perhutanan sosial Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/perhutanan-sosial/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 27 Jun 2025 07:55:03 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 perhutanan sosial Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/perhutanan-sosial/ 32 32 135956295 Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor https://telusuri.id/dari-kopi-hingga-tradisi-mengenal-perhutanan-sosial-di-kampung-kampung-bogor/ https://telusuri.id/dari-kopi-hingga-tradisi-mengenal-perhutanan-sosial-di-kampung-kampung-bogor/#respond Fri, 27 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47558 Hari itu, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara ayam kampung membelah pagi di kaki Gunung Salak. Seorang mahasiswa dari Singapura tampak berhenti sejenak, menatap sawah yang menghampar di hadapannya. Di tangannya, sebilah daun...

The post Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari itu, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara ayam kampung membelah pagi di kaki Gunung Salak. Seorang mahasiswa dari Singapura tampak berhenti sejenak, menatap sawah yang menghampar di hadapannya. Di tangannya, sebilah daun singkong sebentar lagi akan diubah menjadi wayang. Di sekelilingnya, tawa orang-orang di kampung bersahut-sahutan, bercampur aroma bandrek yang mengepul dari dapur kayu di pendopo kampung adat.

Bagi sebagian orang, belajar mungkin identik dengan ruang kelas, layar presentasi, atau tumpukan buku. Tapi bagi mereka yang ikut dalam perjalanan ini, belajar justru dimulai saat kaki menjejak tanah, saat tangan kotor oleh lumpur sawah, saat cerita-cerita dari warga desa menyelinap perlahan ke dalam kesadaran, mengubah cara pandang tentang hutan, pangan, dan hidup itu sendiri.

Inilah yang disebut experiential learning, sebuah pendekatan belajar yang tumbuh dari pengalaman langsung. Bukan sekadar mendengar teori, tapi turut mengalami dan merasakan napas kehidupan masyarakat yang menggantungkan harap pada hutan dan tanah. Di kawasan social forestry (perhutanan sosial atau sosial forestri), proses belajar menjadi sesuatu yang hidup, konkret, dan bermakna.

Perhutanan sosial di Indonesia bukan hal baru. Di banyak kampung, hubungan masyarakat dengan hutan telah berlangsung jauh sebelum istilah itu diperkenalkan. Hutan bukan hanya sumber kayu atau hasil kebun, melainkan juga ruang spiritual, warisan nenek moyang, dan pondasi ekonomi keluarga. Di sinilah nilai-nilai kemandirian, gotong royong, dan keberlanjutan dijalankan hari demi hari, dalam diam namun penuh kekuatan.

Selama tiga hari, mahasiswa dari Singapore University of Social Sciences (SUSS) diajak menyelami kehidupan di tiga kampung perhutanan sosial di Bogor. Mereka belajar tentang agroforestri kopi, ikut menanam padi, memasak dengan alat tradisional, bahkan mencicipi kopi hasil kebun rakyat yang ditanam tanpa pupuk kimia. Di balik setiap aktivitas itu, tersimpan pelajaran tentang relasi manusia dengan alam relasi yang dibangun bukan dengan dominasi, tapi dengan saling jaga.

Dan dari sana, kita mulai memahami: bahwa pendidikan sejati tak selalu lahir dari papan tulis atau sertifikat, tapi dari pertemuan. Pertemuan antara rasa ingin tahu dan kearifan lokal, antara pemuda dan petani, antara generasi yang datang dan pengetahuan yang diwariskan. Semua dimulai dari keberanian untuk pergi, mendengar, dan mengalami.

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor
Mahasiswa membuat wayang dari daun singkong sebagai bagian dari pengenalan nilai budaya Sunda (14/6/2025)/Annisa Aliviani via LATIN

Hari Pertama: Menyulam Tradisi di Sindangbarang

Perjalanan dimulai dari Kampung Budaya Sindangbarang, Tamansari, kampung adat tertua di Bogor yang masih menjaga kuat warisan budaya Sunda. Para mahasiswa disambut dengan alunan musik Angklung Gubrag dan segelas bandrek hangat, seolah mengantar mereka masuk ke dimensi waktu yang berbeda.

Di sini, mereka tak hanya belajar tentang filosofi hidup masyarakat Sunda, seperti Tri Tangtu di Buana yang mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur, tapi juga ikut ambil bagian dalam aktivitas budaya sehari-hari: menumbuk padi dengan lesung, membuat wayang dari daun singkong, memasak nasi dalam aseupan, dan menanam padi di sawah secara gotong royong.

Ritual Marak Lauk, tradisi syukuran atas hasil bumi dan air menjadi puncak dari hari itu. Kegiatan ditutup dengan permainan rakyat seperti rengkong dan parebut seeng, yang menyiratkan makna kebersamaan dan kerja kolektif.

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor
Mahasiswa mencicipi hasil kebun seperti pisang dan kelapa di area agroforestri Patani Coffee, Leuwiliang (15/62025)/Annisa Aliviani via LATIN

Hari Kedua: Mengenal Kebun Rakyat di Leuwiliang

Keesokan harinya, peserta beranjak ke Patani Coffee di Leuwiliang, kebun kopi rakyat seluas 4,5 hektare yang dikelola dengan pendekatan agroforestri. Di bawah rindangnya pohon pelindung, mahasiswa menyusuri kebun yang tak hanya ditanami kopi, tapi juga pisang, singkong, kelapa, dan berbagai tanaman pangan lainnya—semuanya dikelola tanpa pupuk kimia.

Mereka ikut memberi pakan kambing, mengenal tanaman tumpangsari, hingga menyimak cerita petani tentang bagaimana kebun menjadi penyangga pangan keluarga saat harga kopi turun. Tak hanya itu, mahasiswa diajak melihat langsung proses pascapanen kopi: dari penyortiran biji, penjemuran, hingga menyeduh kopi dengan metode bamboo drip dan kopi tarik.

“Kopi ini bukan hanya soal rasa. Ini tentang bagaimana kami bertahan,” ujar Pak Arifin, penggagas Kopi Patani.

Mahasiswa mengamati demplot kopi (kiri) dan wisata edukatif di Cibulao, kawasan hulu Puncak (16/6/2025)/Annisa Aliviani via LATIN

Hari Ketiga: Melihat Harapan Baru dari Cibulao

Hari terakhir berlangsung di Cibulao, kampung kecil yang terletak di tengah kawasan hutan lindung Puncak. Dulu, desa ini nyaris terisolasi, terimpit di antara lahan HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan teh, dan sebagian besar warganya menggantungkan hidup sebagai buruh harian. Kini, wajah Cibulao perlahan berubah.

