pendidikan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pendidikan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 06 Mar 2024 16:31:01 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pendidikan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pendidikan/ 32 32 135956295 Suara-Suara dari dalam “Gua” https://telusuri.id/suara-dari-dalam-gua/ https://telusuri.id/suara-dari-dalam-gua/#respond Mon, 11 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41330 Saat orang-orang antusias mendengarkan calon pemimpin bangsa ini bersilat kata di televisi ibu kota—memperdebatkan konflik agraria, hak kepemilikan tanah, dan pembangunan desa. Saya lebih memilih untuk mendengarkan keluhan petani dari dalam “gua”. Seperti satire Iwan...

The post Suara-Suara dari dalam “Gua” appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat orang-orang antusias mendengarkan calon pemimpin bangsa ini bersilat kata di televisi ibu kota—memperdebatkan konflik agraria, hak kepemilikan tanah, dan pembangunan desa. Saya lebih memilih untuk mendengarkan keluhan petani dari dalam “gua”. Seperti satire Iwan Fals dalam bait salah satu karyanya, “…goa yang penuh lumut kebosanan”.

Dari Boyolali, lembah di antara Gunung Merapi dan Merbabu itu saya bercerita dengan seorang petani kawakan. Kabupaten ini terkenal dengan penghasil susu segar terbesar di Jawa Tengah, hingga dijuluki Kota Susu—New Zealand Van Java—karena tingginya tingkat produksi susu perah di sini. Kendati demikian, alam raya Boyolali yang sejuk membuat aktivitas pertanian menjadi “jalan ninja” penghidupan masyarakatnya.

Kurang lebih 15 menit dari pusat kota, saya menemani seorang teman yang bekerja di sebuah NGO (non-governmental organization atau lembaga swadaya masyarakat) untuk membagikan bibit buah-buahan dan pohon secara cuma-cuma kepada warga setempat. Cuma-cuma, adalah hal yang lebih menarik bagi orang desa daripada program pembangunan desa yang diobral oleh politisi kita akhir-akhir ini.

Pak Tani yang Malang 

“Saya gak mau dibayar cuma seratus ribu untuk ikut geber-geber motor sambil bawa bendera partai di jalan raya, Mas. Seratus ribu hanya habis untuk bensin, makan siang, dan rokok doang. Sisanya, kita capek. Lebih baik saya ke tegal [sawah dalam bahasa setempat],” Pak Tani menjawab lugas pertanyaan saya di sela-sela rehat pembagian bibit.

Kami berbincang soal pemilu, kampanye, dan bagaimana masyarakat di desa ini hidup begitu-begitu saja, meskipun rezim silih berganti setiap lima tahunnya. Hidup begitu-begitu saja? Apakah sebegitu tidak berdampaknya pemilu bagi masyarakat desa ini?

Kadang, politik susah untuk dijadikan harapan bagi mereka. Mereka hanyalah imbas sekaligus umpan atas keserakahan orang-orang di ibu kota. Bagi mereka, politik hambar rasanya. Ya, paling banter politik hanya akan terasa saat musim-musim kampanye.

Akan tetapi, saat mereka kesusahan mencari bibit, tak cukup uang untuk membeli pupuk, lahan pun terpaksa diganti dengan setumpuk uang demi kepentingan umum (negara). Pemerintah entah ke mana? Politik entah di mana? Paling hanya terlintas pada “baju dinas” petani yang penuh dengan keringat kecewa. Saat kemarau panjang akibat krisis iklim, menyebabkan tanaman mereka rusak, siapa yang bertanggung jawab? Saat hasil panen melimpah, lalu dibiarkan membusuk karena harga pasar turun drastis, siapa yang mengganti rugi? Siapa yang memberi jaminan?

Entahlah, masyarakat desa kadang tidak pernah terhitung dan diperhitungkan sama sekali dalam politik. Kecuali dalam kalkulasi daftar pemilih tetap (DPT) yang akan dikelabui!

Pak Tani lanjut bercerita. Kalau musim kampanye datang, tim yang katanya sukses akan datang ke desa-desa, mematok pohon-pohon mereka dengan baliho penuh senyum palsu para politisi. Beberapa dari warga desa juga dibayar untuk ikut kampanye dengan konvoi di jalanan kota. Meramaikan pesta demokrasi, katanya.

