perempuan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/perempuan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 20 Apr 2023 07:37:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 perempuan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/perempuan/ 32 32 135956295 Perempuan dan Pangan Lokal: Merayakan Hari Kartini dan Hari Bumi 2023 https://telusuri.id/perempuan-dan-pangan-lokal-merayakan-hari-kartini-dan-hari-bumi-2023/ https://telusuri.id/perempuan-dan-pangan-lokal-merayakan-hari-kartini-dan-hari-bumi-2023/#respond Tue, 18 Apr 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38360 Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan panel ilmiah antarpemerintah di bawah United Nations, perempuan memiliki peran penting dalam isu ketahanan pangan dunia. Dalam data FAO, badan pangan dunia, perempuan memproduksi lebih dari 50%...

The post Perempuan dan Pangan Lokal: Merayakan Hari Kartini dan Hari Bumi 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan panel ilmiah antarpemerintah di bawah United Nations, perempuan memiliki peran penting dalam isu ketahanan pangan dunia. Dalam data FAO, badan pangan dunia, perempuan memproduksi lebih dari 50% kebutuhan pangan dunia. Andil besar itu berawal dari lingkaran terkecil, yaitu keluarga. Pembentukan pola konsumsi keluarga pun berlanjut ke tingkat komunitas maupun pengembangan usaha pangan lokal.

Hasil kajian Pusat Studi Wanita UGM tahun 2010 memperkuat hal itu. Perempuan bahkan mempunyai peran sentral dalam melakukan konservasi alam. Terutama berkaitan dengan lingkungan sekitar dan di daerah sumber pangan yang dikerjakan. Peran ganda di ranah domestik maupun publik menjadi faktor yang signifikan dalam upaya memenuhi dan memastikan ketersediaan dan ketahanan pangan.

Di satu sisi, dilema mengadang di depan mata. Laporan jurnal Nature Food tahun 2021 menyebut sektor pangan juga memiliki kontribusi sebesar 35 persen terhadap emisi global. Namun, perubahan iklim ekstrem turut mengancam. Climate Change 2023: Synthesis Report menyatakan bahwa peningkatan laju krisis iklim dapat dan telah mengurangi ketahanan pangan serta memengaruhi ketersediaan air.

Sebagai bentuk langkah kecil untuk meningkatkan kesadaran akan isu tersebut, dalam rangka meramaikan rangkaian #RamadanBarengTelusuRI serta merayakan Hari Kartini dan Hari Bumi 2023, TelusuRI menyelenggarakan seminar daring pada 15 April 2023, pukul 15.00-16.30 WIB. Berkolaborasi dengan Kalara Borneo dan SayaPejalanBijak, webinar kali ini mengangkat tema “Perempuan dan Pangan Lokal”. 

Didi Kaspi Kasim, narasumber dari National Geographic Indonesia
Didi Kaspi Kasim, narasumber dari National Geographic Indonesia

Perempuan Lebih Jeli Melihat Potensi Pangan Lokal

Dalam sesi diskusi yang dimoderatori oleh Novrisa Briliantina, TelusuRI mengundang tiga narasumber: Wida Winarno (Co-Founder Indonesian Tempe Movement), Yohana Tamara (Co-Founder Kalara Borneo), dan Didi Kaspi Kasim (Editor in Chief National Geographic Indonesia). 

Sesi pertama memberikan kesempatan untuk Didi Kasim. Dari rumahnya di Jakarta, ia berbagi informasi tentang ekspedisi Saya Pejalan Bijak bersama National Geographic Indonesia. Pria berkacamata itu baru saja pulang dari perjalanan menyusuri kawasan Sausapor, Kabupaten Tambrauw hingga Misool Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papu Barat. 

“Kalau melihat perempuan, alam, dan lingkungan, saya pikir tidak ada cerita terbaik yang bisa kita dapatkan selain dari Papua. Mama-mama Papua adalah figur yang mampu menjaga komunitasnya dari perubahan teknologi dan perubahan zaman. Bagi mereka, alam adalah ibu dari semuanya. Sosok ibulah yang hari ini menjaga keutuhan masyarakat,” tutur Didi membuka cerita.  

Salah satu tujuan ekspedisi tersebut adalah menyoroti sebuah acara bernama Sasi. Semacam acara kesepakatan warga antarkampung. Para mama menyepakati bahwa mereka tidak akan mengambil apa pun dari laut selama November-April. Khususnya lobster, teripang, dan oyster (tiram). Mereka percaya bahwa saat itulah laut menyembuhkan dirinya sendiri. 

“Cerita-cerita seperti itu menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran kunci dalam roda perubahan dan kebaikan,” tegas Didi.

Bergeser ke Bogor, Wida Winarno menceritakan perjalanan terbentuknya Indonesian Tempe Movement. Sebuah organisasi nonprofit yang melihat potensi besar dari tempe dari sisi ilmiah dan nilai ekonomis, yang selama ini sebagian orang memandang sebelah mata. Menurut Wida, meskipun orang Indonesia lebih gemar makan tempe dari kedelai, sebenarnya masih banyak jenis kacang-kacangan lain yang dapat “ditempekan”. 

“Dari sisi ilmu pengetahuan, tempe baik untuk dipromosikan. Tempe adalah produk asli milik bangsa dan memiliki potensi menyelesaikan beberapa masalah gizi dan lingkungan yang dialami Indonesia,” jelas Wida. 

Indonesia Tempe Movement juga sangat memerhatikan keterlibatan perempuan. “Kami telah berkolaborasi dengan 14 negara dengan segudang aktivitas yang banyak menggerakkan perempuan.. Mulai dari edukasi hingga workshop pembuatan tempe, menceritakan hal-hal baik dari tempe yang berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan,” tambahnya.

  • Wida Winarno, narasumber dari Indonesian Tempe Movement/TelusuRI
  • Profil Indonesian Tempe Movement
  • Menggali potensi tempe yang selama ini kerap terabaikan

Peran Perempuan terhadap Ketahanan Pangan Lokal

Yohana Tamara dari Pontianak mengungkapkan hal senada tatkala mengembangkan Kalara (Kalimantan Lokal Karya) Borneo. Sebuah merek yang berfokus mengolah hasil alam hutan non-kayu khas Kalimantan menjadi produk berkualitas.

Ara—panggilan akrabnya—mendorong hilirisasi produk mentah menjadi lebih bernilai ekonomis dan berkelanjutan. Kalara adalah jalan perjuangan atas keresahan Ara terhadap potensi komoditas hutan lokal yang kerap terbuang sia-sia.

Contoh saja buah asam maram. Buah yang mirip salak dan mampu tumbuh sepanjang tahun di lahan gambut. Dari semula hanya jadi bahan olahan rujak, Ara menyulapnya menjadi produk turunan berupa sirup maram. Selain maram, tersedia pula produk olahan gula aren dan kakao (cokelat). Hal menarik adalah tulang punggung utama proses hilirisasi ini adalah perempuan.