Melalui skema perhutanan sosial, warga membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) dan mengembangkan agroforestri kopi sebagai bentuk diversifikasi mata pencaharian. Tak hanya mengurangi ketergantungan pada pekerjaan buruh, inisiatif ini juga memulihkan hutan yang dulunya rusak dan gundul.

Para mahasiswa ikut menanam pohon di lahan kritis, menyusuri jalur agroforestri, mencicipi kopi Cibulao yang telah memenangkan kontes kopi nasional, hingga belajar tentang pengembangan wisata edukatif berbasis komunitas. Di akhir kunjungan, mereka mengikuti sesi cupping, mencicipi kopi hasil panen petani yang diolah secara mandiri.

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor
Kegiatan penanaman pohon di lahan konservasi Cibulao sebagai bentuk kontribusi peserta terhadap keberlanjutan (16/6/2025)/Annisa Aliviani via LATIN

Social Forestry, Ruang Belajar dan Harapan Masa Depan

Program ini merupakan bagian dari Akademi Sosial Forestri, inisiatif Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) untuk memperkuat transfer pengetahuan lintas generasi dan membangun empati ekologis di kalangan muda. Melalui pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman, sosial forestri atau perhutanan sosial tak lagi dipahami sekadar sebagai kebijakan, melainkan sebagai cara hidup yang konkret, adaptif, dan penuh makna.

Di tengah ancaman krisis iklim dan ketimpangan sosial, perhutanan sosial hadir sebagai jalan tengah yang menjawab kebutuhan ekologis sekaligus sosial. Ia merawat hutan sambil merawat kehidupan. Dan generasi muda seperti para mahasiswa ini adalah bagian penting dari masa depan itu. Mereka bukan hanya pengamat, melainkan juga pelaku yang bisa menjaga, meneruskan, dan menyuarakan cerita-cerita dari akar rumput.

Sebab, seringkali belajar yang paling membekas bukan yang kita catat di buku, melainkan yang kita alami sendiri di tengah hutan, di ladang, di rumah-rumah sederhana yang menyambut kita dengan cerita dan secangkir kopi hangat.


Teks dan foto oleh Annisa Aliviani, koordinator komunikasi di Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-kopi-hingga-tradisi-mengenal-perhutanan-sosial-di-kampung-kampung-bogor/feed/ 0 47558
Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung https://telusuri.id/cerita-kehidupan-mangrove-dalam-pengelolaan-hutan-kemasyarakatan-di-belitung/ https://telusuri.id/cerita-kehidupan-mangrove-dalam-pengelolaan-hutan-kemasyarakatan-di-belitung/#respond Tue, 30 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41053 Menarilah dan terus tertawaWalau dunia tak seindah surgaBersyukurlah pada yang kuasaCinta kita di dunia, selamanya Kutipan lagu yang dinyanyikan Nidji sebagai lagu pengantar film Laskar Pelangi berhasil menyihir penikmat musik di Indonesia. Laskar Pelangi tidak...

The post Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung appeared first on TelusuRI.

]]>
Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia, selamanya

Kutipan lagu yang dinyanyikan Nidji sebagai lagu pengantar film Laskar Pelangi berhasil menyihir penikmat musik di Indonesia. Laskar Pelangi tidak hanya menceritakan kisah sekelompok anak yang pantang menyerah dalam mengejar cita-cita, tetapi berhasil mengenalkan Bangka Belitung sebagai tempat yang indah di Indonesia.

Sayangnya, keindahan yang kita kenal ternyata menyimpan borok yang menganga: lubang-lubang bekas galian tambang, hutan mangrove yang telah hilang, dan vegetasi alami yang semakin sedikit.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sedang mengembangkan program “50 Pesona Perhutanan Sosial Nusantara Integrated Area Development (IAD)” atau Pengembangan Area Terintegrasi. Fungsinya seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm) untuk kesejahteraan ekonomi rakyat dan juga sebagai sarana konservasi. 

Salah satu IAD yang sukses menjalankan misinya terletak di Bangka Belitung. IAD Bangka Belitung terdiri dari beberapa HKm, yaitu HKm Juru Seberang, HKm Bukit Peramun, HKm Desa Terong, HKm Teluk Munsang, dan HKm Batu Bedil.

Kali ini, TelusuRI ajak kamu menelusuri cerita HKm yang ada di sana.

Mengolah Bekas Tambang Menjadi Ekowisata

Lahan sebesar 757 hektare (ha) telah disahkan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK 79/MenLHK-II/2015 yang diterbitkan pada 10 Maret 2015. Sebagai salah satu kelompok Hutan Kemasyarakatan, HKm Juru Seberang mengelola bekas lahan tambang, hutan mangrove, dan hutan pantai sebagai lahan untuk kesejahteraan masyarakat Desa Juru Seberang.

Sesuai dengan visinya, yaitu menjadi komunitas kehutanan yang profesional melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil, dan berkelanjutan; masyarakat Desa Juru Seberang berupaya memulihkan bekas tambang timah yang menyasar hutan mangrove.

Pemulihan besar-besaran dilakukan untuk mencegah abrasi di daerah pesisir. Penanaman mangrove dapat membuat ekosistem kembali pulih. Belitung Mangrove Park yang masuk dalam kawasan Juru Seberang terdiri dari 52,02 ha berdiri berkat kerja sama HKm dengan Yayasan Terumbu Karang Indonesia. 

Kita bisa menyusuri trek mangrove atau susur sungai menggunakan kapal untuk melihat sekeliling. Bila beruntung kita akan mendapati burung-burung liar yang beterbangan.

Taman Hortikultura, bagian lainnya dari HKm Juru Seberang, menyediakan arena pembelajaran bercocok tanam bagi para pengunjung yang ingin mencoba langsung menanam atau memetik hasil kebun. Ada mangga, lengkeng, sirsak, sukun, menteng, jambu mete, dan sayuran. Selain untuk kegiatan wisata, Taman Holtikultura juga menjadi sumber pendapatan masyarakat.

Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung
Pemandangan hutan mangrove di tepi pantai di bawah pengelolaan HKm Juru Seberang Belitung/KLHK

HKm untuk Semua Kalangan

Apriyanto yang menjabat sebagai ketua HKm Teluk Munsang menjelaskan jenis kegiatan yang bisa dilakukan di Teluk Munsang. “Ada trekking mangrove, diving, snorkeling, pondok wisata, spot foto. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa lebah madu dan jamur.”

Seperti HKm lainnya di Belitung, kita akan mendapati mangrove sebagai ekowisata. Keberadaan mangrove menjadi sebuah tolok ukur rasa syukur. Tidak hanya bagi keindahan, tetapi juga bagi para nelayan.

“Ada tanggung jawab moral bagi kami untuk merestorasi wilayah yang sebagian telah rusak akibat tambang,” jelas Apriyanto.

Kami menanyakan apakah profesi penambang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat sekitar, tetapi Apriyanto menampik, “Tidak dilakukan secara turun temurun. Tambang untuk umum baru dimulai sekitar tahun 2000—2005.”

Pertemuan dengan Perhutani yang menjadi awal mula HKm sempat mendapat pro-kontra di kalangan masyarakat. “Ada yang antusias, ada yang kontra, karena ramainya masyarakat yang masih ingin menambang. Kondisi sekarang 90% masyarakat sudah beralih ke program Perhutani, yang nambang sudah pindah semua dari wilayah itu,” jelasnya.

HHBK yang menjadi primadona Teluk Munsang adalah madu dan jamur. Pengambilan madu masih dilakukan secara tradisional, yaitu menggunakan api dan asap lalu kemudian diiris. Panen madu bisa mencapai tiga kali dalam setahun. Hasilnya cukup memuaskan, bisa mencapai lima liter. Adapun jamur masih mengandalkan proses alamiah untuk tumbuh. Masyarakat cenderung lebih mengandalkan pencaharian sebagai nelayan daripada hanya bergantung kepada HHBK.

Mangrove demi Kehidupan

Bicara daerah pesisir pasti tidak lepas dari peran mangrove. Ibarat sebuah film, mangrove adalah peran utama yang bakal mengundang sorotan karena menjadi pusat cerita. Sama halnya dalam kehidupan, mangrove menjadi peran utama dalam ekosistem pesisir: menyediakan rumah bagi ikan-ikan, melindungi pantai dari empasan ombak secara langsung, hingga mencegah pemanasan global.

Sebelum menjadi HKm, dulunya tempat tersebut hanyalah semak belukar dan jalan setapak. “Awal mula menjadi HKm sebenarnya dari iseng-iseng membersihkan semak, karena banyak yang ikut akhirnya minta pengarahan ke pihak desa dan keluarlah SK,” terang Egi Saputra, Ketua Pemuda Nelayan Pecinta Alam (PNPA) Desa Terong.

Egi menuturkan sudah tidak ada lagi penambang timah di sekitar sini. Sebagian besar menjadi nelayan atau petani. Program-program yang digalakkan, seperti pembibitan dan penanaman mangrove serta wisata pantai melibatkan masyarakat secara aktif. 

Pengunjung bisa ikut menanam mangrove dengan biaya Rp20.000 per orang. Sudah mencakup perlengkapan dan pemandu yang akan mengarahkan cara menanam.

Dampak yang dirasakan tidak main-main. Tersedianya lapangan kerja menghasilkan tambahan pundi-pundi rupiah, meski belum stabil. Masyarakat tetap bergantung kepada kegiatan bertani dan mencari ikan sebagai pendapatan utama. Integrasi dengan Desa Wisata Terong memperkaya paket wisata yang ditawarkan dan merangkul semua potensi yang ada di sini.

Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung
Contoh brosur promosi paket wisata di Desa Terong/HKm Desa Terong

HKm dan Kemandirian Ekonomi Lokal

HKm Batu Bedil memang belum seperti HKm lainnya yang sudah tertata rapi dengan berbagai macam pilihan kegiatan. Meskipun bangunan yang ada masih swadaya, tetapi Rencana Kinerja Tahunan (RKT) untuk pembangunan pembangunan sudah tersusun rapi. Infrastruktur menjadi pilihan utama selain pengajuan pertanian mete, lada, dan, buah-buahan. “Kita mengusulkan sekitar 20 hektare tambahan untuk lahan pertanian. Kami juga sudah mengelola 20 hektare tanah yang ditanami mete,” jelas Suhardi, ketua HKm Batu Bedil.

“Batu Bedil merupakan salah satu geosite yang ada di Belitung,” terang Suhardi. Sebagai informasi, peresmian Batu Bedil sebagai geopark dilakukan pada 2019 dan dicanangkan masuk sebagai UNESCO Global Geopark.

Tidak hanya keindahan alam saja yang ditawarkan, tetapi juga terdapat beberapa peninggalan arkeologis yang masih dapat disaksikan hingga sekarang. Selain ekowisata mangrove, Batu Bedil juga menawarkan snorkeling di konservasi Karang Tima. Selama pandemi berlangsung, hanya turis mancanegara yang berkunjung. Sekolah-sekolah lokal yang biasanya mengadakan kunjungan belum terlihat batang hidungnya. Mandeknya kegiatan pariwisata membuat pengelola beralih ke budidaya kerapu sulu.

Para penambang yang lebih dahulu memakai kawasan Batu Bedil menjadi tersingkirkan setelah kawasan tersebut resmi menjadi hutan lindung. “Kita beri pengertian kepada masyarakat untuk tidak menambang di area HKm Batu Bedil, karena kita sudah diberi amanah oleh negara untuk menjaganya,” jelas Suhardi.

Kesolidan masyarakat Batu Bedil diuji dengan kondisi ekonomi yang belum mencukupi kebutuhan sehari-hari. Namun, syukurnya mereka tetap solid dan semangat mengelola HKm.

“Harapan kita ke depannya pemerintah bisa membantu fasilitas, ya, namanya tempat wisata kan harus ada fasilitas. Dan saya harap juga kawan-kawan di HKm ini bisa semakin membantu ekonomi masyarakat sekitar,” pungkas Suhardi.

HKm Digital, HKm Terdepan

Upaya digitalisasi rupanya tidak hanya menyasar para pelaku ekonomi di negeri ini. Sektor HKm tidak ketinggalan juga ikut menyusul bagian pariwisata lainnya dalam menggalang konten digital.

