mengolah hasil meramban di hutan/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Arah Singgah 2024: Kami Terbang Jauh ke Bumi Cenderawasih appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/arah-singgah-2024-kami-terbang-jauh-ke-bumi-cenderawasih/feed/ 0 44945
Menjaga Rumah Cenderawasih dan Satwa Endemik di Hutan Papua https://telusuri.id/menjaga-rumah-cenderawasih-dan-satwa-endemik-di-hutan-papua/ https://telusuri.id/menjaga-rumah-cenderawasih-dan-satwa-endemik-di-hutan-papua/#respond Sun, 10 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43010 Konferensi Keanekaragaman Hayati atau COP16 usai digelar di Cali, Kolombia dan menghasilkan keputusan penting bagi Indonesia. Peluang baik sekaligus tantangan besar bagi pelestarian ekosistem hutan dan masyarakat adat, khususnya di Papua. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto:...

The post Menjaga Rumah Cenderawasih dan Satwa Endemik di Hutan Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
Konferensi Keanekaragaman Hayati atau COP16 usai digelar di Cali, Kolombia dan menghasilkan keputusan penting bagi Indonesia. Peluang baik sekaligus tantangan besar bagi pelestarian ekosistem hutan dan masyarakat adat, khususnya di Papua.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda


Orang-orang Papua menyebut, paru-paru Indonesia terakhir berada di tanah adat mereka, setelah Sumatra dan Kalimantan kian tertekan deforestasi akibat alih fungsi lahan dan pembalakan liar. Keistimewaan hak ulayat jadi landasan dasar untuk menjaga kawasan hutan dan perairan sebagai sumber daya penghidupan masyarakat adat Papua. 

“Klaim” masyarakat adat Papua tersebut sebenarnya cukup berdasar. Menilik data terakhir, bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang diolah oleh Auriga Nusantara dalam Menatap ke Timur: Deforestasi dan Pelepasan Kawasan Hutan di Tanah Papua (2021), hampir 40% dari total 88 juta hektare (ha) luas tutupan hutan alam nasional berada di Papua. Tercatat 33.847.928 ha menyelimuti Tanah Papua, jauh di atas gabungan luas hutan di Kalimantan Tengah (7.278.678), Kalimantan Timur (6.494.977), Kalimantan Utara (5.663.890), Kalimantan Barat (5.516.651), Maluku–Maluku Utara (4.988.917), dan Sulawesi Tengah (3.807.331).

Meski tren deforestasi menurun sejak tahun puncak 2015, tapi angkanya masih tinggi. Di Kabupaten Jayapura saja, meski KLHK sudah memberi surat keputusan (SK) pengakuan empat hutan adat di Lembah Grime, kawasan adat suku Namblong, perusahaan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih beroperasi di lahan konsesi yang izinnya sudah dicabut KLHK sejak 2022. Alih fungsi lahan oleh industri ekstraktif semacam ini jelas merenggut ruang penghidupan masyarakat dan keanekaragaman hayati di dalamnya. 

Seperti di Jayapura dan bagian wilayah Papua lainnya, hutan-hutan alam merupakan rumah bagi aneka flora dan fauna endemik, termasuk burung cenderawasih. Jika kondisi tingginya tingkat biodiversitas tiada banding ini tidak terlindungi dengan baik, nasib serupa yang telanjur terjadi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku bisa dialami Papua, cepat atau lambat.

Konservasi berbalut adat dan ekowisata

Praktik konservasi untuk menjaga keanekaragaman hayati di alam sejatinya telah berlangsung di Papua dari generasi ke generasi. Selain aturan adat yang ketat, pendekatan ekowisata belakangan juga dipilih menjadi jalan tengah untuk mencari manfaat ekonomi berkelanjutan sekaligus keseimbangan ekologis.

Salah satu daya tarik ekowisata yang sedang naik daun adalah wisata pengamatan burung (birdwatching). Orang sudah banyak tahu, cenderawasih merupakan spesies endemik yang selalu berkaitan erat dengan Papua. Beberapa pengamat burung (birder) menyebutnya burung surga (birds of paradise) karena keunikan sifat dan morfologinya. Bulu, tarian, dan kicauannya dianggap eksotis.

