pengamatan burung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pengamatan-burung/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Jun 2025 11:36:08 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pengamatan burung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pengamatan-burung/ 32 32 135956295 Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura https://telusuri.id/melihat-cenderawasih-potensi-ekowisata-baru-kampung-berap-jayapura/ https://telusuri.id/melihat-cenderawasih-potensi-ekowisata-baru-kampung-berap-jayapura/#respond Tue, 14 Jan 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45325 Di pedalaman hutan sebelah utara Kampung Berap, cenderawasih kuning-kecil silih berganti menghinggapi pucuk-pucuk ranting pohon laban tua. Meski baru merintis, masyarakat perbukitan utara Lembah Grime itu tengah melirik peluang ekowisata baru selain Kali Biru. Teks:...

The post Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
Di pedalaman hutan sebelah utara Kampung Berap, cenderawasih kuning-kecil silih berganti menghinggapi pucuk-pucuk ranting pohon laban tua. Meski baru merintis, masyarakat perbukitan utara Lembah Grime itu tengah melirik peluang ekowisata baru selain Kali Biru.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Tidak hanya vanili, pengembangan ekowisata juga menjadi prioritas BUMMA Yombe Namblong Nggua. Lokasi utamanya di Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, yang sudah lama dikenal dengan destinasi wisata Kali Biru. Sungai berair jernih ini mengalir dari hulu melewati wilayah lima marga di Kampung Berap, yaitu Tarkuo, Kasse, Buwe, Yosua, dan Manggo. 

Kali Biru terbilang cukup populer, khususnya bagi wisatawan domestik dari Kota Jayapura dan sekitarnya. Kebanyakan pengunjung datang saat akhir pekan untuk susur sungai dengan ban (tubing), atau sekadar mandi dan berenang di sungai yang panjangnya mencapai 10–12 kilometer tersebut. 

Di samping itu, ternyata Kampung Berap punya permata lain, yaitu burung cenderawasih. Wisata minat khusus ini benar-benar belum dipoles sama sekali. 

Aliran Kali Biru di permukiman marga Manggo, wilayah paling hilir di Kampung Berap. Tampak di sisi kanan jalan cor penghubung Distrik Nimbokrang menuju Distrik Demta, pesisir utara Kabupaten Jayapura/Deta Widyananda

Menembus hutan dan menyusuri sungai demi cenderawasih

Sebenarnya hutan Nimbokrang telah lama masuk radar para pegiat pengamatan cenderawasih dan burung-burung endemis lainnya di Papua. Seperti halnya di Raja Ampat, Sorong, dan Pegunungan Arfak. Di Nimbokrang, kegiatan birding dirintis oleh Alex Waisimon, pendiri dan pengelola Isyo Hills, Kampung Rhepang Muaif. Ia telah memandu banyak tamu dan memetakan spesies-spesies cenderawasih yang terlihat di hutan yang terletak di belakang penginapan Isyo Lode miliknya. 

Seperti di Hutan Klasow Malagufuk, Sorong, setidaknya ada lima spesies cenderawasih yang sudah terpantau: cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus). Dalam katalog eBird, platform basis data temuan spesies burung endemis buatan Cornell Lab of Ornithology, ada beberapa spesies cenderawasih lainnya, di antaranya cenderawasih belah rotan (Diphyllodes magnificus), cenderawasih panji (Pteridophora alberti), dan burung paruh sabit atau kuakalame paruh-putih (Drepanornis bruijnii). Semuanya dilindungi undang-undang negara.

Sementara di Kampung Berap, sudah lama orang-orang kampung tahu kalau banyak cenderawasih yang hilir mudik di hutan-hutan lebat belakang rumah mereka. “Setiap pagi dan sore, terdengar itu suara-suara burung cenderawasih di hutan,” Humas BUMMA, Zet Manggo (51) bercerita.

Wacana pengembangan ekowisata khusus pengamatan burung di Berap memang tengah mengemuka belum lama ini. Dalam satu tahun belakangan, tercatat baru ada dua kali survei kecil-kecilan sebagai tindak lanjut pendirian BUMMA, yang juga diikuti oleh Mitra BUMMA dan Samdhana Institute—lembaga nonprofit yang mendampingi BUMMA. Pemetaan potensi ekonomi tersebut bertujuan memberi destinasi birdwatching alternatif selain Isyo Hills yang sudah masyhur. 

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mesak Manggo, pemandu kami/Rifqy Faiza Rahman

Namun, baru ada satu orang yang tahu persis lokasi pertama pemantauan burung itu, yaitu Mesak Manggo. Pria berusia 54 tahun tersebut juga merupakan pemandu lokal yang ikut mengawal kegiatan survei BUMMA beberapa waktu lalu. Dialah perintis jalur trekking yang menembus lebatnya belantara Ktu Ku, yang terletak sekitar 10 kilometer dari pusat pemerintahan Kampung Berap ke arah Distrik Demta. Ruas jalan ini juga menjadi lintasan utama truk-truk pengangkut kelapa sawit dari Demta ke Jayapura.

