pariwisata Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pariwisata/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 14 Nov 2024 09:06:33 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pariwisata Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pariwisata/ 32 32 135956295 Menyoal Kesiapan Sektor Pariwisata Indonesia Menghadapi Ancaman Megathrust https://telusuri.id/menyoal-kesiapan-sektor-pariwisata-indonesia-menghadapi-ancaman-megathrust/ https://telusuri.id/menyoal-kesiapan-sektor-pariwisata-indonesia-menghadapi-ancaman-megathrust/#respond Thu, 14 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43042 Isu soal gempa megathrust mencuat dan sempat menjadi perbincangan publik beberapa waktu lalu, menyusul pernyataan pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). BMKG menyebut adanya potensi gempa megathrust terjadi di Indonesia dan hanya tinggal menunggu...

The post Menyoal Kesiapan Sektor Pariwisata Indonesia Menghadapi Ancaman Megathrust appeared first on TelusuRI.

]]>
Isu soal gempa megathrust mencuat dan sempat menjadi perbincangan publik beberapa waktu lalu, menyusul pernyataan pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). BMKG menyebut adanya potensi gempa megathrust terjadi di Indonesia dan hanya tinggal menunggu waktu.

Hal tersebut dikemukakan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, ketika menyinggung kekhawatiran ilmuwan Indonesia soal seismic gap megathrust Selat Sunda dan megathrust Mentawai-Siberut. 

“Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata ‘tinggal menunggu waktu’ karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” ujar Daryono dalam keterangan resminya, Minggu (11/8/2024), sebagaimana dilaporkan laman Kompas.com.

Seismic gap adalah wilayah di sepanjang batas lempeng aktif yang tidak mengalami gempa besar atau gempa selama lebih dari 30 tahun. BMKG memperkirakan, megathrust Selat Sunda bisa memicu gempa dahsyat dengan kekuatan maksimal magnitudo 8,7 dan megathrust Mentawai-Siberut dengan kekuatan magnitudo 8,9.

Seperti diketahui, megathrust pada dasarnya adalah gempa bumi berukuran sangat besar yang terjadi di zona subduksi, di mana salah satu lempeng tektonik Bumi terdorong ke bawah lempeng tektonik lainnya. Kedua lempeng tersebut saling bersentuhan dan bergerak maju satu sama lain, sehingga menyebabkan penumpukan regangan melebihi gesekan antara dua lempeng sehingga menyebabkan gempa yang sangat besar.

Menyoal Kesiapan Sektor Pariwisata Indonesia Menghadapi Ancaman Megathrust
Wisatawan menjajal kapal motor milik nelayan di Palabuhan Ratu. Sektor wisata pesisir berpotensi terkena dampak megathrust/Djoko Subinarto

Daerah Rawan Gempa Megathrust di Indonesia

Sumber gempa megathrust ini biasanya terletak di bawah laut. Oleh karena itu, sangat  sulit untuk melakukan pengamatan secara rinci berdasarkan pengukuran seismik, geologi, maupun geodetik. Pelepasan energi yang sangat dahsyat selama gempa bumi megathrust—dan berpotensi menghasilkan tsunami yang dahsyat akibat pergerakan vertikal dasar laut yang besar yang terjadi ketika gempa berlangsung—dapat menimbulkan konsekuensi bencana bagi wilayah di sekitarnya. Termasuk potensi kerusakan yang sangat besar dari peristiwa seismik ini.

Gempa megathrust sangat berbahaya karena berpotensi menyebabkan kerusakan secara masif dan luas. Selain itu, gempa megathrust juga memiliki dampak jangka panjang. Pemulihan bisa memakan waktu bertahun-tahun, memengaruhi ekonomi, lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat.

Zona megathrust Indonesia sendiri berada di daerah subduksi aktif, seperti subduksi Sunda. Adapun wilayah subduksi Sunda meliputi Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba. Selain itu, terdapat daerah subduksi aktif lainnya, yaitu subduksi Banda, subduksi lempeng Laut Maluku, subduksi Sulawesi, subduksi lempeng Laut Filipina, serta subduksi Utara Papua. 

Daerah subduksi aktif di Indonesia dibagi menjadi beberapa segmentasi sumber gempa zona megathrust, yang mencakup segmen-segmen Aceh-Andaman, Nias-Simeulue, Kepulauan Batu, Mentawai-Siberut, Mentawai–Pagai, Enggano, Selat Sunda-Banten, Selatan Jawa Barat, Selatan Jawa Tengah, Selatan Jawa Timur, Selatan Bali, Selatan NTB, Selatan NTT, Laut Banda Selatan, Laut Banda Utara, Utara Sulawesi, dan Subduksi Lempeng Laut Filipina.

Berdasarkan kajian BMKG, potensi gempa megathrust diperkirakan mulai dari magnitudo 7,4 hingga magnitudo 9,2. Dengan potensi gempa sebesar itu, sudah bisa dibayangkan dampak kerusakan yang akan bisa ditimbulkan oleh gempa megathrust berikut berbagai implikasinya terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat.

Ada lima kawasan potensial terdampak gempa megathrust dan berisiko tinggi di Indonesia: (1) Sumatra, terutama di sepanjang garis lempeng megathrust yang berada di pesisir barat, seperti Padang dan Banda Aceh; (2) Jawa selatan, termasuk Yogyakarta dan Cilacap, yang berada dekat batas lempeng; (3) Bali, yang meskipun tidak langsung berada di jalur megathrust, tetap berisiko karena kedekatannya dengan zona subduksi; (4) Nusa Tenggara, terutama Sumbawa dan Flores yang juga terpengaruh oleh aktivitas seismik; dan (4) Maluku-Papua, yang memiliki potensi gempa cukup tinggi karena kompleksitas geologi.

Gempa Aceh pada 2021 lalu adalah salah satu contoh terbaru. Gempa yang memiliki magnitudo 6,2 ini terjadi di daerah yang dekat dengan jalur subduksi. Meskipun tidak sebesar gempa yang terjadi pada tahun 2004 dan mengakibatkan tsunami, kejadian ini tetap menunjukkan potensi risiko yang ada di wilayah tersebut.

Menyoal Kesiapan Sektor Pariwisata Indonesia Menghadapi Ancaman Megathrust
Gempa Aceh 2004 via VOA/Associated Press

Kesiapan Industri Pariwisata

Dengan kenyataan bahwa sebagian wilayah negara kita berada di zona megathrust, antisipasi dan strategi perlu benar-benar dipersiapkan. Semua sektor, termasuk industri pariwisata dan perjalanan, perlu mengantisipasi dan memiliki sejumlah strategi menghadapi potensi gempa megathrust. Dalam hal ini, industri pariwisata dan perjalanan setidaknya perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, protokol dan kesiapsiagaan. Bisnis pariwisata, termasuk sektor perhotelan, resor, dan layanan transportasi, harus mulai mengembangkan protokol kesiapsiagaan bencana secara menyeluruh, termasuk menyiapkan jalur evakuasi, akses logistik darurat, serta pelatihan bencana secara reguler untuk para stafnya.

Kedua, saluran komunikasi. Menyiapkan sistem komunikasi yang andal untuk memberi informasi kepada para wisatawan ihwal prosedur keselamatan dan update kondisi terkini secara real time jika sewaktu-waktu terjadi bencana.

Ketiga, infrastruktur tahan gempa. Berinvestasi dalam pembangunan gedung tahan gempa, terutama di zona berisiko tinggi, adalah langkah krusial. Hotel, bandara, dan infrastruktur utama lainnya harus dibangun atau direnovasi agar benar-benar tahan terhadap peristiwa seismik.

Keempat, penilaian risiko. Melakukan inspeksi dan evaluasi rutin terhadap infrastruktur yang ada untuk menilai kerentanan terhadap gempa, serta mengidentifikasi titik-titik evakuasi wajib dilakukan.

Kelima, asuransi dan mitigasi risiko. Penyedia jasa pariwisata dan perjalanan harus proaktif menawarkan opsi asuransi kepada wisatawan, dengan cakupan komprehensif untuk gangguan yang disebabkan oleh peristiwa seismik.

Keenam, rencana kontingensi. Operator tur dan agen perjalanan perlu pula mulai menyiapkan rencana kontingensi terkait pembatalan perjalanan, pengalihan rute, dan evakuasi darurat dalam hal terjadinya bencana.

Ketujuh, pertimbangan lingkungan dan geografis. Karena gempa megathrust dapat memicu tsunami, setiap destinasi pariwisata, terutama di kawasan pesisir, perlu mengembangkan sistem peringatan tsunami dan jalur evakuasi yang jelas.

Kedelapan, kolaborasi industri dan lembaga pemerintah. Para operator pariwisata perlu melakukan kerja sama dengan lembaga pemerintah, badan penanggulangan bencana, dan masyarakat lokal untuk memastikan upaya koordinasi dalam kesiapsiagaan dan respons bencana.

Menyoal Kesiapan Sektor Pariwisata Indonesia Menghadapi Ancaman Megathrust
Pembangunan kembali merupakan bagian penting dari proses pemulihan pascabencana/Djoko Subinarto

Kesembilan, rekonstruksi dan dukungan ekonomi. Setelah bencana gempa megathrust, sudah barang tentu perlu upaya-upaya pemulihan, sektor industri pariwisata dan perjalanan mesti siap dan mampu mengambil peran dalam revitalisasi ekonomi lokal lewat upaya rekonstruksi dan pemulihan pascabencana.

Kesepuluh, manajemen krisis. Sektor industri pariwisata dan perjalanan perlu pula memiliki strategi manajemen krisis yang andal untuk bangkit dan membangun industri untuk kembali menarik kembali wisatawan pascabencana.

Dengan mengambil langkah-langkah yang memang diperlukan, diharapkan sektor industri pariwisata dan perjalanan di negara kita bukan hanya tetap mampu tumbuh dan berkembang, melainkan juga siap dalam menghadapi potensi gempa megathrust.


Referensi:

Bilek, S.L. & Lay, T. (2018, 16 Juli). Subduction Zone Megathrust Earthquakes. GeoScienceWorld, https://pubs.geoscienceworld.org/gsa/geosphere/article/14/4/1468/541663/Subduction-zone-megathrust-earthquakes. Diakses pada 24 September 2024, pukul 19.13 WIB.
Channel News Asia. (2024, 23 Agustus). Just A Matter of Time’ Megathrust Earthquake Hits Indonesia, as Government Agency Urges Mitigation Efforts. https://www.channelnewsasia.com/asia/indonesia-megathrust-earthquake-mentawai-matter-time-japan-nankai-kyushu-4563476. Diakses pada 24 September 2024, pukul 19.16 WIB.
Ina, M.A. (2024, 15 Agustus). Apa Itu Gempa Megathrust?. RRI.co.id, https://www.rri.co.id/lain-lain/905458/apa-itu-gempa-megathrust. Diakses pada 24 September 2024, pukul 19.20 WIB.
Kenzu & Zulfikar, M. (2024, 5 September). Indonesia’s BNPB Urges Preparedness Against Megathrust Earthquakes. Antara News, https://en.antaranews.com/news/324859/indonesias-bnpb-urges-preparedness-against-megathrust-earthquakes. Diakses pada 24 September 2024, pukul 19.40 WIB.
Sanjaya, Y.C.A. (2024, 12 Agustus). BMKG Sebut Gempa Megathrust Indonesia Tinggal Menunggu Waktu, Bisa Capai M 8,9. Kompas.com, https://www.kompas.com/tren/read/2024/08/12/194500565/bmkg-sebut-gempa-megathrust-indonesia-tinggal-menunggu-waktu-bisa-capai-m-8?page=all#google_vignette. Diakses pada 24 September 2024, pukul 19.34 WIB..
Setyaningrum, P. (2024, 14 Agustus). 16 Lokasi Zona Megathrust di Indonesia, Kenali Potensi dan Sejarah Kegempaannya. Kompas.com, https://regional.kompas.com/read/2024/08/14/223209978/16-lokasi-zona-megathrust-di-indonesia-kenali-potensi-dan-sejarah?page=all. Diakses pada 24 September 2024, pukul 19.37 WIB.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyoal Kesiapan Sektor Pariwisata Indonesia Menghadapi Ancaman Megathrust appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyoal-kesiapan-sektor-pariwisata-indonesia-menghadapi-ancaman-megathrust/feed/ 0 43042
Yang Bahaya dari Eksploitasi Pariwisata di atas Kawasan Karst Gunungkidul https://telusuri.id/yang-bahaya-dari-eksploitasi-pariwisata-di-atas-kawasan-karst-gunungkidul/ https://telusuri.id/yang-bahaya-dari-eksploitasi-pariwisata-di-atas-kawasan-karst-gunungkidul/#respond Wed, 27 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41494 Akhir tahun lalu viral pemberitaan rencana Raffi Ahmad membangun bisnis vila, resor, dan beach club seluas 10 hektare (ha) dengan nama Bekizart Beach Club di atas kawasan karst Pantai Krakal, Gunungkidul, Yogyakarta. Pemerintah Kabupaten (Pemkab)...

