pasar tradisional Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pasar-tradisional/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 26 May 2025 15:45:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pasar tradisional Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pasar-tradisional/ 32 32 135956295 Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa https://telusuri.id/mengunjungi-pasar-ayam-plered-sedih-melihat-anakan-elang-jawa/ https://telusuri.id/mengunjungi-pasar-ayam-plered-sedih-melihat-anakan-elang-jawa/#comments Mon, 26 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47182 Persimpangan lampu merah itu salah satu titik paling ramai di wilayah barat Kabupaten Cirebon. Menghubungkan tujuan wisatawan ke pasar tradisional, pasar hewan, pusat batik Trusmi, dan kuliner khas empal gentong. Pasar hewan yang dimaksud adalah...

The post Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Persimpangan lampu merah itu salah satu titik paling ramai di wilayah barat Kabupaten Cirebon. Menghubungkan tujuan wisatawan ke pasar tradisional, pasar hewan, pusat batik Trusmi, dan kuliner khas empal gentong.

Pasar hewan yang dimaksud adalah sentra jual beli unggas terbesar di Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning). Populer dengan sebutan Pasar Ayam Plered, karena dekat perempatan Plered. Jaraknya sekitar 50 meter ke arah selatan.

Pasar Ayam Plered padat pengunjung pada momen pasaran setiap hari Minggu. Beberapa kali saya ke sana, kerap menemukan binatang langka dijual. Pasaran mengundang banyak pedagang dari seputaran Jawa Barat. Aneka satwa ditawarkan, terutama burung hias. Keindahan suara dan tampilan mereka begitu memesona.     

Setelah memarkir kendaraan di halaman Masjid Al-Mustaqim, Minggu (18/5/2025), saya melangkah ke gang menuju Pasar Ayam. Pagi itu sudah ramai pengunjung. Ada yang cari sarapan, memilih pakan, melihat sangkar, hingga membeli anak ayam dan bebek demi menyenangkan buah hati.

Pitik warna-warni itu memang menggemaskan. Orang tua menyerahkan uang Rp10.000 untuk tiga ekor anakan ayam. Jika dipelihara dengan baik, pitik-pitik itu akan tumbuh menjadi ayam pedaging siap konsumsi. 

Unggas mungil lainnya yang menarik perhatian bocah adalah anakan bebek dan ayam petelur berbulu alami. Masing-masing per ekor dijual Rp10.000. “Dua bulan sudah menghasilkan telur,” kata si pedagang. Keunikan ayam petelur adalah bisa bertelur tanpa harus dikawini pejantan.

Pedagang melayani pembeli yang sedang memilih anak ayam dan bebek/Mochamad Rona Anggie

Aneka Burung di Tengah Lapangan   

Melewati Kantor Desa Weru Kidul, saya menembus kerumunan ke arah lapangan. Di situlah pusat pasaran. Para pedagang burung kicau berkumpul. Ada yang menjajakan langsung di atas rumput lapangan. Ada yang membangun tenda semipermanen, lengkap dengan tiang untuk menggantung sangkar.

Saya mendekati penjual burung kenari. Penasaran mau tahu harganya. Burung bertubuh kecil itu punya warna mencolok. Siapa saja yang melihatnya akan tertarik. Suaranya berisik kalau sudah rajin bunyi. Istilah kalangan kicau mania: gacor

Buat anak-anak, burung kenari kuning pasti familiar. Serial kartun di televisi menjadikannya karakter Tweety yang imut. Di sana kenari kuning (jantan) dijual Rp250.000, sedangkan betinanya Rp100.000. Ada pilihan warna oranye dan cokelat. 

Pedagang burung puter terlihat pula menanti pembeli. Dua ekor puter putih dalam kandang menarik perhatian, karena biasanya berwarna abu-abu. “Ini puter albino,” kata penjual lalu menyebut harga Rp120.000 sepasang. “Kalau yang ini puter pelung. Bunyinya kaya orang ketawa, bisa mirip suara kuntilanak,” tambahnya berusaha meyakinkan. 

Saya mengangguk-angguk lantas perlahan menjauh, ketika penjual menirukan bunyi puter pelung versi kuntilanak. “Kur tekukur kur kur…” Ngeri juga kalau suaranya mirip makhluk gaib, batin saya. Persis backsound di film horor saat hantu perempuan berambut panjang itu mau nongol.

Lanjut keliling, saya menyaksikan burung hias lainnya menggoda dompet. Ada si cantik parkit, love bird nan lucu, ciblek yang aktif, anakan kutilang minta disuapi, murai yang anggun, si gacor titimplik, beo sang orator, wambi yang berwibawa, poksay, kolibri ninja nan lincah, si “pedangdut” cucak ijo sampai burung hantu celepuk dan Tyto alba.  

Riuh kicau mereka. Sengatan mentari pukul 10.00, tak menghalangi pencinta manuk menilik satu per satu sangkar. Barangkali ada yang sesuai keinginan guna menambah koleksi di cantelan langit-langit rumah.  

  • Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa
  • Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa
  • Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa

Kaget, Ada Anakan Nisaetus bartelsi

Setiap ke Pasar Ayam saya sempatkan mampir ke sebuah lapak, terpisah dari keramaian. Jalan setapaknya becek. Letaknya di belakang kios permanen. Tidak banyak pengunjung ke situ. Padahal koleksi hewan yang dijajakan membuat tercengang.

Pernah saya dapati ular sanca kuning dan reptil lainnya. Termasuk beberapa kadal hias, semisal leopard gecko. Burung predator seperti alap-alap, kestrel, dan aneka owl juga ada. Tidak ketinggalan tupai dan musang. 

Nah, kemarin itu saya kaget ketika melihat anakan burung dengan bulu halus berwarna putih—menandakan belum lama menetas—tertelungkup di dalam sebuah kotak kecil. “Anakan elang?” tanya saya.

“Iya, elang gunung,” jawab si penjual bernama Yayat.

“Dapat dari mana?”

“Hutan di Kuningan,” sahutnya dengan logat Sunda.

Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa
Malang, anakan Elang Jawa dijual bebas/Mochamad Rona Anggie

Saya pastikan itu anakan elang jawa (Nisaetus bartelsi). Paruhnya khas burung pemburu dengan mata hitam. Kelahiran anak burung spesies endemik Pulau Jawa itu kerap disambut sukacita oleh taman nasional yang kawasan hutannya menjadi habitat hewan dilindungi tersebut. Misalnya, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). 

Kalau melihat bayi elang jawa difoto sedang berada dalam sarang di pucuk pohon, sungguh membahagiakan. Siapa pun pasti ikut gembira. Tapi ini, di depan saya, anakan elang jawa ada di pasar hewan dalam sebuah kardus. Menyedihkan! 

“Susah dapatnya di pohon yang tinggi,” terang Yayat.

“Usia berapa ini, sebulan?”

“Belum. Paling sepuluh hari.”

“Dijual berapa?” 

“Lima ratus ribu.”

Murah sekali untuk seekor burung yang populasinya terbatas. Saya kemudian iseng menawar, “250 ribu, ya?” Tentu saja dengan niatan untuk dilepasliarkan lagi.

Yayat tersenyum, “Tadi ada yang berani 350 (ribu), enggak saya kasih. Paling 450 ribu,” ucapnya.

Saya elus tubuh si bayi Nisaetus bartelsi. Dia merespons dengan coba (belajar) berdiri. Kakinya sebesar kaki ayam broiler. Bila dewasa nanti, kuku tajamnya berfungsi mencengkeram mangsa. Ya, kalau dia kembali ke alam bebas. Namun, jika dipelihara manusia, insting berburunya akan berkurang. Sekadar menjadi “garuda” rumahan. Sangat disayangkan.

Siapa mau pelihara anakan tupai (kiri) dan iguana?/Mochamad Rona Anggie

Ekonomi Lesu, Pedagang Terdampak

Di jalan beraspal pinggir lapangan, berderet kios menyediakan perlengkapan hewan kesayangan. Termasuk pakan khusus, semisal ulat hongkong dan telur semut (kroto).

Salah satu pemilik kios, Fajarudin (25), baru selesai melayani pembeli. Dia pindahkan seekor burung dari sangkar ke dalam kantung kertas berlubang, lantas menerima beberapa lembar uang. “Kalau Minggu saya bantu bapak, karena pasaran ramai,” ujarnya.