Adi Darmawan, mobile developer yang berhasil kami wawancarai, membeberkan bahwa HKm Bukit Peramun menawarkan virtual apps untuk paket wisata digital. Konsep yang diusung oleh HKm Bukit Peramun adalah hutan berbasis digital.

“Ada virtual guide, ada pengenalan pohon yang berbentuk hologram yang bisa bicara sendiri, tapi aplikasi hanya bisa dipakai di kawasan Bukit Peramun,” jelasnya.

Ada empat paket wisata yang ditawarkan oleh HKm Bukit Peramun yang semuanya menggabungkan keseruan realitas dan digital. Misalnya, trekking dan spot foto virtual, pengamatan tarsius malam hari, geowisata lintas alam, dan wisata edukasi untuk anak-anak sekolah.

Mayoritas masyarakat yang dulunya adalah penambang perlahan-lahan mengubah diri menjadi pegiat alam. Masyarakat sekitar mulai memahami bahwa ketika alam rusak, tidak akan ada yang bisa berjalan dengan baik. Akhirnya konservasi berhasil, ekonomi berjalan. Sayangnya badai pagebluk Covid-19 mulai menghantam pariwisata. Ekonomi yang awalnya sempat bangkit kembali menjadi terpuruk. Untungnya pengelola sudah menyiapkan mitigasi usaha yang cukup menjanjikan, yaitu produksi tanaman herbal dan kompos.

Adi berharap ke depannya ada stimulus dari pemerintah untuk membantu masyarakat dalam mengelola HKm. Terutama mengenai tata kelola lokasi, promosi, serta pelayanan. Digitalisasi menyeluruh juga diharapkan dapat membantu perkembangan HKm dalam menghadapi era industri 4.0 saat ini.

Foto sampul:
Sisi lain panorama kawasan hutan mangrove di tepi pantai di bawah pengelolaan HKm Juru Seberang Belitung/KLHK


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita Kehidupan Mangrove dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di Belitung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-kehidupan-mangrove-dalam-pengelolaan-hutan-kemasyarakatan-di-belitung/feed/ 0 41053
Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis https://telusuri.id/samsul-bahri-bapak-mangrove-dari-bengkalis/ https://telusuri.id/samsul-bahri-bapak-mangrove-dari-bengkalis/#respond Fri, 22 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40478 Di balik kerimbunan hutan mangrove pesisir Teluk Pambang, seorang pria paruh baya terus menempuh jalan sunyi. Titipan masa depan yang tidak mudah dilestarikan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Bayangkan sedang berada...

The post Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis appeared first on TelusuRI.

]]>
Di balik kerimbunan hutan mangrove pesisir Teluk Pambang, seorang pria paruh baya terus menempuh jalan sunyi. Titipan masa depan yang tidak mudah dilestarikan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Pohon mangrove terendam air laut yang sedang pasang di pesisir Senekip, Teluk Pambang, Bengkalis/Mauren Fitri

Bayangkan sedang berada di daerah pesisir di suatu pulau. Siang bolong. Terik matahari centang-perenang. Saat kulminasi musim kemarau. Derajat hawanya setara suhu puncak demam tifoid. Embusan angin begitu kering. Air bersih yang diharapkan menyegarkan berasa payau. Satu-satunya sumber kesejukan adalah oksigen yang dikeluarkan pohon-pohon mangrove di pesisir Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan.

Tim TelusuRI menemukan itu semua di desa yang terletak di sebelah barat Pulau Bengkalis, Riau. Akibatnya? Tiga personel tumbang. Kepayahan yang didera hanya dari tiga jam keliling mengamati kawasan mangrove sekitar Sungai Kembung dan Pantai Senekip di dekat perairan Selat Malaka.

Di lantai rumah kontrakan milik Samsul Bahri (55), yang jadi sekretariat Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), tubuh kehilangan daya dan sakit kepala. Terbaring lemas mengiba pada tenaga kipas angin—disetel putaran tertinggi—untuk meluruhkan cairan keringat yang terbuang. Kalau masih kurang sejuk, mungkin kami akan memilih rebahan ke masjid di seberang rumah. Ada banyak kipas di sana.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Pak Samsul terlihat anteng mengemudikan perahu bermesin 15 PK menyusuri hutan mangrove di aliran anak Sungai Kembung/Deta Widyananda

Samsul Bahri, tuan rumah sekaligus juru perahu kami tadi, terlihat anteng-anteng saja. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada keluhan berarti dari Ketua Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Belukap itu. Ia malah merasa kasihan kepada kami.

“Kekebalan” Pak Samsul, sapaannya, terhadap cuaca membara di Bengkalis tidak tercipta tiba-tiba. Lebih dari dua dekade menanam puluhan hektare mangrove, hanya dibantu seperlunya oleh segelintir orang, kulit pria berdarah Jawa itu sudah berdamai dengan ganasnya sengatan matahari. Bahkan sampai pada taraf nyaris terbakar, terutama ketika beraktivitas di laut karena saking panas dan keringnya. Sesuatu yang ia alami, ia lakoni hampir seumur hidupnya. Setiap hari, selama puluhan tahun. Nyaris tanpa setop.

“Ya, begitulah bapak. Enggak cuma ngurus mangrove, tapi juga sering jadi imam masjid, khatib Jumat. Dulu malah sempat jadi guru ngaji,” tanggapnya. Ia sering menggunakan diksi “bapak” untuk menyebut dirinya, daripada “aku” atau “saya”.

Selama di sana, kami seperti anak yang baru pulang dari perantauan nan jauh. Dan Samsul adalah seorang bapak yang teramat rindu, ingin lekas bertukar cerita dengan anak-anaknya.

Menyambut panggilan laut

Menanam mangrove sebagai jalan hidup tidak pernah terbayangkan Pak Samsul sebelumnya. Masa remaja putra dari pasangan Sucipto dan Sirah, transmigran asal Pacitan, itu lebih banyak ikut orang tuanya menggarap lahan pertanian dan membalak kayu untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Pak Samsul juga membantu pekerjaan sampingan bapaknya, yang memiliki keahlian sebagai tabib—mengobati orang sakit.

Di masa-masa itu, selain bekerja di pertambangan minyak, gas, dan batubara—penopang ekonomi terbesar Bengkalis—banyak orang Bengkalis menyeberang ke Malaysia. Mengadu nasib, mencari kerja apa pun. Biasanya dilakukan selama satu bulan penuh, lalu pulang ke Bengkalis. Begitu seterusnya. Dahulu masyarakat bebas keluar masuk antarnegara. Perbatasan belum seketat sekarang. 