The post Yang Bahaya dari Eksploitasi Pariwisata di atas Kawasan Karst Gunungkidul appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir tahun lalu viral pemberitaan rencana Raffi Ahmad membangun bisnis vila, resor, dan beach club seluas 10 hektare (ha) dengan nama Bekizart Beach Club di atas kawasan karst Pantai Krakal, Gunungkidul, Yogyakarta. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul, selaku pemangku wilayah, tampak menyambut gembira rencana investasi tersebut. Sebagaimana diberitakan Jawa Pos Radar Jogja (16/12/2023), Bupati Gunungkidul Sunaryanta hadir langsung dalam acara peletakan batu pertama proyek bersama pemilik RANS Entertainment itu.

Tentu saja sebagai seorang selebriti dan pemengaruh dengan puluhan juta pengikut di media sosial, langkah Raffi Ahmad menjadi sorotan banyak pihak. Pro kontra pun naik ke permukaan linimasa perbincangan warganet. Pihak pro—termasuk pemkab—beranggapan keberadaan bisnis perhotelan akan melengkapi daya tarik wisata pesisir selatan Gunungkidul, serta meningkatkan perekonomian daerah. Di pihak sebaliknya, begitu keras menolak karena dikhawatirkan berdampak pada keberlanjutan ekosistem karst Gunung Sewu, terutama wilayah Gunungkidul.

Langkah bisnis industri pariwisata di atas kawasan karst Gunungkidul bukan kali pertama terjadi. Beberapa tahun sebelumnya telah berlangsung pembangunan serupa di kawasan lindung untuk mata air dan pertanian tersebut. Sebut saja Drini Park, Stone Valley by HeHa, dan HeHa Ocean View, destinasi wisata kekinian yang juga membelah gunung karst. Terbaru, rencana 300 vila milik Raffi Ahmad. Sebagaimana dikutip dari Betahita.id (20/01/2024), WALHI Yogyakarta mengkritik penyalahgunaan tata ruang atas pembangunan tersebut.

Tangkapan layar akun Instagram Raffi Ahmad menampilkan rencana pembangunan vila dan beach club miliknya di area karst Pantai Krakal, Gunungkidul

Gunung Sewu: kawasan karst yang indah sekaligus rapuh

Mundur beberapa waktu ke belakang, Pemkab Gunungkidul pernah melakukan langkah—yang menurut saya blunder—dan menghebohkan kalangan aktivis hingga pemerhati lingkungan hidup. Dalam keterangan siaran pers WALHI Yogyakarta (01/11/2022), pada November kala itu pemkab mengajukan surat permohonan peninjauan ulang delineasi Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu, khususnya wilayah Kabupaten Gunungkidul, kepada Menteri ESDM melalui Kepala Badan Geologi.

Dalam permohonan itu, pemkab berencana mengurangi 51,19% luasan KBAK, dari yang semula 75.835,45 ha—Keputusan Menteri ESDM RI Nomor 3045 K/40/Men/2014 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu—menjadi hanya 37.018,06 ha. Tujuannya agar pemkab memiliki keleluasaan untuk membangun infrastruktur, serta pengembangan pariwisata dan industri lainnya atas nama peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Sulit untuk tidak curiga sekaligus kesal pada langkah ngawur pemkab. Gunungkidul dianugerahi kawasan karst yang memiliki manfaat besar, tetapi seperti terlalu ngoyo untuk dikeruk demi kepentingan investasi—saya coba memperhalus frasa “disia-siakan”. Banyak pihak meminta Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X menolak keras usulan Pemkab Gunungkidul tersebut.

Penetapan kawasan karst Gunung Sewu (mencakup wilayah Kabupaten Pacitan, Wonogiri, dan Gunungkidul) sebagai Global Geoparks Network (GGN) oleh UNESCO pada 2015, karena keindahan warisan bumi serta fungsi krusialnya untuk alam dan masyarakat, tampaknya ditafsirkan ke jalan yang keliru. Status prestisius itu bisa saja sewaktu-waktu terancam dicabut, seperti dialami kaldera purba Danau Toba karena terjadinya penurunan kualitas alam dan pengelolaannya (Antara News, 09/10/2023). 

  • Yang Bahaya dari Eksploitasi Pariwisata di atas Kawasan Karst Gunungkidul
  • Yang Bahaya dari Eksploitasi Pariwisata di atas Kawasan Karst Gunungkidul
  • Yang Bahaya dari Eksploitasi Pariwisata di atas Kawasan Karst Gunungkidul

Setyawan dkk (2015) menyebut Gunung Sewu merupakan salah satu kawasan karst paling lengkap di Indonesia, baik dalam aspek geologi, ekologi, ekonomi, dan budaya. Gunung Sewu tidak hanya menjadi tempat hunian masyarakat, tetapi juga rumah bagi keanekaragaman hayati yang hidup di dalamnya. Salah satunya adalah kelompok Selaginella, tumbuhan herba sejenis paku-pakuan yang membutuhkan air sebagai media untuk fertilisasi. Sementara kita tahu bahwa ciri khas gunung karst adalah kawasan yang rentan mengalami kekeringan jika kantung-kantung penyimpanan air hilang.

Sari Bahagiarti Kusumayudha, pakar bidang hidrogeologi karst, menguatkan fakta tersebut. Seperti dikutip Harian Jogja (25/11/2022), ia mengungkap ancaman bencana yang bisa muncul jika luasan KBAK di Gunungkidul dikurangi. Salah satunya adalah kekeringan yang sangat identik dengan Bumi Handayani, sedangkan karst perlu dilestarikan untuk menjaga ketersediaan air.

Perusakan gunung karst akan berdampak multisektor, seperti geologi, geomorfologi, hidrogeologi, arkeologi, pertanian, perkebunan, peternakan, ekonomi, dan sosial-budaya. Lebih lanjut rektor UPN Veteran Yogyakarta periode 2014—2018 itu menyebutkan bahwa kerugian yang timbul akan ditanggung hingga anak cucu. Ikon Gunungkidul seketika lenyap hanya untuk kenikmatan ekonomi sesaat, sementara butuh waktu jutaan tahun agar terbentuk gugusan karst seperti sekarang ini.

Deretan kebijakan “membangkang” kaidah peraturan yang berlaku membuktikan tidak sinkronnya kebijakan antarlembaga pemerintahan di tingkat daerah maupun pusat. Tak ada kepastian hukum yang mengikat dan benar-benar terimplementasikan dengan baik. Benturan kepentingan bisa saja terjadi demi membuka lebar pintu investasi, yang sejatinya tidak ramah lingkungan bahkan tak berperikemanusiaan. Hal ini menunjukkan betapa pemangku kewenangan tampak malas untuk berpikir jernih, apalagi bekerja lebih keras demi meningkatkan kapasitas daerahnya tanpa harus merusak alam.

Yang Bahaya dari Eksploitasi Pariwisata di atas Kawasan Karst Gunungkidul
Wisatawan menikmati Pantai Krakal, Gunungkidul/Azhari Setiawan via Wonderful Images Kemenpar

Mendesak tata kelola pariwisata berkelanjutan

Saya tak yakin jika Raffi Ahmad—dan juga investor lainnya—maupun pemerintah benar-benar berpikir betapa sangat genting dan pentingnya nasib gugusan karst Gunungkidul. Padahal tak kurang-kurang pelbagai riset menyampaikan manfaat dan potensi karst yang dikelola dengan baik, sekaligus membeberkan bahaya-bahaya yang timbul jika tekanan pada karst tak terkendali.

Namun, semua kajian ilmiah itu seakan mental. Tak mempan membendung nafsu bisnis, yang lagi-lagi dilakukan atas nama peningkatan perekonomian; yang tidak semua lapisan masyarakat bisa menikmati. Tekanan-tekanan yang dihadapi bahkan tidak hanya tata kelola industri pariwisata yang serampangan, tetapi juga kegiatan penambangan batuan gamping yang mengancam fungsi karst untuk alam dan masyarakat Gunungkidul.

Pariwisata memang menjadi sektor andalan perekonomian daerah, bahkan nasional. Terlebih Gunungkidul, bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah lama dikenal dunia. Pariwisata memiliki potensi besar untuk mengangkat taraf kehidupan dan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, semua itu tidak akan ada artinya jika alam maupun lingkungan—tempat destinasi itu terbangun—kian “lelah” dikeruk terus-menerus demi kepentingan ekonomi.

Di Gunungkidul, sejatinya pantai-pantai yang terbentang alami telah menjadi primadona tersendiri. Belum lagi liang-liang gua, aliran sungai, hingga kawasan hutan yang bisa diandalkan menjadi sumber perekonomian daerah, selama dikelola dengan baik dan berkelanjutan.

Jejak gunung api purba (kiri) dan bentang karst dengan tutupan lahan pertanian maupun hutan masyarakat di Nglanggeran, Gunungkidul (kanan). Nglanggeran termasuk berhasil mengelola sumber daya karst dan sektor pertanian-peternakan dengan kemasan desa wisata berbasis masyarakat dan ramah lingkungan/Rifqy Faiza Rahman

Apalah artinya miliaran rupiah dibanding bayang-bayang marabahaya karena alam yang terus diusik? Yakinlah, tidak akan sepadan. 

Pemkab Gunungkidul punya kekuasaan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan. Akan tetapi, kenyataannya tak sesederhana itu. Tata kelola daya tarik wisata yang dimiliki tampak kurang terarah.

Padahal menurut Rudy dan Mayasari (2019), kunci pengembangan pariwisata yang tepat terletak pada pengelolaan terintegrasi, mulai dari perencanaan, kebijaksanaan penyelenggaraan, dan pemanfaatan sumber daya alam—secara berkelanjutan. Pariwisata mestinya dikelola dengan prinsip yang menekankan pada nilai-nilai kelestarian lingkungan alam komunitas, serta terjadi manfaat nilai-nilai sosial secara dua arah, yaitu untuk wisatawan dan masyarakat lokal.

Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan sudah mengatur dan menegaskan itu, bahwa seyogianya pariwisata justru memberikan perlindungan pada nilai-nilai budaya masyarakat dan kelestarian mutu lingkungan hidup. Walau pada faktanya, memang yang terjadi di lapangan acap bertolak belakang dari seharusnya. Dan ini bukan hanya berlaku untuk pemerintah Gunungkidul saja, tetapi juga lembaga pemerintahan lainnya; tak peduli di tingkat kabupaten/kota, provinsi, bahkan pusat.

Sudah banyak orang-orang baik yang telah meluangkan waktunya dan memberi “piweling” alias nasihat atau peringatan—lewat penelitian, kritik, surat terbuka maupun seruan keras—kepada pemerintah, Raffi Ahmad, hingga investor-investor lainnya. Saya berharap suara-suara itu didengar dengan saksama di sepasang telinga mereka, sebelum alam memberikan peringatan lebih keras dan menyakitkan.


Referensi

Antara News. (2023, 9 Oktober). Pemprov berjuang keras cabut status kartu kuning Geopark Kaldera Toba. Diakses pada 25 Maret 2024, dari https://www.antaranews.com/berita/3764520/pemprov-berjuang-keras-cabut-status-kartu-kuning-geopark-kaldera-toba.
Betahita.id. (2024, 20 Januari). Tiga Resor di Gunungkidul Diduga Langgar Kawasan Karst. Diakses pada 25 Maret 2024, dari https://betahita.id/news/detail/9776/tiga-resor-di-gunung-kidul-diduga-langgar-kawasan-karst.html?v=1705684145.
Budiyanto, Eko. (2018). Remote Sensing and Geographic Information System for Assess the Gunungsewu Karst Groundwater Vulnerability and Risk to Pollution in Gunungkidul District. [Doctoral Thesis Summary]. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Harian Jogja. (2022, 25 November). Pakar Hidrogeologi: Kalau Karst Dipangkas, Kekeringan di Gunungkidul Bakal Makin Parah. Diakses pada 18 Januari, dari https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2022/11/25/512/1118719/pakar-hidrogeologi-kalau-karst-dipangkas-kekeringan-di-gunungkidul-bakal-makin-parah.
Rudy, D. G., & Mayasari, I. D. A. D. (2019). Prinsip-Prinsip Kepariwisataan dan Hak Prioritas Masyarakat dalam Pengelolaan Pariwisata berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa. 13 (2). Pp 73—84. https://doi.org/10.22225/kw.13.1.2019.1-5.
Setyawan, A. D., Sugiyarto, Susilowati, A., dan Widodo. (2015). Diversity of Selaginella in the karstic region of Sewu Mountains, Southern Java. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, Surakarta, 28 Oktober 2023. Volume 1, Nomor 6, September 2015, hal. 1318-1323. https://doi.org/10.13057/psnmbi/m010610.
WALHI Yogyakarta. (2022, 25 November). Press Release: Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia Menolak Rencana Pengurangan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu oleh Pemerintah Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses pada 18 Januari 2024, dari https://walhi-jogja.or.id/index.php/2022/11/25/press-release-koalisi-masyarakat-pemerhati-karst-indonesia-menolak-rencana-pengurangan-kawasan-bentang-alam-karst-gunung-sewu-oleh-pemerintah-kabupaten-gunungkiduldaerah-istimewa-yogyakarta/.
Yuwono, J. S. E. (2013). Karakter Geoarkeologis dan Proses Budaya Prasejarah Zona Poros Ponjong—Rongkop di Blok Tengah Gunungsewu. [Tesis]. Program Studi Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Foto sampul:
Restoran privat Horizon Terrace di area Heha Stone Valley, yang berdiri di atas kawasan KBAK Gunungkidul/Pancurajipost.com


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Yang Bahaya dari Eksploitasi Pariwisata di atas Kawasan Karst Gunungkidul appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yang-bahaya-dari-eksploitasi-pariwisata-di-atas-kawasan-karst-gunungkidul/feed/ 0 41494
Melawat ke Candi Kidal, Melihat Garuda dan Naga https://telusuri.id/melawat-ke-candi-kidal-melihat-garuda-dan-naga/ https://telusuri.id/melawat-ke-candi-kidal-melihat-garuda-dan-naga/#comments Sat, 14 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36868 Sejarah adalah kisah yang menarik untuk ditelisik. Sisa-sisa masa lalu tertulis atau terukir sebagai simbol-simbol. Alam membimbing intuisi manusia menciptakan kisah dan figur filosofis yang kini membatu, menanti seseorang yang tak dikenalnya menggali makna-makna luhur...