Namun, jarak sejauh itu tidak sepenuhnya ditempuh dengan jalan kaki. Rinciannya, delapan kilometer ditempuh dengan kendaraan bak terbuka milik Ishak Yosua ke pintu hutan, sisanya benar-benar bergantung pada kekuatan langkah kaki.

Tidak ada patokan yang jelas sebagai penanda gerbang masuk hutan. Hanya Mesak yang tahu. Zet cukup sering masuk belantara ini untuk mencari bahan makanan hutan, tetapi ia belum pernah sampai ke titik pengamatan burung yang ditemukan Mesak. Yang jelas, rumus perjalanan untuk melihat cenderawasih selalu sama, yaitu harus bergerak sedari pagi—bahkan sebelum hari benar-benar terang. 

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mesak Manggo (paling depan) dan Zet Manggo memandu tim Ekspedisi Arah Singgah Papua 2024 menyusuri aliran kali kecil menuju lokasi baru pengamatan cenderawasih/Mauren Fitri

Treknya bisa dibilang tidak terlalu mudah. Tutupan vegetasinya cukup rapat dan lembap khas hutan tropis. Jalan setapak yang tertutup belukar penuh lumpur sehabis hujan deras semalam. Kami harus memakai sepatu bot agar lebih mudah melangkah. Sesekali dengan parang Mesak menebas ranting dan daun yang rebah menutup jalur. Kondisinya jelas sudah lama belum dilewati manusia. Kami, tim TelusuRI bersama seorang jurnalis Tempo, adalah rombongan ketiga yang masuk hutan ini untuk melihat cenderawasih, setelah survei terakhir BUMMA di awal tahun ini.

Medan yang kami lalui bervariasi. Mulai dari melawan arus kali kecil yang penuh batuan berlumut, hingga meniti tanjakan curam dengan tanah gembur dan licin. Perjalanan turun lebih sulit karena bergantung pada akar atau dahan pohon untuk menjaga keseimbangan tubuh. Tidak ada petunjuk jalur yang jelas, entah itu berupa papan informasi atau string line, karena memang masih benar-benar murni.

Setelah berjalan hampir dua jam atau kurang lebih dua kilometer dari pinggiran jalan Berap–Demta, kami tiba di lokasi pengamatan. Ada satu tempat datar agak terbuka luasnya kira-kira seukuran lapangan futsal, yang dikelilingi pohon-pohon menjulang. Termasuk di antaranya adalah pohon laban setinggi belasan atau mungkin puluhan meter dengan diameter batang yang tidak cukup dipeluk satu orang. Kepala kami mendongak nyaris 90 derajat karena saking tingginya. Di pucuk pohon tahan api dan biasa dimanfaatkan sebagai bahan baku furnitur itulah cenderawasih kuning-kecil terlihat silih berganti datang dan pergi. Mereka menari-nari dan melompat dari satu dahan ke dahan lainnya.

  • Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
  • Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura

Mesak menginstruksikan bersembunyi di antara semak-semak agar kami tidak terlihat burung-burung. Sebab, indra cenderawasih sangat sensitif pada aroma dan gerak-gerik manusia. Deta, fotografer dan videografer tim ekspedisi, tiada henti merekam burung dengan ciri khas warna dasar bulu kuning dan putih itu dengan lensa tele 50–400mm. Burung jantan memiliki warna hijau zamrud pada bulu lehernya, dengan ekor berwarna kuning lebih pekat dan panjang daripada betina. Adapun burung bertina yang berukuran lebih kecil memiliki dada berwarna putih tanpa bulu-bulu hiasan. 

Pemandangan menakjubkan itu sesekali diiringi kicau burung lainnya. Berdasarkan pengalaman di Malagufuk, di Ktu Ku kami mendengar setidaknya ada dua jenis suara yang familiar dan sama-sama lantang, yaitu taun-taun atau julang papua (Rhyticeros plicatus), dan toowa cemerlang. Si julang sempat kami lihat terbang cukup tinggi di atas pohon laban, tapi tidak sempat terpotret. Sementara burung toowa tidak menampakkan diri.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Cenderawasih kuning-kecil jantan/Deta Widyananda

Birdwatching sebagai mitigasi perburuan liar

“Lokasi ini sebenarnya juga jadi tempatnya para pemburu [cenderawasih] ilegal,” sebut Mesak. Ia menunjukkan titik jejak kaki manusia dan bekas pemasangan jebakan. “Biasanya mereka pasang jaring yang tinggi buat menangkap cenderawasih.”

