pemanasan global Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pemanasan-global/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 05 Jun 2024 05:41:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pemanasan global Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pemanasan-global/ 32 32 135956295 Bagaimana Kabarmu, Bumi? https://telusuri.id/bagaimana-kabarmu-bumi/ https://telusuri.id/bagaimana-kabarmu-bumi/#respond Wed, 24 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41748 Jika ada satu hal yang sangat jelas terasa dan menandakan bumi semakin renta, itu adalah temperatur udara yang terasa kian panas dari hari ke hari. Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja di daerah sekitar tempat tinggal...

The post Bagaimana Kabarmu, Bumi? appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika ada satu hal yang sangat jelas terasa dan menandakan bumi semakin renta, itu adalah temperatur udara yang terasa kian panas dari hari ke hari. Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja di daerah sekitar tempat tinggal kita. Cuaca dahulu sewaktu kita kecil berbeda dengan masa kini. 

Saya pernah mengalami tinggal cukup lama di Kota Malang untuk kuliah. Kata dosen saya, dulu di era 1980 hingga 1990-an mahasiswa dan pengajar memakai jaket atau sweater untuk menghalau dingin. Padahal kelas berlangsung siang hari. Sekarang saat malam pun sudah tidak terlalu dingin. Apalagi di kota-kota yang memang sudah panas dan makin panas tiap tahunnya, seperti Surabaya, Semarang, Medan, Riau, Balikpapan, Makassar, Kupang, dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Belakangan kita tahu itu adalah dampak dari perubahan iklim. Bumi tidak hanya memanas, tetapi juga mendidih. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui siaran pers “Rapat Nasional Prediksi Musim Kemarau 2024” (10/02/2024), menerangkan jika Badan Meteorologi Dunia (WMO) mencatat tahun 2023 sebagai tahun terpanas, dengan anomali suhu rata-rata global mencapai 1,4 derajat Celcius. Untuk itulah dalam Paris Agreement pada 2015 memberi mandat negara-negara dunia harus berkolaborasi menahan laju pemanasan global di angka 1,5 derajat Celcius.

Di luar itu, bumi seolah memberitahu para penghuninya, bahwa ia memiliki derita lain yang harus kita lihat dan alami. Sebut saja banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, badai siklon tropis atau kekeringan ekstrem, hingga kenaikan permukaan air laut; yang mana peningkatan kejadian bencana tersebut sejatinya satu rangkaian siklus juga dengan adanya perubahan iklim.

Bagaimana Kabarmu, Bumi?
Bentuk nyata deforestasi hutan untuk pembukaan lahan pertambangan atau perkebunan di Kabupaten Berau/Mauren Fitri

Penyebab bumi kian merapuh

United Nations dalam rilisnya pada 18 Maret 2022, menyebut emisi gas rumah kaca sebagai penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim. Banyak faktor yang turut bertanggung jawab pada peningkatan emisi gas rumah kaca tersebut beberapa tahun belakangan.

1) Pembuatan energi berbahan bakar fosil

Pembakaran bahan bakar fosil sebagai sumber energi listrik dan panas menghasilkan emisi global dalam skala besar. Tak bisa dimungkiri, pasokan energi listrik di dunia saat ini masih bergantung pada batu bara, minyak, dan gas. Hanya segelintir, kira-kira seperempat dari energi listrik global yang bersumber dari tenaga angin, tenaga surya, atau sumber daya energi baru terbarukan lainnya.

2) Industri manufaktur

Lagi-lagi bahan bakar fosil masih jadi “gantungan hidup” untuk sumber energi kegiatan industri manufaktur. Bukan hanya sebagai bahan baku, melainkan juga memasok energi untuk operasional industri. Misalnya, produksi semen, besi, baja, elektronik, plastik, atau pakaian. Industri yang berusaha memenuhi permintaan atau gaya hidup manusia, yang populasinya semakin bertambah dari waktu ke waktu.