Sampai pada 2002, banjir rob setinggi 50 sentimeter menerjang Teluk Pambang. Dalam setahun, rob biasa terjadi pada bulan Oktober—Desember. Permukiman, rumah penduduk, dan lahan pertanian terendam air asin. Produktivitas karet menurun. Air kelapa tidak lagi segar.

Padahal posisi kediaman Pak Samsul, yang berada di tepi jalan kabupaten, masih berjarak sekitar tiga kilometer dari Pantai Senekip, kawasan pesisir terdekat. Ditengarai salah satu sumber penyebab yang membawa air laut pasang dengan cepat adalah meluapnya aliran anak Sungai Kembung yang bermuara ke laut. Anak sungai itu berjarak setengah kilometer ke arah barat dari rumahnya. Ia juga biasa menambatkan perahu miliknya di sana. 

Mayoritas warga menganggap banjir rob adalah musibah alam semata. Hampir tidak ada satu pun penduduk yang mengetahui pentingnya peran “pagar hidup” mangrove sebagai pelindung pesisir. Sampai-sampai tidak menarik sama sekali untuk dikerjakan. Tidak terkecuali Pak Samsul.

Namun, mengingat besarnya dampak air pasang yang meresahkan dan merepotkan tersebut, kesadaran hati itu akhirnya mengetuk hati pak Samsul. Gejolak laut memanggil, memilih Pak Samsul sebagai lokomotif perubahan di kampungnya.

Suami Siti Wasiah (52) itu menyadari hutan mangrove di belakang rumahnya nyaris gundul. Banyak ditebang dari pucuk batang hingga akar. Pelakunya kebanyakan orang suku lokal suruhan pengusaha panglong arang yang beroperasi di desa-desa pinggiran Sungai Kembung, seperti Teluk Pambang dan Kembung Luar.

Secara keseluruhan kondisi lingkungan rawa dan ekosistem mangrove di Pulau Bengkalis saat itu memang terbilang genting. Salah satu wilayah pesisir paling terancam di Provinsi Riau. Menurut Fikri (2006, seperti dikutip dalam Miswadi dkk., 2017), diperkirakan terjadi penurunan luas hutan mangrove sebanyak 5,25 persen di Pulau Bengkalis dalam kurun waktu 1992—2002. Dari sekitar 8.182,08 hektare pada tahun 1992 menjadi 6.115,95 hektare pada tahun 2002.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Pak Samsul (baju toska) dan Indra, warga suku asli setempat, memilah bibit mangrove di kebun pembibitan KPHM Belukap, Teluk Pambang/Deta Widyananda

“Maka dari itu, bapak ingin memperbaiki tata ruang lingkungan,” ujar Pak Samsul. Ia bertekad menjadikan [pelestarian] mangrove sebagai pekerjaan utamanya. “Satu [hal] yang bapak pikirkan adalah regenerasi anak cucu yang akan datang, karena pada saat ini mungkin alam sudah tidak bersahabat dengan kita. Jadi, mangrove ini perlu kita jaga.”

Konservasi mangrove adalah dunia baru baginya. Pak Samsul, yang waktu itu berusia 35 tahun, segera menemui mendiang Pak Sa’dullah (60), orang Jawa Bengkalis yang juga aktivis mangrove. Di tempat Pak Sa’dullah, ia belajar menanam, memahami peran mangrove, dan potensi ekonominya. Darinya, Pak Samsul seperti mendapat suntikan energi yang dahsyat untuk memulai perjuangan merehabilitasi mangrove.

“Ada satu pesan dari beliau yang bikin bapak masih terngiang sampai sekarang, ‘nek dudu kowe sopo maneh?’ (kalau bukan kamu siapa lagi?).” kenang Pak Samsul.

Tak air hujan ditampung, tak air peluh diurut, tak air talang dipancung. Di tahun yang sama, Pak Samsul tancap gas, mengerahkan segala daya dan upaya menyelamatkan ekosistem mangrove di pesisir Teluk Pambang. Ia mengajak segelintir tetangganya untuk bergiat lingkungan dengan menanam kembali mangrove.

Tahun 2004 Desa Teluk Pambang memiliki dua kelompok pelopor untuk mengelola mangrove dengan skema perhutanan sosial. Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) itu terdiri dari KPM Belukap dan KPM Perepat yang diketuai Pak M. Ali B. Keberadaan KPM diperkuat Surat Keputusan Bupati Bengkalis No. 824 Tahun 2004, yang muncul bersamaan saat pendampingan program restorasi mangrove dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari dalam dan luar negeri.

Payung hukum tersebut mendorong Pak Samsul melesat lebih kencang. Tak jarang ia harus menanam mangrove dan patroli sendirian sehari penuh. Ia mencukupi kebutuhan nafkah keluarganya dengan melaut.

Banyak orang mencibir Pak Samsul. Menilai tindakannya sia-sia. Bahkan musuhnya tidak sedikit. Tak terhitung Pak Samsul adu urat dengan pengusaha panglong arang, yang sempat berniat memasukkannya ke penjara.

“Saya dulu juga pernah memergoki oknum polisi perairan (polair) yang main illegal logging. Saya marahi habis-habisan,” ungkap Pak Samsul.

Seiring waktu berjalan, sekarang dampaknya sangat terasa. Mangrove yang sehat berhasil memperlambat laju abrasi dan menghalang banjir rob naik ke permukiman. Hutan mangrove seluas 40 hektare itu tampak rimbun. Di salah satu titik dekat tambak udang vaname, rata-rata batang pohonnya berdiameter tiga inci. Akarnya mencengkeram permukaan tanah berlumpur. Usia pohon sudah mencapai 12—15 tahun, di luar rumpun pohon yang sudah ada sejak lama dan berumur lebih tua. Pohon tertingginya mencapai 20 meter.

Pak Samsul sendiri tidak menyangka “bayi mangrove” yang ia asuh sejak kecil sudah tumbuh sebesar itu. Menurutnya, sama seperti manusia, merawat mangrove juga harus penuh kasih sayang.