Tidak hanya burung, orang-orang itu kadang juga membalak kayu secara ilegal di luar wilayah adatnya. Pelaku bisa jadi oknum warga setempat atau masyarakat dari luar kampung. Melihat lokasi yang jauh dari kampung dan begitu terpencil, sulit sekali untuk melakukan pengawasan apalagi penindakan tegas dengan hukuman. 

Dengan kata lain, BUMMA dan pengelola pariwisata Kampung Berap berkejaran dengan waktu. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Manajer Ekowisata BUMMA Yombe Namblong Nggua Octovianus Manggo mengakui ada peluang ekonomi restoratif dari kegiatan pengamatan burung atau birdwatching. Bersama pengelola pariwisata kampung, mereka masih akan memetakan potensi lokasi pengamatan lainnya, menyiapkan infrastruktur agar pemantauan burung lebih nyaman untuk tamu atau para birder.

Suasana pengamatan burung cenderawasih yang sedang bertengger di pucuk pohon laban. Tempat baru ini berada di area hutan tropis Gunung Ktu Ku, Kampung Berap, Jayapura/Rifqy Faiza Rahman-Mauren Fitri

Sejumlah ruang pengembangan yang bisa dilakukan antara lain pembuatan rumah pohon sebagai anjungan pandang. Tujuannya agar memudahkan tamu melihat cenderawasih lebih dekat. Rumah pohon itu nantinya disamarkan dengan daun-daun atau ranting sebagai kamuflase, sehingga tidak terlihat oleh cenderawasih. 

Jalur trekking juga perlu dipoles agar aman dilewati. BUMMA dan masyarakat perlu mengukur jarak perjalanan, memilih rute yang menarik dengan tetap memerhatikan keamanan pengunjung, sampai dengan rencana evakuasi jika ada keadaan darurat. 

“Bisa juga membuat rute trekking yang bervariasi, tidak seperti tadi kita berangkat dan pulang lewat jalur yang sama,” usul Zet pada Mesak dan Octo setibanya di kampung. Ia menyebut jalur berangkat bisa melewati areal air terjun yang lebih landai dan istirahat sejenak di sana, baru pulang menyusuri kali.

Sampai sekarang, belum ada kepastian kapan birdwatching di Berap akan dibuka secara resmi sebagai paket wisata. Bagaimanapun, masyarakat Kampung Berap telah memahami, selain dari segi ekonomi, kontribusi ekowisata birdwatching ternyata juga bisa mencegah aktivitas ilegal yang bisa mengancam kelestarian cenderawasih dan burung-burung endemis lainnya.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Simon Manggo (kiri), ketua kelompok sadar wisata (pokdarwis) Kampung Berap didampingi Octo membahas rencana pengembangan ekowisata Kali BIru dan pengamatan burung cenderawasih/Rifqy Faiza Rahman

Integrasi program ekowisata dan konservasi hutan

Pada 3 Oktober 2024 lalu, BUMMA merilis uji coba paket wisata baru bernama river trip atau susur sungai dengan rakit. Nicodemus Wamafma atau Niko (49), General Manager BUMMA, menyebutkan tur akan berlangsung sekitar 45–60 menit, dengan harga paket sekitar Rp150.000 per orang. Dalam satu perahu rakit berisi maksimal tamu tiga orang, yang ditemani seorang pemandu dan juru mudi. Selama perjalanan tamu akan dijelaskan keanekaragaman hayati yang ditemui, baik itu flora maupun fauna. 

Kelak akan ada wacana memperpanjang jalur dari kawasan hulu, Enggam, sampai ke daerah muara yang bernama Sungai Grime, kali besar yang membelah wilayah adat suku Namblong. Tantangannya adalah menjaga kebersihan ekosistem sungai, yang akhir-akhir ini tercemar eceng gondok dan aneka sampah plastik, seperti sabun cuci dan kemasan bekas makanan-minuman. Untuk melakukan ini, BUMMA dan kelompok pengelola pariwisata setempat akan bekerja sama dengan masyarakat lima marga yang wilayahnya dilalui Kali Biru.

