pendakian gunung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pendakian-gunung/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:16:14 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pendakian gunung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pendakian-gunung/ 32 32 135956295 Pesan buat Para Pendaki Gunung https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/ https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/#respond Fri, 11 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46613 Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba. Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka...

The post Pesan buat Para Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba.

Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka enam jalur resminya untuk pendakian per 3 April 2024 lalu. Para pendaki bisa memilih jalur Senaru, Torean, Aikberik, Sembalun, Timbanuh, atau Tetebatu. Registrasi pendakian sepenuhnya daring lewat aplikasi eRinjani, yang sayangnya baru tersedia di Google Play Store. Satu hal yang menarik dari pembukaan jalur ke gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia ini adalah Go Rinjani Zero Waste 2025, sebuah komitmen bersama untuk mewujudkan alam Rinjani bebas sampah yang harus dipatuhi seluruh pihak, mulai dari pendaki, porter, pemandu, operator, maupun pihak pemangku kawasan itu sendiri.

Di Jawa Tengah, gunung sejuta umat, Merbabu, bahkan sudah buka secara bertahap untuk sebagian jalur sejak Februari lalu. Pendakian ke gunung yang bertetangga dengan Gunung Merapi tersebut buka sepenuhnya setelah libur lebaran kemarin. Reservasi kuota pendakian dilakukan secara daring di booking.tngunungmerbabu.org.

Lalu pemilik jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa, Gunung Argopuro, resmi membuka pintunya bagi calon pendaki sejak 8 April 2025. Jalur pendakian gunung yang masuk dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang itu dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim). Namun, untuk saat ini baru jalur Baderan, Situbondo saja yang dibuka, sehingga belum bisa lintas untuk turun ke Bermi, Probolinggo. Sama seperti Rinjani dan Merbabu, pengurusan izin pendakian dilakukan daring. Calon pendaki bisa mengunjungi tiket.bbksdajatim.org, yang juga tersedia untuk izin masuk kawasan konservasi lainnya, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Ijen, TWA Baung, dan TWA Tretes.

‘Berita baik’ tersebut tentu bersambut dengan euforia calon pendaki dari seluruh Indonesia. Namun, para pendaki mesti mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tidak hanya fisik, mental, dan logistik yang cukup, tetapi juga kesadaran moral dan lingkungan yang terkadang masih terabaikan.

Pesan buat Para Pendaki Gunung
Para pendaki antusias memotret pemandangan dengan ponsel di camp Puncak Pemancar saat sore hari. Tampak serpihan-serpihan sampah di rerumputan hasil buangan pendaki yang berkemah sebelumnya/Rifqy Faiza Rahman

Upayakan semangat minim sampah itu

Seperti sudah kronis, sampah adalah momok yang mencoreng wajah gunung dan menunjukkan sisi buruk dari manusia yang tidak bertanggung jawab. Dari sebelum era masifnya media sosial, berita sampah berserakan di gunung-gunung selalu jadi pergunjingan. Sejumlah gunung memiliki riwayat penumpukan sampah—terutama anorganik—seperti Gunung Gede dan Gunung Pangrango, Gunung Merbabu, Gunung Lawu, Gunung Semeru, hingga Gunung Rinjani. 

Pelakunya bisa siapa saja. Tidak hanya pendaki, tetapi juga operator trip pendakian, mencakup di dalamnya porter atau pemandu lokal yang disewa jasanya. Peraturan dan sanksi yang kurang tegas dari pengelola jalur, biasanya hanya tertulis di atas kertas sebagai imbauan, menyebabkan sampah-sampah hasil kegiatan pendakian banyak tertinggal secara sengaja di jalur atau area berkemah (camp area). 

Belakangan, seiring masifnya media sosial, muncul kesadaran kolektif yang muncul dari kesadaran pribadi atau desakan pencinta alam dan aktivis lingkungan untuk menjaga kebersihan gunung. Di antara segelintir pengelola jalur pendakian, Basecamp Skydoors yang berwenang mengelola pendakian Gunung Kembang via Blembem di Wonosobo patut dicontoh. Pengecekan berlapis dan penerapan denda maksimal terhadap potensi sampah yang dihasilkan pendaki berbanding lurus dengan sterilnya jalur dari sampah organik maupun anorganik.

Di tempat lain, pendakian Gunung Semeru, Gunung Merbabu via Selo, Boyolali dan baru-baru ini Gunung Rinjani telah memberlakukan peraturan yang ketat. Setiap detail barang bawaan dan logistik pendaki dicatat, khususnya yang berpotensi menjadi sampah. 

Akan tetapi, yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah pengelolaan sampah yang sudah dibawa turun gunung. Pemangku kawasan atau pengelola jalur pendakian harus memastikan distribusi sampah bisa terpilah dan terkawal sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA). Oleh karena itu, kesadaran pada usaha minim atau bahkan nol sampah (zero waste) perlu ditumbuhkan di masing-masing individu. Tak terkecuali jika mendaki di gunung-gunung yang belum memiliki peraturan ketat soal penanganan sampah. Sampah tidak hanya sekadar membuat kotor dan tak sedap dipandang mata, tetapi juga merusak ekosistem hutan.

Pesan buat Para Pendaki Gunung
Petugas Basecamp Skydoor mengecek satu per satu barang bawaaan pendaki Gunung Kembang via Blembem. Basecamp ini termasuk salah satu pelopor pendakian nol sampah di Indonesia/Rifqy Faiza Rahman

Hormati warga lokal dan keanekaragaman hayati

Umumnya jalur pendakian di Indonesia melalui kawasan perkampungan warga yang hidup di lereng gunung. Setiap daerah memiliki adat istiadatnya sendiri. Sebagai tamu, para pendaki semestinya menghormati tradisi maupun kebiasaan setempat yang berlaku. Beragam mitos mungkin berkembang di tengah masyarakat, tetapi pendaki cukup diam dan menghargai eksistensinya.

Kemudian di antara permukiman terakhir dengan pintu hutan sebagai titik awal pendakian, biasanya melalui kawasan perkebunan atau lahan pertanian warga. Jangan sampai kegiatan pendakian mengganggu aktivitas masyarakat yang sedang bertani atau berkebun. 

Begitu pula dengan ritus-ritus tertentu, jika ada, yang terkadang diekspresikan melalui pemberian sesaji di dalam hutan—di pohon-pohon, pinggiran sungai atau danau, dan beberapa tempat lainnya yang dianggap sakral oleh masyarakat.

Status tamu masih melekat pada pendaki ketika masuk kawasan hutan dan gunung yang didaki. Di dalamnya hidup keanekaragaman hayati, mencakup flora dan fauna endemik, serta entitas kehidupan lain yang menghidupi gunung itu sendiri. 

Seperti yang umum terlihat di beberapa gunung, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) biasanya mudah dijumpai di Merbabu, Rinjani, Butak, dan beberapa gunung lain. Dilarang keras memberi makan mereka karena akan mengubah sifat alami satwa liar dan bisa agresif mengganggu pendaki. Lalu bunga edelweiss yang tumbuh di atas 2.000-an mdpl, biarkan abadi tanpa harus dipetik untuk alasan apa pun.

Pendaki berpapasan dengan warga setempat yang membawa kayu bakar di jalur pendakian Gunung Sumbing via Banaran, Temanggung (kiri) serta tanaman edelweiss di Gunung Semeru/Rifqy Faiza Rahman

Bijaksana mengukur diri sendiri

Kunci utama dalam pendakian sejatinya hanya satu: tahu diri. Tahu batas diri. Seorang pendaki yang bijaksana seharusnya mampu memahami batas kekuatan fisik tubuhnya, ketahanan mental; serta sejauh mana mampu mengendalikan egonya selama pendakian, apalagi jika membawa banyak personel dengan latar belakang berbeda dalam satu tim.

Tampaknya terbilang cukup sering insiden terjadi menimpa pendaki. Mulai dari hipotermia, terjatuh di jalur pendakian, atau kehabisan bahan makanan dan minuman karena kurangnya persiapan. Tak sedikit pendaki yang menganggap remeh perjalanannya, sampai “kesialan” itu menimpanya.

Memang benar tidak ada satu pun manusia yang tahu apakah hari itu memberi nasib baik atau buruk. Namun, persiapan pendakian dan kedewasaan pikiran yang matang memudahkan langkah serta memitigasi kejadian-kejadian tak diinginkan.

Akan lebih bijak jika mengetahui batasan tubuh yang bisa dijangkau. Pulang ke rumah lebih awal jauh lebih selamat dan aman—serta tidak merepotkan sesama rekan pendakian—daripada memaksakan diri melaju lebih jauh tanpa perhitungan matang.

Selamat mendaki gunung!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pesan buat Para Pendaki Gunung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pesan-buat-para-pendaki-gunung/feed/ 0 46613
Teman Rinjani https://telusuri.id/teman-rinjani/ https://telusuri.id/teman-rinjani/#comments Sun, 24 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43671 Tentu senang bertemu sesama wong Cheribon (Cirebon) di Rinjani Guest House, Lombok. Penginapan para pendaki. Jaraknya sepuluh meter saja di sebelah Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Resor Sembalun. Sabtu (1/6/2024) menjelang sore para pendaki...

The post Teman Rinjani appeared first on TelusuRI.

]]>
Tentu senang bertemu sesama wong Cheribon (Cirebon) di Rinjani Guest House, Lombok. Penginapan para pendaki. Jaraknya sepuluh meter saja di sebelah Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Resor Sembalun.

Sabtu (1/6/2024) menjelang sore para pendaki mulai berdatangan. Sebuah ruangan besar di lantai dua penginapan jadi tempat kumpul. Kami akan bermalam di situ. Tempatnya bersih. Beralaskan karpet. Ada bantal-bantal. Bebas ngapling di mana.

Saya pilih dekat colokan listrik tunggal biar pengawasan lebih mudah. Kamar mandi ada dua. Air mengalir lancar dan serasa es—bikin menggigil. Namun, levelnya masih di bawah dinginnya Ranu Pani. Atau Cemoro Kandang, Lawu.

Bahkan waktu saya ke Rinjani via Senaru 27–29 April 2024, desa di kaki Gunung Rinjani ini tidak dingin. Tentu banyak faktor memengaruhi, baik ketinggian desa maupun memang belum masuk musim dingin. 

Saat dulu mendaki via Senaru, saya reservasi tiket mandiri (perorangan). Lain ketika lewat Sembalun kali ini, saya memanfaatkan jasa open trip (OT). Sebuah layanan pendakian bersama yang ditangani pihak swasta. Alasan utama memakai OT adalah soal tiket daring Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi (SIMAKSI) TNGR. Waktu kapan pun yang saya pilih, pihak OT bisa menyediakan tiket digitalnya. Tidak perlu berebut kuota di hari, tanggal, bulan tertentu. Sebab, memang waktu saya terbatas sekali.

Saya dapat tiket untuk tanggal pendakian 1–4 Juni 2024. Lega. Tambah lagi, dipastikan ada teman mendaki. Tidak kayak lewat Senaru sebelumnya yang benar-benar solo climbing! Carrier di punggung, daypack di dada, dan tangan kanan jinjing tenda.

Teman Rinjani
Kepadatan di depan kantor Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Resor Sembalun/Mochamad Rona Anggie

Bertemu Teman Baru dari Cirebon

OT Rinjani mempertemukan saya dengan banyak pendaki dari daerah lain, seperti Ambon, Makassar, Jakarta, dan Tangerang. Senang bukan main. Lebih bungah lagi, pas di satu momen, saya kenalan pendaki dari Cirebon. Rumahnya di Taman Cipto. Tidak jauh dari kediaman saya di Perumnas Rajawali.

Namanya Teguh Umbara. Waktu itu dia mau keluar ruangan. Cari makan malam. Saat saya ajak ngobrol, ternyata tahun kelahiran sama: 1985. Namun, dia lulus SMA lebih dulu tahun 2002, sedangkan saya setahun kemudian.

Dia alumnus SMAN 2 Cirebon. Anaknya empat, perempuan semua. Masih ikhtiar pengen punya anak cowok. Saya lulusan SMAN 3 Cirebon. Anak lima, tiga cowok dan dua cewek. Anak pertama-kedua kembar. Ketika saya tunjukkan video pendakian bareng tiga jagoan anak lanang, berjibaku di trek pasir berbatu jelang puncak Slamet via Permadi, Teguh terpana.

“Nanti kalau punya anak lelaki, bakal saya ‘siksa’ seperti itu,” ucapnya serius. Maksudnya, dia punya keinginan kuat akan melatihnya demikian, kalau punya seorang putra.

Saya sendiri, sebagai pendaki yang telah naik gunung sejak tahun 2001, punya cita-cita menularkan hobi ini ke generasi penerus. Maka ketika punya tiga anak laki-laki, saya mantap mengenalkan kegiatan alam terbuka (kemah dan mendaki) kepada mereka sejak dini. Anak kembar saya, Rean Carstensz Langie dan Evan Hrazeel Langie, perdana mendaki gunung saat kelas 6 SD (12 tahun). Adiknya, Muhammad, sampai puncak Ciremai kelas 1 SD (7 tahun). Saya berperan sebagai pelatih, pemandu, sekaligus porter.

Teguh sendiri mengaku kenal naik gunung belum lama. “Habis Covid aja,” katanya. 

