parakan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/parakan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 20 Jul 2023 07:34:40 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 parakan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/parakan/ 32 32 135956295 Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan https://telusuri.id/jejak-seniman-kungfu-di-omah-tjandi-parakan/ https://telusuri.id/jejak-seniman-kungfu-di-omah-tjandi-parakan/#comments Thu, 20 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39341 Penjelajahan pusaka tersembunyi di Parakan belum berhenti. Puas menikmati kemewahan Rumah Gambiran, saya bersama The Han Thong melanjutkan langkah ke sebuah bangunan lainnya di sebelah rumah warisan Siek Hwie Soe itu. Selayaknya rumah saudagar, pagar...

The post Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Penjelajahan pusaka tersembunyi di Parakan belum berhenti. Puas menikmati kemewahan Rumah Gambiran, saya bersama The Han Thong melanjutkan langkah ke sebuah bangunan lainnya di sebelah rumah warisan Siek Hwie Soe itu. Selayaknya rumah saudagar, pagar tinggi dengan aksen gerbang kayu menjadikan rumah ini lebih memiliki privasi dari hiruk pikuk dunia luar. 

Meski begitu, halaman depan tampak asri dan terawat seperti Rumah Gambiran. Tujuan saya kali ini adalah sebuah rumah yang berjuluk “Omah Tjandi Gotong Royong”. Saat ini dimiliki Go Kiem Yong, pengusaha kue bolu Parakan.

Go Kiem Yong merupakan cucu dari Bah Suthur atau Hoo Tik Tjay, anak dari Hoo Tiang Bie, yang notabene anak angkat dari seorang seniman beladiri kungfu, yakni Louw Djing Tie. Kalian mungkin penasaran, Omah Tjandi sebenarnya milik Hoo Tiang Bie, Hop Lip Boen, atau Louw Djing Tie? Saya akan coba menjawabnya.

Karena rumah tersebut menjadi milik pribadi, tentu terdapat tata cara yang berbeda untuk sekadar berbincang dan mengabadikan momen yang ada. Setelah mendapatkan izin, saya pun menikmati suasana rumah sesaat lalu masuk ke rumah utama.

Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan
The Han Thong dan pemilik Omah Tjandi saat ini di beranda depan/Ibnu Rustamadji

Rumah yang Menyimpan Sejarah Sang Seniman Kungfu  

Begitu menginjakan kaki di dalam, saya berpikir mungkin pemiliknya senang olahraga berat karena terdapat beberapa alat uji ketangkasan di ruang tamunya. Ternyata saya salah. Alat-alat itu merupakan warisan dari sang seniman kungfu, Louw Djing Tie.

Tatkala memotret peralatan tersebut, The Han Thong mengungkap perihal sebenarnya yang terjadi di rumah ini. Ia menjelaskan, Omah Tjandi Gotong Royong sejatinya merupakan peninggalan Hoo Tiang Bie. 

Kepemilikan awal bukan berada di keluarga Hoo Tiang Bie, tetapi Raden Mas Kertoadmodjo. Suatu ketika orang Belanda bernama F. H. Stout, pengawas proyek pembangunan jalur kereta api Parakan—Secang, membeli rumah itu dengan harga 450 gulden. Beberapa waktu kemudian dibeli Hoo Tiang Bie seharga 300 gulden. 

Pembangunan Omah Tjandi Gotong Royong memadukan tiga langgam budaya di Parakan kala itu, yakni Eropa, Tionghoa, dan Jawa. Campuran budaya tidak hanya untuk bangunannya saja, tetapi juga keluarga yang menempati.

Memasuki bagian rumah utama, deretan foto keluarga pemilik Omah Tjandi menyambut kami. The Han Tong menunjuk satu gambar berkanvas coklat dengan epitaf aksara mandarin. Sosok dalam potret tersebut adalah Louw Djing Tie, pendekar kungfu kelahiran 1855 dan berasal dari kampung Khee Thao Kee, Kota Haiting, Hokkian, Tiongkok. 

