pariaman Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pariaman/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 23 Dec 2024 05:17:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pariaman Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pariaman/ 32 32 135956295 Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo https://telusuri.id/perjalanan-sehari-keliling-pulau-angso-duo/ https://telusuri.id/perjalanan-sehari-keliling-pulau-angso-duo/#respond Sat, 21 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44645 Hanya punya waktu sebentar di Pariaman? Singgahlah ke Pulau Angso Duo! Salah satu pulau yang terhampar di kawasan Pantai Gandoriah, Kelurahan Pasir, Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman, Sumatra Barat ini menawarkan wisata bahari dan sejarah...

The post Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo appeared first on TelusuRI.

]]>
Hanya punya waktu sebentar di Pariaman? Singgahlah ke Pulau Angso Duo! Salah satu pulau yang terhampar di kawasan Pantai Gandoriah, Kelurahan Pasir, Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman, Sumatra Barat ini menawarkan wisata bahari dan sejarah unik yang bisa dinikmati dalam sehari.

Usai menghadiri acara di Kota Padang, saya menemui Ratih di Stasiun Simpang Haru. Sahabat semasa kuliah di Solo ini mengajak saya liburan ke Pariaman, kota kelahirannya. Rencananya kami akan mengunjungi Pulau Angso Duo yang terkenal dengan panorama alamnya itu. 

Perjalanan dari Kota Padang menuju Pariaman menggunakan kereta membutuhkan waktu sekitar dua jam. Tiba di Stasiun Pariaman, kami berjalan kaki menuju arah Pantai Gandoriah. Di pantai terdapat perahu-perahu yang menjadi moda transportasi menuju Pulau Angso Duo. Jarak antara kedua tempat ini hanya sekitar dua kilometer saja, sehingga keberadaan Pulau Angso Duo terlihat jelas dari bibir pantai.  

Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
Perahu-perahu yang bersandar di Pantai Gandoriah, siap mengantar wisatawan ke Pulau Angso Duo/Laily Nihayati

Menyeberang ke Angso Duo

Harga sewa perahu per penumpang Rp50.000 pergi-pulang, sudah termasuk tiket masuk Pulau Angso Duo. Satu perahu muat untuk enam orang penumpang.

Setelah membayar tiket, kami dan penumpang lainnya bergegas naik perahu. Saat mesin perahu dinyalakan, semua penumpang sudah duduk di bangku dan siap berangkat menuju Pulau Angso Duo.

Perahu pun bergerak pelan meninggalkan dermaga pantai. Musik Minangkabau mulai mengalun, iramanya yang rancak membuat hati semakin semarak. Sepanjang perjalanan kami terhibur dengan keindahan pemandangan laut yang biru, diiringi perahu-perahu kecil yang berlalu-lalang. 

Tanpa terasa 20 menit telah berlalu, perahu kami akhirnya merapat ke pulau cantik berhias pohon-pohon nyiur. Penumpang sudah tidak sabar turun dari perahu demi melihat pasir putih dan jernihnya air di Pulau Angso Duo. 

Saya pun turun. Begitu menjejakkan kaki di air laut yang dangkal, tampak ikan-ikan kecil menari kian kemari seolah menyambut kedatangan kami. Ratih langsung menggandeng tangan saya dan mengajak berlari menuju jembatan yang menghubungkan ke pintu gerbang Pulau Angso Duo. 

Kami berfoto sejenak di bawah tulisan Angso Duo, sebelum melangkahkan kaki memasuki areal pulau. Ratih menginformasikan, pulau ini memiliki luas keseluruhan sekitar 5,13 hektare, dengan 1,25 hektar di antaranya berupa hamparan pasir putih yang lembut. Angso Duo juga sering dijuluki Pulau Harapan. Mitosnya, siapa pun yang berhasil mengelilingi pulau ini bakal terkabul harapannya. Saya semakin tidak sabar untuk segera menjelajahinya. 

  • Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
  • Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo

Jejak Ulama Syekh Katik Sangko di Pulau Angso Duo

Kami berjalan menelusuri jalan setapak. Di kanan dan kiri terdapat pohon-pohon yang meneduhi perjalanan. Sekitar 50 meter, langkah kami terhenti di depan makam yang panjangnya mencapai 4,5 meter. Saya bertanya-tanya dalam hati, berapakah tinggi orang yang dimakamkan di sini hingga makamnya begitu panjang? 