Konvoi sambil geber-geber motor kerap saya temui akhir-akhir ini. Biasanya, fenomena itu saya temukan ketika orang-orang akan pergi ke stadion untuk menonton klub bola favoritnya. Namun, kali ini tidak. Mereka tidak memakai jersey klub bola, tetapi kaus partai dan bendera yang dikibaskan ke kanan dan kiri. 

Saya heran, kenapa mereka rela mengganti knalpot standar kendaraannya dan secara riang gembira menaikturunkan pedal gas di jalanan. Pesan apakah yang ingin mereka suarakan, kalau pada akhirnya suara knalpot itu hanya menutupi suara-suara orang dari pelosok desa ini? Apakah mereka pikir itu adalah tindakan heroik? Apakah mereka patriot? Apakah itu tindakan sukarela sebagai relawan? Toh, saya pikir juga tidak. Mereka cuma dibayar seratus ribu sebagaimana yang diungkap oleh Pak Tani tadi.

Pak Tani mengaku senang karena mendapatkan bibit secara gratis untuk ia tanam di lahannya. Agar mendapatkan bibit secara gratis, Pak Tani harus melewati proses seleksi, memenuhi beberapa syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh pihak NGO. Sebelum pembagian bibit, teman saya yang bekerja di NGO itu harus melakukan sosialisasi dan survei lahan. Lahan, adalah hal yang menentukan berapa banyak petani akan mendapatkan bibit gratis. Semakin luas lahan, semakin banyak bibit yang akan diperoleh.

Anomali Lahan dan Kepemilikan Tanah

Namun, sialnya lahan yang luas hanya dimiliki oleh warga yang bekerja di kantor desa. Sedangkan warga biasa (tidak bekerja di kantor desa) hanya mendapatkan sepertiga atau seperempat dari yang mereka dapatkan. Saya sedikit berpikir, apakah ini memang karena lahan yang warga biasa punya hanya segini, atau proses seleksi yang manipulatif. Setidaknya itulah yang saya lihat saat proses pembagian bibit.

Entah kenapa, pikiran saya langsung terbang liar. Barangkali, inilah yang membuat program pembangunan desa macet. Dana desa yang disalurkan kadang terhambat oleh proses-proses birokrasi yang manipulatif atau ulah pejabat-pejabat desa yang culas. Membayangkan kondisi ini, maka jangan heran apabila pejabat kita di ibu kota lebih besar culasnya, lebih banyak korupsinya.

Suara dari dalam "Gua"
Saya bersama Mbok Ito (kiri)

Berbicara tentang lahan, saya teringat dengan rintihan suara Mbok Ito. Seorang janda tempat saya menyewa sepetak kamar untuk berteduh di perantauan. Mbok Ito adalah ibu kos yang ramah dan baik hati. Ia menyewakan kamar kos dengan harga rendah. Setidaknya, harganya di bawah rata-rata indekos dekat kampus saya. Kampus Islam swasta yang terletak di daerah perbatasan Bantul—Jogja. Daerah pedesaan yang terpaksa modern.

Dulunya, daerah ini adalah wilayah perdesaan. Sawah-sawah membentang di setiap pinggir jalan. Masyarakatnya hidup dari hasil tani. Kampus saya, dulunya berada di kawasan perkotaan. Seiring berjalannya waktu, kampus mempunyai kebutuhan untuk memperluas area dan menambah gedung. Lembaga pendidikan tinggi itu akan menampung lebih banyak lagi mahasiswa. Akhirnya, daerah kampus ini sekarang berdiri menjadi solusinya.

Cita-cita untuk relokasi kampus adalah cita-cita yang mulia bukan? Sebab, kampus adalah “pabrik” untuk mencetak para intelektual yang nantinya akan mengabdi pada masyarakat. Akan tetapi, sayang seribu sayang, cita-cita mencerdaskan anak bangsa itu tidak berbanding lurus dengan mencerdaskan masyarakat desa di sekitar kampus. Salah satu warga terdampak sekitar kampus itu adalah Mbok Ito.

Mbok Ito memang tidak tahu baca tulis, yang ia tahu adalah bagaimana hari esok dia bisa tetap makan. Itulah yang membuat Mbok Ito akhirnya mendirikan kos empat kamar di atas sawah warisan bapaknya. Lalu apa cerita Mbok Ito yang membuat suaranya merintih tragis? Adalah adiknya yang juga punya usaha kos-kosan, di atas tanah warisan juga, lalu menjual tanah dan bangunan kos itu pada orang lain karena sedang butuh uang. Orang lain yang datang entah dari mana; biasanya dalam dunia akademis disebut dengan pemilik modal, investor, borjuis, dan sejenisnya.

