pendaki gunung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pendaki-gunung/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:16:14 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pendaki gunung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pendaki-gunung/ 32 32 135956295 Pesan buat Para Pendaki Gunung https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/ https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/#respond Fri, 11 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46613 Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba. Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka...

The post Pesan buat Para Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba.

Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka enam jalur resminya untuk pendakian per 3 April 2024 lalu. Para pendaki bisa memilih jalur Senaru, Torean, Aikberik, Sembalun, Timbanuh, atau Tetebatu. Registrasi pendakian sepenuhnya daring lewat aplikasi eRinjani, yang sayangnya baru tersedia di Google Play Store. Satu hal yang menarik dari pembukaan jalur ke gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia ini adalah Go Rinjani Zero Waste 2025, sebuah komitmen bersama untuk mewujudkan alam Rinjani bebas sampah yang harus dipatuhi seluruh pihak, mulai dari pendaki, porter, pemandu, operator, maupun pihak pemangku kawasan itu sendiri.

Di Jawa Tengah, gunung sejuta umat, Merbabu, bahkan sudah buka secara bertahap untuk sebagian jalur sejak Februari lalu. Pendakian ke gunung yang bertetangga dengan Gunung Merapi tersebut buka sepenuhnya setelah libur lebaran kemarin. Reservasi kuota pendakian dilakukan secara daring di booking.tngunungmerbabu.org.

Lalu pemilik jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa, Gunung Argopuro, resmi membuka pintunya bagi calon pendaki sejak 8 April 2025. Jalur pendakian gunung yang masuk dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang itu dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim). Namun, untuk saat ini baru jalur Baderan, Situbondo saja yang dibuka, sehingga belum bisa lintas untuk turun ke Bermi, Probolinggo. Sama seperti Rinjani dan Merbabu, pengurusan izin pendakian dilakukan daring. Calon pendaki bisa mengunjungi tiket.bbksdajatim.org, yang juga tersedia untuk izin masuk kawasan konservasi lainnya, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Ijen, TWA Baung, dan TWA Tretes.

‘Berita baik’ tersebut tentu bersambut dengan euforia calon pendaki dari seluruh Indonesia. Namun, para pendaki mesti mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tidak hanya fisik, mental, dan logistik yang cukup, tetapi juga kesadaran moral dan lingkungan yang terkadang masih terabaikan.

Pesan buat Para Pendaki Gunung
Para pendaki antusias memotret pemandangan dengan ponsel di camp Puncak Pemancar saat sore hari. Tampak serpihan-serpihan sampah di rerumputan hasil buangan pendaki yang berkemah sebelumnya/Rifqy Faiza Rahman

Upayakan semangat minim sampah itu

Seperti sudah kronis, sampah adalah momok yang mencoreng wajah gunung dan menunjukkan sisi buruk dari manusia yang tidak bertanggung jawab. Dari sebelum era masifnya media sosial, berita sampah berserakan di gunung-gunung selalu jadi pergunjingan. Sejumlah gunung memiliki riwayat penumpukan sampah—terutama anorganik—seperti Gunung Gede dan Gunung Pangrango, Gunung Merbabu, Gunung Lawu, Gunung Semeru, hingga Gunung Rinjani. 

Pelakunya bisa siapa saja. Tidak hanya pendaki, tetapi juga operator trip pendakian, mencakup di dalamnya porter atau pemandu lokal yang disewa jasanya. Peraturan dan sanksi yang kurang tegas dari pengelola jalur, biasanya hanya tertulis di atas kertas sebagai imbauan, menyebabkan sampah-sampah hasil kegiatan pendakian banyak tertinggal secara sengaja di jalur atau area berkemah (camp area). 

Belakangan, seiring masifnya media sosial, muncul kesadaran kolektif yang muncul dari kesadaran pribadi atau desakan pencinta alam dan aktivis lingkungan untuk menjaga kebersihan gunung. Di antara segelintir pengelola jalur pendakian, Basecamp Skydoors yang berwenang mengelola pendakian Gunung Kembang via Blembem di Wonosobo patut dicontoh. Pengecekan berlapis dan penerapan denda maksimal terhadap potensi sampah yang dihasilkan pendaki berbanding lurus dengan sterilnya jalur dari sampah organik maupun anorganik.

