pegunungan meratus Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pegunungan-meratus/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 11 Nov 2023 08:23:16 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pegunungan meratus Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pegunungan-meratus/ 32 32 135956295 Permata di Belantara Meratus (2) https://telusuri.id/permata-di-belantara-meratus-2/ https://telusuri.id/permata-di-belantara-meratus-2/#respond Sat, 11 Nov 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40030 “Kalau ada niat belajar, diajarin [pasti] bisa,” ucapnya sambil menghela napas dengan berat. Kemudian ia beralih menceritakan anaknya yang lain. “Yang paling tua, punya suami orang Jawa.” Tiba-tiba Ipau menyambar omongan Balian Makirim, “Coba yang...

The post Permata di Belantara Meratus (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Kalau ada niat belajar, diajarin [pasti] bisa,” ucapnya sambil menghela napas dengan berat. Kemudian ia beralih menceritakan anaknya yang lain.

“Yang paling tua, punya suami orang Jawa.”

Tiba-tiba Ipau menyambar omongan Balian Makirim, “Coba yang menantu Jawa itu ajarin bebalian.”

“Sudah diajarin betetamba kemarin itu, lampahan [semedi] yang buat tetamba. Cuma beberapa hari dia ngambilnya..”

“Terus gimana, bisa jadi?” Pak Hairiyadi turut penasaran.

“Tiga kali aja mana mau jadi!” keluh Balian Makirim sembari mengepulkan asap ke langit-langit dari lorong napasnya. Dengus amarah istri Yulianus masih terdengar, walau suaranya sudah perlahan menurun—hampir menyerupai orang yang hendak menangis. Tak lama berselang, Balian Makirim pamit untuk mempersiapkan ritual malam ini.

Permata di Belantara Meratus
Berkumpul bersama di rumah Yulianus/M. Irsyad Saputra

Ritual Malam

Kala malam sudah mulai kian pekat, motor dan mobil justru datang dari berbagai penjuru, terparkir di setiap sudut jalan. Orang-orang sudah berjubel memenuhi halaman depan balai kepunyaan Balian Makirim. “Las Vegas” adalah daya tarik orang-orang selain ritual yang akan berlangsung malam ini. Semua orang; laki-laki dewasa, anak-anak, hingga perempuan paruh baya menggandrungi permainan adu nasib dengan lemparan angka tersebut.

Ritual Balai Jelapah dan Tumban pun mulai. Balian Makirim dan Balian Malimpar berputar mengelilingi hiasan dedaunan enau yang berbentuk seperti empat sudut mata angin sembari memegang nyala api di lilin yang berhias dedaunan. Nyala api berpendar di remang malam yang riuh dengan iringan kalimpat, suasana ramai dan sakral bercampur. Para balian juga mondar-mandir di hadapan sangkar ampatung, memohon pelaksanaan ritual selalu diberkahi oleh para punggawa kasatmata, datuk-datuk, dan leluhur. 

Tiba-tiba saja, sesosok perempuan lewat melintasi kerumunan yang sedang menyaksikan ritus. Saya baru melihatnya lagi setelah acara kemarin malam, dan rupanya dia tidak beraksi di ritual pada malam terakhir kali ini. Dengan kikuk, saya mencoba menegurnya.

“Kak, ada waktu? Boleh saya bertanya sesuatu?” kalimat tersebut meluncur dari mulut saya.

Matanya melihat saya penuh heran, kemudian tersenyum saat saya bilang saya ingin lebih banyak tahu perihal balian perempuan di Gadang. Saya masih menunggu jawabnya. Beberapa saat kemudian dia berucap, “Baiklah, tapi tunggu sebentar, ya. Nanti saya kabarin kalau sudah senggang,” ucapnya sambil tergesa berjalan ke arah dapur.

Permata di Belantara Meratus
Tihang rajaki, salah satu unsur esensial dalam kegiatan aruh/M. Irsyad Saputra

Balian Bah Perempuan

Tak lama, ritual pembuka di malam penutup ini sudah usai. Saya bergegas ke dapur balai, menunggu perempuan tersebut tak lagi beraktivitas. Setelah cukup senggang, saya kemudian menyapanya kembali. Sarian memperkenalkan dirinya.

“Apakah menjadi balian karena kemauan sendiri?” pertanyaan tersebut menyeruak dari mulut saya. Menelisik.

“Saya ingin sendiri [menjadi balian] agar bisa menamba’i [mengobati] anak-anak saya,” jawabnya polos. Ia mengakui bahwa baru ritual pada tahun ini ia mengikutinya sebagai balian.

“Memang berapa lama agar bisa dianggap balian yang benar?”

“Kira-kira sekitar lima tahun mungkin. Kan, belajar dulu, baru hafal.”

Sarian tidak pernah mengenyam pendidikan formal sampai tuntas karena di tempat tinggalnya dahulu, Sampana’a, tidak ada institusi pendidikan yang berdiri. Ia sempat mengecap pendidikan dasar kelas satu. Sehari-harinya ia membantu orang tuanya sampai ia menikah di usia muda dan meniti hidupnya sendiri.

Ketika saya bertanya kenapa perempuan harus juga menjadi balian, ia menjawabnya dengan sederhana. Keluarga. Baginya, menjadi balian diperuntukkan untuk melindungi keluarga.