Teman Rinjani
Teguh di Danau Segara Anak Gunung Rinjani/Teguh Umbara

Bertukar Cerita

Tadinya Teguh hobi naik sepeda. Senang rute menanjak, tetapi beberapa teman kurang suka. Akhirnya berpisah jalan. “Kebetulan saya juga sempat kena obesitas,” Teguh menyebut alasan lain tertarik mendaki. Ia mengidentifikasi diri sebagai “PSK” alias Pria Satus Kilo (pria seratus kilogram).

Dia lalu mencoba pendakian perdana pergi-pulang tanpa bermalam (tektok) di Gunung Ciremai via Linggarjati tahun 2022. Eh, langsung cocok. Sejak itu keranjingan. Hampir tiap pekan tektok Ciremai. Kemudian merambah gunung lainnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

“Tinggal Semeru belum,” ujarnya lirih. Menunjukkan penantian yang entah kapan terwujud. Memendam penasaran pada Ranu Kumbolo, merasakan Tanjakan Cinta, menapaki medan kerucut berpasir yang lebih halus dari trek “Letter E” Rinjani, lalu berdiri gagah di Mahameru (3.676 mdpl).

Saya beruntung sudah merasakannya 22 tahun lalu. Saat masih kelas 2 SMA. “Saya ke Semeru 2002,” cerocos saya memanas-manasi Teguh.

Saya mengenang momen ketika dataran puncak bergetar disertai suara gemuruh. Tiba-tiba kawah Jonggring Saloka meletupkan material vulkanik ke udara. Asapnya menggumpal, mengundang para pendaki mengabadikan momen khas tersebut. 

Letupan itu muncul tiap 15 menit sekali. Batas toleransi kita diperbolehkan ada di area puncak maksimal pukul 09.00 WIB. Selebihnya, arah angin berubah, berpotensi membawa material pasir berbatu yang panas dari perut bumi dan gas berbahaya ke arah pendaki.

Belakangan saya baru tahu ternyata Teguh belum menjajal Gunung Ciremai via jalur Sadarehe. Rute ke atap Jawa Barat yang pernah saya daki bersama anak lanang pada 6 November 2022 ini baru diresmikan pada 25 Agustus 2022 di Rajagaluh, Majalengka.

Tampaknya bensin pendakian Teguh segera menyambar kobaran api di dada dan betis. Dua pekan sepulang dari Rinjani, ia langsung bergegas ke Sadarehe. Mengirim kabar gembira berupa sunrise di puncak Ciremai via grup Rinjani 1–4 Juni 2024

Saya turut meramaikan. Saya mengirim foto merubung tiang papan penunjuk puncak Ciremai Sadarehe bersama tiga jagoan saya. Pendaki Tangerang, Uda Johny, berkomentar dengan gambar stiker, Gaaass pooll, jangan kasih kendor!

  • Teman Rinjani
  • Teman Rinjani

Pertemuan Lanjutan

Dua bulan sepulang dari Lombok, saya coba mengunjungi Teguh di kompleks perumahan elit Taman Cipto. Sengaja saya tidak janjian lagi. Dadakan, karena dua kali berencana sebelumnya justru meleset.

“Masa di Lombok ketemu, di Cirebon enggak,” batin saya.

Alhamdulillah, dia ada di rumah. Kami akhirnya bertemu kembali. Waktu itu belum lama momen Agustusan.

Saya pun memulai obrolan, “Sudah, Mas, ke Kerincinya?”

Ia menjawab pelan, “Sudah. Saya juga baru dari Latimojong. Tujuh belasan di sana.”   

Sontak saya kaget. Gila!

“Bareng Tiga D?”

“Yang Kerinci, iya. Yang Latimojong, udah daftar [malah] batal. Kuota pendaki enggak terpenuhi. Akhirnya pakai OT lain.”

Segera saya wawancara Teguh. Ingin dengar cerita serunya di Kerinci dan Latimojong. Suguhan kopi Toraja menambah hangat suasana. “Dari Makassar masih jauh (ke kaki Latimojong). Pulangnya lewat Toraja, lebih dekat ke Makassar,” paparnya.

Hanya saja pas di Kerinci, Teguh belum jodoh bisa melihat kawahnya. “Full kabut sejak mulai masuk Tugu Yudha.” 

Dia coba bersabar. Menunggu cuaca cerah. Namun, sampai satu setengah jam di titik tertinggi Pulau Sumatra, angin malah tambah kencang dan udara makin menggigit.

“Akhirnya turun,” ujarnya kecewa. “Eh, pas turun, dekat batas vegetasi, cuaca cerah sekali,” sesalnya. 

Pertengahan September lalu, Teguh juga berhasil menggapai atap Sumatra Selatan: Gunung Dempo (3.178 mdpl). Daftar tunggu tiap gunung yang akan ia daki, sejauh ini berjalan sesuai rencana.

Dari kiri ke kanan: foto-foto Teguh saat di tiga puncak gunung dalam waktu berdekatan, yaitu Kerinci Latimojong, dan Dempo/Dokumentasi Teguh Umbara

Sisi Positif Open Trip

Tak bisa dimungkiri, layanan OT memudahkan pendaki zaman sekarang. Yang penting fisik prima dan duit melimpah, bisa langsung ikut pilihan perjalanan OT. Tentunya memilih operator OT yang punya rekam jejak baik, memiliki pemandu berpengalaman dan bersertifikasi. Bukan OT yang cari untung semata, lantas mengabaikan keselamatan dan tanggung jawab pada klien.

Naik sama siapa, sudah tidak bingung lagi. Layanan OT mempertemukan pendaki dari mana saja. Lintas generasi. Seperti yang saya jajal saat ikut OT Rinjani, saya ketemu Teguh dan rombongan Tangerang: Pak Orick, Uda Johny, Mas Yoke, dan lain-lain.

Saya lebih senang menyebut peserta OT sebagai pendaki gunung trendi masa kini. Tanpa maksud merendahkan sama sekali. Bagaimanapun mereka sudah menjalani olahraga mendaki gunung; berkeringat, berlelah-lelah, kedinginan, hingga mencapai puncak idaman.

Mendaki gunung bukan lagi “milik” anggota organisasi pencinta alam. Teguh buktinya. Mulai mendaki 2022, dengan modal kantung tebal dan waktu luang sebagai bos perusahaan, koleksi gunungnya lebih lengkap dari saya yang mendaki 21 tahun lebih dulu.

Terima kasih, Rinjani. Kami tinggalkan jejak kaki di puncakmu. Menorehkan cerita persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Membentangkan kenangan sampai anak cucu. Salam lestari! 




Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Teman Rinjani appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/teman-rinjani/feed/ 1 43671
Meniti Langkah di Gunung Timau https://telusuri.id/meniti-langkah-di-gunung-timau/ https://telusuri.id/meniti-langkah-di-gunung-timau/#respond Mon, 26 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41234 Obrolan perlahan berganti sunyi yang kini lebih sering merambat di antara kami berempat.  Semangat menggebu, yang memberi energi selama perjalanan jauh dari Kota Kupang, kini kian meredup. Apa mau dikata, malam ini pendakian Gunung Timau...

The post Meniti Langkah di Gunung Timau appeared first on TelusuRI.

]]>
Obrolan perlahan berganti sunyi yang kini lebih sering merambat di antara kami berempat.  Semangat menggebu, yang memberi energi selama perjalanan jauh dari Kota Kupang, kini kian meredup. Apa mau dikata, malam ini pendakian Gunung Timau benar-benar berakhir tidak sesuai rencana.

Kekecewaan menyelinap seperti kabut malam menyelimuti puncak yang tidak jauh lagi. Sudah hampir dua jam lamanya, kami berempat—saya, Hersa, Bryan, dan Ari—terduduk di pos penjagaan Gunung Timau, Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Portal tertutup tanpa ada satu pun penjaga yang berada di sana. Hanya ada sedikit cahaya lampu cas yang menerangi ruangan pos. Sepintas ruangan ini tampak baru saja ditinggalkan, mungkin beberapa puluh menit sebelum ketibaan kami. Ke mana perginya para penjaga? Pikiran kami menebak kemungkinan demi kemungkinan.

Kami sama-sama tahu, beberapa rombongan sebelumnya tidak diizinkan mendaki musabab kendala perizinan di sini. Bagi kami, jika tidak diizinkan mendaki, paling tidak kami mendapat kepastian dari petugas yang berjaga.

Menit demi menit terus berlalu, harapan kami semakin tipis. Dua tas carrier besar berisi peralatan kemah dan logistik tergeletak begitu saja, sementara dua sepeda motor terparkir lepas di depan portal masuk Gunung Timau.

Malam menjadi semakin sunyi. Hanya desiran angin dan suara binatang malam yang mengisi keheningan. Jaringan internet pun menghilang sejak kami tiba, meninggalkan notifikasi layanan roaming dengan promo internet Timor Leste. Padahal kami masih berada di Amfoang Tengah.

Harapan kami untuk mendaki akhirnya sirna. Tidak jauh dari tempat duduk kami, Ari menemukan sebuah papan kecil bertuliskan: “MOHON MAAF!!! KAMI TIDAK MENERIMA TAMU YANG INGIN BERKEMPING/PIKNIK, FOTO2 DI LOKASI INI. HARAP MAKLUM. TRIMS.”

Tak ada diskusi lebih lanjut. Dengan hati berat kami meninggalkan tempat itu.

Bermalam di Lelogama

Lelogama menjadi keuntungan tersendiri bagi kami berempat. Keberadaan bukitnya, yang belakangan menjadi salah satu lokasi camping favorit, menjadi tempat kami bermalam. Kembali ke Kupang jelas bukanlah pilihan. Menempuh perjalanan jauh di malam hari, dengan rasa lelah selama perjalanan datang, membuat kami memilih berkemah di Bukit Lelogama.

Saya menyusul Ari memarkir kendaraan, dengan sedikit keraguan yang seketika menguasai saya. Melepas kendaraan terparkir di pinggir jalan yang sepi, jauh dari pemukiman dan tempat kami mendirikan tenda, bagi saya sangatlah riskan.

“Aman, Os. Parkir di sini sonde apa-apa,” kata Hersa meyakinkan saya. Itu tidak segera membuat saya tenang, meski setang motor pun telah dikunci. Semoga saja aman, pikir saya sembari mengikuti langkah mereka menapaki Bukit Lelogama. 

Tak menunggu lama, kami mulai mendirikan tenda dengan cahaya senter menjadi penerang. Beres makan malam, saya dan Ari berbincang di dekat perapian, sementara Hersa dan Bryan berada sedikit jauh dari kami. Keduanya tampak serius membahas rasi bintang dan beberapa hal lain, sambil memotret langit Lelogama dengan pemandangan langit bertabur bintang yang menakjubkan. 

Malam kami di Lelogama berjalan panjang. Obrolan beragam topik, dengan tawa yang bersahutan sama lain, mengisi waktu menjelang tidur malam.

“Besok pagi buka mata, pas-pas Timau pung puncak ada di depan sana,” ujar Hersa. Saya menimpali dengan kata-kata penguatan, meski kesempatan pendakian gunung pertama saya pun harus tertunda.

Meniti Langkah di Gunung Timau
Bryan bersama Andre (kiri), anak lokal di Lelogama/Oswald Kosfraedi

Tengah malam, Lelogama kian sunyi. Menit-menit berikutnya, satu per satu dari kami akhirnya terlelap.

Keesokan paginya, saya terbangun lebih awal. Ringkik kuda yang melintas tak jauh dari tenda membuat saya seketika tersadar. Beres menenggak air mineral, saya beranjak keluar tenda. Menikmati udara pagi yang terasa begitu segar.

Pandangan saya beralih. Gunung Timau kini tampak di kejauhan, tepat seperti yang Hersa katakan semalam. Belasan menit kemudian, Ari akhirnya bangun. Diikuti Bryan yang mungkin tersadar setelah saya menggoyang-goyangkan tenda pagi itu. Hanya Hersa yang kembali tidur meski sempat tersadar sebentar. “Ada stres gagal muncak tuh,” ujar Bryan mencandai Hersa yang kembali terlelap.

Matahari yang kian meninggi membuat panas mulai terasa. Saya, Ari, dan Bryan sempat mengitari Lelogama yang tampak kering di tengah kemarau panjang. Beberapa jam kemudian, anak-anak setempat—Ofni, Andi, dan Andre—kemudian bergabung bersama kami. 

Sembari mengemas barang, kami menanyai mereka banyak hal selalu dijawab ala kadarnya. Belum lagi Ofni, yang lebih sering menanggapi kami dengan bahasa Dawan yang tentu tidak kami pahami. Sesekali tawa kami pecah mendengar jawaban kocak mereka, juga pertanyaan nyeleneh yang dilemparkan Bryan.

Tepat sebelum beranjak, Ofni menyarankan kami untuk mengunjungi Bukit Salib. “Di sana bagus kalau foto,” katanya bersemangat.

Kami berempat pun sepakat. Tak lupa berpamitan dengan mereka bertiga, kami lantas melaju kembali menyusuri jalur jalan ke arah Gunung Timau, sebab bukit Salib berada tepat sebelum kawasan hutan di kaki Gunung Timau.

Kembali Mencoba Keberuntungan di Gunung Timau

Beberapa ratus meter sebelum tiba di bukit Salib, ide berani kembali terbersit: mencoba keberuntungan di Gunung Timau. Bila menimbang waktu, rasanya ini akan sangat melelahkan bila kami harus melakukan pendakian tengah hari seperti ini. Belum lagi semalam kami hanya tertidur beberapa jam. Namun, itu sama sekali tak menjadi halangan, yang terpenting adalah kami bisa bertemu penjaga pos dan selanjutnya semoga saja diperkenankan mendaki.