Louw Djing Tie mempelajari kungfu sedari muda. Berawal dari kekagumannya tatkala melihat kelihaian seorang kakek tua pembuat tahu, seakan tengah melakukan aksi bela diri. Sejak saat itu ia rutin berlatih secara mandiri.

Hal ini tidak lepas dari kondisi keluarga yang memprihatinkan. Ia adalah seorang yatim piatu yang hidup dengan dua kakaknya. Iba melihat Louw Djing Tie, sang kakak perempuan memutuskan untuk memasukkannya ke sekolah bela diri kungfu di Kuil Shaolin. 

Selama di kuil, Louw muda juga memperdalam ilmu tenaga dalam dan pengobatan dengan Biauw Tjien dan Kang Too Soe. Meski begitu, ia diharapkan oleh sang guru untuk tetap rendah hati. Maka dalam beberapa pertarungan, Louw Djing Tie sengaja mengalah atas lawannya. 

Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan
Bagian belakang Omah Tjandi/Ibnu Rustamadji

Mengembara dari Hokkian ke Parakan

Usai belajar di Kuil Shaolin, Louw Djing Tie mencoba mengadu nasib di Hok Ciu, ibu kota Hokkian. Kala itu dewan kota praja tengah mengadakan seleksi prajurit, dengan cara mengalahkan jawara pilihan mereka. 

Lie Wan, salah satu adik seperguruan, mendapat kesempatan melawan seorang guru kungfu yang telah mengalahkan lawan sebelumnya. Ia kewalahan menghadapi serangan berbahaya. Demi melindungi Lie Wan, Louw Djing Tie tiba-tiba masuk arena dan menendang kemaluan lawan sampai tewas. 

Akibat kejadian itu, Louw Djing Tie dan Lie Wan pergi ke arah selatan sebagai pelarian. Kali ini tanpa saudara yang sebelumnya menemani setiap langkahnya. Dari daratan Tiongkok, ia kemudian mendarat di Singapura untuk pertama kalinya. Tak lama, ia meneruskan perjalanan ke Batavia dan menjadi pedagang keliling di sekitar Toko Tiga, Glodok.

Seperti tak pernah puas, Louw Djing Tie terus mencari kehidupan baru di luar Batavia. Tujuan berikutnya Semarang, Kendal, Ambarawa, Wonosobo, dan berakhir di Parakan. Saat di Wonosobo ia bertahan hidup dengan berjualan ikan asin keliling serta mengajarkan kungfu kepada kawannya di suatu pondokan.

Roda kehidupan terus berputar sampai akhirnya berlabuh di Parakan. Selama di Parakan, ia diberi tempat tinggal oleh Hoo Tiang Bie, sang pengusaha tembakau, di area rumahnya yang saat ini menjadi Omah Tjandi. Louw Djing Tie menempati rumah kecil di sudut halaman depan. 

Untuk menyambung napas, ia berjualan permen kembang gula. Seiring waktu kemudian ia membuka perguruan kungfu Garuda Mas secara sembunyi-sembunyi, karena pemerintah Hindia Belanda kala itu melarang adanya perguruan seni bela diri. Salah satu muridnya di Garuda Mas adalah Hoo Tik Tjay, putra Hoo Tiang Bie.

Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan
Rumah tinggal Louw Djing Tie di sudut halaman depan. Di sini pula ia mendirikan perguruan kungfu Garuda Mas/Ibnu Rustamadji

Perjalanan Hidup Louw Djing Tie di Parakan

Saat di Parakan, Louw Djing Tie pernah bertarung dengan Tan Tik Sioe Sian alias Rama Moortie van Jawa. Ia diketahui sebagai pertapa dari Gunung Wilis, Jawa Timur, yang mencoba mengadu keilmuan dengan Louw Djing Tie. 

Ia pun menerima tawaran adu ilmu tersebut. Namun, di tengah pertandingan Louw Djing Tie sengaja mengalah. Mengetahui hal itu, Tan Tik Sioe Sian segera menghentikan pertandingan dan memberikan kenang-kenangan berupa tongkat kayu cendana sebelum si pertapa kembali ke Jawa Timur.