“Saya mau menjadi balian Bah, ai. Agar bisa menenamba’I keluarga ulun,” ucapnya suatu hari pada Balian Makirim, yang akhirnya membukakan jalannya menjadi balian.

Sarian mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Keduanya sudah duduk di bangku SD dan SMP. Besar di dunia yang penuh dengan gawai cerdas dan video TikTok berseliweran. Anak-anak yang mungkin saja suatu saat punya mimpi yang lebih besar daripada mimpi ibunya yang bersahaja. Sudikah bila anak-anaknya suatu saat menjadi balian?

“Itu tergantung mereka. Hati mereka niat nggak jadi balian. Jadi, tidak bisa dipaksa. Walaupun orang tuanya balian, tetapi kalau di hati tidak ada kemauan jadi balian, tidak akan jadi balian.” Bunyi tabuhan kalimpat makin membahana di seantero balai. Suara kami menjadi samar, sesamar dusun ini dari peta Kalimantan Selatan. Meskipun malam ini tidak tampil ritual, Sarian tetap sibuk membantu persiapan di dapur. 

Saya juga berbicara dengan Santi dan Katrina tentang akses pendidikan, cita-cita, juga harapan mereka menyangkut Gadang di masa depan. Santi dan Katrina adalah keponakan Yulianus yang mengejar pendidikan tinggi hingga Kotabaru. Mereka mengenyam pendidikan di kampus yang sama STIKIP Paris Barantai Kotabaru. Santi mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan Katrina mengambil jurusan Pendidikan Jasmani dan Rekreasi.

Mengapa mereka ingin mengenyam pendidikan tinggi? Bukankah orang-orang seringkali mencibir bahwa seharusnya perempuan cukup di rumah saja? Apakah pemikiran kuno ini juga membayangi mereka?

“Ibaratnya saya ini di kampung, tetapi kan kampung nggal selamanya menjadi kampung, kemungkinan suatu saat pemerintah bakal membangun di sini. Nggak mungkin, kan, kita bisa kerja di pemerintahan kalau kita nggak sekolah. Dengan kuliah, kita menambah wawasan,” cerocos yang keluar dari mulut Katrina menyiratkan semangat untuk belajarnya. Berbeda dengan Santi, awalnya dia tidak mendapat izin kuliah. Kemudian dia mendaftar diam-diam. Setelah diterima, barulah orang tuanya menyetujui keputusannya berkuliah. Bagi mereka berdua, pendidikan adalah salah satu jalur untuk mengentaskan ketertinggalan.

Kala Sarian adalah wajah Meratus yang masih menuktohkan Meratus dengan religi lama yang sarat akan petuah-petuah bijak yang tersembunyi di laku dan tutur, Santi dan Katrina adalah wajah Meratus masa depan yang menatap moderenitas adalah keniscayaan yang mengambang.

Permata di Belantara Meratus
“Las Vegas” Gadang, tempat mengadu nasib dalam putaran dadu yang diguncang/M. Irsyad Saputra

Adu Nasib di “Las Vegas”

“‘”Las Vegas” dengan penerangan bohlam-bohlam 25-watt penuh dengan semua orang yang mengadu nasib di gelanggang. Uang merah dan biru yg berlipat ganda menjadi taruhan dengan nilai yang tak terperi. Sekali menang, pulang ke rumah dengan senyum menggelegar. Sekali kalah, siap-siap saja dengan omelan istri yang pedasnya akan mengalahkan nasi goreng karet dua. Uang instan memang selalu menggiurkan.

“Bagaimana cara mainnya, paman?” tanya saya pada seorang lelaki bermata cekung yang sedang duduk santai di dalam balai.

“Begini, bila kamu mau taruhan, pasang angka yang kira-kira akan sering muncul. Nah, kalau mau dapat uangnya lebih banyak, kamu pasangnya palang,” mulutnya berbuih menerangkan kepada saya alur mainnya. Namun, saya hanya bertanya. Saya tidak tertarik untuk mencoba—selain karena memang tidak punya uang

Saya menyadari bahwa rombongan Pak Hairiyadi tak satu pun yang berada di balai ataupun di sekitar balai. Begitu juga dengan Balian Makirim. Ke manakah mereka? Saya yang sendirian kembali memandangi dadu-dadu yang terkocok. Lama menunggu, mata saya mulai terasa berat. Acara di balai juga belum mulai. Saya menunggu dalam tidur yang membuyarkan lamunan tentang prosesi ritual kanyaru dan terlelap hingga fajar menjelang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Permata di Belantara Meratus (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/permata-di-belantara-meratus-2/feed/ 0 40030
Permata di Belantara Meratus (1) https://telusuri.id/permata-di-belantara-meratus-1/ https://telusuri.id/permata-di-belantara-meratus-1/#respond Thu, 09 Nov 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40023 Sorot dari bola mata itu mulai berpindah ke sudut mata. Melirik tajam orang-orang di sekelilingnya yang memerhatikan ritual secara saksama. Ia mengiringi penghulu yang sedang merapal mantra dan berkeliling rimbunan. Ketika sorot mata itu sampai...

The post Permata di Belantara Meratus (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Permata di Belantara Meratus
Rimbunan/M. Irsyad Saputra

Sorot dari bola mata itu mulai berpindah ke sudut mata. Melirik tajam orang-orang di sekelilingnya yang memerhatikan ritual secara saksama. Ia mengiringi penghulu yang sedang merapal mantra dan berkeliling rimbunan. Ketika sorot mata itu sampai ke arah tempat saya duduk, saya jadi tersipu dan berusaha membuang muka agar ritual tak terganggu dengan kehadiran saya. Sosoknya sudah saya dengar di obrolan sebelumnya tentang eksistensi balian perempuan di Dusun Gadang, Kecamatan Hampang, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.

