pendakian gunung ciremai Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pendakian-gunung-ciremai/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:25:48 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pendakian gunung ciremai Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pendakian-gunung-ciremai/ 32 32 135956295 Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang https://telusuri.id/mendaki-gunung-ciremai-persembahan-untuk-sahabat-yang-berpulang/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-ciremai-persembahan-untuk-sahabat-yang-berpulang/#comments Thu, 15 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47035 Selepas Idulfitri 1446 H, agenda naik gunung kembali saya lakukan. Kali ini ditemani satu dari anak kembar saya, Evan Hrazeel Langie (Ali). Dua saudara lelakinya, terakhir membersamai saya ke Ciremai, Oktober 2024.  “Enggak ikut dulu,”...

The post Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang appeared first on TelusuRI.

]]>
Selepas Idulfitri 1446 H, agenda naik gunung kembali saya lakukan. Kali ini ditemani satu dari anak kembar saya, Evan Hrazeel Langie (Ali). Dua saudara lelakinya, terakhir membersamai saya ke Ciremai, Oktober 2024. 

“Enggak ikut dulu,” kata Rean Carstensz Langie, kembaran Ali. “Kalau ke gunung lain mau,” tambah Muhammad, adik mereka.

Rean dan Muhammad sudah empat kali ke Ciremai. Ali ingin menyamai capaian saudaranya. Saya senang bisa terus mendampingi anak-anak ke gunung. Selain menjaga kebugaran tubuh di usia 40 tahun, juga memotivasi buah hati untuk senantiasa mencintai alam ciptaan Tuhan.   

Jalur Palutungan kembali jadi pilihan kami pada pendakian Rabu–Kamis, 9–10 April 2025. Pagi itu, selesai berkemas, kabar duka datang. Ichsan Mulyadi (40), rekan pendakian saat zaman sekolah dulu, wafat. Ia  tinggal satu gang dengan rumah orang tua saya di kompleks Kalijaga Permai. Saya dan Ichsan sahabat masa kecil, dan masih berhubungan baik hingga kami berkeluarga. 

Karena sudah mau berangkat, saya hanya titip salam untuk orang tua Ichsan. Ibu saya menyampaikannya saat takziah ke rumah duka. Saya dan Ali bergegas menunggang motor ke Kabupaten Kuningan. Kami membawa sebuah carrier, daypack, dan tenda. Saya foto perlengkapan, mengunggahnya di status WA: Saya dedikasikan pendakian ini untuk mengenang Ichsan Mulyadi. Semoga Allah merahmatinya.

Di perjalanan, saya tak kuasa menahan sedih. Mata berkaca-kaca. Teringat Ichsan yang meninggal tiba-tiba pagi itu. Terkenang kami dulu berangkat bareng mendaki Ciremai. Saya mendoakan yang terbaik untuk sahabat saya itu. Semoga istri dan kedua anaknya diberi ketabahan.

Berharap Sepi Pendaki di Hari Biasa

Sampai basecamp Cadas Poleng, Palutungan pukul 09.30, kami segera mengurus registrasi. Tak lupa menjalani prosedur cek kesehatan. Cuaca cerah dan beberapa pendaki terlihat pula.

“Ramai yang naik?” tanya saya ke petugas medis. “Tadi ada 14 orang,” jawabnya.

Bila melihat kecenderungan pendaki saat akhir pekan di jalur Palutungan mencapai 200–300 orang, angka di hari biasa ini bisa dikategorikan longgar. Ya, baguslah, batin saya, yang memang lebih senang menikmati pendakian ketika sepi pengunjung.

Pukul 09.45, saya dan Ali mulai melangkah. Target kami dua jam ke depan adalah Pos 1 Cigowong. Di sana kami akan istirahat dan mengisi penuh perbekalan air. Kalau sudah masuk waktu salat, biasanya sekalian santap siang dan menunaikan ibadah di musala Siti Khodijah di ketinggian 1.450 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Trek menanjak perlahan. Tanjakan Beunta menjadi “salam perkenalan” bagi para pendaki yang mulai menjamah tubuh Ciremai. Kurang dari seratus meter, tanjakan dengan dua belokan ini dijamin membuat jantung berdegup kencang. Ujungnya adalah percabangan ke area camping Ipukan. 

Kami terus melangkah, memasuki kawasan hutan pinus. Melewati deretan Pinus merkusii yang menjulang, sementara bagian bawah batangnya “tersakiti”; disadap untuk mengeluarkan getah bernilai ekonomis. Rombongan muda-mudi hendak hiking ke Cigowong, menyemarakkan suasana. Kami berjalan ngebut dan melewatinya.