Louw Djing Tie mengajarkan ilmu bela diri tidak pandang status sosial terhadap siapa pun. Ia juga tidak segan membantu pribumi yang bermasalah dengan warga Belanda. Tentu penyelesaiannya tidak semata-mata harus dengan pertumpahan darah. 

Sang seniman kungfu itu memegang tiga sumpah dalam hidupnya: berumur pendek, hidup miskin tapi bisa makan, dan tidak berkeluarga. Pada masa tuanya, ia terpaksa melanggar sumpah untuk tidak menikah. Benar saja, hidup dengan sang istri tidak pernah lama.

Pasca istri pertamanya meninggal, ia kembali menikah sebanyak dua kali. Namun, istri kedua berkhianat dan istri ketiga mengidap sakit jiwa. Usaha rintisannya pun anjlok. Sakit tua mendera dan ia mulai rabun sejak menjadi pemadat opium. Louw Djing Tie menganggap semua ini hukuman dari Tuhan atas kesalahannya masa lalu.

Semasa tua, Louw Djing Tie hidup bersama Hoo Tik Tjay. Ia tidak memiliki keturunan. Konon hal ini karena keilmuan Louw Djing Tie yang menyembunyikan kemaluannya saat bertarung, sehingga membuatnya mandul.

Sang seniman kungfu itu akhirnya wafat pada 1921 di usia 66 tahun. Ia dikebumikan di pemakaman Gunung Manden, sebelah utara Kecamatan Parakan, Temanggung. Sepeninggal Louw Djing Tie, segala lini usaha dan perguruan Garuda Mas pun turut bubar. Hanya beberapa murid yang sempat meneruskan hingga tahun 1942.

Beberapa usaha yang terdampak atas kepergiannya antara lain Jamu Arem Pegal Linu tjap Garuda, obat segar badan (Siang Yong Wan Pastiles), minyak gosok (Jit Li Yu), dan obat oles bergambar potret Louw Djing Tie dengan baret hitam. 

Raganya Mati, Jiwanya Abadi

Memang tidak banyak peninggalan di dalam rumah ini. Sebab sejak Louw Djing Tie hidup, para murid meminjam alat dan tidak mengembalikannya sampai ia wafat. Walaupun begitu, marwah Omah Tjandi Gotong Royong sebagai awal mula seni beladiri kungfu dari Parakan tetap abadi.

Terlebih semasa pemerintahan Jepang, semua kegiatan bela diri dilarang. Apabila tertangkap, maka akan diinterogasi dan mendapat hukuman. Hoo Tik Tjay, sang murid sekaligus penerus perguruan, memutuskan untuk menghilangkan semua alat bela diri milik Louw Djing Tie. Segala yang berhubungan dengan Garuda Mas dikubur di halaman rumah Hoo Tiang Bie untuk menghapus jejak.

Sekalipun demikian, bagi kami, Omah Tjandi Gotong Royong tetap wajib dikunjungi ketika berada di Parakan. Namun, pengunjung harus mematuhi aturan dari pemiliknya saat ini. Sebagai awal mula seni bela diri kungfu di Indonesia, sudah selayaknya Omah Tjandi mendapat perhatian dan apresiasi.

Kiprah dan gerakan The Han Thong bersama sejumlah rekan untuk mengenalkan harta pusaka Parakan ke masyarakat luas sangat luar biasa. Walau sementara baru dua rumah yang kami kunjungi, Rumah Gambiran dan Omah Tjandi Gotong Royong, penelusuran ini cukup mengobati rasa penasaran saya terhadap Parakan. Hanya satu kata yang bisa menggambarkan perjalanan saya kali ini: luar biasa cantik! Sukses menikmati Parakan, perjalanan saya berikutnya mungkin akan mengulik pusaka tersembunyi lainnya di Kabupaten Temanggung. Kebetulan saya sempat lewat dan melihat beberapa yang menarik untuk menelusurinya lebih jauh. Saya akan kembali suatu saat dan menikmati setiap jengkalnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-seniman-kungfu-di-omah-tjandi-parakan/feed/ 1 39341
Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan https://telusuri.id/mengungkap-pusaka-tersembunyi-di-parakan/ https://telusuri.id/mengungkap-pusaka-tersembunyi-di-parakan/#respond Thu, 22 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39033 Perjalanan saya kali ini berawal dari ajakan seorang rekan untuk sekedar berburu foto dan menjelajah di lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Awalnya saya pikir menjelajah lereng gunungnya, tetapi ternyata bukan. Kami melakukan eksplorasi di Kecamatan Parakan, Kabupaten...