3) Peningkatan laju deforestasi

Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami laju deforestasi terparah di dunia. Musuh besar hutan-hutan tropis di negeri ini adalah pertambangan, kelapa sawit, alih fungsi lahan untuk permukiman, pertanian, peternakan, dan perkebunan lainnya. Kawasan-kawasan konservasi kian terimpit. Tak terhitung konflik horizontal terjadi antara kelompok masyarakat, bahkan konflik satwa yang keluar kawasan dengan penduduk lokal.

4) Penggunaan transportasi berbahan bakar fosil

Tak bisa terhindarkan, jika mobilitas kita masih sangat bergantung pada kendaraan yang beroperasi menggunakan bahan bakar fosil. Sepeda motor, mobil, kereta api, kapal, hingga pesawat. Menaiki transportasi umum juga belum menjadi kebiasaan banyak orang. Terutama di daerah yang belum terjangkau kereta api atau transportasi publik lainnya. Ekosistem transportasi dengan energi terbarukan pun belum sepenuhnya siap, khususnya di Indonesia.

5) Produksi pakan untuk pertanian dan peternakan

Produksi pupuk untuk peternakan atau penggembalaan hewan ternak, seperti sapi maupun kambing juga menghasilkan emisi gas rumah kaca. Begitu pun dengan operasional peralatan pertanian maupun perahu nelayan yang masih bergantung pada bahan bakar fosil. Proses selanjutnya hingga ke hilir, mulai dari pengemasan sampai distribusi hasilnya juga berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca.

6) Pemakaian konsumsi energi berlebihan

Ini adalah sesuatu yang amat lekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Tak dapat disangkal. Kita masih memerlukan listrik dan air untuk menunjang kehidupan sehar-hari. Mengecas laptop, ponsel, kamera, menyalakan televisi, internet, pendingin udara (AC), menggunakan mesin cuci dan kulkas, serta penggunaan aneka peralatan elektronik lainnya. United Nations menyebut, gaya hidup kita berdampak besar terhadap planet kita. Orang terkaya (seharusnya) memiliki tanggung jawab terbesar, karena satu persen di antaranya menyumbang lebih banyak emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan 50 persen orang termiskin.

Bagaimana Kabarmu, Bumi?
Lahan instalasi PLTS di Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur. Sebuah upaya lintas sektor untuk mewujudkan kemandirian energi dan mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil/Deta Widyananda

Yang harus dilakukan selanjutnya

Entahlah. Membicarakan perubahan iklim seperti mendiskusikan sesuatu yang utopis. Tak menguntungkan banyak pihak. Tak akan terselesaikan. Terlebih menggantungkan harapan pada pemerintah atau pemangku kebijakan. Lebih-lebih bagi sebagian pengusaha industri ekstraktif dan eksploitatif—jika tak mau disebut seluruhnya—seperti kelapa sawit atau pertambangan; perubahan iklim hanya sebutir debu yang tak berarti apa-apa.

Pada akhirnya, menunggu kebijakan konkret menghadapi perubahan iklim dari para pemegang kepentingan tampaknya terlalu buang-buang waktu. Terlalu banyak kepentingan yang akan terbentur untuk disisipkan agenda memperbaiki gaya hidup demi lingkungan yang lebih baik.

Satu-satunya jalan untuk bisa berkontribusi melambatkan laju pendidihan global adalah dimulai dari diri sendiri. Melakukan sesuatu semampu kita. Berusaha bijak untuk sadar, bahwa ruang tumbuh di bumi sejatinya masih terbuka lebar, selama kita sebagai manusia mau wawas diri pada apa yang kita lakukan atau hasilkan. Memilah sampah dari rumah, mengurangi sampah anorganik, membatasi pemakaian listrik, hingga memaksimalkan kesempatan menaiki transportasi umum.

“Earth Day” bukan sekadar seremonial untuk satu hari saja. Memperingati Hari Bumi, yang berarti mengingat bumi, adalah sesuatu yang harus jadi pijakan melanjutkan kehidupan sehari-hari. Setidaknya kita luangkan bertanya kepada bumi di setiap pagi, bagaimana kabarmu, sebelum kita meneruskan langkah untuk bekerja maupun kegiatan lainnya. Berharap bumi baik-baik saja ketika semakin menua, di tengah golakan alam yang tidak terprediksi.