Selepas hutan pinus, vegetasi berganti. Pepohonan khas belantara hujan tropis mulai menaungi. Ada pakis raja (Angiopteris evecta), rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Podocarpus imbricatus), Ki Putri (Podocarpus neriifolius), sarangan (Castanopsis argentea), dan puspa (Schima wallichii). 

Sinar mentari sedari awal tak menyengat. Tutupan hutan semakin rapat, ketika kami menuruni sungai kering. Jalur lalu menanjak kembali, pindah punggungan. Ketinggian bertambah, kami sempatkan rehat di tanah datar. Merebahkan carrier, meluruskan kaki, dan meneguk teh manis hangat bekal dari rumah. 

Keringat bercucuran. Saya berdiri seraya memandangi sekeliling. Berada di tengah kelebatan rimba, sungguh menenangkan jiwa. Paru-paru menghirup oksigen dari alam sepuasnya. Aliran darah terasa lancar. Pikiran lapang. Nikmat sehat patut disyukuri sebaik-baiknya. 

  • Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang
  • Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang

Cigowong yang Lengang

Normalnya waktu tempuh dari basecamp ke Cigowong adalah 2,5 jam untuk jarak 3,4 kilometer. Pendaki yang menyandang carrier, kalau jalan lebih cepat bisa dua jam saja. Jika tidak membawa beban, Cigowong dapat dicapai dalam 60 menit. Nah, kalau naik ojek yang dikelola warga lokal, 20 menit sampai.

Mendekati Cigowong, pinus-pinus nan jangkung kembali menyambut. Padahal dominasinya sempat terhenti mendekati lembahan sungai kering. Rupanya, mengutip akun resmi Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, sekeliling lahan di kaki Gunung Ciremai sejak 1978–2003 memang dijadikan hutan produksi pinus yang dikelola Perhutani.

Memasuki 2004, Gunung Ciremai beralih status menjadi taman nasional. Melahirkan kebijakan penghentian kegiatan produksi hutan, seperti penebangan dan penyadapan getah pinus. Taman nasional fokus kepada konservasi sumber daya alam dan ekosistem, bukan eksploitasi hasil hutan. Nah, yang saya tidak mengerti, mengapa sampai sekarang penyadapan getah pinus masih berlangsung?

Saya coba tidak larut dalam hal yang mengherankan itu. Pendakian berlanjut. Ali setia mendampingi ayahnya. Bila jalur melebar, ia ada di sebelah saya. Namun, jika setapak menyempit, saya biarkan Ali di depan. Kami saling memberi semangat, di tengah napas yang memburu. 

Keringat membasahi tubuh. Otot paha dan betis mengencang. Setelah menggenjot langkah demi langkah, gerbang Cigowong tampak di depan sana. Ayunan kaki kami percepat, jantung memompa darah lebih kencang, demi memasuki Pos 1 Cigowong dengan carrier tegak. Alhamdulillah.

Siang itu saya perkirakan ada 10 orang di Cigowong. Terpencar di beberapa titik. Ada yang di sebelah warung, dekat mata air, dan di selter permanen. Sepertinya mereka sudah lama istirahat dan segera meneruskan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul 11.15, sedangkan zuhur masih 45 menit lagi. Saya putuskan rehat sejenak saja. Beres mengisi perbekalan air, kami lanjut mendaki.

“Kita makan siang di Pos 3, ya? Gimana kondisi, oke kan?”

Ali mengangguk mantap.      

Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang
Pos 3 Paguyangan Badak, tempat istirahat santap siang/Mochamad Rona Anggie

Target Buka Tenda di Pos 6

Jalur kemudian menurun, melintasi sungai kecil berair jernih. Pepohonan besar dengan akar-akar yang menyembul ke permukaan tanah, jadi tantangan pendakian menuju Pos 2 Kuta. Hanya perlu 20 menit untuk sampai ke sini. Plangnya ada di tengah jalur. 

Kami terus berjalan menambah ketinggian. Menembus kelebatan hutan Ciremai, hingga Pos 3 terlihat pukul 12.30. Beberapa pendaki sedang santai pula. Kami makan siang lalu menjamak qashar salat Zuhur dan Asar, masing-masing dua rakaat salam. Setelah istirahat dirasa cukup, kami meneruskan perjalanan. Rekan pendaki lainnya menyapa, mendahului kami. 