Kios Fajarudin menawarkan berbagai jenis ayam, burung puyuh, cendet, celepuk, anis, jalak, dan bondol. Sang ayah, Darsono (65), sibuk menyiapkan pesanan pakan. Tapi rupanya, pengunjung yang membeludak tak selaras dengan pemasukan. “Sekarang ekonomi lesu, terasa ke pedagang burung. Penghobi tidak seroyal dulu,” cerocos Fajarudin.

Keluarganya, kata dia, sudah berjualan di Pasar Ayam sejak 18 tahun lalu. Omzet berlipat terasa pada 10 tahun pertama, selanjutnya fluktuatif. “Daya beli masyarakat semakin menurun pasca-Covid,” keluhnya.

Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa
Burung hantu (owl) celepuk di kios Fajarudin/Mochamad Rona Anggie

Terbantu Penjualan Daring

Perkembangan teknologi digital merangsek ke semua lini kehidupan, tak terkecuali pelaku bisnis burung hias di Pasar Ayam Plered. Bila Fajarudin merasakan pendapatan anjlok dari pembeli offline (luring), lain hal dengan Taufik Hidayat yang coba beradaptasi lewat pasar online (daring).

Taufik mengakui, saat ini raihan penjualan via online lebih menjanjikan. Konsumen tidak lagi terbatas pada mereka yang mengunjungi kiosnya, tetapi juga menjangkau pembeli dari luar kota yang tak perlu tatap muka. “Zaman berubah, kini pelanggan bisa pesan dari jauh. Tinggal kita kirim,” tuturnya semringah.

Pemuda 26 tahun itu pernah mengirim orderan burung ke Bali, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurutnya, kalau tidak aktif berjualan daring, sehari hanya mampu menjual lima ekor burung kepada pembeli yang datang langsung. “Pas pasaran bisa sampai 15 ekor, dengan harga variatif,” katanya.

Anak keempat dari delapan bersaudara itu merupakan generasi kedua pebisnis burung hias. Dia mengklaim momen pasaran merupakan temu muka pedagang dan pencinta burung terbesar se-Jawa Barat. “Kalau pasar burung di tiap daerah ada. Tapi pasaran yang paling meriah, ya, di Cirebon,” ucapnya.

Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa
Calon pembeli antusias memilih burung ‘bahan’ dan ‘masteran’/Mochamad Rona Anggie

Burung kicau di Pasar Ayam Plered, terang dia, didominasi pilihan burung “bahan”, sebutan bagi burung siap latih. Burung “bahan” biasa dibanderol di bawah satu juta. Sementara burung “masteran”, istilah untuk burung gacor yang siap kontes, ditawarkan mulai satu juta ke atas.

“Ini saya punya cucak cungkok pelapis, dijual dua juta,” kata Taufik sambil menunjuk seekor burung kecil dengan kombinasi warna hijau, biru dan kuning. “Burung pelapis itu gurunya, yang memberi contoh bunyi,” jelasnya. 

Selain melayani pembelian eceran, sambung Taufik, kios burungnya yang sudah beroperasi selama dua dekade juga membuka partai besar (bakulan) untuk pedagang burung sekitar Cirebon.

Taufik sendiri mendapat kiriman burung dari Sumatra. Dia punya langganan terpercaya yang biasa memenuhi kebutuhan kiosnya. Burung premium seperti murai, cucak ijo, dan kolibri ninja, banyak dikirim dari pulau seberang. 

Apakah pernah libur berjualan? Taufik menegaskan tak pernah. “Ini bisnis makhluk bernyawa. Tiap hari harus memberi makan-minum, jadi enggak bisa libur,” pungkasnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengunjungi-pasar-ayam-plered-sedih-melihat-anakan-elang-jawa/feed/ 5 47182
Pasar Kanoman di Hati Wisatawan https://telusuri.id/pasar-kanoman-di-hati-wisatawan/ https://telusuri.id/pasar-kanoman-di-hati-wisatawan/#respond Tue, 31 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44929 Percakapan dalam Bahasa Mandarin terdengar dari satu meja di warung empal gentong. Saya penasaran dan menoleh. Terlihat tiga wanita muda berkulit putih sedang menikmati semangkuk kuah merah bersantan dengan irisan daging. Penampilan mereka kasual, mengenakan...

The post Pasar Kanoman di Hati Wisatawan appeared first on TelusuRI.

]]>
Percakapan dalam Bahasa Mandarin terdengar dari satu meja di warung empal gentong. Saya penasaran dan menoleh. Terlihat tiga wanita muda berkulit putih sedang menikmati semangkuk kuah merah bersantan dengan irisan daging.

Penampilan mereka kasual, mengenakan pakaian tanpa lengan. Rambut lurus tergerai, di antaranya ada yang dicat merah. Saya mudah menebak, jika ketiganya turis asing asal Tiongkok.

Hari Minggu (1/12/2024), saya mengantar istri membeli bahan membuat kue. Kenapa ke Pasar Kanoman? Sebab, sekalian mengajak kedua balita putri jalan-jalan melihat ikan hias yang dijajakan. Sejak lama, pasar yang satu area dengan Keraton Kanoman ini dikenal sebagai pusat jual beli ikan hias di wilayah Cirebon.

Pasar Kanoman di Hati Wisatawan
Gerbang utama Pasar Kanoman/Mochamad Rona Anggie

Dari tempat tinggal kami di kawasan Perumnas Rajawali, Pasar Kanoman mudah diakses menggunakan kendaraan roda dua melewati Jalan Pangeran Drajat dan Kutagara. Melintasi pasar Jagasatru, terus menuju Keraton Kasepuhan hingga ke arah Alun-alun Sangkala Buana. Lanjut memotong Jalan Pulasaren, sampailah di kawasan Pasar Kanoman. 

Keraton Kasepuhan ada di sisi selatan, sedangkan Keraton Kanoman di utara. Keduanya memiliki jejak historis yang panjang dalam pengembangan Islam di tanah Jawa. Jika Keraton Kasepuhan kesohor dengan aktivitas pasar malam Muludan setahun sekali, Keraton Kanoman memiliki pasar tradisional sehari-hari yang menawarkan ragam kebutuhan masyarakat.

Kuliner lokal Cirebon, semisal empal gentong, tahu gejrot, dan docang juga mudah ditemui. Termasuk oleh-oleh khas kerupuk melarat, kerupuk kulit sapi, dan buah mangga gedong gincu, kerap menjadi incaran wisatawan yang berkunjung ke Pasar Kanoman.

Toko khusus oleh-oleh berderet di Jalan Kanoman arah Jalan Pasuketan. Sementara pedagang kaki lima berderet sepanjang trotoar. Berbagi tempat dengan pedagang durian, perkakas rumah tangga, dan perlengkapan akuarium.

Pasar Kanoman di Hati Wisatawan
Lokasi pasar satu area dengan Keraton Kanoman/Mochamad Rona Anggie

Mangga Gedong Gincu Banyak Peminat

Pagi itu cenderung teduh. Padahal, biasanya pukul 09.00 sinar matahari di langit Cirebon sudah terasa panas. Beberapa hari belakangan memang turun hujan. Namun, intensitasnya masih sedang. Ya, bersyukur saja tidak kegerahan. Baju tak basah keringat, enak dipakai aktivitas luar rumah.

Saya kemudian berbincang dengan seorang pedagang mangga gedong gincu yang tampak semringah. Namanya Madawir (39). Dia mengiyakan, jika hari Minggu lonjakan pengunjung di Pasar Kanoman lazim terjadi. “Pembeli otomatis bertambah,” kata lelaki asli Setu Patok, Kabupaten Cirebon.

Jika hari biasa, lanjut Madawir, mangga gedong gincu di lapaknya terjual sekitar 50–60 kilogram. Memasuki Sabtu dan Minggu meningkat hingga 100 kilogram. Harga per kilogram sekarang Rp30 ribu. “Penjualan meningkat karena kedatangan wisatawan luar kota,” ucap pedagang yang telah berjualan di Pasar Kanoman sejak 2000.

Dia tak menampik turis asing kerap terlihat di Pasar Kanoman. Mangga gedong gincu menjadi salah satu oleh-oleh “wajib” yang banyak peminat. “Wisatawan dari Bandung, Jakarta, dan luar negeri, suka sekali gedong gincu. Rasa yang manis dan wangi jadi keunggulan buah ini,” tuturnya. 

Bisnis Madawir memiliki nama Usaha Dagang (UD) Gedong Gincu Ateng. Ia mengungkapkan, puncak penjualan mangga gedong gincu adalah Oktober–November. Daerah penghasil gedong gincu terbanyak adalah Indramayu. Jika stok di sana menipis, kiriman datang dari Gemulung (Sindang Laut) dan Majalengka. “Nanti momen Tahun Baru, permintaan meningkat lagi,” ujar lelaki yang memilih berhenti sekolah di usia 13 tahun, mengikuti kakaknya berjualan gedong gincu.

