pasar Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pasar/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 30 Nov 2023 08:45:25 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pasar Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pasar/ 32 32 135956295 Cerita dari Pasar Jatingaleh https://telusuri.id/cerita-dari-pasar-jatingaleh/ https://telusuri.id/cerita-dari-pasar-jatingaleh/#respond Mon, 04 Dec 2023 06:00:20 +0000 https://telusuri.id/?p=40069 Biasanya di hari Minggu aku menyempatkan diri untuk berolahraga. Seperti lari, jalan kaki, atau sekedar bersepeda. Namun, hari Minggu pagi ini sedikit terasa berbeda karena aku berencana mengikuti kegiatan memotret suasana Pasar Jatingaleh bersama kawan-kawan...

The post Cerita dari Pasar Jatingaleh appeared first on TelusuRI.

]]>
Biasanya di hari Minggu aku menyempatkan diri untuk berolahraga. Seperti lari, jalan kaki, atau sekedar bersepeda. Namun, hari Minggu pagi ini sedikit terasa berbeda karena aku berencana mengikuti kegiatan memotret suasana Pasar Jatingaleh bersama kawan-kawan dari komunitas Hunting Pasar Semarang.

Sebelum pandemi COVID-19, komunitas Hunting Pasar Semarang rutin mengadakan kegiatan memotret suasana pasar tradisional. Berpindah dari satu pasar ke pasar lainnya. Namun pada tahun 2020, saat pandemi COVID-19 melanda, mereka vakum mengadakan kegiatan selama beberapa waktu.

Penghujung tahun 2022, situasi pandemi membaik. Komunitas ini kembali menggeliat. Tetapi sayangnya, beberapa kali kegiatan dibatalkan karena di hari berlangsungnya acara, hujan turun sepanjang hari. Dan, akhirnya Pasar Jatingaleh menjadi pasar pertama yang mereka kunjungi setelah hiatus selama hampir tiga tahun.

Aku, yang gemar blusukan ke pasar-pasar tradisional sudah sudah sejak lama penasaran kegiatan ini. Secara kebetulan, Pasar Jatingaleh terletak tidak jauh dari rumahku. Pun, Pasar Jatingaleh memiliki bentuk bangunan yang unik dan cerita sejarah yang sangat panjang. Alasan-alasan tersebutlah yang membawaku hadir pagi itu.

  • Pasar Jatingaleh
  • Pasar Jatingaleh

Sejarah Singkat Pasar Jatingaleh

Keberadaan daerah Jatingaleh tidak lepas dari cerita Sunan Kalijaga, saat itu beliau sedang mencari pohon jati yang akan digunakan sebagai tiang Masjid Agung Demak. Di daerah ini, Sunan Kalijaga menemukan pohon jati yang ketika ditebang bukannya roboh, tetapi malah berpindah tempat (ngaleh). Oleh sebab itu, Sunan Kalijaga memberikan nama Jatingaleh (pohon jati yang berpindah) untuk tempat ini.

Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda menjadikan Jatingaleh—yang berbatasan langsung dengan daerah perbukitan Gombel—sebagai daerah perbatasan di bagian selatan Kota Semarang. Bahkan Belanda mendirikan sebuah pos perbatasan di sini. Orang-orang yang melintasinya berasal dari Kabupaten Semarang, Ungaran, Surakarta, Yogyakarta, dan sekitarnya.

Jatingaleh terus berkembang pesat. Hal tersebut dapat dilihat dari munculnya perkampungan-perkampungan warga. Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun sebuah pasar karena di dekat sana juga terdapat sebuah markas militer. Sekitar tahun 1930–1931, arsitek asal Belanda yang bernama Thomas Karsten diberi kepercayaan untuk membangun Pasar Jatingaleh.

Ciri khas Pasar Jatingaleh terletak pada tiang yang berbentuk seperti cendawan atau jamur dan ventilasi pada atap bangunan. Ventilasi tersebut berfungsi sebagai sirkulasi udara dan sumber penerangan alami pada pasar.

Pasar Jatingaleh menjadi pasar rintisan dengan konsep tiang cendawan yang kemudian diterapkan oleh Thomas Karsten pada pembuatan Pasar Johar tahun 1936. Ia berharap, kelak Pasar Johar akan menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara pada masanya.