Di pedalaman Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, masyarakat Malagufuk menawarkan kegiatan eksplorasi pengamatan lima spesies cenderawasih di Hutan Klaso, belantara yang mengepung kampung mereka. Para pegiat ekowisata Malagufuk telah memetakan lokasi birding yang memungkinkan fotografer lintas negara melihat cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus).

Burung-burung penghuni teduhnya Hutan Klaso di Kampung Malagufuk. (Dari kiri) cenderawasih raja, toowa cemerlang, dan julang papua/Deta Widyananda

Statistik perjumpaan dengan burung-burung tersebut telah banyak tercatat di eBird. Platform daring yang memuat data-data spesies burung dari para fotografer atau ilmuwan tersebut dikelola oleh Cornell Lab of Ornithology, lembaga penelitian di bawah Cornell University, Amerika Serikat. Misinya adalah menafsirkan dan melestarikan keanekaragaman hayati burung melalui penelitian, pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Sejak 2016, saat awal-awal Malagufuk mulai mendunia, lebih dari 185 spesies burung berhasil terpotret—termasuk cenderawasih. Beberapa spesies burung populer di antaranya julang papua (taun-taun), mambruk, kasuari, dan cekakak (raja-udang). Tidak hanya burung, sejumlah satwa endemik juga mudah ditemukan di Malagufuk, seperti ekidna (babi duri) dan kanguru tanah. Mengingat pentingnya keberlanjutan rantai makanan alami, masyarakat adat suku Moi di Malagufuk pun mulai membatasi perburuan babi hutan dan hewan lain untuk menjaga biodiversitas yang ada. 

Begitu halnya terjadi di wilayah adat suku Namblong, Kabupaten Jayapura. Alex Waisimon, pendiri Isyo Lodge dan perintis birdwatching di kampung wisata Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, menawarkan kegiatan pengamatan burung di hutan yang tak jauh dari penginapan miliknya itu. Cenderawasih menjadi objek utama incaran para fotografer maupun pegiat birdwatching dunia. Data-data perjumpaan dengan burung endemik ini tercatat pula di eBird, tak terkecuali burung-burung lainnya. Di Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, masyarakat telah memetakan satu lokasi potensial untuk melihat cenderawasih kuning-kecil dan julang papua di dekat hutan mereka.

Menjaga Rumah Cenderawasih dan Satwa Endemik di Hutan Papua
Cenderawasih kuning-kecil jantan dan betina bermain di pucuk pohon laban di Hutan Ktu Ku, Kampung Berap/Deta Widyananda

Ekowisata memang menjadi salah satu program unggulan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Yombe Namblong Nggua, selain pengembangan vanili dan perdagangan karbon. Wisata susur sungai di Kali Biru, Kampung Berap, menjadi destinasi pelengkap. Tujuan utamanya semata mencari manfaat ekonomi tanpa harus mengganggu ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Sistem bisnis berbasis adat yang diperkuat 44 Iram (pemuka marga) sebagai pemilik saham menjamin kelangsungan BUMMA sebagai tumpuan ekonomi masyarakat suku Namblong.

Inisiatif-inisiatif lokal inilah yang mesti didukung para pemangku kepentingan (stakeholders) di Indonesia. Pengelolaan sumber daya alam berbasis adat, disertai pendampingan manajemen yang baik terbukti konkret dalam melindungi keanekaragaman hayati di dalamnya. Masyarakat sejahtera, hutan terjaga. 

Menjaga Rumah Cenderawasih dan Satwa Endemik di Hutan Papua
Masyarakat adat suku Moi penjaga Hutan Klaso, Kampung Malagufuk. Saat ini pihak suku Moi di Malaumkarta Raya masih berjuang mendapatkan pengakuan hutan adat dari negara/Deta Widyananda

Seruan dari Cali

Berjarak sekitar 19.000 km dari Indonesia, sekitar 200 negara berkumpul dalam The 2024 United Nations Biodiversity Conference of the Parties (COP16) to the UN Convention on Biological Diversity (CBD), pada 21 Oktober–1 November 2024 di Cali, Kolombia. Konferensi internasional ini merundingkan upaya dan pernyataan bersama kepada dunia agar menghentikan perusakan alam yang mengakibatkan kepunahan keanekaragaman hayati. Salah satunya adalah dengan mengakui peran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.