Sepintas, memang tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan oleh adik Mbok Ito. Toh itu adalah jual beli yang sah. Namun, Mbok Ito yang tidak mengerti baca tulis mampu berpikir kalau itu adalah pekerjaan yang sia-sia. Ia menangis, membayangkan benda apa lagi yang akan dijual adiknya nanti ketika segepok uang itu nantinya habis.

  • Suara dari dalam "Gua"
  • Suara dari dalam "Gua"

Sawah yang Menumbuhi Kos, Kafetaria, dan Warung Makan

Tidak hanya Mbok Ito. Dalam kesempatan yang lain, saya juga mendengar suara Pak Waris, seorang buruh tani beranak empat. Semenjak sawah-sawah sudah banyak dijual, dia sering sepi job. Bahkan harus rela untuk keluar masuk desa menggarap lahan warga lain. Begitu pun Pak Gimin, peternak kambing yang sudah kesusahan untuk mencari rumput. Tanah-tanah kering dan penuh coran telah menutup kesempatan untuk rumput bisa subur dan layak dimakan ternak. Jangankan subur, tumbuh saja sudah enggan.

Dalam masyarakat desa yang terpaksa modern, kita bisa menemukan lebih banyak lagi suara-suara dari dalam “gua”. Sawah bukan lagi ditanami padi dan tanah tiada bertumbuh rumput, melainkan deretan kafetaria tempat mahasiswa kongko, rapat, mengerjakan tugas, atau hanya sekadar menghabiskan waktu untuk gelak tawa. Sawah adalah lahan luas untuk mendirikan kos-kosan mewah bagi mahasiswa yang datang dari berbagai daerah membawa uang dari bapak-ibunya. Sawah dan tanah adalah tempat mendirikan warung-warung makan guna memenuhi kebutuhan primer mahasiswa, agar tidak mati kelaparan di tanah orang. 

Dan pada akhirnya, masyarakat desa adalah tuan rumah yang menjadi “pelayan” bagi mereka yang datang. Tidak lagi tuan tanah yang dihormati harkat dan martabatnya. Mereka tidak dididik seperti kampus mendidik mahasiswanya.

Mendengar Pak Tani, Mbok Ito, Pak Waris, dan Pak Gimin, saya bertanya: bagaimana kita (mahasiswa) akan bertanggung jawab terhadap ilmu yang kita dapatkan di kampus?

Dan kepada para calon pemimpin bangsa yang berdebat tentang konflik agraria, hak kepemilikan tanah, dan pembangunan desa, saya ingin bertanya: sudahkan Anda sekalian mendengar suara-suara dari dalam “gua” ini?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Suara-Suara dari dalam “Gua” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suara-dari-dalam-gua/feed/ 0 41330
Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/ https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/#respond Thu, 15 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41160 Mengunjungi Pulau Bonetambu selalu menjadi agenda akhir pekan kesukaan saya. Menyeberangi lautan selama hampir sejam, bertemu dengan anak-anak pulau yang sudah meneriaki nama kakak-kakak gurunya bahkan sebelum kami bersandar di dermaga. Di bulan November dan...

The post Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu appeared first on TelusuRI.

]]>
Mengunjungi Pulau Bonetambu selalu menjadi agenda akhir pekan kesukaan saya. Menyeberangi lautan selama hampir sejam, bertemu dengan anak-anak pulau yang sudah meneriaki nama kakak-kakak gurunya bahkan sebelum kami bersandar di dermaga. Di bulan November dan matahari yang terik sedari pagi, rombongan kami yang terdiri dari enam relawan Sikola Cendekia Pesisir (SCP) dan beberapa peserta dari salah satu yayasan, bersama-sama menaiki perahu berkapasitas 70 orang milik Haji Rasul, seorang pemilik kapal dari Pulau Barrang Lompo—sama-sama terletak di kawasan Kepulauan Spermonde dan perairan Selat Makassar.