Octo mengatakan, pihaknya akan berusaha memadukan paket wisata Kali Biru dengan kegiatan pengamatan burung cenderawasih. Selain mempersiapkan infrastruktur jalur birdwatching secara bertahap, ia bersama jajaran pengurus BUMMA juga akan melakukan sosialisasi dan melibatkan masyarakat lima marga di Berap agar mendapat manfaat ekonomi.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mauren (depan), ketua tim ekspedisi, mencoba perahu wisata menyusuri Kali Biru didampingi Zet Manggo dan Simon Manggo. Aneka vegetasi nipah, sagu, dan tumbuhan sekitar menjadi daya tarik tambahan untuk integrasi paket ekowisata susur sungai dan birdwatching di Kampung Berap/Deta Widyananda

Di sisi lain, Bernard Yewi selaku Manajer Kehutanan BUMMA juga punya tanggung jawab yang tak kalah penting. Riwayat perburuan liar di hutan Ktu Ku jelas mendorong pria yang ikut kami melihat cenderawasih hari itu untuk segera melakukan konservasi hutan. 

“Karena akan ada rencana perdagangan karbon, kami akan melakukan pemetaan potensi dan memperbanyak pohon-pohon dengan potensi penyerap karbon tertinggi selain sagu,” jelasnya. Langkah ini akan mendukung pengembangan ekowisata pengamatan burung, sekaligus menjaga habitat satwa di dalamnya. Kuncinya, komunikasi dan kerja sama dengan para marga pemilik hak ulayat di kawasan tersebut.

Niko mengakui, jalan pengembangan ekowisata pengamatan burung di Kampung Berap masih panjang. Tapi, setidaknya masyarakat Berap memiliki alternatif daya tarik yang segar dan baru untuk wisatawan, melengkapi Kali Biru. (*)


Foto sampul:
Cenderawasih kuning-kecil betina terbang meninggalkan cenderawasih jantan yang masih bertengger di pohon usai menari/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melihat-cenderawasih-potensi-ekowisata-baru-kampung-berap-jayapura/feed/ 0 45325
Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit” https://telusuri.id/ekowisata-malagufuk-menjaga-rumah-cenderawasih-bukan-cenderasawit/ https://telusuri.id/ekowisata-malagufuk-menjaga-rumah-cenderawasih-bukan-cenderasawit/#respond Wed, 08 Jan 2025 09:00:44 +0000 https://telusuri.id/?p=45214 Masyarakat Gelek Kalami dan Magablo di Malagufuk memilih ekowisata sebagai jalan hidup untuk keseimbangan ekonomi dan ekologis. Bertekad menjadi benteng terakhir hutan adat Moi di Papua Barat Daya, baik untuk manusia maupun segala keanekaragaman hayati...

The post Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit” appeared first on TelusuRI.

]]>
Masyarakat Gelek Kalami dan Magablo di Malagufuk memilih ekowisata sebagai jalan hidup untuk keseimbangan ekonomi dan ekologis. Bertekad menjadi benteng terakhir hutan adat Moi di Papua Barat Daya, baik untuk manusia maupun segala keanekaragaman hayati di dalamnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Fasilitas menginap tamu yang berkunjung untuk birdwatching di Malagufuk. Terdapat pondok tamu untuk briefing dan tempat makan (paling kiri), lalu homestay dan glamping/Rifqy Faiza Rahman

Ada satu kawasan gabungan yang mencakup lima kampung adat suku Moi Kelim di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Namanya Malaumkarta Raya. Terdiri dari Malaumkarta sebagai kampung induk, diikuti tiga kampung lain yang juga terletak di pantai utara Distrik Makbon, yaitu Suatolo, Sawatuk, dan Mibi. 

Kemudian satu kampung lagi bernama Malagufuk. Kampung ini mulanya berstatus kampung persiapan, sehingga usianya paling muda se-Malaumkarta Raya. Berbeda dengan empat kampung lain yang berada di pesisir, Malagufuk “tersembunyi” di dalam hutan lebat. Jalan poros Sorong–Tambrauw–Manokwari memisahkan kawasan hutan itu dengan kawasan pesisir. 

Dari pinggir jalan, permukiman kecil Malagufuk belum bisa langsung terlihat mata. Di atas dataran lapang lapang seluas 2–3 kali lapangan futsal, “sambutan” bagi para tamu yang hendak berkunjung ke kampung hanya ada dua papan informasi—yang memuat nama kampung dan keanggotaan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI)—serta sebuah salib kayu bercat putih berkalungkan pita kain berwarna ungu yang berdiri tegak di atas tanah. Kemudian terdapat bangunan seperti rumah—atau mungkin mirip kantor kelurahan—di sebelah timur, yang lebih sering tertutup rapat kecuali ada keperluan. Ada satu-dua sepeda motor yang tersimpan di dalamnya, milik warga Malagufuk.