Siang itu cuaca bersahabat. Tidak berkabut. Saya dan Ali berencana buka tenda di Pos 6 Pasanggrahan. Saya cerita ke Ali, pada pendakian Oktober 2024 bareng Rean dan Muhammad, berkemah di Pos 5 Tanjakan Asoy karena gerimis turun. Semoga perjalanan kali ini bisa terus ke Pos 6 sesuai target.

Kami berjalan dengan ritme konstan. Tidak ngebut, tapi juga tidak lambat. Menapaki medan terjal antara Pos 4 dan Pos 6 memerlukan strategi tersendiri. Tenaga jangan diforsir. Selalu saya sempatkan berhenti sejenak untuk mengatur napas. Sesekali carrier diturunkan, lantas duduk selonjor sekitar satu menit. Setelahnya berjalan lagi. Pantang menyerah, walau lelah mendera.

Pukul 16.00, kami sampai di Pos 6 Pasanggrahan (2.450 mdpl). Ada tiga kelompok yang sudah menggelar tenda. Sementara yang mendaki bersamaan dengan kami sejak Pos 3, ada empat tim. Syukurlah, relatif tidak ramai. Saya pilih buka tenda di belakang rumah kayu yang berfungsi sebagai selter darurat.   

Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang
Tenda kami di belakang selter Pos 6/Mochamad Rona Anggie

Semburat Fajar di Puncak

Pukul 03.00, saya bangunkan Ali untuk persiapan menuju puncak. Kami “sahur” dengan sup bakso dan telur rebus, juga minum sereal hangat sebagai penunjang tenaga. Estimasi waktu menuju puncak sekitar 2,5 jam. Di atas kertas memang sudah dekat, tapi jalur pendakian tak semudah yang dibayangkan. 

Kami keluar tenda pukul 03.30 dengan kondisi sehat. Senter di kepala, jaket tebal, sarung tangan, dan bandana penutup telinga menjadi perlengkapan wajib ketika muncak. Ali memakai kupluk berpelindung wajah. “Semoga tak ada angin,” kata saya dan kami mulai melangkah.

Pos 7 Sanghyang Ropoh lanjut ke Pos 8 Simpang Apuy, cuaca sesuai harapan. Bahkan di persimpangan jalur Apuy (Majalengka) dan Palutungan (Kuningan), cahaya kuning-kemerahan tampak berkilau. Pertanda mentari siap menyinari bumi. Pendaki dari Apuy mengalir deras. Kami sama-sama menuju Pos 9 Goa Walet.

  • Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang
  • Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang

Medan bebatuan dan rapatnya cantigi (Vaccinium varingaefolium), menguji fokus dan daya tahan pendaki. Jangan sampai salah jalur, ikuti marka yang terpasang. Jarak Goa Walet ke puncak “hanya” 200 meter atau sekitar setengah jam. Tapi dijamin, pendaki nonatlet bakal beberapa kali rehat. Termasuk saya dan Ali. Ah, santai asal selamat, batin saya. Toh, cuaca bagus dan capaian waktu tempuh cukup baik

Akhirnya pukul 06.00, kami sampai di pelataran puncak yang biasa dipakai upacara bendera 17 Agustus. Angin berembus, tapi tidak kencang. Beda ketika muncak 6 Oktober 2024, angin menderu dan pemandangan tertutup kabut. Alhamdulillah, kemarin itu sisa fajar menyingsing masih tampak jelas. Gunung Slamet di sebelah timur menghiasi cakrawala.

Tulisan untuk mengenang sahabat saya di puncak Ciremai (kiri) dan pusara Ichsan Mulyadi saat ziarah sepulang dari Ciremai (11/4/2025)/Mochamad Rona Anggie

Tugu penanda atap Jawa Barat (3.078 mdpl) terlihat dikerumuni pendaki. Mereka berlomba mengabadikan momen dengan latar lautan awan. Saya dokumentasikan selembar kertas dengan coretan in memoriam Ichsan Mulyadi, seperti di awal tulisan.