Sepeda motor kami kembali melaju hingga tiba di pos penjagaan. Seorang petugas menghampiri kami. Hersa dan Bryan berbincang sebentar dengan petugas, sementara saya dan Ari sibuk membersihkan sepatbor motor yang dipenuhi tanah. 

Siang hari itu, keberuntungan berpihak pada kami. Petugas mengizinkan kami mendaki.

Penjagaan di Gunung Timau memang terbilang cukup ketat. Ini tentu bisa dimengerti, sebab tak jauh dari pos penjagaan berdiri Observatorium Nasional Timau, yang merupakan salah satu pusat pengamatan antariksa nasional. Siang hari itu kami melintasi observatorium tersebut, yang desainnya berbentuk bangunan bulat hijau dan beratap seperti kubah berwarna perak.

Bangunan kokoh di tengah kawasan hutan asri menjadikannya tampak begitu unik. Menurut beberapa sumber, pemilihan lokasi pengamatan antariksa ini tidak terlepas dari keberadaan lokasi tersebut, yang memiliki waktu langit paling cerah terbanyak dalam setahun dibanding tempat lain.

Tak jauh dari lokasi observatorium, tepat di batas aspal, kami memarkir kendaraan sesuai arahan petugas penjaga. Berdasarkan informasi Hersa dan Ari, yang sebelumnya pernah mendaki di sini, kami terlebih dahulu harus berjalan menuju titik start pendakian yang berada di dekat bumi perkemahan.

Meniti Langkah di Gunung Timau
Hersa meniti jalur pendakian ke puncak/Oswald Kosfraedi

Jauh sebelum pendakian ini benar-benar terlaksana, Hersa membohongi saya dengan mengatakan bahwa pendakian memakan waktu setengah hari. Ari sempat mengiyakan penjelasan Hersa, meski dengan sedikit ragu-ragu. Baru semalam mereka menjelaskan durasi pendakian Timau yang sebenarnya hanya memakan waktu satu sampai dua jam. Timau memang tidak terlalu tinggi, tetapi karena saya ikut mendaki, menurut mereka waktu tempuh bisa jadi lebih lama.

Langkah kami mulai menapaki jalan tanah dan berbatu. Beberapa ratus meter berikutnya, kami melintasi sebuah pasar tradisional yang terletak di tengah hutan Gunung Timau. Sebagai pendakian pertama, dengan persiapan minim dan kondisi fisik yang sebenarnya belum siap untuk melakukan pendakian, saya lebih banyak berhenti dan memaksa mereka bertiga untuk menyesuaikan. 

Jalan yang kami lintasi cukup lebar, dengan sedikit aspal yang masih tampak di beberapa titik. Sependek yang saya tahu, menurut penuturan beberapa orang, jalur tersebut adalah jalan menuju desa-desa di Kecamatan Amfoang Utara. Meski kondisinya sudah rusak parah, siang hari itu kami berpapasan dengan beberapa warga lokal yang mengendarai sepeda motor.

Tertatih Menuju Puncak

Tiba di titik start pendakian, kami berhenti sekitar belasan menit sebelum memulai pendakian. Setelahnya kami mulai berjalan melintasi jalur yang didominasi batuan, dengan beberapa titik yang cukup curam. Jalur pendakian Gunung Timau sebenarnya tidak terlalu panjang, tetapi cukup menantang dengan kontur tanah berbatu yang membuat kami harus sedikit memanjat.

Sudah tentu kondisi jalur seperti itu membuat saya menjadi lebih sering berhenti. Bahkan beberapa kali saya sempat meminta untuk tinggal dan menunggu mereka bertiga kembali dari puncak. Tentu saja ketiganya menolak, walau di saat bersamaan juga sama sekali tidak memaksa. Ketiganya dengan sabar menunggu setiap kali saya berhenti lama. 

Seiring langkah kami, udara segar di ketinggian dan pemandangan alam sekitar perlahan mulai memberikan energi positif. Pada setiap istirahat, kami saling berbagi cerita dan tawa, menciptakan suasana penuh keakraban sekaligus memori untuk dikenang. Meski awalnya ragu, saya kian yakin bahwa puncak adalah tujuan yang seiring waktu akan memberikan kepuasan tak tertandingi.

Kabut perlahan melingkupi saat puncak sudah tampak di depan mata. Namun, pendakian belum berakhir. Dengan segala energi yang tersisa, kami kembali melangkah menyusuri trek menanjak dengan batu-batu kecil berserakan. 

Di puncak, gerimis menyambut kami bersamaan dengan kabut yang kian tebal. Senyum puas terpancar dari wajah kami berempat, meski pemandangan dari puncak Timau sepenuhnya tertutup kabut. Hersa, yang sejak semalam begitu kecewa karena gagal mendaki, kini tersenyum sumringah. Bryan pun sama, kerinduannya untuk kembali mendaki setelah rehat beberapa tahun terbayar di Timau. Ari masih tetap dengan lelucon-lelucon atau plesetan katanya yang ia bawa hingga ke puncak.  

Tawa menghias kebersamaan kami selama beberapa puluh menit berada di puncak. Tawa yang mengisyaratkan kebahagiaan atas keberhasilan menginjakkan kaki di titik tertinggi. Untuk kebersamaan yang hangat, serta  akhir yang manis dari sebuah kebulatan tekad dan keberanian untuk mencoba. Ada pengalaman baik, cerita kebersamaan, juga kenangan berharga yang kini kami bawa pulang dari Timau. 

Langkah kami turun kini terasa lebih santai. Tak peduli seberapa lelah, kami hanya bersiap untuk kembali ke Kupang. Sepeda motor melaju, melibas jalanan seiring gelap yang menjelang.

“Mulut asam e,” Bryan tiba-tiba bergumam. Saya baru menyadari stok rokok yang sudah habis di puncak. Itu pun batang terakhir yang terpaksa harus digilir berempat. Saya memacu kendaraan lebih cepat. Takari masih jauh dari sini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Meniti Langkah di Gunung Timau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meniti-langkah-di-gunung-timau/feed/ 0 41234
Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-di-akhir-pekan/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-di-akhir-pekan/#comments Mon, 19 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41184 Awan hitam mengerumuni langit Bantul, Yogyakarta. Rintik-rintik hujan pun perlahan mulai turun. Saya mulai sedikit ragu untuk pergi meninggalkan kamar kos yang pengap oleh keringat ini. Hamparan kasur tampak lebih menggoda dari sebelum-sebelumnya. Belum lagi,...

The post Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan appeared first on TelusuRI.

]]>
Awan hitam mengerumuni langit Bantul, Yogyakarta. Rintik-rintik hujan pun perlahan mulai turun. Saya mulai sedikit ragu untuk pergi meninggalkan kamar kos yang pengap oleh keringat ini. Hamparan kasur tampak lebih menggoda dari sebelum-sebelumnya. Belum lagi, setelah Andi kutanya, apakah di Magelang hujan? Ia menjawab, sudah reda. Godaan kasur saya tepis, keputusan saya bulat. Tidak ada alasan untuk tidak berangkat menuju Magelang dan meluncur ke jalur pendakian Gunung Ungaran Via Mawar. 

Pukul tiga sore saya berangkat menuju Magelang, diguyur rintik-rintik hujan yang mungkin saja perlahan akan membesar. Namun lambat laun, semakin jauh dari Bantul, memasuki area Moyudan, Sleman, jalanan basah. Hujan telah pergi, semoga tak kembali lagi, gumamku sambil mengendalikan setang motor.

Pendakian kali ini masih akan sama seperti pendakian sebelumnya, pikirku. Hanya dengan 200 meter perjalanan menanjak, Andi akan mulai merasakan denyut otot kaki yang tegang karena terlampau jarang didesak aktif, dan rongga napas yang kembang kempis sebab hanya digunakan untuk sekadar bernapas. Kekhawatiran itu ditambah lagi dengan suasana dini hari yang mencekam. Pohon yang rimbun menimbulkan hawa sejuk dan menjadi sumber oksigen yang menenangkan. Akan tetapi, hal itu hanya di siang hari. Di malam hari suasananya tentu berbeda, pohon adalah lawan yang harus ditaklukkan.

Dari Magelang ke Basecamp Mawar 

Pukul empat sore lewat saya sampai di kontrakan Andi. Seperti dugaan saya, Andi belum siap untuk langsung bergegas. Alhasil kami berangkat pukul 17.00. Dari Magelang menuju basecamp butuh waktu satu jam lebih. Saya prediksi, kami akan sampai pukul 18.30.

Namun, itu sudah meleset sebelum berlangsung karena Andi belum juga tuntas. Ia memang sangat doyan menilap waktu. Coba bayangkan, bisa-bisa ia masih harus mampir di swalayan untuk membeli beberapa keperluan pribadinya dan saya harus menunggunya cukup lama. Sepuluh hingga 20 menit berlalu, belum kelihatan batang hidungnya. Kurang lebih 30 menit kemudian baru ia muncul dengan satu kantung plastik besar penuh belanjaan.

“Kenapa nggak nanti saja? Saat pulang ‘kan bisa,” gerutu saya dengan nada sedikit humor agar ia tidak tersinggung. Namun, tanpa harus begitu pun saya yakin ia tak akan tersinggung.

“Santai,” jawabnya betul-betul santai dan tak peduli saya sudah satu jam lebih mengendarai motor dari Jogja.

Kiranya pukul 19.30 kami baru sampai di basecamp, dengan badan yang mulai kelelahan dan perut mulai keroncongan. Tanpa berlama-lama Andi memarkirkan motor dan kami menuju warung, lalu memesan seporsi nasi telur untuk menuntaskan rasa lapar yang mulai kelojotan.

Pukul 10 malam kami masuk ke basecamp dan meletakkan tas yang sekaligus menandai tempat yang akan kami jadikan ruang untuk tidur. Kami duduk sebentar menghabis sebatang rokok dan setelah itu bergegas tidur. Rencananya pukul tiga pagi kami akan memulai berjalan menerobos gelap dan hawa dingin yang cukup mencekam. Sambil merokok kami mengobrol banyak hal soal politik. Betapa menggodanya isu ini di tengah masa kampanye pilpres lalu.

Di tengah obrolan yang tak ada ujung itu, rombongan pendaki lain datang. Mereka masuk ke basecamp lalu meminang tempat untuk merebahkan badan. Rombongan itu telah melihat tas kami tergeletak. Saya rasa mereka sangat tahu, jika ada tas tergeletak artinya tempat itu sudah jadi “milik” orang lain. Mereka pun bertanya kepada saya dan Andi, ini tas siapa. Andi menjawab, itu tas kami. Lalu rombongan itu meminta izin untuk menguasai area sekitarnya. Setelah itu aku tak bisa luput memandangi tas.

Pengalaman saya, tidak ada pendaki yang akan mencuri barang pendaki lain. Dan betul saja, tas kami tetap aman di posisinya. Namun, malam itu kami telah “kemalingan”. Tempat tidur yang telah kami sekat dengan tas itu telah dikuasai rombongan yang sangat sopan meminta izin, tetapi keterlaluan karena tidak menyisakan tempat untuk kami istirahat.

Rasanya saya ingin sekali marah kepada rombongan itu. Bisa-bisanya mereka yang datang belakangan lalu menyerobot tempat yang sudah kami pinang. 

Nggak apa-apa, nanti kita tidur di musala,” jawab Andi sambil melihat ke arah ruang berukuran 3×3 meter di pojok basecamp

“Tapi itu sudah keterlaluan,” jawabku setengah emosi. Kami pun lanjut ngobrol. Sekitar pukul 00.00, saya mengambil tas lalu menuju musala dengan perasaan yang sama.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Jalur di tengah perkebunan kopi yang harus dilewati menuju puncak Gunung Ungaran/Janika Irawan

Sempat Salah Jalur

Malam itu saya tidur cukup lelap. Pukul tiga pagi kami memulai pendakian. Namun, rencana tampaknya hanya sekadar wacana belaka. Kami telat satu jam. Prediksi berdasarkan peta, butuh waktu 2,5 sampai 3 jam untuk sampai ke puncak. Itu artinya kami tidak akan mendapatkan panorama matahari terbit (sunrise) yang kontras di puncak Banteng Raider, titik tertinggi Gunung Ungaran Via Mawar. 

Berjalan di malam hari tidak semudah berjalan saat siang. Suasana gelap ditambah suhu udara yang makin menggigilkan badan. Meskipun jalur Gunung Ungaran Via Mawar ini sangat jelas, tetapi keliru memilih jalur bisa jadi tak terhindarkan. Belum lagi kami pendaki yang masih sangat-sangat amatiran. Berbekal senter HP kami menembus hutan. 

Menjelang Pos II, gemercik suara air terdengar jelas. Sebuah sungai yang menyejukkan. Begitu memukau daya gedornya. Kami pun terus berjalan menuju sungai. Lagi-lagi, dengan jangkauan senter handphone yang tak melebihi jangkauan dua meter itu adalah petaka. Kami melewati begitu saja petunjuk jalan yang mengisyaratkan untuk berbelok. 

Kira-kira setengah jam kami terjebak di area sungai. Beberapa kali kami mengikuti jalan yang tampaknya betul-betul jalur pendakian dan hasilnya buntu. Tidak ada jalan. Setelah beberapa lama, kami putuskan untuk sedikit turun. Tak jauh dari situ kami menemukan jalur kembali. Kami pun lanjut berjalan menuju Pos II.