Di latar belakang, kerimbunan belantara tropis penuh pohon besar menjulang seperti mengundang siapa pun untuk masuk. Jembatan kayu tampak kukuh di mulut hutan, bersanding gemericik kali kecil dengan air sebening kaca. Dari sanalah, lorong alam Hutan Klasow akan mengantar langkah kaki menuju sebuah tempat di mana manusia berharmoni dengan alam. Tempat cenderawasih-cenderawasih menari dan bernyanyi dengan nyaman.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Gerbang masuk menuju Kampung Malagufuk. Pintu hutan berada di bagian kanan foto ini/Rifqy Faiza Rahman

Ketenangan di pedalaman Hutan Klasow

Perlu usaha ekstra untuk mencapai Kampung Malagufuk. Sebenarnya hanya perlu 3,5 kilometer saja dengan jalan kaki dari pintu hutan ke permukiman terpencil yang dihuni kurang dari 20 kepala keluarga tersebut. Rinciannya, 3,3 kilometer meniti jembatan kayu selebar dua meter, sisanya menapak jalan tanah berselimut rumput ke rumah keluarga sekaligus kantor Kepala Kampung Amos Kalami.

Kata Torianus Kalami (47), tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), pada 2021 Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat jembatan berbahan kayu besi (pohon merbau) itu sebagai salah satu jembatan kayu terpanjang di Indonesia. Pengerjaan jembatan mencapai 17 bulan, didukung penuh oleh Pemerintah Kabupaten Sorong, yang saat itu dipimpin Bupati Johny Kamuru. 

Alih-alih membuka akses atas nama pariwisata dan memanjakan kendaraan bermotor, pembangunan jembatan kayu justru memenuhi kaidah ekowisata berkelanjutan karena ramah lingkungan. “Papan-papan kayunya saja tidak berasal dari Malagufuk, tapi dari hutan di tempat lain,” kata pria yang akrab dipanggil Kaka Tori itu.

Jembatan panjang tersebut dibuat sekitar semeter lebih tinggi dari permukaan tanah yang lembek. Saat hujan deras, tanah akan becek dan berlumpur, bahkan tergenang di beberapa titik. Nuansa alami dan penuh petualangan terasa kental. Begitu memulai langkah kaki pertama, serasa terisap ke dimensi yang berbeda. Senyap, tiada kebisingan selain kicau burung dan suara-suara serangga hutan. Teriknya jalan beraspal Sorong–Manokwari lenyap seketika tatkala berjalan semakin jauh, semakin dalam memasuki rimbunnya belantara yang disebut Hutan Klasow oleh warga Malagufuk. Kami juga melewati satu-dua aliran kali (sungai kecil) berair jernih yang bisa digunakan untuk sekadar membasuh muka. 

Butuh waktu tempuh hampir satu jam untuk tiba di kampung. Kaki-kaki orang lokal tentu jauh lebih lincah dan kuat, meski harus mendorong troli merah berisi barang bawaan tamu berkilo-kilo beratnya. Sebab, mereka terbiasa berjalan tanpa alas kaki di hutan, sehingga telapak kaki seperti lengket begitu saja tanpa khawatir terpeleset.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Mauren, ketua tim ekspedisi, menyusuri jembatan kayu terpanjang menuju Kampung Malagufuk/Deta Widyananda

Sesekali saya mengecek lokasi terkini lewat aplikasi Google Maps di ponsel. Sinyal hilang timbul, tentu saja. Dari satelit, jembatan kayu ini tidak terlacak sebagai akses jalan. Tertutup hutan lebat seolah-olah tak tertembus. 

“Nanti di kampung sinyal bagus, kaka. Ada tower di kampung,” celetuk Gustap, pemuda Malagufuk yang juga bekerja sebagai pemandu dan porter. Ia dan Lamber, kerabatnya, ikut pulang menumpang mobil kami dari jalan poros Sorong-Makbon di Klawuyuk, setelah mengantar tamu ke bandara. Belakangan saya tahu menara sinyal itu bantuan dari program BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Letak pemancar Base Transceiver Station (BTS) bertenaga surya itu berada di ujung timur kampung, dekat pondok tamu. 

Jembatan kayu itu akhirnya menemui ujung seiring terbukanya vegetasi hutan. Sebuah gapura lebar yang terbuat dari batang-batang pohon menyambut. Di sebelah kanan tertulis “Eco Village Malagufuk” dan ukiran kriya berbentuk burung cenderawasih kuning-kecil. Di sebelah kiri, terpampang informasi potensi burung cenderawasih di habitat aslinya serta larangan perburuan liar dan perusakan hutan. Pada bagian atas, deretan kata berbahasa Moi menempel pada sebuah papan kayu bertuliskan Bok Feden Paw Malagufuk: Selamat Datang di Kampung Malagufuk. 

Informasi visual tersebut merupakan bentuk penegasan kepada siapa pun yang datang. Dalam satu dekade terakhir, ekowisata birdwatching atau pemantauan burung dipilih sebagai jalan hidup untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat marga (gelek) Kalami dan Magablo di Malagufuk. Tidak hanya berbasis masyarakat, tetapi juga berkelanjutan. 