Mulanya, seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia yang hadir di Cali untuk mendorong pembentukan Subsidiary Body on Article 8j (SB8j) atau badan permanen untuk pengakuan kontribusi masyarakat adat—yang bertujuan untuk menguatkan pengetahuan lokal, warisan adat, dan praktik-praktik tradisional dalam melindungi keanekaragaman hayati—sempat ditolak perwakilan delegasi pemerintah Indonesia. Indonesia juga tidak menghendaki sistem pendanaan langsung untuk pekerjaan-pekerjaan konservasi yang dapat dijangkau masyarakat adat dalam melindungi keanekaragaman hayati di daerahnya.

Cindy Julianty, perwakilan dari WGII (Working Group on Indigenous and Local Communities-Conserved Areas and Territories Indonesia), menyebut penolakan tersebut sebagai sebuah langkah mundur dan sangat disayangkan. Sebab, COP16 mestinya menjadi momentum penting untuk mengimplementasikan Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu. 

Eustobio Rero Renggi, juru bicara dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang juga hadir pada COP 16 CBD tersebut, mengungkap pentingnya sistem pendanaan langsung kepada komunitas atau masyarakat adat. Meksiko, Namibia, Swiss, bahkan Uni Eropa memberikan dukungan langsung terhadap skema ini. Ia beranggapan masyarakat adat merupakan penyandang hak utama yang telah menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati secara turun temurun, bahkan jauh sebelum negara berdiri.

Suasana haru menyelimuti peserta Sidang Pleno COP16 di Cali, Kolombia, saat Presiden COP16 Susana Mohamad (foto kiri, memegang tongkat) menyatakan persetujuan pembentukan Subsidiary Board on Article 8j/UN Biodiversity

Namun, setelah perundingan yang alot, kabar baik tersiar di pengujung konferensi pada 1 November 2024 waktu setempat. Seperti dikutip Betahita (4/11/2024), perwakilan pemerintah Indonesia dan sejumlah negara berubah sikap, mendorong Sidang Pleno CBD menetapkan keputusan bersejarah untuk menyetujui pembentukan Subsidiary Body Article 8j. Lu’lu’ Agustiana, Analis Kebijakan Ahli Madya Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik KLHK, salah satu delegasi pemerintah Indonesia, mengakui kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal. Pihaknya hanya membutuhkan kejelasan secara proporsional terkait mekanisme atas amanah tersebut berjalan di Indonesia.

Langkah tersebut mesti disambut dengan komitmen kuat di negeri sendiri. Terutama mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat oleh DPR RI yang tersendat sejak 2012. Berbagai usulan penetapan hutan adat, baik di Papua maupun luar Papua, mesti segera ditindaklanjuti untuk mendapatkan pengakuan negara. Dalam catatan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dari luas wilayah adat yang sudah terpetakan seluas 30,1 juta ha, baru sekitar 16 persen saja yang telah diakui secara hukum.

Situasi ekstremnya perubahan iklim terkini, serta laju deforestasi yang masih masif karena industri ekstraktif atau program lumbung pangan yang kurang tepat sasaran, mendesak penyelamatan masa depan ruang hidup keanekaragaman hayati yang masih tersisa. Masyarakat adat, diyakini punya peran krusial untuk pelestarian alam dan tradisi lokal. Jangan sampai cenderawasih dan burung-burung ikonis kehilangan rumahnya sendiri. (*)

Foto sampul:
Burung cenderawasih kuning-kecil di hutan Kampung Malagufuk, Sorong, Papua Barat Daya (Deta Widyananda)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjaga Rumah Cenderawasih dan Satwa Endemik di Hutan Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjaga-rumah-cenderawasih-dan-satwa-endemik-di-hutan-papua/feed/ 0 43010