The post Melawat ke Candi Kidal, Melihat Garuda dan Naga appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejarah adalah kisah yang menarik untuk ditelisik. Sisa-sisa masa lalu tertulis atau terukir sebagai simbol-simbol. Alam membimbing intuisi manusia menciptakan kisah dan figur filosofis yang kini membatu, menanti seseorang yang tak dikenalnya menggali makna-makna luhur di dalamnya, menyingkap ajaran moral di baliknya.

Minggu pagi itu jalanan Kota Malang cukup lengang. Entah karena hawa dingin di luar atau orang-orang hanya sedang malas keluar. Motor kami melaju kencang ke arah timur, melibas jalanan Kota Malang yang basah usai hujan semalam.

Saat kami memasuki Kecamatan Tumpang, hawa makin sejuk. Kami tak begitu heran karena dua gunung agung, Bromo dan Semeru mengapitnya. Namun, tujuan kami bukanlah kedua gunung tersebut, melainkan sebuah candi yang terletak di pelosok desa, yaitu Candi Kidal.

Matahari belum begitu naik, jalan masih sepi, hanya rombongan pesepeda yang berlalu-lalang. Tak sulit menemukan Candi Kidal. Letaknya di pinggir jalan dengan penunjuk arah yang cukup jelas. Saat kami tiba di sana pagi itu, pagar depannya masih terkunci, beruntung sekali pintu kecil di sampingnya terbuka. 

Kami melangkah memasuki halaman candi. Di depan kami, Candi Kidal tegak menjulang, hamparan rumput yang masih basah oleh embun mengelilinginya.

Candi Kidal
Penampakan Candi Kidal dari dekat/Asief Abdi

Bagaimanapun, bangunan ini pernah menjadi tempat sangat penting pada masanya. Saya menyentuh kepala naga yang menjaga pintu candi, merasakan tekstur batunya yang purba. Teman saya yang tengah berkuliah di jurusan antropologi, terpukau melihat kala—relief wajah raksasa menakutkan, penjaga pintu candi dari roh-roh jahat—yang menyeringai di hadapannya. Barangkali, yang dilihatnya pagi itu tidak pernah ia baca di buku kuliahnya. Diiringi kicau burung yang bersahutan, kami terdiam sejenak memperhatikan bangunan suci ini, mengagumi setiap detail sudutnya.

Beberapa saat kemudian, Bu Siti Romlah—juru pelihara candi menghampiri kami. Seraya menyapu halaman rumput, perempuan bersahaja itu menyapa kami yang khusyuk memperhatikan relief. Walhasil, saya pun meminta Bu Siti untuk menyuguhi kami kisah seputar candi. Setelah menyerahkan sapu lidi yang sejak tadi dipegangnya kepada seorang anak, ia berjalan mendekati candi dan menceritakan kisah Garudeya yang terpatri di panel-panel relief bangunan suci ini. Ia pun mulai bercerita. “Semuanya bermula dari Samudramantana, pengadukan lautan oleh para dewa,” tuturnya membuka cerita.

Kisah Garudeya, Permusuhan Abadi Garuda dan Naga

Dikisahkan, dahulu kala hiduplah dua orang perempuan yang diperistri seorang laki-laki, Rsi Kasyapa. Seorang bernama Kadru, dan seorang lagi bernama Winata. Keduanya tidak kunjung memiliki keturunan, hingga suatu saat mereka mendapatkan telur dari seorang dewa. Sesuai pesan sang dewata, kedua perempuan itu merawat telur-telur  itu dengan sungguh-sungguh, hingga tiba waktunya bagi telur-telur itu menetas. Telur-telur milik Kadru menetaskan para ular, sedangkan satu telur milik Winata menetaskan manusia setengah burung. Para ular tidak lain adalah Naga—dalam bahasa Sansekerta naga berarti ular—dan manusia setengah burung adalah Garuda.

Kisah bermula ketika Kadru dan Winata bertaruh saat para dewa sedang mengaduk lautan untuk menemukan tirta amerta, air keabadian. Dari dalam lautan, keluarlah berbagai benda dan makhluk, salah satunya adalah kuda Ucchaishravas. “Ayo tebak, apa warna ekor kuda Ucchaishravas?” kata Kadru. “Putih,” Winata menjawab. Mereka bertaruh, yang menang akan memperbudak yang kalah. Maka keluarlah hewan yang menjadi kunci kisah selanjutnya itu.

Ternyata, warna ekor sang kuda adalah putih. Winata benar. Namun, dengan liciknya, Kadru menyuruh ular-ular anaknya untuk menyemburkan bisanya ke arah kuda itu. Ekor kuda yang semula putih itu berubah menjadi hitam. Terkecoh dengan kecurangan Kadru, Winata pun kalah. Dari sinilah perbudakan Kadru terhadap madunya, Winata, dimulai.

Siang dan malam Winata dan Garuda harus mengurus para ular lantaran kalah taruhan. Jengah menjadi budak Kadru, Garuda akhirnya mengambil langkah. “Dengan apa aku harus menebus kebebasan kami?” tanya Garuda. Mereka menjawab, ”Bawakan kami tirta amerta dan kalian akan bebas.”

Tirta amerta adalah air kehidupan, menjadikan siapa saja yang meminumnya mendapat keabadian, seperti dewata. Demi membebaskan ibunya, Garuda harus merebut air suci itu dari para dewa. Mau tidak mau, Garuda pun harus terbang ke kahyangan, dan itu artinya ia harus berhadapan dengan para dewata.

  • Kepala naga
  • garudeya

Dengan gagah berani, Garuda datang ke kahyangan, nekat melawan Indra demi mendapatkan air kehidupan. Dalam versi lain, dikisahkan pula Wisnu membantunya dengan syarat sang burung mau menjadi kendaraan (vahana) sang dewa. Singkat cerita, Garuda berhasil mendapatkan tirta amerta dari para dewa. Girang bukan kepalang, dalam sebuah bokor (kamandalu), air itu dibawanya kepada para Naga untuk ditukar dengan kebebasan ibunya.

Garuda mendatangi saudara-saudara tirinya, memberikan apa yang mereka minta. Namun, Garuda dengan cerdik mengikatkan ilalang di kamandalu. Begitulah ular-ular itu berebut menjilati bokor berisi air ajaib itu. Tajamnya ilalang membuat lidah mereka terbelah. Konon, sejak saat itu lidah ular bercabang dua. Begitulah akhirnya Garuda membebaskan ibunya, Winata, dari perbudakan.

Sambil menuturkan kisah yang dikutip dari Adiparwa, salah satu episode dalam Mahabarata itu, sang juru pelihara membawa kami keliling candi, sebab kisah tersebut terangkum dalam tiga panel relief di badan candi. Kami bertiga mengitari candi dengan cara prasawya, atau mengirikan candi, memutarinya berlawanan dengan arah jarum jam, layaknya jamaah haji mengelilingi Ka’bah. Konon, karena reliefnya dibaca dari arah kiri, maka candi ini diberi nama Kidal. Namun, barangkali penamaannya hanya mengikuti nama desanya, Rejokidal. 

Panel relief pertama berukirkan Garuda dengan tiga Naga di atas kepalanya, menyiratkan perbudakan Naga terhadap Garuda. Panel relief kedua—menurut saya yang paling bagus—menunjukkan Garuda membawa bokor berisi tirta amerta. Di panel ketiga, Garuda menjunjung sang ibunda, Winata, usai bebas dari perbudakan. 

Fase-fase dalam kisah Garudeya tersebut sangat cocok dengan perjuangan bangsa Indonesia melawan kaum penjajah, begitu mulia, filosofis, dan sarat patriotisme, sehingga mengilhami para perancang lambang negara Indonesia pada masa awal kemerdekaan.

Garuda sebagai Simbol 

Pembebasan ibu Garuda dari perbudakan adalah metafora kemerdekaan Indonesia, lepasnya ibu pertiwi (berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu  prithvi, yang berarti ‘bumi’) dari cengkeraman kolonialisme Eropa. Konon, perancang simbol nasional pernah melawat ke tempat ini untuk mencari inspirasi. Meskipun demikian, nyatanya garuda tak selalu identik dengan kemerdekaan pascapenjajahan. Thailand yang tak pernah dijajah nyatanya juga menggunakan garuda sebagai lambang negara. Garuda adalah simbol keagungan.

Rancangan awal garuda sebagai simbol negara tidak seperti yang biasa kita lihat kini, yang terpampang di depan kelas atau di kantor pemerintahan. Garuda versi Sultan Hamid II sangat bernuansa Hindu, antropomorfisme, dengan lengan memegang perisai di dadanya. Lambang tersebut kemudian mengalami perubahan hingga jadilah garuda yang sepenuhnya zoomorfis, berjambul mirip elang jawa.

Dalam mitologi Hindu, Garuda memang digambarkan separuh manusia, separuh burung. Tubuhnya emas, wajahnya putih, paruhnya elang, dan sayapnya berwarna merah. Bahkan saat terbang, makhluk ini bisa menghalangi matahari, menutupi bumi dengan bentangan sayapnya. Penggambaran Garuda yang demikian adiluhung membuatnya mendapatkan beberapa julukan antara lain Khagesvara—raja burung, Suparna—yang memiliki bulu indah, Suvarnakaya—yang bertubuh emas, dan Nagantaka—pemakan ular.  

Permusuhan abadi antara Garuda dan Naga dapat dimaknai sebagai simbolisasi dua unsur yang berlawanan. Garuda merupakan simbol dunia atas, kelahiran, sedangkan Naga merepresentasikan dunia bawah, kematian. Akan tetapi, tampaknya tidak sesederhana itu. Pertempuran keduanya bukan sekadar kebaikan melawan kejahatan. Meskipun Naga adalah musuh Garuda dan menjadi tokoh antagonis dalam kisah ini, Naga nyatanya disembah juga oleh beberapa komunitas. Naga diyakini merupakan leluhur orang-orang Kamboja dan pelindung sang Buddha. Di India Selatan, Naga juga disembah sebagai simbol kesuburan. Para perempuan memohon padanya untuk diberi keturunan.

Namun, nyatanya tak hanya Garuda yang bergulat dengan Naga atau ular. Bendera Meksiko juga menampilkan elang yang memangsa ular. Kita perlu ingat bahwa secara alami elang adalah musuh ular. Bahkan beberapa jenis elang secara spesifik menjadikan ular sebagai makanan sekaligus namanya, seperti elang–ular bido dan elang–ular jari pendek. Penulis kisah Garudeya pastinya tahu soal itu, atau boleh jadi pernah melihatnya secara langsung. Alam memberinya ilham untuk diramu menjadi sebuah kisah epik nan filosofis yang maknanya abadi, menyebar dari satu tempat ke tempat lain, dari India, Kamboja, Thailand, hingga Tibet.

Garudeya sebagai Media Ruwat

Layaknya Kidung Sudamala, kisah Garudeya juga diinterpretasikan bernuansa ruwat, pembebasan dari kutukan. Dalam versi berbeda, dikisahkan Winata tidak sabar menunggu telur miliknya pecah. Ia pun memecah telur itu secara paksa sehingga lahirlah Aruna, kakak Garuda. Karena lahir sebelum waktunya, Aruna tidak sempurna. Sang anak marah sebab sang ibu membuatnya lahir prematur. Aruna pun mengutuk ibunya menjadi budak Kadru. 