Pasar Jatingaleh
Tiang-tiang penyangga Pasar Jatingaleh/Rivai Hidayat

Memotret Suasana Pasar Jatingaleh

Terhitung ada tujuh orang mengikuti kegiatan ini. Semuanya laki-laki. Kami mengawali kegiatan dengan berdoa, perkenalan diri, dan tentu saja mempraktikkan beberapa arahan yang diberikan selama kegiatan berlangsung. Arahan tersebut salah satunya yakni, kami harus meminta izin kepada pedagang atau siapa pun yang akan kami potret. Sebuah hal dasar sebagai bentuk menghormati dan persetujuan kepada orang tersebut.

Tidak ada rute khusus ketika berkeliling Pasar Jatingaleh. Kami memasuki pasar melalui pintu utama, kemudian berpencar sesuai dengan keinginan masing-masing. Begitu menginjakkan kaki di dalam pasar, tiang-tiang cendawan dan ventilasi berukuran besar yang menjadi ikon dari bangunan Pasar Jatingaleh menyambut. Kondisi bangunan pasar pun masih berdiri kokoh meski telah melewati perubahan zaman.

Para pedagang dan pengunjung tidak terkejut melihat kami yang berkeliling pasar sambil membawa kamera di tangan. Sepertinya mereka sudah tahu jika kami sedang memotret di Pasar Jatingaleh. Barangkali, mereka sudah biasa melihat orang-orang seperti kami ini. Pun, para pedagang juga tidak keberatan ketika kami meminta izin untuk memotret mereka. Bahkan beberapa dari mereka malah meminta untuk kami potret.

Aku menekan tombol shutter secara perlahan. Mengabadikan keadaan pasar dan para pedagang yang sedang beraktivitas. Terus berkeliling pasar sambil melihat aktivitas para pedagang melayani pembeli. Saking asyiknya, tiba-tiba aku sudah berada di bagian belakang pasar. Di sini aku berhadapan dengan dua kios penggilingan daging.

  • Pasar Jatingaleh
  • Pasar Jatingaleh
  • Pasar Jatingaleh

Suasana tampak lebih sepi pengunjung jika dibandingkan bagian utama pasar. Namun, suara mesin penggiling daging sangatlah berisik. Suara bisa memekakkan telinga, meskipun aku berada di luar kios. Para pegawai tampak tidak terganggu dengan suara mesin tersebut. Mereka tetap tenang saat memasukan daging dan tepung ke dalam mesin. Di dinding kios tertulis harga jasa penggilingan daging. Harga tersebut belum termasuk dengan tepung, bumbu, dan bahan lainnya. Kios ini juga menjual tepung dan bahan lainnya sebagai bahan pelengkap adonan bakso.

Biasanya, permintaan penggilingan daging meningkat pada Hari Raya Iduladha. Orang-orang yang mendapatkan daging kurban, hanya perlu membawa daging yang sudah dibersihkan ke kios ini. Menggiling, dan mengolahnya bersama bumbu dan tepung sesuai takaran hingga menjadi adonan bakso.

Pasar Jatingaleh seperti halnya pasar tradisional lainnya. Ada berbagai macam kios, mulai dari kios daging,  ikan, kelontong, sayur, jajanan, hingga kios pakaian. Dari semua kios yang ada, kios bumbu dapur milik pasangan suami istri menarik perhatianku.

Aku berhenti dan mengobrol dengan berbincang dengan mereka. Sayangnya, aku lupa menanyakan nama mereka berdua. Dari cerita mereka, aku tahu bahwa mereka sudah lebih dari 30 tahun berjualan di sini.

“Pada awalnya kami berjualan beras dan sembako, Mas.”

“Karena banyak saingan, akhirnya kami beralih menjual bumbu dan rempah-rempah,” jelas ibu penjual bumbu.
Selain menjual bumbu dan rempah, mereka berdua juga menjual jamu racikan, dan meracik bumbu aneka makanan seperti rendang, gulai, juga tengkleng.

Bisa dibilang bumbu dapur dan rempah-rempah di kios ini lengkap. Ada jahe, kunyit, kencur, temulawak, lengkuas, pala, kapulaga, daun salam, daun jeruk, hingga kayu manis. Mereka mendapatkan pasokan bumbu dapur dan rempah-rempah dari petani di sekitar Kota Semarang. Mulai dari Salatiga, Kabupaten Semarang, hingga Boyolali.