Di pos tersebut kami tidak mampir. Kami langsung lanjut mengambil jalur kanan. Karena jalurnya sangat jelas kami pun tidak merasa mengambil jalur yang salah. Setelah itu, kami melewati sebuah permukiman di tengah kebun kopi. Ada beberapa rumah di sana. Setelah kami perhatikan tidak ada satu rumah pun yang menandakan ada penghuninya. Permukiman itu terlihat sedikit menyeramkan walaupun kami sampai di sana saat matahari perlahan mengusir gelap.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Andi berjalan melewati permukiman tak berpenghuni. Kami tidak sadar telah mengambil jalur lama/Janika Irawan

“Mungkin sudah tidak lagi ditinggali,” kata Andi kepada saya. 

“Sepertinya begitu,” jawab saya.

Saya membuka selebaran peta yang diberikan oleh pihak pengelola wisata saat kami membayar retribusi. Setelah perkampungan itu ada percabangan jalur. Berdasarkan peta, kami harus berbelok ke kiri. 

Kami melewati jalan bebatuan yang tersusun rapi dan lebar. Jalan yang tampaknya diperuntukkan agar bisa dilalui kendaraan roda empat untuk mengangkut hasil panen kopi. Namun, di jalur itu kami mulai curiga, apakah kami telah memilih jalur yang salah?

Sekitar pukul enam pagi kami sampai di Pos IV tanpa menemukan Pos III. Ini cukup aneh. Di peta sangat jelas, ada lima pos persinggahan untuk pendaki. Akan tetapi, karena jalur yang kami lewati sangat jelas, kami terus berprasangka baik bahwa kami telah menyusuri jalur yang benar.

Sebelum sampai di Tanggul Angin, kami melihat pendaki lain yang kami temui di basecamp semalam. Saya rasa rombongan pendaki itu ada di belakang kami, tetapi mereka malah sudah di berada di depan tanpa berpapasan dengan kami. 

Sekitar pukul 06.20 kami sampai di Puncak Tanggul Angin, di ketinggian 1.876 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dan betul saja, setelah kami tanya rombongan itu, saya dan Andi memang memilih trek yang keliru meskipun tetap tembus puncak yang sama. Kami telah melalui jalur lain yang lebih jauh. Mungkin itu jalur lama.

  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
  • Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan

Menuju Puncak Tertinggi

Di Puncak Tanggul Angin, kami beristirahat sebentar. Andi tampak malu-malu membuka kameranya untuk foto selfie demi kepentingan update status di media sosial.

Beberapa saat kemudian, kira-kira berjalan 200 meter kami sampai di Puncak Batu (1.908 mdpl). Di puncak ini kami tidak beristirahat dan melanjutkan perjalanan. Tak lama lagi kami akan sampai di Banteng Raider, puncak tertinggi Gunung Ungaran Via Mawar dengan ketinggian 2.050 mdpl.

Kami sampai di puncak sekitar pukul delapan pagi. Meskipun perjalanan ke gunung ini tak begitu melelahkan, tetapi karena kami memilih jalur yang sedikit melebar dan lebih jauh dari trek pendakian, sambil tertawa halus kami mengerti telah memilih jalan yang keliru.

Kiranya satu jam saya dan Andi—begitu pun dua pendaki lainnya—menghabiskan waktu di puncak. Cuaca lamat-lamat berkabut, tetapi toh, cuaca cerah hanya bonus. Tujuan kami hanya refreshing akhir pekan di tengah kesibukan bekerja dan itu sudah terlaksana.

Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan
Andi (kanan) dan pendaki lain duduk menikmati suasana di Puncak Banteng Raider/Janika Irawan

Pukul 09.30 kami bergegas turun. Karena tak menyiapkan satu pun perbekalan, kami ingin segera sampai ke basecamp, tak kuasa membuat perut makin menderita.

Di perjalanan pulang kami tidak lagi melewati jalur seperti saat berangkat. Di bawah Puncak Tanggul Angin kami memilih ke kanan, meniti jalur yang disarankan. Kami menemukan Pos V, Pos IV, dan Pos III—yang tidak kami temukan sebelumnya.

Tiba-tiba, kesialan tak pernah hilang: hujan turun. Dan di tengah gempuran hujan kami hanya punya satu tujuan, menuntaskan rasa lapar.

Namun, yang sedikit menggembirakan dari pendakian ini adalah Andi mulai terlihat sebagai pendaki yang lumayan tangguh. Tidak seperti pendakian sebelumnya di gunung yang sama, tetapi via Perantunan. Tak lebih dari dua ratus meter dia sesak napas dan harus beristirahat cukup lama. Kondisi yang sangat membuatku risau saat itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Ungaran di Akhir Pekan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-ungaran-di-akhir-pekan/feed/ 1 41184
Anak Gunung Sejati Pasti Tidak Akan Nyampah https://telusuri.id/anak-gunung-sejati-pasti-tidak-akan-nyampah/ https://telusuri.id/anak-gunung-sejati-pasti-tidak-akan-nyampah/#respond Mon, 06 Nov 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40003 Menikmati panorama gunung tak perlu selalu harus dari jarak dekat dengan berpayah-payah mendakinya. Apalagi kalau kita belum bisa sepenuhnya mengendalikan diri dalam hal membuang sampah. Buat apalah kita mengaku sebagai pendaki gunung, pencinta alam, atau...

The post Anak Gunung Sejati Pasti Tidak Akan Nyampah appeared first on TelusuRI.

]]>
Menikmati panorama gunung tak perlu selalu harus dari jarak dekat dengan berpayah-payah mendakinya. Apalagi kalau kita belum bisa sepenuhnya mengendalikan diri dalam hal membuang sampah. Buat apalah kita mengaku sebagai pendaki gunung, pencinta alam, atau penikmat alam bebas kalau ternyata masih doyan meninggalkan jejak-jejak sampah di gunung.

Sejujurnya saja, sungguh beruntung kita hidup di ibu pertiwi. Tanah air kita tercinta ini memiliki kekayaan dan panorama alam yang melimpah. Termasuk gunung-gunung tinggi yang selalu menggoda untuk kita dekati dan daki.

Data statistik menyebut sekitar 13 persen gunung api di dunia berada di Indonesia. Sebanyak 129 gunung api berstatus aktif dan 500 lainnya berstatus tidak aktif. Keberadaan gunung berapi di Indonesia menyebar hampir merata di semua pulau, kecuali Kalimantan.

Keberadaan ratusan gunung di Indonesia ini tentu saja menarik banyak pendaki. Entah itu pendaki lokal maupun pendaki mancanegara. Ada yang mendaki secara mandiri, baik perseorangan maupun secara berkelompok. Ada juga yang mendaki dengan menggunakan jasa agen pendakian.

Anak Gunung Sejati Pasti Tidak Akan Nyampah
Sampah-sampah plastik seperti ini tidak hanya ditemukan di dekat jalan atau permukiman, tetapi juga di hutan dan gunung/Djoko Subinarto

Gunung di Indonesia Darurat Sampah

Terdapat beragam alasan kenapa orang rela pergi jauh-jauh dari rumah, bersusah payah, cuma untuk mendaki gunung. Salah satu alasannya adalah katanya mencintai alam. Alasan lainnya karena menyukai tantangan. Ya, mendaki gunung memang menantang. Dari awal hingga akhir penuh tantangan. Dan ketika kita berhasil menaklukkan tantangan-tantangan yang ada, pastilah ada kepuasaan tersendiri. Kita tak akan bisa mengukur nilainya dengan uang.

Secara personal, ada beragam pula manfaat mendaki gunung. Mulai dari manfaat kesehatan hingga manfaat sosial. Namun, bagaimana dengan manfaat lingkungan? Apakah aktivitas pendakian juga memberikan manfaat bagi lingkungan?

Faktanya, hampir semua gunung di Indonesia mengalami darurat sampah. Kata siapa? Ini kata para pegiat sampah yang biasa melakukan operasi pungut sampah di gunung-gunung di Indonesia. Dan sampah yang menumpuk di gunung-gunung di negara kita jumlahnya bukan cuma puluhan kilogram, tetapi sudah mencapai ton.

Sekadar ilustrasi, tahun 2022 lalu kelompok relawan berhasil menurunkan sebanyak 1,5 ton sampah dari Gunung Gede dan Gunung Pangrango, yang sering juga disingkat menjadi Gepang. Sebagian besar sampah berupa bungkus mi instan dan botol air mineral kemasan.

Gede-Pangrango merupakan salah satu gunung tertinggi di Pulau Jawa. Gunung Gede memiliki ketinggian sekitar 2.958 meter di atas permukaan laut (mdpl). Adapun ketinggian Pangrango sekitar 3.019 meter di atas permukaan laut.

Dari kejauhan, Gunung Gede-Pangrango senantiasa terlihat indah, gagah, dan anggun. Tak sedikit orang ingin mendakinya. Di gunung ini, ada sebuah lembah bernama Mandalawangi, yang berhias hamparan edelweis. Menggoda siapa pun untuk mengabadikannya—atau bahkan diam-diam berupaya memetiknya. Pasti ada semacam kebanggaan tatkala kita bisa berfoto di Mandalawangi.

Saban tahun, ribuan orang menyambangi Gede-Pangrango. Sayangnya, jumlah pengunjung yang mencapai ribuan ini membawa pula masalah tersendiri, yakni melimpahnya sampah. Artinya, makin banyak pengunjung datang ke Gede-Pangrango, makin banyak sampah yang terbuang dan mengotori gunung tersebut.

Sampah di Gunung Rinjani

Di luar Jawa, Gunung Rinjani menghadapi problem serupa. Bahkan, jumlah sampah yang mengotori gunung setinggi 3.726 mdpl itu jauh lebih besar daripada Gunung Gede-Pangrango.

Pada semester I tahun 2022, sampah yang berhasil diturunkan dari gunung berapi kedua tertinggi di Indonesia itu sebanyak 5,4 ton. Dari catatan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR), jumlah sampah tertinggi dihasilkan pada bulan Juli 2022, yakni sebanyak 1.519,50 kilogram.

Kenyataan yang melanda destinasi pariwisata andalan Pulau Lombok tersebut sangat menyedihkan. Betapa tidak, berusaha mengakrabi dan mencintai alam, tetapi mengapa masih membuang sampah sembarangan. Buat apa menyebut diri sebagai pendaki gunung, pecinta alam, maupun penikmat alam bebas, sembari memajang foto-foto diri kita yang sedang berpose gagah di puncak gunung, manakala tangan kita masih enteng membuang sampah di sepanjang jalur pendakian.

Sayang rasanya jika kemolekan kawah, Danau Segara Anak, jurang-jurang curam hingga air terjun di kawasan Gunung Rinjani tercemar sampah. Kalau mendaki gunung cuma untuk mengotorinya, lebih baik tidak usah naik gunung. Tak perlu mendekat. Tak perlu repot-repot mendaki. Cukup menikmati eloknya gunung-gunung yang ada dari jarak kejauhan.

Agaknya akan jauh lebih baik membiarkan gunung-gunung itu berbalut sepi, tanpa kehadiran hiruk pikuk manusia. Biarlah setiap sudut-sudutnya menjadi misteri, tanpa perlu orang-orang antre berbondong mendatanginya, jika akhirnya mereka cuma bisa meninggalkan jejak-jejak sampah.

Referensi:

EGSA UGM. (2023). Jajaran Gunung di Indonesia, Apa Dampaknya?. Diakses dari https://egsa.geo.ugm.ac.id/2023/04/25/jajaran-gunung-di-indonesia-apa-dampaknya/.
Fikri, Ahmad. (2022). Relawan Turunkan 1,5 Ton Sampah dari Gede-Pangrango. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/2680177/seratusan-relawan-turunkan-15-ton-sampah-dari-gunung-gede-pangrango.
Radar Lombok. (2022). Sampah Gunung Rinjani Tembus 5 Ton. Diakses dari https://radarlombok.co.id/sampah-gunung-rinjani-tembus-5-ton.html.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Anak Gunung Sejati Pasti Tidak Akan Nyampah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/anak-gunung-sejati-pasti-tidak-akan-nyampah/feed/ 0 40003
Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo https://telusuri.id/mendaki-gunung-bismo-via-sikunang-wonosobo/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-bismo-via-sikunang-wonosobo/#respond Mon, 30 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39976 “Effort minimal, view maksimal” adalah slogan yang cocok untuk menggambarkan pendakian ke Gunung Bismo. Gunung yang masih berada dalam kawasan Dieng, Kabupaten Wonosobo ini menawarkan pesona alam yang ajaib. Apalagi bagi para pendaki pemula maupun...

The post Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo appeared first on TelusuRI.

]]>
Effort minimal, view maksimal” adalah slogan yang cocok untuk menggambarkan pendakian ke Gunung Bismo. Gunung yang masih berada dalam kawasan Dieng, Kabupaten Wonosobo ini menawarkan pesona alam yang ajaib. Apalagi bagi para pendaki pemula maupun pendaki yang tidak ingin menghabiskan waktu berhari-hari untuk mencapai puncak. Hanya sekitar dua jam perjalanan, pendaki sudah dapat merasakan keindahan tujuh gunung dalam sekali waktu dari ketinggian sekitar 2.365 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Gunung Bismo mungkin kurang populer daripada Gunung Prau yang lokasinya tidak terlalu berjauhan. Padahal Gunung Bismo juga menawarkan bentang alam yang menakjubkan.