Petugas penjaga Pulau Angso Duo, Samsul Bahri, menjawab rasa penasaran saya. Dia bilang, makam panjang tersebut adalah tempat peristirahatan terakhir Syekh Katik Sangko dan istrinya. 

Samsul Bahri lalu menceritakan sosok Syekh Katik Sangko, yang merupakan kerabat sekaligus pengawal dari Syekh Burhanuddin Ulakan, seorang ulama legendaris asal Pariaman. Nama Syekh Burhanuddin dikenal sebagai penyebar tarekat Syattariyah yang sangat berpengaruh di daerah Minangkabau. Mengutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Syekh Burhanuddin lahir pada 1646 dengan nama Pono. Ibunya bernama Nili, bersuku Guci, sedangkan ayahnya bernama Pampak dari suku Koto. Ia lahir di wilayah Pariangan, dekat Kota Padang Panjang, dan besar di wilayah Sintuk, Lubuk Alung, pesisir Sumatra Barat.

Masa kecil Pono belum banyak mengenal ajaran Islam, lantaran mayoritas masyarakat pesisir Sumatra Barat saat itu masih menganut agama Hindu dan Buddha. Ketertarikan Pono pada agama Islam bermula ketika ia diajak ayahnya berniaga dengan pedagang muslim Gujarat.

Ketika beranjak dewasa, Pono memutuskan untuk menjadi mualaf dan berniat mendalami agama Islam. Pedagang Gujarat tersebut menyarankan dia untuk merantau dan berguru  kepada Syekh Abdurrauf Singkil, seorang mufti berpengaruh di Kerajaan Aceh. 

Pono lantas mengajak Katik Sangko berlayar menuju Aceh dan bertemu dengan Syekh Abdurrauf Singkil. Di sanalah mereka diajarkan tentang Alquran,  hadis, bahasa Arab, tafsir,  fikih, tauhid, akhlak, dan tasawuf. Mereka juga mempelajari tarekat Syattariyah dari Syekh Abdurrauf Singkil. Ulama inilah yang kemudian memberikan gelar Syekh Burhanuddin pada Pono.

Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
Cungkup makam Syekh Katik Sangko/Laily Nihayati

Setelah 10 tahun menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin dan Katik Sangko memutuskan kembali ke Minangkabau untuk berdakwah, menyebarkan apa yang mereka pelajari selama di Aceh kepada masyarakat. Selain menjadi ulama, mereka juga turut berjuang melawan penjajahan Belanda (VOC). Syekh Burhanuddin dan Katik Sangko bahu-membahu membantu Kerajaan Pagaruyung yang terlibat konflik dengan Belanda. 

Semasa hidup mereka, Pulau Angso Duo kerap menjadi markas, tempat berteduh, dan bermusyawarah dalam menyebarkan ajaran Islam serta mengatur siasat menghadapi penjajah Belanda. Konon penamaan pulau ini juga terinspirasi dari kedua tokoh tersebut. Saat berdakwah, Syekh Katik Sangko dan Syekh Burhanuddin kerap mengenakan jubah putih panjang, yang apabila tertiup angin akan melambai serupa kepak angsa dari kejauhan. Gambaran dua angsa atau “angso duo” dalam bahasa Minang inilah yang dijadikan nama pulau. Jika Syekh Katik Sangko dimakamkan di Angso Duo, Syekh Burhanuddin yang meninggal pada 20 Juni 1704 (usia 58 tahun) dimakamkan di daerah Ulakan, dekat dengan surau miliknya.

Hingga kini, banyak orang dari berbagai kota yang datang untuk berziarah ke makam Syekh Katik Sangko sekaligus rekreasi. Terlebih, sejak tahun 2022, gubernur dan wakil gubernur Sumatra Barat menetapkan Pulau Angso Duo sebagai Daya Tarik Wisata Unggulan (DTWU). Penetapan ini menjadi bagian program dari pencanangan Visit Beautiful West Sumatra 2023, sehingga Pulau Angso Duo terus dikembangkan agar lebih menarik dengan fasilitas yang lebih lengkap. Contohnya, pembangunan penginapan.

Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
Surau yang dibangun untuk mengenang jasa ulama sekaligus panglima perang Katik Sangko/Laily Nihayati

Sumur Bertuah Berusia Ratusan Tahun

Tak jauh dari makam, terdapat surau yang didirikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pariaman untuk tempat beribadah bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Angso Duo. Kami pun menyempatkan salat Zuhur di surau Katik Sangko yang berbentuk rumah panggung itu.