Perjalanan menuju Pulau Bonetambu dari dermaga Pelabuhan Paotere, Makassar memakan waktu sekitar satu jam. Saat kami tiba, air laut tidak begitu tinggi sehingga kapal tidak bisa bersandar di dermaga. Pada situasi seperti ini, solusi terbaik adalah seorang awak kapal memakai gabus besar menuju dermaga, lalu mengomunikasikan dengan salah satu warga untuk meminjam jolloro, kapal panjang dan ramping untuk menjemput kami. 

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Pelabuhan Paotere saat Sabtu pagi sebelum berangkat ke Pulau Bonetambu/Nawa Jamil

Sewaktu menunggu giliran menaiki jolloro, saya duduk di samping Haji Rasul, sang kapten kapal. Kami pun sempat berbincang kecil. “Kemarin waktu pemberangkatan relawan naik kapal ta’ juga tidak bisa sandar di dermaga, ya, Aji?”

Haji Rasul menangguk. “Begini memang selalu, Dek, apalagi kalau berangkat menuju siang. Pasti air laut itu sudah turun, tidak cukup untuk kapal sandar di dermaga. Pasti kandas.”

Ia lalu melanjutkan, “Apalagi daerah bibir pantainya pulau ini sama sekali tidak dibersihkan. Ada banyak karang dan dangkal. Jadi kalau air laut surut sedikit saja, saya sudah tidak berani sandar di dermaga.”

Kami tidak banyak berbincang. Setelah sekitar 15 menitan, jolloro kembali bersandar di samping kapal kami, selesai membawa rombongan pertama ke pulau. Saya pun naik ke jolloro. Dari kejauhan, saya dapat melihat dermaga penuh dengan anak-anak yang telah menunggu kedatangan kami. Kata temanku kemudian, anak-anak menunggu sejak pagi. Mereka terlihat senang dan melambaikan tangan seraya kami tiba di dermaga. 

Anak-anak menyambut meriah. Hatiku sangat penuh dengan tingkah lucu mereka yang berebut untuk menggandeng tanganku. Kusapa wajah-wajah yang tidak asing, beberapa anak juga menegurku.

“Halo, Kak Nawa,” sapanya.

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Haji Rasul menakhodai masker saat mengemudikan kapal miliknya menuju Pulau Bonetambu/Nawa Jamil

Menghadapi Antusiasme Anak-anak

Selama beberapa jam ke depan, sebagian besar kegiatan akan dilakukan di sekolah dasar, kecuali makan siang relawan secara bergantian. Kegiatan ini dimulai dengan pengenalan relawan. Kala itu, saya bertanggung jawab di kelas 5 dan 6 yang digabung dalam satu ruangan untuk memastikan kelas berjalan kondusif. Sementara sesi mengajar diserahkan sepenuhnya kepada dua relawan dari yayasan. 

Kelas 5 dan 6 memang belajar di satu ruangan yang menyatu dengan ruang guru (lebih mirip bilik darurat yang hanya dipisahkan dengan triplek putih). Terdapat sekitar 20 anak dari dua jenjang kelas tersebut. Tidak sebanyak murid di sekolah-sekolah yang umum dijumpai di kota. Selama sejam, kami akan bersenang-senang di dalam kelas: belajar baca, tulis, hitung, dan sedikit bahasa Inggris yang ternyata cukup disenangi anak-anak. 

Mengajar anak-anak di dalam kelas memang cukup tricky. Kita harus sigap membaca tanda-tanda kebosanan, hilang fokus, dan tentu menyiapkan materi ajar yang menarik. Setiap anak unik dengan caranya sendiri, sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Ada yang senang dipuji, ada yang malu-malu, ada pula yang senang bermain dan mengganggu temannya. Beberapa pengalaman mengajarku membuatku mengerti bagaimana memperoleh perhatian mereka tanpa melukai pita suara, seperti games, tepuk-tepukan yang variatif, serta memberikan apresiasi untuk setiap hal kecil dan baik yang mereka lakukan. 

Tidak terasa, waktu sudah mendekati siang. Seperti briefing sebelumnya, anak-anak akan diberi makan siang sementara beberapa relawan akan santap siang di rumah Bu RW secara bergantian. Setelah itu permainan berlangsung di luar ruangan. Anak-anak bermain bersama sejumlah kakak relawan, sedangkan sebagian relawan lain sibuk mempersiapkan penyerahan bingkisan untuk setiap anak. Bingkisan-bingkisan itu terdiri dari tas sekolah, perlengkapan sekolah, dan beberapa camilan sehat. 