“Di Kalimantan, masyarakat adat yang berperan dalam keseharian dan pangan lokal, lalu meneruskan tradisi-tradisi setempat kebanyakan perempuan. Mulai dari mencari, mengumpulkan buah maram, sampai membantu pengolahan adalah ibu-ibu dan anak perempuannya,” tutur Ara.

Proses perenungan panjang dan membaca banyak referensi membawa Wida pada sebuah kesimpulan: peran perempuan sangat besar untuk menjaga ketahanan pangan. Kuncinya adalah mencerdaskan perempuan sejak dini. “Kalau mau punya bangsa yang isinya orang-orang pintar, maka kita harus membuat perempuan pintar supaya generasi berikutnya pintar.”

Wida juga menambahkan bahwa ketahanan pangan di lingkup keluarga sejatinya sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan. Kecerdasan dalam mengonsumsi bahan pangan yang baik untuk anak bermula dari kualitas ASI yang diberikan.

“Peran perempuan sangat krusial di tatanan pangan lokal kita. Kalau bicara way of life, peran ibu adalah peran kunci,” kata Didi mendukung pernyataan Wida.

Ia mencontohkan kehidupan di pesisir Papua. Jika sang bapak pergi melaut, maka yang menjaga kebutuhan keseharian di rumah adalah perempuan atau ibu. Para mama lebih banyak menceritakan soal melestarikan tradisi dan sejarah leluhur. “Mereka adalah orang yang memiliki memori kolektif sangat baik, mengingatnya, dan menerapkannya dalam kehidupan sampai hari ini.”

  • Yohana Tamara, narasumber dari Kalara Borneo
  • Sirup Maram, salah satu produk Kalara Borneo
  • Peran penting perempuan dalam hilirisasi produk non-kayu Kalara Borneo

Menjaga Pangan Lokal untuk Antisipasi Krisis Iklim dan Ledakan Populasi

Iklim nyata-nyata telah berubah. Dampak perubahan iklim ekstrem yang terjadi begitu terasa, khususnya di sektor produksi pangan. Namun, kekayaan khasanah pangan lokal yang kita miliki menumbuhkan optimisme. Kita belum benar-benar terlambat untuk selangkah lebih maju menjaga keberlangsungan pangan lokal..

“Sebisa mungkin mempertahankan pangan-pangan dari tumbuhan yang sudah ada saat ini. Jangan sampai punah. Jika hilang, apalagi yang bisa kita banggakan? Jangan seperti buah asam maram yang sebelumnya banyak terbuang percuma,” Ara mengingatkan, “penting sekali buat generasi mendatang lebih memerhatikan dan mengedukasi diri, agar lebih menggali dan mengembangkan pangan-pangan lokal.”

Tak terkecuali dengan tempe. Wida meyakinkan kita bahwa produksi tempe, dari bahan kacang-kacangan jenis apa pun, akan menghasilkan protein menjadi berlipat. “Tempe jauh lebih efisien dalam menghasilkan protein dibandingkan pangan hewani,” tegasnya, “dan minim jejak karbon di alam.”

Sebagai penutup diskusi, Didi mengingatkan potensi ancaman baru yang harus kita antisipasi cepat. Saat ini kita mulai memasuki era delapan milyar populasi manusia. Artinya, penyerobotan lahan oleh manusia akan sangat besar. Menurut Didi, hal itu bisa menjadi bentuk pandemi baru. “Karena kita harus berpikir cara memberi makan delapan milyar manusia.” 

Didi menekankan pentingnya menjaga adat dan tradisi lokal yang sangat kuat dan mengakar pada masyarakat kita. Selanjutnya berpikir cara membuat adat dan tradisi tersebut bisa beradaptasi dengan perubahan zaman. “Kita punya kok bekalnya. Tinggal mau atau tidak untuk mereplikasi dan menyuarakan ulang cerita itu, sehingga bergulir dan menjadi pegangan bagi seluruh tatanan masyarakat.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perempuan dan Pangan Lokal: Merayakan Hari Kartini dan Hari Bumi 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perempuan-dan-pangan-lokal-merayakan-hari-kartini-dan-hari-bumi-2023/feed/ 0 38360
Di Depan 7 Perempuan Petualang Berikut Kamu Bakal Ngerasa Cemen https://telusuri.id/7-perempuan-pertama-yang-menjelajah-dunia/ https://telusuri.id/7-perempuan-pertama-yang-menjelajah-dunia/#comments Sun, 21 Apr 2019 00:00:14 +0000 https://telusuri.id/?p=13378 Perempuan bukan pemain baru dalam dunia petualangan. Sejak berabad-abad lalu, kaum hawa sudah berkeliaran menjelajah dunia, entah mengarungi lautan, menelusuri daratan, mendaki gunung-gunung tertinggi, atau terbang melesat ke angkasa raya. Tujuh perempuan berikut adalah beberapa...

The post Di Depan 7 Perempuan Petualang Berikut Kamu Bakal Ngerasa Cemen appeared first on TelusuRI.

]]>
Perempuan bukan pemain baru dalam dunia petualangan. Sejak berabad-abad lalu, kaum hawa sudah berkeliaran menjelajah dunia, entah mengarungi lautan, menelusuri daratan, mendaki gunung-gunung tertinggi, atau terbang melesat ke angkasa raya. Tujuh perempuan berikut adalah beberapa di antaranya:

1. Jeanne Baret, perempuan pertama yang berlayar mengelilingi dunia

Jeanne Baret lahir di daerah Burgundy, Prancis, 27 Juli 1740. Saat berumur 20-an, ia mulai bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang naturalis Prancis, Philibert Commerçon. Saat Commerçon diajak bergabung dalam ekspedisi Louis Antoine de Bougainville (yang dimulai bulan Desember 1766), sang naturalis itu membawa serta Jeanne Baret. Supaya nggak ketahuan bahwa Baret adalah perempuan, nama depannya diganti menjadi Jean.

perempuan petualang yang
Jeanne Baret via en.wikipedia.org

Penyamaran Jeanne Baret itu bisa dikatakan berhasil, setidaknya sampai ekspedisi itu tiba di Tahiti, sekitar dua tahun kemudian (April 1768). Entah bagaimana ceritanya, saat kapal sandar di pelabuhan, beberapa orang lokal Tahiti teriak-teriak menuding bahwa ia adalah seorang perempuan. Untung saja Baret bisa diselamatkan.