Adagium “biarlah waktu yang menjawab” rupanya benar-benar terbukti di Teluk Pambang. Kakek dua cucu itu kini tidak perlu lagi repot-repot menanggapi cemoohan orang-orang.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Bibit-bibit mangrove siap tanam/Rifqy Faiza Rahman

Setiap sentinya berharga

Kegigihan Pak Samsul bersama dua kelompok pelopor pengelola mangrove di Teluk Pambang mengundang atensi banyak pihak. Sejumlah organisasi nirlaba ikut turun mengakselerasi perjuangannya merestorasi mangrove. Salah satu yang menonjol adalah YKAN, yang sejak awal 2022 lalu melaksanakan program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) di dua desa sekitar Sungai Kembung, yaitu Teluk Pambang dan Kembung Luar.

Satu di antara sekian inisiatif program tersebut adalah membantu dan mendampingi penyusunan peraturan desa. Temanya tentang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove melalui skema perhutanan sosial. Keluaran yang ingin dicapai adalah alam tetap lestari dan masyarakat tetap bisa memperoleh sumber penghidupan dari alam.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Rumah kontrakan yang dijadikan kantor sekretariat YKAN berdempetan dengan kediaman Pak Samsul (kanan), sekaligus basecamp KPHM Belukap/Rifqy Faiza Rahman

Proses panjang yang dilalui membuahkan hasil. Pada 25 Agustus 2023 lalu, pemerintah desa menetapkan Peraturan Desa Teluk Pambang Nomor 02 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial Desa Teluk Pambang. Poin penting dari aturan ini adalah pembentukan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), yang diketuai Indra Sukmawan (40), seorang wiraswasta lokal. Selain masih menjadi ketua KPM Belukap, di LPHD Pak Samsul juga duduk di Seksi Perlindungan dan Pengawasan. Putra menantunya, Hasnur Rasid (36), mengemban tugas di Seksi Perencanaan.

Selain KPM Belukap dan Perepat, LPHD menambah delapan kelompok baru, yaitu Bumi Hijau, Lenggadai, Nipah, Berembang, Akit, Api-api, Bumi Pesisir, dan Bakau Putih. Luas kawasan restorasi mangrove pun bertambah signifikan, dari 40 hektare direncanakan menjadi sekitar 1.001,9 hektare. Setiap kelompok bertanggung jawab merawat dan memantau rata-rata 100 hektare hutan mangrove.

Tim TelusuRI sempat diajak Pak Samsul melihat lebih dekat area hutan mangrove di sepanjang tepian menuju muara Sungai Kembung dan kawasan pesisir timur Teluk Pambang. Jalur yang akan dilalui juga menjadi rute patroli Pak Samsul selama empat kali dalam sebulan. Jika naik perahu lewat perairan, jarak dari titik mula dermaga—tempat perahu Pak Samsul terparkir—menuju Pantai Senekip sekitar 13—14 kilometer. Sekitar satu jam perjalanan dengan perahu bermesin 15 PK miliknya, yang juga biasa digunakan melaut untuk cari ikan.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Perahu Pak Samsul yang kami tumpangi sedang melaju di jalur sempit di dalam kawasan konservasi mangrove Teluk Pambang/Deta Widyananda

“Ini mesinnya baru, bantuan program MERA,” ujar Pak Samsul menerangkan mesin tempel perahunya. “Mesin bapak sebelumnya hilang saat malam pulang dari melaut, karena dicuri orang. Bapak lupa bawa pulang.”

Air sedang pasang, yang memang merupakan kondisi ideal untuk membawa perahu ke laut. Di beberapa titik, bagian terdalam Sungai Kembung bisa mencapai 30 meter. Perahu itu meliuk lincah. Mengikuti alur anak sungai di tengah pepohonan mangrove.

Permukaan sungai kecokelatan, memantulkan bayangan pohon-pohon mangrove yang tumbuh merimbun. Beberapa buah dari jenis Xylocarpus granatum seukuran tempurung kelapa menggantung pada ranting yang ramping. Tampak satu-dua ekor biawak muncul ke permukaan lalu kembali menyelam. Sekeluarga monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) asyik bergelantungan dari satu dahan ke dahan lain.

Kami melihat lebih banyak kawanan burung khas pesisir ketika sudah di lepas pantai, antara lain burung kuntul dan elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster). Cuaca sedikit berangin sehingga menyebabkan laut lumayan berombak. Sayang kabut pagi itu cukup pekat sehingga menutupi daratan Kampung Segenting, Johor, Malaysia di kejauhan. Kami hanya menyaksikan bangunan tanggul pemecah ombak sepanjang 600 meter. 

Di sepanjang pesisir itulah Pak Samsul dan para anggota kelompok lainnya menempatkan plot-plot penanaman mangrove. Terutama dekat kawasan wisata Pantai Senekip, perbatasan Desa Teluk Pambang dan Pambang Baru. Setiap plot tanam berupa rumpon berukuran 6×25,5 meter. Total ada 13 rumpon yang dikerjakan per kelompok. 

“Sekarang pohon tertingginya [masih] sekitar satu meter. Yang lain enggak kelihatan kalau lagi pasang,” jelas Pak Samsul. Saat itu air sedang pasang setinggi 1—1,5 meter sejak pukul enam pagi. “Dulu bibir pantai agak jauh, sekitar 100—200 meter. Sekarang tenggelam [karena] laut makin naik.”

Pohon-pohon mangrove yang ditanam Pak Samsul dan kelompok lain merupakan hasil pembibitan di kebun belakang rumahnya. Sedikitnya ada tiga jenis mangrove yang dibudidayakan, yaitu belukap (Rhizophora mucronata), bakau putih (Rhizophora apiculata), dan api-api (Avicennia marina). Ketiganya memiliki keunggulan masing-masing.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Salah satu spesies mangrove yang banyak dibudidayakan di kebun pembibitan Pak Samsul/Rifqy Faiza Rahman

“Api-api cenderung susah disemai dan lebih cocok [ditanam] di dekat perairan daripada di daratan, tetapi batang pohonnya akan tumbuh lebih besar. Kalau belukap atau bakau putih relatif lebih tahan hama,” terang Pak Samsul. Bibit mangrove siap ditanam jika sudah menginjak usia enam bulan.

Ribuan bibit mangrove siap tanam diburu banyak orang atau instansi tertentu yang ingin berkontribusi dalam pelestarian lingkungan hidup. Biasanya dibeli dengan skema donasi untuk kegiatan pribadi, komunitas, hingga sektor pemerintahan. Baik di level nasional maupun internasional.