Suatu siang, saya bersama dua teman mengawali perjalanan dari Yogyakarta menuju Dieng untuk melihat secara langsung keindahan Gunung Bismo. Kami memutuskan mendaki Gunung Bismo via Sikunang, Kecamatan Kejajar. Tidak ada pertimbangan khusus, hanya karena basecamp itulah yang pertama kali kami temukan.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Basecamp Gunung Bismo via Sikunang/Laillia Riani

Setibanya di basecamp, kami beristirahat sebentar dan menata kembali barang bawaan yang akan kami bawa naik ke puncak. Menata barang bawaan dengan baik akan mempermudah perjalanan sekaligus mengurangi beban pada tas carrier. Untuk berjaga-jaga, kami memutuskan untuk packing basah, yaitu mengemas semua barang dalam kantong tahan air. Sebuah cara terbaik mengingat cuaca yang tidak bisa kami prediksi. 

Saat itu kondisi basecamp cukup ramai. Terdapat beberapa rombongan yang juga hendak mendaki di hari itu. Rasanya masuk akal karena waktu akhir pekan di musim kemarau adalah waktu yang tepat untuk mendaki gunung dan melepas penat.

Memulai Langkah Pertama

Usai menata barang bawaan, kami memulai pendakian tepat pukul 17.30 WIB. Perjalanan dari basecamp menuju Pos 1 melewati perkampungan dan persawahan milik warga. Jalur cukup mudah dengan tanjakan yang masih minim. Kami hanya memerlukan waktu sekitar 15—20 menit untuk sampai di pos pertama.

Ketika kami tiba di Pos 1, langit Dieng perlahan meredup. Cahaya jingga mulai menguasai dan suara azan Magrib berkumandang. Silih berganti dari masjid satu ke masjid yang lain. Kami duduk sebentar menunggu azan selesai. Tak lama, perjalanan kami lanjutkan dan mulai dari sinilah Gunung Bismo menampakkan keistimewaannya.

Jalur pendakian dari Pos 1 menuju Pos 2 mulai bergelombang. Walaupun demikian masih tergolong aman karena penduduk setempat sering menggunakan jalur tersebut ketika hendak berladang. Terdapat dua jalur yang bisa pendaki pilih, yaitu jalur landai atau curam.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Papan informasi Pos 2 Gunung Bismo via Sikunang/Laillia Riani

Karena menganggap bahwa trek curam lebih cepat, kami memilih jalur tersebut. Namun, kami kemudian menyesali keputusan ini. Setelah bertemu penjaga warung di Pos 3, beliau bilang jika jalur landai justru lebih cepat dan medannya lebih mudah.

Langit benar-benar gelap seutuhnya ketika kami mencapai Pos 3. Saat itulah kerlip lampu-lampu di Dieng mulai terlihat dari ketinggian. Sepanjang perjalanan, alam menyuguhkan kami pemandangan yang mengagumkan. Rasanya seperti berjalan di tempat-tempat wisata, seperti paralayang atau Bukit Bintang. Pemandangan tersebut membuat perjalanan kami tidak begitu terasa melelahkan. Apalagi udara sejuk yang menyelimuti Dieng, membikin perjalanan kami kian menyenangkan. Panorama Dieng dari ketinggian itu kemudian menemani perjalanan kami hingga ke puncak.

Mencari Tempat Berkemah

Jika pendakian di gunung lain umumnya melewati hutan-hutan lebat, Gunung Bismo tidak demikian. Pohon-pohon rimbun seperti terpusat di beberapa titik saja. Sisanya hanya berupa lembahan dan ladang penduduk yang asri. Masyarakat Sikunang benar-benar mendesain jalur ini menjadi sangat ramah bagi pendaki.

Tidak lama berjalan, kami mencapai satu-satunya warung yang berdiri di sekitar Pos 3. Warung itu menjual air mineral, mi instan, dan aneka gorengan. Penjualnya adalah laki-laki yang sudah berumur. Kami beristirahat sebentar di warung tersebut sembari bertanya lokasi camp terbaik untuk kami berkemah malam ini.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Lampu-lampu permukiman Dieng di malam hari dari ketinggian Gunung Bismo/Laillia Riani

Bapak penjaga warung pun menjelaskan, “Ada banyak puncak, Mbak, di sini. Paling dekat dari sini ada Puncak Nemu-nemu, lalu Puncak Tugel, dan paling tinggi ada Puncak Indraprasta. Tapi pendaki enggak boleh camp di puncak, soalnya takut angin kencang. Bahaya. Nanti setelah puncak Tugel itu, ada camping area. Biasanya pendaki camp di situ. Tapi kalau mau jalan sedikit lagi nanti akan nemu lokasi yang bagus juga buat camping. Kalau jalan pasti nanti tahu sendiri lokasinya. Semoga belum dipakai orang.”

Setelah mendengar informasi tersebut, kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak Tugel yang katanya tidak jauh lagi. Langit begitu cerah malam itu. Cahaya bulan dan gemerlap bintang seolah menerangi perjalanan kami. Keindahan ini semakin nyata ketika akhirnya kami tiba di Puncak Tugel.

Kami mulai mencari camping area usai puas menikmati suasana malam di puncak Tugel, yang sudah berisi sekitar lima tenda besar. Teringat kata bapak penjaga warung tadi, kami mencari lokasi camp yang beliau maksud.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Berpose di Puncak Tugel Gunung Bismo saat akan turun/Laillia Riani

Kami terus berjalan hingga akhirnya kami menemukan sebuah area datar yang hanya cukup untuk satu tenda. Di area ini terdapat pohon yang menghalangi angin yang mulai bertiup kencang bersamaan dengan suhu udara yang kian menusuk. Kami pun memutuskan segera membangun tenda. Lokasinya seperti private camp karena hanya  ada tenda kami saja. 

Selepas tenda berdiri, kami memutuskan lekas beristirahat agar besok pagi bisa mengejar matahari terbit. Rasanya dingin yang luar biasa menyelimuti dataran tertinggi di wilayah Wonosobo malam itu. Baju berlapis dan sleeping bag ternyata tidak cukup untuk menghalau suhu Gunung Bismo yang seperti membeku.

Pemandangan Tujuh Gunung dari Puncak Indraprasta

Keesokan harinya, lamat-lamat kami mendengar langkah kaki di sekitar tenda. Tandanya pagi sudah datang dan orang-orang sudah bersiap menyaksikan matahari terbit. Kami pun tak ingin ketinggalan. Kami segera mengemas barang-barang yang perlu kami bawa, mengunci tenda, lalu berangkat ke puncak tertinggi Gunung Bismo, Puncak Indraprasta.

Cahaya emas matahari pagi perlahan mulai meninggi. Suasana dingin berangsur hangat bersamaan dengan pemandangan yang makin terlihat jelas. Gunung-gunung api Jawa Tengah yang berjajar di sekitar Gunung Bismo.

  • Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
  • Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo

Dari Puncak Indraprasta, kami bisa memandang Gunung Sumbing dan Sindoro yang begitu gagah. Di sebelah timur terdapat Gunung Prau yang memanjang. Di sudut antara ketiga gunung itu, tampak dari kejauhan Gunung Merapi, Merbabu, dan Lawu. Tak lupa Gunung Slamet juga terlihat di ujung barat. Tidak hanya itu, Bukit Sikunir dan Gunung Kembang pun tak absen dari sajian panorama pagi itu.

Kami melihat pemandangan berbeda tatkala mengedarkan mata ke arah Dataran Tinggi Dieng. Terdapat petak-petak ladang sayur milik penduduk setempat yang sekilas tampak menawan dan berwarna-warni.

Setelah puas menikmati puncak Gunung Bismo, kami kembali ke tenda untuk menyiapkan sarapan dan kemudian berkemas. Tepat pukul 10.00, kami turun gunung. Bagi kami, Gunung Bismo benar-benar meninggalkan kesan indah yang tak terlupakan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-bismo-via-sikunang-wonosobo/feed/ 0 39976
Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4) https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-4/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-4/#respond Sat, 09 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39790 Kadang-kadang puncak gunung hanyalah bonus perjalanan. Namun, proses menggapainya juga merupakan perjuangan yang harus diapresiasi. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman Alarm ponsel saya berbunyi sekitar pukul empat Subuh. Akhirnya saya benar-benar bangun. Dalam artian...

The post Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kadang-kadang puncak gunung hanyalah bonus perjalanan. Namun, proses menggapainya juga merupakan perjuangan yang harus diapresiasi.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman



Alarm ponsel saya berbunyi sekitar pukul empat Subuh. Akhirnya saya benar-benar bangun. Dalam artian bangkit sebenar-benarnya dari berbaring, setelah kerap membuka mata kala terdengar deru angin kencang di tengah malam. Saya segera membangunkan Aan dan Fadly agar bersiap. Sementara di tenda sebelah, Emma dan Evelyne juga terdengar sudah sepenuhnya sadar. Adapun sejumlah pendaki lain sudah berangkat terlebih dahulu ke puncak.

Agenda kami di hari ketiga akan lebih panjang daripada dua hari sebelumnya. Setelah dari puncak, kami langsung berkemas dan turun saat itu juga. Kami sepakat untuk berangkat setelah Subuh sehingga tidak terlalu gelap dan bisa menikmati matahari terbit di tengah perjalanan ke puncak. 

Sebelum berangkat ke puncak, kami sempatkan menyeruput segelas teh, susu, atau minuman hangat lain untuk mengisi perut. Bekal lainnya, seperti biskuit, roti tawar dan selai, serta air minum sudah kami masukkan ke ransel kecil. Kami juga berencana menyarap di salah satu warung dekat Hargo Dalem usai dari puncak.

Angin tak sekencang semalam. Suhu perlahan menghangat seiring fajar mulai menyingsing. Pukul 05.05 kami meniti langkah demi langkah menuju tugu puncak tertinggi Lawu, Hargo Dumilah. Mencoba menyambut pagi yang mungkin akan jadi pengalaman tak terlupakan.

Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
Jeda sejenak memandang matahari terbit saat perjalanan ke puncak Gunung Lawu/Rifqy Faiza Rahman

Lukisan Pagi

Jalan setapak sangat jelas membelah sabana yang kemarin sore kami pandang dari camp. Awalnya menurun, lalu relatif datar menjelang punggungan bukit yang masih ditumbuhi banyak cemara gunung dan semak. Dari batas sabana tersebut kami menyusuri jalur yang melipir dan menanjak hingga tiba di dataran terbuka penuh cantigi dan perdu lainnya. 

Terus terang sebenarnya bisa saja kami mencapai puncak lebih cepat. Namun, selayaknya seorang pemburu konten dan tidak mau melewatkan momen sekecil apa pun, rasanya sayang jika kami harus terburu-buru mengejar puncak yang tidak akan ke mana-mana. Sementara matahari terbit beserta serunai alam yang mengiringinya adalah siklus yang belum tentu bisa disaksikan setiap hari. Lukisan alam yang belum tentu kami lihat di perkotaan.

Setelah hampir sejam berjalan, di salah satu tepian jalur terbuka sekitar kawasan Pasar Dieng (3.095 mdpl) saya berhenti sejenak. Saya memandang ke ufuk timur. Mencoba menerka-nerka deretan gunung dan pegunungan Jawa Timur yang tampak jelas berselimut awan di kakinya.

JIka membayangkan peta Jawa Timur dari arah barat, saya masih bisa melihat jelas Pegunungan Wilis, Gunung Arjuno-Welirang, Gunung Kawi, dan Gunung Buthak. Di antara gunung-gunung itu, saya belum pernah mendaki Wilis dan Kawi. Mungkin suatu saat nanti saya harus mencoba mendakinya.

  • Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
  • Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)

Dari kawasan Pasar Dieng yang terbuka, berbatu, dan penuh cantigi, kami berjalan sekitar 340 meter untuk sampai di kawasan Hargo Dalem (3.131 mdpl). Hargo Dalem merupakan petilasan di sebuah cungkup, yang dipercaya warga setempat menyimpan jejak keberadaan Prabu Brawijaya. Lagi-lagi, perlu kajian literatur mendalam untuk memastikan hal tersebut. Sejauh ini kita tetap menghormati segala tradisi dan laku sebagai bentuk kearifan lokal.

Hargo Dalem juga merupakan pertemuan jalur Cetho dengan Cemoro Sewu dan Cemoro Kandang. Di bawah Hargo Dalem, terdapat warung Mbok Yem yang terkenal. Kami nanti tidak akan makan pagi di sana karena akhir pekan pasti ramai pendaki dan antre panjang.

Kami juga tidak masuk ke Hargo Dalem, karena tujuan utamanya adalah puncak Hargo Dumilah. Dari Hargo Dalem, kami melipir ke jalur sebelah kiri melewati warung Mbok Gar (3.147 mdpl) menuju puncak. Kami berencana akan menyantap sarapan di warung tersebut. Menu yang tersedia adalah soto ayam dan nasi pecel.

Dari GPS saya, jarak dari Hargo Dalem ke puncak tinggal 360 meter lagi dengan kontur menanjak di atas tanah berpasir dan berkerikil. Sesekali saya menengadah ke arah puncak. Jelas terlihat tugu Hargo Dumilah dengan bendera merah putih di sebelahnya.

“Ayo, semangat! Sebentar lagi puncak!” saya berseru.

  • Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
  • Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)

Puncak Kontemplasi

Sejak Bulak Peperangan sampai area Hargo Dalem, sebenarnya kami sudah masuk wilayah Jawa Timur. Puncak tertinggi, Hargo Dumilah (3.265 mdpl), berada persis di perbatasan Jawa Tengah—Jawa Timur. Maka bisa saya katakan kalau mendaki Gunung Lawu dari Cetho seperti melakukan perjalanan lintas kabupaten (Karanganyar—Magetan) dan lintas provinsi. 