Pasar Jatingaleh
Penjual bumbu dapur dan rempah/Rivai Hidayat

Pagi itu, saat tangan sang istri sibuk meracik bumbu, mulutnya memberikan banyak sekali penjelasan mengenai manfaat masing-masing rempah. Aku seperti sedang mengikuti sebuah kelas perkenalan aneka rempah Nusantara. Sama halnya dengan penggilingan daging, permintaan bumbu dapur meningkat ketika Hari Raya Iduladha. Saat orang-orang memiliki banyak persediaan daging kurban. 

Sebenarnya perkenalanku dengan pasangan suami istri ini sudah terjadi saat aku masih kecil. Ibuku sering mengajakku ke kios ini. Di kios ini, ibuku sering membeli bumbu dapur dan jamu racikan. Dari dulu hingga sekarang, ibu menjadi pelanggannya. Tak jarang, ibu mendapatkan tambahan bumbu dan rempah-rempah dari pasangan suami istri ini.

Penjual bumbu dapur dan rempah-rempah di Pasar Jatingaleh tidak banyak. Hanya ada 2–3 kios saja. Kios milik pasangan suami istri ini merupakan yang terlengkap jika dibandingkan kios lain.

Aku lalu pamit dan berterima kasih kepada keduanya karena telah mengizinkan singgah, berbincang banyak hal tentang rempah, hingga memotret aktivitas mereka. Kemudian, aku menyusul teman-teman Hunting Pasar Semarang yang sedang beristirahat di bagian pasar.

Kegiatan ini ternyata menyenangkan. Di setiap sudut pasar tradisional, aku menemukan aktivitas yang melibatkan masyarakat dengan berbagai status sosial dan latar belakang. Jika ada kesempatan lain lagi, akan aku akan mengulangi apa yang sudah aku lakukan hari ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita dari Pasar Jatingaleh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-dari-pasar-jatingaleh/feed/ 0 40069
TFP Kopi Warung: ‘Western Food’ di Balik Pasar Gede Surakarta https://telusuri.id/the-french-press-kopi-warung-pasar-gede/ https://telusuri.id/the-french-press-kopi-warung-pasar-gede/#respond Wed, 05 Jan 2022 11:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31758 Kita banyak disuguhi tempat kuliner yang menyajikan western food, namun sebagian di antaranya menguras isi kantong. Di Kota Surakarta atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai Kota Solo, terdapat sebuah kedai western food dengan harganya sangat...

The post TFP Kopi Warung: ‘Western Food’ di Balik Pasar Gede Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Kita banyak disuguhi tempat kuliner yang menyajikan western food, namun sebagian di antaranya menguras isi kantong. Di Kota Surakarta atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai Kota Solo, terdapat sebuah kedai western food dengan harganya sangat bersahabat di kantong, baik untuk kalangan atas hingga ke bawah. The French Press Kopi Warung, namanya.

Pendirinya yakni pasangan suami istri Boby Ananta dan Meynar Intan. Alasan mereka memberi nama The French Press Kopi Warung karena terinspirasi dari nama mesin kopi otomatis (french press). 

The French Press Kopi Warung Pasar Gede Solo
Kedai The French Press Kopi Warung Pasar Gede Solo/Afrilia Rizki Bening

The French Press Kopi Warung terletak di Lantai 2 Pasar Gede, Kota Solo. Telah berdiri selama dua tahun sejak bulan November tahun 2019. Lokasinya yang berada di tengah-tengah pasar tradisional menjadi daya tarik sendiri, alasan pemilik memilih pasar sebagai lokasi dari kedai mereka karena pemilik ingin menciptakan sesuatu yang khas dan berbeda dari hal lain karena biasanya pasar-pasar hanya identik dengan makanan tradisional.

Meskipun begitu, berdirinya TFP Kopi Warung juga tidak ingin menghilangkan pasaran harga dari pasar tradisional sendiri yang terkenal tidak membuat “kantong kering”, pasalnya harga sajian menu di sini relatif terjangkau bahkan untuk pelajar, masyarakat sekitar, hingga wisatawan. Menariknya lagi, bahan baku sajian berasal dari dari pedagang di Pasar Gede sehingga mendorong perputaran roda ekonomi lokal.

Selain harga yang relatif terjangkau dan lokasi kedai representatif, The French Press Kopi Warung juga memiliki hal unik lainnya yakni pergantian menu setiap hari. Menu yang disajikan kedai tersebut terdiri dua kategori yaitu menu breakfast dan lunch.