Ia menghayati setiap larik yang terucap dari mulut ayahnya, Penghulu Makirim dengan wajah menunduk. Bibir mungilnya ikut bergerak, mengikuti lantunan irama mantra yang diikuti dendang kalimpat—menabuhkan gema mistis yang merebak ke penjuru balai. Wajahnya bak putri di negeri dongeng orang-orang Austronesia; dengan riasan tipis dan gincu merah keunguan. Namun, di beberapa momen ia terlihat seperti menanggung beban berat di pundaknya. Bukankah harusnya kamu malam ini bergembira?

Saya berpindah tempat, diam-diam mendekatinya untuk mendengar apa yang ia ucapkan. Saya masih tidak bisa mendengar dengan jelas. Para balian—termasuk dia dan Penghulu Makirim—yang berjumlah tiga orang mulai mengelilingi rimbunan lagi dan lagi. Balai yang berada di Dusun Gadang ini hanya seukuran rumah tinggal. Luasnya yang tidak terlalu besar membuat keramaian balai terbagi. Sebagian duduk memperhatikan ritual di dalam dan sebagian lainnya menghabiskan waktu dengan bermain judi dadu di luar balai.

Tidak berapa lama, Balian Makirim menyudahi ritualnya. Kemudian berdirilah sosok muda yang energik dengan badan tegap dan kokoh. Ia mulai merapal mantra, menggantikan peran Balian Makirim yang membimbingnya dari samping. Derap kaki dan irama gelang hyang seirama dengan gerak tubuhnya yang meledak-ledak. Ia juga mengobati orang-orang sakit yang hadir ke balai malam itu dengan berharap kesembuhan. Saking panjangnya ritual malam ini, mata saya tidak lagi mampu menahan amukan kantuk yang mendera. Untungnya, Yulianus berkenan menjadikan rumahnya sebagai tempat istirahat kami.

Permata di Belantara Meratus
Balian Makirim sedang merapalkan mantra-mantra menghadap rimbunan/M. Irsyad Saputra

Berbagi Peran dalam Tradisi

Pagi ini langit berselubung awan. Matahari masih malu untuk bersinar kuat. Gemeresik angin mulai menyapa lewat sela papan kayu. Beberapa orang sudah berkumpul pagi ini untuk mengobrol; berteman biskuit, teh hangat, juga lemang. Mata saya masih terasa berat untuk mengikuti obrolan, saya hanya mendengarkan saja tanpa ada membalas percakapan tersebut. Mereka saling berdebat siapa calon presiden terbaik yang akan memimpin Indonesia ke depannya. Rupa-rupanya, hasrat politik nasional tidak hanya hinggap ke perkotaan, tetapi sampai hingga pedalaman Meratus—yang sinyal selular pun belum singgah.

“Partai politik itu semuanya licik!” ujar salah seorang yang juga menjadi kesimpulan pembahasan politik pagi ini.

Saya juga menyudahi mendengar pembicaraan tersebut dan berjalan keliling kampung. Sisa-sisa malam yang semarak ternyata masih membahana di pagi yang mendung ini. Ritual akan berlanjut nanti malam. Namun, bandar judi sudah bersiap sepagi mungkin, mengais dan membagikan pundi-pundi rupiah. Tentu kepada yang beruntung hari itu. Tuhan mengharamkan bermain judi, tetapi mengizinkan kita berjudi dengan kehidupan. Dan orang-orang Meratus memilih berjudi pada keduanya.

Setelah pagi agak mulai panas, barulah orang-orang mulai bergotong royong membangun panggung sungkai, sangkar jelapah, dan sangkar ampatung. Sangkar jelapah berbentuk seperti perahu, dengan hiasan daun enau dan papan yang bergambar daun dan bunga—yang sepertinya tidak mempunyai pakem tertentu. Gambar daun dan bunga ini adalah hasil karya anak-anak, terlihat dari imajinya yang membentuk coretan-coretan tak simetris. Sangkar ampatung adalah kayu-kayu yang terbentuk menyerupai patung yang mewakili sebagai penjaga-penjaga kampung dan berbekal berbagai macam pahatan senjata. Dan panggung sungkai terbuat dari daun enau yang dibentuk empat sudut berbentuk arah mata angin.

Semua lelaki bekerja keras membuat alat ritual. Begitu pun kelompok perempuan yang merangkai hiasan dan membuat sesajen dan panganan di dapur. Para pemuda lainnya bertugas untuk membakar lemang yang terbuat dari ketan yang sebelumnya sudah diisi ke bambu buluh oleh para perempuan.

Permata di Belantara Meratus
Para perempuan Meratus yang bertugas menghias peralatan ritual/M. Irsyad Saputra

“Apakah bisa pekerjaan lelaki kemudian dikerjakan perempuan dan sebaliknya?” tanya saya pada Ipau, warga yang membantu kegiatan aruh dan juga masih berkerabat dengan Yulianus.