Dahulu sebelum pandemi Covid-19, pendaki masih diizinkan mendaki lintas jalur. Seperti yang pernah saya lakukan bersama teman-teman dari Malang pada Oktober 2013. Waktu itu kami naik dari Cemoro Sewu (Magetan, Jawa Timur) dan turun Cemoro Kandang (Karanganyar, Jawa Tengah). Namun, sejak pandemi hingga sekarang pendaki harus naik dan turun lewat jalur yang sama untuk alasan keamanan dan kemudahan pelaporan.

Pagi ini Hargo Dumilah seakan semringah. Ia tampak mengkilap lantaran semburan sinar sang surya. Di sisi lain, mungkin Hargo Dumilah senang karena banyak pendaki “berziarah” ke rumahnya. Puncak tertinggi Lawu ini adalah pertemuan para pendaki dari semua jalur. Selain yang saya sebutkan tadi, juga ada yang mendaki dari Tambak (Karanganyar) dan Singolangu (Magetan). Jalur yang disebut terakhir pernah saya coba pada momen perayaan 17 Agustus 2020. Jalur Singolangu akan tembus di belakang warung di pos Sendang Drajat, bertemu dengan Cemoro Sewu.

Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
Pendaki-pendaki di puncak Hargo Dumilah Gunung Lawu/Rifqy Faiza Rahman

Selain itu, saya ingin membuat pengakuan bahwa monumen puncak di Gunung Lawu adalah yang terbaik dari gunung-gunung lain di Jawa. Tugu Kiky, begitu orang menyebutnya karena keterlibatan sponsor perusahaan buku tulis dalam pembangunan monumen tersebut.

Sebagaimana di gunung lain, puncak adalah tempat luapan euforia dan kebanggaan terbesar para pendaki. Puncak menjadi acuan semangat di tiap hadirnya keluhan terhadap tanjakan-tanjakan tak berujung. Sebagian orang memandang puncak adalah sesuatu yang wajib mereka rengkuh, sementara tak sedikit pula menganggapnya bonus perjalanan. Begitupun dengan kami. Meski tentu saja, selama kesempatan itu ada, tidak ada salahnya berikhtiar menggapainya dengan tetap mengutamakan keselamatan tim.

Berkaca pada sejumlah kasus yang pernah ada, tidak sedikit pendaki yang meregang nyawa di gunung ini. Penyebab terbesar salah satunya adalah hipotermia. Sebuah kondisi akut yang menandakan suhu tubuh turun sangat drastis di bawah normal. Jika penanganannya tidak cepat dan tepat, penderita bisa meninggal dunia tanpa merasakan gejala apa pun, bahkan merasa seperti kepanasan sampai melucuti semua bajunya. Maka upaya antisipasi terhadap situasi ini adalah menghindari pendakian saat musim hujan, selalu mempersiapkan kondisi fisik dan segala perlengkapan sebaik-baiknya. 

Dari sudut pandang saya, semestinya puncak gunung adalah tempat perenungan bagi setiap pendaki. Saya tidak melarang pendaki merayakan pencapaiannya, hanya saja jangan berlebihan. Saya merasa kita perlu berpikir tentang proses yang kita lalui sepanjang perjalanan. Mulai berangkat dari rumah, tiba di puncak, lalu pulang kembali ke rumah. Memahami apa dan siapa saja yang telah memberi jalan dan menuntun kita ke tempat tertinggi ini.

Di gunung, kita tidak akan berjalan sendirian. Alam akan merestui orang-orang yang berniat baik.

Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4)
Emma, dalam perjalanan turun dari puncak, melintasi telaga kering yang akan berisi air saat musim hujan di Gupakan Menjangan/Rifqy Faiza Rahman

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jurnal Lawu: Hargo Dumilah yang Semringah (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-4/feed/ 0 39790
Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3) https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-3/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-3/#respond Fri, 08 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39772 Pendakian kian menantang karena jalur terjal dan beban bekal air yang bertambah. Angin kencang jadi tantangan lain yang tetap harus dinikmati. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman “Kulo (saya) Partini,” ujarnya memperkenalkan diri. Perempuan itu...

The post Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pendakian kian menantang karena jalur terjal dan beban bekal air yang bertambah. Angin kencang jadi tantangan lain yang tetap harus dinikmati.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman


Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Warung Mba Yuni di Pos 3 Cemoro Dowo/Rifqy Faiza Rahman

Kulo (saya) Partini,” ujarnya memperkenalkan diri. Perempuan itu sedang menyiapkan pesanan susu jahe panas kami. Ia adalah partner Bu Yuni, pemilik warung di Pos 3. Keduanya warga asli Dusun Cetho.

Warung Mba Yuni sudah buka sejak pukul 05.30. Kepulan asap membubung dari celah-celah jendela warung menandakan aktivitas mereka. Mereka sudah naik dan berjualan sejak Jumat pagi sebelum kami. Besok Minggu mereka akan turun. Setiap naik biasanya dibantu oleh Pak Sukino, suami Bu Yuni, dan seorang pria lagi untuk membawa barang dagangan. Mulai beras, makanan ringan, dan bahan makanan lainnya.

  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)

Melongok ke dapur, Bu Yuni sedang adang (menanak) nasi dengan dandang. Tak ada gas. Murni menggunakan kayu bakar untuk menghasilkan api. Bapak-bapaklah yang membawa kayu-kayu bakar tersebut sebagai stok selama berjualan. Kami melihat tumpukan kayu tersebut di belakang warung. Kami bisa membayangkan perjuangan mereka mencari nafkah dan berkah dari pendakian gunung.

Saya membawa pesanan kami ke belakang. Di area ini terdapat gentong besar untuk menampung air dari sumber dan fasilitas toilet sederhana berupa bilik dari terpal dan spanduk. Sebelum memasak sarapan—kali ini nasi dan olahan makanan beku ayam karage—kami menikmatinya terlebih dahulu di sebuah bangku kayu sambil menikmati pemandangan awan dan langit biru. Aktivitas yang menambah spirit baru dan kepercayaan diri melanjutkan perjalanan berat pada hari kedua ini.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Tenda kami di Pos 3 Cemoro Dowo bersebelahan dengan pipa air/Rifqy Faiza Rahman

Pelan-pelan ke Penggik

Usai sarapan, kami lekas berkemas. Berbagi tugas membersihkan peralatan masak dan makan, serta merapikan tenda. Sebagian turun ke sumber air. Saya menginstruksikan untuk memenuhi botol minum masing-masing. Saya juga mengisi jeriken lima liter sebagai bekal pendakian hari ini dan besok. Jeriken tersebut akan saya masukkan di dalam ransel bagian atas. 

Tepat pukul 09.30, kami mulai berjalan kembali. Perjalanan dari Pos 3 Cemoro Dowo ke Pos 4 Penggik adalah yang terjauh dan terberat di jalur Cetho. Elevasinya naik tajam sekitar 353 mdpl, dengan estimasi jarak tempuh 860 meter. Pada pendakian 2019 lalu, rute inilah yang benar-benar menguras tenaga. Ditambah hujan deras yang menjadikan jalur seperti aliran sungai. 

Tidak jauh berbeda, beban tenda dan jeriken lima liter penuh air yang saya bawa jelas lebih berat dari kemarin. Terlebih karakter jalur yang terjal kerap membuat kami mengangkat lutut lebih tinggi.

“Aku yang di depan, ya. Jalan pelan-pelan. Nek kesel (kalau capek), istirahat,” pinta saya. Hal ini semata agar ritme berjalan kami seirama dan tidak berjauhan. 

Beruntung vegetasi selepas Pos 3 masih relatif rimbun. Tidak terlalu rapat, tetapi cukup meneduhkan jalur. Jenis tanamannya masih sama, kombinasi semak, mlandingan (lamtoro) yang rata-rata tumbuh agak doyong, dan beberapa cemara gunung. Trek berupa jalan setapak tanah yang sudah mulai berdebu tanda memasuki musim kemarau.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Rehat sebentar di tengah pendakian menuju Pos 4/Rifqy Faiza Rahman

Kami cukup sering berhenti untuk mengatur napas. Terutama saya. Sesekali ketika menemui tempat datar di antara tanjakan, saya lepas ransel ke tanah untuk melegakan pundak. Di titik seperti ini, kekompakan tim dalam hal mental sangat penting. Penting sekali satu sama lain memahami bahwa tidak perlu berjalan terburu-buru apalagi berambisi menjadi yang tercepat. Tidak ada urgensi untuk itu.

Langkah yang stabil dan pintar-pintar menata waktu untuk istirahat, ternyata membuat perjalanan lebih tidak berasa capek. Kira-kira setelah 1 jam 10 menit, kami tiba di Pos 4 Penggik (2.547 mdpl). Lebih cepat 50 menit dari rencana. Di pos ini kami berjumpa rombongan pendaki dari Jakarta yang turun. Mereka juga rehat sebentar di sini.

“Setelah Pos 4 nanjak-nya enak, kok. Yang berat, ya, cuma antara Pos 3 ke Pos 4 doang,” ujar salah satu dari mereka ketika kami bertanya jalur naik. Saya agak lupa kontur jalur di atas Pos 4. Saya hanya ingat sepotong-sepotong kalau trek akan datar ketika keluar hutan cemara gunung dan memasuki sabana.

Sama seperti tiga pos sebelumnya, Pos 4 Penggik ditandai dengan “brakseng”. Peraturan yang berlaku adalah jangan mendirikan tenda di dalam shelter. Gubuk ini hanya untuk berteduh atau penanganan keadaan darurat yang memerlukan tempat berlindung. Namun, Pos 4 Penggik tidak terlalu nyaman untuk mendirikan tenda. Lahan datar terbatas dan berada di jalur yang terjal.

Terjalnya jalur Pos 3—Pos 4 membuat kami memilih istirahat agak lama. Kurang lebih 10 menit untuk sekadar merebahkan punggung, minum dan menyantap bekal buah pisang yang jadi sumber energi kami. 

“Mau makan siang di sini atau di mana, Mas?” tanya Emma.

“Nanti saja agak atas. Kalau nemu tempat yang pas. Sekarang masih tanggung,” jawab saya.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Pos 4 Penggik yang tidak ideal untuk mendirikan tenda/Rifqy Faiza Rahman

Sabana Kenangan

Apa yang dikatakan anak-anak Jakarta tadi benar. Memang masih terus menanjak, tetapi tidak terlalu panjang. Seingat saya, ada satu tanjakan terakhir yang cukup terjal karena berpindah punggungan. Sesudah itu jalur lebih banyak datar melipir bukit yang ditumbuhi banyak cemara gunung. Seketika suasana lebih teduh setelah terpapar terik matahari sejak Pos 4 Penggik.

Kami akhirnya menemukan tempat yang cukup pas untuk istirahat dan makan siang. Berdasarkan GPS, lokasinya berjarak sekitar 570 meter dari Pos 4 Penggik dan berada di ketinggian 2.721 mdpl. Sekitar 68 menit perjalanan. Kami sempat menyapa beberapa porter lokal yang bekerja untuk sebuah open trip yang diikuti puluhan peserta dari berbagai daerah. Mereka akan menyiapkan camp di Bulak Peperangan.

Tempat kami break bukan lokasi yang ideal karena hanya memanfaatkan lahan sempit di samping jalur. Namun, lumayan nyaman buat menanak beras porang dan makan lahap sisa lauk ayam karage serta tambahan lauk kering yang dibawa Evelyne. Bahkan tak terasa ketika saya menyadari kalau kami istirahat hampir 1,5 jam. Sebab kami sempatkan juga untuk tidur siang sebentar.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Lokasi istirahat dan makan siang di pinggir jalur/Rifqy Faiza Rahman

Banyak teman saya mengamini kalau Lawu adalah gunung yang sangat dingin. Bahkan di tempat yang belum terlalu tinggi sekalipun. Itu yang kami rasakan selepas bangun dari tidur siang. Meski terang-terangan cuaca begitu cerah dan matahari bersinar nyalang, tak bisa kami pungkiri perubahan suhu yang terjadi jelang sore. Tepat pukul dua siang, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Kenangan pendakian 2019 kembali menguak ingatan setibanya kami di batas hutan-sabana. Sekitar 475 meter atau hampir setengah jam berjalan. Terdapat pohon dan bunga edelweiss yang banyak tumbuh di kawasan ini. Saya yang berada di belakang segera menyusul teman-teman yang sudah ada di persimpangan jalur ke Bulak Peperangan.

Saya ceritakan ke mereka, “Di sinilah dulu kami terpaksa bikin tenda karena kondisi darurat. Wis kudanan, kesel, nganti Magrib lho Bulak Peperangan durung kethok blas (Sudah kehujanan, capek, sampai Magrib loh Bulak Peperangan belum kelihatan sama sekali).”

Lokasinya memang sangat terbuka dengan lahan sabana agak miring. Padahal jika mau berjalan lebih jauh sekitar 15 menit saja atau 400 meter dengan trek datar, kami akan menjumpai Pos 5 atau Bulak Peperangan (2.843 mdpl). Sebuah area tempat bertemunya jalur Cetho dengan Jogorogo (Ngawi), yang lebih representatif dan nyaman untuk berkemah. Cuma, ya, itu tadi. Bukan tak mau. Kami memang sudah tidak mampu.

Tentu saja tidak ada rasa penyesalan ketika hari ini akhirnya saya tahu seperti apa Bulak Peperangan itu. Yang kami tahu adalah saat itu sudah menjadi keputusan terbaik dan disepakati bersama, daripada memaksakan diri walau sekadar “tinggal sedikit lagi”.