Dari kedua kategori menu tersebut tentunya tiap-tiap menu memiliki jenis tersendiri, menu breakfast biasanya disajikan dalam bentuk sandwich dan salad yang harganya mulai dari Rp10 ribu, sedangkan lunch adalah main course dari The French Press Kopi Warung yang dibandrol harga paling mahal adalah Rp35 ribu.

Kedai The French Press Kopi Warung Pasar Gede Solo/Afrilia Rizki Bening
Chicken Caesar Salad di Kedai The French Press Kopi Warung Pasar Gede Solo/Afrilia Rizki Bening

Untuk menikmati sajian dari The French Press Kopi Warung, pengunjung bisa datang saat kedai buka pada pukul 10.00 hingga 14.00, di hari Senin hingga Jum’at. Sedangkan pada hari Sabtu kedai memiliki jam buka yang berbeda yakni pada pukul 10.00 hingga 14.3. Pemilik kedai menggunakan bahan baku yang selalu segar, oleh karenanya hanya jam operasional kedai tidak lama. Begitu pula, jika bahan baku sudah habis, maka kedai akan tutup meskipun belum mencapai jam operasional yang telah ditetapkan. 

The French Press Kopi Warung menjadi salah satu kuliner unggulan, selain nasi liwet, tengkleng, selat Solo, sate buntel, dan beragam kuliner unggulan lain di sini. Jika berniat datang untuk mencicipi ragam sajiannya, sangat tidak disarankan untuk datang pada waktu jam makan siang karena kedai padat pengunjung. Para pekerja memadati kedai ini, memanjakan perut dengan makanan yang enak dan harga yang relatif terjangkau. Akan tetapi jika pengunjung punya kesabaran lebih untuk menunggu, The French Press Kopi Warung menyediakan kursi panjang untuk para pengunjung yang mengantri mendapatkan meja. Nantinya, jika meja telah tersedia pengunjung akan dipersilahkan untuk duduk kemudian hanya menunggu makanan datang.

Karyawan kedai cukup banyak dan masing-masing dari mereka memiliki tugas tersendiri dalam penyajian menu-menu yang telah ditetapkan. Pelayanan yang diberikan juga memuaskan. Pramusaji sangat ramah, apabila kita ragu untuk memilih menu mana yang akan kita cicipi, pramusaji akan merekomendasikan makanan yang menjadi best seller, juga makanan lain yang sesuai dengan selera kita.

Kedai The French Press Kopi Warung Pasar Gede
Pancake coklat di Kedai The French Press Kopi Warung Pasar Gede Solo/Afrilia Rizki Bening

Untuk metode pemesanan sendiri tentunya menggunakan nomor antrian, namun jika makanan sudah siap, pramusaji akan menuju meja pengunjung dengan memanggil nama pemesan. Sehingga nomor antrian hanya digunakan sebagai urutan pemesanan saja, dan tentu saja akan terpakai juga saat melakukan pembayaran setelah makan usai. 

Pengunjung bisa membayar secara tunai dan transfer melalui rekening pemilik kedai. Meskipun menerapkan sistem makan dulu kemudian bayar, teman-teman jangan lupa untuk membayar makanan setelah perut kenyang ya!

Selain di kota Solo, The French Press Kopi Warung juga memiliki cabang di kota Yogyakarta tepatnya di Pasar Kranggan. Dari segi harga, menu, dan jam operasional sama dengan The French Press Kopi Warung yang berada di Pasar Gede. Oleh karena itu, untuk teman-teman yang sedang berada di Yogyakarta juga tetap bisa menikmati sajian dari kedai spesial ini.

The French Press Kopi Warung Pasar Gede hanya akan menjadi satu-satunya yang ada di Kota Solo karena pemilik hanya akan membuka cabang di kota yang berbeda.Untuk informasi lebih lanjut mengenai The French Press Kopi Warung baik itu menu sajian, promo, maupun cabang baru, kamu bisa melihatnya melalui media sosial mereka, ya!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post TFP Kopi Warung: ‘Western Food’ di Balik Pasar Gede Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-french-press-kopi-warung-pasar-gede/feed/ 0 31758
Menyusuri Pasar Kumandang hingga Candi Bongkotan https://telusuri.id/pasar-kumandang-sensasi-pasar-unik-di-tengah-hutan/ https://telusuri.id/pasar-kumandang-sensasi-pasar-unik-di-tengah-hutan/#respond Sun, 15 Aug 2021 12:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28826 Terkenal dengan hawa dingin khas pegunungan, tempat wisata alam yang menawan, dan beragam kuliner lezat yang menggoda lidah, adalah beberapa alasan kenapa para wisatawan berkunjung ke Kota Wonosobo. Jika biasanya wisatawan datang untuk berkunjung ke...