The post Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini berawal dari ajakan seorang rekan untuk sekedar berburu foto dan menjelajah di lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Awalnya saya pikir menjelajah lereng gunungnya, tetapi ternyata bukan. Kami melakukan eksplorasi di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung. 

Tujuan penjelajahan kami adalah kampung pecinan di Jalan Gambiran. Sebelum memulai perjalanan, kami sengaja menyempatkan berkunjung kelenteng Hok Tek Tong guna mengabadikan aktivitas dan detail ornamennya. Tentu kami melakukannya setelah mendapat izin dari pengurus kelenteng. 

Di tengah asyik memotret, tiba-tiba muncul bapak paruh baya berjenggot panjang dari salah satu ruang dewa. Beliau adalah The Han Thong, aktivis Masyarakat Tionghoa Parakan sekaligus pemandu lokal kami. Ia juga dengan senang hati mengantar siapa pun yang ingin melihat Parakan dari sudut pandang berbeda. Setelah bercengkerama, The Han Thong menunjukan beberapa peninggalan yang sekiranya menarik kami abadikan. 

“Kalau mau saya antar keliling seberang sana, di Jalan Gambiran!”

Tentu kami menyetujui. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Penjelajahan dimulai. 

Rumah Gambiran, Pusaka dari Parakan

The Han Tong lantas mengajak kami keluar kelenteng dan berjalan kaki menuju kampung pecinan di Jalan Gambiran. Dia mengaku sering mengantar tamu untuk sekadar jalan-jalan dan merasakan dinginnya udara Parakan. 

Menyusuri sepanjang jalan, hanya deretan tembok tinggi dengan satu aksen masuk yang menemani langkah. Biasanya kampung pecinan identik dengan hiruk pikuk perdagangan. Namun, di sini sangat sepi, seperti yang saya rasakan ketika menelusuri kampung pecinan di Pasuruan. 

Langkah kami menyusuri Jalan Gambiran hanyalah awal perjalanan. Tujuan kami sejatinya berada di gang sebelah, tepatnya Jalan Bambu Runcing. Sepanjang perjalanan lensa kamera tak henti mengabadikan setiap momen, termasuk membingkai lanskap Gunung Sindoro dari tempat kami berada. 

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Pintu depan Rumah Gambiran bergaya Indis/Ibnu Rustamadji

Setelah kurang lebih satu jam berjalan kaki, tibalah kami di tujuan utama. “Selamat datang di Rumah Gambiran,” begitu kiranya sambutan The Han Tong sembari membukakan pintu untuk kami. 

Beranjak memasuki rumah utama dari halaman depan, marwah sebagai seorang pengusaha gambir begitu terasa. Beranda depan berhias sebuah kursi santai, tempat sang saudagar melepas lelah sambil mengisap tembakau.

Menginjakkan kaki ke dalam, kami langsung menjumpai partisi kayu menghadap pintu utama di antara ruang tengah dan ruang belakang. Penggunaan partisi kayu tersebut untuk memisahkan antara ruang publik dan ruang keluarga. Bagian dalam kamar tidur utama berisi perabot kuno Rumah Gambiran. 

Tanpa pikir panjang kami segera merekam semua momen yang ada dalam memori kamera. Sembari kami hunting foto, The Han Tong mulai bercerita tentang Rumah Gambiran. Rumah yang menjadi bagian perjalanan masyarakat Tionghoa Parakan kala itu. 