Pasar Kanoman di Hati Wisatawan
Gedong gincu menjadi incaran wisatawan domestik dan asing/Mochamad Rona Anggie

Turis Asing Jajal Docang

Omzet berlipat ketika Minggu tiba dirasakan pula pedagang docang, Bu Neng (50). Menurutnya, hari libur membuat wisatawan luar kota antusias datang ke Pasar Kanoman. Mereka membawa anggota keluarga berlibur ke Cirebon. Menikmati kuliner lokal menjadi agenda wajib yang mesti ditunaikan. “Saya jualan sejak 1995. Hari biasa habis 20 porsi. Kalau Minggu bisa 50 porsi,” kata warga Plered itu, yang kini ditemani anak perempuannya, Putri (21), untuk melayani pembeli.

Putri menambahkan, selain wisatawan domestik, secara berkala pelancong mancanegara juga suka mampir ke warung docangnya. Tak terkecuali turis Asia, yang terlihat hilir mudik di kawasan Kanoman. Banyak yang mencoba kuliner lokal, terutama empal gentong, tahu gejrot, dan docang. “Dari Cina ada. Kalau yang bule biasa bareng famili orang Indonesia,” bebernya seraya menyebut sehari-hari mulai berjualan pukul 07.00 sampai 15.00 WIB.

Suguhan docang adalah semangkuk lontong dengan rebusan taoge, daun singkong, dan parutan kelapa. Lalu disiram kuah panas bercampur dage atau oncom. Warna kuahnya bening—kadang agak memerah—dan tanpa santan. Topping-nya kerupuk putih khas (bukan kerupuk yang biasa kita temui) sehingga cenderung keras jika dimakan langsung. Di sini kuah docang berperan melembutkannya. Bu Neng menjual seporsi docang Rp16 ribu. Rasanya lezat. Maknyus!

Pengunjung bisa menikmati tahu gejrot dan empal gentong di pedestrian pasar/Mochamad Rona Anggie

Belum ke Cirebon, kalau Belum ke Kanoman

Salah seorang pengunjung luar daerah adalah Sumaryati (60). Warga Cijerah, Kota Bandung itu sering mampir ke Pasar Kanoman jika sedang mengunjungi saudara di Cirebon. “Rasanya tak afdal [kalau] main ke Cirebon, [tapi] enggak ke Kanoman,” kata nenek lima cucu yang biasa datang bersama keluarga besar. 

Di Pasar Kanoman, Sumaryati menghabiskan waktu untuk berburu oleh-oleh dan memuaskan lidah, menikmati aneka kuliner khas Cirebon. Ia mengaku melupakan sejenak saran dokter terkait makanan pantangan. “Makanannya enak-enak, sih. Ada empal gentong pakai babat, usus, ampela. Tambah lagi kerupuk kulit, wah, enggak bisa nahan,” tuturnya lantas tertawa.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dispbudpar) Kota Cirebon, Agus Sukmanjaya, mengaku mendengar informasi kehadiran wisatawan mancanegara ke Pasar Kanoman. Kabar tersebut didapat dari penggiat komunitas sadar wisata yang tinggal di kawasan Pecinan, satu area dengan pasar Kanoman.

“Mereka memberitahu, akhir pekan turis Asia kerap terlihat kulineran di Kanoman,” katanya kepada penulis, belum lama ini.

Kemunculan mereka, sambung Agus, berkat aksesibilitas menuju Cirebon yang semakin mudah. Baik dari Jakarta atau Bandung. Dari Jakarta hanya perlu 2,5 jam naik kereta eksekutif, atau bermobil via tol Cikampek–Palimanan (Cipali). Sementara dari Bandung hanya 1,5 jam lewat tol Cirebon–Sumedang–Dawuan (Cisumdawu).

“Wisatawan dari Stasiun Kejaksan juga mudah mau ke Kanoman. Sepuluh menit lewat Jalan Siliwangi, Karanggetas, dan Winaon,” terangnya.

  • Pasar Kanoman di Hati Wisatawan
  • Pasar Kanoman di Hati Wisatawan

Bagi turis domestik dan mancanegara, sejak lama Cirebon dikenal memiliki banyak peninggalan bersejarah. Ini menjadi daya tarik tersendiri. Tambah lagi, Cirebon sebagai daerah pinggir pantai yang memiliki beberapa pintu pelabuhan, berperan penting dalam akulturasi budaya Tionghoa, India, dan Arab.

“Orang luar (negeri), menaruh perhatian pada percampuran budaya demikian. Unik menurut mereka. Jadi penguat untuk datang ke Cirebon,” ujarnya.

Agus menyebutkan, tahun 2025 Pemkot Cirebon akan menata kawasan Pecinan, Winaon, dan Lemahwungkuk yang mengitari pasar Kanoman. Menyatu sebagai titik wisata kuliner, oleh-oleh khas, kerajinan lokal, serta seni budaya. Pihaknya sudah studi banding ke Surabaya, belajar mengombinasikan satu kawasan menjadi destinasi wisata budaya unggulan. 

Secara geografis, Surabaya dan Cirebon sama-sama kota pelabuhan. Banyak pendatang dengan latar suku dan budaya berbeda, kemudian berpadu dengan khazanah tradisi setempat. “Harapannya mendongkrak tingkat kunjungan wisatawan ke Cirebon,” kata Agus.

Pasar Kanoman di Hati Wisatawan
Kepadatan di Pasar Kanoman, sampai tempat parkir nyaris penuh/Mochamad Rona Anggie

Dukungan Komunitas Walking Tour

Fenomena komunitas walking tour (jalan-jalan dalam kota) yang diinisiasi kawula muda, ungkap Agus, juga memberi efek positif pengenalan suatu tempat wisata kepada khalayak luas. “Karena aktivitas walking tour ini dibarengi membuat konten untuk media sosial. Cepat viral,” tuturnya.

Generasi kekinian yang belum tahu sebuah tempat wisata, jadi ingin tahu dan ikut jalan bareng akhir pekan. Nah, generasi tuanya jadi kilas balik, diingatkan kembali ada tempat wisata ini dan itu. Akhirnya mereka coba tapak tilas bersama keluarga atau rekan seangkatan.

“Tentu saja ini meningkatkan kunjungan ke sebuah tempat wisata,” ujar Agus senang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pasar Kanoman di Hati Wisatawan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-kanoman-di-hati-wisatawan/feed/ 0 44929
Belajar Merawat Kebudayaan dari Festival Peken Pinggul Klaten https://telusuri.id/belajar-merawat-kebudayaan-dari-festival-peken-pinggul-klaten/ https://telusuri.id/belajar-merawat-kebudayaan-dari-festival-peken-pinggul-klaten/#respond Thu, 06 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42112 Minggu Legi (10/3/2024), masyarakat Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten merayakan festival budaya bernama Peken Pinggul. Peken Pinggul merupakan sebuah festival yang diadakan oleh masyarakat Melikan dengan tujuan utama nguri-nguri budaya Jawa untuk mencoba melestarikan...

The post Belajar Merawat Kebudayaan dari Festival Peken Pinggul Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu Legi (10/3/2024), masyarakat Desa Melikan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten merayakan festival budaya bernama Peken Pinggul. Peken Pinggul merupakan sebuah festival yang diadakan oleh masyarakat Melikan dengan tujuan utama nguri-nguri budaya Jawa untuk mencoba melestarikan berbagai tradisi.

Jauh sebelum festival Peken Pinggul hari itu, saya dan kawan-kawan memutuskan untuk berkunjung sehari sebelum acara dimulai. Mereka berangkat dari Jogja, Sabtu sore (9/3/2024) pukul 15.00 WIB. Estimasi perjalanan dari Jogja ke Klaten hanya sekitar 1 jam. Sementara saya harus ke Semarang dulu untuk menjemput pacar saya, baru meluncur ke Klaten.

Kami akan menginap di salah satu rumah warga yang pernah digunakan untuk tempat tinggal teman seorganisasi yang pernah KKN di sana. Namanya Abi atau akrab dipanggil Irul. Ia sudah berangkat lebih dulu untuk melihat serangkaian acara sebelum Peken Pinggul. Kebetulan kami datang bertepatan dengan ulang tahun ke-5 Peken Pinggul.