The post Menyusuri Pasar Kumandang hingga Candi Bongkotan appeared first on TelusuRI.

]]>
Terkenal dengan hawa dingin khas pegunungan, tempat wisata alam yang menawan, dan beragam kuliner lezat yang menggoda lidah, adalah beberapa alasan kenapa para wisatawan berkunjung ke Kota Wonosobo. Jika biasanya wisatawan datang untuk berkunjung ke Dieng, lain cerita sebelum pandemi singgah. Mereka datang untuk berkunjung ke Pasar Kumandang, Bongkotan. Pasar ini berhasil mencuri perhatian karena mengusung konsep pasar tempo dulu dan terletak di tengah hutan yang masih asri. 

Saya sendiri penasaran dan berkesempatan mengunjungi Pasar Kumandang bersama teman SMP. Kebetulan saya sedang berada di rumah Wonosobo, dan ingin menghabiskan akhir pekan dengan lebih produktif—tidak hanya sekedar rebahan di pojokan kamar.

Kami ke sana mengendarai sepeda motor dari rumah dengan estimasi waktu kurang lebih sekitar satu jam. Begitu tiba, suasana di area pasar sudah ramai pengunjung, dan rupanya saya kesiangan karena sudah begitu antre kendaraan yang terparkir. Terlihat tukang parkir dan beberapa petugas mulai kewalahan saat memberikan karcis pada para pengunjung sudah mulai mengular.

Letak pasar di tengah hutan/Annisa S

Lokasi Pasar Kumandang

Lokasi Pasar Kumandang mudah ditemukan, karena tidak jauh dari pusat Kota Wonosobo. Terletak di Jl. Candi Bongkotan, Dukuh Bongkotan, Desa Bojasari, Kecamatan Kretek, Kabupaten Wonosobo. Pasar ini hanya buka di hari minggu saja, mulai pukul 07.00 – 13.00 WIB.

Ini pasar wisata, bukan pasar tradisional pada umumnya. Letaknya berada di tengah hutan rindang, menggunakan koin atau kepingan kayu sebagai alat transaksi di dalam pasar. Tentu membuat saya penasaran ingin segera bertandang.

Begitu memasuki pintu masuk pasar, alunan musik angklungan menyambut. Para pemusik lengkap menggunakan blangkon dan pakaian batik khas tempo dulu bermotif garis berwarna coklat tua.

Dari pintu masuk, rupanya harus melewati tangga yang terbuat dari tanah. Ada papan penunjuk arah yang tersebar di area pasar sehingga memudahkan para pengunjung memilih area yang dituju. Setelah tiba di area pasar, banyak hal menarik yang saya jumpai. 

Koin untuk bertransaksi di pasar/Annisa S

Transaksi menggunakan kepingan kayu

Untuk bisa bertransaksi di pasar ini, para pengunjung harus membeli kepingan kayu terlebih dahulu di tempat pembelian yang bernama Bakul Koin. Satu keping kayu nominalnya adalah Rp2 ribu. Pengunjung bebas membeli berapa keping pun selama kepingan kayu masih tersedia di tempat pembelian.

Kebetulan saya dan teman sampai pasar pukul 10.00 WIB, Bakul Koin sudah ramai. Beruntungnya, saya masih kebagian walaupun hanya 5 keping saja. Sebab, peredaran koin di pasar ini memang dibatasi.

Suasana khas tempo dulu

Memasuki area pasar, ada banyak ornamen zaman dulu yang direpresentasikan di sini. Lihat saja para penjual yang berasal dari Desa Bongkotan, mereka mengenakan menggunakan jarik, kemben, dan blangkon. Para penjual di sini harus menggunakan tungku dari tanah liat guna memasak makanan yang dijual.