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Suasana beranda depan dari halaman rumah Indis/Ibnu Rustamadji

Sejarah Rumah Gambiran

Menurut The Han Tong, disebut Rumah Gambiran, karena dahulu rumah ini merupakan hunian milik Siek Oen Soei, seorang pengusaha gambir di Parakan. Namun, ia hanya pewaris usaha gambir moyangnya yang bernama Siek Hwie Soe. Adapun pengusaha gambir pertama di Parakan pertama adalah Loe Tjiat Djie. Gambir yang diproduksi adalah untuk campuran pewarna kain batik.

Siek Hwie Soe tiba di Parakan tahun 1821. Untuk menyambung hidup ia bekerja sebagai buruh pengolahan gambir dan menumpang hidup dengan Loe Tjiat Djie.

Selama bekerja, ia dinilai cukup mumpuni untuk memimpin usaha. Loe Tjiat Djie lantas mengangkat Siek Hwie Soe sebagai menantu dan mewariskan usaha gambir kepadanya. Sekian lama tinggal di Parakan hingga pertengahan tahun 1840, ia memutuskan pulang ke tanah kelahirannya di Tiongkok.

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Inskripsi nasehat di salah satu ruang keluarga rumah orientalis/Ibnu Rustamadji

Tidak lama, ia kembali ke Parakan beserta keluarga lain untuk mengurus usaha gambir. Usaha gambir menuai kesuksesan, sehingga mereka kemudian mendirikan usaha bersama bernama “Hoo Tong Kiem Kie” yang berpusat di Semarang. Empat puluh dua tahun kemudian, tepatnya 1882, Siek Hwie Soe wafat.  

Badan usaha lantas terbagi menjadi dua. Usaha pertama bernama “Hoo Tong Seng Kie” di Semarang, di bawah pengelolaan putranya, yakni Siek Tjin Lion. Usaha kedua bernama “Hoo Tong Kiem Kie” di Parakan, berjalan di bawah pengelolaan keponakannya, Siek Tiauw Kie. 

Siek Tiauw Kie memiliki beberapa istri dan anak. Satu anak di antaranya adalah Siek Oen Soei. Siek Tiauw Kie selanjutnya mewariskan bisnis gambir kepada Siek Oen Soei, yang di kemudian hari menuai kesuksesan besar ketika berhasil memperdagangkan gambir, beras, dan tembakau, sampai akhirnya wafat tahun 1948. 

Siek Oen Soei sebagai pewaris Rumah Gambiran wafat di Yogyakarta. Setelahnya bisnis dan rumah diberikan kepada sang putra, Siek Bien Bie. Tidak lama sejak saat itu mereka pindah ke Batavia (Jakarta) atas alasan keamanan, karena pergolakan agresi militer II oleh Belanda. Rumah keluarga itu pun kosong.

Perpaduan Lintas Budaya dalam Arsitektur Rumah Gambiran

Menapaki halaman belakang, tampak sebuah meja batu langka yang dulu berfungsi untuk bermain mahjong. Terapit oleh kamar tidur untuk tamu atau keluarga yang belum memiliki tempat tinggal sendiri. Ruang belakang tersebut bukti kepedulian Siek Oen Soei dengan keluarga dan handai tolan yang berkunjung. 

Masih berada dalam satu halaman, tepat lima langkah dari meja mahjong, kami terkagum-kagum dengan sebuah bangunan yang sangat kontras dengan Rumah Gambiran sisi utara. Bangunan itu merupakan rumah bergaya Indis dengan kolom menopang beranda depan dan belakang. Menghadap ke selatan dengan pemandangan Gunung Sumbing. 

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Meja batu mahjong dengan latar belakang beranda belakang rumah Indis/Ibnu Rustamadji

The Han Thong memiliki dugaan, “Bangunan warna putih bergaya indis ini, lebih awal dibangun daripada Rumah Gambiran sisi Selatan.”