Sialnya, tahun 1773 Commerçon meninggal di Mauritius. Sepeninggal Commerçon, Baret menyambung hidup dengan bekerja di Port Louis, Mauritius, sampai ia akhirnya menikah dengan seorang opsir Prancis, Jean Dubernat, tanggal 17 Mei 1774. Soal kapan persisnya Baret kembali ke Prancis belum dapat dipastikan. Namun, menurut dugaan, ia kembali ke tanah kelahirannya sekitar tahun 1775.

2. Isabella Bird, penjelajah perempuan pertama yang jadi “fellow” Royal Geographical Society of London

Perjalanan jauh pertama Isabella Bird, perempuan kelahiran Yorkshire, Inggris, 15 Oktober 1831, adalah perjalanan menuju Amerika Serikat tahun 1854. Itu bukan petualangan yang lama diimpikannya, tapi perjalanan yang terpaksa ia lakukan untuk menyembuhkan dirinya yang sakit-sakitan. Akun perjalanan di Amerika Serikat itu kemudian terbit tahun 1856 dalam sebuah buku berjudul An Englishwoman in America.

perempuan pertama yang
Isabella Bird via en.wikipedia.org

Di kemudian hari, hidup Isabella Bird jadi penuh petualangan. Ia menjelajah ke penjuru dunia—Australia, Hawaii (yang dulu dikenal sebagai Sandwich Islands), Jepang, China, Korea, Vietnam, Singapura, Malaya, India, Persia, Kurdistan, Turki, Balukistan, Persia, Armenia, Maroko, dll.—dan membawa pulang “oleh-oleh” berupa catatan perjalanan. Tahun 1892, ia jadi fellow perempuan pertama Royal Geographical Society of London.

3. Nellie Bly, perempuan pertama yang keliling dunia dalam 72 hari

Nellie Bly adalah nama pena dari Elizabeth Jane Cochran, seorang wartawan investigatif yang namanya melambung setelah melaporkan praktik perawatan di sebuah rumah sakit jiwa khusus perempuan, Women’s Lunatic Asylum, Blackwell’s Island, New York. Buat bikin laporan itu (yang kemudian dikembangkan jadi sebuah buku berjudul Ten Days in a Mad-House), perempuan kelahiran 5 Mei 1864 ini bela-belain buat menyamar jadi orang yang sedang mengalami gangguan kejiwaan.

perempuan pertama yang
Nellie Bly (difoto oleh H.J. Myers) via en.wikipedia.org

Tanggal 14 November 1889, untuk “membuktikan” kesahihan “ide” Around the World in 80 Days dalam novel Jules Verne, Nellie Bly memulai perjalanan keliling dunia.

Selama bertualang, ia mampir di Inggris, Prancis (ketemu Jules Verne), Italia (Brindisi), Terusan Suez, Srilanka, Malaysia (Penang), Singapura, Hong Kong, dan Jepang. Ia akhirnya berlabuh di San Francisco, 21 Januari 1890. Dari West Coast, ia naik kereta api ke East Coast dan tiba di New Jersey tanggal 25 Januari 1890. Jika ditotal, perjalanannya itu berlangsung selama 72 hari, delapan hari lebih cepat ketimbang perjalanan fiksi dalam novel Jules Verne.

4. Bessie Coleman, pilot perempuan Afro-Amerika pertama

Nama Bessie Coleman, setidaknya di Indonesia, memang kurang populer ketimbang rekan sezamannya, yakni Amelia Earhart. Tapi, kamu sepertinya perlu tahu kalau Coleman ternyata dua tahun lebih dulu dapat lisensi pilot ketimbang Earhart. Coleman dapat lisensi pilot tahun 1921 di Prancis.

perempuan pertama yang
Bessie Coleman via en.wikipedia.org

Keinginannya buat jadi pilot muncul saat Coleman bekerja sebagai manicurist di sebuah pangkas rambut di Chicago, sekitar tahun 1916. Di salon itu, ia sering dengar cerita-cerita para pilot yang baru saja pulang dari medan Perang Dunia I. Ia pun mulai mengumpulkan uang untuk ikut pendidikan pilot.

Sayang sekali saat itu sekolah pilot di Amerika cuma menerima murid laki-laki. Tapi, Robert S. Abbot, pendiri koran Chicago Defender, menyarankan Coleman untuk belajar terbang di luar negeri. November 1920 ia pergi ke Prancis. Tanggal 15 Juni 1921, nama Coleman tercatat dalam sejarah sebagai perempuan Afro-Amerika (dan keturanan orang asli Amerika) pertama yang jadi pilot.

5. Amelia Earhart, pilot perempuan pertama yang terbang solo melintasi Samudra Atlantik

Di zaman pahit, tahun 1932, Amelia Earhart jadi perempuan pertama yang terbang solo melintasi Samudra Atlantik. Lepas landas di Newfoundland, Amerika Serikat, dan mendarat di sebuah padang rumput di Culmore, Irlandia Utara, Amelia Earhart terbang sendirian selama 14 jam 56 menit.

perempuan pertama yang
Amelia Earhart via en.wikipedia.org

Tentu saja pencapaian Amelia Earhart nggak instan. Ia sudah melewati proses yang panjang. Earhart pernah kerja di industri penerbangan sebagai sales representative. Selain itu, ia juga pernah jadi penulis rubrik penerbangan di surat kabar lokal. Namun sayang sekali, Amelia Earhart hilang di Samudra Pasifik waktu ia mencoba mengelilingi dunia dengan pesawat. Nasibnya masih jadi misteri sampai saat ini.

6. Valentina Tereshkova, kosmonot perempuan pertama yang “solo traveling” ke luar angkasa

Valentina Tereskhova lahir di Desa Maslennikovo, Uni Soviet, 6 Maret 1937. Bapaknya adalah seorang supir tank dan pahlawan perang. Sedari muda, ia sudah senang terjun payung. Ia pertama kali terjun pas umur 22 tahun. Hobi terjun payung inilah yang membuka jalannya jadi kosmonot. Tanggal 16 Februari 1962, Tereskhova jadi salah satu dari lima perempuan Uni Soviet yang lolos seleksi masuk korps kosmonot perempuan, mengalahkan lebih dari 400 orang pendaftar.

perempuan pertama yang
Valentina Tereshkova (difoto oleh V. Malyshev) via en.wikipedia.org

Tereskhova dikirim ke orbit tanggal 16 Juni 1963. Setelah melakukan tradisi mengencingi ban shuttle bus yang membawanya ke lokasi peluncuran, ia melesat ke langit naik Vostok 6 dan menjadi perempuan pertama yang melayang-layang di luar angkasa. Ia mengorbit sendirian selama hampir tiga hari (2 hari, 22 jam, 50 menit) dan mengelilingi bumi selama 48 kali!

