pendakian Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pendakian/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 27 Nov 2023 02:12:22 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pendakian Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pendakian/ 32 32 135956295 Gunung Api Purba Nglanggeran dan Dua Orang Kawan Jauh https://telusuri.id/gunung-api-purba-nglanggeran-dan-dua-orang-kawan-jauh/ https://telusuri.id/gunung-api-purba-nglanggeran-dan-dua-orang-kawan-jauh/#respond Tue, 05 Dec 2023 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40152 Saat kejenuhan menghampiri diri yang terjebak dalam rutinitas, melakukan perjalanan jauh dengan cara yang berbeda dari sebelumnya barangkali bisa menjadi jawaban. Karena keseharian yang monoton itulah, saya menyanggupi menjadi pemandu untuk dua orang kawan yang...

The post Gunung Api Purba Nglanggeran dan Dua Orang Kawan Jauh appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat kejenuhan menghampiri diri yang terjebak dalam rutinitas, melakukan perjalanan jauh dengan cara yang berbeda dari sebelumnya barangkali bisa menjadi jawaban. Karena keseharian yang monoton itulah, saya menyanggupi menjadi pemandu untuk dua orang kawan yang sedang berlibur ke Yogyakarta.

Jarum arloji menunjukkan pukul 13.45 WIB ketika saya tiba di parkiran depan poliklinik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Jumat, 2/6/2023). Sehari sebelumnya, saya bersama Eka dan Nurul, dua orang kawan saya asal Subang, Jawa Barat, telah bersepakat untuk menjadikan masjid kampus ini sebagai titik kumpul sebelum berangkat bersama ke Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul dengan berboncengan mengendarai sepeda motor.

Dengan ekspresi wajah menahan terik matahari, Eka dan Nurul mengaku sudah lama menunggu saya. Saya menghampiri mereka sembari mencoba menenangkan dan meyakinkan bahwa penantian mereka akan terbayarkan dengan perjalanan di hari ini. 

Tak lama, Asrijal, kawan satu daerah dan satu prodi selama kuliah S1 juga datang dan menggenapkan rombongan kami menjadi empat orang. Serentak kami memulai perjalanan menuju lokasi, meninggalkan Kota Yogyakarta yang teriknya saya rasakan membasahi jersey tandang Timnas Sepakbola Indonesia di balik jaket outdoor yang saya kenakan.

Perjalanan kami menuju Gunung Api Purba Nglanggeran yang terletak di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul memakan waktu sekitar 50 menit. Estimasi waktu ini termasuk ketika mampir di salah satu minimarket untuk membeli cemilan. Lokasi gerai ini berada di Piyungan, sesaat sebelum menanjak ke “lantai dua Yogyakarta”, sebutan popular untuk menggambarkan Kabupaten Gunungkidul yang terletak di jajaran Pegunungan Sewu.

Roda kendaraan dengan mulus melewati jalur menanjak dan berkelok-kelok ala pegunungan. Kami pun mengikuti petunjuk jalan dan melewati jalan kabupaten hingga tiba di di Desa Nglanggeran—sebuah desa wisata yang baru-baru ini mendapatkan penghargaan Desa Wisata Mandiri Inspiratif dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada 2 Desember 2021, Nglanggeran juga berhasil masuk dalam salah satu desa wisata terbaik di dunia oleh United Nation World Tourism Organization (UNWTO), sebuah badan PBB yang memiliki kewenangan dalam mempromosikan pariwisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Gunung Api Purba Nglanggeran
Pintu masuk sekaligus pos registrasi Gunung Api Purba Nglanggeran/Ammar Hilmi

Setibanya di sana, kami membeli tiket masuk seharga Rp15.000/orang dan membayar parkir motor. Usai menunaikan ibadah salat Asar, barulah kami memulai pendakian menuju ketinggian kurang lebih 700 mdpl.

Melansir dari situs gunungapipurba.com, material batuan penyusun Gunung Nglanggeran merupakan endapan vulkanik tua berjenis andesit (Old Andesite Formation). Jenis batuannya antara lain breksi andesit, tufa, dan lava bantal. Singkapan batuan vulkaniklastik yang ditemukan di Gunung Nglanggeran kenampakannya sangat ideal dan oleh karena itulah maka, satuan batuan yang ditemukan di Gunung tersebut menjadi  lokasi tipe (type location)  dan diberi nama Formasi Geologi Nglanggeran.

Berbeda dengan jalur pendakian pada umumnya yang didominasi oleh vegetasi rapat dan pohon-pohon yang menjulang tinggi, pepohonan di jalur Gunung Api Purba tidak terlalu lebat sehingga kita masih dapat permukiman penduduk. Tingkat kemiringan jalur juga tidaklah terlampau ekstrem sehingga aman bagi orang yang belum pernah mendaki sebelumnya. Beruntunglah kami, meski di awal terkesan shock dengan trek yang dilalui namun langkah demi langkah tetap terlewati. 

Kedua kawan saya, Eka dan Nurul rupanya tidak menyangka jika kami akan mendaki. Hal ini sangat kontras dengan outfit mereka kenakan yang lebih cocok untuk wisata-wisata ‘santai’. Efeknya, beberapa kali kami harus singgah beristirahat untuk mengatur pernafasan. Beruntungnya, mereka telah punya pengalaman mendaki gunung, tidak begitu kaget meski persiapan fisik kurang.

Beberapa kali kami melewati jalur sempit yang berada di celah-celah bebatuan besar. Saking sempitnya, jalur hanya mampu dilewati oleh satu orang saja. Untuk keamanan, di beberapa bagian jalur telah terpasang alat bantu yang memudahkan wisatawan melewati jalur. Tangga besi misalnya, sangat membantu kami dalam menapaki batu-batu besar. Begitupun dengan tali webbing di beberapa titik sangat efektif menjaga kami agar tidak terpeleset.

Sekitar satu jam perjalanan dengan diselingi beberapa kali istirahat, tibalah kami di puncak Gunung Api Purba, titik tertinggi Yogyakarta. Tekstur puncak berupa bebatuan purba membuat pohon sama sekali tidak tumbuh di area ini. Di sekeliling tampak perkampungan warga yang terlihat kecil. Vegetasi terbuka membuat angin bertiup kencang menerpa kami. Beberapa orang mendirikan tenda di camp area yang sebelumnya kami lewati sesaat sebelum mencapai puncak.

Di sebelah barat matahari semakin turun yang menandakan sebentar lagi siang berganti malam. Kurang lebih 30 menit kami duduk dan berbincang di puncak sembari menikmati senja. Selepas itu, tentu saja bergegas turun agar saat tiba di pos registrasi suasana belumlah terlalu gelap.

Jalur turun yang kami lalui berbeda dengan jalur saat naik. Barangkali karena jalur sempit tadilah yang membuat pengelola kawasan akhirnya menyediakan jalur yang berbeda untuk turun. Perjalanan ke bawah, memakan waktu kurang dari satu jam.

Setelah istirahat dan menunaikan ibadah salat Magrib, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah warung makan yang berada di kawasan Bukit Bintang. Sembari memandangi gemerlap lampu rumah-rumah penduduk dari kejauhan, kami pun kembali mengobrol santai membicarakan lelah hari ini. Hangatnya obrolan ini, ternyata mampu menghilangkan kejenuhan saya yang perlahan tapi pasti suatu saat akan terjebak kembali pada rutinitas yang sama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gunung Api Purba Nglanggeran dan Dua Orang Kawan Jauh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gunung-api-purba-nglanggeran-dan-dua-orang-kawan-jauh/feed/ 0 40152
Mendaki Gunung: Dulu dan Kini https://telusuri.id/mendaki-gunung-dulu-dan-kini/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-dulu-dan-kini/#respond Tue, 07 Feb 2023 04:00:49 +0000 https://telusuri.id/?p=37156 Sekilas jika kita mengamati di media sosial, mendaki gunung tampak begitu keren dan mengasyikkan. Berfoto ria di tugu atau plakat puncak gunung, dengan latar belakang lautan awan, ditambah lagi sedang memegang bendera nasional atau bendera...

The post Mendaki Gunung: Dulu dan Kini appeared first on TelusuRI.

]]>
Sekilas jika kita mengamati di media sosial, mendaki gunung tampak begitu keren dan mengasyikkan. Berfoto ria di tugu atau plakat puncak gunung, dengan latar belakang lautan awan, ditambah lagi sedang memegang bendera nasional atau bendera organisasi, tak salah memang jika orang-orang ramai-ramai untuk mengupload dan membagikannya di media sosial masing-masing. 

Berbekal caption dari karangan sendiri—mungkin juga mengutip quote tokoh tertentu—plus berbagai hastag kekinian, para pendaki ini berharap unggahan mereka mendapat banyak like dan repost oleh akun-akun yang membahas dunia pendakian. Dengan harapan postingannya bisa viral, bertambah followers, dan semakin dikenal oleh khalayak ramai.

Tapi ada satu hal yang membuat saya sedikit geli dengan fenomena pendakian zaman sekarang. Walau saya sendiri tidak mengklaim diri sebagai pendaki profesional yang telah berpengalaman dan dilengkapi dengan peralatan mendaki yang canggih nan mahal, tapi saya turut dibuat gatal untuk mengomentari, atau sedikit memberi pencerahan kepada mereka-mereka yang hendak mencoba merasakan sensasi mendaki gunung. 

Saya jadi teringat dengan salah satu pesan dari kanal YouTube salah pendaki terkenal negeri ini. Dia mengatakan bahwa setelah mendaki gunung itu, hanya akan ada dua kemungkinan: pertama, kapok dan tidak akan mendaki gunung lagi. Kedua, ketagihan dan ingin lanjut mencoba mendaki di gunung yang lain. 

Kita tidak bisa menafikan bahwa atmosfer pendakian gunung yang sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan pendakian zaman dahulu. Zaman dahulu, yang mana orang tua kita mungkin masih berusia 20 tahunan, pendakian itu identik dengan kegiatan rutin organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (disingkat MAPALA, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Soe Hok Gie). Namun di zaman sekarang semua golongan bisa merasakan sensasi mendaki gunung tanpa harus berstatus sebagai anggota aktif MAPALA. Tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, semuanya bisa melakukan  pendakian.

Sindoro Sumbing
Gunung Sumbing tampak dari Gunung Sindoro/Ammar Mahir Hilmi

Zaman yang lebih lampau, kegiatan mendaki gunung biasanya untuk tujuan observasi lapangan, pemetaan kondisi geografis, penelitian keanekaragaman flora dan fauna, hingga ekspedisi penaklukan puncak gunung yang belum pernah terjamah oleh manusia sebelumnya. 

Sedangkan di zaman sekarang, [kebanyakan] pendakian saat ini lebih didominasi untuk tujuan wisata—kalau tidak dikatakan untuk mengikuti tren masa kini. Untuk sekedar foto-foto atau video dokumentasi. Namanya juga era Revolusi Industri 4.0, semuanya tidak akan lengkap tanpa ada bukti digital.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan tren seperti ini. Foto-foto, membuat vlog, lalu kemudian mengunggahnya sebagai konten di media sosial selama untuk tujuan edukasi ataupun promosi pariwisata justru merupakan hal yang harus kita dukung agar penyebaran konten yang edukatif dapat mengimbangi arus konten negatif yang sering wara-wiri.