Setibanya kami di Melikan, Irul sudah mengenakan pakaian pesa’an khas Madura yang dipadupadankan dengan kaus hitam. Lengkap dengan celana berwarna senada, blangkon, dan sebatang cerutu. 

Saat Irul bertemu kami, ia berkata, “Seko omah warga, hayo rene melu nang omahe pak Tugiman (Dari rumah warga, ayo ikut ke rumah Pak Tugiman).” Kami pun memutuskan beristirahat di sana. Tanpa diminta, kopi, teh, dan rokok diberikan Tugiman secara sukarela. 

Perbincangan cukup panjang hadir sore itu. Irul sebagai mahasiswa yang berkecimpung di bidang sejarah cukup fasih menjelaskan serpihan-serpihan sejarah di Melikan. Tugiman, yang memang penduduk asli Desa Melikan, turut menyahut untuk memberikan perspektifnya mengenai sejarah dan kebudayaan lokal. 

  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten

Keunikan Ragam Kuliner Peken Pinggul

Setelah semalaman beristirahat bersama kawan-kawan yang lain, keesokan paginya, kami bersiap menuju tempat berlangsungnya festival budaya Peken Pinggul. Kami hanya perlu berjalan kaki karena lokasinya yang tak terlalu jauh. Tepatnya di samping sungai yang berada di tengah-tengah Desa Melikan.

Awan gelap membuat pagi itu sedikit dingin. Matahari pun ikut terlambat bersinar. Oleh karena itu, suasana perdesaan sangat asri dengan pepohonan yang masih rindang. Bekas hujan semalam menambah hawa awal hari kian menusuk kulit. 

Sesampainya di lokasi, Peken Pinggul sudah tampak ramai. Padahal waktu baru menunjukan pukul 07.00. Para penjual terlihat sibuk melayani para pembeli. Tak mau menunggu lama, kami segera menukarkan sejumlah uang menjadi koin gerabah untuk melakukan transaksi.

Di Peken Pinggul, metode transaksinya memang menggunakan koin gerabah. Cara mendapatkannya, saat masuk ke lokasi Peken Pinggul, akan ada sebuah stan yang terbuat dari bambu. Di sana penjaga menjereng koin-koin tersebut. Sebutir koin nilainya sama dengan Rp2.000.

Tak menunggu lama, saya pun menukarkan sebanyak 10 koin gerabah untuk menikmati kuliner di sana. Hasilnya saya mendapatkan soto dan teh hangat senilai tiga koin. Harganya yang cukup murah tidak mengurangi rasa dari soto tersebut. Selain terjangkau, yang menjadi daya tarik dan menggugah selera adalah penggunaan gerabah sebagai mangkuk soto dan gelas teh. Ini memberikan kesan tradisional yang kental. 

Setelah kenyang, selanjutnya saya mencoba menu lain yang mengingatkan saya saat masih sekolah dasar, yaitu es goreng. Jajanan ini membawa saya ke kenangan masa lalu. Jika dulu saya membelinya dengan harga seribu rupiah, di Peken Pinggul saya bisa menikmatinya dengan harga satu koin. 

  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
  • Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten

Kenikmatan wisata kuliner tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah menilik lebih jauh, ternyata masih banyak kuliner yang sudah jarang ditemui, tetapi bisa dicicipi lewat Peken Pinggul. Salah satunya adalah getuk, yang terbuat dari singkong bercampur gula. Kudapan khas Jawa tersebut sangat populer di kalangan masyarakat desa. Rasanya yang manis dan mengenyangkan dipadu dengan kelapa parut sangat cocok untuk menjadi menu sarapan.

Usai kenyang dengan asupan soto, teh, getuk, dan es goreng, saya berangan makanan penutup adalah hal yang pas untuk pagi ini. Dari awal saya datang ke Peken Pinggul, saya sangat ingin menikmati makanan tradisional bernama sawut. 

Meskipun terbuat dari singkong, tekstur dari sawut sangat lembut dan mudah dicerna. Penganan ini memiliki rasa manis alami yang berasal dari singkong, serta taburan gula yang bercampur dengan gurihnya parutan kelapa. Tanpa pikir panjang, saya pun langsung membelinya dengan dua koin. 

Sebenarnya masih banyak kuliner yang bisa dicoba, misalnya dawet ayu, telur gulung, dan cilor. Bahkan tak hanya makanan olahan yang dimasak, Peken Pinggul juga menjual buah, seperti salak dan manggis. Namun, sayangnya perut dan dompet saya tak mampu mengakomodasi semangat berlebih dari wisata kuliner ini. 

Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
Sawut, kudapan jadul yang saya nanti-nantikan sejak sebelum berangkat ke Peken Pinggul/Aldino Jalu Seto

Belajar Pengembangan Desa dari Peken Pinggul

Setelah menelusuri dari ujung ke ujung, saya melihat banyak keunikan dari Peken Pinggul. Selain jajanan pasar yang sangat dekat dengan saya semasa kecil, Peken Pinggul juga menghadirkan panggung kesenian yang diisi oleh masyarakat Desa Melikan sendiri, seperti karawitan. 

Dalam sebuah obrolan dengan Sri Lestari, sekretaris KUBe (Kelompok Usaha Bersama) yang membantu pelaksanaan Peken Pinggul, mengungkapkan alasan mengapa Peken  Pinggul hanya diadakan setiap Minggu Legi. 

Legi [dalam bahasa Jawa] itu [artinya] manis. [Legi] diambil mungkin biar laris manislah. Kalau Peken Pinggul, [kata] pinggul diambil dari ‘pinggir tanggul’,” terangnya. Adapun arti dari peken adalah pasar.

Akan tetapi, tidak setiap Minggu Legi ada panggung pertunjukan yang ditampilkan. Pementasan tersebut hanya dilakukan untuk merespons momentum-momentum besar agar keunikan di Peken Pinggul tetap terjaga. 

“Kalau biasanya kita cuma dagang. Kadang ada yang senam, kalau Hari Ibu kita adakan lomba apa [yang setema], [atau] agustusan. Kita sesuaikan dengan momen di bulan tertentu. Kalau tahun kemarin sebelum [pandemi] COVID-19 ada arak-arakan, bisa buka [dokumentasinya] di Instagram,“ jelas Lestari. Ia juga menambahkan kalau dulu para peserta harus pakai baju kebaya, lurik, caping, dan menggunakan bahasa Jawa.

Belajar Merawat Kebudayaan Dari Festival Peken Pinggul Klaten
Kelompok karawitan Desa Melikan sedang pentas di panggung Peken Pinggul/Aldino Jalu Seto

Lima tahun lalu Dani Utomo, pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) Desa Melikan, memikirkan cara agar para penerima PKH ini dapat sejahtera lewat usahanya sendiri. Lantas ia bersama ibu-ibu anggota PKH mulai berembuk membuat sesuatu yang unik dan lekat dengan tradisinya.

“Awalnya itu dari ibu-ibu yang menerima bantuan PKH. Kita bikin acara apa yang bisa menambah pemasukan, paling tidak, [bisa] bermanfaat dari bantuan-bantuan yang diterima itu ben dapat penghasilan. Ya, itu, dari kelompok PKH dirasa kok ramai dan unik akhirnya banyak yang gabung,” ungkap Dani.

Peken Pinggul memberikan kesan di benak saya. Tak hanya makanannya yang enak, tetapi imajinasi mengenai desa yang hidup dengan swadaya dapat direngkuh. Hasil yang didapatkan Peken Pinggul pun tak main main. Menurut keterangan salah satu pengurus, Peken Pinggul mampu menarik minat 500–1.000 orang dalam sehari. 

Lewat Peken Pinggul saya melihat potensi Melikan bagi masyarakatnya sangat besar. Apalagi ditambah dengan masih suburnya kebudayaan lokal di desa. Jika masyarakat merawat kebudayaannya, tak menutup kemungkinan kebudayaan tersebut dapat menghadirkan nilai-nilai tersendiri bagi perawatnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Merawat Kebudayaan dari Festival Peken Pinggul Klaten appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/belajar-merawat-kebudayaan-dari-festival-peken-pinggul-klaten/feed/ 0 42112
Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan https://telusuri.id/pasar-kangen-yogyakarta-miniatur-zaman-berbasis-kebudayaan/ https://telusuri.id/pasar-kangen-yogyakarta-miniatur-zaman-berbasis-kebudayaan/#respond Tue, 28 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42039 Pasar Kangen Yogyakarta kembali hadir untuk mengajak masyarakat menilik miniatur zaman, merasakan nilai-nilai kearifan lokal, dan menjalin relasi intim kemanusiaan. Saya tuliskan “relasi intim kemanusiaan” karena ketika berkunjung kita bisa saling bertegur sapa dan transaksi...