7. Junko Tabei, perempuan pertama yang menginjakkan kaki di Seven Summits

Junko Tabei lahir di Miharu, Prefektur Fukushima, Jepang, 22 September 1939. Secara fisik, ia bukan anak yang kuat. Ia nggak olahraga. Bahkan, beberapa kali ia juga kena pneumonia. Tapi, pas kelas empat sekolah dasar, saat berumur 10 tahun, ia mendaki Gunung Nasu dan Gunung Asahi di Gugusan Pegunungan Nasu, Prefektur Tochigi, bersama guru dan teman-teman sekelasnya. Pengalaman itu mengubah hidupnya.

perempuan pertama yang
Junko Tabei via en.wikipedia.org

Pas kuliah, ia gabung dengan kelompok pencinta alam di Showa Woman’s University. Tahun 1969 ia bikin Ladies Climbing Club (LCC), klub pendakian khusus perempuan pertama di Jepang, yang slogannya “Let’s go on an overseas expedition by ourselves.” Setahun kemudian, Junko Tabei jadi perempuan pertama yang menapaki pucuk Annapurna III.

Karir Tabei jelas nggak berhenti di Annapurna III. Puncak Everest ia daki tahun 1975; Uhuru Kilimanjaro 1980; Aconcagua 1988; Elbrus setahun kemudian (1989); Vinson Massif di Antartika musim pendakian 1990-1991; dan Puncak Jaya 28 Juni 1992. Ia adalah perempuan pertama yang bertandang ke tujuh puncak tertinggi di tujuh benua (the Seven Summits).

Bagaimana? Terpesona?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Di Depan 7 Perempuan Petualang Berikut Kamu Bakal Ngerasa Cemen appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/7-perempuan-pertama-yang-menjelajah-dunia/feed/ 1 13378
Lelucon-lelucon Seksis yang “Dinikmati” Perempuan dalam Pendakian https://telusuri.id/lelucon-lelucon-seksis-dalam-pendakian/ https://telusuri.id/lelucon-lelucon-seksis-dalam-pendakian/#respond Sat, 13 Apr 2019 02:00:24 +0000 https://telusuri.id/?p=13216 X: “Bawa minimal empat botol besar, ya. Yang perempuan bawa tiga aja cukup.” Y: “Kok beda? Katanya emansipasi.” X: “Ah, emansipasi apasih … daripada nyusahin di jalan.” Percakapan di atas sering sekali saya dengar setiap...

The post Lelucon-lelucon Seksis yang “Dinikmati” Perempuan dalam Pendakian appeared first on TelusuRI.

]]>
X: “Bawa minimal empat botol besar, ya. Yang perempuan bawa tiga aja cukup.”

Y: “Kok beda? Katanya emansipasi.”

X: “Ah, emansipasi apasih … daripada nyusahin di jalan.”


Percakapan di atas sering sekali saya dengar setiap briefing sebelum pendakian gunung; tentang jumlah air minum, pilihan jalur pendakian, waktu tempuh, tempo perjalanan, ukuran tas yang digunakan, dan perihal teknis lainnya yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin.

Apa pun tujuan percakapan yang kerap diselingi humor emansipasi dan kesetaraan gender itu—entah untuk memudahkan atau justru merendahkan peran perempuan dalam kegiatan alam bebas—yang jelas akhirnya akan berujung pada perbedaan beban yang harus ditanggung selama perjalanan.

Saya tidak akan berkicau tentang definisi dari kedua konsep itu—emansipasi dan kesetaraan gender. Celoteh berikut tentang sebagian kecil “kelakar manis” kesetaraan gender dalam pendakian gunung. Lucunya, “diskriminasi” ini ditoleransi, ditertawakan dan dinikmati, serta dianggap wajar terjadi.

lelucon-seksis
Seorang pendaki perempuan memanggul keril via pexels.com/Spencer Gurley

“Jangan berat-berat, nanti turun berok”

Informasi yang bisa sangat mudah ditemukan di Google bikin lelucon ini seperti cukup logis untuk disampaikan pada perempuan. Istilah turun berok sering diasosiasikan dengan turun peranakan, yang kemudian melekat pada kodrat perempuan.

Namun, yang sering terlupakan, kondisi medis ini juga bisa terjadi pada laki-laki. Sayangnya, logika berpikir seperti ini terlampau serius untuk sebuah gurauan sebelum pendakian. Toh, kelaziman ini juga dinikmati kaum hawa dalam pendakian. Beban keril bisa lebih ringan, ‘kan?

lelucon seksis
Menelusuri jalan setapak via pixabay.com/5598375

“Pelan banget jalannya, kayak cewek aja”

Biasanya, ucapan jenis ini disampaikan sebagai gurauan penutup lelah, ketika jalur mulai menanjak, perut lapar, tenggorokkan kering, atau matahari bersinar terlalu terik.

Perumpamaan semacam ini tidak jarang membuat kaum adam tersinggung, sedangkan perempuan cukup menikmati lelucon jenis ini. Jalan pelan, dimaklumi, bahkan diajak segera beristirahat. Yang lebih aduhai, beban keril dikurangi dan dibebankan ke pendaki yang terkesan lebih kuat.

lelucon seksis
Hiking via pixabay.com/Free-Photos

“Yang bawa tenda biar cowok, cewek urus konsumsi”

Gurauan satu ini (dianggap) masuk akal sebab tugas menyiapkan makanan (dan urusan dapur, sumur, dan kasur lainnya) secara kultural lebih sering dilimpahkan pada perempuan. Biasanya, ketika rumah pendakian (baca: tenda) sedang disiapkan, secara spontan pendaki perempuan berinisiatif membuka keril, menggelar matras, dan mulai main masak-masakan.

Lelucon satu ini jelas dinikmati perempuan, karena memasak termasuk kegiatan yang kurang melelahkan; duduk, aduk, tunggu, cicip, selesai. Selain itu, kalau lokasi tidur dekat dengan sumber air, menjadi kewajiban orang yang tidak memasak untuk mengisi penuh persediaan air. Yang satu ini tentu lebih sering dikerjakan pendaki maskulin, yang (katanya) lebih kuat dan tangguh.

lelucon seksis
Menikmati pendakian gunung via pixabay.com/Mohamed Hassan

“Cewek jalan duluan, biar enggak ketinggalan”

Kicauan macam ini biasanya disampaikan oleh pendaki yang mengatur formasi perjalanan atau mereka yang sudah paham medan pendakian. Biasanya juga, peran “penyapu jalan” (sweeper) akan diemban oleh mereka.

Seharusnya, himbauan ini tidak perlu ditujukan hanya kepada perempuan. Akan lebih bijak jika seandainya himbauan itu ditujukan pada setiap pendaki yang merasa kurang mampu memahami jalur pendakian, atau yang biasa jalan pelan dan cepat kelelahan, apa pun gendernya.