Ia juga menyangka bahwa Rumah Gambiran sisi utara dibangun setelah ia kembali dari Tiongkok, sebagai memorial negeri leluhurnya. Berfungsi pula untuk kediaman keluarga besar hingga ia wafat, kata The Han Thong menambahkan.

Kekaguman semakin memuncak, ketika kami dipersilahkan menginjakkan kaki ke dalam rumah. Mata dan lensa kamera tak hentinya menikmati detail ornamen, serta sudut rumah yang luar biasa utuh dan masih terjaga. Rasa kagum, senang, bangga bercampur bahagia, kami rasakan kala menjelajahi kedua Rumah Gambiran ini.

Rumah Gambiran sisi selatan lebih menonjolkan sebagai kediaman elit Eropa daripada pengusaha. Setiap ornamen yang ada dan konsep penataan bagian dalam rumah cenderung mencirikan gaya Eropa. Tentu siapa pun yang akan berkunjung ke Rumah Gambiran pasti terpesona dengan kemewahannya.

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Beranda depan rumah bergaya oriental/Ibnu Rustamadji

Sungguh kesempatan yang sangat langka bagi kami untuk menjelajahi dan mengabadikan dua peninggalan budaya berbeda. Dalam satu tempat dan waktu. Perpaduan marwah sebagai seorang pengusaha gambir dan elit Eropa. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan lebih mengenai Rumah Gambiran selain mewah.

Gaya Indis berpadu dengan oriental adalah wujud akulturasi budaya asing dengan masyarakat setempat. Siek Oen Soei, meski berasal dari daratan Tiongkok, tetapi hubungannya dengan masyarakat Eropa, Tionghoa, maupun pribumi Parakan saat itu terikat baik.

Penelusuran di Parakan Masih Berlanjut

Setelah kepindahan keluarga Siek Bien Bie, Rumah Gambiran sempat kosong dan terbengkalai. Hingga akhirnya tampak seperti saat ini usai revitalisasi oleh Chris Dharmawan, seorang arsitek, filantropi sekaligus pemilik galeri seni Semarang Contemporary Art Gallery di kawasan Kota Lama Semarang.

Kontribusinya di Parakan adalah sebagai pemilik Museum Peranakan Tionghoa Parakan, sekaligus penulis buku Parakan Living Heritage. Buku ini pula yang menjadi panduan saya dan The Han Tong untuk mengulik pusaka tersembunyi di Parakan. Salah satunya Rumah Gambiran.

Pada tahun 2006 Rumah Gambiran dibeli oleh Ekayana Buddhist Centre sebagai Prasadha Mandala Dharma, atau rumah pelatihan dan retret jemaat Buddha. Rumah Gambiran pun mendapat julukan baru, yaitu Rumah Bhante (biksu), karena tempat ini diketuai oleh Bhante Aryamaitri.

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
The Han Tong di beranda belakang rumah bergaya Indis/Ibnu Rustamadji

Puas menikmati kemewahan Rumah Gambiran, perjalanan saya di Parakan masih berlanjut. Kali ini, selain The Han Tong, saya juga mengajak beberapa kawan lain dari Parakan. Tujuan kami tidak lain menjaga silaturahmi dan kekeluargaan, agar tidak hanya berperan sebagai pemandu lokal saya belaka.

Bagi saya, Parakan membuat candu siapa pun yang memandang. Untuk sebagian orang mungkin tidak menarik, tetapi saya menilai keindahan tidak hanya bisa dipandang dari satu sisi. Seperti halnya Parakan, yang memiliki keindahannya sendiri jika kita melihat dari sisi lainnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengungkap-pusaka-tersembunyi-di-parakan/feed/ 0 39033
Melinting Tembakau Temanggung di Linthing Thoenk https://telusuri.id/melinting-tembakau-temanggung-di-linthing-thoenk/ https://telusuri.id/melinting-tembakau-temanggung-di-linthing-thoenk/#respond Mon, 15 Apr 2019 16:18:48 +0000 https://telusuri.id/?p=13262 Sudah bulan April namun hujan dan gerimis masih setia turun di wilayah Temanggung. Untung saya memakai parka. Jadi, saat dibonceng Roiz naik Vespa yang laju dari Ngadirejo ke Parakan, Temanggung, saya tidak kedinginan. Di Parakan,...