Di tempat lain, pendakian Gunung Semeru, Gunung Merbabu via Selo, Boyolali dan baru-baru ini Gunung Rinjani telah memberlakukan peraturan yang ketat. Setiap detail barang bawaan dan logistik pendaki dicatat, khususnya yang berpotensi menjadi sampah. 

Akan tetapi, yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah pengelolaan sampah yang sudah dibawa turun gunung. Pemangku kawasan atau pengelola jalur pendakian harus memastikan distribusi sampah bisa terpilah dan terkawal sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA). Oleh karena itu, kesadaran pada usaha minim atau bahkan nol sampah (zero waste) perlu ditumbuhkan di masing-masing individu. Tak terkecuali jika mendaki di gunung-gunung yang belum memiliki peraturan ketat soal penanganan sampah. Sampah tidak hanya sekadar membuat kotor dan tak sedap dipandang mata, tetapi juga merusak ekosistem hutan.

Pesan buat Para Pendaki Gunung
Petugas Basecamp Skydoor mengecek satu per satu barang bawaaan pendaki Gunung Kembang via Blembem. Basecamp ini termasuk salah satu pelopor pendakian nol sampah di Indonesia/Rifqy Faiza Rahman

Hormati warga lokal dan keanekaragaman hayati

Umumnya jalur pendakian di Indonesia melalui kawasan perkampungan warga yang hidup di lereng gunung. Setiap daerah memiliki adat istiadatnya sendiri. Sebagai tamu, para pendaki semestinya menghormati tradisi maupun kebiasaan setempat yang berlaku. Beragam mitos mungkin berkembang di tengah masyarakat, tetapi pendaki cukup diam dan menghargai eksistensinya.

Kemudian di antara permukiman terakhir dengan pintu hutan sebagai titik awal pendakian, biasanya melalui kawasan perkebunan atau lahan pertanian warga. Jangan sampai kegiatan pendakian mengganggu aktivitas masyarakat yang sedang bertani atau berkebun. 

Begitu pula dengan ritus-ritus tertentu, jika ada, yang terkadang diekspresikan melalui pemberian sesaji di dalam hutan—di pohon-pohon, pinggiran sungai atau danau, dan beberapa tempat lainnya yang dianggap sakral oleh masyarakat.

Status tamu masih melekat pada pendaki ketika masuk kawasan hutan dan gunung yang didaki. Di dalamnya hidup keanekaragaman hayati, mencakup flora dan fauna endemik, serta entitas kehidupan lain yang menghidupi gunung itu sendiri. 

Seperti yang umum terlihat di beberapa gunung, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) biasanya mudah dijumpai di Merbabu, Rinjani, Butak, dan beberapa gunung lain. Dilarang keras memberi makan mereka karena akan mengubah sifat alami satwa liar dan bisa agresif mengganggu pendaki. Lalu bunga edelweiss yang tumbuh di atas 2.000-an mdpl, biarkan abadi tanpa harus dipetik untuk alasan apa pun.

Pendaki berpapasan dengan warga setempat yang membawa kayu bakar di jalur pendakian Gunung Sumbing via Banaran, Temanggung (kiri) serta tanaman edelweiss di Gunung Semeru/Rifqy Faiza Rahman

Bijaksana mengukur diri sendiri

Kunci utama dalam pendakian sejatinya hanya satu: tahu diri. Tahu batas diri. Seorang pendaki yang bijaksana seharusnya mampu memahami batas kekuatan fisik tubuhnya, ketahanan mental; serta sejauh mana mampu mengendalikan egonya selama pendakian, apalagi jika membawa banyak personel dengan latar belakang berbeda dalam satu tim.

Tampaknya terbilang cukup sering insiden terjadi menimpa pendaki. Mulai dari hipotermia, terjatuh di jalur pendakian, atau kehabisan bahan makanan dan minuman karena kurangnya persiapan. Tak sedikit pendaki yang menganggap remeh perjalanannya, sampai “kesialan” itu menimpanya.