Engkau sudah mendahului kami, sahabat. Kami panjatkan doa untuk kebaikanmu di alam sana. Semoga suatu saat nanti, anak-anak kita bisa mendaki bersama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Ciremai, Persembahan untuk Sahabat yang Berpulang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-ciremai-persembahan-untuk-sahabat-yang-berpulang/feed/ 4 47035
Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok https://telusuri.id/mendaki-ciremai-di-akhir-pekan-banyak-pendaki-wangi-dan-tektok/ https://telusuri.id/mendaki-ciremai-di-akhir-pekan-banyak-pendaki-wangi-dan-tektok/#comments Mon, 27 Jan 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45454 Sejak pertama kali kenal pendakian gunung tahun 2001, saya lebih suka mendaki di hari biasa, bukan akhir pekan. Menghindari keramaian. Sebab, bagi saya berada di alam terbuka lebih nyaman dinikmati ketika sepi pengunjung. Tapi kemarin...

The post Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejak pertama kali kenal pendakian gunung tahun 2001, saya lebih suka mendaki di hari biasa, bukan akhir pekan. Menghindari keramaian. Sebab, bagi saya berada di alam terbuka lebih nyaman dinikmati ketika sepi pengunjung.

Tapi kemarin itu, saya bersama dua anak lelaki: Rean Carstensz Langie (14) dan Muhammad (10), mencoba mendaki Gunung Ciremai, Sabtu (5/10/2024). Saya ingin tahu seramai apa jalur pendakian via Palutungan, Kuningan, saat akhir pekan.

Buat Rean dan Muhammad, ini perjalanan keempat menuju atap Jawa Barat setinggi 3.078 mdpl (meter di atas permukaan laut) tersebut. Sebelumnya pernah menjajal rute Palutungan (2022), Trisakti Sadarehe (2022), dan Linggarjati (2023). Sebenarnya tim keluarga ini berjumlah empat orang. Namun, Evan Hrazeel Langie—kembaran Rean— absen karena beda waktu liburan sekolah. Ia mondok di Solo. 

Kami berangkat dari Kota Cirebon pukul 07.00 WIB, dan tiba di basecamp Cadas Poleng 1,5 jam kemudian. Baru awal tahun 2024 lalu, titik awal pendakian Ciremai via Palutungan pindah ke sentra penghasil daun bawang dan kol di ketinggian 1.180 mdpl tersebut. Jalur masuknya searah Bumi Perkemahan Ipukan. Jalan yang menanjak, angin dingin khas dataran tinggi, serta hutan pinus menjulang, menjadi “gerbang” selamat datang bagi setiap pengunjung.

Pagi itu, parkiran motor nyaris penuh. Saya gendong carrier di punggung, daypack di dada. Rean membawa ransel dan menjinjing tenda. Muhammad menyandang tas yang biasa dipakai sekolah. Di loket registrasi, para pendaki mengurus perizinan. Tiket resminya Rp50.000 per orang. Pendaki juga mengisi formulir kelengkapan perbekalan yang dibawa. Bentuk kesiapan pendakian sekaligus catatan daftar potensi sampah yang wajib dibawa turun kembali.

Kiri: Pos registrasi pendakian Gunung Ciremai via Palutungan. Kanan: Pos 1 Cigowong dan penampakan carrier “kulkas” serta daypack yang memuat perlengkapan pendakian standar. Kami rehat untuk salat dan makan siang di pos ini/Mochamad Rona Anggie

Bergerak Menuju Cigowong dan Tanjakan Asoy

Setelah berdoa, saya dan anak-anak mulai mendaki dan sampai di Pos 1 Cigowong pukul 10.36 WIB. Kami melihat ada warung baru di sana. Saat mendampingi anak lanang perdana mendaki Ciremai pada 2022, hanya ada satu warung.

“Buka Mei kemarin (2024),” kata bapak pemilik warung.

Sementara sang istri dan anak perempuannya, sibuk melayani pembeli. Ada semangka segar, gorengan bala-bala dan gehu, nasi campur serta aneka minuman. Konsumennya, ya, pengunjung yang hiking atau camping di Cigowong. 

Saya dan anak-anak selonjoran kaki sambil ngemil biskuit dan meneguk teh manis hangat. Kami menanti waktu zuhur, lantas makan siang. Suasana hutan dengan gemericik air dari sumber mata air yang dialirkan lewat pipa-pipa, menambah ritmis suasana di Cigowong. Batin terasa tenang. Pikiran lapang. Membuang segala keruwetan kota.

Perbekalan air dimaksimalkan di Cigowong. Tak ada lagi sumber air menuju delapan pos berikutnya. Pendaki mesti cermat mengatur kebutuhan minum dan memasak.