The post Melinting Tembakau Temanggung di Linthing Thoenk appeared first on TelusuRI.

]]>
Sudah bulan April namun hujan dan gerimis masih setia turun di wilayah Temanggung. Untung saya memakai parka. Jadi, saat dibonceng Roiz naik Vespa yang laju dari Ngadirejo ke Parakan, Temanggung, saya tidak kedinginan.

Di Parakan, kami meluncur di jalanan yang dipagari bangunan-bangunan tua, lalu melipir ke sebuah gang sempit yang hanya cukup untuk dua sepeda motor atau sebuah mobil kecil. Selama beberapa saat suara khas knalpot Vespa membahana dipantulkan ke sana kemari oleh pagar rumah dan tembok, sampai akhirnya kendaraan roda dua itu berhenti di depan sebuah rumah.

linthing thoenk
“Toko” tembakau lembutan dan cengkeh Linthing Thoenk/Fuji Adriza

Rumah itu tanpa pekarangan. Hanya pagar besi yang memisahkannya dari jalanan gang. Dindingnya yang dilapisi ratusan ubin persegi panjang berwarna merah bata dan lantai berandanya yang bertegel terang membuat rumah itu tampak klasik.

Tapi, yang paling mencolok adalah pintunya yang kuning terang. Di samping pintu kayu itu ada sebuah spanduk berlatar hitam. Saya perlu mengernyit untuk membaca tulisan dalam lingkaran putih itu: “Linthing Thoenk.” Di bawah “Linthing Thoenk” ada dua baris tulisan warna merah, “Tembakau Lembutan” dan “Cengkeh.”

Roiz mengetuk pintu kuning itu. Selang sebentar terdengar suara gagang pintu sedang ditekan, kemudian pintu itu membuka. Kami disambut seorang pria gondrong berusia sekitar 30-an akhir atau awal 40-an, lalu dipersilakan memasuki ruang tamu.

linthing thoenk
Repro lukisan Affandi di rumah Pak Thoenk/Fuji Adriza

Ruang tamu yang memanjang itu senada dengan eksterior bangunan, sama-sama klasik. Ada dua set meja-kursi tamu dari kayu dan anyaman rotan yang mengingatkan saya pada mebel lawas di rumah nenek. Kami duduk di set meja-kursi tamu kayu berkapur hitam dan penuh ukiran. Sambil menunggu empunya Linthing Thoenk—yang membuka pintu tadi ternyata bukan sang pemilik—saya mengedarkan pandangan mengelilingi ruangan nyeni itu.

Coba dulu, beli kemudian

Dinding tepat di depan saya adalah tempat bagi selusin lebih pigura bergambar keris, lengkap dengan keterangannya. Menoleh ke kiri saya mendapati sebingkai repro lukisan Affandi. Di sudut sana, di belakang meja kayu kokoh penuh ukiran, menjulang dua bilah tombak kayu berwarna cokelat tua. Di pojok yang berseberangan dengan tombak-tombak itu ada satu unik speaker Polytron yang kala itu sedang diam-diam saja.

Saat saya sedang asyik menikmati suasana, Pak Thoenk muncul dari ruang tengah. Wajahnya ceria. Rambutnya dipotong pendek mengikuti bentuk kepala. Susah untuk menebak usianya, barangkali sekitar 40-an akhir atau 50-an awal.

linthing thoenk
Kaleng rokok yang ditempeli logo Linthing Thoenk/Fuji Adriza

Ia menyalami kami berdua, lalu mengobrol dengan Roiz. Kawan saya itu memang sudah dari beberapa tahun lalu kenal Pak Thoenk. Ceritanya, waktu itu ia kehabisan cengkeh untuk dilinting dengan tembakau. Seseorang merekomendasikan Linthing Thoenk ke Roiz. Ternyata, saat ke sana, ia mendapati bahwa, selain cengkeh, Pak Thoenk juga menjual tembakau lembutan. Sejak itu, setiap kali kangen tembakau lembutan, Roiz menghampiri ruang tamu Pak Thoenk ini.