Memang benar tidak ada satu pun manusia yang tahu apakah hari itu memberi nasib baik atau buruk. Namun, persiapan pendakian dan kedewasaan pikiran yang matang memudahkan langkah serta memitigasi kejadian-kejadian tak diinginkan.

Akan lebih bijak jika mengetahui batasan tubuh yang bisa dijangkau. Pulang ke rumah lebih awal jauh lebih selamat dan aman—serta tidak merepotkan sesama rekan pendakian—daripada memaksakan diri melaju lebih jauh tanpa perhitungan matang.

Selamat mendaki gunung!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pesan buat Para Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/feed/ 0 46613
Dulu dan Kini-nya Pendaki Gunung https://telusuri.id/dulu-dan-kini-nya-pendaki-gunung/ https://telusuri.id/dulu-dan-kini-nya-pendaki-gunung/#comments Thu, 11 Feb 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=26956 Beberapa kali dan bukan sekali saya temukan perdebatan tentang pendakian gunung dulu dan kini, setidaknya di grup Facebook yang member anggotanya menyentuh puluhan ribu bahkan lebih. Tak jarang pula hal itu menimbulkan perdebatan, perselisihan, hingga...

The post Dulu dan Kini-nya Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa kali dan bukan sekali saya temukan perdebatan tentang pendakian gunung dulu dan kini, setidaknya di grup Facebook yang member anggotanya menyentuh puluhan ribu bahkan lebih. Tak jarang pula hal itu menimbulkan perdebatan, perselisihan, hingga memancing ketersinggungan dari beberapa orang.

Gunung Kembang
Gunung Kembang/Sandy Miftah

Dulu: “Zaman saya naik gunung nggak ada tuh bawa speaker portable, katanya mau menikmati alam dan mencari ketenangan tapi kok bawa speaker dan bikin risih tenda tetangga?”

Kini: “Zaman dulu kan nggak ada speaker portable, coba kalau dulu udah ada, mungkin bawa juga!”

Dulu: “Saya naik gunung pake jeans aman-aman aja, ga ada repot harus celana inilah, bahan itula, resiko lah.”

Kini: “Udah banyak celana yang dijual dan mendukung untuk kegiatan mendaki gunung. Secara bahan lebih aman juga untuk dipakai mendaki gunung.”

Dulu: “Saya naik gunung pakai sandal jepit bahkan bisa dan aman sampe muncak. Sekarang kok ribet ngurusin sepatu dengan merk, bahan, dan bla bla bla.”

Kini: “Pakai sendal jepit naik gunung ga aman, terlalu berbahaya dan beresiko. Lagian udah banyak juga sepatu gunung yang harganya terjangkau dan lebih aman untuk dipakai naik gunung.”

Dulu: “Kalau mau naik gunung, kami harus ikut diklat dulu. Belajar dulu, bahkan latihan dulu. Seenggaknya belajar memahami dan mengerti resikonya, lalu mempersiapkan supaya resikonya bisa diminimalisir.”

Kini: “Itu kan dulu, pas gunungnya sepi. Sekarang gunung udah rame, udah banyak juga yang rombongan yang ngajak barengan, bahkan ada pendakian open trip dan ada pemandunya.” 

Dulu: “Naik gunung dulu tuh buat nikmati alam, kalau udah turun bagi-bagi pengalaman dan cerita. Sekarang lebih sibuk pamer foto.”

Kini: “Ga Cuma pamer foto, ada yang buat konten juga. Bisa jadi media sharing juga kontennya, kalau dulu udah ada kamera di ponsel, kayaknya bakal sama aja.”

* * *

Sedikit contoh yang mungkin mewakili. Tidak sepenuhnya begitu, namun beberapa hal yang tertangkap kurang lebih begitu. Ada perbandingan yang terjadi dan membedakan satu sama lain di dulu dan sekarang.