  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)

Nyanyian Angin di Gupakan Menjangan

Tatkala menempuh 660 meter terakhir atau dua pertiga perjalanan menuju Gupakan Menjangan, kami melihat dua pemandangan yang memukau mata. Bukan sabananya yang makin banyak terhampar, melainkan kemunculan satwa yang terlihat jelas dan bergerak cepat. Sampai-sampai saya tak mampu merekamnya dalam kamera.

“Eh, itu ada kijang!” saya berseru.

Sontak yang lain pun ikut menoleh ke arah saya menunjuk. Seekor kijang berwarna cokelat muda yang berlari bak kilat di lereng perbukitan miring. Kami melihatnya di sebelah kiri jalur, kira-kira 300 meter. Begitu saya baru sadar dan mengambil kamera, Muntiacus muntjak lincah itu sudah hilang di balik hutan.

Kedua, elang Jawa atau alap-alap yang terbang memutar di atas celah-celah kanopi cemara gunung, ketika mendekati Gupakan Menjangan. Saya cukup berhasil memotretnya meski agak kurang jelas.

Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
Kembali melihat burung di dekat Gupakan Menjangan/Rifqy Faiza Rahman

Pemandangan itu menjadi pengalaman langka nan berharga bagi kami. Di tengah masifnya manusia yang mendaki gunung lewat jalur ini, bertemu dengan satwa liar pasti tak akan terlupakan.

Pukul 15.35, atau 45 menit dari Bulak Peperangan, kami tiba di Gupakan Menjangan. Angan-angan saya sejak lama yang kini jadi kenyataan. Sebuah tempat berkemah di malam kedua, sekalipun tidak ada sumber air. Kami adalah rombongan pertama yang sampai di area camp setinggi 2.936 mdpl tersebut. Makin sore, kami mendapati makin banyak kelompok lainnya yang ikut mendirikan tenda di sini. Wajar, akhir pekan akan ramai pendaki meskipun tidak sepadat jalur lainnya, seperti Cemoro Sewu.

  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)
  • Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3)

Meskipun tempat camp berada di tengah-tengah cemara gunung, tetapi angin yang bertiup dari arah sabana sangat terasa. Bahkan berlangsung cukup lama hingga kami kerap terbangun saat tengah malam. Embusannya lumayan kencang sampai-sampai menggoyangkan ranting-ranting cemara dan menderu, seperti bernyanyi sumbang tanpa nada. Adapun lokasi tenda kami cukup terlindung dari keberadaan semak-semak, sehingga terhindar dari angin secara langsung.

Namun, yang terpenting adalah cuaca cerah dan stabil hingga hari ini, yang kami harap bisa bertahan setidaknya sampai kami turun esok hari. Birunya langit berpadu serasi dengan hamparan sabana hijau bak permadani. Di sanalah terdapat kubangan air musiman yang akan terisi saat hujan, tempat para menjangan (kijang) minum. Sebuah jejak (gupak) yang menandakan bahwa satwa lincah itu masih eksis, seperti yang kami lihat di lereng bukit tadi. Setidaknya abadi dalam nama yang menjadi tempat berkemah favorit pendaki di jalur ini.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jurnal Lawu: Angan-Angan Gupakan Menjangan (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-3/feed/ 0 39772
Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2) https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-2/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-2/#respond Thu, 07 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39749 Tahap awal menuju Hargo Dumilah telah dimulai. Bergegas melangkah menembus hutan di lereng barat Lawu sebelum petang menghilang. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman dan Alfian Widiantono (Aan) Nuansa teduh menaungi area pos perizinan bercat...

The post Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tahap awal menuju Hargo Dumilah telah dimulai. Bergegas melangkah menembus hutan di lereng barat Lawu sebelum petang menghilang.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman dan Alfian Widiantono (Aan)


  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)

Nuansa teduh menaungi area pos perizinan bercat oranye nan bersahaja itu. Logo Perhutani, nomor telepon petugas dan saluran radio tertera di dinding pos yang berbahan triplek kayu. Dari bilik loket seorang pria penjaga pos menyambut kami dan menyodorkan lembaran kertas beralas meja dada.

“Dari mana, Mas? Berapa orang?”

“Campur, Mas. Jogja, Magelang, sama Purbalingga. Lima orang saja,” jawab saya. 

“Silakan isi formulir data kelompok dan logistik yang dibawa. Sama nanti ninggal satu KTP di sini. Tiket per orangnya Rp20.000,” ujarnya memberi arahan.

Saya menyodorkan lembaran kertas itu ke Aan, memintanya mengisi. Sekaligus meminjam KTP miliknya. KTP saya sedang jadi jaminan sewa mobil yang saya bawa dari Magelang.

Proses administrasi hanya berlangsung sepuluh menit. Tak hanya mengisi data diri, kami juga harus melaporkan daftar barang bawaan yang kami bawa. Baik perlengkapan pribadi maupun kelompok. Mulai dari pakaian, alat masak, bahan makanan, minuman, jeriken, obat-obatan pribadi. Masing-masing dari kami juga membawa kantung plastik besar (trash bag) yang kami pasang sebagai pelindung barang di dalam tas. Selain itu kami juga harus memastikan tidak ada sampah sekecil apa pun yang terbuang selama di gunung.

Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
Emma di depan gapura pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Permisi, Mbah Branti

Kami baru benar-benar memulai pendakian sekitar pukul 13.30. Trek awal berupa jalan cor yang cenderung melandai selepas gapura pendakian. Terdapat percabangan jalur dari arah Candi Cetho, bagi wisatawan yang ingin melanjutkan kunjungan ke Candi Kethek. Jalur akan menurun hingga menyeberangi aliran sungai kecil, lalu mendaki kembali hingga tiba di Candi Kethek.

Kontur yang turun dan naik sepanjang 550 meter dari pos perizinan cukup membuat “mesin” kami panas. Otot mulai tegang dan peluh sudah bercucuran. Kami istirahat sejenak di bangku kayu sembari melihat Candi Kethek (1.444 mdpl) yang sampai sekarang masih aktif menjadi tempat pemujaan.

Menurut penelitian Purwanto dkk (2017)1, candi ini memiliki karakter pondasi khusus, yaitu susunan batuan andesit yang pengerjaannya tidak sempurna atau menyeluruh. Hanya memanfaatkan batu-batu alam berukuran besar sebagai batas di setiap empat teras berundak. Latar belakang agama Candi Kethek bersifat Hinduistik. Informasi ini berdasarkan pada temuan arca kura-kura yang merupakan simbol dari Dewa Wisnu. Terlihat pula anasir pemujaan terhadap roh nenek moyang. Keberadaan teras berundak di Candi Kethek, yang menandakan wujud gunung, dianggap sebagai tempat bersemayam leluhur yang sudah meninggal.

Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
Candi Kethek yang bersifat Hinduistik/Rifqy Faiza Rahman

Candi Kethek dapat dibilang termasuk kurang terkenal daripada Candi Sukuh dan Candi Cetho, meskipun pembangunannya diperkirakan sezaman dengan kedua candi tersebut, yaitu sekitar abad XV-XVI Masehi. Padahal keduanya pun hanya menjadi bagian dari puluhan situs sejarah yang tersebar di lereng barat Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar. Dalam catatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah tahun 2012, seperti dikutip Purwanto dkk (2017), terdapat 37 situs sejarah yang berstatus cagar budaya daerah dan nasional. Penyebabnya mungkin lokasi yang sedikit masuk ke hutan, meskipun terbilang dekat dengan Candi Cetho. Selain itu juga perlu penelitian lebih lanjut mengingat data artefak yang minim dari candi ini.

Tak sampai lima menit kami melegakan napas. Pendakian harus berlanjut sebelum otot mengendur.

Jalur pendakian menuju Pos 1 Mbah Branti masih melewati perkebunan warga. Jalan setapak tanah dengan elevasi yang belum terlalu menanjak. Walau sudah lepas tengah hari, kami masih menjumpai satu-dua warga bekerja di ladang sayur. Komoditas umumnya lombok, sawi, kol, dan loncang. Kami juga sempat melihat burung terbang memutar di atas kami, entah itu elang Jawa atau alap-alap.

  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)

Sekitar 450 meter dari Candi Kethek, di sisi kanan jalur terdapat sebuah tempat pemandian. Meski Lawu lekat dengan kisah Brawijaya atau Majapahit, saya belum tahu persis sisi historis sebenarnya tentang pembuatan tempat ini. Yang jelas, ketika lewat sini tahun 2019 sedang dalam proses pembangunan. Namanya Patirtan Sapta Resi Brawijaya (1.566 mdpl). Sapta berarti tujuh, karena memang ada tujuh pancuran yang mengalirkan air jernih pegunungan ke kolam berbentuk persegi panjang. Tersedia pula fasilitas umum berupa toilet dan warung, tetapi saat itu tutup. Kami hanya sempat membasuh muka saja, karena air di botol kami masih penuh.

Mendekati Pos 1 Mbah Branti, dengan jarak tempuh hampir sama dengan Candi Kethek—Patirtan Sapta Resi Brawijaya, kami sedikit menambah tenaga. Bongkahan batu berserakan di tanah, yang kadang kami jadikan pijakan untuk melangkah. Kami juga menjumpai sambungan pipa air di permukaan tanah. Ada satu-dua titik yang bocor sehingga air meluber. Meskipun begitu debitnya tetap deras.

Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
Patirtan Sapta Resi Brawijaya/Rifqy Faiza Rahman

Tepat 1,5 jam dan 1,5 kilometer dari basecamp Danang, kami tiba di Pos 1 Mbah Branti (1.679 mdpl). Pos ini hanya berupa tanah datar yang luasnya seukuran tenda berkapasitas empat orang. Ditandai gubuk sederhana dengan lima tiang kayu dan atap berbahan seng. Saya tidak membawa bekal informasi apa dasar penamaan Mbah Branti pada pos ini. Mungkin saja pada zamannya merupakan tokoh setempat, yang memiliki laku atau tirakat tertentu di gunung ini.

Kami datang ketika memang masih waktunya jam tidur siang. Wajah-wajah menahan kantuk tampak dari raut Emma, Evelyne, Aan, dan Fadly. Saya sendiri tidak terlalu mengantuk. Namun, kami sepakat untuk istirahat sebentar barang 10—15 menitan. Emma dan Evelyne tidur bersebelahan dengan cara selonjor bersandar bangku panjang dari batang pohon. Fadly berbaring di atas selembar matras alumunium foil, sementara Aan tidur beralas rain cover saja.

Saya sempat terpejam, tetapi tak sampai benar-benar lelap. Mungkin kurang dari lima menit saja. Saya memilih berdiri, menggerak-gerakkan badan agar tidak kedinginan. Tiba-tiba hasrat kencing tak bisa saya tahan. Di antara semak-semak di belakang pos, saya membuang hajat.

“Permisi, Mbah Branti…”

Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
Tidur siang di Pos 1 Mbah Branti/Rifqy Faiza Rahman

Sepertiga Awal Perjalanan

Tipikal kontur jalur selepas Pos 1 Mbah Branti masih mirip dengan fase sebelumnya. Jalan setapak tanah yang licin kalau musim hujan. Vegetasi hutan mulai rapat, tetapi agak terbuka. Di beberapa titik kami melewati trek yang berbentuk seperti anak tangga, meliuk di tengah-tengah cerukan tanah setinggi dada orang dewasa. 

Dalam rentang jarak 680 meter menuju Pos 2 Brakseng, sesekali kami istirahat sejenak. Terutama setelah melewati tanjakan yang agak terjal atau panjang, untuk meredakan degup jantung yang memburu. Kami berusaha membuat ritme pendakian senyaman mungkin. Tidak terlalu santai, tetapi juga tidak tergesa-gesa. Alat navigasi (GPS) yang saya bawa membantu kami mengukur diri. Kapan harus berhenti, kapan harus berjalan. Ingatan saya pada pendakian 2019 lalu sedikit membantu gambaran seberapa jauh lagi pos berikutnya akan terlihat.

Pos 2 Brakseng (1.914 mdpl) kami gapai persis satu jam berjalan. Suasana begitu tenteram nyaris tanpa polusi suara, kecuali oleh kami sendiri. Satu-satunya penghasil “keributan” di tengah hutan dengan celoteh, umpatan, atau nyanyian sumbang yang menyaingi kicau burung jalak dan kerabat-kerabatnya.

Jika melihat ada hal yang berubah atau berbeda dibanding pendakian saya sebelumnya, itu adalah keberadaan tempat sesaji dari kayu dan “hilangnya” kain kuning yang menyelimuti satu-satunya pohon besar berakar bak cacing di sini. Gubuk atau “brak”-nya masih bertahan dengan atap dan dinding seng. Bentuknya seperti yang ada di Pos 1 Mbah Branti. Hanya saja pos ini lebih luas walau bukan tempat yang pas untuk berkemah.

Target camp kami adalah Pos 3 Cemoro Dowo. Tempat kami bergantung pada sumber airnya untuk memasak, minum, mencuci piring, dan berwudu. Masih ada 685 meter dan elevasi 280 meter vertikal yang harus kami lalui untuk memungkasi sepertiga awal perjalanan hari ini. Dua jarum arloji menunjukkan waktu pukul 15.55. Perkiraan saya, butuh setidaknya 1,5 jam untuk mencapai Cemoro Dowo.

Kondisi jalur belum banyak berubah. Hanya saja lebih banyak tanjakan. Hutan semakin rapat. Tanaman semak, tanah dan batu berlumut menghiasi jalur. Beberapa tempat tampak lembap dan basah saking rapatnya naungan.