Menariknya, penggunaan besek bambu, dan daun pisang wajib digunakan sebagai pengganti plastik untuk semua kemasan makanan. Pengunjung yang membuang sampah sembarangan juga diberlakukan denda, dan tidak boleh merokok sembarangan di area pasar. Para pengelola telah menyediakan tempat khusus di salah satu sudut pasar.

Sayup-sayup alunan musik gamelan terdengar, serta lalu-lalang pengunjung yang datang membuat semakin riuh pasar. Ada yang menarik di sini, yakni penggunaan Bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi saat bertransaksi.

Kuliner yang disajikan pun semua khas Wonosobo, dipadu jajanan tempo dulu untuk nostalgia para pengunjung. Ada cilok bumbu kacang, tiwul, rujak buah, klepon, cenil, lopis, tempe kemul, nasi megono, pecel, mie ongklok, soto, dan masih banyak jajan lain yang lezat saya temui disini. 

Harganya pun terjangkau. Saya membeli satu porsi cilok seharga Rp4 ribu, dibayar dengan dua keping koin. Untuk nasi megono, harganya 3 keping sudah termasuk lauk tempe kemul. Tak hanya kuliner yang menggoda, sebagai pecinta kopi, saya dan teman saya juga mencicipi kopi tubruk khas Pasar Kumandang. Gelasnya terbuat dari bambu seperti gelas zaman dulu. Secangkir kopi ini, kebetulan saya mendapatkan secara gratis. Kebetulan, pemiliknya adalah teman kami SMP yang tak sengaja bertemu di pasar ini. 

Susana pasar Kumandang/Annisa S

Mainan anak tradisional 

Beragam permainan anak tradisional ada di sini, mulai dari egrang kayu, egrang batok kelapa, sirkuit ndeso, jungkat-jungkit, lumbungan, hingga memberi makan kambing.

Ada yang disediakan gratis, dan ada juga yang berbayar. Para pengunjung juga banyak mengajak anak-anaknya untuk bermain di sini. Nampaknya pelbagai permainan  di sini erat kaitannya dengan ungkapan Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa “permainan anak adalah pendidikan.”

Belajar aksara Jawa

Para pengunjung bisa mengikuti les Bahasa Jawa dan aksara Jawa gratis, di gubuk bambu di area pasar. Pengajar yang merupakan anak muda desa penuh semangat menerangkan, saya jadi sadar pentingnya belajar aksara Jawa.

Tetiba, saya ingat kalau dulu selalu malas untuk menghafalnya. Maka setiap ujian tiba, saya selalu membawa gantungan kunci beraksara Jawa yang saya pasang di tempat pensil. Memang, aman-aman saja dari pantauan guru kelas untungnya. 

Tidak hanya les aksara Jawa, beragam koleksi buku cerita, sejarah, juga tersedia. Pengunjung yang ingin membaca dan misal tidak tertarik dengan kelas aksara Jawa, bisa membaca beragam koleksi buku. Gubuk ini cocok untuk singgah sebentar, setelah memutari pasar dari pojok ke pojok sebelum akhirnya pulang. 

Candi peninggalan Mataram Kuno 

Menjelang pukul 12.00 WIB, saya bersama teman pun bergegas untuk pulang karena pasar segera tutup. Tak disangka, pintu keluar mengarahkan kami pada situs Candi Bongkotan.

Konon, ini merupakan situs bersejarah peninggalan Dinasti Syailendra. Ditemukan pada tahun 1996, di kawasan kebun milik seorang warga. Berdasarkan data penelitian Badan Arkeologi Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dilihat dari struktur bangunan batuan candinya, diketahui candi ini lebih tua jika dibandingkan dengan Candi Dieng.

Candi Bongkotan dibangun saat kerajaan Mataram Kuno, tepatnya saat Dinasti Syailendra menempati Dukuh Bongkotan untuk menjadikan pusat kajian spiritual. 

Berkunjung ke Pasar Kumandang banyak cerita menarik yang bisa saya bawa pulang; wisata, sejarah, dan kuliner lokal bisa semakin berkembang berkat kolaborasi para warga desa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Pasar Kumandang hingga Candi Bongkotan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-kumandang-sensasi-pasar-unik-di-tengah-hutan/feed/ 0 28826
Pasar Kangen Jogja, Menikmati Kuliner “Jaman Old” dan Berburu Barang Lawas https://telusuri.id/pasar-kangen-jogja/ https://telusuri.id/pasar-kangen-jogja/#respond Thu, 25 Jul 2019 09:34:49 +0000 https://telusuri.id/?p=15157 Pasar Kangen Jogja diadakan untuk mengenang “jaman old.” Dalam ajang tahunan yang sudah eksis sejak 2007 ini kamu bakal menjumpai aneka kuliner langka dan barang-barang antik yang sebagian mungkin jadi buruan para kolektor. Lalu, apa...