Pada dasarnya mendaki gunung bukanlah hal yang baru, bahkan sudah ada dari jauh-jauh hari. Dan yang membedakannya hanyalah tentang kepentingannya. Ada masa kunjungan ke gunung untuk penelitian, ada pula masa di mana ke gunung menjadi pelarian dan persembunyian, saat zaman penjajahan misalnya. Berkembangnya waktu berkembang pula kepentingannya, mulai dari tujuan berolahraga yang ekstrim hingga mungkin menyentuh titik kunjungan wisata.

Area Camp Gunung Sumbing
Camping areaGunung Sumbing/Sandy Miftah

Ada yang pernah bercerita, seiring tren yang berkembang pesat dalam satu bidang, terlebih ketika unsur industri dan bisnis masuk ke dalamnya. Maka akan beriringan pula dengan bergeser dan terkikisnya nilai serta esensi di dalamnya.

Pendapat yang tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, namun tidak serta merta juga dapat disalahkan. Karena terkadang memang benar begitu fenomenanya, apalagi saat yang disentuh adalah sisi nilai dan esensi. Ketika itu cenderung bergeser maka mereka yang mengalami, mempelajari, dan membaginya akan sedikit bersuara atau berteriak atas kondisi tersebut. 

Memang benar jika zaman akan terus berkembang dan beriringan dengan perubahan, dan hal itu akan memberikan warna tersendiri dalam perjalanannya. Ada kemasan yang membuatnya menjadi lebih menarik, dan ada hal-hal yang akan menguntungkan banyak orang. Perkembangan pendakian gunung hari ini setidaknya memberikan dampak secara ekonomi bagi beberapa orang. Mulai dari penyewaan alat outdoor, sarana transportasi, hingga warga di sekitar basecamp yang ikut terlibat.

Namun seiring perkembangan itu pula seharusnya ada beberapa hal yang harus dijaga, terlebih tentang hal-hal yang berhubungan dengan identitas dan makna dari pendakian gunung itu sendiri. Benar jika dulu tegur sapa adalah hal yang lumrah ditemukan, bahkan saat tidak kenal sekali pun. Dan sekarang mungkin terkesan lebih cuek dan lebih acuh pada mereka yang di luar rombongannya. Dan hal itu terjadi karena gunungnya mungkin sudah terlalu ramai atau terlalu banyak orang, sehingga ruang untuk bertegur sapa justru menjadi lebih sempit.

Gunung Sumbing
Gunung Sumbing/Sandy Miftah

Dulu, mungkin jarang juga ditemukan kasus teman pendakian ditinggalkan sendirian di jalur saat sakit dan tidak fit. Ajakan naik gunung pun mungkin tak sesederhana yuk, yak, kuy, cabs, dan gas. Saat referensi lebih terbatas, maka mencari informasi dan persiapan justru lebih mendalam. Dan hari ini, bukankah sumber referensi dan informasi justru lebih luas? Tapi fenomena yang terjadi justru terkesan semakin sulit orang-orang menemukannya.

Menerima perkembangan mungkin suatu kewajaran, pertanda hidup memang dinamis dan kita adaptif dengan kondisi. Namun menjaga nilai beserta esensi di dalamnya adalah pilihan, menjadi bentuk usaha dan upaya, agar keduanya tetap beriringan dan saling menyeimbangkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dulu dan Kini-nya Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dulu-dan-kini-nya-pendaki-gunung/feed/ 1 26956
Pengalaman Pertama Mendaki Merbabu Malam Hari https://telusuri.id/pengalaman-pertama-mendaki-merbabu-malam-hari/ https://telusuri.id/pengalaman-pertama-mendaki-merbabu-malam-hari/#comments Sun, 20 Dec 2020 08:59:29 +0000 https://telusuri.id/?p=25967 2017, aku lupa tanggal berapa, yang jelas aku sedang gencar gencarnya menyusun jadwal naik gunung, dan di kesempatan mudik kala itu tak ku lewatkan untuk mendaki salah satu primadona gunung di Jawa Tengah, Merbabu. Gunung...

The post Pengalaman Pertama Mendaki Merbabu Malam Hari appeared first on TelusuRI.