Ada salah satu kanal YouTube pendaki yang menjelaskan bahwa tujuan ia mendokumentasikan perjalanan pendakiannya adalah agar orang-orang yang belum pernah mendaki gunung bisa turut merasakan sensasi mendaki gunung dan melihat pemandangan meski hanya melalui perantara dunia virtual.

Yang menjadi permasalahan saat ini yaitu jika pendakian hanya sekedar untuk pamer ria hasil jepretan maupun vlog di media sosial namun tidak peduli dengan kondisi lingkungan di gunung yang ia kunjungi. 

Saya kira slogan “gunung bukan tempat sampah,” “bawa turun sampahmu,” “pendaki bijak meninggalkan jejak, bukan sampah,” mungkin sudah sangat familiar dan banyak terpampang di basecamp, petunjuk arah jalur pendakian, hingga di puncak gunung. Ini harusnya bukan sekedar slogan hiasan semata, tapi merupakan himbauan yang wajib dipatuhi bagi siapa saja yang hendak mendaki gunung.

Sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kita akan anugerah keindahan alam, maka sudah seharusnya kita menjaganya, tidak malah membiarkan atau bahkan ikut merusak lingkungan tanpa ada rasa bersalah sama sekali. 

  • Sindoro Sumbing
  • Gunung Sumbing
  • Gunung Prau

Saya menyaksikan sendiri, orang banyak yang mengaku pendaki tapi malah meninggalkan sampahnya di lokasi berkemah. Saya tidak habis pikir dengan kejadian seperti ini. Tujuan mereka mendaki gunung untuk apa sih? Kalau hanya untuk sekedar swafoto, kan masih banyak spot foto lain yang lebih mudah dijangkau dan tidak harus capek-capek mendaki sampai badan jadi pegal. 

Bahkan yang lebih parah, saya pernah menyaksikan sendiri seorang pendaki yang tanpa merasa bersalah mencabut bunga yang ada di puncak gunung lalu ia gunakan untuk berfoto-foto dengan pasangannya. Anjay, lebay kali. Lagi-lagi, walau saya bukanlah pendaki hebat yang telah menaklukkan seven summit dunia, saya merasa jengkel saja jika melihat kelakuan-kelakuan pendaki seperti ini. Bukan untuk merefleksikan kehidupan, ia malah merusak dan membunuh kehidupan. Bukannya bersyukur atas nikmat Tuhan yang diberikan, ia malah dibuat  angkuh dengan postingan di media sosialnya yang full filter plus caption ala-ala dunia percintaan.

Pada akhirnya saya hanya ingin mengatakan bahwa jika pendakian hanya untuk tujuan serendah dan sesempit ini, maka lebih baik gunung-gunung ditutup saja dan tidak ada lagi yang boleh masuk kecuali para petugas ataupun relawan pemerhati alam dan lingkungan. Atau setidaknya hanya mereka yang berstatus sebagai anggota pecinta alam yang telah lulus pelatihan dasar yang boleh melakukan pendakian. 

Atau ambilah solusi yang paling realistis, ikut dulu pelatihan singkat tentang dunia pendakian sebelum memulai langkah mendaki. Setelah mendapat sertifikat kelulusan, barulah diperbolehkan untuk masuk ke wilayah pendakian. Kenapa? agar orang-orang bisa mengerti bahwa tujuan mendaki tidak sekedar mencari sensasi, melainkan untuk tujuan mulia tentang rasa syukur dan penuh tanggung jawab.

Ketahuilah bahwa pada hakikatnya tujuan dari pendakian itu untuk merefleksikan kehidupan, tentang kerendahan hati, tentang rasa syukur akan nikmat Tuhan, hingga mencoba menemukan makna dari setiap perjalanan. Bukan malah pamer kemampuan membawa carrier yang begitu besar, berlomba-lomba siapa yang paling cepat sampai ke puncak, atau bahkan untuk mencari sensasi lewat postingan di dunia maya yang acap kali serba menipu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung: Dulu dan Kini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-dulu-dan-kini/feed/ 0 37156
Bernasib Malang di Bukit Malang https://telusuri.id/bernasib-malang-di-bukit-malang/ https://telusuri.id/bernasib-malang-di-bukit-malang/#respond Wed, 28 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36753 Setelah merencanakan kurang lebih dua minggu, saya dan seorang sahabat karib saya memutuskan untuk melakukan pendakian ke salah satu bukit yang ada di Lombok Timur, Bukit Malang namanya. Pendakian kali ini sedikit berbeda dari pendakian-pendakian...

The post Bernasib Malang di Bukit Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah merencanakan kurang lebih dua minggu, saya dan seorang sahabat karib saya memutuskan untuk melakukan pendakian ke salah satu bukit yang ada di Lombok Timur, Bukit Malang namanya. Pendakian kali ini sedikit berbeda dari pendakian-pendakian sebelumnya, sebab kali ini kami hanya berangkat berdua (duo hiking) saja.

Ini bukan kali pertama saya dan sahabat saya—Ridho—mendaki. Kami masing-masing pernah ke Gunung Rinjani, meskipun pendakian ke sana tidak kami lakukan bersama. Nah, tujuan pendakian kali ini tentunya sebuah tempat baru. Perjalanan “konyol” ini pun kami mulai.

Sebelum berangkat, kami mencoba mencari informasi terkait estimasi perjalanan dalam pendakian. Setelah merancang itinerary, kami berangkat tepat pukul 15.00 WITA menuju pintu pendakian. Kurang lebih 30 menit perjalanan, kami tiba di area parkir pendakian Bukit Malang.

Bukit Malang memiliki dua jalur pendakian yakni Sapit dan Tombong Rebu. Namun kali ini, kami memilih pendakian melalui jalur Sapit.

Setelah istirahat beberapa saat, kami kemudian melakukan registrasi dan menerima arahan dari para pengelola terkait apa saja yang tidak boleh dilakukan, dan tentu peringatan untuk membawa kembali turun sampah dari atas.

Perjalan kami mulai.

“Selamat Datang di Bukit Malang” menyambut mula perjalanan ini.

Jalan yang cukup landai sempat menipu kami. Memang benar, di dalam pendakian itu kita tidak bisa menebak apapun, baik jalan maupun hal-hal lainnya. Kami terus menyusuri sabana yang ditumbuhi ilalang, sesekali nampak warga yang sedang bertani karena memang jalan setapak yang kami lalui ini sepertinya jalan untuk warga berangkat ke sawah dan kebun.

Melewati sabana yang cukup luas dan panjang akhirnya kami sampai di pintu rimba, artinya perjalanan kami akan segera memasuki hutan. Menurut informasi yang kami dapatkan, estimasi perjalanan yang akan kami tempuh kurang lebih tiga jam. 

“Jangan-jangan bukitnya ada di balik bukit yang itu?” ucap Ridho secara tiba-tiba setelah melihat susunan bukit di depannya. Saya hanya diam saja sambil memikirkan ucapannya, jangan-jangan ini benar?

Saya tidak mau sibuk memikirkan kalimat tersebut, kami terus melanjutkan perjalanan menuju hutan dengan vegetasi yang lebat. Hawa dingin mulai menyelimuti, sesekali kami bertemu beberapa pendaki lain. Setelah berjalan cukup lama, kami memutuskan untuk berhenti minum. 

Kami terus menerobos lebatnya hutan. Jalan yang kami lalui mulai sedikit menanjak terkadang landai, terus seperti itu. Akhirnya, kami sampai di persimpangan jalan yang mempertemukan jalur yang kami lalui dan jalur satunya.

Menurut penjelasan dari pengelola, terdapat dua mata air dan letaknya berada di Pos 1 dan Pos 2, namun masih belum ada tanda tanda terlihat Pos 1 sebagai tempat mata air pertama. Setelah berjalan hampir dua jam akhirnya kami sampai di mata air pertama. Rupanya, mata air pertama ini adalah sungai, namun karena kami datang disaat musim kemarau sungai tersebut kering, hanya ada beberapa genangan saja. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan mengambil air di Pos 2.

Satu jam menjelajahi rimba, melewati jalan yang menanjak, lalu landai dan menanjak lagi, akhirnya sampai di Pos 2. Tidak ada penanda khusus di Pos 2, hanya tulisan yang terpasang di atas pohon sebagai penanda.

Di sini ramai pendaki lain sedang menunggu kawan-kawannya yang mengambil air, kami memutuskan langsung mengambil air dan memilih istirahat di sana.

Awal Mula Bernasib Malang

Setelah menunggu antrian cukup lama, kami mendapat giliran untuk mengambil air. Beberapa botol kami isi sebagai perbekalan selama di atas nanti, sebab inilah mata air terakhir. Setelah mengisi semua botol, kami packing ulang.

Begitu beres semua, barulah kami melanjutkan perjalanan. Kawan saya, Ridho sempat salah dalam mengambil langkah yang membuat kakinya sedikit terkilir, yang akhirnya mengganggu cara dia berjalan dan melambatkan tempo perjalanan.

Jam di tangan menunjukan pukul 18.00 WITA sementara kami belum sampai di Pos 3. Petang perlahan menyapa, hawa dingin menyelimuti tubuh kami, dan kabut mulai menemani setiap langkah. Perlahan, kami terus menyusuri jalur pendakian sementara kawan saya, terus menahan rasa sakitnya. Hingga puncaknya saat kami hampir sampai di Pos 3, dia sudah tidak mampu melanjutkan perjalanan dan kami memutuskan beristirahat di dekat Pos 3.

Saya kemudian menawarkan, apakah kita akan bangun tenda di sini saja, sambil menunjuk tahan yang lapang cukup untuk membangun tenda, namun Ridho menolak. Sambil menunggu  ia  mengembalikan tenaganya, beberapa rombongan pendaki yang lain tiba dan beristirahat tepat di samping kami, ada pendaki perempuan yang nampak kesal kepada kawannya karena terus dibohongi.

“Kalau masih jauh, jangan bilang lima menit lagi sampai,” ucapnya dengan nada kesal sambil menangis. 

Sudah menjadi rahasia umum dalam pendakian, kalimat-kalimat tadi lazim berkumandang, meskipun puncak masih jauh.

Tenaga sudah kembali pulih, meskipun kaki yang terkilir tak kunjung membaik. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan langkah yang terselimuti rasa nyeri. Perlahan saja, kami berjalan. Sesekali bahkan berhenti karena tidak mampu menahan rasa sakit yang terus menyerang. Air mata Ridho sesekali juga menetes karena rasa sakit pada kakinya tak terbendung.

Area Camp Bukit Malam
Area Camp Bukit Malam/Robby Firmansyah

Satu jam berlalu, kami tiba di campsite. Pendaki lain yang sudah membangun tenda. Aroma masakan mereka mulai tercium, suara musik dari speaker saling bersambut. Kami menyusuri setiap sela tenda sembari mencari lokasi untuk mendirikan tenda.

Setelah menemukan lokasi yang pas, tenda dan seluruh perlengkapannya kami keluarkan dari dalam tas. Agak multitasking, kami nyambi masak nasi, agar nanti setelah tenda berdiri, kami bisa langsung menyiapkan bahan masakan untuk dijadikan lauk.