The post Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan appeared first on TelusuRI.

]]>
Pasar Kangen Yogyakarta kembali hadir untuk mengajak masyarakat menilik miniatur zaman, merasakan nilai-nilai kearifan lokal, dan menjalin relasi intim kemanusiaan. Saya tuliskan “relasi intim kemanusiaan” karena ketika berkunjung kita bisa saling bertegur sapa dan transaksi jual beli layaknya pasar tradisional.

Sebagai pengantar, Pasar Kangen Yogyakarta adalah sebuah acara tahunan yang telah dimulai sejak 2007 di Kota Yogyakarta. Di festival tahunan tersebut, pengunjung dapat menikmati beraneka ragam jajanan khas, unik, dan barang antik yang langka. Acara ini biasanya diselenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Namun, pada tahun 2024, Pasar Kangen hadir di salah satu perguruan tinggi negeri di daerah istimewa ini, yaitu Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). 

Pasar Kangen yang diselenggarakan di UNY mengambil tema “Transformasi Budaya Kerja, Menguatkan UNY PTN-BH”. Kegiatan ini diadakan di area Taman Pancasila Kampus UNY, Jl. Colombo No. 1, Karangmalang, Yogyakarta. Pasar Kangen UNY berlangsung selama 17–19 Mei 2024 dengan jadwal operasional berbeda. Pada hari Jumat (17/5), pasar mulai buka pukul 15.00–22.00 WIB, sedangkan Sabtu dan Minggu pukul 07.00—22.00 WIB. 

Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
Keramaian menyemut di pintu masuk Pasar Kangen UNY sisi utara Taman Pancasila/Danang Nugroho

Semangat dan Kreativitas Para Pedagang

Minggu malam (19/05), tepatnya pukul 19.00, saya berkunjung ke pasar tersebut karena saat itu merupakan hari terakhir pasar digelar. Lewat pintu masuk pasar bagian utara Taman Pancasila, saya dan para pengunjung lainnya berjumpa dengan stan tiap fakultas di UNY. Mengapa demikian? Sebab Pasar Kangen bekerja sama dengan kampus karena bertepatan dengan acara Dies Natalis ke-60 UNY.

Ketika saya berjalan lagi dan menilik tiap stan, semangat pedagang patut diacungi jempol. Mereka melayani dengan sepenuh hati siapa pun pembeli yang datang. Hal ini sesuai dengan pepatah yang dicantumkan di situs web pasarkangen.com: “Ora Cucul Ora Ngebul”, yang berarti manusia bergerak maka rezeki selalu hadir. Maksudnya, menjadi manusia yang rajin bekerja dan tak sekadar pasrah, sehingga keringat yang bercucuran akan berganti dengan rezeki dalam wujud apa pun.

Di sisi lain, terkait kreativitas, para pedagang memberdayakan stan masing-masing dengan dekorasi dan nama-nama yang unik. Tentunya hal tersebut untuk menarik para pengunjung agar mampir ke stan mereka. Contohnya, ada salah satu stan yang menjual dawet dengan jenama dawet ireng Jembut (Jembatan Butuh). Tidak hanya itu, di stan-stan lain juga menampilkan nama-nama unik pada produknya, seperti bir jawa, jeniper lupis, rempah suwuk, dan banyak lagi.

  • Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
  • Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
  • Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan

Aneka Jualan untuk Raga dan Jiwa

Para pedagang Pasar Kangen menawarkan berbagai jajanan khas yang unik dan langka yang pernah ada di Yogyakarta ataupun daerah lain, seperti rujak cingur, jadah tempe, es limon, gudek, sate kere, dan lento. Di stan lain, para pedagang ada yang menawarkan berbagai pernak-pernik macam aksesoris, lukisan, make up, dan barang-barang antik. Tak hanya itu, tersedia pula stan yang membuka jasa pijat di tempat tersebut. Kesemuanya itu yang dimaksud dengan jualan untuk raga.

Di sisi lain, tidak hanya raga, tetapi para pedagang juga menawarkan makanan untuk jiwa, yaitu buku. Beberapa stan menjual buku-buku lama yang masih layak jual dan baca. 

Dengan makanan yang higienis dan bergizi, raga manusia akan sehat. Dengan membeli dan membaca buku, cakrawala pengetahuan manusia akan bertambah dan tahu akan arah yang dituju. Pasar Kangen telah memberi penawar raga dan jiwa yang baik bagi para pengunjung.

Miniatur Zaman bagi Manusia Postmodernisme

Dapat dikatakan Pasar Kangen UNY merupakan miniatur zaman bagi masyarakat postmodern. Pasalnya postmodern ini mencerminkan masyarakat yang memiliki rasa keterasingan, rasa tidak aman, dan ketidakpastian mengenai identitas dirinya.

Karena hal tersebut, Pasar Kangen hadir untuk meredakan perasaan-perasaan itu agar para individu kembali pada fitrahnya. Dengan berkunjung dan menikmati suasana pasar, para pengunjung akan terbawa suasana tempo dulu dan menjalin interaksi dengan pedagang ataupun dengan pengunjung lainnya. 

Berkaitan dengan postmodernisme, ternyata ada satu hal unik di Pasar Kangen UNY. Terdapat salah satu stan yang menawarkan jasa peramalan melalui kartu tarot. Tentunya para individu postmodern yang memiliki perasaan akan “ketidakpastian” banyak yang memakai jasa tersebut. Para pengunjung itu tentunya ingin memiliki kepastian di kehidupannya, sehingga hari-harinya tidak gundah dan bingung. Unik bukan?

Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan
Stan yang membuka jasa pembacaan kartu tarot/Danang Nugroho

Berjalan, Membeli, dan Menikmati

Tiga kata yang diterapkan para pengunjung Pasar Kangen UNY, yaitu berjalan, membeli, dan menikmati. “Berjalan”, maksudnya mengitari semua stan dan melihat-lihat apa yang kira-kira menarik dan diinginkan. “Membeli”, berarti setelah mengitari stan yang ada di sana, para pengunjung mulai menjalin interaksi dengan pedagang, kemudian ada tawar-menawar dan transaksi jual beli. Terakhir adalah “menikmati”, usai para pengunjung membeli barang yang diinginkan, mereka tinggal duduk di pelataran Taman Pancasila UNY dan menikmati hiburan yang dipentaskan di panggung.

Beragam hiburan dihadirkan pada acara tersebut, beberapa penampilan seperti Yuliono Singsot, Damar Patung Pantonim, hiburan kesenian mahasiswa Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya (FBSB), penampilan dari beragam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan dari Himpunan Mahasiswa (HIMA) yang ada di lingkungan UNY. 


Daftar Pustaka

Adikara, G. (2024). Pasar Kangen UNY Hadirkan 200 Tenant Jajanan Nostalgia. Diakses dari https://www.uny.ac.id/id/berita/pasar-kangen-uny-hadirkan-200-tenant-jajanan-nostalgia pada 20 Mei 2024.
Situs Web Pasar Kangen (2023). Diakses dari https://www.pasarkangen.com/ pada 20 Mei 2024.
Wikipedia. (2023). Pasar Kangen Yogyakarta. Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_Kangen_Yogyakarta pada 20 Mei 2024.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pasar Kangen Yogyakarta, Miniatur Zaman Berbasis Kebudayaan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-kangen-yogyakarta-miniatur-zaman-berbasis-kebudayaan/feed/ 0 42039
Sepenggal Kisah Eksistensi Pasar Gede Hardjonagoro Solo yang Terlupakan https://telusuri.id/sepenggal-kisah-eksistensi-pasar-gede-hardjonagoro-solo-yang-terlupakan/ https://telusuri.id/sepenggal-kisah-eksistensi-pasar-gede-hardjonagoro-solo-yang-terlupakan/#respond Thu, 25 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41754 “Pasar Gede ora sare”, begitu kira-kira istilah yang tepat menggambarkan keriuhan Pasar Gede Hardjonagoro di Jalan Jend. Urip Sumoharjo Solo. Pasar Gede tidak tidur. Maknanya, selama sehari penuh aktivitas masyarakat Pasar Gede tidak pernah berhenti....