Nggak bisa juga. Beda kerjaannya, beda jalurnya,” jawabnya diselingi tawa mendengar pertanyaan saya yang mungkin terdengar aneh. Pekerjaan di aruh sudah dikelompokkan sesuai dengan kemampuan kerjanya. Para perempuan bertugas merangkai hal-hal yang berhubungan dengan estetika, sedangkan lelaki lebih banyak mengemban pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan kekuatan. “Kalau yang meringgit daun ini perempuan yang bisa. Ahlinya.”

Bagaimana soal balian perempuan? Apakah tadi malam yang saya lihat adalah satu-satunya balian perempuan di Gadang?

“Bisa [balian perempuan], tetapi kami di daerah sini jarang juga perempuan ada [yang jadi balian]. Kalau daerah Alai di situ mungkin banyak.”

“Bagaimana dengan anak Balian Makirim?”

“Belum. Itu belum jadi, baru mau mulai [belajar]. Kalau anaknya yang lelaki itu sudah bisa, sudah lulus ibaratnya,” pungkasnya.

Dari cerita Ipau, hanya ada satu balian perempuan yang tersisa di daerah Gadang, namanya Indung Turiah. Umurnya pun sudah tidak lagi muda. Konon, suaminya yang sudah meninggal menemuinya dalam keadaan terjaga dan memintanya untuk melanjutkan tradisi babalian. Namun, ia enggan dan memilih jadi penanamba atau tabib saja.

Permata di Belantara Meratus
Baliawan dan Sarian yang dibimbing Balian Makirim saat memimpin pelaksanaan ritual/M. Irsyad Saputra

Mencari Penerus Balian

Gelap sudah menggerayangi langit temaram yang tampak habis memakan warna cerahnya. Sekelebat angin lewat dan hilang tiba-tiba, menyejukkan suhu yang semula membara kala terik tak lagi dapat ditahan awan. Suara sungai yang debit airnya sudah mulai menipis karena musim kemarau turut mengisi orkestra sore di Meratus yang terpencil. Anak-anak turun mengisi hamparan tanah yang timbul di pinggir sungai, berteriak, dan berlarian sesuka mereka. Sementara menunggu ritual berlangsung nanti malam, kami bersantai di rumah Pak Yulianus sembari berbincang dengan Balian Makirim.

Di tengah perbincangan, tiba-tiba saja istri Pak Yulianus masuk dan marah-marah. Saya mencuri dengar perihal apa yang sedang mereka permasalahkan. Rupanya, salah satu anak Pak Yulianus yang bernama Reno, tidak mau lagi masuk sekolah.

“Apa kamu tidak mau sekolah lagi? Kalau tidak mau sekolah lagi, ya sudah! Bantu ayahmu berkebun dan kamu tidak akan dapat lagi uang jajan dariku!” suaranya yang lantang menggetarkan seisi rumah. Kami semua terdiam.

Balian Makirim pun mulai memelankan nada bicaranya. Air mukanya berubah menjadi sangat serius, melanjutkan pembicaraan yang tadi terhenti, “Setiap kita menjadi balian, tetap kita menurunkan ke anak. Siap apun mau itu tidak ada halangan. Kalau nggak ada penerusnya, akhirnya habis.”

Memang, dalam hati Balian Makirim, ada keinginan anaknya dapat meneruskan adat yang ia emban. Namun, kemudian ia juga menyadari. Ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan dan harus menyerahkannya kepada sang anak untuk memilih jalan hidupnya. Dari kelima anaknya, hanya dua yang niat belajar balian: Baliawan yang lelaki dan Sarian yang perempuan. Mereka berdualah yang membantunya dalam menggalang ritual kemarin malam.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Permata di Belantara Meratus (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/permata-di-belantara-meratus-1/feed/ 0 40023
Di Bawah Langit Balawaian https://telusuri.id/di-bawah-langit-balawaian/ https://telusuri.id/di-bawah-langit-balawaian/#respond Thu, 27 Jul 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39444 Langit mulai menutup tirainya kala kami baru saja tiba di Balai Adat Balawaian. Matahari yang sedari siang tertutup banyak awan kelabu dan guyuran hujan mengiringi, mulai memperlihatkan sedikit semburat jingga. Senja kala itu adalah senja...

The post Di Bawah Langit Balawaian appeared first on TelusuRI.

]]>
Langit mulai menutup tirainya kala kami baru saja tiba di Balai Adat Balawaian. Matahari yang sedari siang tertutup banyak awan kelabu dan guyuran hujan mengiringi, mulai memperlihatkan sedikit semburat jingga. Senja kala itu adalah senja yang semarak. Orang-orang berkumpul di balai adat dengan beragam rupa: ibu-ibu berdandan menor yang tampil bak Putri Indonesia ala Meratus, para pemuda dengan kaos oblong kebanggaan, juga anak-anak yang mengoceh dan berlarian sepanjang waktu.  

Kami menyalami satu per satu warga yang berada di depan balai. Orang-orang tua menyambut dan menyapa kami lekat penuh persaudaraan, sedangkan yang muda menyambung dengan senyum hangat, seperti baru menyeduh teh. Kami masuk ke balai adat yang penuh oleh cakap-cakap manusia yang sudah berkumpul. Sebelum memulai ritus suci, hadirin dipersilakan menikmati santap malam. Banyak yang hadir di sini, di antaranya warga sekitar, pemangku ritual, dinas-dinas terkait, dan tamu undangan dari desa lainnya. Balai adat tersebut berdiri kokoh di antara kebun dan sungai di Desa Balawaian. Desa ini terletak tepat di jantung Pegunungan Meratus, berdekatan dengan jalan poros yang menghubungkan Kandangan dan Batulicin.