Tetapi, lelucon jenis ini juga dinikmati pendaki perempuan. ‘Kan jadi punya bodyguard, pasti ada yang jalan belakangan. Kalau jalur pendakian jadi lebih berat, (mungkin) beban keril bisa dilimpahkan ke “penyapu jalan.” Wajar ‘kan?

Tentunya masih banyak contoh lelucon kesetaraan gender yang bisa ditemukan dalam kegiatan alam bebas. Contoh yang diberikan dalam tulisan ini masih cukup positif untuk bisa dianggap wajar.

Ada banyak humor seksis lainnya yang sering dilontarkan dalam pendakian, yang lebih diskriminatif namun dianggap “Ah, cuma becanda” baik oleh laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Tapi, contoh itu tidak saya masukan dalam tulisan ini, karena terlalu sensitif, menjijikkan, dan (seharusnya) tidak dinikmati oleh para pendaki perempuan sebagai bentuk canda tawa yang wajar dan biasa saja. Seharusnya, di zaman yang makin beradab ini, lelucon seksis tidak lagi dibiarkan menjadi santapan harian.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lelucon-lelucon Seksis yang “Dinikmati” Perempuan dalam Pendakian appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lelucon-lelucon-seksis-dalam-pendakian/feed/ 0 13216
Menjadi Pelancong Perempuan Indonesia di Maroko https://telusuri.id/pelancong-perempuan-indonesia-di-maroko/ https://telusuri.id/pelancong-perempuan-indonesia-di-maroko/#comments Sun, 07 Apr 2019 16:00:56 +0000 https://telusuri.id/?p=13016 Institusi-institusi pendidikan di negara-negara Eropa, mulai dari pendidikan usia dini hingga universitas, tiap tahun serempak merayakan musim panas. Musim panas memang patut dirayakan, sebab akhirnya orang-orang bisa terbebas dari suhu rendah yang bikin menggigil, angin...

The post Menjadi Pelancong Perempuan Indonesia di Maroko appeared first on TelusuRI.

]]>
Institusi-institusi pendidikan di negara-negara Eropa, mulai dari pendidikan usia dini hingga universitas, tiap tahun serempak merayakan musim panas. Musim panas memang patut dirayakan, sebab akhirnya orang-orang bisa terbebas dari suhu rendah yang bikin menggigil, angin yang ribut, dan awan tebal yang menghalangi pancaran sinar matahari. Libur musim panas lumayan panjang, yakni sekitar dua bulan.

Saya merasakan itu tahun 2016. Sebagian teman sekelas saya menghabiskan waktunya di Negeri Kincir Angin untuk belajar mempersiapkan remedi atau bekerja paruh waktu di kafe atau bar dekat kampus. Sebagian lainnya menganggap dua bulan adalah waktu yang cukup untuk bertualang dan memilih melancong ke negara-negara yang lebih hangat, entah di Uni Eropa atau wilayah lain. Saya termasuk golongan kedua.

Saya melancong bersama seorang teman perempuan selama tiga puluh hari. Perjalanan ini dimulai dari Eropa Barat, terus ke Mediterania, menyeberang ke Afrika Utara, kemudian berakhir di Eropa Timur. Sebagai generasi yang hidup di zaman internet, tak tebersit sedikit pun rasa takut untuk menyambangi wilayah-wilayah tersebut. Banyak aplikasi yang bisa diandalkan, seperti TripAdvisor, Skyscanner, Hostelworld, dan Google Maps. Bermodalkan aplikasi-aplikasi internet (yang mengakomodasi tabungan pas-pasan, kesoktahuan, dan kenekatan ala backpacker) itu, saya berubah menjadi turis cum pemandu perjalanan.

Dari tepi Laut Tengah ke utara Benua Afrika

Maka, tak terasa kami berdua sudah tiba di Mediterania bagian Spanyol. Kawasan itu membuat saya cukup terpukau, melihat perbedaan peradaban yang mencolok dari Eropa Barat. Beberapa kota yang saya kunjungi, seperti Barcelona, Sevilla, dan Cordoba adalah kota-kota dengan aktivitas pariwisata sebagai sumber pendapatan utama. Di tempat-tempat itu masyarakat berbaur dengan turis dalam kegiatan sehari-hari. Mereka mencari nafkah dari turis—sekaligus berebut public space dengan pelancong.

Di Barcelona, turis-turis dengan berbagai warna kulit dan negara bercampur, antre berdempet-dempetan di Sagrada Familia. Sementara di Sevilla dan Cordoba kebanyakan dari mereka adalah muslim yang melakukan napak tilas dan bernostalgia menelusuri kejayaan kerajaan Islam di Eropa. Saya sempat mampir ke sebuah masjid yang berubah menjadi gereja, Mezquita Catedral de Cordoba. Karena musim panas, saya berpakaian layaknya turis lain—kaus tak berlengan dan celana pendek di atas dengkul. Seperti halnya yang saya alami di negara-negara Eropa lain yang saya datangi, tak ada interaksi dengan orang lokal atau sekadar pertanyaan basa-basi “Where are you from?” Pun tidak ada petugas penyewaan kain di pintu masuk rumah ibadah ini. Semuanya terasa normal dan, entah kenapa, saya merasa aman.

maroko
Sagrada Familia di garis langit Barcelona via pexels.com/Aleksandar Pasaric

Lalu, dari Madrid, saya terus ke Maroko di bagian utara Benua Afrika. Memasuki Afrika, saya berpakaian selayaknya di Indonesia—tidak ketat, tidak minim, tidak bisa seenaknya. Sebenarnya tak ada review yang membahas tentang cara berpakaian, ini hanya kesadaran pribadi (atau insting) saja.

Penerbangan saya ke Marrakesh harus transit di Casablanca, sebab tidak dapat penerbangan langsung dari Madrid. Transit dua jam, saya dan teman memilih untuk tidak keluar bandara. Alih-alih kami memanfaatkan waktu untuk menukarkan euro ke dirham Maroko, juga—agar tak pusing kalau lost in translation—membeli kartu perdana sebab jaringan Lebara (penyedia kartu SIM prabayar Belanda) tidak menjangkau Benua Afrika. Di loket penjualan kartu SIM, kami memasang kartu baru dan paket internet, dipandu oleh petugas customer service yang ada di sana.

Seperti yang saya duga, percakapan dengan CS berlanjut sampai pertanyaan-pertanyaan: “Dari mana kamu berasal?” “Berapa lama di Maroko?” “Kalian hanya berdua saja?” Kedengarannya mungkin wajar, hanya ramah tamah lokal. Namun, bagi saya pribadi, basa-basi itu terdengar asing, sebab saya tak pernah disambut seperti itu saat menjadi turis di negara-negara Eropa. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan membuat orang yang ditanyai tidak nyaman, sebab bisa saja disalahgunakan. Tapi, saya pikir lagi, ini ‘kan Afrika Utara. Maka saya jawab saja pertanyaan-pertanyaan itu.