The post Sepenggal Kisah Eksistensi Pasar Gede Hardjonagoro Solo yang Terlupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
“Pasar Gede ora sare”, begitu kira-kira istilah yang tepat menggambarkan keriuhan Pasar Gede Hardjonagoro di Jalan Jend. Urip Sumoharjo Solo. Pasar Gede tidak tidur. Maknanya, selama sehari penuh aktivitas masyarakat Pasar Gede tidak pernah berhenti. Ketika menjelang Subuh, hilir mudik tengkulak dan pembeli tiada henti menyambangi. Lalu lalang kendaraan dan masyarakatnya senantiasa mewarnai kesibukan pasar induk Kota Solo tersebut setiap hari. 

Keberadaan Pasar Gede semakin menonjol lantaran keberadaannya tepat di tengah Kampung Pecinan Balong. Tak ayal, setiap tahun baru Imlek tiba, masyarakat umum tumpah ruah menyaksikan gemerlap lampion dan atraksi barongsai singa dari Kelenteng Tien Kok Sie, atau biasa disebut Kelenteng Pasar Gede. Letaknya tepat di selatan pasar.

Tidak berbeda jauh dengan keramaian Pasar Cepogo yang saya sambangi sebelumnya. Dua pasar yang memiliki kesamaan sebagai pasar tradisional, hanya saja berbeda keriuhannya. Penelusuran saya kali ini masih sendirian, guna mendekatkan diri dengan segala hal yang mungkin terjadi. Selain itu juga lebih leluasa mengabadikan momen dan menghabiskan waktu bercengkerama dengan warga setempat.

Sepenggal Kisah Eksistensi Pasar Gede Hardjonagoro Solo yang Terlupakan
Tampak depan gedung induk Pasar Gede Hardjonegoro Solo/Ibnu Rustamadji

Melihat Masa Lalu Pasar Gede

Setelah sekitar 35 menit berkendara dari Boyolali ke arah timur, tibalah saya di Kota “Bengawan” Solo. Ada dua pasar yang saya telusuri, yakni Pasar Gede induk dan pasar buah di sebelah baratnya. Keduanya satu kesatuan, hanya terpisahkan Jalan Jend. Urip Sumoharjo.

Sembari mencari kantung parkir, mata saya langsung tertuju pasar induk untuk penelusuran pertama. Terdapat rambu peringatan dilarang parkir di tepi jalan. Ternyata jika hendak menuju kedua pasar diharuskan parkir di utara pasar. Ada petugas yang mengarahkan, jadi tidak perlu bingung mencari tempatnya.

“Nah, kalau begini, kan, enak. Parkiran luas dan tidak mengganggu jalan utama,” batinku.

Langkah kaki saya dan lensa kamera yang saya bawa sudah tidak sabar mengabadikan setiap momen. Plakat bertuliskan “Pasar Gede Hardjonagoro” menjadi tanda bahwa Pasar Gede sudah di depan mata. Hanya saja, pandangan sedikit teralihkan plakat kecil di samping kiri pintu masuk.

Plakat tersebut menunjukan bahwa Pasar Gede Hardjonagoro sudah berstatus bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Solo. Selidik punya selidik, setelah berkomunikasi via pesan singkat dengan rekan saya, Heri Priyatmoko, Pasar Gede sudah berumur 95 tahun. Rasa penasaran bercampur bahagia memuncak, tatkala ia menceritakan masa lalu pasar kebanggan wong Solo ini.

Awal pertama kali Pasar Gede didirikan sekitar tahun 1929 oleh arsitek kenamaan Hindia Belanda, yakni Ir. Herman Thomas Karsten. Lahan Pasar Gede saat ini, di awal abad ke-19 merupakan tanah milik pejabat pemerintah berstatus Kapitein der Chinezen bernama Be Kwat Koen.

Pasar Gede awalnya hanya pasar oprokan atau lesehan, didominasi pedagang luar kota. Mereka tahu kawasan tersebut bernama Kampung Pecinan. Pedagang luar kota tersebut berjualan lesehan, sedangkan pedagang Tionghoa memilih berdagang di rumah toko mereka.

Pasar oprokan semakin menjamur, kapitan Be Kwat Koen menjalin kerja sama kontrak selama 40 tahun dengan residen Solo, yakni Tuan Schneijder guna mengelola pasar tersebut. Kapitan Be Kwat Koen mendapat konsesi mengelola tanah dan pasar hingga tahun 1924.

Setelah Tuan Schneijder purna jabatan, pemerintah kolonial mengambil alih konsesi seluruh tanah dan pasar. Sebagai gantinya, Be Kwat Koen diberi dana sebesar 35.000 Gulden melalui bank negara Nederlandsche Handel Maatschappij Semarang. 

“Residen pensiun, pemerintah ganti untung dengan kapitan Be untuk mengelola lahan dan pasar,” jelas Heri.

Setelah urusan dan pengangkatan residen Solo berikutnya, yaitu Tuan Van Der Jagt selesai, pemerintah memutuskan segera menyusun rencana perbaikan pasar. Ada dua rencana utama, yakni perbaikan kebersihan dan tata letak pasar dari yang sebelumnya di persimpangan jalan.

Mendengar kabar revitalisasi pasar oprokan tersebut, Sunan Pakubuwana X dan Gusti Mangkunegara VII hadir meninjau dan bertemu langsung dengan sang residen. Mereka mencapai mufakat untuk segera menyelesaikan proyek tersebut dan bersedia menyumbang dana.

Menindaklanjuti hal itu, Tuan Van Der Jagt memerintahkan Asisten Residen Solo Tuan Berstch mencari insinyur untuk memperbaiki kondisi pasar. Ia pun segera menghubungi arsitek sekaligus perencana kota kenamaan Hindia Belanda, Ir. H. Thomas Karsten.

Thomas Karsten menerima pekerjaan tersebut, lalu segera mengajukan rancangan pertama perbaikan pasar kepada Van der Jagt. Pada waktu yang bersamaan, ia menyerahkan rancangan akhir jembatan Van der Jagt yang menghubungkan kantor balai kota, Kampung Kebalen, Kampung Baru, dan Pasar Gede saat ini.

Sesaat setelah rancangan awal Thomas Karsten diterima, penilaian pertama dilakukan oleh direktur Rijsk werken Tuan Zijlmans dan penasihat Van der Veen. Setelahnya dikaji kembali oleh Residen Tuan Van der Jagt, Asisten Residen Bertsch, wakil akuntan pemerintahan Tuan Jansz dan kepala bendahara Tuan B. J. F. Steinmetz.

“Hasil penilaian rancangan pertama, ditolak. Karena gedung pasar berdiri di atas jalur tram aktif. Desain pasar induk sudah disetujui bersama, hanya tata letaknya yang ditolak,” ungkap Heri lebih lanjut.

Rancangan pertama Thomas Karsten mendirikan tiga gedung pasar. Namun, karena lokasi di sekitar jalur tram aktif dan dana yang terkumpul sekitar 400.000 Gulden, hanya dua gedung yang bisa dibangun. Total dana dihabiskan sekitar  315.000 gulden, sisanya untuk membiayai pasar sementara di alun-alun pelebaran jalan.

Dana bersumber dari pemerintahan Gusti Mangkunegara VII dan Sunan Pakubuwana X. Pada pertengahan tahun 1928, rancangan diperbarui dan disempurnakan, lalu awal Januari 1929 proses pembangunan Pasar Gede dilaksanakan. Bekerja sama dengan Nederland Vereniging (N. V.) Braat & Co Surabaya dan N. V. Hollandsche Beton Maatschappij, proyek tersebut diperkirakan selesai setahun. Proses pembangunan berjalan lancar hingga selesai pada 11 Januari 1930.

Peresmian dilakukan hari Senin pagi, 13 Januari 1930. Upacara simbolis dilakukan Ratu Hemas dari Keraton Kasunanan Solo disusul pidato sambutan Gubernur Van Helsdingen, yang menggantikan Residen Van der Jagt. Dalam pidatonya, Van Helsdingen menaruh harapan kesuksesan Pasar Gede beriringan dengan perkembangan masyarakat Kota Solo. Di akhir sambutan, Van Helsdingen mempersilakan tamu minum minuman menyehatkan dan berkeliling menikmati panorama Kota Solo dari lantai dua Pasar Gede.

Merujuk catatan milik Heri, Van Helsdingen yang menutup rangkaian upacara sempat berucap, “Slametlah Pasar Besar Surakarta Adiningrat.” Sebagai simbol bahwa pasar sudah diresmikan dan siap digunakan. 