Tidak sedikit yang saya tanyakan kepada Ujal, penghulu Balawaian, dan seorang Pinjulang bernama Lapuy. Ini adalah kedatangan pertama saya dalam acara ritual orang Meratus. Terus terang saja ada banyak hal berputar di kepala saya. Saya mulai terlibat pembicaraan intens dengan mereka: menyoal macam alat-alat ritual, nama dan makna dari masing-masing alat itu, hingga keluhan penghulu soal penerus Balian—rohaniwan dalam agama Kaharingan yang terkenal di kalangan suku Dayak Meratus—untuk generasi berikutnya. Malam semakin pekat. Ritual siap dimulai.

Dengung serunai mulai merambati udara di dalam balai adat. Gedebuk gendang sudah dimainkan. Para Balian yang dari tadi berkumpul, mulai mengarak kalangkang mantit keluar balai. Bentuknya seperti tiang dengan hiasan daun enau, buluh kuning, tumbu (sejenis bakul), dan kain kuning. Sambil menunggu Damang (ketua adat) bersiap, para Balian membakar dupa. Menebarkan aroma mistik yang memabukkan di sekitar kalangkang mantit

Mantra-mantra mulai menyeruak dari mulut para Balian. Cepat dan berirama, seperti rintik hujan yang beradu dengan aspal jalan. Seandainya ini diperdengarkan ke segala penjuru, akan sama menenangkan layaknya senandung nyanyian ibu kala menidurkan bayinya. Sampai beberapa saat mereka menghamburkan beras kuning ke udara berkali-kali dengan riuh, sebelum akhirnya semua melebur ke dalam balai.

Sorak-sorai mulai merebak dari langit-langit seng. Para Balian, dengan ketenangan bak air dalam gelas, mulai menggoyangkan gelang hyang di tangan masing-masing. Membentuk harmoni gaib yang mampu menegakkan sepasang telinga. Roh-roh para leluhur yang dipanggil mulai berdatangan mendengar gemerincing itu, seakan menyambut para hadirin dengan suka cita. Saya mulai bergidik. Inilah proses bamamang dalam ritual Aruh kecil di Balawaian. 

Proses bamamang selesai. Saatnya bagi para perempuan untuk unjuk gigi dalam Tari Babangsai. Goyangan pinggul mengiringi ayunan tangan nan gemulai, mengikuti tabuhan gendang dan siut serunai. Mereka membentuk lingkaran, mengelilingi langgatan yang berdiri layaknya pencakar langit di tengah balai. Lenggok perempuan adalah hiburan yang mengisi kejenuhan di tengah acara Aruh yang padat. Jika tempo gendang semakin cepat, maka makin riuh pula gerakan mereka. Malam semakin larut. Balian terus bamamang sementara saya tak kuat menahan kantuk. Saya melewatkan bahantu, akhir prosesi ritual yang berlangsung hingga saat fajar menjelang.

Di Bawah Langit Balawaian
Kalangkang Mantit yang ditaruh di halaman balai/M Irsyad Saputra

* * *

Saya setengah terbangun ketika mendengar gumaman asyik orang-orang dan bau kopi hitam yang teramat manis. Mereka adalah Pak Hairiyadi, Erwin, penghulu Ujal, beberapa pemuda, serta seorang kakek tua berpakaian singlet dan sarung. Kakek itu merupakan Damang daerah Tapin sekaligus penghulu Papitak, yang baru belakangan ini saya ketahui namanya.

“Di sini tidak ada babi. Terakhir saya lihat babi itu tahun 2005,” ujar Damang Rusdiansyah. 

Babi hutan di daerah Meratus telah menjadi langka akibat banyaknya manusia yang mulai menghuni teritorial mereka. Gerombolan babi tersebut pun kian terdesak entah ke mana.

“Dan sering diburu oleh orang-orang Maanyan dari daerah Tamiyang dan Pasar Panas,” tambahnya. Orang-orang Meratus—terutama di Balawaian—sudah tidak pernah mengonsumsi babi. Penyebabnya karena sering terjadinya percampuran antara dua kelompok berbeda, yaitu orang-orang yang masih menganut kepercayaan Babalian dan orang-orang Meratus yang sudah menjadi muslim ataupun pendatang. 

“Saya ini tinggal Islamnya aja lagi, kalau [soal] makan babi sudah lama nggak.”

Lebih lanjut, dalam ritual di balai di hilir Sungai Tapin, memang tidak mengenal penggunaan babi sebagai bagian perayaan ritual. Mereka hanya akan menggunakan babi kalau ada permintaan, seperti nazar atau pengobatan. Balai di hilir Sungai Tapin ini meliputi Hayangin, Lok Limau, Harakit, Mancabung (Papitak Jaya).

Tidak lama kemudian Rusdiansyah memalingkan punggung lalu berdiri. Ia memasangkan laung ke kepala, mengikat babat ke perut, dan melilit sarung ke pinggang. Gelang hyang yang menjadi aksesoris ritual pun sudah terpasang di pergelangannya. Bunyi gemerincingnya selalu menarik pikiran saya akan hal-hal di luar nalar, yang hidup berdampingan dengan kita di alam nyata.