Tempe, wortel, dan kentang kemudian menjadi sasaran untuk kami olah. Dan, setelah semua matang, kami memasukkannya ke dalam mulut, mengisi perut yang sudah kosong sambil bercerita.

Perlahan kami terlelap. Namun, sekitar pukul 23.00 WITA, terjadi gempa. Di luar terdengar riuh suara pendaki yang berhamburan keluar tenda. Kami tetap memilih berdiam di dalam tenda dan melanjutkan istirahat.

Sunrise di Bukit Malang

Sekitar pukul 05.00 WITA kami bangun tidur, kemudian bersih-bersih dan salat Subuh. Rencananya, kami mau melanjutkan pendakian ke puncak Bukit Malang. Namun, rencana tersebut akhirnya berubah menjadi wacana. Melihat kondisi yang tidak memungkinkan, kami memilih menghabiskan waktu matahari terbit di campsite saja. Dan rupanya banyak pendaki yang tidak naik puncak, dan memilih sunrise-an di sini.

Usai mengabadikan beberapa jepret foto, kami kembali ke dalam tenda untuk memasak. “Cacing-cacing” dalam perut sudah memberontak meminta makan.

Puncak Bukit Malang
Puncak Bukit Malang/Robby Firmansyah

Dari Bukit Malang, kami bisa melihat puncak Rinjani, Sabana Propok, dan beberapa bukit lainnya. Matahari semakin meninggi, kami memutuskan untuk turun. Dalam perjalanan turun, sakit di kaki Ridho kembali mengganggu. Tentunya dengan tetap berjalan dengan pelan dan hati-hati, kami berhasil turun dengan selamat.

Perjalanan ini menjadi pengalaman mengesankan untuk saya dan Ridho. Pendakian berdua, dengan kurangnya riset, informasi, dan persiapan yang mengakibatkan perjalanan “agak” mulus.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bernasib Malang di Bukit Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bernasib-malang-di-bukit-malang/feed/ 0 36753
Menyapa Tahun Baru di Gunung Latimojong https://telusuri.id/menyapa-tahun-baru-di-gunung-latimojong/ https://telusuri.id/menyapa-tahun-baru-di-gunung-latimojong/#respond Fri, 23 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36709 “Cuy, taun baruan naik gunung yuk!” ajak temanku, ketika aku sedang tidur-tiduran di dalam masjid. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA kelas 11. “Ke mana?” tanyaku kepadanya, Argo, yang memang pada saat itu...

The post Menyapa Tahun Baru di Gunung Latimojong appeared first on TelusuRI.

]]>
Cuy, taun baruan naik gunung yuk!” ajak temanku, ketika aku sedang tidur-tiduran di dalam masjid. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA kelas 11. “Ke mana?” tanyaku kepadanya, Argo, yang memang pada saat itu merupakan salah satu sahabat pendakianku. “Latimojong, Sulawesi,” jawabnya dengan semangat. Tanpa berpikir dua kali aku langsung mengiyakan tawaran tersebut. Momen pendakian Gunung Latimojong ini sekaligus menjadi agenda liburan tahun baru 2017.

Gunung Latimojong berada di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Latimojong merupakan gunung tertinggi di Sulawesi dengan puncak bernama Bulu Rantemario di ketinggian 3.478 mdpl.

Pegunungan Latimojong membentang dari selatan ke utara. Bagian baratnya berada di Kabupaten Enrekang, utaranya berada di Kabupaten Tana Toraja. Bagian selatannya, berada di Kabupaten Sidenreng Rappang dan bagian timurnya berada di Kabupaten Luwu hingga pinggir pantai Teluk Bone.

Kami berenam—aku, Argo, Wahyau, Duni, Kar, dan ayahnya Argo—berangkat menggunakan pesawat dari bandara Soekarno-Hatta di Jakarta menuju bandara Sultan Hasanuddin di Makassar. Untuk bisa sampai di Basecamp Gunung Latimojong, kami harus melakukan perjalanan jauh dari Kota Makassar menuju Kecamatan Baraka. 

Dengan kendaraan pribadi yang kami sewa sebelumnya—banyak travel yang menawarkan dengan kisaran biaya 1-2 juta rupiah tergantung negosiasi—perjalanan kami tempuh sekitar 7 jam, sebelum akhirnya tiba di Kecamatan Baraka. Begitu tiba pada malam hari, kami sesegera mungkin mempersiapkan perlengkapan, lalu beristirahat.

Salah satu hal seru di perjalanan menuju Gunung Latimojong adalah kami menumpang mobil jip untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Karangan. Jalan yang berliku-liku, naik dan turun menemani perjalanan kami sembari menikmati pemandangan hamparan perbukitan Enrekang. “Hajar… Hajarrr… Eeaaa…” teriak pendaki lain asal Sulawesi menyemangati jip yang kami tumpangi melewati jalan rusak dan berlumpur. 

Beberapa jam kemudian, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki untuk sampai basecamp di Desa Karangan. Di sinilah pendaki bisa beristirahat sembari mempersiapkan pendakian. Sederhana, basecamp pendakian berbentuk rumah panggung, pemiliknya yakni salah satu warga Desa Karangan. Kami menginap semalam di sana untuk mempersiapkan logistik. Esok paginya, barulah kami memulai pendakian ke Gunung Latimojong.

Pos demi Pos Gunung Latimojong

Pagi hari setelah sarapan dan pemanasan tubuh, kami memulai pendakian dari Desa Karangan menuju Pos 1. Durasinya sekitar 90 menit dengan medan jalan aspal dan tanah. Tak buruk, kendaraan bermotor masih bisa melewati jalan ini. Di kanan kiri jalan, masih banyak rumah dan ladang masyarakat sekitar. Para petani dari desa, biasa pergi ke ladang juga melewati jalan ini. Tutur sapa antara kami dengan warga menghiasi pagi hari. 

Untuk menuju pos selanjutnya, kami membutuhkan waktu sekitar dua jam. Semakin jelasnya suara aliran sungai dan bertemu sebuah jembatan menjadi pertanda bahwa kami akan tiba di sana. Begitu tiba di Pos 2, Gua Pak-Pak menyambut kedatangan kami. Di sini juga terdapat sebuah air terjun yang menjadi salah satu sumber air bagi pendaki.

Perjalanan kami lanjutkan ke Pos 3 dengan durasi sekitar 50 menit. Kami mengeluarkan tenaga lebih saat perjalanan ini karena jalurnya cukup terjal. Dari sini hingga Pos 5, tidak ada sumber air. Oleh karenanya, kami harus menghemat persediaan air yang kami bawa. Beberapa kali kami beristirahat untuk mengatur tempo pernafasan agar tidak terlalu cepat lelah.

  • Hutan lumut
  • Jembatan kayu
  • kabut

Setelahnya, kami bertemu dengan yang cukup datar dan lumayan curam saat menuju Pos 4. Kurang lebih, satu jam kami berjalan di hutan yang banyak tumbuh lumut. Dari sini, kami melanjutkan perjalanan selama dua jam menuju Pos 5. Kaki kami mulai terasa pegal dan kram. Wajar saja, jalur pendakian Gunung Latimojong di dominasi oleh tanjakan semua. Hujan menemani kami begitu tiba, tenda pun langsung kami dirikan. Selain luas, di Pos 5 juga terdapat sumber mata air sehingga cocok untuk camp site.

Makan malam kami siapkan. Usai perut kenyang, tidur menjadi pilihan karena esok kami akan melanjutkan pendakian menuju puncak Gunung Latimojong. Rante Mario kami datang!

Perjalanan Menuju Puncak

Udara dingin dan mata yang masih menahan kantuk harus aku paksakan. Setelah menyiapkan beberapa logistik barang yang akan kami bawa ke puncak, kami melanjutkan perjalanan. Menuju Pos 6, hutan lumut kembali menyambut. Jalur pendakiannya cukup menanjak dengan estimasi waktu 90 menit. Untuk menuju ke Pos 7 pun sama, perjalanan pendakian melewati hutan lumut, yang tampak semakin menarik dalam bidikan lensa kamera.

Balok besar di atas batu bertuliskan “Rantemario 3478 MDPL” menjadi penanda bahwa kami sudah tiba di puncak. Akhirnya, setelah perjalanan panjang, tiba juga kami di sana.

Sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam benakku untuk mendaki gunung di luar Pulau Jawa. Mungkin rasa penasaran mendaki gunung-gunung selain di Jawa menjadi pemantiknya. Apalagi setiap gunung memiliki karakteristik masing-masing. Tentunya, melalui pendakian ini aku merasa makin terpanggil untuk turut melestarikannya. Supaya generasi kita selanjutnya, masih bisa menapakinya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyapa Tahun Baru di Gunung Latimojong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyapa-tahun-baru-di-gunung-latimojong/feed/ 0 36709
Pendakian Bersama Gunung Lawu dari Basecamp Candi Ceto https://telusuri.id/pendakian-bersama-gunung-lawu-dari-basecamp-candi-ceto/ https://telusuri.id/pendakian-bersama-gunung-lawu-dari-basecamp-candi-ceto/#respond Fri, 14 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35310 Langit sore kota Solo tampak mendung ketika saya bersama teman saya yang bernama Nanda tiba di stasiun Solo Balapan yang menjadi titik kumpul dari kegiatan Consina Responsible Tracker 2021 (Selasa, 26/10/2021). Cerita ini terjadi hampir...

The post Pendakian Bersama Gunung Lawu dari Basecamp Candi Ceto appeared first on TelusuRI.

]]>
Langit sore kota Solo tampak mendung ketika saya bersama teman saya yang bernama Nanda tiba di stasiun Solo Balapan yang menjadi titik kumpul dari kegiatan Consina Responsible Tracker 2021 (Selasa, 26/10/2021). Cerita ini terjadi hampir setahun lalu, tepatnya saat mendaki ke Gunung Lawu Oktober 2021. Meski telah berlalu, namun kurang rasanya jika saya tidak menuliskannya menjadi sebuah cerita.

Berbeda dari pendakian-pendakian sebelumnya yang hanya bersama teman-teman dekat, pendakian kali ini terasa istimewa karena menjadi pengalaman pertama bagi saya untuk mengikuti ajang pendakian bersama yang dihadiri oleh para pendaki dari berbagai wilayah. Ketika pertama kali saya mendapat informasi pendakian ini melalui akun media sosial, tanpa berpikir panjang saya langsung menghubungi kontak tertera dan mendaftar untuk turut berpartisipasi. Sembari mengajak juga salah satu kawan agar saya ada teman perjalanan dari Yogyakarta.

Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda 2021, para pendaki yang tergabung dalam kegiatan pendakian bersama bertajuk Consina Responsible Tracker Gunung Lawu 2021 melaksanakan pendakian di Gunung Merbabu via Candi Ceto, Karanganyar, Jawa Tengah. Kegiatan ini diinisiasi dan difasilitasi oleh Consina, salah satu brand kegiatan outdoor di Indonesia. Stasiun Solo Balapan dipilih sebagai meeting poin karena letaknya yang cukup strategis dan mempunyai akses langsung ke Basecamp Candi Cetho di Kabupaten Karanganyar.