]]>
2017, aku lupa tanggal berapa, yang jelas aku sedang gencar gencarnya menyusun jadwal naik gunung, dan di kesempatan mudik kala itu tak ku lewatkan untuk mendaki salah satu primadona gunung di Jawa Tengah, Merbabu. Gunung ini hanya berjarak 2 jam perjalanan motor dari kota kelahiran ayah dan ibuku, yaitu Klaten. Aku bersama dua orang sepupu, kami memacu motor selepas isya’ menuju basecamp Selo.

Singkat cerita kami sampai di basecamp sudah cukup larut karena harus mencari persewaan peralatan sekaligus sedikit tersesat perjalanan ke sana. Jalan yang menanjak dengan penerangan yang kurang menjadi faktor utama kami hampir tersesat, terlebih saat itu penunjuk jalan belum cukup memadai. Tepat pukul 23.00 kami memesan nasi goreng sebagai pengganjal perut. Aku kira, kami akan mendaki keesokan harinya, namun ternyata sepupuku mengajak langsung berangkat mendaki. Tepat sekitar jam 12.00 malam, kami mengencangkan tali sepatu.

Bawaan kami bertiga tidak cukup banyak, hanya aku yang berkeril 60l, Mas Aji hanya mengenakan daypack, sedangkan Mas Ulin malah lebih kecil lagi, yakni waist bag. Ya, perjalanan malam memang tentunya akan melelahkan, alih-alih kita tidak terpapar matahari yang mempercepat dehidrasi, namun yang terjadi sebenarnya ialah pernafasan kita akan berebut dengan pepohonan yang juga menghirup oksigen untuk keperluan metabolismenya. Jadi karena hal itulah, bawaan kami tidak terlalu banyak.

Mungkin yang ada di benak kalian, pendakian malam selalu berkaitan dengan peristiwa mistis. Tetapi, perjalanan kali ini akan aku ceritakan dengan logis. Ya, bukan karena diriku tak percaya akan hal gaib, namun lebih sepertistop mendramatisir hal-hal yang sukar ditangkap mata, alih-alih fokus terhadap hal itu, lebih baik fokuskan terhadap ancaman yang nyata. Karena tampaknya masih ada pendaki yang lebih takut terhadap hal gaib ketimbang ancaman nyata seperti kabut pekat, badai angin, atau mungkin cedera serta fraktur yang membayang-bayangi olahraga ini.

Gelap sudah pasti, jika ingin mendramatisir, gelap ini seperti berada di dimensi lain. Tapi sebenernya nggak juga sih, terkadang perasaan takut terhadap apa yang ada di balik kegelapan membuat kebanyakan dari kita berpikir yang tidak-tidak padahal fisik sedang lelah-lelahnya.Gunung Merbabu, Sabana 2

(Bukan) “ketempelan” di Merbabu

Pos 1 sampai Pos 2 dapat kami tempuh kurang lebih 90 menit. Meski jalur relatif landai, tak bisa kupungkiri, aku yang pertama kali mendaki malam, rasanya cukup sesak jika harus berbagi oksigen dengan pepohonan. Melelahkan.

Pertengahan menuju Pos 3 menjadi titik terberat untukku. Aku menawarkan diri untuk bertukar keril dengan Mas Aji, entah mengapa tiba-tiba keril yang biasa saja beratnya, menjadi sangat berat rasanya. Lalu, apa dengan bertukar bawaan akan mengatasi masalah itu?

Ternyata tidak. Daypack yang aku bawa rasanya sama beratnya dengan keril yang saat ini berada di punggung Mas Aji. Di bagian tengkuk, beratnya makin menjadi. Sebagian orang mungkin akan berpikir bahwa dirinya “ketempelan” atau semacamnya, dalam artian diri kita ditunggangi makhluk gaib. Tapi diriku tidak berpikir demikian, sebab apa?

Aku mencoba berpikir positif bahwasanya ini hanya masuk angin biasa, mengingat perjalanan di motor tanpa menggunakan jaket, serta diriku yang mungkin belum sempat aklimatisasi saat tiba di basecamp tadi. Kalau dipikir-pikir, waktu satu jam bukan waktu yang panjang untuk mempersiapkan pendakian ketika di basecamp pendakian.