  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”

Dari bukan siapa-siapa, kini mendunia

Berkah Tuhan karena kegigihan menjaga hutan dan menjaga rumah cenderawasih. Kiranya demikian ungkapan yang tepat melihat perkembangan ekowisata berkelanjutan di Malagufuk beberapa tahun terakhir. Kampung termuda di kawasan Malaumkarta Raya, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong itu jadi tujuan para pengamat burung (birder) dari seluruh dunia. 

Charles Roring adalah salah satu nama yang sangat berperan dalam pengembangan ekowisata birdwatching di Malagufuk kurang dari sedekade lalu. Pemandu spesialis pengamatan burung berdarah Manado yang tumbuh besar di Manokwari itu mereplikasi kesuksesan serupa di Kampung Kwau, Pegunungan Arfak sebelumnya. Padahal, konsep pariwisata atau ekowisata belum pernah ada dalam kamus kehidupan masyarakat Malagufuk

“Dulu Malagufuk belum ada rumah-rumah panggung seperti sekarang, apalagi penginapan. Beberapa keluarga itu kumpul dalam satu-dua tenda terpal di pinggir hutan, yang sekarang dibangun jadi dapur umum untuk mama-mama menyiapkan makanan tamu,” kenang Charles. Saat itu, jembatan kayu belum dibangun seperti sekarang. Hanya titian kayu sederhana yang membentang di atas tanah. Saat hujan deras, langkah kaki akan berat karena terbenam lumpur.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Charles Roring hendak mengamati burung dengan spotting scope atau teropong bidik milik tamu asing yang ia pandu ke Malagufuk/Mauren Fitri

Titik balik Malagufuk mulai terjadi pada pengujung 2014, ketika ia membawa tamu dari Eropa dan mulai mengenalkan Malagufuk kepada dunia. Amos Kalami, yang sedari awal sudah menjadi kepala kampung, seperti diungkap Charles, kaget ketika mengetahui lambat laun kampung kecilnya mulai ramai turis dengan peralatan fotografi lengkap dan lensa-lensa berukuran besar. 

Popularitas Malagufuk mencapai puncak setelah Charles mendampingi tamu dari Prancis. Ia adalah jurnalis foto dari Agence France-Presse (AFP), kantor berita internasional yang bermarkas di Paris. Jurnalis tersebut ingin meliput potensi ekowisata dan bahaya deforestasi akibat rencana ekspansi perusahaan kelapa sawit yang mengancam keanekaragaman hayati endemis di hutan Malagufuk.

Foto-foto dan hasil liputan AFP pun menyebar ke seluruh dunia. Di sisi lain, Charles juga cukup rutin menulis tentang tur ekowisata birdwatching di Papua melalui blog pribadinya wildlifepapua.com, yang dikunjungi ribuan orang per bulannya. Sampai-sampai ia punya tamu-tamu langganan pegiat birdwatching yang tertarik pergi ke Papua untuk melihat cenderawasih, karena membaca blog Charles dan paket wisata yang ia tawarkan. Sorotan dunia melalui informasi jurnalistik tersebut membuat orang-orang—terutama pemerintah setempat dan masyarakat Moi—lambat laun menyadari pentingnya menjaga Hutan Klasow sebagai habitat cenderawasih dan satwa-satwa endemis Papua tersebut.

Sebagai tanggung jawab moral, secara bertahap Charles membina dan mendampingi masyarakat Malagufuk tentang cara mengelola ekowisata berkelanjutan. Khususnya kepada anak-anak muda. Ia mengajari cara memandu, melayani tamu, dan melakukan pemetaan lokasi-lokasi burung maupun satwa endemis lain di hutan. 

Saat ini manajemen ekowisata di Malagufuk dipercayakan ke Opyor Jhener Kalami alias Opi (28), putra kedua pasangan Amos Kalami dan Batseba Mobilala. Opi, dibantu orang muda Malagufuk yang sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga, mengelola pelayanan kepada tamu yang datang dan pergi, mengatur reservasi, memandu, sampai dengan promosi di media sosial. Tidak terhitung berapa kali mereka bolak-balik Sorong–Malagufuk (55 km) untuk menjemput dan mengantar tamu domestik maupun asing. Perputaran uang dari penjualan paket tur pengamatan burung bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahunnya.