Foto sampul:
Hamparan perkebunan kelapa sawit di Tangkahan, Sumatra Utara, yang menjepit habitat gajah sumatra dan batas konservasi Taman Nasional Gunung Leuser. Aktivitas perkebunan kelapa sawit juga menghasilkan emisi gas rumah kaca melalui operasional transportasi atau alat berat lainnya yang berbahan bakar fosil/Deta Widyananda


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bagaimana Kabarmu, Bumi? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bagaimana-kabarmu-bumi/feed/ 0 41748
Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim https://telusuri.id/memitigasi-dampak-pendakian-gunung-di-tengah-krisis-iklim/ https://telusuri.id/memitigasi-dampak-pendakian-gunung-di-tengah-krisis-iklim/#respond Tue, 23 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41741 Di tengah perubahan iklim yang merundung bumi, para pendaki gunung dituntut untuk ikut mempraktikkan pendakian yang lebih ramah lingkungan. Meski memiliki seabrek manfaat, aktivitas mendaki gunung tak bisa dimungkiri bisa membawa implikasi buruk bagi lingkungan....

The post Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim appeared first on TelusuRI.

]]>
Di tengah perubahan iklim yang merundung bumi, para pendaki gunung dituntut untuk ikut mempraktikkan pendakian yang lebih ramah lingkungan. Meski memiliki seabrek manfaat, aktivitas mendaki gunung tak bisa dimungkiri bisa membawa implikasi buruk bagi lingkungan. Lebih-lebih di tengah terus berlangsungnya perubahan iklim seperti sekarang ini.

Seperti kita sama-sama ketahui, perubahan iklim—yang dipicu oleh beragam aktivitas manusia—merupakan faktor utama penyebab suhu bumi kian meningkat. Perubahan iklim sendiri merujuk pada perubahan suhu, pola curah hujan, permukaan laut, dan kondisi atmosfer lainnya dalam jangka panjang. Salah satu penyebab utama perubahan iklim adalah peningkatan gas rumah kaca di atmosfer, terutama karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O), yang memerangkap panas dan berkontribusi terhadap panasnya bumi. 

Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim (Djoko Subinarto)
Pemandangan Gunung Gede, yang satu kawasan dengan Gunung Pangrango. Gunung favorit pendakian di Jawa Barat/Djoko Subinarto

Adapun aktivitas-aktivitas manusia, di antaranya penggunaan bahan bakar fosil, pertanian, pembabatan hutan, aktivitas industri dan rumah tangga, merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Tatkala gas-gas rumah kaca ini terakumulasi di atmosfer, gas-gas tersebut meningkatkan efek rumah kaca, yang menyebabkan peningkatan temperatur global secara keseluruhan. Sebuah fenomena yang lantas disebut sebagai pemanasan global (global warming). Sebagian kalangan menyebut pula sebagai pendidihan global (global boiling). 

Tatkala temperatur bumi terus merambat naik, seiring dengan peningkatan gas rumah kaca yang menumpuk di atmosfer, membawa banyak konsekuensi. Sebut saja, misalnya, kenaikan permukaan air laut, perubahan pola cuaca, kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering dan parah, serta gangguan terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati. 

Dalam hal cuaca ekstrem, salah satu buntutnya adalah peningkatan risiko bencana, seperti longsor, serta banjir bandang maupun kebakaran hutan di kawasan pegunungan. Di sisi lain, cuaca ekstrem juga dapat mendorong terjadinya pergeseran zona vegetasi dan perubahan keanekaragaman hayati ekosistem pegunungan. Anomali tersebut pada gilirannya akan mengganggu keseimbangan ekologi.

Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim (Djoko Subinarto)
Ilustrasi kegiatan panjat tebing di lereng gunung/Djoko Subinarto

Potensi Penambahan Beban dan Risiko Lingkungan

Di tengah perubahan iklim dewasa ini, aktivitas pendakian gunung sedikit banyak bakal menambah beban dan risiko lingkungan yang dihadapi kawasan pegunungan. Suka atau tidak, harus jujur kita akui, aktivitas mendaki gunung membawa implikasi negatif bagi lingkungan. Baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Misalnya, yang kerap mencuat dan jadi perhatian serta keprihatinan publik, yakni persoalan sampah yang dihasilkan dan ditinggalkan oleh para pendaki gunung. 

Sampah tentu saja bukan satu-satunya persoalan. Aktivitas para pendaki menyusuri jalur setapak dapat menyebabkan erosi tanah, terutama di ekosistem pegunungan yang rapuh buntut dari pergeseran vegetasi akibat perubahan iklim. Terjadinya erosi tentu saja bakal berkontribusi terhadap degradasi jalur pendakian dan habitat di sekitarnya, yang ujungnya memengaruhi stabilitas tanah dan kualitas air.

Aktivitas pendakian juga dapat memecah belah habitat dan mengganggu koridor satwa liar. Akibatnya populasi spesies tertentu terisolasi dan terjadi penurunan keanekaragaman genetik. Hal ini dapat berdampak jangka panjang terhadap kesehatan ekologi ekosistem pegunungan.

Belum lagi implikasi yang ditimbulkan dari aktivitas pemasangan atau penyediaan infrastruktur pendakian, antara lain tali pendakian, baut, dan tempat berlindung, yang juga dapat menimbulkan dampak jangka panjang terhadap lanskap alam. Lebih-lebih ketika pemasangan dan pemeliharaan infrastruktur pendakian itu kurang tepat, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada formasi batuan dan vegetasi sekitarnya.

Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim (Djoko Subinarto)
Ilustrasi kelompok pendaki gunung/Roaming Spices

Beberapa Upaya Mitigasi

Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan oleh para pendaki gunung?

Ikut berperan aktif melakukan mitigasi dampak lingkungan adalah langkah yang seyogianya dilakukan para pendaki gunung. Siapa pun, di mana pun. Langkah-langkah mitigasi dapat mencakup hal-hal berikut ini.

  1. Meminimalisasi sampah. Tak ada alasan sedikit pun bagi para pendaki untuk meninggalkan sampah, sekecil apa pun, saat pendakian. Termasuk tidak membuang hajat sembarangan di lingkungan gunung;
  2. Meminimalisasi jejak karbon. Selalu gunakan perlengkapan rendah karbon yang terbuat dari bahan ramah lingkungan. Tak kalah pentingnya, yaitu menggunakan transportasi umum maupun carpooling untuk menuju kawasan pendakian. Syukur-syukur mau mengayuh sepeda;
  3. Mendukung akses berkelanjutan. Salah satu caranya, yakni bahu-membahu dengan pengelola pendakian dan masyarakat lokal dalam membangun akses berkelanjutan ke area pendakian. Selain itu juga membatasi pengembangan infrastruktur pendakian yang berpotensi membahayakan ekosistem;
  4. Mendorong praktik ramah iklim. Misalnya, mengurangi konsumsi energi, menghemat air, dan mendukung inisiatif konservasi lokal untuk melindungi ekosistem pegunungan;
  5. Turut aktif terlibat dalam memantau dan menilai dampak pendakian gunung secara berkala. Jika memungkinkan, ikut pula memberikan solusi terbaik terkait langkah-langkah yang perlu ditempuh selanjutnya;
  6. Terlibat dalam program-program yang berkaitan dengan peningkatan kesadaran, khususnya tentang dampak lingkungan dari aktivitas pendakian gunung maupun perubahan iklim;
  7. Berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan. Selain antarpendaki, juga membangun kolaborasi dengan pengelola kawasan pendakian, organisasi konservasi, maupun komunitas lokal untuk menyelaraskan tujuan yang sama; dan
  8. Terlibat langsung dalam upaya restorasi. Restorasi untuk merehabilitasi ekosistem pegunungan yang terdegradasi, baik karena dampak perubahan iklim maupun dampak pendakian, perlu dilakukan. Para pendaki dapat terjun langsung dalam upaya ini, mulai dari restorasi jalur pendakian, restorasi habitat, serta proyek reboisasi dan reforestasi.