Aku masih merasakan berat di daerah tengkuk, tapi masih kupaksa berjalan hingga akhirnya rasa nyeri mulai muncul di area perut. “Ah apa lagi ini,” pikirku.

Perjalanan melambat karena diriku, aku sering minta break hingga pada akhirnya, rasa nyeri di perut tak lagi dapat kutahan. Di sela-sela istirahat aku berbaring, sambil memutar cara bagaimana nyeri ini tak mengganggu lagi. Aku masih cukup yakin kami tidak diganggu makhluk gaib, suara murattal quran dari handphone Mas Ulin rasanya sudah lebih dari cukup untuk melindungi kami dari gangguan tak terjemahkan itu.

Disisi lain, aku tidak memiliki riwayat penyakit lambung, ataupun mengalami diare sebelum pendakian. Saat itu kurasa obat maag maupun obat diare tak akan banyak membantu. Akhirnya aku memilih untuk memuntahkan isi perutku, berharap nyeri tak lagi mengganggu. Aku menyodok bagian belakang lidah, dan “boom” nasi goreng yang tadi aku makan berhamburan keluar di bawah sorot lampu headlamp. Jackpot!

Entah mengapa badanku terasa lebih baik, nyeri di perut dan beban di tengkuk tidak begitu terasa lagi. Di bawah sinar rembulan, Mas Aji mengatakan wajahku tak lagi pucat seperti ketika kami bertukar ransel. Ya konon memang muntah adalah reaksi manusia ketika kontak dengan hal gaib. Tapi menurutku, aku hanya murni masuk angin dan kesalahanku tidak memberi waktu rehat setelah makan yang dalam bahasa kampung “nasi aja belum turun” namun aku langsung melakukan pendakian.

Summit di pagi hari adalah hal fana?

Kami sampai di Pos 3, bimasakti terlihat membentang di atas langit, sedangkan waktu di jam tangan menunjukkan pukul 02.30 pagi. Kami sepakat mendirikan tenda untuk istirahat dan melanjutkan perjalanan summit di pagi harinya. Ya meskipun aku tahu, summit pagi pagi adalah hal yang fana!

Setelah menghangatkan tubuh dengan teh tawar dan mie instan kami terlelap. Selama tidur, tidak ada hal yang mencurigakan, tenang dan nyaman. Aku yang terbiasa beristirahat ditemani dengan suasana senja, kali ini berganti dengan pelukan malam.

Karakter Gunung Merbabu yang berupa sabana membuatku bisa melihat gugus bintang secara lebih luas, bahkan tak terhalang pepohonan seperti di gunung-gunung di Jawa Barat pada umumnya. Pendakian pertamaku ke Merbabu rasanya sudah cukup indah, dalam hati aku berkata, walaupun nggak jadi summit pun tak apa. Perjalanan tadi, sudah cukup.

Dan benar saja, aku kesiangan! Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 saat aku terbangun. Suara riuh sayup sayup terdengar, Mas Aji dan Mas Ulin sudah duduk menikmati kopi di luar tenda. “Summit ora kowe?” celetuk Mas Aji dengan cangkir di tangannya. “Yo iyo no, aku wes adoh nyang mrene moso ora kepetuk Kenteng Songo,” aku membalas seolah itu tantangan dari Mas Aji. Padahal sebenarnya aku malas juga.

Aku gulung kembali sleeping bag, menyantap roti serta ngopi sebelum melakukan summit. Dari balik bibir gelas ku, sudah terlihat megah tanjakan Sabana 1 dengan orang orang yang terlihat kecil bak semut ingin masuk ke sarangnya.