Malam pun hadir beriringan dengan hujan yang sangat deras hingga memaksa rombongan pendaki dan tim pelaksana untuk segera bergeser meninggalkan Kota Solo menuju basecamp. Perjalanan dari Kota Solo menuju Basecamp Candi Cetho di Karanganyar memakan waktu kurang lebih dua jam perjalanan darat. 

Gunung Lawu Candi Ceto
Gerbang Candi Ceto/Ammar Mahir Hilmi

Setibanya di basecamp pada malam hari sebelum memulai pendakian, para rombongan pendaki bersama panitia pelaksana dari pihak Consina melakukan briefing terlebih dahulu demi kelancaran dan kesuksesan agenda acara keesokan harinya. Selepas briefing, beberapa rombongan lanjut bercengkerama agar saling mengenal satu sama lain. Namun ada pula beberapa rombongan yang memilih untuk langsung beristirahat dan mempersiapkan tenaga untuk memulai pendakian esok hari.

Di pagi hari waktu pendakian (Rabu, 27/10/2021), sehabis sarapan, briefing terakhir, dan doa bersama, rombongan memulai pendakian tepat pada pukul 08.00 WIB. Cuaca cerah dan sejuk ala pegunungan menemani pendakian kami yang keseluruhan rombongan berjumlah 25 orang. Waktu pendakian yang bertepatan dengan musim peralihan dari penghujan ke kemarau membuat jalur masih sedikit becek. Namun kondisi seperti ini masih cukup bersahabat bagi kami jika dibandingkan kondisi trek berdebu yang sangat mengganggu pernafasan.

Hujan sempat mengguyur deras ketika rombongan telah berada di Pos 3 yang terdapat mata air. Perundingan sempat berlangsung antara peserta dengan panitia penyelenggara terkait kelanjutan perjalanan apakah akan tetap mendirikan tenda di Pos 5 atau cukup di Pos 3 demi keselamatan bersama. Beruntung tidak lama kemudian hujan perlahan mereda dan perjalanan dapat dilanjutkan. Perlahan kabut datang menggantikan air hujan yang menandakan hari telah sore dan akan segera berganti malam. Otomatis langkah harus dipercepat agar rombongan tiba di camp area sebelum malam.

  • Gunung Lawu Candi Ceto
  • Gunung Lawu Candi Ceto

Sempat dibuat khawatir akan kemalaman tiba di camp area, ternyata rombongan kami berhasil tiba di Pos 5 Bulak Peperangan sesaat sebelum malam tiba. Tampak di camp area tidak terlalu banyak tenda yang berdiri. Selain tenda-tenda dari rombongan pendakian kami dan porter, hanya ada 3 tenda lain yang didirikan di pos ini. 

Dinamakan Bulak Peperangan karena konon di lokasi inilah pernah terjadi perang pada zaman Majapahit. Kesaksian dari cerita para pendaki yang mendirikan tenda di pos ini, tidak sedikit yang pernah mendengar suara iring-iringan pada malam hari bahkan ada juga yang pernah mendengar keriuhan suara perang di pos ini. Percaya atau tidak, itu semua kembali ke kepercayaan masing-masing.

Setelah mendirikan tenda dan makan bersama, tanpa banyak basa basi, beberapa anggota rombongan memilih untuk langsung beristirahat untuk selanjutnya melanjutkan perjalan keesokan harinya.

Waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB pagi (Kamis, 28/10/2021) ketika rombongan memulai summit attack melanjutkan perjalan dari camp area menuju puncak Gunung Lawu. Memang sudah terlambat jika ingin mengejar sunrise, tapi bukan itu tujuan dari pendakian ini dilaksanakan. Mengingat setiap tanggal 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, maka rombongan pendakian juga telah merencanakan untuk melakukan upacara bendera dan pembacaan teks sumpah pemuda di puncak nantinya.

Cuaca pagi ini sangat cerah, jauh lebih baik dari cuaca kemarin yang sempat hujan dan lebih banyak berkabut. Kita pun dapat menikmati keindahan sabana Gunung Lawu di sepanjang perjalanan dari Pos 5 hingga puncak. Di Pulau Jawa, gunung dengan hamparan sabana yang cantik salah satunya bisa kita temukan di Gunung Lawu ini. Bila beruntung, kita bahkan dapat melihat langsung gerombolan rusa yang minum di area Gupak Menjangan, tidak jauh dari Pos 5 tempat rombongan mendirikan tenda.

  • Gunung Lawu Candi Ceto
  • Gunung Lawu Candi Ceto
  • Gunung Lawu Candi Ceto

Setelah sempat beristirahat dan mengganjal perut di warung legendaris Mbok Yem, warung legendaris yang dinobatkan sebagai warung tertinggi di Indonesia, rombongan pun kembali melanjutkan pendakian menuju puncak yang tinggal sedikit lagi dari lokasi warung Mbok Yem. Meski matahari telah meninggi dan waktu telah menunjukkan pukul 8 pagi, cuaca masih sangat cerah ketika kami telah tiba di Hargo Dumilah, puncak Gunung Lawu di ketinggian 3265 mdpl.

Kami cukup beruntung ketika sampai di puncak. Selain cuaca cerah yang membuat kita dapat menikmati 360 derajat pemandangan Gunung Lawu, waktu pendakian weekday juga membuat situasi puncak tidak terlalu ramai sehingga kita dapat leluasa mengabadikan momen tanpa harus mengantre dan berebutan plakat.

Kembali ke agenda awal tadi, dikarenakan hari ini bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, rombongan pun melaksanakan upacara di puncak dengan mengibarkan bendera Merah Putih sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya, lalu dilanjutkan dengan pembacaan Sumpah Pemuda. 

Suasana khidmat tentu tidak bisa dihindari. Berhasil mencapai puncak lalu kemudian menyanyikan lagu kebangsaan di hari besar nasional jelas merupakan momen yang langka. Menjadi suatu kenangan tersendiri bagi kami semua yang terlibat di dalamnya.

Gunung Lawu Candi Ceto
Puncak Gunung Lawu/Ammar Mahir Hilmi

Sumpah Pemuda dan Tanggung Jawab Sosial Kaum Muda

Sehabis mendokumentasikan acara seremonial peringatan Hari Sumpah Pemuda, rombongan akhirnya turun dan kembali ke tenda masing-masing di Pos 5 untuk bersiap-siap pulang. Tapi rangkaian acara tidak berhenti sampai di sini saja. 

Rombongan tidak langsung turun ketika semua tenda telah dibongkar dan mengemasi barang-barang. Masih dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, rombongan pendaki yang kesemuanya adalah kaum muda melanjutkan kegiatan dengan bersih-bersih gunung. Rombongan memunguti sampah-sampah anorganik yang ditinggalkan pendaki lain di sekitaran Pos 5, lalu membawanya turun. Sesuai dengan nama kegiatannya yaitu Consina Responsible Tracker yang secara bahasa berarti pendaki yang bertanggung jawab.

Kita sepakat bahwa bukan pendakian namanya jika tidak berkesan. Maka kesan yang didapatkan dari pendakian gunung kali ini yaitu tentang tanggung jawab sosial pemuda. Kilas balik sejarah perjuangan bangsa ini yang banyak dimotori oleh golongan muda, maka sudah seharusnya golongan muda saat ini senantiasa merefleksikan perjuangan tersebut dalam konteks masa kini. Tidak harus dalam skala besar, memulainya dari hal-hal kecil seperti memunguti sampah di gunung adalah salah bukti nyatanya.

Begitupun dengan solidaritas yang ditunjukkan selama pendakian berlangsung. Saling bantu ketika melewati jalur dan tidak saling meninggalkan rombongan menjadi catatan penting yang harus diterapkan di setiap pendakiannya. Apresiasi tinggi juga pantas ditujukan kepada panitia penyelenggara yang selama kegiatan berlangsung tiada henti saling berkoordinasi dan benar-benar bertanggung jawab penuh atas keselamatan semua peserta.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pendakian Bersama Gunung Lawu dari Basecamp Candi Ceto appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pendakian-bersama-gunung-lawu-dari-basecamp-candi-ceto/feed/ 0 35310
Sebuah Petualangan di Bukit Gading https://telusuri.id/sebuah-petualangan-di-bukit-gading-rembang/ https://telusuri.id/sebuah-petualangan-di-bukit-gading-rembang/#respond Thu, 02 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31133 Saat itu, langsung ku iyakan ketika keluarga mengajak untuk pergi menjenguk saudara ke pedesaan. Bukan tanpa sebab, aku memang rindu menyaksikan pemandangan hijau, menghabiskan waktu yang jauh dari hiruk pikuk kota. Berangkat pagi sudah kami...

The post Sebuah Petualangan di Bukit Gading appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat itu, langsung ku iyakan ketika keluarga mengajak untuk pergi menjenguk saudara ke pedesaan. Bukan tanpa sebab, aku memang rindu menyaksikan pemandangan hijau, menghabiskan waktu yang jauh dari hiruk pikuk kota. Berangkat pagi sudah kami rencanakan. Begitu juga dengan rencana naik ke Bukit Gading selepas menjenguk saudara. Ada rasa penasaran, seperti apa pemandangan dari atas bukit tersebut.

Semula kami melewati hamparan sawah yang serba hijau, serta deretan pohon jati yang berjejer rapi. Langit pun seakan turut serta mendampingi kami karena cuaca cerah tapi tetap berhawa dingin pegunungan. Laju sepeda motor harus benar-benar kuat untuk naik ke atas. Jalan terus menanjak meski sedikit berkelok-kelok, namun karena aspal begitu mulus, perjalanan menjadi lancar hari itu.

Sembari menikmati pemandangan yang ada, nyiur melambai di setiap tepian jalanan, rumah-rumah khas di bawah perbukitan yang tampak saling tindih satu sama lain. Sampailah kami pada gapura anyaman bambu yang bertuliskan “Selamat Datang Desa Pakis. Tepatnya, di Desa Pakis, Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang”.

Gapura Desa Pakis
Gapura Desa Pakis/Chusnul Chotimah

Setelah beberapa menit, tibalah kami di rumah saudara. Di sana, kami berbincang-bincang cukup lama, lalu saling melontarkan niat untuk pergi ke puncak Bukit Gading. Saudara saya menyambut dengan antusias, apalagi dari kejauhan sudah terlihat Bukit Gading dengan berkibar Bendera Merah Putih yang berdiri dengan tegaknya di puncak.

Perasaanku menggebu, jiwa petualanganku terpancing maju. Rasanya tak sabar ingin segera naik ke puncak bukit itu. “Hati-hati kalau ke sana ya,” pesan mereka.

Kadang kala, basecamp penuh dengan jejaran kendaraan bermotor, penuh sesak.

Biasanya orang berkunjung ke Puncak Gading untuk camping, menghabiskan malam di sana sembari menanti terbitnya matahari. Tentu berbeda dengan kami yang memang tidak mempunyai rencana untuk menginap. Sehingga siang pun, kami jabani untuk terus melanjutkan perjalanan.

Basecamp Bukit Gading
Basecamp Bukit Gading/Chusnul Chotimah

Bukit Gading mempunyai ketinggian 526 mdpl, namun tak menggoyahkan kami untuk melihat panorama alam dari sana. Saudara saya yang berasal dari sekitar tempat tersebut juga turut serta, ia berperan sebagai penunjuk jalan. Kami berjalan bersama anak-anak kecil, mereka bersemangat, aku pun tak mau kalah.