Siang itu cuaca cerah. Trek menanjak perlahan. Kami melewati Pos 2 Kuta, Pos 3 Paguyangan Badak, Pos 4 Arban, hingga memutuskan buka tenda di Pos 5 Tanjakan Asoy jelang asar, karena gerimis turun. Sebagian besar pendaki hanya rehat sejenak di Pos 5. Mereka meneruskan perjalanan dan bermalam di transit camp Pos 6 Pasanggrahan, sebelum dini hari atau paginya meneruskan pendakian ke puncak.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Tempat bermalam di Tanjakan Asoy. Berharap tak ada gangguan babi hutan/Mochamad Rona Anggie

Angin Kencang dan Kabut Tebal di Puncak

Pukul 02.00 WIB kami bersiap meninggalkan Tanjakan Asoy. Kami sempatkan makan sedikit nasi liwet dan mi telur berkuah plus sereal. Penunjang tenaga selama summit attack. Setengah jam melangkah, kami sampai Pos 6 Pasanggrahan. Banyak tenda di sini. Jarak ke puncak sekitar 3-4 jam lagi.

Trek berbatu mendominasi sampai Pos 8 Simpang Apuy, persimpangan jalur Palutungan (Kuningan) dan Apuy (Majalengka). Barisan pendaki dari Apuy memanjang dengan sorot lampu di kepala. Kami ada di punggungan yang berbeda, terpisah jurang dalam. 

Tanda-tanda sunrise belum muncul. Padahal pemandangan lepas ke segala arah. Area Pos 7 Sanghyang Rangkah ke Simpang Apuy adalah batas vegetasi. Tubuh pendaki leluasa dihantam angin. Tak ada lagi barisan pepohonan sebagai benteng alam.

Cuaca kurang bersahabat. Mendekati Pos 9 Goa Walet pukul 05.00 WIB, mestinya sinar terang keemasan sudah tampak di ufuk. Namun, kabut tebal mengurung. Jarak pandang terbatas. Dingin, jangan tanya. Angin menampar bagian tubuh yang tak tertutupi pelindung.

Kami salat Subuh di area datar dekat papan penunjuk Pos 9 Goa Walet. Muhammad mengeluh kedinginan. Tangannya mati rasa (kebas). Saya lepas sarung tangan dan memakaikan dobel ke Muhammad. Kami terus berjalan, hingga akhirnya sampai di titik tertinggi Jawa Barat pukul 05.30 WIB. Angin kencang dan kabut tebal merubung. Kawah Ciremai yang luas dan dalam tidak terlihat.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Berfoto di tugu triangulasi puncak Ciremai/Mochamad Rona Anggie

Alhamdulillah, tugu triangulasi puncak masih tampak dan jadi sasaran pendaki untuk dokumentasi. Angin bergemuruh. Bukan pilihan bijak membawa anak kecil untuk berlama-lama dengan kondisi demikian.

Setengah jam menanti cuaca terang, berharap kehangatan mentari pagi, tapi tak jua datang. Saya putuskan turun ketika kondisi masih fit, kaki kuat melangkah. Jangan menyepelekan ketersediaan tenaga ketika turun gunung. Keselamatan anggota tim adalah nomor satu.

Mendaki gunung bukan hanya soal bagaimana sampai di puncak, melainkan juga bisa turun dengan selamat. Kita tidak cari mati di gunung! Pendaki gunung adalah orang-orang yang menghargai hidup, dan berjuang sebaik-baiknya.

Setibanya di Pos 9 Goa Walet, cuaca belum berubah. Masih berkabut. Deras rombongan pendaki naik, bertanya, “Gimana di puncak?” Kami jawab, kabut tebal. Di Simpang Apuy, udara tidak terlalu dingin lagi. Pemandangan cerah, tetapi pancaran sinar matahari belum merata.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Pos 9 Goa Walet setelah dari puncak. Kondisi kami sehat/Mochamad Rona Anggie

Berjumpa Pendaki Wangi dan Tektok

Sambil melangkah turun, saya mengamati jumlah pendaki wanita imbang dengan lelaki. Tampilan muda-mudi itu stylish. Pendaki cewek tak lupa memoles wajah, memakai pemerah bibir dan parfum. Ini gunung atau mal, batin saya. Bawaan mereka juga lebih simpel. Tidak banyak yang membawa carrier “kulkas” (istilah ransel berukuran besar yang isinya menyimpan banyak logistik seperti kulkas). Hanya berbekal hydrobag—tas air minum minimalis—atau sekadar daypack

Tentu zaman sudah berubah. Saya ingat ketika mendaki tahun 2001 dulu, pendaki wanita dan lelaki sama kusamnya. Tak kenal dandan di gunung. Tak ada sepatu warna-warni model sekarang. Pilihannya sepatu lars tentara atau sepatu gunung yang menutupi mata kaki dan tulang kering. Pakai kupluk seadanya. 