Menurut Pararaton, Candi Kidal adalah pendarmaan raja kedua Tumapel (Singasari) yaitu Anusapati yang wafat pada tahun 1248 (1170 Saka). Ada yang berpendapat bahwa kisah Garudeya dipahatkan di candi ini guna meruwat, menyucikan  jiwa sang raja dari dosa karena telah membunuh Ken Arok, ayah tirinya. Pendapat lain mengatakan bahwa kisah Garudeya ditatahkan sebagai penghormatan untuk Anusapati yang telah membebaskan sang ibu, Ken Dedes, dari Ken Arok. Perlu diingat kembali bahwa Ken Arok merebut Ken Dedes dari suaminya, Tunggul Ametung. Anusapati yang saat itu berada di dalam rahim sang ibu, seolah ingat ketika ayahnya dibunuh Ken Arok menggunakan keris Mpu Gandring.

Kami duduk di halaman candi. Saya terdiam mengamati sisa kebudayaan masa lampau dengan segala pesan luhur di dalamnya, yakni perjuangan, kebebasan, dan bakti kepada bunda.  Langit mulai mendung, sepertinya akan segera turun hujan. Tak sadar, teman saya sudah berada di sudut halaman, berpamitan dengan sang juru pelihara, berterima kasih kepadanya untuk semua cerita hari ini.


Rujukan:
Cartwright, Mark. 2015.Garuda.worldhistory.org
Cbsjatim. 2022. Garudeya.cagarbudayajatim.net
Putri, Risa Herdahita. 2019. Garuda Sebelum Jadi Lambang Negara. Historia.id
Raditya, Iswara N. 2021. Sejarah Hidup Ken Dedes: Ratu Kerajaan Singasari Istri Ken Arok. Tirto.id
Sedyawati,  Edi, dkk. 2013. Candi Indonesia Seri Jawa. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melawat ke Candi Kidal, Melihat Garuda dan Naga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melawat-ke-candi-kidal-melihat-garuda-dan-naga/feed/ 2 36868
Rifqy Faiza Rahman: Meniti Hidup dalam Ekowisata https://telusuri.id/rifqy-faiza-rahman-meniti-hidup-dalam-ekowisata/ https://telusuri.id/rifqy-faiza-rahman-meniti-hidup-dalam-ekowisata/#respond Thu, 12 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36854 Namanya Rifqy Faiza Rahman, seorang penulis dan pegiat pariwisata. 13 tahun yang lalu, dirinya mungkin tidak akan menyangka memilih jalan ini sebagai titian hidup. Pariwisata dan perjalanan adalah ruh yang menghidupkannya untuk terus belajar dan...

The post Rifqy Faiza Rahman: Meniti Hidup dalam Ekowisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Namanya Rifqy Faiza Rahman, seorang penulis dan pegiat pariwisata. 13 tahun yang lalu, dirinya mungkin tidak akan menyangka memilih jalan ini sebagai titian hidup. Pariwisata dan perjalanan adalah ruh yang menghidupkannya untuk terus belajar dan berkelana. Dengan label “Papan Pelangi”, ia terus menulis di berbagai media, dan mendalami ekowisata sebagai jati dirinya di dunia pariwisata.

Saat usia tiga tahun, ia harus ikut bapaknya ke Sidoarjo—karena suatu alasan—hingga lulus SMA. Bakat jalan-jalannya sudah terendus semenjak kecil, kala ia harus ikut mudik ke Pacitan setiap lebaran maupun libur panjang. Jarak tempuh yang berkisar 275 kilometer inilah yang jadi cikal bakal dirinya menggemari perjalanan. 

Saat berkuliah, ia memilih jurusan Agribisnis di Universitas Brawijaya. Selama berkuliah, kegemarannya jalan-jalan semakin tersalurkan kala ia menyukai aktivitas naik gunung dan bertemu teman-teman yang hobi touring, budaya, hingga masalah sosial. Meskipun ia bukan seorang anak mapala, kecakapannya soal mountaineering ia dapat dari teman-teman perjalanannya, yang secara rutin menjelajah gunung-gunung yang ada di Jawa. Naik gunung adalah obat dari suntuknya rutinitas kaum urban, begitu pula Rifqy semasa kuliah. Secara khusus, Rifqy tipikal orang yang kurang menyukai destinasi populer. Sesekali, iya. Tapi dia lebih menyukai untuk tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu tertentu dan menggali cerita.

semeru
Kala mendaki Semeru di tahun 2012/Rifqy Faiza Rahman

Kota Malang, tempat ia menuntut ilmu selama beberapa tahun, menjadi tempat yang tepat baginya untuk berkembang. Dari kota yang selama ini terkenal dengan destinasi wisata populer—orang menyambanginya untuk sekedar berlibur atau menghabiskan akhir pekan—kemudian tercetuslah ide bisnis pariwisata.

“Anak-anak mahasiswa bisa nih nyari duit sambilan dari pariwisata,” pikirnya saat itu. Dengan pengalaman naik gunung dan tekad untuk mendapatkan uang tambahan, ia berhasil menjalankan usaha pertamanya. Di tahun itu, 2015, segala sesuatu sudah tampak lebih terang baginya, meskipun pariwisata yang ia kenal masih sebatas pariwisata umum. 

Kemampuan berkelananya kemudian juga disokong dengan kemampuan menulis, yang ia tekuni semenjak SMA melalui blogging. Menulis, tidak hanya bisa menyampaikan gagasan mengenai alam pikirannya yang sudah berkelindan dengan budaya yang plural, tetapi juga menjadi penyokongnya untuk mendapatkan pengalaman menulis yang lebih paripurna, plus apresiasi berupa uang. 

Ia mengasah kemampuan menulisnya dengan banyak mengirimkan tulisan di berbagai media seperti majalah penerbangan, koran-koran, dan media daring. Kalau soal tulisan perjalanan, Rifqy memfavoritkan tulisan-tulisan di National Geographic, terutama tulisan dari Pico Iyer dan Mark Jenkins; yang menurutnya tidak hanya sekedar membagikan tips-tips perjalanan, tetapi lebih personal; menyajikan cerita dari sudut pandang yang semestinya.

Kenapa “Papan Pelangi”? Pemilihan nama pena ini sebenarnya dari kebingungan dia. Mau menggunakan nama sendiri rasanya kurang menjual. Terbesitlah pemikiran filosofis di kepalanya. Dia mengandaikan Indonesia sebagai rumah—dengan kata lain papan—tempat beraktivitas, tempat hidup, dan tempat hingga akhir hayat. Sedangkan pelangi adalah perlambangan kemajemukan negara Indonesia—di luar konteks LGBT pada masa sekarang.

Perubahan Memandang Pariwisata

Apa yang menjadi perubahan terbesar dalam memandang pariwisata? Rifqy bercerita saat di NTT, tepat sebelum wisuda, dia mendapatkan “pencerahan” dalam pengetahuan pariwisata. Menurutnya, pariwisata di Indonesia, kebijakan-kebijakannya masih mengarah ke mass tourism. Perkembangan media sosial yang drastis, cukup untuk melabeli kawasan wisata sebagai “viral”, “populer”, atau “trending”. Spot foto berbentuk hati dan atraksi wisata yang diada-ada adalah hal yang konyol. “Ini adalah sisi buruk dari pariwisata,” jelas Rifqy.

Rifqy sempat berkarir di salah satu instansi sebelum akhirnya pandemi menyergap, dan memberi dia waktu untuk belajar ekowisata. “Sejak lama sebenarnya aku sudah kenal dengan salah satu pakar ecotourism, namanya Pak Nurdin Razak. Beliau itu mantan dosen pariwisata Universitas Airlangga, Surabaya, yang sekarang mengelola penginapan berbasis lingkungan, Baluran Eco Lodge,” paparnya. Pak Nurdin Razak adalah salah satu pemain utama ecotourism di Jawa Timur dan sedikit di antara pelaku ecotourism di Indonesia. 

Rifqy kemudian menimba ilmu langsung dengan Pak Nurdin di Situbondo. Setelah beberapa kesempatan, Rifqy mulai yakin memilih ekowisata sebagai way of life in tourism. Akhirnya, mereka berkolaborasi dalam mengadakan paket ekowisata.

“Saya diizinkan untuk menjual paket beliau, tapi juga saya ingin punya signature sendiri, makanya pertengahan tahun ini (2022) saya pindah ke Magelang dan membangun paket ekowisata di sekitar Borobudur.”

“Sampai saat ini, hampir belum ada sih yang khusus main di ecotourism (di sekitar Borobudur),” tambahnya.

Dalam menjalankan usaha ekowisata, Rifqy berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis dan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat di sekitar destinasi pariwisata bukan hanya, objek tapi juga aktor yang perlu pendampingan dan pemberdayaan. Perannya sebagai penulis lantas memudahkannya untuk menyuarakan tentang pariwisata berkelanjutan. Ia sebisa mungkin ingin ikut aktif dalam menyuarakan pariwisata dengan model yang lebih ramah lingkungan. 

“Pariwisata ini udah hampir jenuh. Beberapa tempat kayak Bali, ada jurnal penelitian yang menulis bahwa Bali terancam menjadi the destination of yesterday,” tuturnya. Benar saja, Andrew Marshell dalam salah satu artikel di majalah Time terbitan April 2011, menyebut Bali adalah tempat berlibur yang serasa “neraka”, sebabnya: sampah yang sudah tidak dapat ditolerir, kemacetan yang semakin membludak, dan limbah industri yang mempengaruhi kualitas air dan tanah. Belum lagi video seorang warga asing yang sedang berselancar di laut yang dipenuhi sampah yang sempat viral. Akankah keindahan Bali hanya menjadi cerita bagi generasi mendatang?

Dalam manajemen trip, ia mengakui bahwa banyak belajar dari naik gunung. Naik gunung, menurutnya bukan hanya sekedar olahraga alam bebas. Medan yang relatif ekstrim membuat para peminatnya harus mematangkan segala sesuatu sebelum eksekusi. Untuk itu, manajemen yang baik diperlukan agar keberangkatan dan kepulangan berbuah keselamatan. Selain praktik manajemen, ia merasa naik gunung bisa lebih membuka pikiran dan menurunkan ego.

“Orang bilang kalau naik gunung itu kelihatan teman-teman kita sifat aslinya, itu dibutuhkan jiwa kepemimpinan dan keterbukaan hati, supaya dalam perjalanan berangkat dan pulangnya dengan selamat. Soal foto dan konten, itu bonus.”

Ketika saya bertanya kemungkinan jalan lain yang ia pilih selain berkecimpung menjadi seorang praktisi ekowisata, Rifqy tertawa renyah.

“Tertarik buat jadi dosen nggak?”

“Kalau saya menjadi dosen, entahlah. Saya aja sekolah S1 molor,” diiringi gelak tawa yang membahana, “tapi mungkin tetap akan mengambil S2, tapi dengan tujuan memperkuat praktik. Nggak harus jadi dosen, biar luwes.”

Rifqy mulai memanggil kembali ingatannya kala berkuliah. Di mata dosen-dosennya, Rifqy termasuk “bandel”. Waktu pengerjaan skripsi yang lama membuat para dosen bertanya-tanya, “mau lulus atau nggak sih?” Tapi ada beberapa dosen yang kemudian mengerti alasan keterlambatannya mengerjakan skripsi.

“Oh, mungkin si Rifqy ini passion-nya menulis, di pariwisata. Ada minat yang sangat besar di situ,” kenangnya menirukan ucapan dosen. Kemudian dosennya menyarankannya untuk segera lulus agar bisa lebih fokus mengerjakan apa yang ia gemari. Terbaru, Rifqy diundang para dosennya untuk menjadi konseptor pengabdian masyarakat yang mengarah ke ekowisata. 

bersama mentor
Bersama sang mentor, Nurdin Razak/Rifqy Faiz Rahman

“Yang bikin saya senang adalah dosen saya mengapresiasi saya, memberikan tempat pada saya bahwa ‘ini loh ada lulusan UB yang konsisten di jalurnya’. Mungkin dunia saya di sini.”

Tantangan yang dihadapi Rifqy dalam menjalani hidup di “jalan” ekowisata dan menulis adalah konsistensi. Seberapa kuat bisa memegang komitmen di awal, dan seberapa konsisten dalam pembuatan program. Tiap hari, ia harus terus mengasah kreativitas untuk selalu menemukan hal-hal baru untuk dieksplorasi. “Konsisten adalah yang benar-benar berat, aku rasa.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rifqy Faiza Rahman: Meniti Hidup dalam Ekowisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rifqy-faiza-rahman-meniti-hidup-dalam-ekowisata/feed/ 0 36854
‘Nge-teawalk’ ke Takokak https://telusuri.id/ngetiwok-ke-takokak/ https://telusuri.id/ngetiwok-ke-takokak/#respond Thu, 22 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36422 Di antara lengkungan bukit-bukit dan gunung-gunung yang mengepung sebagian wilayah Cianjur Selatan, Jawa Barat, hamparan-hamparan kebun teh turut pula melengkapi panorama, memberikan nuansa hijau alami yang menyejukkan mata dan boleh jadi  menentramkan hati. Hamparan-hamparan kebun...

The post ‘Nge-teawalk’ ke Takokak appeared first on TelusuRI.