Sepenggal Kisah Eksistensi Pasar Gede Hardjonagoro Solo yang Terlupakan
Kondisi lantai dua Pasar Gede sisi barat/Ibnu Rustamadji

Pasar Gede Kini

Setelah puas mendapat cerita masa lalu Pasar Gede, kini saatnya saya menikmati suasana baru setelah dilakukan revitalisasi dan penataan. Awal operasional Pasar Gede sebagai pasar tradisional menjual barang kebutuhan pokok dan perhiasan. Setelahnya, gedung induk difungsikan sebagai pasar ikan. Hingga dewasa ini, gedung induk dan barat digunakan untuk pasar kebutuhan pokok dan buah.

Saat menginjakkan kaki semakin dalam, keriuhan semakin menjadi. Tidak perlu waktu lama saya beranjak ke lantai dua gedung induk, untuk melihat lebih luas cakupan kios pedagang yang harus saya lalui. 

Dilihat dari lantai dua, Pasar Gede memiliki dua pintu utama dalam satu garis lurus di sisi barat dan timur. Rangka atap berbahan besi dan kayu jati yang saling mengunci satu sama lain. Jelas Pasar Gede adalah hasil karya arsitektur zaman dahulu. Lapak pedagang berhadapan satu sama lain, menambah cita rasa Pasar Gede sebagai jantung ekonomi semakin kental.

Saya beranjak menuju sela-sela lapak untuk mengabadikan momen kegiatan perdagangan. Tengah asik memotret, tiba-tiba lensa kamera tertuju pada satu lapak penjual jajanan tradisional dengan menggunakan tenongan.

“Satunya berapa, Bu, rotinya?” tanyaku.

“Beda-beda, Mas. Ada yang seribu, ada yang dua ribuan, silakan mau yang mana,” jelas salah satu pedagang beraksen Jawa, sambil menunjukkan ragam kue tenongannya.

Sambil melihat-lihat, saya putuskan membeli kue bolu kukus, lapis legit, dan kue basah untuk mengganjal perut selama menyusuri Pasar Gede. Total kue yang saya beli sebanyak tujuh macam seharga 15 ribu rupiah. Harga kue memang tidak saya tawar, berbeda ketika membeli sayur atau buah.

Keramahan para pedagang terlihat jelas menggambarkan jiwa wong Solo. Meskipun mereka hanya sebatas pedagang pasar tradisional. Bau bumbu dapur senantiasa menyeruak di beberapa sudut lapak dan itu bisa dimaklumi. Inilah salah satu keunikan pasar tradisional, yang sudah semakin terkikis perkembangan zaman. 

Karena terlalu asyik menelusuri keindahan gedung induk Pasar Gede, tanpa saya sadari sudah berada di pintu masuk sisi timur. Saatnya saya berkeliling sisi luar dan dan berpindah ke gedung barat. 

Gedung barat yang saya datangi berbeda dengan gedung induk meski satu kesatuan dengan Pasar Gede. Mayoritas komoditas yang diperdagangkan di sini adalah buah-buahan dan ada warung makan. Lapak buah di lantai dasar, sedangkan warung di lantai atas. Panorama yang bisa dilihat dari lantai dua antara lain gedung induk Pasar Gede, Kelenteng Tien Kok Sie, kawasan Pecinan, dan Jalan Jenderal Sudirman.

Pedagang di kedua gedung tampak saling bersinergi satu sama lain meski yang dijual berbeda. Menurut saya, jika ingin berkunjung ke Pasar Gede, yang harus pertama dikunjungi adalah gedung induk dan warung kopi “Podjok” di utara gedung induk. Setelahnya baru menikmati keramaian, seperti yang saya lakukan di lantai dua gedung Pasar Gede sisi barat.

Sepenggal Kisah Eksistensi Pasar Gede Hardjonagoro Solo yang Terlupakan
Suasana menjelang senja di kawasan Pasar Gede/Ibnu Rustamadji

Tidak perlu khawatir kondisi sekitarnya. Cukup terawat dan tertata. Kantung parkir disediakan dan bakal dibantu petugas untuk mencarinya. Para pedagang juga cukup ramah, setia menunggu pembeli mampir ke lapak mereka.

Tawar-menawar sewajarnya tetap harus dikedepankan. Bagaimanapun, kehidupan para pedagang tergantung pada hasil jualan mereka sepanjang hari. Jika hanya ingin bersantai atau menunggu kerabat berbelanja, lebih baik berada di gedung pasar sisi barat.

Bagi para pegiat fotografi, tersedia beberapa areal yang cukup mudah dijangkau, seperti tugu jam Pasar Gede atau Kelenteng Tien Kok Sie. Biasanya terdapat lampion gantung di kedua tempat tersebut.

Senja mulai menggelayut. Penelusuran saya di Pasar Gede Solo turut berakhir. Saya puas menikmati cerita masa lalunya, keramahan pedagang, dan eksotisme gedung pasarnya. “Maka nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan” benar-benar saya alami selama menjelajahi Pasar Gede. Besar harapan saya, keberadaan pasar tradisional di mana pun tidak lekang oleh waktu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepenggal Kisah Eksistensi Pasar Gede Hardjonagoro Solo yang Terlupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepenggal-kisah-eksistensi-pasar-gede-hardjonagoro-solo-yang-terlupakan/feed/ 0 41754
Menyibak Keriuhan Pasar Cepogo Boyolali https://telusuri.id/menyibak-keriuhan-pasar-cepogo-boyolali/ https://telusuri.id/menyibak-keriuhan-pasar-cepogo-boyolali/#respond Wed, 17 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41702 Pasar tradisional Cepogo merupakan jantung ekonomi masyarakat lereng timur Gunung Merapi dan Merbabu, Kabupaten Boyolali. Hasil panenan dari gunung, dikumpulkan dahulu di Pasar Cepogo kemudian diambil pedagang dari luar kota. Layaknya sebuah pasar, hilir mudik...

The post Menyibak Keriuhan Pasar Cepogo Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Pasar tradisional Cepogo merupakan jantung ekonomi masyarakat lereng timur Gunung Merapi dan Merbabu, Kabupaten Boyolali. Hasil panenan dari gunung, dikumpulkan dahulu di Pasar Cepogo kemudian diambil pedagang dari luar kota. Layaknya sebuah pasar, hilir mudik pedagang dan pembeli silih berganti mewarnai aktivitas pasar tradisional tersebut setiap harinya.

Harga jual di Pasar Cepogo cenderung lebih murah ketimbang pasar perkotaan. Jika membeli dalam jumlah besar, harga bisa ditawar. Tawar-menawar juga berlaku untuk komoditas lain, seperti buah-buahan dan hewan ternak—saat hari pasaran tiba. Jika mengunjungi Pasar Cepogo pas hari pasaran, jangan terkejut apabila menjumpai berbagai macam dagangan dari bahan pokok hingga peralatan perkebunan.

Para pedagang biasa berjualan dari subuh hingga senja hari. Tidak sedikit dari mereka tak kuat menahan kantuk sehingga tertidur di samping dagangan. Pemandangan yang lumrah terjadi di pasar tradisional. Untuk menyiasatinya, mereka saling bertegur sapa dan membantu menjual barang dagangan satu sama lain. 

Momen-momen Penuh Kehangatan di Pasar Cepogo

Ketika mulai menginjakkan kaki menyusuri gang-gang kecil Pasar Cepogo, saya langsung disambut berjejer kios dengan aneka jenis dagangan. Sekadar lewat tanpa belanja pun tidak masalah. Tiada henti saya menyorotkan mata kamera untuk mengabadikan setiap momen yang sangat berharga.

“Mari silakan, Mas, mau cari apa?” para pedagang menyapa sepanjang jalan dan saling bersahutan tiada henti. Salah satu cara membalasnya adalah cukup dengan tersenyum dan menyapa balik. Begitu saja mereka sudah sangat senang. Tampak sederhana, tetapi belum tentu mudah dilakukan.

Selama menyusuri pasar, saya menyaksikan sesama pedagang tidak ada yang saling iri ketika ada pembeli yang menghampiri salah satu lapak. Batin saya, rezeki sudah ada yang mengatur. Pasti nanti juga laku semua.

Tatkala asyik mengabadikan potret seorang pedagang, tiba-tiba pedagang lain di belakang saya berteriak, “Wah, Mas! Masuk majalah apa ini nanti? Saya juga mau kalau difoto. Gratis kan, Mas?”

“Oh, iya, Bu. Boleh, gratis. Nanti saya masukan majalah Kuncung (majalah jadul)!” jawab saya dengan nada bercanda.

Lensa kamera tak henti merekam setiap tingkah laku si ibu, yang berhasil membuat saya ikut tertawa. Maklum, kehidupan warga desa di pasar tradisional pasti ada saja keunikannya. Di sela-sela obrolan, ibu itu masih sempat bercanda menawarkan sayur mentah kepada saya. 