Dengan ikut serta menerapkan langkah-langkah mitigasi tersebut, diharapkan dapat membantu mengurangi beban dan risiko lingkungan dari pendakian gunung maupun perubahan iklim. Harapan dan tujuan akhirnya, tak lain memastikan lanskap kawasan pegunungan tetap sehat sehingga mampu diwariskan dan dinikmati oleh generasi-generasi mendatang.


Referensi:

Doytchev, B. (2021). The Impact of Mountaineering and Climbing on The Environment. Trakia Journal of Sciences. Vol. 19, Suppl. 1, pp 540-545. DOI: 10.15547/tjs.2021.s.01.083.
McHaffie, J. (2018). Climb-it Change: 10 tips to mitigate it. The British Mountaineering Council. Diakses dari https://www.thebmc.co.uk/climb-it-climate-change.
Muller, L. M. (2020). How does climbing affect the climate?. Lacrux.com. Diakses dari https://www.lacrux.com/en/klettern/climbing-and-climate-protection-are-a-contradiction-in-terms/.
Wheeler, F. (2023). A climber’s guide to climate action. Mapotapo.com. Diakses dari https://www.mapotapo.com/blog/a-climber-s-guide-to-climate-action.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memitigasi Dampak Pendakian Gunung di Tengah Krisis Iklim appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memitigasi-dampak-pendakian-gunung-di-tengah-krisis-iklim/feed/ 0 41741
Adaptasi Kawasan Pesisir untuk Merespons Kenaikan Permukaan Laut https://telusuri.id/adaptasi-kawasan-pesisir-untuk-merespons-kenaikan-permukaan-laut/ https://telusuri.id/adaptasi-kawasan-pesisir-untuk-merespons-kenaikan-permukaan-laut/#respond Mon, 22 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41734 Skenario terburuk menghadapi kenaikan permukaan air laut—kini mencapai lebih dari dua meter—mesti dimasukkan ke dalam skema strategi adaptasi kawasan pesisir masa depan. Keputusan yang diambil sekarang terkait masalah ini akan menciptakan warisan untuk generasi mendatang....

The post Adaptasi Kawasan Pesisir untuk Merespons Kenaikan Permukaan Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
Skenario terburuk menghadapi kenaikan permukaan air laut—kini mencapai lebih dari dua meter—mesti dimasukkan ke dalam skema strategi adaptasi kawasan pesisir masa depan. Keputusan yang diambil sekarang terkait masalah ini akan menciptakan warisan untuk generasi mendatang.

Salah satu konsekuensi dari temperatur bumi yang terus memanas, sebagai buntut menumpuknya emisi gas rumah kaca, yaitu terus meningkatnya permukaan air laut. Bahkan, menurut para ahli, jika emisi gas rumah kaca berhenti pada esok hari sekalipun, permukaan air laut bakal terus merambat naik.

Berbagai kajian menunjukkan, sejak tahun 1880-an rata-rata permukaan air laut secara global telah naik sekitar 16–21 sentimeter. Setengah dari kenaikan tersebut terjadi selama tiga dekade terakhir.

Adaptasi Kawasan Pesisir untuk Merespons Kenaikan Permukaan Laut (Djoko Subinarto)
Warga berjalan di kawasan Pantai Rancabuaya, Garut, Jawa Barat/Djoko Subinarto

Peningkatan suhu bumi menjadi penyumbang terbesar (50 persen) kenaikan permukaan air laut sepanjang rentang tahun 1971–2018. Menyusul penyebab berikutnya adalah pencairan gletser (22 persen), pencairan lapisan es (20 persen), dan berubahnya penyimpanan air di daratan (6 persen).

Para ahli saat ini telah memiliki setidaknya dua skenario terkait meningkatnya permukaan air laut. Skenario pertama, jika peningkatan temperatur bumi di bawah 2 derajat Celcius, maka permukaan air laut dapat naik antara 36 hingga 126 senti pada tahun 2100. Adapun skenario kedua, yang merupakan skenario paling buruk, jika temperatur bumi meningkat hingga 5 derajat Celcius, maka kenaikan permukaan air laut dapat mencapai lebih dari dua meter pada 2100 mendatang.