The post Pasar Kangen Jogja, Menikmati Kuliner “Jaman Old” dan Berburu Barang Lawas appeared first on TelusuRI.

]]>
Pasar Kangen Jogja diadakan untuk mengenang “jaman old.” Dalam ajang tahunan yang sudah eksis sejak 2007 ini kamu bakal menjumpai aneka kuliner langka dan barang-barang antik yang sebagian mungkin jadi buruan para kolektor.

Lalu, apa saja kuliner dan artefak masa lalu yang bisa kamu temukan di Pasar Kangen Jogja?

Aneka jajan pasar dan wedangan

Setahun sekali, aneka makanan, jajan pasar, dan wedangan yang sudah jarang ditemukan, kopdar di Pasar Kangen Jogja. Biasanya, stan kuliner disebar di halaman Taman Budaya Yogyakarta, venue Pasar Kangen.

lapak buku lawas
Lapak buku lawas di Pasar Kangen/Septiara Yuasga

Kamu bisa mencicipi geplak, lempeng, geblek (bukan pisuhan, tapi jajan pasar olahan ketela khas Kulonprogo), serabi kocor, es goreng, dll. Untuk mengobati dahaga, kamu bisa menyeruput minuman yang bikin anget, misalnya wedang jahe, wedang uwuh, bandrek, bir pletok, atau jamu-jamu langka yang sekarang lebih sering dikenang ketimbang diminum.

Yang bikin gembira, harga makanan dan minuman di Pasar Kangen Jogja ramah sekali di dompet. Harganya ada dalam kisaran Rp2.000-20.000.

Dari kerajinan tangan, barang antik, sampai buku lawas

Di Pasar Kangen Jogja, kamu juga bakal menjumpai aneka kerajinan tangan seperti tas dari karung goni, totebag rajutan, hiasan bunga cantik dari botol plastik, sampai kaos custom yang bisa dihiasi dengan lukisan wajahmu sendiri.

pasar kangen
Pertunjukan jathilan/Septiara Yuasga

Kalau suka barang-barang antik, kamu pasti bakal senang sekali menjelajahi Pasar Kangen. Lantai dasar Taman Budaya Yogyakarta selama gelaran biasanya dipenuhi oleh banyak lapak yang menjajakan barang-barang antik, dari mulai porselen, keris, kaset, koin-koin tua, sampai majalah dan buku lama.

Di halaman, penyelenggara menyediakan sebuah panggung yang tak pernah sepi selama gelaran Pasar Kangen. Setelah lelah keliling, kamu bisa duduk di kursi yang sudah disediakan untuk menonton tarian tradisional, wayang, atau pertunjukan teater sambil menikmati jajan pasar dan wedangan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pasar Kangen Jogja, Menikmati Kuliner “Jaman Old” dan Berburu Barang Lawas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-kangen-jogja/feed/ 0 15157
“Blusukan” di Pasar Gang Baru Semarang https://telusuri.id/blusukan-di-pasar-gang-baru-semarang/ https://telusuri.id/blusukan-di-pasar-gang-baru-semarang/#respond Wed, 10 Jul 2019 13:17:39 +0000 https://telusuri.id/?p=15001 “Mbak. Rebung’e, Mbak!” Seorang wanita paruh baya, dari balik deretan baskom berisi rebung, menawarkan dagangannya kepada saya yang baru saja tiba di Pasar Gang Baru, Semarang. Komoditas yang dijualnya adalah bahan baku lumpia, makanan khas...

The post “Blusukan” di Pasar Gang Baru Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
“Mbak. Rebung’e, Mbak!”

Seorang wanita paruh baya, dari balik deretan baskom berisi rebung, menawarkan dagangannya kepada saya yang baru saja tiba di Pasar Gang Baru, Semarang. Komoditas yang dijualnya adalah bahan baku lumpia, makanan khas Semarang. Rebung-rebung polos itu kelak akan dibaluri bumbu rahasia oleh para artisan lumpia.