“Murah, Mas. Seunting (satu ikat) hanya 1.000 rupiah,” ungkapnya dengan aksen bahasa Jawa.

Murah sekali memang. Namun, karena tujuan awal ke Pasar Cepogo untuk jalan-jalan dan memotret, dengan berat hati harus saya tolak tawarannya.

  • Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali
  • Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali
  • Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali

Setelah puas bercengkerama, saya melangkahkan kaki menyusuri Pasar Cepogo lebih dalam. Sayup-sayup terdengar suara sapi dan kambing berbalas-balasan di sela kebisingan pekerjaan pandai besi. Sejumlah induk sapi dan kambing berjejer memenuhi halaman tengah pasar. Bukan untuk disembelih lalu dijual dagingnya, melainkan dijual dalam bentuk indukan. Para pedagang ternak melakukan itu karena mereka ingin mengembangbiakkan anakan yang dimiliki.

Ongkos perawatan seekor sapi indukan cukup mahal. Tidak sedikit juga sapi atau kambing yang dijual masih produktif. Pedagang sapi indukan biasanya sudah memiliki ikatan bisnis dengan peternak yang kelebihan jumlah sapi indukan.

Saya sempat melihat sedikit keunikan di antara pengunjung. Mereka mengerubungi hewan ternak yang dijajakan. Ternyata, mereka sedang tawar-menawar dan bertanya jenis sapi yang sehat dan baik kepada para pedagang.

“Banyak yang tanya jenis sapi dan minta dicarikan untuk diternakkan. Kalau beli secara langsung dan dibawa pulang sendiri tidak banyak,” ungkap salah satu pedagang.

Harga yang ditawarkan bervariasi, tergantung jenis sapi perah atau pedaging dan seberapa besar ukurannya. Calon pembeli tidak perlu khawatir karena harga yang dipatok masih bisa ditawar. Tak ayal para pengunjung berjubel menyaksikan dan mencari informasi lebih dekat. Proses jual beli diadakan di lokasi, langsung berhubungan dengan pedagang.

Hewan ternak di Pasar Cepogo sebagian berasal dari luar kota Boyolali. Para pedagang pada umumnya melakukan itu demi mengadu keberuntungan. Tidak sedikit dari mereka, ketika hari pasaran ternak tiba, berpindah-pindah dan keliling ke kota lain.

“Jualannya tidak hanya di pasar ini [Cepogo] saja, tetapi juga kota lain. Tergantung situasi kondisi dan harga ternak di pasaran mana yang cocok, itu yang akan kita datangi,” ungkap salah satu pedagang ternak kepada saya.

Obrolan kami terhenti ketika datang salah satu pembeli. Ia menanyakan harga seekor sapi indukan penghasil susu. Tak butuh waktu lama, keduanya intens berbicara mengenai kondisi sapi yang sedang dijual. Ternyata si pembeli adalah warga Desa Sukabumi, Cepogo, yang juga seorang peternak sapi. Ia bercerita sedang mencari anak sapi perah untuk dikembangkan sendiri. 

Kabupaten Boyolali memang menjadi sentra produksi susu sapi. Hampir merata seluruh desa di Boyolali, sehingga terkenal dengan julukan Kota Susu.

Puas melihat jual beli ternak, rasa penasaran yang menggebu membawa saya ke tepi jalan di depan pasar. Di sana aktivitas pedagang tak kalah riuh. Saya melihat kemacetan dan lalu-lalang warga maupun para tengkulak. Silih berganti menghiasi jalan utama penghubung Boyolali dan Magelang.

“Ah, untung saja ada ibu-ibu jualan buah. Coba izin mengabadikan, semoga boleh,” gumam saya sembari tersenyum melihat ibu paruh baya berjualan di pinggir jalan.

Belum sempat meminta izin, si ibu sudah lebih dahulu meminta difoto karena menyadari kamera yang saya bawa. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ketika saya tak henti memotret, tiba-tiba muncul ibu-ibu lain datang menghampiri dan meminta ikut masuk frame kamera.

“Mas! Mbokdhe ikut foto, ya? Masuk TV!” teriak salah satu ibu sambil tertawa dengan aksen bahasa Jawa khas pedesaan.

Ia lantas mengajak kawan lainnya untuk ikut berfoto. Pemandangan ini sudah sangat jarang ditemukan. Meski hanya warga desa, keakraban dan kebersamaan merekalah yang menambah mewah setiap momen. Lagi asyik mengobrol, salah seorang ibu pedagang buah tiba-tiba menyodorkan pisang jualannya.

“Ayo, Mas, sambil dimakan. Adanya cuma pisang,” pintanya. Kan pisang dijual, kenapa diberikan cuma-cuma? Sejatinya pisang yang diberikan kepada saya tidak layak jual karena patah pada bagian tangkai, tetapi masih baik untuk dimakan.

Sebagai sesama orang desa, akhirnya saya terima pisang yang patah tersebut dan berbincang bersama. Ia sempat bilang kalau pisang satu tundun yang dijual harganya 15 ribu rupiah. Murah, matang pohon. Karena matang pohon terlalu lama, tangkai pisang rawan patah. Pisang patah sejatinya juga dijual dengan harga lebih murah. Namun, yang saya makan sejatinya milik si ibu tersebut.

Setelah lega bertukar cerita, waktunya saya pamit dan berterima kasih atas pemberian pisang dari si ibu. Belum sempat berdiri, ia kembali memberikan pada saya tiga buah pisang untuk bekal perjalanan. Sungguh, nikmat Tuhan yang tidak mungkin saya dustakan. Benar-benar saya syukuri.

Menyibak Keriuhan Pasar Tradisional Cepogo Boyolali
Senyum kegembiraan terpancar dari ibu-ibu penjual pisang di seberang pasar/Ibnu Rustamadji

Perlu Sinergi untuk Revitalisasi Pasar

Sepanjang jalan penghubung Boyolali–Magelang, persisnya di depan Pasar Cepogo, menjelang siang akan kian ramai dengan lalu lintas kendaraan dari Boyolali ke Magelang dan sebaliknya. Sebagian di antara pengendara tidak hanya sekadar lewat, tetapi juga transaksi jual beli.

Tidak sedikit yang bertransaksi di tepi jalan, karena situasi dan kondisi yang tidak menentu. Jika hari pasaran tiba, dapat dipastikan akses jalan utama akan tersendat. Kendaraan yang hendak menjual hasil panen pun ikut tertahan di pinggir jalan. Meskipun begitu, pemandangan tersebut lazim terjadi di Pasar Cepogo.

Para pengemudi tampak sesekali membuka terpal penutup bak mobil berisi sayuran segar. Tujuannya memastikan tidak ada kerusakan karena bisa menurunkan kualitas dan harga sayur. Salah satu dari pengemudi itu merupakan warga Desa Jrakah, Kecamatan Selo, daerah perbatasan dengan Kabupaten Magelang. Ia mengaku berangkat Subuh guna menghindari penumpukan kendaraan di Cepogo, walau faktanya tetap harus menunggu sampai menjelang siang. 

“Pasar Cepogo ini sentral perdagangan sayur-sayuran areal Merapi–Merbabu. Jadi, para tengkulak kalau beli sayur jumlah besar langsung ke sini. Kita yang dari atas mengumpulkan di sini, jadi mereka tidak perlu mencari sendiri,” jelasnya. 

Sebagai jantung ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Cepogo memberikan nilai lebih untuk kehidupan warga sekitar. Hanya saja, kondisinya terlalu semrawut dan kurang tertata. Tidak adanya kantung parkir dan keterbatasan bidang jalan membuat Pasar Cepogo kerap menyebabkan kemacetan.

Besar harapan saya, Pemerintah Kabupaten Boyolali dan stakeholder terkait mampu bersinergi. Bersama-sama dengan masyarakat menata pengelolaan Pasar Cepogo menjadi lebih baik, sekaligus tetap mampu mempertahankan keramahan orang-orangnya.

Tidak ada yang salah dengan revitalisasi pasar tradisional. Alangkah bijaknya melakukan revitalisasi tanpa menghilangkan keunikan yang sudah ada dan mendarah daging di dalamnya.

Kabut senja mulai mengiringi langkah saya. Memungkasi perjalanan menyusuri denyut kehidupan pasar tradisional Cepogo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyibak Keriuhan Pasar Cepogo Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyibak-keriuhan-pasar-cepogo-boyolali/feed/ 0 41702