Awalnya kami mulai perjalanan dari basecamp. Basecamp adalah tempat pertama dimulai untuk para pendaki. Di basecamp tersedia makanan serta minuman untuk para pengunjung yang mau naik ke atas bukit. Basecamp yang berbentuk seperti rumah adat Minangkabau itu tampak begitu syahdu dengan tatanan meja dan kursi yang rapi. Terlebih lagi, dibingkai oleh pemandangan alam.

Kami menghabiskan sekitar 30 menit untuk naik ke puncak bukit. Waktu yang cukup panjang, karena selama perjalanan kami banyak berhentinya. sejenak mengamati pemandangan sekitar, yang begitu memanjakan mata. Banyak pohon yang berbuah seperti durian dan nangka. Ada juga pohon kapas yang riup terbawa ayunan angin. Jalannya masih berupa batu-batu besar, harus berhati-hati saat berpijak. Kemiringannya beragam, perlahan kami melewatinya satu per satu. 

Dalam sebuah perjalanan kita juga harus jaga sikap dan jaga lisan. begitu pula saat perjalanan ini, kami berhati-hati baik dalam berjalan maupun bertindak dan berkata supaya tidak terjadi hal yang aneh-aneh.

Tak terasa, kami tiba di puncak. 

Di atas Puncak
Pesan di Bukit Gading/Chusnul Chotimah

Dari atas, aku memandangi keindahan alam yang begitu elok. Hamparan sawah terlihat luas. Panorama kecamatan di sekitar Sale pun terlihat sangat jelas di atas puncak. Dari puncak aku pandangi basecamp yang berada di bawah tadi. Lalu pandangan beralih ke bendera yang berkibar tertiup angin.

Tak lupa aku mengabadikannya dalam jepretan kamera. Saatnya swafoto!

Sebuah perjalanan yang mengajarkanku tentang titian pendakian. Harus yakin pada setiap proses yang terjal, namun akan terbayar saat tiba di puncak. Begitu pula, dengan sebuah mimpi yang meninggi. Ketika mempunyai mimpi janganlah takut, ketika lelah bisa berhenti dan jangan pernah menyerah atau balik arah. Tetap semangat untuk naik ke puncak. Segala yang kamu inginkan pasti akan tercapai. Semesta ikut mengamini. Tabik!

Aku melihat masih ada bekas api unggun. Ternyata semalam ada rombongan yang camping di Bukit Gading ini. Memang suasana di sini bisa menjadi healing terbaik itu seseorang yang diburu kepenatan. Sekadar refreshing melihat alam yang kaya akan makna kehdupan.

Kami pun ikut mengabadikan momen di atas puncak, sembari makan bekal dan memandangi ada gunung yang masih menjulang tinggi dan pohon-pohon rindang yang menari mengikuti alunan angin. Mentari seakan mengerti, tidak terlalu menyengat kulit ini. Suasana yang tenang, sejuk, dan jauh dari keramaian membuat ingin tidak turun dari puncak.

Berpotret di atas puncak
Berpotret di atas puncak/Chusnul Chotimah

Setelah lama beristirahat, kami pun turun dari puncak. Jangan lupa membawa sampah bekas makanan kita. Setelah rasa puas kami terbayar. Jalan turun

Setelah lama beristirahat, kami turun dari puncak. Tak lupa, membawa sampah bekas makanan. Kami berjalan dengan hati-hati, karena kalau tidak, bisa saja terpeleset ke dalam jurang. Pelan-pelan kami menurunkan kaki satu demi satu. Tak lupa tetap bekerja sama satu sama lain. Setelah sampai di batuan-batuan yang besar-besar hujan mulai mengguyur. Hujan membawa keberkahan, semua tampak subur dan hijau.

Meskipun hujan, kami tetap melanjutkan perjalanan untuk turun, sesekali berhenti untuk berteduh.Sampailah kami ke basecamp pertama perjalanan tersebut. Rumah saudara sudah terlihat. Petualangan ini mempunyai filosofi, yaitu tetap bersyukur apa yang telah dimiliki dan segalanya memang perlu diperjuangkan. Janganlah berbalik arah sebelum naik ke puncak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Sebuah Petualangan di Bukit Gading appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sebuah-petualangan-di-bukit-gading-rembang/feed/ 0 31133
Meraung di Ruang Raung https://telusuri.id/meraung-di-ruang-raung/ https://telusuri.id/meraung-di-ruang-raung/#respond Fri, 05 Mar 2021 11:45:21 +0000 https://telusuri.id/?p=27299 Ini adalah kisah perjalanan kami, tiga pendaki yang mendambakan berdiri di Puncak Sejati 3344 mdpl. Saya—Etzar, Sherly, dan Dimas. Kami bertiga berasal dari daerah yang berbeda, saya berasal dari Jakarta Selatan, Sherly dari Sukabumi dan...

The post Meraung di Ruang Raung appeared first on TelusuRI.

]]>
Ini adalah kisah perjalanan kami, tiga pendaki yang mendambakan berdiri di Puncak Sejati 3344 mdpl. Saya—Etzar, Sherly, dan Dimas. Kami bertiga berasal dari daerah yang berbeda, saya berasal dari Jakarta Selatan, Sherly dari Sukabumi dan Dimas dari Tangerang. Perkenalan kami dimulai ketika bertemu di jalur pendakian Gunung Semeru pada Oktober 2018 silam. Sebenarnya bukan hanya bertiga yang ingin mendaki ke Gunung Raung, ada lebih dari 8 orang. Hanya saja, dikarenakan teman-teman yang lain sibuk dengan aktivitas masing-masing, maka hanya kami yang siap bertualang di gunung yang terkenal dengan jalur terekstrim tersebut. 

Setelah beberapa lama menunggu di Stasiun Pasar Senen, Sherly dan Dimas pun tiba, kami segera masuk ke dalam stasiun untuk menunggu kereta yang akan membawa kami ke Stasiun Gubeng, Surabaya. Estimasi perjalanan kurang lebih 9 jam. Setelah tiba di stasiun yang dituju, kami masih harus menunggu kereta menuju Stasiun Kalibaru, stasiun terdekat basecamp pendakian Raung. Dikarenakan keterangan waktu di arloji yang setia melingkar di pergelangan tangan masih menunjukkan pukul 2 pagi, maka kami segera keluar dari Stasiun Gubeng untuk mencicipi jajanan lokal di warung yang kebetulan buka sepanjang hari.

Pukul 5 pagi, kereta yang ditunggu telah tiba. Dengan suka cita kami kembali ke dalam Stasiun Gubeng untuk melanjutkan perjalanan ke Kalibaru.  Entah bagaimana, saya pikir dekat. Tapi ternyata, ini kisah petualangan saya paling lama dan terpanjang menggunakan kereta api.

Kereta tiba pada pukul 10:30 waktu setempat. Di stasiun kecil tersebut dari jauh terlihat bukan hanya Gunung Raung yang gagah, tetapi terlihat beberapa orang lelaki, tukang ojek, yang siap mengantar kami ke pasar untuk berbelanja segala kebutuhan dan pergi ke basecamp Alas Raung. 

Gunung Raung berjenis Stratovolcano atau gunung berapi kerucut, tercatat terakhir meletus pada tahun 2015 lalu. Secara geografis Gunung Raung tercatat masuk dalam wilayah 3 kota di Jawa Timur, yakni Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember. Sejak tahun 2018, tepatnya setelah insiden seorang pendaki terjatuh dari tebing dan meninggal dunia, pendakian Gunung Raung wajib menggunakan jasa pemandu.

Kami berangkat selepas salat jumat dengan didampingi 2 pemandu, yaitu Bejo dan Rio. Dari basecamp, kami berlima melakukan pendaftaran sebelum naik ojek menuju Pos 1. Kami melewati 30 menit awal perjalanan pertama di perkebunan kopi dan kakao. Perjalanan pun dimulai, benar-benar jalan kaki. Ya namanya juga mendaki gunung.

Pos 1 dikenal dengan nama lain Pos Mbah Sunarya. Pos ini berupa sebuah rumah kayu sederhana milik Mbah Sunarya yang merupakan rumah terakhir di kawasan tersebut. Begitu tiba, kami disuguhi minuman selamat datang, adalah kopi khas Raung yang diolah sendiri oleh Mbah Sunarya. Beliau juga menjual versi bubuknya seharga Rp20 ribu dalam wadah plastik.

Pukul 09:30 kami memulai pendakian. Perjalanan dari rumah Mbah Sunarya ke Pos 4 memakan waktu setidaknya 5 jam. Selama perjalanan kami melewati perkebunan kopi dan kakao yang dikelola warga, hingga tengah perjalanan antara Pos 3 ke Pos 4 ada sebuah gerbang pembatas alami dari dua buah pohon untuk menandakan masuk kawasan hutan, saya menyebutnya “pintu rimba”. 

Di wilayah ini kekayaan flora dan fauna masih beragam. Kami menemukan buah juwet/jamblang, atau jambu keling (Syzygium Cumini) hampir di sepanjang jalan Pos 3 ke Pos 4. Kami juga bisa mendengar suara burung-burung endemik, kotoran luwak pemakan kopi di tengah jalan setapak. 

Umumnya, pendaki mendapat pilihan bermalam di Pos 4 atau Pos 7. Mereka yang sudah terlatih dan punya stamina prima akan membangun tenda di Pos 7 dan bermalam di sana. Namun, seperti yang saya tahu, lebih banyak pendaki yang memilih bermalam di Pos 4. Kedua lokasi ini dipilih karena punya ruang cukup luas untuk mendirikan tenda.

Mendaki Gunung Raung
Ruang Raung/Etzar Diasz

Ketika tiba di Pos 4 hujan menyambut rombongan kami, saya menggigil, lalu teman-teman segera membangun tenda dan kami bermalam di situ. Porter tenda dan logistik pun mendirikan tenda.

Singkat cerita, besoknya pukul setengah 8 pagi kami bergerak menuju Pos 5, Pos 6 dan Pos 7 dengan jarak tempuh lebih kurang 3,5 jam. Pos 7 dipilih sebagai camp transit terakhir sebelum summit attack. Kami bertemu pendaki lain di sini, baik yang berangkat hampir bersamaan atau yang baru turun dari arah puncak.

Tak sedikit pendaki bermalam lagi di sini usai kembali dari puncak untuk menghimpun tenaga atau sekadar menikmati pemandangan. Kata Mas Rio, nama “Raung” diilhami bunyi angin yang meraung-raung bak suara mobil balap di lintasan sirkuit. 

Normalnya pendakian menuju puncak, dimulai jam 1 atau 2 dini hari. Sekitar jam 8 malam, badan yang lelah segera membuat kami terlelap meskipun suhu udara sangatlah dingin. Bunyi alarm membangunkan kami pukul 12 malam. Kami bergegas memasak air, menyeduh segelas kopi, dan membuat makanan ringan. Setelah berdoa bersama, kami pun siap memulai perjalanan ke puncak.