Selepas salat, Ratih mengajak saya menengok sumur tua yang disebut-sebut bertuah oleh masyarakat setempat. Sumur yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda ini memiliki kedalaman sekitar dua meter. Demi keamanan dan keselamatan pengunjung, di sekeliling sumur diberi pagar.

Air dari sumur tua tersebut dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit. Meskipun belum ada penelitian mengenai kandungan air sumur dan kemanjuran khasiatnya, banyak peziarah yang penasaran mencobanya. Samsul Bahri menceritakan, pernah ada pengunjung dari Sumatra Utara yang mengambil air sumur untuk membantu pengobatan lumpuh dan rematik. 

“Apakah benar-benar mujarab, saya juga tidak tahu,” ungkapnya.

Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo
Sumur tua yang dipercaya bertuah oleh masyarakat/Laily Nihayati

Menikmati Keseruan Wisata Bahari

Kami meneruskan perjalanan menyigi sisi-sisi lain Pulau Angso Duo. Karena perut sudah keroncongan, saya dan Ratih memutuskan untuk mencari kedai. Ada banyak pilihan makanan. Kami memilih menu hidangan laut dan segelas kelapa muda yang menyegarkan. Usai urusan perut beres, kami mengabadikan momen liburan di studio foto alam yang menyediakan lokasi-lokasi menarik.

Hari pun beranjak senja. Sembari menunggu perahu menjemput, kami menjajal keseruan bermain banana boat dan jet-ski. Tidak hanya wahana itu saja yang bisa dinikmati. Beberapa wisatawan ada juga yang asyik snorkeling, berenang, berkeliling pulau, atau sekadar bermain ayunan di tepi pantai. Segala aktivitas bisa dilakukan selama jam operasional pulau, yaitu pada pukul 08.00 sampai dengan 17.00 WIB.

Tatkala mentari perlahan menuju peraduannya, kami bergegas pulang. Kembali ke Pariaman membawa kenangan berkesan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Sehari Keliling Pulau Angso Duo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-sehari-keliling-pulau-angso-duo/feed/ 0 44645
Yang Datang Selepas Hujan di Pantai Muaro Mangguang https://telusuri.id/yang-datang-selepas-hujan-di-pantai-muaro-mangguang/ https://telusuri.id/yang-datang-selepas-hujan-di-pantai-muaro-mangguang/#respond Wed, 18 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28832 Bunyi hempasan ombak sayup-sayup mulai menyerang telinga saya secara perlahan. Saya menghentikan sepeda motor di tepian dermaga sebelah kanan tepat menghadap ke laut. Dermaga ini terbagi dua dengan jalur masuk yang berbeda pula. Di antara...

The post Yang Datang Selepas Hujan di Pantai Muaro Mangguang appeared first on TelusuRI.

]]>
Bunyi hempasan ombak sayup-sayup mulai menyerang telinga saya secara perlahan. Saya menghentikan sepeda motor di tepian dermaga sebelah kanan tepat menghadap ke laut. Dermaga ini terbagi dua dengan jalur masuk yang berbeda pula. Di antara kedua dermaga, terbentang sebuah muara sungai yang menyatu dengan laut. Muaro Mangguang, begitulah warga sekitar menyebut kawasan ini. Jaraknya kurang lebih sekitar lima kilometer dari pusat Kota Pariaman, kota yang terletak di pesisir pantai Sumatera Barat. 

Sebagai daerah yang terletak di pinggir pantai, Pariaman sudah menjadi tujuan perdagangan dan rebutan bangsa asing yang melakukan pelayaran kapal laut beberapa abad silam. Tomé Pires, seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia dalam Suma Oriental (1513-1515) mencatat bahwa telah ada lalu lintas perdagangan antara India dengan Pariaman, Tiku dan Barus. Dua-tiga kapal Gujarat mengunjungi Pariaman setiap tahunnya membawa kain untuk penduduk asli di barter dengan emas, gaharu, kapur barus, lilin, dan madu. Pires juga menyebutkan bahwa Pariaman telah mengadakan perdagangan kuda yang dibawa dari Batak ke Tanah Sunda.