Implikasi dari naiknya permukaan air laut tentu saja sangat mengkhawatirkan, khususnya bagi masyarakat pesisir. Jika skenario kenaikan permukaan air laut hingga mencapai lebih dari dua meter terjadi, maka bakal banyak kota pesisir dan pulau-pulau kecil yang tenggelam.

Adaptasi Kawasan Pesisir untuk Merespons Kenaikan Permukaan Laut (Djoko Subinarto)
Perubahan iklim sebabkan pula kemarau ekstrem/Djoko Subinarto

Dampak Besar untuk Segala Sektor

Selain menimbulkan ancaman eksistensial bagi kota-kota pesisir dan negara kepulauan, kenaikan permukaan laut hingga sekitar lebih dari dua meter juga akan melahirkan gelombang migrasi massal. Membawa implikasi secara ekonomi, lingkungan, dan hak asasi manusia (HAM), khususnya yang terkait dengan persoalan status migrasi. 

Terkait aktivitas wisata, kenaikan permukaan laut tentu saja akan berdampak pada sektor pariwisata pesisir. Buntut terjadinya banjir pesisir serta erosi pantai. Belum lagi gelombang panas yang akan meningkat menjadi lebih sering. Ini semua membuat banyak destinasi wisata pantai mungkin menjadi tempat yang tidak nyaman bagi wisatawan di masa depan.

Menurut Cities Climate Leadership Group (CCLG), sebagian besar migrasi terkait kenaikan permukaan air laut maupun bencana iklim akan terjadi di dalam lingkup domestik. Pergerakan di kawasan urban bakal mendominasi. Pasalnya, hampir 70–75 persen penduduk bumi di masa depan mendiami kawasan perkotaan. Jumlah yang dipastikan akan terus meningkat.

Hal tersebut sudah barang tentu harus benar-benar diantisipasi sejak sekarang. Skenario terburuk terkait kenaikan permukaan air laut mesti dimasukkan ke dalam bagian strategi adaptasi kawasan pesisir masa depan.

Bagaimanapun, kenaikan permukaan air laut lebih dari dua meter akan mengubah banyak wilayah pesisir di seluruh dunia. Sejumlah literatur menyebut, dengan kenaikan permukaan air laut lebih dari dua meter, terutama pada saat air laut pasang dan badai, akan mengakibatkan peningkatan banjir kronis dan risiko salinisasi lahan basah.  

Selain itu, kenaikan permukaan laut sebesar lebih dari dua meter akan meningkatkan erosi dan menyebabkan banjir permanen. Khususnya di daerah dataran rendah yang tidak terlindungi, yang sangat penting bagi pembangunan manusia dan ekosistem yang unik.

Adaptasi Kawasan Pesisir untuk Merespons Kenaikan Permukaan Laut (Djoko Subinarto)
Kenaikan permukaan laut mengancam aktivitas wisata maritim/Djoko Subinarto

Bagaimana harus merespons?

Lantas, bagaimana para pengelola kawasan pesisir dan pemangku kepentingan lainnya mesti merespons masalah-masalah tersebut?

Menurut Cozannet et al (2023), ada sedikitnya lima hal yang perlu dijadikan prioritas pihak-pihak tersebut sebagai upaya menghadapi skenario terburuk kenaikan permukaan air laut ekstrem di masa depan.

Pertama, menyiapkan landasan bagi upaya adaptasi. Ini meliputi meningkatkan kesadaraan dan literasi iklim masyarakat, memperkuat atau mendirikan lembaga dan mekanisme tata kelola pemerintahan, serta merangkul warga pesisir yang berisiko.

Kedua, menimbang risiko dan kerawanan dengan jalan memprioritaskan aset dan infrastruktur jangka panjang. Selain itu, memberi perhatian pada masyarakat pesisir, ekosistem, dan aktivitas warga pesisir yang paling rentan terdampak. Berikutnya yaitu mendorong terbangunnya komunikasi dua arah antara publik luas dan para pemangku kepentingan.