Kiri: Antre menunggu giliran pengamatan burung cenderawasih raja di anjungan pandang sederhana. Tampak pemandu muda Gustap (dua dari kiri), ditemani Brampi (paling belakang) ikut mengobrol dengan kami saat menunggu rombongan tamu dari Cina yang sedang memotret di atas. Kanan: Opi membantu mengarahkan Deta membidik gambar cenderawasih raja/Rifqy Faiza Rahman

“Soal keahlian bahasa Inggris itu bisa sambil jalan pelan-pelan. Yang penting selalu saya tekankan untuk jangan silau dengan uang yang banyak dari hasil memandu tamu,” tegas Charles. Ia juga mengarahkan Opi dan teman-teman membatasi jumlah kunjungan tamu per harinya, agar ada jeda bagi mereka dan alam untuk beristirahat.

Pernyataan itu mengingatkan bahwa pengembangan ekowisata berkelanjutan membutuhkan kolaborasi banyak pihak. Terbangunnya pondok tamu, homestay, glamping, dan fasilitas lain yang memoles citra Malagufuk sebagai eco-village juga hasil dari kolaborasi lembaga perbankan, organisasi nirlaba, pemerintah, dan banyak lagi. Semua pemangku kepentingan harus bersinergi agar terjadi keseimbangan kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan di Malagufuk.

Kini, di Papua, Malagufuk diperhitungkan sebagai destinasi utama birdwatching selain Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Jayapura. Sebab, hanya di pulau besar di timur Indonesia inilah (dan sedikit di Halmahera) burung surga itu bisa terlihat dengan mudah di hutan. Biasanya, para tamu akan sekalian berkunjung setelah menyelam atau melihat burung di Raja Ampat. 

Terutama saat musim kawin cenderawasih sepanjang Juni–Oktober. Ratusan hingga ribuan fotografer datang berbondong-bondong. Mereka rela berjalan menempuh berkilo-kilometer di jalur berlumpur, memanggul kamera dan lensa sapu jagad demi momen mahal seumur hidup. Bahkan jika gagal mendapatkan momen itu dalam satu hari, mereka akan menginap beberapa hari lagi di Malagufuk sampai misinya berhasil. 

Saat ini kurang lebih ada sekitar lima spesies cenderawasih yang terlihat di Malagufuk: cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati-kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus). Selain cenderawasih, beberapa burung endemis lainnya yang kerap ditemui antara lain taun-taun atau julang papua (Rhyticeros plicatus), aneka cekakak atau dikenal dengan sebutan kingfisher, dan kasuari.

Sebagai informasi, biasanya Opi dan kawan-kawan akan mengajak tamu melihat cenderawasih dalam dua sesi, yaitu pagi dan sore. Tidak hanya cenderawasih. Terkadang tamu juga meminta ditemani trekking malam untuk melihat satwa-satwa nokturnal, seperti kanguru tanah, kanguru pohon, burung hantu, sampai dengan ekidna atau nokdiak (biasa disebut landak semut atau babi duri). Tamu-tamu ini rela merogoh kocek dalam-dalam demi pengalaman berharga tersebut.

  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”

Sejumlah satwa yang menghuni Hutan Klasow Malagufuk. Secara berurutan, terdapat cenderawasih kuning-kecil, cenderawasih raja, toowa cemerlang, ekidna, dan katak jantan Platymantis paepkei sp.

Ekowisata untuk menjaga masa depan anak cucu

Charles menjelaskan, ekowisata dengan minat khusus seperti pengamatan burung merupakan ceruk ekonomi potensial, tetapi belum digarap secara serius di Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 1.700 spesies burung (nyaris 17% persen burung di dunia) yang memikat para penggemar burung.

Menurut data Grand View Research, nilai jasa industri ekowisata pengamatan burung global diperkirakan mencapai USD 62,73 miliar pada 2023 lalu. Mulai tahun ini sampai 2030 diproyeksikan nilainya tumbuh sebesar 6,2%. Kawasan Amerika Utara—di dalamnya terdapat Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko—menyumbang pangsa sebesar 27,79% dari total pendapatan global tersebut. 

Tampaknya, ada peningkatan terhadap kesadaran lingkungan, konservasi, dan perlindungan keanekaragaman hayati di hutan, sehingga mendorong orang ingin melakukan perjalanan ekowisata untuk mendapatkan pengalaman baru. Sumbangsih dari perjalanan tersebut dapat mempromosikan upaya pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik dan mengapresiasi ekosistem yang terbangun antara manusia dan alam.

“Bayangkan di Amerika saja bisa segitu [pendapatan ekowisata]. Padahal, [keanekaragaman burung endemis] Indonesia lebih kaya, khususnya Papua,” ujar Charles. Namun, ia mengingatkan tantangan klasik yang masuk daftar teratas dalam menghambat peluang tersebut. Ia menilai, “Di Indonesia ini [terutama Papua], birokrasi pengelolaan kawasan konservasi dan pengakuan hutan adat terlalu berbelit-belit. Banyak aturan tumpang tindih.”