Puncak Gunung Merbabu Kenteng Songo

Swafoto di puncak Gunung Merbabu, Kenteng Songo. Foto/M. Husein

Akhirnya ke Kenteng Songo

Jam 09.30 kami melangkah, pemilihan musim yang tepat rasanya menjadi kunci dalam mendaki Merbabu ini. Sebelum mendaki, aku biasa mendengar bahwa merbabu sangatlah berdebu, namun puji syukur kala itu, tanah yang kupijak sedikit gembur, saat itu musim sedang dalam masa peralihan hujan ke kemarau. Dengan pijakan yang mantap rasanya tak terlalu sulit melewati Sabana 1 dan Sabana 2 yang menunggu di balik punggungan ini. Sabana kami lewati dengan lancar, dengan sedikit berfoto tentunya!

Seusai tanjakan Sabana 2, kembali terlihat punggungan seperti jalur naga, orang-orang berjejer di trek itu. Trek yang kurang lebih hanya selebar satu meter, membuat para pendaki harus berhati-hati jika melewatinya. Namun ternyata, yang jadi masalah bukan ada pada treknya, tapi justru ada pada kaki ku sendiri. Cedera engkel akibat kecelakaan motor mulai menunjukkan rasa nyeri. Tak lagi dapat kutahan, aku harus melipir ke pinggir trek di bawah matahari yang semakin panas, tiada tempat berteduh. Sudahlah nyeri, panas pula. Ada kali, sekitar 30 menit aku mengistirahatkan kaki kiriku.

Pemandangan dari puncak Kenteng Songo

Pemandangan dari puncak Kenteng Songo. Foto/M. Husein

Setelah nyeri mereda kami melanjutkan pendakian, dan tibalah kami di puncak Gunung Merbabu yakni Kenteng Songo. Lautan awan sekaligus puncak merapi menyambut kami. Meski sudah pukul 12.00 siang, tapi cuaca tampak cerah. Kala itu hari Jum’at, namun meskipun weekday, suasana puncak cukup ramai.

Trek yang kami lalui tadi terpampang jelas di atas sini, seakan tak percaya aku melewati trek itu. Terik matahari tak lagi dapat kutahan, aku yang terbiasa mendaki gunung jawa barat dengan hutannya yang sangat teduh, rasanya tidak ada apa apanya dengan pendaki lokal daerah sini yang kuat sekali menahan panas. Hanya sekitar 30 menit aku di Kenteng Songo lalu memutuskan turun kembali ke tenda.

Menurutku, Merbabu termasuk gunung dengan pemandangan yang apik sabana membentang sepanjang jalur pendakian, dan tentu saja hamparan edelweiss bisa menjadi taman bermain bagi pendaki. Warna-warni tenda seolah memberi nyawa terhadap lukisan diatas kanvas hijau ini. Dengan punggungan bukit yang bergelombang, rasanya tak berlebihan jika kata rindu bersanding dengan Merbabu.

Meski ada sedikit kendala, aku merasa pendakian malam dan pertamaku ke Merbabu terasa lancar. Berjalan bersama orang-orang yang cukup rasional, membuatku nyaman dalam melewati masalah semalam. Meski kejadian tadi malam bukan pertama kalinya terjadi, namun aku masih bisa berpikir positif agar suasana tak makin runyam. Aku percaya ada makhluk lain di sekitar kita, namun bukan berarti kita menjadi takut. Bagiku cukup sandarkan perlindungan diri kita terhadap tuhan di kepercayaan kita masing-masing.

Barangkali untuk kamu, pembahasan mengenai tuhan, agama, dan makhluk gaib bukan menjadi sesuatu dipikirkan secara rasional. Meski begitu, sesuai kepercayaanku, aku meyakini bahwasannya selalu ada tuhan yang senantiasa akan membantu kita dalam kesulitan. Tidak terkecuali saat kita berada di gunung, tempat yang ramai akan makhluk tak kasat mata ini. 

Melalui tulisan ini aku hanya ingin mengajak para pendaki mulai lebih fokus terhadap ancaman yang nyata, tak terhasut kepada yang tak kasat mata. Hipotermia, cuaca buruk, ataupun kedaruratan medis lebih mengancam nyawa kita kala di gunung. Akhir kata, semoga bertemu di jalur pendakian, see you!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pengalaman Pertama Mendaki Merbabu Malam Hari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pengalaman-pertama-mendaki-merbabu-malam-hari/feed/ 2 25967