Ketiga, melakukan penilaian semua opsi adaptasi yang tersedia. Ini mencakup identifikasi semua opsi adaptasi secara menyeluruh, yang dibarengi dengan penilaian terkait fisibilitas, efektivitas maupun manfaat dari masing-masing opsi adaptasi berikut persepsi warga. Tak kalah pentingnya adalah melakukan antisipasi terkait migrasi ke daratan dari ekosistem pesisir.

Keempat, meningkatkan adaptasi dengan sejumlah langkah, antara lain memprioritaskan opsi-opsi yang memiliki manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan yang tinggi, yang selaras dengan nilai-nilai sosial budaya dan prioritas pembangunan, tetapi tetap membuka opsi-opsi lain. 

Kelima, memantau kemajuan adaptasi. Penting untuk terus memantau, mengkaji, dan mempelajari opsi adaptasi yang telah diimplementasikan sembari melakukan asesmen terkait tanda-tanda awal percepatan kenaikan permukaan air laut. Di saat yang sama, melakukan pemetaan kemajuan yang telah dicapai dan yang direncanakan pada jalur adaptasi untuk mengidentifikasi berbagai peluang dan hambatan.

Sementara kelima hal tersebut diupayakan, tambah Cozannet et al (2023), tindakan penting harus pula diambil saat ini, yaitu pengurangan emisi gas rumah kaca secara besar-besaran dan segera. Tujuannya untuk memperlambat kenaikan permukaan laut, membatasi amplitudo kenaikan permukaan laut dalam jangka panjang, serta memberikan lebih banyak waktu bagi kita semua untuk melakukan adaptasi.

Pada akhirnya, kita tidak mungkin mundur ke belakang. Kenaikan permukaan air laut adalah sebuah keniscayaan. Apa pun skenarionya, keputusan yang diambil sekarang akan menciptakan warisan untuk generasi mendatang, termasuk anak cucu kita.


Referensi:

Bamber, J. L., Oppenheimer, M., Kopp, R. E., and Cooke, R. M. (2019). Ice sheet contributions to future sea-level rise from structured expert judgment. PNAS. Diakses dari https://www.pnas.org/doi/full/10.1073/pnas.1817205116.
Becken, Susanne. (2016). Climate change impacts on coastal tourism. Coast Adapt. Diakses dari https://coastadapt.com.au/sites/default/files/factsheets/T312_7_Coastal_Tourism.pdf.
C40 Cities Climate Leadership Group. (2021). Cities, Climate and Migration: The role of cities at the climate-migration nexus. C40 Knowledge Hub. Diakses dari https://www.c40knowledgehub.org/s/article/Cities-Climate-and-Migration-The-role-of-cities-at-the-climate-migration-nexus?language=en_US.
Elton, Charlotte. (2023). The impact of rising sea levels is being ‘underestimated’, scientists warn. Euronews Green. Diakses dari https://www.euronews.com/green/2023/01/27/the-impact-of-rising-sea-levels-is-being-underestimated-scientists-warn.
Le Cozannet, G., Nicholls, R. J., Durand, G., Slangen, A. B. A., Lincke, D., and Chapuis, A. (2023). Adaptation to multi-meter sea-level rise should start now. IOP Science Publishing. Diakses dari https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/acef3f/pdf#:~:text=Two%20meters%20of%20sea%2Dlevel%20rise%20will%20enhance%20erosion%20and,human%20development%20and%20unique%20ecosystems.
Vaughan, Adam. (2019). Sea level rise could hit 2 metres by 2100 – much worse than feared. New Scientist.com. Diakses dari https://www.newscientist.com/article/2203700-sea-level-rise-could-hit-2-metres-by-2100-much-worse-than-feared/.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Adaptasi Kawasan Pesisir untuk Merespons Kenaikan Permukaan Laut appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/adaptasi-kawasan-pesisir-untuk-merespons-kenaikan-permukaan-laut/feed/ 0 41734