Dalam sebuah jurnal bertajuk Jejak Peradaban Masa Lalu di Kota Pariaman yang ditulis oleh Efrianto. A dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, menyebutkan bahwa ada beberapa pendapat mengenai asal – usul nama Pariaman. Berasal dari kata parik nan aman, maksudnya pelabuhan yang aman. Hal ini disebabkan setiap kapal yang singgah di pelabuhan untuk memuat hasil bumi berlabuh dengan aman. Sedangkan pendapat lain mengungkapkan Pariaman berasal dari kata peri yang aman, artinya orang yang baik, berbudi tinggi dan berbudi luhur, sehingga dikatakan Priaman.

Hamka menyatakan bahwa nama Pariaman berasal dari kata “bari aman,” yang berarti “tanah daratan yang amat sentosa.” Hal ini sesuai dengan literatur Belanda bahwa Pariaman sudah lama menjadi pelabuhan untuk menyalurkan emas dari pedalaman Minangkabau. Daerah dataran rendah Pariaman pernah menjadi daerah penghasil lada yang subur pada abad ke-15 sampai ke-17.  Dalam sebagian literatur Belanda, Pariaman ditulis “Priaman.”

Beberapa pengunjung bersantai menyaksikan gerombolan remaja berenang di pantai/Arif Rahman

Minggu sore menjelang petang cuaca sedikit bersahabat, tidak ada hujan yang turun. Padahal sudah hampir seminggu kota yang dijuluki Kota Tabuik  ini dilanda hujan lebat. Dari hari Senin sampai Sabtu, dari pagi bahkan sampai malam. Seakan – akan semesta membiarkan orang – orang untuk menikmati akhir pekan mereka. Memang, penghujung dan awal tahun merupakan musim penghujan. Saya duduk menghadap ke laut, membiarkan angin laut menampar muka. Melepas kejenuhan setelah dilanda hujan lebat nyaris seminggu penuh. 

Berabad – abad setelah silih bergantinya kapal – kapal perdagangan dunia yang berlabuh di pantai Pariaman, kini kawasan pantai tersebut beralih fungsi menjadi tempat rekreasi dan wisata. Pada tepian dermaga, beberapa orang duduk bersantai, bercerita, dan tertawa. Di bagian ujungnya, tampak beberapa orang memancing ikan ke laut. Ketika ombak sedang bagus, airnya menghempas tinggi ke atas dermaga. Sesekali orang – orang yang sedang memancing itu berlari menghindar cipratan ombak. Kawasan ini sering juga dikunjungi anak-anak remaja sekitar untuk bermain selancar. Ombaknya lebih besar dibanding pantai lain di Kota Pariaman.

Talao mangguang dengan sepeda gantung di atasnya/Arif Rahman

Pantai ini cukup sepi jika dibandingkan dengan Pantai Gandoriah, Pantai Cermin, dan Pantai Kata yang menjadi andalan pemerintah kota dalam mendatangkan wisatawan. Di bagian kiri dan kanan dermaga Pantai Muaro Mangguang, pohon – pohon pinus berbaris rapi menjulang ke langit. Ada sebuah penangkaran penyu sekitar dua ratus meter ke sebelah kiri. Terdapat juga beberapa warung – warung kecil diantara pohon – pohon pinus mulai dari dermaga hingga penangkaran penyu. Dan sebuah hutan mangrove terbentang bersebelahan dengan penangkaran tersebut. 

Tidak hanya itu, di sebelah kanan dermaga terdapat juga sebuah talao atau telaga kecil yang hanya berjarak kurang seratus meter dari bibir pantai. Saya penasaran dan memutuskan untuk melangkahkan kaki ke sana. Airnya tenang dihinggapi tumbuhan rawa pada tepiannya. Di atasnya, ada dua buah sepeda yang menggantung pada tali yang membentang ke tengah talao. Sepeda gantung ini dikhususkan untuk wisatawan yang ingin berswafoto di atas talao, namun terlihat seperti tak terurus. Untuk menuju kesana, dari dermaga saya berjalan kaki kurang dari dua ratus meter melewati barisan pohon-pohon pinus.Saya coba mengingat kembali rupa kawasan ini lima tahun sebelumnya.