]]>
Di antara lengkungan bukit-bukit dan gunung-gunung yang mengepung sebagian wilayah Cianjur Selatan, Jawa Barat, hamparan-hamparan kebun teh turut pula melengkapi panorama, memberikan nuansa hijau alami yang menyejukkan mata dan boleh jadi  menentramkan hati. Hamparan-hamparan kebun teh itu bisa kamu temukan, misalnya, di kawasan Takokak dan Sukanagara. Keduanya adalah kecamatan yang berada di sisi selatan Kabupaten Cianjur.

Kalau kalian suka mbolang menikmati panorama alam pegunungan, dan juga suka teawalk, baik sendirian atau pun bareng kawan-kawan se-gank, boleh coba sekali-kali mblusuk ke Takokak atau Sukanagara. Dari pusat Kota Cianjur ke Takokak berjarak sekitar 54 kilometer.  Adapun jarak ke Sukanagara dari pusat Kota Cianjur adalah 48 kilometer.

kebun teh
Hamparan Teh di Takokak/Djoko Subinarto

Selain dari pusat Kota Cianjur, Takokak dan Sukanagara dapat diakses dari wilayah Sukabumi. Kawasan Takokak beririsan langsung dengan kawasan Nyalindung, Sukabumi. Dari Nyalindung menuju Takokak sekitar 10 kilometer. Sementara dari Takokak ke Sukanagara berjarak sekitar 29 kilometer. 

Kamis (3/11/2022) pagi lampau, saya mencoba menjajal rute Nyalindung-Takokak-Sukanagara. Untuk sampai Nyalindung, dari daerah Sukaraja, Sukabumi, saya terlebih dahulu harus menuju daerah Baros. Dari kawasan Baros inilah, jalan menuju Nyalindung terbentang.

Salah satu yang ikonik dan menjadi penanda penting kawasan Baros yaitu Jembatan Leuwi Lisung—sering juga disebut Jembatan Jubleg. Jembatan ini membentang di atas Sungai  Cimandiri. Sebagian angkot yang melayani trayek Jubleg-Nyalindung kerap ngetem menunggu penumpang di atas jembatan ini.

Jembatan Leuwilisung
Jembatan Leuwilisung/Djoko Subinarto

Dari Jembatan Leuwilisung ke arah Nyalindung, jalan cenderung menanjak tipis dan bekelak-kelok. Posisi jalan berada di punggung perbukitan. Secara umum, kondisi jalan relatif lengang. Cuma, permukaan jalannya tak seluruhnya mulus. Di beberapa titik, permukaan jalan didominasi batu dan tanah. Di pagi hari, saat jam masuk sekolah, tak jarang kita dapat menyaksikan sejumlah anak berjalan bareng-bareng menuju sekolah mereka.

Untuk mencapai Takokak dari arah Nyalindung, patokannya adalah Indomaret Nyalindung. Setelah Indomaret ini, ada jalan ke arah kiri. Di mulut jalan, terdapat plang penunjuk arah. Lurus: Sagaranten. Belok kiri: Takokak dan Sukanagara.

Maka, kita ambil jalan ke kiri jika tujuannya adalah perkebunan teh di Takokak dan Sukanagara.

Perbatasan Takokak-Nyalindung
Perbatasan Takokak-Nyalindung/Djoko Subinarto

Memasuki jalan yang menuju Takokak-Sukanagara, jalan tampak lebih sunyi jika dibandingkan dengan jalan Raya Baros-Nyalindung. Kanan-kiri penuh oleh lanskap hijau. Ada belukar, padang rumput, kebun, sawah, hutan, juga sejumlah permukiman penduduk, yang tak terlalu padat. Tak ada angkot di jalur ini. Satu-dua motor yang ditumpangi warga melaju kencang. Terkadang terlihat juga truk atau mobil bak terbuka.

Setelah beberapa kilometer merayapi jalan, akhirnya saya sampai di perbatasan Takokak-Nyalindung. Ada sebuah tugu sederhana yang menjadi batas wilayah. Di kanan depan saya, tampak sebagian perkebunan teh. Luas wilayah Kecamatan Takokak  adalah 14.216,47 hektare. Berada di ketinggian rata-rata 1.167 meter di atas permukaan laut. Dengan demikian, cukup ideal bagi budidaya tanaman teh.

Saya beristirahat sebentar tak jauh dari kebun teh, sembari memastikan posisi saya lewat fasilitas Google Maps. Dari fasilitas Google Maps pula saya ketahui  di depan saya, setelah Kantor Kecamatan Takokak, terdapat Danau Cigunung. Dan setelah Danau Cigunung, jika saya meneruskan perjalanan, saya akan sampai ke Perkebunan Teh Ciwangi, Sukanagara. 

Lantaran penasaran, dan melihat cuaca cerah, saya putuskan meneruskan perjalanan. 

Mendekati Kantor Kecamatan Takokak, denyut kehidupan tampak lebih terasa. Suasana lebih ramai. Ada sekolah, toko-toko, sejumlah instansi di kanan-kiri jalan yang saya lewati. Setelah melewati pusat Kecamatan Takokak, suasana kembali relatif sunyi. Sampai akhirnya saya tiba di depan Danau Cigunung. Lokasi danau ini berada di kiri jalan, jika datang dari arah Kecamatan Takokak. Luasnya lima hektare dan dikelilingi hutan pinus. Di seberang Danau Cigunung berjejer beberapa warung, yang pengunjung dapat mampir di danau untuk sekadar beristirahat sembari ngopi atau ngemil.

  • Danau Cigunung
  • Plang Perkebunan Ciwangi

Saya sempat ambil gambar Danau Cigunung beberapa kali, sebelum meneruskan perjalanan. Hutan kecil, kebun, rumah-rumah penduduk kembali saya lewati, hingga setelah sebuah mushala, saya mendapati sebuah plang agak kusam. Tertulis di plang itu: PT Lamteh. Perkebunan Ciwangi Cianjur. Gelondongan-gelondongan kayu teronggok di pinggir jalan kebun teh. Entah siapa empunya. Suasana hening.  Tidak ada aktivitas apa pun. 

Mereka yang suka keheningan atau mereka yang kepingin sedikit menjauh dari kebisingan maupun hiruk pikuk kota sembari memanjakan mata dengan menikmati lanskap hijau hamparan pohon teh, saya pikir kawasan kebun teh Ciwangi cocok untuk dijadikan pilihan. Setelah bergerak beberapa puluh meter memasuki perkebunan teh, saya berhenti sembari menjeprat-jepret kamera ponsel untuk ber-selfie dan mengambil gambar panorama sekitar.

Dari tengah-tengah kebun teh, saya arahkan pandangan ke sisi timur laut, menatap lapisan perbukitan nun jauh di depan saya. Perkiraan saya, di balik bukit-bukit itulah, pusat Kecamatan Sukanagara berada.

Kembali ke Google Maps, saya ketahui dari tempat saya berdiri menuju Kecamatan Sukanagara masih sekitar 20 kilometeran. Saya lihat langit di sisi timur, selatan, dan barat, yang semula cerah, terlihat mulai mendung. Saya khawatir terjebak hujan. dan memutuskan bergegas kembali ke Sukaraja, Sukabumi.

Di tengah perjalanan, beberapa kali saya mendengar nyaring suara halilintar. Saya berharap hujan tidak segera turun. Tapi, toh harapan tinggal harapan. Langit justru semakin gelap. Sekitar  17 kilometer sebelum Pasar Sukaraja, Sukabumi, hujan deras turun tak terbendung.

Saya buru-buru menepi untuk berteduh di sebuah emperan warung yang tutup. Dalam hati, saya mengucap syukur karena beruntung hujan deras itu tidak turun selagi saya tengah berada di kebun teh atau di tengah-tengah hutan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post ‘Nge-teawalk’ ke Takokak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngetiwok-ke-takokak/feed/ 0 36422
Singgah di Rumah Tenun Kampung Sabu https://telusuri.id/singgah-di-rumah-tenun-kampung-sabu/ https://telusuri.id/singgah-di-rumah-tenun-kampung-sabu/#respond Fri, 09 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36443 Tengah hari yang panas, secara tiba-tiba Hersa mengajak saya ke Rumah Tenun Kampung Sabu, tempat kegiatan Modul Nusantara kelompok mereka hari ini. “Mari su Ka Os, dekat sini sa,” ajaknya yang segera saya setujui.  Kami...

The post Singgah di Rumah Tenun Kampung Sabu appeared first on TelusuRI.

]]>
Tengah hari yang panas, secara tiba-tiba Hersa mengajak saya ke Rumah Tenun Kampung Sabu, tempat kegiatan Modul Nusantara kelompok mereka hari ini. “Mari su Ka Os, dekat sini sa,” ajaknya yang segera saya setujui. 

Kami lalu melaju dengan sepeda motor miliknya mendahului rombongan mahasiswa Modul kelompok mereka. Hersa sendiri adalah adik tingkat saya di kampus, yang juga merupakan salah satu LO Modul Nusantara Undana, kelompoknya Ibu Rossi. 

“Dekat sini sa” yang dibilang Hersa rupanya tidak dekat-dekat amat dari Rusunawa Undana. Melewati jalur Kayu Putih, kami berbelok lagi di Oepoi, lalu menyusuri Terminal Oebufu, hingga ke daerah Oepura. 

Tiba di Oepura, saya mendapati gerbang masuk Rumah Tenun Kampung Sabu. Perkiraan saya rumah tenun itu sudah benar-benar dekat. Nyatanya kami masih harus melaju kembali melewati gang-gang kecil sebelum akhirnya tiba di sana.

Beberapa menit kemudian, rombongan mahasiswa bersama Ibu Rossi akhirnya tiba. Tak menunggu lama, kegiatan Modul Nusantara pun dimulai. Dengan arahan Ibu Rossi, teman-teman mahasiswa Modul Nusantara berkesempatan mendengarkan penjelasan secara langsung dari para penenun di Rumah Tenun Kampung Sabu. Beragam informasi pun dijelaskan oleh para narasumber: mulai dari sejarah rumah tenun, teknik dasar menenun, peralatan tenun yang dipakai, motif-motif tenun, koleksi tenunan, dan beragam informasi lainnya. 

penjelasan materi tenun
Ibu Rossi menjelaskan materi/Oswald Kosfraedi

Seusai penyampaian materi, teman-teman mahasiswa bersama Ibu Rossi dan Hersa berkesempatan mengambil foto dengan mengenakan beberapa kain tenun yang tersedia di rumah tenun hari itu. Saya yang dimintai bantuan untuk memotret lantas memotret mereka yang tampak elok dengan balutan kain tenun yang mereka kenakan. 

Tak ingin melewatkan kesempatan menggali informasi dari para penenun, saya lalu mendekati beberapa penenun di sana. Mereka adalah Ibu Henderina atau akrab disapa Ma Rika (ketua kelompok tenun Mira Kaddi), Ibu Slapacelak atau sering disapa Nabua, Bapak Tobias, dan Om Lodi. 

Rumah Tenun Kampung Sabu dan Cerita di Dalamnya

Dikisahkan Ma Rika, para penenun di Rumah Tenun Kampung Sabu telah menenun sejak kecil. Menenun dalam masyarakat Sabu (terutama Sabu Mehara) merupakan tradisi yang diwariskan dari nenek moyang mereka hingga saat ini. “Katong mulai menenunnya dari nenek moyang. Jadi turun temurun sampai di katong anak cucu begitu,” ungkap Ma Rika. 

Para penenun di sana pun sebenarnya berasal dari satu daerah asal yang sama, tepatnya dari Kecamatan Hawu Mehara. Pada kisaran tahun 1990-an mereka berpindah ke Kupang dan mulai menekuni aktivitas menenun sebagai profesi mereka. Awalnya mereka masih menenun di rumah masing-masing. Barulah pada tahun 2014, mereka—tergabung dalam satu kelompok yaitu kelompok Mira Kaddi (artinya membangun bersama)—yang berada di bawah binaan Bank Indonesia dan Pemerintah Kota Kupang.

Ma Rika sendiri telah menenun sejak usia belasan tahun di daerah asalnya di Pulau Sabu. Setelah berpindah ke Kupang, Ma Rika kemudian terus melanjutkan pekerjaannya sebagai penenun. Lambat laun, dari hasil penjualan hasil tenun miliknya, Ma Rika bisa membeli sebidang tanah yang saat ini menjadi tempat berdirinya Rumah Tenun Kampung Sabu.

  • Belajar Menenun
  • Menenun
  • Tahapan Menenun

Proses penenunan satu kain di rumah tenun ini biasanya memakan waktu 2-3 minggu dan menghasilkan 3-4 lembar kain tenun dalam sebulan. “Kalau dari awal sampai akhir dalam sebulan itu katong bisa dapat 3-4 lembar kain tenun,” jelas Ma Rika. Hal ini tentu tidak terlepas dari rumitnya proses menenun.  