Ritual kemudian dilanjutkan dengan bamamang sebelum manyumpitan dimulai. Saya mencoba mendengar tiap-tiap kata yang terucap dari mulut Damang dan Balian. Beberapa kosakata saya pahami sebagai bahasa Banjar, sisanya terdengar seperti gumaman dalam bahasa yang terasa asing di telinga. 

Penghulu mengambil ancang-ancang dengan sumpit mengarah ke ayam kampung yang disediakan sebagai korban. Hush! Dalam sekejap mata sumpit penghulu tepat mengenai punggung ayam yang berbulu hitam itu. Ia meronta kesakitan dan mengeluarkan kokok seperti terkejut, tetapi masih bisa berdiri tegap dan bergerak.

Tanpa ba-bi-bu, seorang pemuda menyayat leher ayam dan menuangkan darahnya ke sebuah gelas plastik, lalu memberikannya kepada Damang. Sang Damang menaruh darah tersebut sebagai persembahan di dalam langgatan. Makin siang, balai layaknya rumah besar yang mulai kehilangan penghuni. Beberapa orang memutuskan untuk keluar, entah berkegiatan apa, menyisakan beberapa orang yang masih bertahan di dalam balai.

Kehidupan di antara ritual-ritual adalah permainan dan percakapan. Catur dan domino adalah permainan yang menghinggapi hampir semua tangan lelaki, perempuan, hingga anak-anak. Dua orang lelaki paruh baya mengedarkan pandangan ke papan hitam putih. Yang berbadan tambun melihat bidak catur dan seketika bibirnya menyeringai, seakan bisa membaca isi pikiran lawannya. Satunya lagi tampak lebih sibuk mengisap tembakau. Namun, setiap melangkahkan bidaknya, ia lakukan penuh kepercayaan. Entah siapa yang akan menang. 

Lalu arangan sudah terkumpul, saatnya penghulu mulai mengambil alih balai. Damang, penghulu, Balian, dan Pinjulang mulai duduk di tumbu sambil bamamang. Tumbu adalah sejenis bakul yang belum rampung dibuat dan diisi dengan beras segenggam, kemudian ditumpuk dengan berbagai jenis kain (selimut, sarung, dan baju). Setelah berkeliling langgatan, sesajen kemudian dimantrai. Mantra dimaksudkan untuk memberi berkah kepada persembahan. Tahapan ini disebut kahulu alai. Selesai ritual, sesajen tersebut menjadi rebutan warga yang berhadir ke balai. 

Gerimis menggerayangi Balawaian. Aroma rokok mengepung balai, menghibur para orang tua yang sedang bertukar pikiran. Saya mengangguk saja mendengar percakapan mereka seputar sakit jiwa, Balian sakti, hingga buah durian. Hujan di ketinggian berarti waktu berkumpul. Kedengarannya syahdu, tetapi tetes air yang mengenai genteng seng tetap mengganggu gendang telinga. . 

“Ayo, makan, sudah disiapkan,” kata seorang pemuda memanggil kami yang lagi asyik bercengkrama. Kami bergegas menuju dapur.

Di dapur yang berada tepat di bagian belakang balai, meja makan yang memanjang sudah terisi penuh. Makanan yang jadi menu hidangan kali ini adalah oseng bunga pepaya, pucuk pepaya, rimpang, kalimbung buntal, karawila (oyong), dan kerupuk. Semua sayuran tersebut berasal dari hutan dan ini adalah pertama kali saya memakannya.

Di Bawah Langit Balawaian
Penghulu Ujal sedang memberkati (tapung tawar) warga desa yang berhadir di balai/M Irsyad Saputra

* * *

Obrolan kembali berlanjut setelah makan. Damang Rusdiansyah, yang pernah bepergian ke Jakarta, menceritakan pengalamannya melihat manusia gerobak di Ibu Kota. “Ketika saya mau memberi makan mereka, ada yang bilang ke saya (kalau) mereka bisa mencari makan sendiri dari sisa-sisa,” tuturnya dengan gestur tangan yang menari. Ia seakan tidak percaya kehidupan di kota megapolitan begitu berbeda dengan yang mereka sering lihat di sinetron.

“Saya tidak tega. Ada kemanusiaan dalam diri saya yang tidak hilang melihat penderitaan mereka.”

“Bahkan ada yang mau ikut kita hidup di gunung,” ujar penghulu Ujal menambahkan. Kebetulan saat itu mereka melakukan perjalanan bersama-sama dalam rangka menghadiri suatu undangan. Jari jemari penghulu Ujal seolah ingin meyakinkan kami, bahwa kehidupan di seberang sana ada yang lebih nelangsa. Di gunung, kehidupan orang terjaga dengan keharmonisan alam. Alam menyediakan supermarket paling lengkap yang pernah ada: tumbuhan herbal, buah-buahan, hingga kayu untuk papan.

“Di sana jadi miskin karena tidak ada lahan untuk ditanami. Kalaupun ada paling cuma seukuran telapak kaki,” ujar Rusdiansyah. Ia menitikberatkan pada ketiadaan lahan sebagai salah satu unsur pembentukan masyarakat yang melarat.

Jakarta menyediakan apa pun. Gedung-gedung tinggi yang mencakar dan mengepung sebagian ruang langit, infrastruktur tanpa jeda, hingga fasilitas terlengkap. Tapi apakah Jakarta punya semua? Bukankah yang menikmati itu adalah orang-orang borjuis? Orang-orang yang hidup dengan modal mumpuni? Bagaimana dengan yang tidak bermodal? Apakah masih layak memanggil Jakarta sebagai “ibu” kota?