Dini hari itu, Mas Bejo dan Mas Rio menyarankan kami untuk segera memakai helm, headlamp, dan jaket dengan windstopper karena di angin berhembus kencang. Tepat 5 menit sebelum sunrise kami tiba di Pos 9, batas vegetasi terakhir. Di sini kami bertemu dengan rombongan open trip lain sebanyak 7 orang. 

Setelah memasang perlengkapan mountaineering seperti body harness, figure of 8, dan carabiner, kami berjalan mendaki menuju puncak pertama, Puncak Bendera. Di puncak ini terdapat sebuah bendera merah putih yang tiang besinya usang. Di sini, kami menikmati matahari pagi yang baru saja memperlihatkan dirinya, ditemani hembusan angin.

Saya segera mencium bendera itu, ada tetesan air mata ketika mengecupnya. Entahlah, saya menganggap puncak tersebut merupakan titik sejati dari pendakian ini. Atau, bisa jadi hanya euforia. Kalau cuaca cerah, dari sini para pendaki bisa melihat Gunung Semeru dan Gunung Argopuro.

Tujuan kami selanjutnya adalah Puncak Tusuk Gigi dan Puncak Sejati. Gunung Raung sebenarnya memiliki 4 puncak. Satu puncak yang lain adalah Puncak 17 yang berlokasi di antara Puncak Bendera dan Puncak Tusuk Gigi. Berhubung belum turun kabut dan angin tidak begitu kencang, bersama pendaki lain kami segera bergegas ke Puncak 17. Di sini kami hanya sebentar.

Dari Puncak 17, kami kemudian melewati Jembatan Shiratal Mustaqim, banyak orang menyebutnya jalur maut karena jurang dalam berada di sisi kanan-kirinya. Kunci untuk berjalan di sini adalah fokus memperhatikan jalan berpasir dengan kerikil vulkanik yang bisa jadi membuat kita terpeleset. Selain itu kita juga harus menunduk ketika angin kencang menerpa. Di rute inilah skill dan kematangan emosi kita diuji. Tak jarang nyawa kita hanya bergantung pada peralatan mountaineering yang digunakan. 

Kami harus disiplin mematuhi arahan Mas Bejo, kapan harus memasang carabiner di tali karmantel yang telah dipasang oleh pemandu saat membuka jalan sebelumnya, kapan harus rappelling turun dan naik, dan bagaimana posisi badan kita saat melewati tebing yang curam. Termasuk bagaimana koordinasi kaki dan tangan saat memanjat tebing berbatu bak bouldering. Hal yang tak dapat saya lupakan, dari jauh terlihat awan yang sangat indah di bawah kami.

Setelah berjalan, mendaki, dan memanjat bebatuan terjal selama 2,5 jam kami sampai di Puncak Tusuk Gigi. Di titik ini, saya kembali teringat ketika pada pendakian ke Puncak Mahameru setahun yang lalu, perbedaannya hanya di estimasi waktu saja. Benar-benar melelahkan.

Mendaki Gunung Raung
Puncak Tusuk Gigi/Etzar Diasz

Di sini banyak bebatuan vulkanik lancip berukuran besar, menjulang ke segala sisi bak tusuk gigi jika dilihat dari kejauhan. Sebenarnya antara Puncak Tusuk Gigi dan Puncak Sejati hampir berada pada ketinggian yang sama dan saling berdekatan. Sehingga para pendaki dapat memilih puncak mana duluan yang mau didaki.

Sepuluh menit kemudian akhirnya kami menginjakkan kaki di puncak tertinggi Gunung Raung, yakni Puncak Sejati (3344 mdpl). Di puncak ini kami melihat kaldera kering seluas 750 x 2250 meter berbentuk elips dengan kedalaman 500 meter dan berwarna gelap. Di tengahnya masih terdapat lubang besar menganga dengan kepulan asap yang menunjukkan bahwa gunung ini masih aktif. Kaldera ini merupakan yang kaldera kering terbesar kedua se-Indonesia setelah Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat.

Puas rasanya setelah susah payah mendaki akhirnya tiba juga di puncak tertinggi Gunung Raung. Kami pun bersantai, berswafoto, dan menikmati makanan ringan sambil beristirahat. Tanpa pikir panjang, aku langsung berteriak di bibir puncak tersebut. Tentu setelah mendapat izin dari Mas Bejo, hanya tiga kali, yaitu takbir. Di titik ini, suara saya meraung di ruang Raung. 

Mendaki Gunung Raung
Puncak Sejati/Etzar Diasz

Tak berapa lama, kami masih harus turun kembali menuju Pos 7 dan bermalam di sana. Normalnya paket perjalanan ke Gunung Raung dari jalur Kalibaru, Banyuwangi, ditempuh selama 3 hari 2 malam. Namun bagi yang sudah terlatih dengan energi prima dapat menempuhnya dengan 2 hari 1 malam.

Tak sedikit pula yang memilih pendakian selama 4 hari 3 malam. Hal terpenting yang harus kita perhatikan adalah ketersediaan logistik terutama air, mengingat di jalur ini tidak terdapat sumber mata air sama sekali. Perlengkapan mountaineering dan arahan pemandu akan sangat berguna terutama sepanjang Pos 9 menuju Puncak Sejati. Juga perlengkapan yang mumpuni mulai dari jaket technical outdoor yang layak hingga sleeping bag dan tenda yang sanggup menahan terpaan angin yang meraung-raung.

Gunung membuat kita sadar bahwa jalan yang kita tempuh tidak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Mendaki gunung itu tidak mudah, butuh mental dan fisik yang kuat. Semua perjuangan, usaha, dan kerja keras tidak akan sia-sia setelah kita berhasil mencapai puncak, melihat pemandangan yang sangat indah dan mengagumi ciptaan Tuhan. Meski begitu, puncak bukan segalanya.

Perjalanan ini memberikan kami banyak pengalaman dan pelajaran berharga. Mendaki gunung adalah saat kita berjuang melawan diri kita sendiri. Saat kita memutuskan untuk menyerah di tengah jalan dalam kondisi tersulit, atau melanjutkan apa yang telah kita rencanakan jauh hari. Dan saat kita berhasil mengalahkan segala keluh kesah, ego, rasa ingin menyerah hingga tiba di puncak dan terpenting kembali lagi ke rumah dengan selamat, saat itulah kita merasa menang. Karena rumah merupakan puncak yang sesungguhnya.

The post Meraung di Ruang Raung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/meraung-di-ruang-raung/feed/ 0 27299
Mendaki Carstensz di Usia Remaja, Khansa Syahlaa Menemukan Pelajaran https://telusuri.id/mendaki-carstensz-di-usia-remaja-khansa-syahlaa-menemukan-pelajaran/ https://telusuri.id/mendaki-carstensz-di-usia-remaja-khansa-syahlaa-menemukan-pelajaran/#comments Tue, 26 Jan 2021 07:40:21 +0000 https://telusuri.id/?p=26625 Buat sebagian orang, mendaki gunung menjadi kegiatan outdoor yang menantang sekaligus menyenangkan. Bukan hanya soal bersenang-senangnya, ternyata dengan mendaki gunung seseorang bisa belajar dari alam menemukan proses pendewasaan. Minggu lalu tepatnya tanggal 17 Januari 2021,...

The post Mendaki Carstensz di Usia Remaja, Khansa Syahlaa Menemukan Pelajaran appeared first on TelusuRI.

]]>
Buat sebagian orang, mendaki gunung menjadi kegiatan outdoor yang menantang sekaligus menyenangkan. Bukan hanya soal bersenang-senangnya, ternyata dengan mendaki gunung seseorang bisa belajar dari alam menemukan proses pendewasaan.

Minggu lalu tepatnya tanggal 17 Januari 2021, TelusuRI berkesempatan ngobrol bareng melalui Instagram Live dengan pendaki termuda Gunung Carstensz dari Indonesia yakni Khansa Syahlaa.

Untuk kamu yang ketinggalan Instagram Live-nya, simak rekapnya berikut ini. Ada banyak hal-hal menarik bisa dikulik dari kecintaan Khansa dengan pendakian.

khansa syahlaa

Khansa Syahlaa/Istimewa

Dari mana sih Khansa kenal pendakian?

Saat ini Khansa tengah duduk di bangku SMP kelas 9, ia sedang sibuk-sibuknya belajar karena ingin masuk SMA favorit. Saat ditanya kenal pendakian dari mana, ia menjawab kenal dari sang Ayah yang dulu sering sekali naik gunung.

Khansa mendaki gunung pertama kali saat usianya masih lima tahun. Kala itu, dia diajak ikut serta ke Gunung Bromo. Mendaki gunung di usia dini tentunya diselimuti rasa takut dan penasaran. Takut nanti dingin, takut nanti akan bertemu satwa liar, dan sebagainya. Namun saat sudah sampai di puncak semua lelah dan rasa takut hilang. Dari sanalah Khansa mulai mengenal pendakian dan mulai menyukai kegiatan ini. Setelahnya ia melakukan hal serupa di Gunung Rinjani.

Kalau ada banyak tempat lain, kenapa harus gunung?

Khansa bilang mendaki gunung sebagai cara pembentukan karakter dirinya. Karena saat berada di alam Khansa semakin banyak belajar. Belajar untuk lebih mandiri, belajar untuk lebih bisa mengambil banyak keputusan, juga belajar untuk lebih bisa berserah diri kepada Tuhan.

Selain itu Khansa juga menuturkan bahwa ia dapat banyak pengalaman baru dan teman-teman baru. Sehingga dari semua itu lama-kelamaan kepribadian Khansa jadi lebih baik, dia juga jadi bisa untuk melihat sudut pandang lain yang nggak cuma tentang kota atau pedesaan saja. Singkatnya, “alam semesta mengajarkan banyak hal terutama gunung.”

Bagaimana rasanya menjadi pendaki Gunung Carstensz termuda di Indonesia?

Khansa sangat bersyukur kepada Allah SWT karena sebelumnya ia mempersiapkan segala sesuatunya dengan maksimal. Misalnya saja seperti latihan selama empat bulan penuh sebelum pendakian ke Carstensz.

Selain itu, Khansa juga melakukan try out ke bukit-bukit karena Carstensz punya karakteristik berbeda dengan gunung-gunung lain di Indonesia. Puncak Carstensz ini dikenal dengan keekstriman dan teknikal.

Lot of emotion dan tangis haru juga senang karena bisa sampai di puncak Carstensz,” ucapnya. Juga pengalaman yang nggak akan terlupakan.

Gimana sih awalnya masuk dan mengikuti rangkaian 7 Summit Indonesia?

Khansa bilang, semua berjalan secara tidak terduga. Mulanya, saat itu ia sedang berada di pameran buku dan kemudian melihat buku 7 Summit Indonesia. Khansa yang sedang tertarik terhadap pendakian pun langsung membeli dan membacanya. Tak berapa lama, ia pun memutuskan mengikuti rangkaian 7 Summits Indonesia dengan banyak curahan semangat dari orang-orang terdekatnya.

Khansa Syahlaa/Istimewa

Pendakian Puncak Carsternsz/Khansa (Instagram)

Apa sih yang dirasakan Khansa naik gunung?

Khansa bilang kalau gunung itu sebagai proses healing dan memperkenalkannya akan hal-hal baru yang membuat jauh lebih tenang. Khansa menambahkan bahwa ia banyak belajar tentang makna pertemanan yang sebenarnya dari pendakian.