Bersama kedua penenun lainnya, Ma Rika menjelaskan secara garis besar terkait beberapa tahapan menenun. Tahapan terdiri dari beberapa tahap, yakni warru wangngu (penggulungan benang), mane wangngu (menghani), tali wangngu (proses ikat membentuk motif) menggunakan tali rafia, proses pewarnaan dengan sistem celup (bahan sintetis/kimia dan warna alam, seperti daun nila, akar mengkudu, kunyit, dan lain-lain), penyusunan motif pada kain yang akan ditenun, keteri benang, pemberian hiasan dengan benang warna, pemasangan gun dalam penenunan, proses merapikan dan kunci motif (pemanno), hingga proses akhir penenunan yang biasanya berlangsung selama 5 hari. 

Meskipun saya tidak memahami secara baik tahapan-tahapan menenun yang mereka jelaskan, saya bersyukur paling tidak bahwa saya bisa mendapatkan informasi dari mereka perihal proses menenun yang panjang. 

Penenun di Rumah Tenun Kampung Sabu berjumlah 25 orang, termasuk Ma Rika, Nabua, dan Bapak Tobias. Sementara itu, terkait hasil tenunan, Rumah Tenun Kampung Sabu tidak terbatas pada kain tenun daerah Sabu saja, tetapi juga memproduksi kain tenun ikat dari berbagai daerah di NTT. Siang itu, Ma Rika sempat menunjukkan beberapa kain tenun Rote, Alor, dan beberapa daerah lainnya. Hasil tenunan mereka pun beragam dalam bentuk sarung, selendang, selimut, bahan baju, hingga jas. 

Ma Rika juga mengutarakan beberapa kesulitan yang mereka hadapi. Kondisi bangunan yang mulai rusak menjadi salah satu hal yang disampaikan Ma Rika, terutama kerusakan yang timbul pasca badai seroja beberapa waktu lalu. Selain kondisi bangunan, minimnya jumlah pengunjung dan pemesan tenun juga menjadi tantangan lain yang mereka hadapi. “Tamu tidak ada yang datang, katong pung hasil tenun tu tidak ada orang yang datang beli di sini. Jadi, katong pi jual di galeri-galeri saja,” ungkapnya. 

Setelah berbincang cukup lama dengan mereka bertiga, kami akhirnya pamit pulang. Saya sendiri merasa bersyukur bisa berkunjung ke sana dan mendapatkan cerita banyak dari para penenun. Hari Minggu yang tadinya berasa hambar dan hampir tak ada rencana apa pun akhirnya menjadi bermanfaat dengan kunjungan yang awalnya tidak pernah saya rencanakan. Meskipun tidak terlalu “dekat-dekat sa” seperti yang dikatakan Hersa, tapi saya bersyukur untuk kunjungan ke sana. 

Berkunjung Untuk Belajar

Sebagai bagian dari pelaksanaan Modul Nusantara yang memang ditujukan untuk memperkenalkan NTT dan beragam hal di dalamnya, kunjungan kelompok Ibu Rossi ke sana adalah satu hal yang luar biasa. Teman-teman Modul Nusantara bisa secara langsung menggali cerita dan mengenal salah satu kekhasan NTT, yakni kain tenun. 

Pemilihan lokasi dan topik dalam kegiatan ini pun sejak lama telah direncanakan oleh Ibu Rossi selaku dosen pembimbing kelompok ini. Pemilihan lokasi ini didasari oleh kenyataan bahwa penenun di rumah tenun ini merupakan salah satu kelompok penenun yang masih eksis menenun hingga saat ini kendati Kota Kupang sendiri perlahan berkembang dalam kehidupan yang semakin modern. 

Kelompok penenun Mira Kaddi senantiasa menjaga dan mempertahankan warisan nenek moyang, sehingga mereka dapat dikatakan sebagai salah satu representasi kebudayaan NTT. Kegiatan ini juga dimaksudkan untuk memperkenalkan para mahasiswa pada salah satu profesi yang banyak menghidupi orang-orang di NTT—selain bertani, berladang, dan berladang.  

“Harapannya mahasiswa Modul Nusantara mengenal kekhasan NTT, yakni menenun. Selain itu, mereka juga bisa melihat secara langsung proses menenun, mereka belajar mulai dari memisahkan benang, membentuk motif, dan sebagainya. Mereka memang diharapkan untuk melihat secara langsung bahwa untuk menghasilkan satu kain tenun itu ternyata memiliki beberapa proses yang panjang. Harapannya juga untuk menanamkan toleransi, untuk bisa mereka bisa menghargai  karya dari setiap daerah,” jelas Ibu Rossi yang juga merupakan dosen saya di Prodi Ilmu Komunikasi Undana. 

Mengenakan Tenunan NTT (1)
Para peserta mengenakan tenun NTT dan berfoto bersama/Oswald Kosfraedi

Sekembali dari Rumah Tenun Kampung Sabu pun saya berinisiatif menanyakan kesan teman-teman mahasiswa perihal kunjungan ke sana. Cahya, mahasiswa STMIK IKMI Cirebon menyampaikan kesan pribadinya. “Seru sih, Kak. Kan aku baru pertama kali ke rumah tenun gitu, aku juga nggak tau sebelumnya kalau ternyata emang prosesnya sangat amat membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Selama ini kan kita tuh kayak cuman tahu gambaran-gambaran dari buku doang. Tapi pas ke sana langsung jadi tahu, ternyata prosesnya nggak gampang. Apalagi pas nyoba, kelihatannya simple but it’s hard,” ungkapnya. 

Teman-teman mahasiswa Modul Nusantara yang lain pun mengungkapkan kesan yang sama. Bagi mereka, kunjungan ke sana adalah sebuah pengalaman yang luar biasa, ruang belajar yang baik, dan sekaligus tempat memperkaya pengetahuan tentang ragam kekayaan bangsa ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Singgah di Rumah Tenun Kampung Sabu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/singgah-di-rumah-tenun-kampung-sabu/feed/ 0 36443
Meneropong Tren Pariwisata 2023 https://telusuri.id/meneropong-tren-pariwisata-2023/ https://telusuri.id/meneropong-tren-pariwisata-2023/#respond Sat, 03 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36442 Semarak kegiatan pariwisata sudah mulai kembali bergelora di Indonesia. Setelah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) mulai dilonggarkan, tempat-tempat wisata yang sempat tutup sekian lama, kembali menerima pengunjung dan semakin ramai di kala hari libur. Di...

The post Meneropong Tren Pariwisata 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
Semarak kegiatan pariwisata sudah mulai kembali bergelora di Indonesia. Setelah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) mulai dilonggarkan, tempat-tempat wisata yang sempat tutup sekian lama, kembali menerima pengunjung dan semakin ramai di kala hari libur. Di 2022, pariwisata Indonesia mulai bergerak cepat dari tahun sebelumnya, BPS mencatat kenaikan yang fantastis pada periode Januari-April 2022 sebesar 1.730.043 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, naik sebesar 2028,65 persen dibanding tahun lalu dalam periode yang sama. Demikian juga dengan Tingkat Penghunian Kamar Hotel (TPK), baik berbintang maupun non bintang mengalami kenaikan masing-masing sebesar 47,38 persen dan 23,69 (year on year).

Gunung Api Purba Nglanggeran
Pemandangan dari salah satu kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (TEMPO/Suryo Wibowo)

Dalam keterangan pers yang dilansir dari Antara dalam The Weekly Brief with Sandi Uno, Sandiaga Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menargetkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2023 sebesar 3,5 juta-7,4 juta kunjungan, dua kali lipat dibanding target pada 2022. Meskipun resesi di depan matanya, dirinya akan menyiapkan rantai pasok dari sektor pariwisata dan ekonomi kreatif dan memperkuat UMKM. 

Banyak laporan yang menunjukkan bahwa inflasi yang tinggi di beberapa negara akan menyeret negara-negara lainnya jatuh dalam jurang resesi, termasuk Indonesia. Sektor pariwisata menjadi salah satu yang terancam, namun Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif masih meyakini Indonesia tidak akan masuk ke jurang resesi. Caranya adalah dengan menargetkan membuka lapangan pekerjaan hingga 4,4 juta di 2024, termasuk di dalamnya adalah UMKM dan ekonomi kreatif.

“Konon pada 2023 ekonomi gelap, namun kita sudah beberapa kali melewati krisis, kita harus kembali kepada ekonomi dalam negeri, ekonomi kita dan yang harus didorong adalah ekonomi kreatif yang sudah terbukti pertumbuhannya meski pada masa pandemi, lebih tinggi dari ekonomi nasional,” ungkap Sandi, yang dilansir dari CNBC. Dukungan langsung dari pemerintah ini penting, sebab optimistis menyongsong tahun penuh ketakutan ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.

Lalu, apa saja yang akan menjadi tren pariwisata pada tahun 2023?

Dilansir dari Booking.com, berdasarkan hasil survei mereka yang dilakukan di 32 negara bersama 24.179 orang, yang dilakukan secara daring untuk melihat apa saja creative reimagination of travel 2023. Ada beberapa hal yang bakal terjadi pada tren pariwisata 2023 seperti: preppers in paradise (liburan kembali ke keheningan), virtual voyagers (penjelajah wisata di metaverse), delight in discomfort zone (bepergian ke tempat yang benar-benar asing), glamorizing good the old days (perjalanan nostalgia), peace and pleasure pilgrimages (para penjelajah kedamaian), from daily grind to great company escape (berlibur sambil bekerja), saving to splurge (investasi untuk liburan). Dari daftar di atas, ada kecenderungan para wisatawan untuk memilih tempat yang anti mainstream yang mengusung konsep serenity, sustainability, spirituality.

ekowisata mangrove Bedul
Tempat yang sepi dan jauh dari gemerlap dunia turistik adalah kegemaran wisatawan zaman sekarang (TEMPO/Ika Ningtyas)

Senada dengan survei di atas, Hanif Andy, selaku co-founder Desa Wisata Institute, berpendapat bahwa pilihan destinasi pada 2023 akan mengerucut menjadi ekowisata; yang mengusung konsep keberlanjutan dan keseimbangan ekologi, juga destinasi dengan konsep integrasi alam, budaya, dan buatan seperti di desa-desa wisata. Adapun gaya berwisata di 2023 semakin menunjukkan ketertarikan orang-orang akan isu lingkungan.

“Berusaha untuk menjadi wisatawan yang bertanggung jawab, dengan membawa perlengkapan/alat yang ramah lingkungan dan menggunakan akomodasi yang mengusung konsep green architecture,” lanjutnya. 

Ditambah lagi dengan maraknya penggunaan dompet digital, yang akan meminimalisir interaksi dengan benda fisik atau less touch, juga banyak kelompok yang akan menghindari lokasi-lokasi yang bersifat mass tourism dan akan memilih menjadi kelompok-kelompok kecil guna mengurangi dampak negatif pada lingkungan. Meskipun lokasi-lokasi mass tourism bakal tetap banyak menarik minat pengunjung, tetapi kawasan-kawasan kecil yang lebih sepi akan mempunyai pangsa pasarnya tersendiri.

Digital nomad, sebagai bagian dari kelompok kecil para pejalan mandiri yang mulai merebak saat pandemi berlangsung, juga mulai dilirik oleh pemerintah untuk menarik magnet turis asing mengunjungi Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah berencana menerbitkan visa khusus para digital nomad untuk memudahkan mereka bekerja dari Indonesia demi merealisasi target kunjungan wisatawan mancanegara.

  • Terumbu karang
  • Desa Ambulu
  • Ekowisata Bekantan

Tidak bisa dipungkiri bahwa dampak pemanasan global yang dirasakan semua orang, juga berdampak pada pola pikir para pejalan yang mulai semakin beralih kepada green travel; mulai dari hal-hal kecil seperti membawa peralatan makan dan minum sendiri, menghabiskan makanan, dan tebus emisi setelah berlibur. Tren pariwisata yang berkembang pada 2022 seperti wisata minat khusus maupun kunjungan ke desa-desa wisata, kemungkinan besar akan terus berlanjut dalam skala yang lebih besar pada tahun 2023.Hal ini kemudian diolah oleh banyak desa wisata untuk menawarkan paket wisata dengan kegiatan yang eco-friendly, yang menyajikan kegiatan yang menjurus kepada pemeliharaan lingkungan seperti penanaman mangrove, penanaman terumbu karang, pengolahan limbah rumah tangga, dan pengelolaan lingkungan tanpa sampah plastik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Meneropong Tren Pariwisata 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meneropong-tren-pariwisata-2023/feed/ 0 36442
Menyantap Tiram Bakar Khas Barru https://telusuri.id/menyantap-tiram-bakar-khas-barru/ https://telusuri.id/menyantap-tiram-bakar-khas-barru/#respond Mon, 28 Nov 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36275 Kabupaten Barru merupakan salah satu daerah pesisir yang berada di Sulawesi Selatan. Selain terkenal sebagai daerah penghasil ikan bandeng, juga terkenal sebagai penghasil tiram atau kerang laut yang menjadi kuliner khas. Kepopuleran makanan ini berhasil...

The post Menyantap Tiram Bakar Khas Barru appeared first on TelusuRI.