Pas mendaki kemarin itu, kiranya hanya saya yang pakai bandana. Sepatu bergerigi Jack Wolfskin, carrier “kulkas” di punggung plus daypack di dada. Kelihatan berat, padahal ini standar perlengkapan pendakian.

Ketika sampai kembali di Pos 5 Tanjakan Asoy, jumlah pendaki tektok terlihat semakin banyak. Mereka menyandang tas sekolah. Terkaan saya hanya berbekal snack dan air mineral. Usianya masih remaja, setingkat pelajar SMP.  

Gila, pikir saya. Modal naik gunung begitu doang. Mirip rekreasi ke halaman belakang sekolah di serial Doraemon. Tak bawa tenda, jaket tebal, dan perlengkapan masak. Ada satu momen saya dapati pendaki yang tak beralas kaki alias nyeker.

Lho, ke mana sepatunya?” 

“Jebol, Pak.”

Saya merasa miris. Prihatin. Betul mereka izin di pos registrasi sekadar hiking. Atau tektok; mendaki sekali jalan, tanpa bermalam. Ada yang memang sudah biasa tektok mencapai puncak. Ada yang sekadar sampai Pos 3–Pos 5, lantas balik lagi. Tapi, ya, perlengkapan jangan disepelekan, dong. Gunung selevel Ciremai, tentu semua sepakat bukan untuk rekreasi santai ala kadarnya.

Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok
Tampilan pendaki zaman now, lebih simpel dan stylish. Tampak dari model sepatu “ringan” warna-warni/Mochamad Rona Anggie

Bahaya Mendaki Tektok Tanpa Persiapan

Kita ketahui, olahraga mendaki gunung penuh risiko. Perlu pengetahuan dan keterampilan khusus, bukan semata kaki bisa jalan menanjak, dan mendakilah seenaknya. Atau sesimpel itu mungkin, ya, generasi kekinian melihat olahraga mendaki gunung. Alhamdulillah, kalau tak ada masalah. Tapi, benarkah?

“Tiap akhir pekan kami ketat mengawasi, pendaki yang sampai Pos 6 lebih dari jam sembilan pagi, kami suruh turun kembali. Tak boleh terus ke puncak,” kata Asep (25), ranger yang berjaga di shelter darurat Pos 6 Pasanggrahan.

“Pendaki tektok yang belum expert, semacam remaja-remaja itu, membuat repot. Tantangan evakuasi makin besar,” ucapnya.

Penjelasan lebih dalam saya dapat dari pengelola basecamp Palutungan yang terbilang senior, Sandi Baron (52). Menurutnya, pendaki pemula coba mendaki tektok karena pengaruh media sosial.

“Belakangan ini viral pendakian tektok. Tambah lagi komunitas trail run (lari di gunung) bermunculan. Remaja-remaja itu penasaran, mau coba. Akhirnya booming. Bisa sampai seratus orang kalau akhir pekan,” tuturnya.

Sayangnya, lanjut Mang Baron, antusiasme yang tinggi tak dibarengi persiapan serta pengetahuan yang cukup. “Beberapa pendaki (tektok) kami evakuasi karena kelelahan dan kedinginan. Bekal makanan kurang, energi diforsir,” ujarnya.

Pihak basecamp akhirnya tegas: pendaki yang mau tektok, mesti start dini hari. Batas maksimal sampai puncak pukul 12.00 WIB. “Pendaki sudah biasa tektok berangkat jam dua atau tiga pagi. Sampai basecamp lagi magrib,” kata Baron. 

Dia menyebut pendaki remaja yang coba tektok banyak berasal dari Kuningan dan Cirebon. Mereka belum punya bekal komprehensif terkait ilmu pendakian gunung. Masih sebatas terbawa apa kata teman. “Tidak memikirkan risiko sama sekali, kan bahaya. Apalagi Ciremai, tak bisa didaki setengah hari sampai puncak. Kecuali memang atlet trail run profesional,” tuturnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Ciremai di Akhir Pekan, Banyak Pendaki Wangi dan Tektok appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-ciremai-di-akhir-pekan-banyak-pendaki-wangi-dan-tektok/feed/ 1 45454