Karena bukan peracik lumpia, secara halus saya tolak tawarannya.

Saya terus berjalan menelusuri gang sempit pasar yang berada di Pecinan Semarang ini. Mata saya jelalatan menyapu sisi kanan-kiri yang dipenuhi beragam komoditas—makanan, obat tradisional, sampai perlengkapan ritual masyarakat etnis Tionghoa.

pasar gang baru
Manisan, obat-obatan, dan rempah di Pasar Gang Baru/Mauren Fitri

Di sudut pasar yang hanya ramai antara jam 5 sampai 10.30 pagi ini, saya berjumpa lagi dengan teman-teman rombongan yang ternyata sedang asyik mencicipi jamu jun. Dipikir-pikir, wajar saja mereka tampak antusias menikmati minuman khas Kota Semarang itu. Akhir-akhir ini, jamu jun memang sudah agak sulit dijumpai.

Buat kamu yang belum tahu, jamu jun terbuat dari tepung beras dicampur dua belas rempah. Namun, tak seperti jamu kebanyakan yang pahit, jamu jun manis, sebab dilengkapi dengan gula Jawa.

Nama “jun” tak ada hubungannya dengan sitkom “Jin dan Jun” yang sempat populer tahun 90-an dulu. “Jun” adalah bahasa Jawa dari wadah tanah liat mirip kendi yang jadi tempat menyimpan jamu yang sudah semakin langka itu.

pasar gang baru
Bahan-bahan jamu jun/Mauren Fitri

Menurut sang penjual, khasiat jamu jun adalah meningkatkan imunitas tubuh. Jadi, jamu yang satu ini cocok sekali disantap kalau kamu sedang masuk angin.

Dari jamu jun, saya melanjutkan penelusuran. Di satu tempat pandangan saya tertuju pada bahan makanan yang menggantung di depan rumah lawas. Sekilas, bentuknya seperti balon-balon panjang. Penasaran, saya pun mendekat untuk mengamati lebih lekat. Saking antusiasnya, saya sampai kaget ketika pundak saya ditepuk seseorang.

“Ada yang bisa saya bantu, Dek?” ia bertanya. Melihat saya yang kebingungan, ia berinisiatif memberikan informasi, “Ini bahan untuk sosis—sosis daging babi.”

pasar gang baru
Usus babi sedang dikeringkan/Mauren Fitri

Kami pun berkenalan. Paman itu bernama Bambang. Ia bercerita bahwa sudah sejak tahun 1970-an ia memproduksi sosis babi.

Dengan antusias ia membawa saya tur kecil-kecilan. Di dalam rumah milik Paman Bambang, yang ternyata juga digunakan untuk berjualan, ada paman lain yang sedang sibuk membuat sosis babi. Waktu saya tiba, ia sedang membersihkan usus babi di sebuah ember hitam besar. Dengan cekatan, ia lalu memompa usus itu terus mengikat kedua ujungnya. Kalau sudah begini, usus itu siap dijemur untuk dikeringkan.

Paman Bambang bercerita bahwa usus itu akan diisi dengan daging cincang yang sudah dibumbui dan digoreng. Lalu, usus-usus yang sudah diisi dengan daging cincang itu akan direbus sampai matang. Supaya “bungkusnya” tidak pecah saat direbus, sosis itu ditusuk-tusuk dengan garpu.

Ini adalah pengetahuan baru bagi saya.

Beberapa potong gandos hangat/Mauren Fitri

Saya pun undur diri dari kedai Paman Bambang dan kembali mengitari Pasar Gang Baru. Ternyata masih banyak bahan makanan lain yang dijual di sini. Saya melihat berbagai macam bakso—udang, sapi, ikan. Ada pula kekian dan hekian yang menjadi bahan capcay, kue basah dan kue kering, buah, sayur, dan hasil laut.

Selain bahan makanan—dan jamu jun—di kawasan Pasar Gang Baru kamu juga akan menemukan kuliner-kuliner menarik seperti es gempol Pleret (ala Bu Riyanti), es cincau, lontong pecel, gandos, dan sayur asin khas peranakan.

Kapan-kapan, sempatkanlah blusukan ke Pasar Gang Baru. Percayalah, banyak sekali hal menarik yang bakal kamu dijumpai di sana.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Blusukan” di Pasar Gang Baru Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/blusukan-di-pasar-gang-baru-semarang/feed/ 0 15001