Kalau di gunung semuanya itu teman dan nggak boleh saling meninggalkan. Ada banyak kasus pendaki hilang karena dirinya dikuasai oleh ego. Misalnya nih, naik bareng, tapi turun nggak bareng. Itu nggak baik karena akan merugikan diri sendiri juga merugikan orang lain.

Perubahan apa sih yang dirasakan Khansa setelah mengenal pendakian?

Pendakian mengajarkan Khansa untuk nggak egois dan hanya memikirkan diri sendiri. Hal ini supaya kecelakaan saat pendakian bisa diminimalisir. Menurut Khansa, gunung itu selain ramah juga terkadang mencekam. Nggak akan pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi di gunung, jadi jangan berlaku egois.

“Jangan ambil apapun kecuali foto, jangan bunuh apapun kecuali waktu, dan jangan tinggalkan apapun kecuali jejak.”

Karena hakikat pendakian itu pulang dengan selamat.

Selama pandemi apakah pernah naik gunung?

Iya, ada tiga gunung yang sudah Khansa daki yaitu Gunung Fatah, Gunung Abang, dan Gunung Batur. Hal yang membedakan mendaki gunung saat pandemi ialah adanya protokol kesehatan yang harus ditaati, misalnya saja sebelum mendaki gunung harus menjalani rapid test terlebih dulu.

Di masa pandemi ini, sejumlah gunung juga memberikan kuota pendakian. Jumlah pendaki dibatasi hingga 50% dari kuota biasanya. “Setidaknya, gunung juga butuh healing,” sambungnya.

Selama pandemi, mengisi waktu dengan kegiatan apa aja?

Khansa mengisi waktu dengan beragam kegiatan, mulai dari workout, baca buku, nonton film bahkan sampai belajar masak. Khansa juga menyempatkan untuk riset-riset tentang gunung apa yang ingin didaki setelah pandemi selesai.

* * *

Khansa juga memberikan sebuah semangat untuk menutup sesi ngobrol bareng sore itu.

“Tinggalkan gadgetmu, keluar dari rumahmu, keluar dari zona nyamanmu dan lihatlah keindahan Indonesia dari puncak-puncak gunung.” – Khansa Syahlaa


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Carstensz di Usia Remaja, Khansa Syahlaa Menemukan Pelajaran appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-carstensz-di-usia-remaja-khansa-syahlaa-menemukan-pelajaran/feed/ 1 26625
Bukan Sekadar “Bawa Turun Sampahmu,” tapi “Kurangi Sampahmu” https://telusuri.id/bukan-sekadar-bawa-turun-sampahmu-tapi-kurangi-sampahmu/ https://telusuri.id/bukan-sekadar-bawa-turun-sampahmu-tapi-kurangi-sampahmu/#respond Tue, 26 Jan 2021 04:07:39 +0000 https://telusuri.id/?p=26566 “Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat..” Saat bekerja di Jogja, saya kembali terhubung dengan kawan-kawan lama Aldakawanaseta, Mapala kampus saya dulu. Sejujurnya, saya bukan anggota Mapala. Tapi karena mengenal baik beberapa...

The post Bukan Sekadar “Bawa Turun Sampahmu,” tapi “Kurangi Sampahmu” appeared first on TelusuRI.

]]>

“Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat..”

Saat bekerja di Jogja, saya kembali terhubung dengan kawan-kawan lama Aldakawanaseta, Mapala kampus saya dulu. Sejujurnya, saya bukan anggota Mapala. Tapi karena mengenal baik beberapa rekan di sana, akhirnya saya ikut-ikutan gemar mendaki gunung.

Kalau diingat-ingat, kali pertama saya mendaki gunung itu ke Merapi. Bersama Mas Weldas dan Deta, saya dipertemukan dengan komunitas kecil Pikniker Solo. Dari perjalanan bersama mereka itulah, saya belajar bahwa mendaki gunung bukan sekadar “piknik” seperti nama komunitas kecil ini. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan, tidak hanya soal peralatan dan logistik, tapi juga pengetahuan, dan etika pendakian.

Logistik pendakian organik dan minim sampah

Logistik pendakian Semeru/Mauren Fitri

Sejak pertama kali mendaki Merapi bersama teman-teman Pikniker Solo, saya disarankan untuk tidak membawa makanan cepat saji yang terbungkus plastik dan kaleng. Tidak ada mie instan, tidak ada sarden, tidak ada kopi sachet karena kami tidak suka ngopi sachet. Kecuali air mineral, (dulu) kami masih sering membawanya dengan alasan praktis.

Dalam perjalanan menuju basecamp Gunung Merapi, saya diajak mampir ke Pasar Selo di Cepogo. Di sana, kami berbelanja logistik seperti sayur, buah, tempe, bumbu masak sebagai pelengkap rasa seperti bawang merah, bawang putih, cabai, bahkan daun salam dan bumbu pawon lain. Kangkung dan terong kesukaan saya, tentu tak luput dari daftar belanja.

Setelah berkali-kali naik gunung bersama mereka, saya baru paham kenapa harus belanja logistik di dekat gunung tujuan. Ya, jelas supaya bekal makanan yang berupa bahan masakan mudah busuk ini bisa bertahan lama saat perjalanan mendaki.

Berdasar pengalaman pribadi, kami biasanya menyimpan sayur-sayuran ini dengan cara membungkusnya menggunakan koran bekas atau kain sebelum dimasukkan ke dalam keril. Tujuannya supaya saat kita berjalan mendaki dan suhu di dalam tas meningkat karena sinar matahari, uap air yang dihasilkan dari sayur mayur ini terserap di koran dan kain. Jika sayur-sayuran tetap kering, maka ia akan tetap segar.

Bekal makanan di Gunung Merapi. Ada terong ada ayam goreng, sambal, tempe kering, dan roti bakar/Mauren Fitri

Lalu saat tiba di camp site, kami segera membuka bungkus perbekalan ini untuk diangin-anginkan. Kalau malam tiba, seringkali kami taruh di dalam vestibule tenda supaya terkena hawa dingin dari luar. Anggap aja seperti kulkas alami.

Dengan cara-cara ini, bekal makanan yang terdiri dari sayur, buah, dan bumbu-bumbuan menjadi lebih tahan lama dan tetap segar. Oh ya, kalau membawa minyak goreng atau margarin, kami selalu menyediakan satu buah botol kosong untuk menaruh sisa minyak habis pakai. Jadi, minyak habis pakai tersebut tetap dibawa turun, tidak ditibuang ke tanah saat masih ada di gunung.

Mulai mengganti plastik dengan dry bag, mengganti tisu dengan lap kain

Nggak dipungkiri saat awal-awal mendaki gunung, kami masih sering menggunakan plastik sebagai pembungkus pakaian, makanan, hingga alat pendakian. Tapi lama-kelamaan, banyak edukasi yang didapatkan terutama tentang dampak penggunaan plastik untuk aktivitas pendakian.

Perlahan kami mulai mengganti plastik-plastik packing dan kemasan makanan/minuman menggunakan wadah yang bisa dipakai berkali-kali. Misalnya saja, jika dulu kami menggunakan plastik packing (biasanya trash bag) untuk membungkus semua barang yang ada di dalam keril, kini kami menggantinya dengan dry bag.

Dry bag punya beragam ukuran, kita bisa membelinya sesuai dengan kebutuhan. Dan tentunya, tetap tahan air serta bisa dipakai berulang kali. Saya punya dua buah dry bag yang usianya sekitar 8 tahun, masih berfungsi dengan baik hingga sekarang. Hemat sampah plastik pakaian selama 8 tahun.

Oh ya, dua tahun terakhir ini saya juga sudah mulai mengganti tisu dengan kain. Kalau orang Jawa menyebutnya “gombal”, kain yang biasa dipakai untuk mengelap segala macam benda.

Setidaknya saya selalu membawa 3 buah gombal setiap camping atau naik gunung. Gombal ini saya beli di pasar tradisional seharga Rp10.000,00 tiga (sepuluh ribu dapat tiga buah gombal). Jauh lebih hemat jika dibandingkan dengan membeli tisu setiap kali mau perjalanan.

Memungut sampah di jalur pendakian saat perjalanan pulang

Memungut sampah air mineral di jalur pendakian/Senna R

Hal paling menjengkelkan selama mendaki gunung adalah melihat tisu basah bekas dan botol air mineral kosong berserakan di camp site dan jalur pendakian. Nggak hanya itu sih, seringkali kami juga menemukan gundukan sampah di sudut-sudut camp site. Kadang kala, gundukan sampah ini dibakar oleh pendaki lain. Padahal, setahu saya membakar sampah di gunung berpotensi menjadi penyebab kebakaran.

Hal yang selalu rutin teman-teman Pikniker Solo lakukan saat mendaki gunung adalah membawa turun semua sampah yang dihasilkan, juga memungut sampah yang kami temui diperjalanan pulang.

“Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat!” sering diumpatkan oleh kami sambil memungut botol-botol air mineral bekas selama perjalanan turun gunung.

Menurut saya, mendaki gunung bukan sekedar perkara membawa pulang sampah yang dibawa dari bawah, tapi juga kurangi menghasilkan sampah selama aktivitas pendakian. Kalau bingung kiat-kiat gimana sih bisa mendaki gunung tanpa menghasilkan sampah, coba baca buku Zero Waste Adventure yang ditulis oleh Siska Nirmala. Dalam buku tersebut, Siska membagikan kiat-kiat mendaki nol sampah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bukan Sekadar “Bawa Turun Sampahmu,” tapi “Kurangi Sampahmu” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bukan-sekadar-bawa-turun-sampahmu-tapi-kurangi-sampahmu/feed/ 0 26566
Pengalaman Pertama Mendaki Merbabu Malam Hari https://telusuri.id/pengalaman-pertama-mendaki-merbabu-malam-hari/ https://telusuri.id/pengalaman-pertama-mendaki-merbabu-malam-hari/#comments Sun, 20 Dec 2020 08:59:29 +0000 https://telusuri.id/?p=25967 2017, aku lupa tanggal berapa, yang jelas aku sedang gencar gencarnya menyusun jadwal naik gunung, dan di kesempatan mudik kala itu tak ku lewatkan untuk mendaki salah satu primadona gunung di Jawa Tengah, Merbabu. Gunung...

The post Pengalaman Pertama Mendaki Merbabu Malam Hari appeared first on TelusuRI.

]]>
2017, aku lupa tanggal berapa, yang jelas aku sedang gencar gencarnya menyusun jadwal naik gunung, dan di kesempatan mudik kala itu tak ku lewatkan untuk mendaki salah satu primadona gunung di Jawa Tengah, Merbabu. Gunung ini hanya berjarak 2 jam perjalanan motor dari kota kelahiran ayah dan ibuku, yaitu Klaten. Aku bersama dua orang sepupu, kami memacu motor selepas isya’ menuju basecamp Selo.