Lalu kami pun kembali ke gerbang keberangkatan. Karena gerbang belum dibuka, kami punya waktu untuk sejenak mengistirahatkan punggung yang penat memikul backpack seberat tujuh kilogram. Saat punggung mulai relaks, tiba-tiba seorang pria paruh baya mulai bertegur sapa. Pertanyaannya sama seperti CS kartu SIM tadi. Saya mencoba memahami, apa mungkin kultur di sini seperti di Indonesia? Kami terjebak antara budaya Timur dan Barat di Maroko. Percakapan itu berjalan sampai ia meminta nomor telepon kami untuk berkomunikasi. Belum bisa memahami apa yang terjadi dan karena masih menerapkan adat ketimuran, akhirnya kami berikan nomor kartu perdana Maroko yang baru dibeli itu. Apa yang ia mau, entahlah. Yang jelas kartu SIM itu bisa kami buang saat hendak keluar dari Maroko.

SMS di Marrakesh

Lalu tibalah kami di Marrakesh, salah satu kota besar yang terkenal sebagai kota persinggahan menuju padang pasir dan tersohor dengan banyak souk (pasar tradisional) yang hingar bingar.

Setelah naik bis umum dari bandara, kami berhenti di depan Masjid Koutoubia. Di luar perkiraan, Google Maps ternyata tak bisa memunculkan saran rute transportasi umum dalam kota Marrakesh. Barangkali karena belum terjadwal dan rutenya belum terintegrasi. Alhasil, kami jalan kaki dua kilometer dari pusat kota ke hostel. Jam empat sore saat itu. Karena lapar, sebelum mencapai hostel—terima kasih untuk TripAdvisor—kami singgah dulu di sebuah restoran untuk menyantap chicken tagine sebagai makan malam.

maroko
Kafe di Marrakesh via pexels.com/Nicolas Postiglioni

Dari sana, hostel tinggal sekitar delapan ratus meter lagi. Namun kami harus jalan kaki menyusuri gang-gang kecil yang hanya cukup untuk satu mobil—dan hari mulai gelap. Karena berjalan dipandu Google Maps, kami menarik perhatian sekelompok anak berusia tanggung. Mereka mencoba mengantar kami (juga dengan jalan kaki) ke hostel. Dengan agak memaksa, menggunakan bahasa Inggris yang patah-patah, mereka terus menawarkan dan membuntuti kami beberapa blok. Saya berusaha untuk tidak menggubris, sebab saya sudah tahu arah ke hostel.

Setiba di hostel, kami menuturkan pengalaman itu pada para pengelola. Mereka bilang, (sebaiknya) diamkan saja sebab mereka akan membuat kami berputar jauh dan mereka juga bakal meminta uang.

Di hostel kami baru menyadari bahwa di nomor baru Maroko itu ada beberapa pesan singkat dari nomor yang tak dikenal. Ternyata dari bapak paruh baya yang kami temui di Casablanca. Ia menanyakan sampai kapan kami di Marrakesh dan mengundang kami untuk ke rumahnya. Mungkin memang tak terlalu bijaksana untuk memberikan nomor ponsel ke orang yang tidak dikenal.

Akhirnya, sepanjang sisa hari pertama di Marrakesh, kami hanya beristirahat di hostel saja, sebelum esok menelusuri padang pasir selama dua hari.

Di perhentian pertama menuju Gurun Zagora

Hari kedua, operator tur untuk perjalanan ke Gurun Zagora (Zagora Desert) yang sudah kami pesat lewat internet sudah menunggu di lobi tepat pukul tujuh pagi. Di mobil pariwisata, kami bergabung dengan sekitar sepuluh turis lain—dari Selandia Baru, Australia, Inggris dan Spanyol. Hanya kami berdua dari Asia. Karena cukup jauh dari pusat kota Marrakesh, paket perjalanan ke Gurun Zagora mengharuskan untuk bermalam, entah 2 hari 1 malam atau 3 hari 2 malam. Pertimbangan biaya dan durasi membuat kami memilih paket 2 hari 1 malam (80 euro).

Menuju Gurun Zagora perlu waktu enam jam perjalanan darat dari Marrakesh. Kami transit beberapa kali di pusat oleh-oleh dan restoran untuk makan siang. Perhentian pertama adalah perhentian yang paling saya ingat.

maroko-03
“Chicken tagine”/Adiska Octa

Di perhentian itu tersedia rest area dengan toilet dan kafe. Setelah dari toilet, kami ke kafe membeli air mineral sebagai bekal perjalanan. Sang penjaga kafe, mengetahui kami dari Indonesia, lagi-lagi memberikan kami pertanyaan-pertanyaan seperti yang kami terima dari penjual kartu SIM dan pria paruh baya di Casablanca. Kami mencoba untuk menjaga keramahtamahan ala Indonesia dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun saat kami mencoba mengakhiri obrolan, penjaga kafe itu menyentuh dagu teman saya sambil tersenyum lebar.

Reaksi yang saya berikan adalah segera pergi dan kembali ke mobil. Keramahan saya langsung buyar dan berganti dengan amarah. Saya memahami bahwa Maroko adalah negara dengan komunitas muslim (yang besar), seperti Indonesia. Tapi apa yang dilakukan penjaga kafe itu sudah menyalahi aturan dan norma sosial yang seharusnya juga berlaku di Maroko.

Saya bayangkan mereka tidak akan berani melakukan physical contact dengan perempuan Maroko, atau white-woman travelers berpakaian minim. Tapi, dengan kami, mengapa mereka bisa semudah itu?

Pergi dari Maroko

Dua hari kami habiskan waktu menaiki unta di padang pasir. Hari keempat, kami menjelajahi souk. Lokasi souk yang kami datangi tak jauh dari hostel, sehingga kami bisa jalan kaki. Di pasar tradisional itu banyak bumbu dan kerajinan khas Maroko. Souk mengingatkan saya pada pasar di Ubud, Bali, di mana toko-toko berjajar berhadapan dengan tata kelola yang berantakan. Artinya, tak ada pembagian wilayah berdasarkan kategori produk.

maroko
Gurun Zagora/Adiska Octa

Kami meluangkan waktu sehari untuk mengelilingi souk itu, sebab arealnya cukup besar dan penuh lika-liku. Merasa tidak aman dari copet, saya tak berani mengeluarkan kamera mirrorless dan hanya mengambil foto (jika diperlukan) dengan ponsel. Sepanjang souk saya juga merasa tidak nyaman. Beberapa penjaga toko memanggil-manggil kami untuk singgah. Lucunya, mereka mengira kami dari Tiongkok. Padahal kami berdua bermata bundar besar dan berkulit sawo matang.