]]>
Kabupaten Barru merupakan salah satu daerah pesisir yang berada di Sulawesi Selatan. Selain terkenal sebagai daerah penghasil ikan bandeng, juga terkenal sebagai penghasil tiram atau kerang laut yang menjadi kuliner khas. Kepopuleran makanan ini berhasil mengundang orang-orang dari luar daerah maupun orang setempat datang berkunjung untuk sekadar mencicipinya.

  • Pembersihan tiram
  • Membakar Tiram

Di sini, masyarakat lokal menyebut olahan tiram dengan nama tireng atau tiram yang diolah dengan cara dibakar. Menariknya, untuk mencicipinya, kita tak perlu datang ke restoran atau warung. Pengunjung bisa menemukan para penjaja tireng di bawah rumah panggung mereka. Tak hanya satu atau dua, tapi ada puluhan penjaja tireng sehingga sebagai pengunjung, kita bebas memilih mau makan di mana. Tiram-tiram ini mereka dapatkan di muara Sungai Lajari. Biasanya, ketika laut sedang surut, ibu-ibu menyusuri sungai sampai ke tepi laut untuk mencari kerang.

Lokasinya berada di Desa Lajari, Kecamatan Barru. Berjarak sekitar 1,6 km dari Kota Kabupaten Barru yang bisa ditempuh sekitar 10 menit naik motor dan mobil. Sedangkan dari kota Makassar berjarak 99 km dengan jarak tempuh sekitar dua jam perjalanan. 

Selain dapat dinikmati secara beramai-ramai, tiram bakar ini relatif murah. Harga satu baskom hanya Rp25.000 lengkap dengan sambal jeruk yang berkuah. Pengunjung juga dapat memesan nasi seharga Rp10.000 per satu bakul. Menyantapnya bersama nasi, membuat tireng makin terasa lezat.

Jika membayar Rp10.000 lagi, maka pengunjung akan mendapatkan sambal andalan warga lokal yaitu recca pau atau sambal mangga yang memiliki cita rasa kecut, manis, dan pedas. Rasanya hampir sama dengan acar, bedanya terletak pada mangga yang digunakan sehingga rasa kecutnya alami tanpa cuka. Memesan tiga baskom tiram bakar sudah bisa dinikmati hingga 8-10 orang. 

Proses pembakaran tireng menggunakan daun kelapa kering, di atas tungku, dengan durasi waktu sekitar 10 menit sampai cangkang kerang terlihat gosong.

Pengunjung dapat menikmati tiram bakar di gazebo yang ada di depan rumah panggung mereka. Penyajiannya juga cukup unik yang mana tiram bakar dihambur kemudian para pengunjung mengelilinginya. Namun untuk sampai pada tahap memakannya perlu usaha dan tenaga terlebih dahulu. Namanya juga kerang, pasti memiliki cangkang. Penjual menyediakan batu dan besi sebagai alat pukul untuk membuka kerang sebelum menyantapnya.

Proses ini menjadi keasyikan tersendiri saat menikmati tiram bakar di kampung tersebut, yang mana kita akan mendengar dentingan pengunjung memukul kerang yang akan masuk ke perut.

Jadi ada tahapan memakan tiram bakar. Pertama, pengunjung terlebih dahulu memukul dan mengumpulkan isi kerang dalam piring, saat dirasa sudah cukup barulah disajikan dengan nasi dan sambalnya. Yang paling mahir memukul, maka ialah yang akan menikmati tiram bakar lebih banyak.

Perjuangan untuk menikmati makanan ini cukup melelahkan namun semua terbayar saat merasakan kenikmatannya. Lidah orang Bugis yang gemar makanan pedas juga menjadi satu cita rasa khusus saat menyantap makanan ini. Sensasi asam pedas selalu berhasil membuat liur menetes dan rasa itu menjadi godaan terberat saat proses membuka cangkang kerang. Membutuhkan cukup kesabaran sebelum memakannya dengan puas. 

  • Tiram Bakar
  • Sambal jeruk dan recca pao
  • Hidangan tiram bakar

Saya merekomendasikan kuliner ini untuk para penikmat seafood. Aroma tiram yang khas karena dibakar dengan daun kelapa kering ditambah sambal khas warga lokal sangat memuaskan lidah. Tekstur tiramnya kenyal, meski cangkangnya gosong, namun tidak membuat isinya hangus. Rasa tiramnya hampir sama dengan jenis olahan kerang lainnya namun karena tiram ini dibakar sehingga terdapat aroma tersendiri. Wajar saja setiap harinya tempat itu tidak pernah kosong pengunjung. 

Saat hari libur biasanya sangat ramai sehingga pengunjung sering antri untuk mendapatkan giliran. Agar tidak menunggu terlalu lama, pengunjung bisa memesan tiram bakar sebelum berangkat ke lokasi, supaya saat sampai di sana bisa langsung memakannya. Tempat ini buka mulai pagi sampai sore hari. 

Pengunjung jarang ada yang datang sendiri, kalau bukan bersama keluarga, ya bersama teman. Tireng memang lebih seru jika disantap secara beramai-ramai karena akan melihat berbagai ekspresi saat memukul membuka kerang sehingga gelak tawa kerap kali terdengar.

Kehadiran tireng berhasil menambah penghasilan warga setempat sehingga menjadi UMKM produktif yang bergerak di bidang kuliner. Penghasilan para suami sebagai nelayan terbantu oleh penghasilan para istri yang menjual tiram bakar di rumah mereka sehingga ekonomi keluarga lebih stabil.

Rasanya sayang jika kita berkunjung ke Barru tapi tidak menikmati satu makanan khas ini. Jika kamu tertarik ke sana, bisa datang ke samping Sungai Lajari dekat pantai. Di depan rumah warga, berjajar penjual tiram bakar. Suasana makan makin seru kala menyantapnya sambil menikmati pemandangan tambak yang menghampar luas di depan rumah para penjual.

Waktu senja akan terlihat jelas di tempat itu, sekaligus menjadi ajang mengabadikan momen di penghabisan hari.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyantap Tiram Bakar Khas Barru appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyantap-tiram-bakar-khas-barru/feed/ 0 36275
Titin Riyadiningsih: Memajukan Wisata dari Desa https://telusuri.id/titin-riyadiningsih-memajukan-wisata-dari-desa/ https://telusuri.id/titin-riyadiningsih-memajukan-wisata-dari-desa/#respond Thu, 01 Sep 2022 09:00:27 +0000 https://telusuri.id/?p=34899 Bagi sebagian anak muda, bekerja di kota-kota besar adalah impian yang harus dicapai. Gaji yang tinggi, jenjang karir yang menjanjikan, hingga fasilitas dan sarana yang lengkap membuat banyak anak muda memilih meninggalkan kampung halamannya demi...

The post Titin Riyadiningsih: Memajukan Wisata dari Desa appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi sebagian anak muda, bekerja di kota-kota besar adalah impian yang harus dicapai. Gaji yang tinggi, jenjang karir yang menjanjikan, hingga fasilitas dan sarana yang lengkap membuat banyak anak muda memilih meninggalkan kampung halamannya demi mencapai ambisi dan hidup, yang katanya akan lebih makmur Berbeda dengan Titin Riyadiningsih, dia lebih memilih untuk kembali ke kampung halamannya untuk mengabdi dan menjadikan desanya berdaya sebagai desa wisata.

Titin Riyadiningsih (Instagram_titinriyadiningsih)
Titin Riyadiningsih via Instagram/titinriyadiningsih

Malam itu, Anugerah Desa Wisata Indonesia 2021 yang digelar pada Desember 2021 mengumumkan Desa Wisata Sumberbulu sebagai peraih Juara 1 dalam kategori souvenir. Terpancar rasa tidak percaya dalam diri Titin dan teman-temannya. Perjuangannya selama ini akhirnya membuahkan hasil yang signifikan sekaligus membuktikan pada semua orang bahwa sebuah desa bisa berkembang dengan usaha yang tekun. Malam itu bakal menjadi malam yang akan dikenangnya seumur hidup.

Bagaimana bisa seseorang dengan latar belakang kesehatan gigi, beralih peran menjadi penggagas desa wisata dan sukses membawa perubahan bagi masyarakatnya? 

Awal Mula Perjuangan

Assesment lapangan dan sertifikasi desa wisata berkelanjutan di Desa Sumberbulu (Instagram_titinriyadiningsih)
Assesment lapangan dan sertifikasi desa wisata berkelanjutan di Desa Sumberbulu via Instagram/titinriyadiningsih

Jauh sebelum Desa Sumberbulu gegap gempita merayakan keberhasilan mereka, ada masa-masa perjuangan panjang yang menjadi kenangan Titin. Sekembalinya dari kuliah Higiene Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Titin sempat bekerja di klinik selama satu tahun sebelum memutuskan pulang ke Sumberbulu untuk kemudian mengembangkannya sebagai desa wisata. 

“Semasa kuliah di Jogja sering bantuin teman pengabdian masyarakat, sering bantu teman penelitian juga, melihat ke Desa Wisata Pentingsari gitu kan.” 

Dirinya kemudian melihat potensi wisata di Sumberbulu yang belum pernah dikelola, padahal orang-orang seringkali datang ke Sumberbulu. Namun karena tidak adanya pengelolaan, akhirnya hanya berakhir sebatas kunjungan tanpa adanya dampak ke masyarakat sekitar.  Gairahnya yang timbul karena seringkali kerja lapangan, berinteraksi dengan masyarakat, jalan-jalan, membuatnya berpikir untuk menjadikan desanya berkembang layaknya desa-desa lainnya yang sudah lebih dahulu menjadi desa wisata.

Pada tahun 2018, dirinya bersama teman-temannya kuliah dan karang taruna menganalisis apa saja potensi yang ada di desa dengan metode SWOT, dan juga mewawancarai masyarakat tentang arah pembangunan di desa tersebut. Selesai kegiatan tersebut, didapatlah gambaran besar untuk arah pembangunan Sumberbulu sebagai desa wisata.

Titin banyak merujuk ke Desa Pentingsari sebagai contoh yang paripurna sebuah desa wisata. “Pentingsari kan kulturnya hampir sama dengan di Sumberbulu, meski di sana—Pentingsari dekat dengan lereng Merapi yang menjadi pendukungnya. Tapi yang terkuat di sana adalah sumber daya manusianya.”

“Setelah dirunut dan analisa SWOT, ternyata potensi dan kultur Sumberbulu hampir sama dengan di Pentingsari.”

Segera setelah permasalahan dan tujuan berhasil dipetakan, Titin dan kawan-kawan mendatangi para tokoh masyarakat untuk mempresentasikan terkait kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Tidak disangka, paparan Titin disambut antusias sebagian masyarakat yang menyatakan siap untuk membangun desa secara bersama-sama, meskipun ada sebagian yang ragu apakah ini akan berjalan dengan mulus.

Dengan niat baik membangun desa, tidak serta merta semuanya mau menerima ide terobosan Titin. Titin yang sebelumnya dikenal tidak pernah mengikuti kegiatan karang taruna di desa tiba-tiba muncul dengan ide-ide desa wisata. Setahun pertama, perjuangan meyakinkan warga desa banyak menguras pikiran dan tenaga. Salah satu perjuangan yang paling diingatnya adalah pencarian rumah yang diproyeksikan akan menjadi rumah tinggal untuk wisatawan. Selama 3 bulan, Titin dan teman-temannya mendapati hanya lima rumah yang bersedia.

“Buat apa sekolah tinggi-tinggi tapi sekarang masih nganggur, masih ngalor ngidul,” ucap salah seorang warga, yang masih membekas di benaknya. 

Kerja keras baru saja dimulai. Selama dua tahun awal, perjuangan tersebut merupakan perjuangan yang benar-benar berat karena semua berangkat dari nol. “Berkat kegigihan teman-teman dan bagaimana kita mencari peluang untuk menjadi desa wisata, belajar ke desa wisata yang lain, analisis desa yang sudah menjadi desa wisata, sampai tahun 2019 kita akhirnya memproklamirkan diri sebagai desa wisata.”

Jalan itu Terbuka

Dirinya sempat terpikir untuk menyerah, apalagi melihat teman-teman kuliahnya yang memilih jalan hidup yang lebih mudah dibanding dirinya. “Udah lah, ngapain,” jerit pikirannya yang sudah mulai meronta untuk berpindah haluan. Untungnya dia dikelilingi oleh teman-teman yang tetap bersamanya meskipun keadaan lagi susah. Dirinya dan teman-teman mencari berbagai cara untuk pendanaan desa. Mereka sempat berjualan baju bekas yang keuntungannya kemudian digunakan untuk mempercantik desa seperti beli bak sampah dan membangun gapura.

Kepala desa pun sebenarnya tidak merestui berdirinya Sumberbulu sebagai wisata. Tetapi kegigihan Titin untuk mengikuti berbagai pelatihan dan seminar yang diadakan oleh Dinas Pariwisata membuatnya memiliki relasi yang cukup kuat dan luas, alhasil Titin berhasil mendapatkan pendampingan dari Kementerian Pariwisata pada 2019. Hal tersebut cukup mampu mendorong kepercayaan diri dan dukungan masyarakat desa meski belum 100%. 