Jakarta berlari begitu cepat, meninggalkan Balawaian yang masih tertatih hanya untuk menyusul pengerjaan pengaspalan jalan. 

* * *

Prosesi bintang salaan dimulai. Mantra menggaung ke langit-langit. Mengisi setiap ruang hampa dengan penuh pengharapan, teriring gemerincing gelang hyang yang memabukkan. Sama dengan semua doa-doa dari agama apa pun di dunia, isinya tentang mengharapkan keselamatan, keberkahan, juga kebaikan. Apatah artinya doa bila tidak mencakup semua makhluk?

Ritual selesai. Para perempuan sibuk di dapur, bersiap menyediakan hidangan yang nanti akan tersaji sebagai sesajen. Asap dari kayu bakar menari mengikuti arah bayu, terbawa hingga ke tengah pohon karet yang berjajar rimbun di samping balai. Saya duduk di antara para ibu Meratus yang sibuk.

“Mencari pewaris nih nang ai disekolahkan dulu juga,” ujar salah seorang Pinjulang yang sedang membakar beras ketan dalam bumbung bambu. Kekhawatiran para Pinjulang dan penghulu adalah sama, yaitu sedikitnya jumlah penerus yang akan mengemban kewajiban ini setelah mereka. 

“Tapi kalau mau [melanjutkan] bisa, asal belajar dahulu, kayak orang sekolah juga,” ujarnya sambil membalik bumbung yang mulai gosong. Saya bertanya, adakah syarat lainnya untuk menjadi seorang pemuka ritual selain belajar? Ia menerangkan, siapa pun sebenarnya boleh menjadi Balian atau Pinjulang, tetapi orang-orang yang memiliki keturunan langsung akan lebih mudah dalam menyerap ilmu yang tetua ajarkan.

Mukriansyah adalah salah satu Balian muda yang ada di Balawaian. Dia sudah “magang” menjadi Balian selama dua tahun. Mengikuti jejak sang ayah, penghulu Ujal, yang sudah malang melintang menjadi penghulu. 

Nggak ada generasi yang mau melanjutkan [menjadi balian] karena gengsi,” ucapnya lirih.

Gengsi, karena banyak yang menganggap menjadi Balian adalah hal kuno. Dan hal-hal kuno mulai banyak masuk museum seiring kiblat dunia makin menghadap ke Barat. Banyak stereotip yang mengarah kepada para pemeluk kepercayaan sebagai orang-orang aneh, tidak relevan, ketinggalan jaman, atau pandangan negatif lainnya. Padahal nilai-nilai yang mereka anut pun sama baiknya dengan nilai-nilai yang agama samawi bawa.

Mukri, sapaan akrabnya, seringkali harus berkelahi karena anggapan miring tentang Babalian yang ia terima semasa sekolah. “Teman-teman bilang ‘ngapain pucuk disembah?’ Di situ akhirnya bikin saya bertengkar, padahal nggak usah saling menghina bisa, kan?” suaranya tercekat di antara embusan asap yang mengalir dari mulutnya.

” Kita ini [Islam dan Babalian] kakak adik, seperti kisah Bambang Siwara dan Ayuh.”

Bambang Siwara (atau Intingan) dan Ayuh adalah metafora dari persaudaraan antarpemeluk Islam dan Babalian, yang sejatinya di Kalimantan berasal dari nenek moyang yang sama. Matanya nanar memandang ke sekeliling balai. Tampak ada harapan yang membuncah dari kepalanya, ingin mengangkat harkat dan martabat orang-orang Meratus yang masih menganut kepercayaan tradisional. Namun, Mukri juga terjebak dalam satu hal lain, yaitu dia harus mencari uang untuk memenuhi kehidupannya. Dan pilihan yang menguntungkan baginya dengan gaji mentereng hanyalah tambang batu bara. Apakah ini pilihan yang akan kamu ambil nantinya, Mukri?

* * *

Ritus berlanjut. Prosesi ini bernama ancak ka gunung. Ancak ka gunung adalah persembahan yang ditaruh di ancak. Isinya berupa aneka buah pisang (pisang umbur, pisang amas, pisang kidung), berbagai macam telur (telur asin, telur ayam ras, telur ayam kampung, telur itik), beberapa jenis bubur (bubur merah, bubur putih, bubur kuning), kue-kue tradisional (lamang, cucur, surabi, wajik), serta sisanya berupa sayuran mentah, lintingan tembakau dan pinang, ketupat, dan ayam panggang. Semuanya mewakili hasil alam Meratus. Dan dalam ajaran mereka sudah sepatutnya membagikan itu kepada orang-orang yang berhadir—baik yang tak kasat mata maupun ada wujudnya.

Sama seperti ritual sebelumnya—memulai dengan bamamang dan musik yang mengiringi—Damang, Balian, dan Pinjulang berkumpul tepat di bawah ancak ka gunung yang menggantung, sudah lengkap dengan sesaji dan lilin. Seluruh Balian berdiri, lalu melemparkan beras kuning dan uang koin ke ancak. Semua orang mulai memutari ancak dengan membunyikan derap kaki yang mengentak lantai balai. Setelah istirahat sebentar, rangkaian acara terus berlanjut. Saya hanya sibuk memerhatikan.