Transaksi di Linthing Thoenk agak berbeda dari yang biasanya terjadi di toko-toko tembakau lembutan kebanyakan. Sebelum membeli, pelanggan dipersilakan mencoba tester yang disediakan di meja.

Malam itu ada delapan kotak kecil di nampan. Isinya varian-varian tembakau Temanggung, dari yang termurah (Canggal, Rp20.000/ons) sampai yang termahal (Jambu, Rp50.000/ons). Sebagai campuran tembakau, Pak Thoenk turut menyediakan sekotak cengkeh hasil rajangannya sendiri. Saat mengintip kotak cengkeh itu, saya lihat ada beberapa butir biji salak yang sengaja ditaruh di sana untuk membuat aroma cengkeh tidak terlalu nyegak.

linthing thoenk
“Tester” delapan varian tembakau Temanggung/Fuji Adriza

Saya buka kotak-kotak plastik kecil itu satu per satu dan saya hirup aromanya. Sebentar saja aroma khas tembakau Temanggung melayang-layang di indra penciuman saya. Untuk menikmatinya, tentu saja saya harus mengambil selembar garet (papir), menjumput tembakau dan cengkeh—melinting.

Hadir sejak 2002

Saat saya sedang asyik melinting, Pak Thoenk bergerak ke arah speaker. Sebentar kemudian nada-nada blues dari gitar Gugun membahana memenuhi ruangan.

“Ini tembakau dari dari kebun bapak semua?” saya bertanya. “Bukan,” jawabnya sambil tersenyum. Tembakau-tembakau lembutan yang ia jual berasal dari petani di penjuru Temanggung. Semuanya adalah tembakau tegal yang ditanam di lahan kering. Ia tidak menjual tembakau sawah yang lebih basah.

Pak Thoenk adalah pelopor. Ia membuka Linthing Thoenk tahun 2002 saat melinting masih praktik yang hanya lazim dilakukan oleh para petani tembakau, jauh sebelum toko-toko tembakau lembutan menjamur di Temanggung sekitar tahun 2017. Pengalaman bekerja di gudang tembakau membuat Pak Thoenk lihai mengkurasi tembakau-tembakau enak.

Melinting tembakau Temanggung/Fuji Adriza

Sekali waktu Roiz pernah mencoba tembakau meteor di Linthing Thoenk. “Enak,” ujar Roiz. Tembakau itu didapat Pak Thoenk dari sebidang tanah di Desa Wonotirto, Kecamatan Bulu, Temanggung yang dekat dengan lokasi jatuhnya meteorit tahun 2001.

Sayang sekali kali ini tak ada tembakau meteor. Gantinya, saya melinting Kramat, Limbangan, Canggal, dan Jambu. Setelah mencoba beberapa jenis tembakau, saya jadi bingung mau membeli yang mana. Semuanya sama-sama enak.

“Jangan tertipu sama harga,” Pak Thoenk terkekeh melihat kebingungan di muka saya. “Yang murah bukan berarti nggak enak, yang mahal nggak mesti enak.”

Akhirnya saya memilih tembakau Limbangan yang tidak terlalu nyegak. Pak Thoenk lalu beranjak ke dalam untuk membungkus tembakau lembutan yang kami pesan. Sejurus kemudian ia kembali membawa dua bungkus tembakau kemasan 1 ons yang dikemas dalam plastik transparan yang ujungnya sudah di-press plus dua bungkus cengkeh.

Karena sudah jam sepuluh, tak lama setelah tembakau pesanan kami dibungkuskan kami pulang. Bagi Parakan, kecamatan kecil di Kabupaten Temanggung, larut memang lebih cepat datang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melinting Tembakau Temanggung di Linthing Thoenk appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melinting-tembakau-temanggung-di-linthing-thoenk/feed/ 0 13262