Anak-anak menerimanya dengan bersemangat. Sebagian di antaranya menyerobot karena saking senangnya. Setelah berfoto bersama, mereka menolak pulang ke rumah mereka dan justru menemani kami ke dermaga. Sayangnya, kami tidak menginap seperti kegiatan-kegiatan sebelumnya.

  • Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
  • Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu

Kekosongan-kekosongan yang Muncul Setelahnya

Kegiatan berbagi dalam bentuk materi menjadi sesuatu yang sangatlah lumrah ditemui, mengingat Indonesia dengan gelar negara berpenduduk paling dermawan di dunia. Sama seperti kegiatan berbagi di Pulau Bonetambu ini, saya melihat begitu banyak kesenangan yang terpancar dari mata anak-anak. Tas punggung yang baru dibagikan bahkan langsung mereka pakai dengan bersemangat.

Membantu dan berbagi memang menyenangkan. Hal baik ini selalu memenuhi hati dengan perasaan hangat. Namun, saya sedikit khawatir. 

Kekhawatiran ini muncul suatu hari, ketika beberapa orang berbagi sepatu untuk anak-anak gunung yang terbiasa tidak memakai alas kaki mewah itu. Donasi materi membiasakan anak-anak dengan kehadiran sepatu itu hingga dipakai setiap hari. Lambat laun, sepatu tersebut mengikis, solnya makin rapuh, dan akhirnya rusak. Yang terjadi setelahnya, lebih dalam dari sekadar alas kaki, kini anak-anak gunung menolak berangkat sekolah tanpa sepatu yang sebelumnya tidak menjadi persoalan. 

Selain itu, pembagian berupa materi akan selalu menjadi hal baik, tetapi: “apakah anak-anak membutuhkan sepatu baru tiap tahun, atau kehadiran guru penuh waktu, ruang belajar nyaman, materi ajar yang menyenangkan dan aplikatif, atau bahkan perubahan pola pikir orang tua mereka bahwa sekolah itu penting?” 

Makin terlibat dengan niat membantu, makin saya sadar bahwa sistem dan perbaikan dari akar menjadi kunci utama perubahan. Tidak sekadar materi yang mengambang di permukaan air, menciptakan kekosongan demi kekosongan di bawahnya. Tidak mudah, apalagi untuk teman-teman relawan yang hanya modal nekat dan rasa kemanusiaan. Namun, bukan berarti tidak mungkin untuk mulai menyentuh hal-hal fundamental di masyarakat pulau. 

Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu
Perjalanan pulang dari Pulau Bonetambu ke Makassar/Nawa Jamil

Cerita saat Pulang

Kami berusaha kembali ke Kota Makassar lebih cepat, sebab makin malam biasanya ombak akan makin besar. Berbeda saat pergi, kali ini saya langsung mengambil tempat duduk di samping Haji Rasul. Saya berniat berbincang banyak hal dengan beliau tentang teknik mengemudikan kapal. Tentu satu jam tidak cukup, apalagi beliau lebih senang bercerita tentang pengalaman merantau dan anak-anaknya dibanding soal kapal. 

Di bagian kemudi saya duduk bertiga, yaitu Haji Rasul, saya, dan satu relawan SCP, Kak Yaya. Perbincangan kami berlangsung menyenangkan, terutama perihal fenomena nikah muda yang kerap terjadi di pulau, dan bagaimana Haji Rasul keukeuh menasihati kami untuk segera menikah. Saya tidak berkomentar banyak, sebab beliau memberi nasihat karena peduli. Terlihat jelas dari matanya yang dikelilingi kulit keriput. 

Perjalanan pulang cukup menantang. Ombak lumayan besar, sehingga beberapa relawan yang duduk di bagian depan kapal langsung bergegas pindah ke dalam.

Kami kembali menginjakkan kaki di Pelabuhan Paotere sesaat sebelum Magrib. Disambut lembayung senja dan kumandang azan masjid. Setelah berpisah dengan rombongan yang kami kawal pada keberangkatan ini, kami pun menutup perjumpaan dengan semangkuk Coto Flyover, Makassar yang menghangatkan jiwa sampai ke tulang


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kabar Ceria sekaligus Cemas dari Pulau Bonetambu di Hari Sabtu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kabar-ceria-sekaligus-cemas-dari-pulau-bonetambu-di-hari-sabtu/feed/ 0 41160