Semua yang hadir menyisakan sungging senyum di pinggir bibir selepas prosesi ritual berhenti. Yang tidak berhenti malam ini hanya terbakarnya aroma tembakau, serta kesiur angin yang menerbangkan senyap dan dinginnya malam di antara dinding kayu. Tepat tengah malam, dua orang Balian menaruh ekor ayam di bawah langgatan dan membawanya sambil mengelilingi langgatan. Sesaat kemudian Balian yang sedang kerasukan menggigit dua kepala ayam itu sampai terputus. Inilah prosesi ritual bauria.

Di Bawah Langit Balawaian
Sesajen yang dimamangi (didoakan) dahulu sebelum dibagikan/M Irsyad Saputra

* * *

Desir sungai yang mengalir menjadi alunan melodi yang menyambut saat pagi tiba. Debitnya tidak sedalam kemarin malam. Beberapa ikan terlihat bersantai—tetapi siaga—di balik bebatuan. Bebatuan yang menjadi pijakan orang-orang desa saat mandi itu berwarna legam. Namun, saat sinar mentari menerpa sebagian wujudnya, batu-batu tersebut tampak berkilau bagai kumpulan emas-emas yang siap dijarah. Saya menginjaknya perlahan—takut-takut kalau pijakan saya tidak kuat mencengkeram permukaannya—kemudian mengambil air dengan kedua tangan untuk membasuh muka.

Hanya beberapa orang yang terbangun pagi itu. Banyak yang masih meringkuk pulas di dalam sarung. Harusnya ada prosesi ritual yang berlangsung pagi ini, tetapi kata penghulu Ujal terpaksa ditunda. Sebab banyak warga yang tidak berkumpul di balai dan sibuk dengan aktivitas masing-masing.

“Terpaksa ritual ditunda ke siang dan sore hari,” ujarnya sambil memonyongkan bibir, meniupkan asap yang lari terbawa angin pagi. 

Desa Balawaian pada pagi hari berselimut dingin. Pepohonan di sini masih rindang. Sebagian adalah kebun yang sengaja warga tanam, sedangkan lainnya hutan alami yang penuh semak belukar. Rumah-rumah yang berdiri pun tidak berimpitan. Kadang hanya 2-3 rumah berdampingan, kadang sampai lebih dari lima rumah. Jalanan tampak lengang. Hanya anak-anak sekolah yang sibuk menyalakan motor supaya tidak terlambat ke sekolah. Jaraknya cukup jauh di Desa Batung. 

Siang berlalu. Tidak banyak warga yang berkumpul di balai, tetapi acara harus tetap jalan. Para pemangku adat melakukan prosesi ritual halang simbaran, halang manayaung, dan babangkuyan

Dua orang Balian mulai berjalan dengan dua tangannya. Perlahan dan pasti, tiang yang sudah terpasang hiasan daun enau dan pisang mulai mereka panjat. Pisang dimakan dan dihamburkan ke lantai. Para penonton tentu saja mengambil pisang-pisang yang berguguran. Begitu habis, Balian turun ke lantai. Dengan segera satu orang lelaki mulai menangkap Balian yang hendak berlari keluar balai. Ia kemudian mengumpulkan dua orang Balian tersebut di langgatan untuk dikembalikan kesadarannya.

* * *

“Tidak, saya tidak mau ikut kapamalian,” seru Fitri, anak bungsu dari penghulu Ujal, saat kami sedang menikmati santap sore bersama. Ia terlihat elok dengan rambut panjangnya yang ia biarkan tergerai sampai bahu. Dari nada bicaranya, seakan-akan kapamalian adalah hal yang paling ia takuti saat ritual Aruh kecil. Kapamalian mengharamkan semua yang telah mengikuti prosesi ritual bararadenan untuk keluar dan melakukan aktivitas di luar balai—kecuali yang berkaitan dengan buang hajat. Mungkin anak-anak muda sudah kehilangan minat untuk menyelesaikan ritual secara paripurna. Saya mengerti, anak muda sepertinya tentu saja sangat tersiksa terkurung di balai seharian, apalagi gawai yang mereka punya tidak mendapatkan sinyal di sini. 

“Mukri ke mana?” Saya menanyakan kakaknya yang tidak terlihat di hari ini.

“Sama, dia tidak ikut kapamalian juga. Soalnya bosan, nggak bisa ngapa-ngapain,” serunya.

Barangkali, jika balai tersedia Wi-Fi gratis, anak-anak muda akan dengan senang hati ikut kapamalian. Tapi buat apa? Bukankah kapamalian bernilai ibadah? Nilai ibadah apa yang akan mereka dapatkan kalau seharian hanya berseluncur di dunia maya?

Ah, terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepala saya. Di malam terakhir, lelaki, perempuan, dan anak-anak berdiri dan memutari langgatan sembari berpegangan tangan. Saya ikut menyelinap di antara mereka, berpegangan erat dan merasakan kegembiraan yang mengalir dari jalinan tangan. Derap kaki membuat lantai kayu berdecit, seolah mengaminkan doa kami—keselamatan dan kedamaian semua makhluk di bumi—untuk terus mengepul menuju kaki langit hingga beranjak menuju Nang Kawasa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Bawah Langit Balawaian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/di-bawah-langit-balawaian/feed/ 0 39444