Terakhir datang, tepian pantai belum ditumbuhi pohon apapun, hanya hamparan pasir yang membentang. Dermaga muara pun tidak sepanjang sekarang yang lebih mendekat ke tengah laut. Belum ada juga talao, hanyalah berupa rawa dan semak belukar. Meski kawasan ini bukanlah termasuk pantai primadona seperti pantai – pantai yang berada di pusat kota, harus diakui Kota Pariaman cukup gila – gilaan dalam membangun kawasan pantainya.

Pariaman begitu gencar dalam mengembangkan pariwisata pantai. Dalam sebuah reportase yang dimuat pada laman gatra.com dua tahun lalu, Pemerintah Kota Pariaman akan mengembangkan kawasan pariwisata terpadu dengan konsep Waterfront City yang mengintegrasikan berbagai spot menarik di sepanjang bibir pantai. Pengembangan sarana dan prasarana konsep terpadu tersebut mendapatkan kucuran dana dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebesar 8,3 miliar rupiah. 

Tumpukan sampah akibat pasang naik air lautJalan menuju talao mangguang dari dermaga

Ini tentu merupakan angin segar dalam upaya pengembangan pariwisata pantai. Namun, upaya tersebut tidak berbanding lurus dengan dampak kebersihan pantainya. Banyaknya sampah-sampah berserakan di sekitaran pantai seakan – akan sudah menjadi hal yang biasa. Semua orang yang berkunjung ke pantai seperti berteman akrab dengan sampah yang berserakan. Anehnya, banyak sampah – sampah yang seharusnya tidak berada di pantai saya jumpai di sini. Seperti tutup termos, cangkir plastik, bungkus pembalut, bola lampu, hingga boneka anjing. 

Faktor musim penghujan seperti saat ini mengakibatkan intensitas sampah di pantai meningkat. Ketika pasang air laut naik, sampah – sampah yang beredar di laut dan muara terkumpul di tepi pantai. Hal ini juga disebabkan oleh minimnya tempat pembuangan sampah yang disediakan. Hingga matahari perlahan terbenam di ujung cakrawala pun, saya tidak menemukan barang satupun tempat sampah yang disediakan di sekitar pantai ini. Yang ada hanya beberapa tumpukan – tumpukan sampah di setiap sudutnya.

Feri Musliadi pada laman covesia.com menuliskan, “Dengan jumlah penduduk sekitar 86.618 ribu jiwa, setiap harinya Kota Pariaman menghasilkan sampah sekitar 25 ton. Sedangkan untuk luas lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampahnya masih belum memadai.” Minimnya tempat pembuangan sampah di pantai dan pola perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan mengakibatkan kita ikut menyumbang sampah yang terbuang ke laut. 

Menurut UN Environment Programme, 6,4 juta ton sampah berakhir di laut setiap tahunnya, dengan sebagian besar tujuh puluh persen jatuh ke dalam laut. Sekitar lima belas persen tetap bersirkulasi pada arus laut, sementara sisanya berkumpul di pantai. Berdasarkan sebaran titik kumpul sampah laut di dunia, diketahui hampir di seluruh negara di dunia yang berbatasan dengan laut berkontribusi terhadap pencemaran sampah laut terutama sampah plastik. Dan berdasarkan hasil penelitian Jambeck yang berjudul Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean, Indonesia menduduki peringkat kedua dunia setelah China sebagai penyumbang sampah yang terbuang ke laut dengan 187,2 juta ton sampah. 

Sungguh sangat disayangkan, ketika pesisir pantai yang dulunya menjadi pembuka jalan masuknya interaksi perdagangan dunia, menjadi penyumbang banyaknya sampah yang terbuang ke laut di saat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat seperti sekarang. Kembali ke Pantai Muaro Mangguang. Matahari kian redup, perlahan cahaya jingga membias di langit. Suara adzan mulai berkumandang. Saya bergegas kembali ke dermaga melewati pohon – pohon pinus setelah melepas rasa penasaran melihat talao. Di tengah – tengah pohon pinus, segerombolan muda – mudi dengan bentangan hammock dan genjrengan gitar terlihat sangat menikmati suasana tenggelamnya mentari. Tiba – tiba sebuah pertanyaan terlintas di benak saya, “Apakah dulu ketika aktivitas perdagangan kapal – kapal asing ke Pariaman banyak menyisakan sampah yang berserakan di sekitar pantai?”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Yang Datang Selepas Hujan di Pantai Muaro Mangguang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yang-datang-selepas-hujan-di-pantai-muaro-mangguang/feed/ 0 28832