Singkat cerita kami sampai di basecamp sudah cukup larut karena harus mencari persewaan peralatan sekaligus sedikit tersesat perjalanan ke sana. Jalan yang menanjak dengan penerangan yang kurang menjadi faktor utama kami hampir tersesat, terlebih saat itu penunjuk jalan belum cukup memadai. Tepat pukul 23.00 kami memesan nasi goreng sebagai pengganjal perut. Aku kira, kami akan mendaki keesokan harinya, namun ternyata sepupuku mengajak langsung berangkat mendaki. Tepat sekitar jam 12.00 malam, kami mengencangkan tali sepatu.

Bawaan kami bertiga tidak cukup banyak, hanya aku yang berkeril 60l, Mas Aji hanya mengenakan daypack, sedangkan Mas Ulin malah lebih kecil lagi, yakni waist bag. Ya, perjalanan malam memang tentunya akan melelahkan, alih-alih kita tidak terpapar matahari yang mempercepat dehidrasi, namun yang terjadi sebenarnya ialah pernafasan kita akan berebut dengan pepohonan yang juga menghirup oksigen untuk keperluan metabolismenya. Jadi karena hal itulah, bawaan kami tidak terlalu banyak.

Mungkin yang ada di benak kalian, pendakian malam selalu berkaitan dengan peristiwa mistis. Tetapi, perjalanan kali ini akan aku ceritakan dengan logis. Ya, bukan karena diriku tak percaya akan hal gaib, namun lebih sepertistop mendramatisir hal-hal yang sukar ditangkap mata, alih-alih fokus terhadap hal itu, lebih baik fokuskan terhadap ancaman yang nyata. Karena tampaknya masih ada pendaki yang lebih takut terhadap hal gaib ketimbang ancaman nyata seperti kabut pekat, badai angin, atau mungkin cedera serta fraktur yang membayang-bayangi olahraga ini.

Gelap sudah pasti, jika ingin mendramatisir, gelap ini seperti berada di dimensi lain. Tapi sebenernya nggak juga sih, terkadang perasaan takut terhadap apa yang ada di balik kegelapan membuat kebanyakan dari kita berpikir yang tidak-tidak padahal fisik sedang lelah-lelahnya.Gunung Merbabu, Sabana 2

(Bukan) “ketempelan” di Merbabu

Pos 1 sampai Pos 2 dapat kami tempuh kurang lebih 90 menit. Meski jalur relatif landai, tak bisa kupungkiri, aku yang pertama kali mendaki malam, rasanya cukup sesak jika harus berbagi oksigen dengan pepohonan. Melelahkan.

Pertengahan menuju Pos 3 menjadi titik terberat untukku. Aku menawarkan diri untuk bertukar keril dengan Mas Aji, entah mengapa tiba-tiba keril yang biasa saja beratnya, menjadi sangat berat rasanya. Lalu, apa dengan bertukar bawaan akan mengatasi masalah itu?

Ternyata tidak. Daypack yang aku bawa rasanya sama beratnya dengan keril yang saat ini berada di punggung Mas Aji. Di bagian tengkuk, beratnya makin menjadi. Sebagian orang mungkin akan berpikir bahwa dirinya “ketempelan” atau semacamnya, dalam artian diri kita ditunggangi makhluk gaib. Tapi diriku tidak berpikir demikian, sebab apa?

Aku mencoba berpikir positif bahwasanya ini hanya masuk angin biasa, mengingat perjalanan di motor tanpa menggunakan jaket, serta diriku yang mungkin belum sempat aklimatisasi saat tiba di basecamp tadi. Kalau dipikir-pikir, waktu satu jam bukan waktu yang panjang untuk mempersiapkan pendakian ketika di basecamp pendakian.

Aku masih merasakan berat di daerah tengkuk, tapi masih kupaksa berjalan hingga akhirnya rasa nyeri mulai muncul di area perut. “Ah apa lagi ini,” pikirku.

Perjalanan melambat karena diriku, aku sering minta break hingga pada akhirnya, rasa nyeri di perut tak lagi dapat kutahan. Di sela-sela istirahat aku berbaring, sambil memutar cara bagaimana nyeri ini tak mengganggu lagi. Aku masih cukup yakin kami tidak diganggu makhluk gaib, suara murattal quran dari handphone Mas Ulin rasanya sudah lebih dari cukup untuk melindungi kami dari gangguan tak terjemahkan itu.

Disisi lain, aku tidak memiliki riwayat penyakit lambung, ataupun mengalami diare sebelum pendakian. Saat itu kurasa obat maag maupun obat diare tak akan banyak membantu. Akhirnya aku memilih untuk memuntahkan isi perutku, berharap nyeri tak lagi mengganggu. Aku menyodok bagian belakang lidah, dan “boom” nasi goreng yang tadi aku makan berhamburan keluar di bawah sorot lampu headlamp. Jackpot!

Entah mengapa badanku terasa lebih baik, nyeri di perut dan beban di tengkuk tidak begitu terasa lagi. Di bawah sinar rembulan, Mas Aji mengatakan wajahku tak lagi pucat seperti ketika kami bertukar ransel. Ya konon memang muntah adalah reaksi manusia ketika kontak dengan hal gaib. Tapi menurutku, aku hanya murni masuk angin dan kesalahanku tidak memberi waktu rehat setelah makan yang dalam bahasa kampung “nasi aja belum turun” namun aku langsung melakukan pendakian.

Summit di pagi hari adalah hal fana?

Kami sampai di Pos 3, bimasakti terlihat membentang di atas langit, sedangkan waktu di jam tangan menunjukkan pukul 02.30 pagi. Kami sepakat mendirikan tenda untuk istirahat dan melanjutkan perjalanan summit di pagi harinya. Ya meskipun aku tahu, summit pagi pagi adalah hal yang fana!

Setelah menghangatkan tubuh dengan teh tawar dan mie instan kami terlelap. Selama tidur, tidak ada hal yang mencurigakan, tenang dan nyaman. Aku yang terbiasa beristirahat ditemani dengan suasana senja, kali ini berganti dengan pelukan malam.

Karakter Gunung Merbabu yang berupa sabana membuatku bisa melihat gugus bintang secara lebih luas, bahkan tak terhalang pepohonan seperti di gunung-gunung di Jawa Barat pada umumnya. Pendakian pertamaku ke Merbabu rasanya sudah cukup indah, dalam hati aku berkata, walaupun nggak jadi summit pun tak apa. Perjalanan tadi, sudah cukup.

Dan benar saja, aku kesiangan! Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 saat aku terbangun. Suara riuh sayup sayup terdengar, Mas Aji dan Mas Ulin sudah duduk menikmati kopi di luar tenda. “Summit ora kowe?” celetuk Mas Aji dengan cangkir di tangannya. “Yo iyo no, aku wes adoh nyang mrene moso ora kepetuk Kenteng Songo,” aku membalas seolah itu tantangan dari Mas Aji. Padahal sebenarnya aku malas juga.

Aku gulung kembali sleeping bag, menyantap roti serta ngopi sebelum melakukan summit. Dari balik bibir gelas ku, sudah terlihat megah tanjakan Sabana 1 dengan orang orang yang terlihat kecil bak semut ingin masuk ke sarangnya.

Puncak Gunung Merbabu Kenteng Songo

Swafoto di puncak Gunung Merbabu, Kenteng Songo. Foto/M. Husein

Akhirnya ke Kenteng Songo

Jam 09.30 kami melangkah, pemilihan musim yang tepat rasanya menjadi kunci dalam mendaki Merbabu ini. Sebelum mendaki, aku biasa mendengar bahwa merbabu sangatlah berdebu, namun puji syukur kala itu, tanah yang kupijak sedikit gembur, saat itu musim sedang dalam masa peralihan hujan ke kemarau. Dengan pijakan yang mantap rasanya tak terlalu sulit melewati Sabana 1 dan Sabana 2 yang menunggu di balik punggungan ini. Sabana kami lewati dengan lancar, dengan sedikit berfoto tentunya!

Seusai tanjakan Sabana 2, kembali terlihat punggungan seperti jalur naga, orang-orang berjejer di trek itu. Trek yang kurang lebih hanya selebar satu meter, membuat para pendaki harus berhati-hati jika melewatinya. Namun ternyata, yang jadi masalah bukan ada pada treknya, tapi justru ada pada kaki ku sendiri. Cedera engkel akibat kecelakaan motor mulai menunjukkan rasa nyeri. Tak lagi dapat kutahan, aku harus melipir ke pinggir trek di bawah matahari yang semakin panas, tiada tempat berteduh. Sudahlah nyeri, panas pula. Ada kali, sekitar 30 menit aku mengistirahatkan kaki kiriku.

Pemandangan dari puncak Kenteng Songo

Pemandangan dari puncak Kenteng Songo. Foto/M. Husein

Setelah nyeri mereda kami melanjutkan pendakian, dan tibalah kami di puncak Gunung Merbabu yakni Kenteng Songo. Lautan awan sekaligus puncak merapi menyambut kami. Meski sudah pukul 12.00 siang, tapi cuaca tampak cerah. Kala itu hari Jum’at, namun meskipun weekday, suasana puncak cukup ramai.

Trek yang kami lalui tadi terpampang jelas di atas sini, seakan tak percaya aku melewati trek itu. Terik matahari tak lagi dapat kutahan, aku yang terbiasa mendaki gunung jawa barat dengan hutannya yang sangat teduh, rasanya tidak ada apa apanya dengan pendaki lokal daerah sini yang kuat sekali menahan panas. Hanya sekitar 30 menit aku di Kenteng Songo lalu memutuskan turun kembali ke tenda.

Menurutku, Merbabu termasuk gunung dengan pemandangan yang apik sabana membentang sepanjang jalur pendakian, dan tentu saja hamparan edelweiss bisa menjadi taman bermain bagi pendaki. Warna-warni tenda seolah memberi nyawa terhadap lukisan diatas kanvas hijau ini. Dengan punggungan bukit yang bergelombang, rasanya tak berlebihan jika kata rindu bersanding dengan Merbabu.

Meski ada sedikit kendala, aku merasa pendakian malam dan pertamaku ke Merbabu terasa lancar. Berjalan bersama orang-orang yang cukup rasional, membuatku nyaman dalam melewati masalah semalam. Meski kejadian tadi malam bukan pertama kalinya terjadi, namun aku masih bisa berpikir positif agar suasana tak makin runyam. Aku percaya ada makhluk lain di sekitar kita, namun bukan berarti kita menjadi takut. Bagiku cukup sandarkan perlindungan diri kita terhadap tuhan di kepercayaan kita masing-masing.

Barangkali untuk kamu, pembahasan mengenai tuhan, agama, dan makhluk gaib bukan menjadi sesuatu dipikirkan secara rasional. Meski begitu, sesuai kepercayaanku, aku meyakini bahwasannya selalu ada tuhan yang senantiasa akan membantu kita dalam kesulitan. Tidak terkecuali saat kita berada di gunung, tempat yang ramai akan makhluk tak kasat mata ini. 

Melalui tulisan ini aku hanya ingin mengajak para pendaki mulai lebih fokus terhadap ancaman yang nyata, tak terhasut kepada yang tak kasat mata. Hipotermia, cuaca buruk, ataupun kedaruratan medis lebih mengancam nyawa kita kala di gunung. Akhir kata, semoga bertemu di jalur pendakian, see you!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pengalaman Pertama Mendaki Merbabu Malam Hari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pengalaman-pertama-mendaki-merbabu-malam-hari/feed/ 2 25967