Hari kelima adalah hari yang kami tunggu-tunggu, sebab kami akan segera keluar dari Maroko dan meneruskan perjalanan ke tujuan berikutnya, kembali ke Eropa. Rentetan kejadian yang kami alami telah membuat kami rindu akan dinginnya Eropa Barat dan orang-orang yang acuh tak acuh.

Di Benua Eropa saya merasa jauh lebih aman melakukan perjalanan sebagai perempuan dibandingkan di Maroko. Kami mencoba untuk menghargai nilai-nilai agama dan sosial yang ada di Maroko dengan berpakaian tidak terbuka dan bersikap ramah. Akan tetapi, nyatanya pakaian tidak menjamin wanita bebas dari bentuk-bentuk pelecehan fisik atau verbal. Jelas ini bukan karena pakaian kami. Atau, apakah karena budaya Timur tidak bisa diterapkan di pucuk Afrika ini?

The post Menjadi Pelancong Perempuan Indonesia di Maroko appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pelancong-perempuan-indonesia-di-maroko/feed/ 2 13016
Tanpa Disadari, Perjalanan Memberikan Saya 7 Hal Ini https://telusuri.id/manfaat-melakukan-perjalan/ https://telusuri.id/manfaat-melakukan-perjalan/#comments Fri, 20 Apr 2018 01:30:37 +0000 https://telusuri.id/?p=8175 Barangkali kamu pernah mengalami hal yang sama dengan saya; saat jalan-jalan, kadang ada masanya saya memikirkan apa yang saya dapat dari perjalanan. Waktu habis, dompet menipis, sementara badan capek dan semakin jauh dari rumah. Sekali-sekali...

The post Tanpa Disadari, Perjalanan Memberikan Saya 7 Hal Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
Barangkali kamu pernah mengalami hal yang sama dengan saya; saat jalan-jalan, kadang ada masanya saya memikirkan apa yang saya dapat dari perjalanan. Waktu habis, dompet menipis, sementara badan capek dan semakin jauh dari rumah.

Sekali-sekali ada juga yang bertanya: “Nggak dicariin sama keluarga, Mbak?” Kalau sudah ada yang bertanya begitu, semakin dalamlah perenungan saya. Terus, apa saja, sih, manfaat yang saya peroleh dari perjalanan?

1. Menambah ilmu dan wawasan

berlari

Menelusuri pegunungan via pexels.com/Nina Uhlíková

Berjalan dari satu tempat ke tempat lain tak ubahnya seperti petualangan menyusuri labirin-labirin perpustakaan penuh buku. Bedanya, buku yang saya baca saat melakukan perjalanan bukanlah kertas yang dijilid, melainkan manusia dan kehidupannya. Buku saya tidak bisa dibalik-balik—nanti marah.

Maka melakukan perjalanan membuat wawasan saya bertambah, sebab saya mendapat banyak ilmu baru yang tak diajarkan di bangku sekolah. Perjalanan ibarat gabungan semua jurusan di universitas, sekaligus praktikum.

2. Mengajarkan untuk menjadi pribadi yang tangguh

melakukan perjalanan

Memandang cakrawala kota via pexels.com/Picjumbo

Jangan dikira jalan-jalan itu enak terus. Ada masanya kamu mesti berjubel-jubel dalam angkutan desa, tidur di dek kapal yang sedang diombang-ambingkan gelombang, atau menumpang menginap di stasiun atau terminal. Melakukan perjalanan berarti menempuh segala cobaan.

Jadi, kalau menjalani derita perjalanan saja saya sanggup, tak ada alasan bagi saya untuk tidak siap mengarungi kehidupan yang warna-warni.

3. Jadi punya banyak cerita

melakukan perjalanan

Bersama-sama dengan kawan via pexels.com/Helena Lopes

Inilah anehnya: justru derita-derita yang saya alami di jalan itulah yang akhirnya jadi cerita manis. Bayangkan kalau kamu sudah lama menekuni hobi bertualang atau melakukan perjalanan, pasti kamu punya banyak sekali hal yang bisa diceritakan. Kamu takkan pernah mengalami “dead air” saat berbincang dengan lawan bicara.

Cerita-cerita itu pun kemudian bisa saya tuliskan. Jadi, kalau di masa depan saya ingin kembali mengenang perjalanan-perjalanan lama, saya tinggal buka arsip catatan perjalanan itu. Apalagi sekarang kamu bisa mengunggahnya ke mana-mana.

4. Belajar untuk menjadi manusia yang mandiri

melakukan perjalanan

Safari via pexels.com/Rawpixel

Kadang saya bepergian dengan teman-teman. Tapi tak jarang juga saya melakukan perjalanan sendirian. Kalau sudah begitu, kemandirian saya sebagai manusia menjadi sangat diuji.

Pergi sendirian menuntut saya untuk bisa mengambil keputusan dan menanggung semua risikonya. Tapi, di lain sisi, saya juga belajar untuk menjadi lebih cermat dan memperhatikan setiap langkah yang saya ambil.

5. Menjadi pribadi yang lebih terbuka

melakukan perjalanan

Menyaksikan matahari dari padang rumput via pexels.com/Victor Freitas

Secara tak disadari, melakukan perjalanan juga jadi semacam terapi bagi saya untuk menjadi manusia yang lebih berani, terbuka, namun menghargai orang lain. Pada akhirnya, tiga hal itu pula yang biasanya membantu saya melewati masa-masa sulit di perjalanan.

Gara-gara keberanian, keterbukaan, dan respek terhadap orang lain, saya jadi merasakan bagaimana tinggal bersama warga atau menumpang moda-moda transportasi tak biasa. Akhirnya, karakter-karakter itu juga keluar ketika saya berada di kota sendiri.

6. Dapat “crash course” tentang dinamika kehidupan dan bagaimana menikmatinya

melakukan perjalanan

Di tebing pinggir laut via pexels.com/Rawpixel

Bepergian dari satu tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain, memberi wawasan baru pada saya tentang kehidupan dan dinamikanya. Bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang juga membuat saya menjadi pribadi yang lebih bersyukur.

Tapi, crash course tentang dinamikan kehidupan ini hanya akan bisa kamu dapatkan kalau kamu melihat sekitar. Kalau hanya sibuk dengan dirimu sendiri—dan followers-mu di media sosial—kamu takkan punya waktu untuk merenungkan apa yang kamu lihat.

7. Mengajarkan untuk menghargai alam

berjemur di pantai

Pasir putih, laut biru via pexels.com/Riccardo Bressciani

Jalan-jalan membuat saya sadar bahwa kita—umat manusia—tinggal di satu rumah yang sama, yakni Bumi. Jadi, mau tak mau kita harus belajar untuk menghargai alam, rumah kita sendiri.