“Kita tidak memaksa masyarakat untuk berubah menjadi desa wisata, kita memberikan bukti kepada mereka bahwa Sumberbulu itu sebenarnya bisa menjadi desa wisata.”

Untuk menambah promosi dan minat, Titin dan teman-teman juga mencetak brosur dan menitipkannya pada dinas terkait untuk disebarkan. Juga, promosi ke sekolah dan instansi untuk menambah jumlah kunjungan. 

Titin juga mengajak masyarakat desa untuk kunjungan ke Desa Pentingsari, untuk melihat langsung bagaimana pengelolaan desa wisata dan bertukar pengalaman dalam manajemen desa wisata. “Sepulang dari Pentingsari ada perubahan lagi gitu. Dari lima homestay sekarang sudah 48 homestay yang bergabung dengan kita.” Sekarang, untuk menambah personel homestay, Titin cukup menghubungi lewat ponsel, tidak lagi seperti dulu yang harus door to door.

Salah satu yang menonjol dari Desa Sumbernbulu adalah souvenirnya (Instagram_titinriyadingingsih)
Salah satu yang menonjol dari Desa Sumbernbulu adalah souvenirnya via Instagram/titinriyadiningsih

“Alhamdulillah, sudah banyak perubahan,” ucapnya.

Lanskap Sumberbulu yang didominasi persawahan menjadikan masyarakatnya agraris dengan hasil alam berupa beras, jagung, singkong, ketela dan lain sebagainya. Sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani atau buruh tani. Seperti yang kita tahu, nasib petani Indonesia tidaklah mujur. Dari sekian panjang alur ekonomi pemasaran suatu komoditi, petanilah yang seringkali mendapat banyak kerugian dibanding yang lainnya. Menjadi desa wisata, salah satu tujuannya adalah memperbaiki taraf hidup masyarakat agar ada kecakapan selain dari bertani.

Sertifikasi sebagai desa wisata yang berkelanjutan pun sudah diterima Sumberbulu yang langsung diserahkan oleh Menteri Pariwisata, Sandiaga Uno. Sebelumnya, pengelola desa wisata diberikan pelatihan dan arahan untuk menjadi desa wisata berkelanjutan. Persiapan yang dilakukan terkait birokrasi tidak hanya secara fisik, tetapi juga perlu melengkapi dokumen yang jumlahnya mencapai 174 buah yang terdiri dari beberapa kategori: kelembagaan, ekonomi, sosial-budaya, kelestarian lingkungan. Selama seminggu mereka berusaha untuk memenuhi syarat dokumen tersebut dan juga assessment dari ahli pariwisata. 

Puncak Tapi Bukan Penghabisan 

Pada malam ADWI 2021, Titin dan kawan-kawan diundang ke Jakarta oleh Kementerian Pariwisata. Mereka juga mendapat pesanan berupa lukisan 7×4 meter yang dilukis oleh teman-teman Sumberbulu untuk ikut serta dipamerkan. Di akhir acara, mereka tidak hanya memboyong satu piala, tapi juga berhasil mendapatkan sertifikat desa wisata berkelanjutan yang berlaku selama tiga tahun. 

“Momen di mana kita kemarin diundang ke Jakarta, menerima sertifikat dan menjadi juara 1 kategori souvenir, membuat saya sendiri tuh nggak percaya sampai saat ini bisa sampai di titik itu. Dari hal kecil yang saya lakukan bareng teman-teman di Sumberbulu, sekarang sudah bernilai banyak untuk masyarakat yang ada di Sumberbulu.”

“Karena kembali lagi yang kita kejar semuanya dari awal itu bukan serta merta uang, tapi bagaimana caranya kita bisa mewadahi masyarakat lebih tahu, lebih paham bahwa tantangan ke depan itu lebih banyak, tidak hanya kita sekedar hidup di desa,” tambahnya. 

Sekarang Titin sudah menjabat sebagai direktur Bumdes di Desa Pendem dan perannya di Sumberbulu sudah beralih menjadi penasihat. Sudah saatnya penyelenggaraan desa wisata dikaderisasi dengan baik agar kesempatan belajar dan berkembang selalu ada bagi generasi muda. Titin sekarang lebih banyak berada di balik layar untuk memberi arahan.

Semakin menjamurnya desa wisata berarti semakin banyak yang ingin berkecimpung masuk mengurus desa dan segala kelebihannya wisatanya. Hal itu bagus, mengingat pemerintah juga mencanangkan pembangunan nasional berkelanjutan yang dimulai dari desa. Titin mengingatkan kepada siapapun yang ingin terjun mengurus desa wisata untuk jangan berfokus kepada materi tapi fokuslah pada pembangunan masyarakat atau lingkungan. Pola pikir yang berfokus pada materi akan menjerumuskan para pengelola pada langkah yang terbatas. 

“Kalau diniatkan untuk memperbaiki lingkungan, memperbaiki pola pikir masyarakat, secara otomatis akan bertahap naik. Memang butuh proses, niat, perjuangan, komitmen, konsistensi,” paparnya. “Dengan adanya desa wisata, perubahan dalam segi pemikiran, ekonomi, dan pendidikan itu berubah drastis. Karakter masyarakat akan terbentuk secara otomatis.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Titin Riyadiningsih: Memajukan Wisata dari Desa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/titin-riyadiningsih-memajukan-wisata-dari-desa/feed/ 0 34899
Boleh Genjot Pariwisata, Tapi Jangan Abai Konservasi https://telusuri.id/boleh-genjot-pariwisata-tapi-jangan-abai-konservasi/ https://telusuri.id/boleh-genjot-pariwisata-tapi-jangan-abai-konservasi/#comments Sat, 12 Dec 2020 11:44:00 +0000 https://telusuri.id/?p=25849 Investasi di sektor pariwisata sedang digenjot habis-habisan. Pemerintah Indonesia saat ini sedang ngebut menyelesaikan proyek pembangunan infrastruktur di lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Salah satunya yaitu proyek pembangunan infrastruktur untuk mendukung berdirinya Jurassic Park...

The post Boleh Genjot Pariwisata, Tapi Jangan Abai Konservasi appeared first on TelusuRI.

]]>
Investasi di sektor pariwisata sedang digenjot habis-habisan. Pemerintah Indonesia saat ini sedang ngebut menyelesaikan proyek pembangunan infrastruktur di lima Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Salah satunya yaitu proyek pembangunan infrastruktur untuk mendukung berdirinya Jurassic Park di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur.

Ditargetkan Jurassic Park di Taman Nasional Komodo ini bisa rampung pada Juni 2021 mendatang. Harapannya tentu saja yaitu dapat turut meningkatkan produktivitas di sektor pariwisata kita pada tatanan kenormalan baru (new normal). Pemerintah punya keyakinan bahwa sektor ekonomi utama yang dapat bangkit dengan cepat di masa tatanan baru adalah sektor pariwisata.

Akan tetapi, sejumlah pihak mengeluarkan suara ketidaksetujuannya. Mereka berpendapat pembangunan Jurassic Park tidak selaras dengan spirit konservasi dan akan mengancam kelestarian komodo dan keanekaragaman hayati yang ada di Taman Nasional Komodo.

Para penentang pembangunan Jurassic Park menginginkan pemerintah lebih konsen pada urusan konservasi Taman Nasional Komodo ketimbang mengutak-atik kawasan tersebut untuk urusan investasi industri pariwisata yang berbasis pada pembangunan infrastruktur skala besar, yang pada gilirannya bakal merusak ekosistem Taman Nasional Komodo.

Pemerintah sendiri menjamin bahwa pembangunan Jurassic Park di Taman Nasional Komodo sama sekali tidak akan mengganggu ekosistem dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah konservasi.

Gapura di Loh Buaya, Pulau Komodo

Gapura di Loh Buaya, Pulau Komodo. TEMPO / Frannoto

Dampak Ekologis

Sebagai kawasan konservasi, Taman Nasional Komodo — yang meliputi Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Padar — bukan hanya diperuntukkan bagi kepentingan pelestarian komodo (Varanus komodoensis), tetapi juga untuk melindungi seluruh keanekaragaman hayati, baik yang ada di laut maupun yang ada di darat.

Menurut Strategi Konservasi Dunia (World Conservation Strategy) yang digagas oleh The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yang berbasis di Gland, Swiss, konservasi memiliki tiga tujuan utama, yaitu (a) memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan; (b) mempertahankan keaneka-ragaman genetis; dan (c) menjamin pemanfaatan jenis (spesies) dan ekosistem secara berkesinambungan.

Idealnya, kawasan konservasi harus dilindungi secara ketat sehingga tidak boleh ada sedikitpun gangguan tangan manusia yang dapat merecoki proses alami di kawasan tersebut.

Kendatipun ada yang berpandangan bahwa pembangunan — sampai batas tertentu — dapat saja dilakukan di kawasan konservasi sepanjang sesuai dengan bentang alam dan lingkungan setempat, tidak sedikit pakar lingkungan yang berkeyakinan bahwa pembangunan sekecil apa pun di kawasan konservasi tetap akan melahirkan sejumlah dampak ekologis yang mengancam pada kelestarian alam lingkungan.

Ambil contoh, pembangunan biasanya menuntut dibukanya akses jalan baru bagi kendaraan bermotor. Keberadaan jalur jalan baru ini selain meningkatkan polusi suara dan udara, juga menjadi ancaman khusus bagi berbagai fauna yang ada di kawasan konservasi. Masih ingat foto viral yang menunjukkan seekor komodo dan sebuah truk yang membawa tiang pancang, baru-baru ini?

Sejumlah fasilitas juga akan berdiri seiring dengan pembangunan yang dilakukan. Namun, umumnya fasilitas yang dibangun tidak selalu ada kaitannya dengan aktivitas konservasi. Keberadaan sejumlah fasilitas kemungkinan besar malah bisa mengubah struktur tanah, mengubah pola resapan serta aliran air hujan yang mengakibatkan timbulnya erosi dan perubahan topografi alam, yang menjadikan kualitas lingkungan di kawasan konservasi berikut kawasan di sekitarnya makin terdegradasi.

Pembangunan sangat boleh jadi akan memicu meningkatnya penggunaan tenaga listrik, bahan bakar minyak, penggunaan air dan produksi sampah. Buntutnya terjadi peningkatan polusi (udara, suara, cahaya maupun tanah) di sekitar kawasan konservasi, yang pada gilirannya membuat kelestarian alam lingkungan makin rusak.

Taman Nasional Komodo

Salah satu pulau di Kawasan Taman Nasional Komodo. TEMPO / Tony Hartawan.

Mengingat dampak ekologis yang mungkin akan timbul, wajar jika sejumlah pihak bukan saja menyayangkan tetapi juga menentang pembangunan Jurassic Park di Taman Nasional Komodo.

Dampak Ekonomis

Ditilik dari kacamata bisnis pariwisata, keberadaan Jurassic Park nantinya memang bisa menjadi salah satu primadona sektor pariwisata negeri ini dan ikut mengatrol pendapatan negara kita.

Seperti kita ketahui bersama, gara-gara wabah corona (COVID-19), sejak Februari silam, pendapatan dari sektor pariwisata negara kita mengalami penurunan. Ada yang menaksir industri pariwisata Indonesia diperkirakan telah mengalami kerugian mencapai Rp 85,7 triliun. Target kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia tahun ini dipastikan pula meleset.

Sebelumnya, Indonesia menargetkan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada 2020 ini sebanyak 17 juta kunjungan. Tahun 2019 silam, jumlah wisman yang datang ke Indonesia adalah sebanyak 16,1 juta, meningkat dari jumlah kunjungan wisman 2018, yang berjumlah 15,81 juta kunjungan.

Keberadaan Jurassic Park di Taman Nasional Komodo setidaknya akan bisa menjadi magnet bagi para wisatawan untuk berduyun datang, terutama di masa recovery pasca-corona.

Sektor pariwisata memang dapat diandalkan sebagai salah satu industri pokok yang mampu menopang perekonomian. Industri pariwisata bukan hanya mampu mengucurkan keuntungan devisa yang lumayan besar, tetapi juga menjadi katalis bagi pembangunan negara.

Mengingat manfaatnya yang tidak kecil, banyak negara memberi perhatian sangat serius bagi pengembangan sektor pariwisata.Thailand, Singapura serta Malaysia adalah beberapa contoh negara di lingkup ASEAN yang telah cukup berhasil mengembangkan industri pariwisatanya dewasa ini.

Indonesia sudah barang tentu tidak boleh sedikit pun ketinggalan langkah dalam membangun industri pariwisatanya. Investasi di sektor ini perlu terus digenjot. Meskipun begitu, pembangunan sektor pariwisata perlu pula memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Salah satunya yaitu menjaga agar jangan sampai pembangunan pariwisata mengorbankan dan merusak kawasan-kawasan konservasi.

Labuan Bajo

Labuan Bajo. TEMPO / Tony Hartawan.

 

The post Boleh Genjot Pariwisata, Tapi Jangan Abai Konservasi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/boleh-genjot-pariwisata-tapi-jangan-abai-konservasi/feed/ 1 25849