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Opi mendorong gerobak atau troli penuh muatan barang milik tamu di jembatan kayu. Selain memandu, umumnya pemuda Malagufuk juga bisa bekerja merangkap sebagai porter/Rifqy Faiza Rahman

Di banyak tempat, seperti jamak diketahui, kapitalisme berkedok investasi atas nama pembangunan kerap mencerabut hak ulayat, peran, dan keberdayaan masyarakat hukum adat. Tak terkecuali kelapa sawit. Puluhan ribu hektare tanah adat Moi di Kabupaten Sorong telah beralih fungsi menjadi lahan konsesi perkebunan sawit. 

Berita terhangat tentu saja ketika masyarakat suku Moi Sigin melawan rencana PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin di Distrik Segun, Kabupaten Sorong. Suku Moi melakukan aksi demo di Jakarta bersama suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan, yang menyuarakan keresahan serupa atas upaya perebutan tanah adat oleh perusahaan sawit. Sebelumnya PT SAS telah memegang konsesi seluas 40 ribu hektare (ha) di Distrik Segun, Klawak, dan Klamono. Namun, Bupati Sorong Johny Kamuru mencabut izin perizinan PT SAS pada 2021, yang diperkuat pencabutan izin pelepasan kawasan dan izin usaha oleh pemerintah pusat pada 2022. PT SAS menggugat balik pemerintah ke PTUN Jakarta karena tidak terima dengan keputusan tersebut.

Selain PT SAS, ada tiga perusahaan kelapa sawit lainnya yang dicabut izinnya oleh Johny Kamuru pada tahun yang sama. PT Cipta Papua Plantation di Distrik Mariat dan Sayosa dengan lahan seluas 15.671 ha, PT Papua Lestari Abadi di Distrik Segun dengan luas lahan 15.631 ha, dan PT Inti Kebun Lestari di Distrik Salawati, Klamono, dan Segun dengan luas lahan 34.400 ha.

Masifnya ekspansi sawit di Sorong terdengar sampai telinga Opi. Ia tidak ingin Malagufuk bernasib sama. Opi menyebut, tidak sedikit di antara spesies burung cenderawasih yang ada di Malagufuk saat ini, sebelumnya berasal dari wilayah adat kampung lain di Sorong yang—sayangnya—hutannya sudah hilang akibat sawit.

“Jadi, itu yang saya takut sebenarnya, kalau misalnya ada kelapa sawit masuk,” ungkap Opi khawatir. Sebab, Hutan Klasow telah menjadi rumah aman bagi cenderawasih. Dan cenderawasih adalah salah satu burung yang membawa dampak peningkatan ekonomi kampungnya lewat ekowisata. “Jangan sampai anak cucu kami tidak melihat cenderawasih lagi, tetapi nanti mereka [hanya] melihat ‘cenderasawit’.”

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Opi dengan kostum adat suku Moi. Generasi muda sepertinya mengemban tanggung jawab besar untuk menjaga hutan agar ekowisata Malagufuk bisa berkelanjutan/Deta Widyananda

Opi menegaskan, masyarakat Malagufuk akan mati-matian menjaga Hutan Klasow (nama lain hutan Malagufuk). Ia tidak ingin Malagufuk tersentuh industri ekstraktif—seperti sawit atau tambang—sejengkal tanah pun. Jika ada yang nekat masuk hutan berburu burung atau merambah lahan ilegal untuk kepentingan bisnis, itu sama saja memicu genderang perang.

Masyarakat Malagufuk telah lama mewarisi kemampuan nenek moyang dalam memanfaatkan sumber daya hutan seperlunya, lalu memakai hasil hutan tersebut secukupnya. Mulai dari mencari bahan makanan dan minuman, meramu obat-obatan tradisional, sampai dengan menggunakan kayu untuk membangun rumah, gereja, dan gedung sekolah.

Bagi orang Moi, hutan adalah tam sini, yang berarti hutan itu ibu atau mama. Mama sang pemberi segala sumber kehidupan, yang harus dihormati dan diwariskan pengetahuannya secara turun-temurun sampai generasi-generasi selanjutnya. Seorang anak memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga hutan, sebagaimana yang dilakukan orang tuanya.

Selanjutnya, bagaimana nasib Malagufuk di masa depan tergantung pada komitmen dan konsistensi bersama para gelek Kalami-Magablo dalam menjamin keberlanjutan itu. Yang jelas, orang Moi punya rumus hidup seperti kata Opi, “Ko jaga alam, alam akan jaga ko nanti.”


Foto sampul:
Toowa cemerlang, spesies burung pengicau yang termasuk dalam keluarga cenderawasih/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ekowisata-malagufuk-menjaga-rumah-cenderawasih-bukan-cenderasawit/feed/ 0 45214