Tak terasa, saya mulai cermat menggunakan listrik dan air. Selain itu, karena menyadari bahwa membuang sampah di Bumi sama saja seperti membuang sampah di beranda sendiri, saya jadi berkomitmen untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Jadi, jangan ragu-ragu melakukan perjalanan!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tanpa Disadari, Perjalanan Memberikan Saya 7 Hal Ini appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/manfaat-melakukan-perjalan/feed/ 2 8175
Wanita-Wanita Petualang dari Indonesia https://telusuri.id/wanita-petualang-dari-indonesia/ https://telusuri.id/wanita-petualang-dari-indonesia/#respond Mon, 17 Apr 2017 21:59:17 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=628 1. Hajjah Assabariah Jalan-jalan dengan mencegat truk di pinggir jalan atau naik bis dari terminal ke terminal sudah biasa. Naik sepeda juga sudah biasa. Apalagi naik motor atau mobil pribadi. Hajjah Assabariah jalan-jalan dengan cara...

The post Wanita-Wanita Petualang dari Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
1. Hajjah Assabariah

Wanita Petualang Hajjah Assabariah

Hajjah Assabariah via old.hifatlobrain.net

Jalan-jalan dengan mencegat truk di pinggir jalan atau naik bis dari terminal ke terminal sudah biasa. Naik sepeda juga sudah biasa. Apalagi naik motor atau mobil pribadi. Hajjah Assabariah jalan-jalan dengan cara yang tidak biasa. Ia benar-benar jalan—jalan kaki.

Tak main-main, sebagai wanita petualang ia jalan selama sekitar 16 tahun dari Sabang sampai Merauke, di umur 49 tahun ketika anak-anaknya sudah besar dan bisa mengurus diri sendiri. Berjalan keliling nusantara adalah obsesinya dari muda yang baru terwujud ketika sudah beranjak tua.

Tapi sayang sekali hanya sedikit dokumentasi tentang dirinya. Satu buku tentangnya terbit pada 1989. Namun buku yang berjudul Mutiara Nusantara Hajjah Assabariah itu tidak ditulis langsung oleh sang pejalan, melainkan oleh Sugiono MP, berdasarkan penuturan dari Hajjah Assabariah sendiri.

2. Clara Sumarwati

Clara Sumarwati via langitperempuan.com

Ia mendaki gunung jauh sebelum “nanjak” populer seperti sekarang. Tahun 1990 ia ikut dalam ekspedisi ke Puncak Annapurna IV (7545 mdpl) di Nepal. Tidak berhenti di situ, pada 1993 ia bersama tiga rekan putri lain sampai ke Puncak Aconcagua (6961 mdpl) di Argentina. Puncak pencapaiannya adalah tahun 1996 saat ia menginjakkan kaki di titik tertinggi di bumi, yakni Puncak Everest (8848 mdpl), bersama Perkumpulan Pendaki Gunung Angkatan Darat (PPGAD), setelah gagal pada 1994.

Namun, satu tahun setelah kepulangannya dari Puncak Everest, Clara masuk Rumah Sakit Jiwa Profesor Dokter Soeroyo Magelang (RSSM). Diduga penyebabnya adalah kurangnya apresiasi baik moril maupun materil atas prestasi yang pernah dicapainya itu. Apalagi kisah-kisahnya tentang pendakian Everest seringkali dianggap khayalan belaka oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, bagaimanapun, Clara Sumarwati sudah mencatatkan diri dalam sejarah sebagai wanita Indonesia pertama yang menginjakkan kaki di Puncak Himalaya.

3. Riyanni Djangkaru

Wanita Petualang Riyanni Djangkaru

Riyanni Djangkaru via iradiofm.com

Popularitas Riyanni Djangkaru sebagai wanita petualang melambung ketika ia menjadi host Jejak Petualang. Di program itu, ia menjelajah ke puncak-puncak tertinggi dan lautan segar penuh terumbu karang. Riyanni Djangkaru adalah antonim dari stereotip yang kerap ditempelkan pada wanita, yakni manja dan cengeng. Ia mungkin lebih tangguh darimu, para cowok.

Pensiun dari Jejak Petualang, Riyanni Djangkaru melanjutkan sepak terjangnya dengan meluncurkan Divemag Indonesia, majalah tentang selam yang juga mendukung konservasi terumbu karang, perlidungan hewan-hewan laut terancam—seperti hiu—dan hewan-hewan langka, dan juga kelestarian lingkungan secara umum. Ia juga aktif di gerakan #SaveShark.

4. Gemala Hanafiah

Wanita petualang

Wanita Petualang dari Indonesia

Semula Gemala Hanafiah bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan alat surfing. Namun laut memanggilnya. Lalu ia meminta ke bosnya agar diizinkan bekerja di luar, dengan cara berselancar sambil membawa nama perusahaannya itu. Jadilah Gemala Hanafiah seorang yang bekerja di atas ombak bersama ikan-ikan badut dan barakuda.

Al, sapaan akrab Gemala, pernah menjadi pembawa acara Mutu Manikam. Namun namanya sepertinya lebih terkenal sebagai pegiat selancar dan longboard. Sesekali dia juga menyelam. Ia aktif menuliskan perjalanannya di blognya dan sering juga menulis untuk Divemag-nya Riyanni Djangkaru.

5. Trinity “The Naked Traveler”

Trinity via pergidulu.com

Kisah-kisah petualangan dalam buku Trinity, The Naked Traveler, sudah beredar luas di Indonesia dan mempengaruhi jutaan pejalan—sekaligus menginspirasi orang-orang untuk melakukan perjalanan. Bahkan film tentangnya juga sudah beredar, meskipun diplesetkan menjadi The Nekad Traveler karena “naked” dinilai terlalu vulgar.

Sebelum dibukukan, Trinity menuliskan kisah-kisah perjalanannya di blog. Tulisan-tulisannya yang ringan serta penuh komedi dan ironi itu kemudian diikuti oleh banyak travel blogger Indonesia.

6. Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari

Fransiska dan Mathilda via news.detik.com

Dua nama di atas barangkali kurang familiar di telinga kamu. Mereka bukan seleb blog atau selebgram. Tapi kamu pasti terkejut mendengar bahwa kedua anggota Mahitala Universitas Parahyangan ini sudah menginjakkan kaki di 5 puncak tertinggi di dunia, yakni Carstensz Pyramid Indonesia, Elbrus Rusia, Kilimanjaro Tanzania, Aconcagua Argentina, dan Vinson Massif Antartika.

Jika tak ada aral melintang, pada April dan Juni ini mereka akan mendaki Gunung Everest di Nepal dan Denali di Alaska dan menjadi Wanita-Wanita Indonesia pertama yang sampai di tujuh puncak tertinggi dunia alias Seven Summits.

The post Wanita-Wanita Petualang dari Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wanita-petualang-dari-indonesia/feed/ 0 628