Ketika melewati sebuah trek datar yang melipir tepi bukit, kami bisa melihat pemandangan kembali terbuka. Kami rasakan kehangatan sejenak dari pancaran matahari di tengah suhu udara Lawu yang mulai menurun. Cukup untuk mengurangi rasa dingin yang juga timbul dari cucuran keringat.

Tak jauh dari situ, dua pilihan jalur terhampar di depan mata. Kanan menanjak tajam, kiri lebih memutar. Emma, Emma, yang memimpin perjalanan, meminta pendapat.

“Yang mana ini? Kanan atau kiri?”

Bebas, kata saya. Keduanya akan bertemu di satu jalur. Dia pun memilih jalur kanan. Sebuah tanjakan terjal berselimut debu tanpa ada pegangan untuk melangkah.

Langit sore perlahan beralih wajah. Sang rawi pelan-pelan undur diri di balik cakrawala. Meski betis makin panas dan napas memburu, kami harus bergegas karena sebenarnya Pos 3 sudah dekat. Saya memastikan itu berdasar GPS di genggaman tangan. Sampai akhirnya tepat sebelum hari benar-benar menggelap, sekitar pukul 17.25, kami melihat sebuah gubuk di sisi kiri dan pipa sumber air di tengah-tengah jalur. Pertanda sahih bahwa kami telah berada di Pos 3 Cemoro Dowo (2.194 mdpl). 

“Kita bangun tenda dulu, baru ambil air,” pinta saya. Emma dan kawan-kawan pergi agak ke atas, memilih tempat yang datar untuk dua tenda kami. Lokasinya sangat dekat dengan warung dan toilet yang dikelola warga.

Kami berbagi tugas mendirikan tenda, mengambil air, dan menyiapkan bahan masakan untuk makan malam. Sebisa mungkin kami bisa istirahat lebih awal. Mengisi ulang tenaga yang akan kami pacu lebih keras besok pagi. Menu nasi, tumis pakcoy dan sosis, tempe goreng, sertasecangkir kopi sepertinya lebih dari cukup untuk mengantar kami berkelana alam mimpi.

  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)
  • Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2)

(Bersambung)


Referensi:

1Purwanto, H., Titasari, C. P., dan Sumerata, I. W. (2017). Candi Kethek: Karakter dan Latar Belakang Agama. Forum Arkeologi Kemendikbud RI, 30 (2). ISSN 0854-3232.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jurnal Lawu: Dari Cetho ke Cemoro Dowo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-2/feed/ 0 39749
Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1) https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-1/ https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-1/#respond Wed, 06 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39739 Mendaki ke Gunung Lawu lewat jalur Cetho bukanlah perjalanan yang sepele. Pengalaman dihajar hujan deras pada 2019 masih membekas di ingatan. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman Mundur sebentar ke Maret 2019. Ketika pertama kali...

The post Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendaki ke Gunung Lawu lewat jalur Cetho bukanlah perjalanan yang sepele. Pengalaman dihajar hujan deras pada 2019 masih membekas di ingatan.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman


Mundur sebentar ke Maret 2019. Ketika pertama kali memilih Candi Cetho untuk mendaki ke Gunung Lawu. Jalur ketiga yang saya lalui setelah lintas Cemoro Sewu—Cemoro Kandang pada Oktober 2013. Cetho adalah sebuah dusun tertinggi di Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, sekaligus jalur terpanjang menuju Hargo Dumilah, puncak tertinggi Lawu.

Kala itu hari-hari basah masih mendominasi hingga akhir triwulan pertama, khususnya di sekitar Gunung Lawu. Walau sejatinya tidak sampai menciutkan niat kami, sembilan orang dari lintas daerah, curah hujan tinggi bisa saja meruntuhkan fisik dan mental. Sebuah potensi gejolak alam yang sudah kami sadari. Hampir tak ada ekspektasi sekecil apa pun tentang puncak. Sejauh mana kami mampu melangkah, sejauh itu batas yang kami miliki.

Sampai akhirnya kami benar-benar tunduk pada waktu. Hujan merontokkan tekad sejak di atas Pos 3 Cemoro Dowo sampai Pos 4 Penggik. Air hujan mengalir di jalur yang berubah menjadi sungai. Tanah berlumpur dan licin. Petang kian surut, gerimis belum berhenti. Sementara pikiran, pandangan, hati, dan kaki sudah tidak sejalan. Kami benar-benar payah setelah hampir 10 jam berjalan. Beberapa teman menggigil. Gupakan Menjangan, target berkemah hari itu, tak kunjung kami gapai. Bulak Peperangan yang hanya beberapa puluh meter saja di depan tidak sanggup kami rengkuh. Di sabana terbuka selepas hutan cemara gunung, kami lepas ransel dan memutuskan mendirikan tenda di situ.

Di pikiran kami waktu itu, sudah tergambar tentang rencana keesokan harinya. Yang jelas, target puncak sudah tercoret dari daftar kunjungan. Kami hanya ingin hari esok lekas datang dan pulang dalam keadaan sehat. Dan di pikiran saya, suatu saat harus mengulang kembali perjalanan ke Lawu lewat jalur ini.

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Jalan terjal ke Dusun Cetho. Kendaraan harus benar-benar prima saat melalui jalan menuju Candi Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Pertanda Baik

Empat tahun berselang, saya kembali menyapa dusun di ketinggian 1.384 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut. Kali ini dengan persiapan yang lebih matang. Dari standar dua hari satu malam, saya memutuskan perjalanan remedial ini dengan menambah sehari semalam, dengan dua target titik camp di Pos 3 Cemoro Dowo dan Gupakan Menjangan. Pendakian menjadi lebih santai karena tidak berkejaran dengan waktu.

Empat rekan lain dalam tim belum pernah sama sekali mendaki lewat jalur ini. Sementara pengalaman terjauh saya pada 2019 lalu terdampar di sabana sebelum Bulak Peperangan. Hari itu (26/05/2023) hanya dua rombongan yang mendaki. Selain kami, ada satu grup besar anak-anak remaja di belakang kami dalam jarak yang cukup jauh.

Sebelum berangkat ke Cetho, saya berkomunikasi intensif dengan Mas Danang Eko Priyono. Dia adalah pemilik dan pengelola basecamp Exotisme Lawu dan rental perlengkapan outdoor OAOE di Cetho. Tahun 2019, saya menggunakan jasanya untuk jemput dan antar kami dari Stasiun Solo Balapan ke basecamp dan sebaliknya.

Melalui Whatsapp, saya memesan dan menyewa tiga peralatan, yaitu tenda dome berkapasitas empat orang, sebuah kompor portabel, dan headlamp (lampu kepala). Di rumah, saya hanya punya satu tenda berkapasitas dua orang. Rencananya tenda sewaan tersebut akan saya tempati bersama Aan dan Fadly, kawan dari Jogja. Adapun tenda milik saya akan ditempati Emma—adik ipar saya—dan Evelyne, rekan asal Purbalingga, yang pernah mendaki bareng ke Argopuro 2022 lalu. 

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Danang sedang mengecek perlengkapan yang kami sewa/Rifqy Faiza Rahman

Danang, sapaan akrabnya, siang itu sibuk sekali. Pemilik dan pengelola basecamp Exotisme Lawu, sebuah tempat istirahat pendaki yang bertempat di rumah keluarganya, sedang menyiapkan sejumlah perlengkapan pendakian. 

“Ada tamu, Mas? Naik sekarang?” saya coba memastikan.

“Besok, Mas, tapi nggak ke Lawu,” jawabnya.

“Loh, ke mana?”

“Sumbing sama Prau, Mas.” Tamunya serombongan dari Malaysia. Katanya, tamu langganan.

Ketika tiba sekitar pukul 10.00, basecamp yang kami singgahi kosong melompong.  Lokasinya dekat sekali dengan gerbang wisata Candi Cetho. Halaman depan bisa memuat parkir dua mobil. Pintu basecamp depan terbuka lebar. Kami masuk dan meletakkan tas di atas tikar-tikar sederhana yang biasa dipakai untuk sekadar duduk atau rebahan. Kami manfaatkan waktu mengemas ulang barang bawaan. Meskipun di dalam, posisi dusun yang sudah cukup tinggi membuat lantai rumah terasa menusuk kulit.

Usai packing, saya menemui Paul di teras basecamp. Seorang pendaki. Seorang pendaki senior dan berpengalaman dari Jakarta. Ia baru selesai mandi setelah turun gunung. Kami sempat mengobrol sebentar. Saya bertanya seputar kondisi jalur dan cuaca terkini padanya.

“Cuaca aman, Pak, di atas?”

Perfect! Pemandangannya bagus,” sahutnya mengacungkan jempol. Kami mengobrol dan berbagi pengalaman di gunung lain. Salah satu gunung yang ia ingin ulang adalah Argopuro. Paul tertarik dengan cerita saya mendaki di kawasan suaka margasatwa Dataran Tinggi Iyang tersebut selama tujuh hari enam malam.

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Ruang utama basecamp milik Danang/Rifqy Faiza Rahman

Secara keseluruhan, berdasarkan informasi yang saya himpun dari Danang dan Paul, jalur dari Candi Cetho sekilas tidak banyak berubah. Ketersediaan sumber air satu-satunya di Pos 3 Cemoro Dowo juga aman. Cemoro Dowo adalah target camp di hari pertama ini, sekaligus tempat mengisi ulang bekal air untuk pendakian hari kedua. Info lainnya, terdapat warung milik warga dan fasilitas toilet sederhana di Pos 3.

Informasi itu menjadi bekal data berharga bagi kami. Saya makin yakin bahwa program pendakian santai selama tiga hari dua malam adalah rencana yang realistis untuk perjalanan kali ini. Kami tidak perlu ngoyo seperti pengalaman saya dahulu, yang terlalu memaksakan diri tancap gas ke Gupakan Menjangan dalam satu hari. Setiap orang memiliki ketahanan fisik yang berbeda, sehingga perlu jalan tengah untuk menahan ego masing-masing dan perjalanan pun menjadi nyaman.

Persiapan Akhir

Kami sepakat akan memulai pendakian setelah saya, Aan, dan Fadly salat Jumat di masjid dusun. Salat Jumat biasanya dimulai sekitar pukul 12.00 tepat. Saya melihat arloji, masih ada waktu 45 menit untuk menyempatkan makan siang sebentar.

Saat itu belum banyak warung yang buka dan memiliki menu lengkap. Warung yang ada di halaman basecamp Danang pun tidak beroperasi. Si pemilik warung malah menyarankan kami untuk beli makan di warung seberang.. 

Sesuai arahannya, kami bergegas ke warung yang ditunjuk ibu itu. Tidak ada nama khusus yang melekat di warung sederhana itu. Selain menu, salah satu yang mencolok adalah tulisan dari cat “24 jam” di muka dan samping warung. Saya melihat beberapa orang yang sedang makan. Rata-rata pengunjung Candi Cetho, baik yang sekadar berwisata maupun bersembahyang.

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Warung makan (kanan) di seberang basecamp Danang. Tampak gapura wisata Candi Cetho di ujung jalan menanjak/Rifqy Faiza Rahman

Hanya satu orang yang menjaga warung beratap seng itu. Seorang bapak paruh baya yang memakai jaket. Ia menyilakan kami duduk di ruang kosong dekat dapur dan posisinya lebih rendah dari tempat lesehan di depan. Untuk mengisi tenaga, kami memesan nasi goreng telur dan minuman hangat. Khusus yang laki-laki, kami makan lebih cepat karena harus segera ke masjid. Terdengar azan pertama sudah berkumandang.

Bapak warung memberitahu lokasi masjid. Lewat jendela di samping warung, ia menunjuk ke arah bawah. Sedikit terlihat kubah kecil masjid dengan corong suara di bagian menara. Ketika saya cek di peta, jaraknya sekitar 300 meter dengan kontur jalan kampung menurun. Ini berarti saat kembali ke basecamp kami harus mendaki dengan jarak yang sama. Lumayan buat pemanasan, pikir saya.

Khutbah Jumat cukup singkat dan jemaah yang hadir sekitar 5-6 saf. Yang menarik adalah adanya makanan ringan yang disediakan takmir setelah salat Jumat. Sebuah jajanan pasar yang manis dan saya sampai mengambil dua kali.

Setibanya di basecamp, kami melakukan persiapan akhir. Kami mengecek ulang perlengkapan dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Beberapa barang bawaan yang tidak dibawa saya masukkan ke mobil yang terparkir di halaman bawah basecamp. Saya pamit ke Mas Danang di kios rentalnya.

“Mas, kami naik dulu, ya. Titip mobil.”

“Oke, Mas. Hati-hati di jalan.”

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Memulai langkah pendakian ke Gunung Lawu dari Dusun Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Tepat pukul 13.00 kami berjalan meninggalkan basecamp. Rutenya naik sedikit di atas basecamp lalu belok kiri menyusuri gang di bawah Ceto Coffee sampai menemui perempatan kecil. Dari persimpangan itu, kami belok kanan dan menaiki anak tangga hingga ke pos perizinan pendakian. Jaraknya hanya 100 meter atau lima menit jalan kaki.

Kabut dan mega yang sempat menyelimuti Ceto perlahan terkuak. Sinar matahari menembus celah-celah pohon. Sebuah awal yang baik untuk pendakian hari pertama. Selanjutnya tergantung pada langkah kami.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-gunung-lawu-via-candi-cetho-1/feed/ 0 39739