Saking tidak teganya mengeruk uang dari mangrove, ia menerapkan tarif donasi—yang rasanya—terlalu murah dan kurang sepadan dengan miliaran butir cucuran peluh yang menguap. “Per bibitnya Rp1.500—2.000,” kata Pak Samsul menunjukkan bibit setinggi 30—40 sentimeter.

Dalam satu bibit, harga donasi tersebut sudah mencakup biaya polybag, tanah, dan pengambilan propagul (indukan bibit mangrove). Propagul yang digunakan harus diambil dari pohon mangrove berusia minimal 15 tahun agar bibit tumbuh maksimal dan tahan hama. 

Pasar bibit mangrove Pak Samsul termasuk salah satu yang terbesar di Riau, selain milik kelompok Pak Darsono di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti. Ada juga pelaku lama di Dumai, tetapi skalanya lebih kecil.

Pak Samsul tak ambil pusing jika ada beberapa bibit yang gagal melewati “seleksi alam”. Biasanya pertumbuhan tunas kurang sempurna dan ia harus menggantinya dengan bibit baru. Mengulang proses dari awal. Namun, ia mengaku akan tetap menanam bibit tersebut. Setiap senti batang yang bertumbuh sangat berharga. Baginya itu seperti merepresentasikan komitmennya pada konservasi mangrove.

“Kalau tak laku tanam sendiri, kalau laku alhamdulillah jadi ekonomi. Pokoknya tanami terus,” ujar Pak Samsul tegas.

Masa depan perdagangan karbon

Per September 2023, Indonesia resmi terjun ke perdagangan karbon dunia. Langkah progresif tersebut ditandai dengan pemberian izin usaha penyelenggara Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Mekanisme teknis jual beli karbon diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Sistem pencatatan transaksi unit karbon dan basis data IDXCarbon terintegrasi dengan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Sebagai implementasi dari Perjanjian Paris 2015 (COP21), sejak 2020 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) meminta setiap negara menentukan bentuk kontribusi iklim secara nasional, atau disebut Nationally Determined Contributions (NDCs). Langkah ini merupakan percepatan aksi untuk target jangka panjang menurunkan emisi hingga nol pada 2060. 

Indonesia memiliki target mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen (dilakukan sendiri) dan 41 persen (melalui kerja sama internasional) pada 2030. Terdapat lima sektor, sesuai kategori NDC, yang menjadi fokus utama pengendalian iklim dan reduksi emisi melalui perdagangan karbon, yaitu energi, limbah, industri dan proses produksi, pertanian, serta kehutanan dan penggunaan lahan lainnya.

Siapa pun bisa terlibat dalam perdagangan karbon, selama mampu memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Mulai dari perorangan, badan hukum, perusahaan, asosiasi, maupun kelompok masyarakat yang terorganisasi. Tidak terkecuali LPHD Teluk Pambang. 

Sebelum bergerak lebih jauh di Bursa Karbon, didampingi oleh YKAN, di tahap awal LPHD Teluk Pambang sedang mengajukan permohonan ke Menteri LHK untuk mendapatkan payung hukum pengelolaan hutan desa. Luasnya 1.001,9 hektare, dengan rincian sekitar 996 hektare Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan sisanya Areal Penggunaan Lain (APL). Tutupan lahan tersebut didominasi oleh vegetasi mangrove, yang juga diandalkan untuk menghasilkan nilai ekonomi melalui perdagangan karbon.

Mengacu pada Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, rehabilitasi mangrove merupakan satu dari 22 aksi mitigasi perubahan iklim. Bersama dengan gambut, pengelolaan mangrove juga ditetapkan sebagai komoditas perdagangan karbon di sektor kehutanan.

Rasid menyatakan perdagangan karbon menjadi salah satu tujuan pemanfaatan kawasan hutan desa Teluk Pambang. Target lainnya adalah perlindungan mangrove, ekowisata, budidaya perikanan, produk turunan mangrove, dan pertanian—kelapa, karet, pinang, dan sawit dalam skala kecil. Ia mengakui ada potensi ekonomi luar biasa dari perdagangan karbon mangrove.

Pria kelahiran Teluk Sungka, Indragiri Hilir itu sudah mencoba membuat perhitungan sederhana. Dari satu hektare lahan mangrove, yang berisi sedikitnya 5.000 pohon dengan jarak tanam 50—100 sentimeter, berdasarkan hasil penelitian YKAN terdapat potensi 1.900 ton karbon yang dihasilkan. Dengan asumsi harga termurah $5 per ton karbon, maka LPHD bisa menerima uang $9.500 atau sedikitnya berkisar 145 juta rupiah. Sementara luas hutan desa yang akan dikelola mencapai seribu hektare. Bisa dibayangkan betapa besar potensi pundi-pundi uang yang akan diterima. Hasilnya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Masa depan cerah tampak nyata adanya untuk Teluk Pambang. Belum lagi peluang dari pengelolaan ekowisata maupun pembuatan produk turunan mangrove.

Setiap negara di dunia memang diminta “ambisius” mengurangi emisi karbon. Namun, di sisi lain perdagangan karbon seperti dua mata pisau. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, mengingatkan potensi kerawanan dan ketidakadilan dari konsep perdagangan karbon untuk mewujudkan keadilan iklim dunia.

Dalam tulisan opini berjudul Keadilan Iklim: Keluar dari Jebakan Greenwashing di Forest Digest (04/12/2023), ia meminta negara mewaspadai modus greenwashing. Greenwashing adalah situasi paradoks. Seseorang maupun perusahaan melakukan klaim palsu terhadap produksi atau tindakan yang dibuat atas nama ramah lingkungan dan keberlanjutan. Menutupi realitas sebenarnya, yang acap kali bertolak belakang dengan bahasa-bahasa manis di permukaan.

Hariadi mengutip salah satu catatan pemikiran dari Bernice Maxton-Lee, yang menulis Narratives of sustainability: A lesson from Indonesia (2018) di jurnal Soundings terbitan Lawrence Wishart, Inggris. Poinnya, jika pengelola hutan—dalam hal ini masyarakat akar rumput—bisa dibayar mahal agar membiarkan hutan mereka menyerap karbon, sementara polusi dan buangan emisi yang dihasilkan oleh pembayar karbon tersebut di tempat lain seolah dapat “dikompensasi”, berarti perdagangan karbon malah bukan menjadi solusi berkelanjutan. Justru yang terjadi adalah ketidakadilan iklim.

Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis
Penulis membawa sekarung bibit mangrove di kebun pembibitan Pak Samsul. TelusuRI turut mendonasikan 200 bibit untuk mendukung konservasi mangrove di Teluk Pambang/Mauren Fitri

Di satu sisi berjuang menghambat laju pendidihan global, di sisi lain aktivitas industri ekstraktif terus berjalan dan kadang lepas kontrol. Di sinilah peran pemerintah untuk lebih berani menjadi batas. Salah satu upaya mendesak yang bisa dilakukan adalah membuat Undang-Undang (UU) khusus tentang Keadilan Iklim. Sebuah peraturan flagship, mengatur aksi iklim yang berbasis keadilan ekonomi dan berpihak pada masyarakat. Merekalah kelompok yang hidup paling dekat dan sangat mengenal dengan alamnya sendiri. Masyarakat berhak memilah partner pembayar karbon yang tidak berpotensi greenwashing.

Yang menarik, Rasid seolah sadar melihat kacamata lain dari perdagangan karbon, tetapi tidak ia sampaikan secara eksplisit. Ia hanya bilang, tidak ingin terlalu membubungkan harapan pada perdagangan karbon semata. Ada urgensi yang jauh lebih penting untuk dikejar.

Dengan berulang-ulang, ia menekankan kepada semua kelompok tetap fokus sesuai target utama pembentukan LPHD, “Kita [harus] lebih banyak [memperluas kawasan] perlindungan daripada pemanfaatan, karena [prioritas kawasan] perlindungan bisa menjadi acuan untuk perdagangan karbon ke depannya.”

Senada dengan sang menantu. Meskipun menyiratkan asa, Pak Samsul menitip pesan penting. Mengutip perkataan bapak mertuanya, Rasid berujar, ”Kita menanam satu pohon mangrove itu sudah dapat pahala. Kita enggak usah hitung duitnya. Yang penting banyak manfaatnya [bagi] orang di seluruh dunia, walaupun [hanya] dari satu batang.”

Tidak ada rem di kaki Pak Samsul

Jauh sebelum dunia mulai berkampanye mewujudkan keadilan iklim, Pak Samsul sudah menciptakan keadilan iklimnya sendiri. Dari puluhan hektare yang ditanam sendirian selama hampir dua dekade, kini meluas menjadi 1.001,9 hektare. Dirawat bersama dengan kelompok-kelompok masyarakat anggota LPHD Teluk Pambang.

Ia telah memastikan jaminan lingkungan hidup dari asrinya hutan mangrove kepada anak cucunya. Menyediakan ruang tumbuh burung-burung, herpetofauna, hingga menyamankan tempat tidur bagi kawanan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Tidak akan mudah mencari orang segila dan seulet Samsul Bahri. Apalagi mengharapkan pada anak-anak muda. Satu banding seribu—bahkan sejuta. Kenyataan ini diakui Herna Hernawan atau Pak Wawan (57), guru olahraga SMAN 3 Bengkalis kelahiran Garut dan anggota KPM Belukap. Ketika ditanya testimoninya soal Pak Samsul, ia mengacungkan dua jempol dan menggelengkan kepala; tanda setuju jika tetangganya itu memang gila. Begitu pun Rasid, yang merasa masih harus banyak belajar. Memelihara dan mempertahankan yang sudah ada tidak kalah berat daripada menanam.

Apalagi masih banyak tantangan yang dihadapi, antara lain regenerasi. Dari 105 anggota LPHD Teluk Pambang, yang tersebar ke 10 kelompok, hanya sekitar 10—15 persennya merupakan anak muda.

Menurut Rasid, kebanyakan dari anak-anak muda di Teluk Pambang lebih memilih mencari kerja atau melanjutkan kuliah di luar Bengkalis. Kalaupun ada, perlu waktu lama untuk dibina. Kecanduan pada gawai dan gim daring juga berpengaruh besar. Berkecimpung di mangrove tampak tidak menjanjikan bagi mereka.

Namun, Rasid tidak ingin terlalu khawatir. Ia memiliki strategi khusus dalam jangka panjang untuk mengatasi itu. 

“Kalau dari aku pribadi, aku pengin jalan [kerja] dengan yang tua dulu. Begitu berhasil, baru kita gandeng anak muda,” ujarnya. Ia memahami anak-anak muda perlu ruang untuk tetap hidup, sehingga lebih memilih pekerjaan yang pasti menghasilkan.

Memupuk harapan regenerasi berkelanjutan perlu energi dan sinergi. Itulah yang diharapkan Pak Samsul. Ia sudah babat alas, tinggal yang muda yang meneruskan perjuangannya. Ia hanya ingin pemerintah pusat dan daerah mau bersinergi dengan kelompok masyarakat pengelola hutan mangrove, agar ada sinkronisasi kebijakan dan jaminan keberlanjutan. 

Selain tantangan regenerasi, LPHD Teluk Pambang juga masih harus siaga menghadapi “musuh lama”, yaitu perambahan dan pembalakan liar oleh pengusaha panglong. Meskipun saat ini sudah tidak beroperasi di wilayah Teluk Pambang, tidak menutup kemungkinan para pembalak tersebut akan kembali secara diam-diam. Di sisi lain, Pak Samsul sebenarnya masih berupaya merangkul pemain panglong atau orang suku lokal agar ikut menjaga mangrove. 

Pak Samsul sempat mengenalkan kami kepada Indra, orang suku Akit, kelompok adat terpencil di Bengkalis. Dulunya ia bersama istri dan seorang anaknya tinggal di rumah apung di pinggiran Sungai Kembung. Dekat Jembatan Kembung Luar dan pabrik panglong arang. Kini sudah pindah dan membangun rumah panggung di satu area lahan pembibitan mangrove KPM Belukap. Sosoknya malu-malu. Meski tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia, ia murah senyum.

“Dulu kerjanya cari kayu mangrove buat panglong. Makan cari ikan di sungai,” tutur Pak Samsul. “Bapak enggak tega lihatnya. Makanya bapak suruh pindah ke sini dan bantu bapak ngurus mangrove, biar anak dan istrinya enggak tinggal di pinggir sungai lagi.”

Perjalanan konservasi memang selalu akan mengesampingkan garis finis. Bukan cuma lembaga yang harus terus berjuang, Pak Samsul pun tidak mengenal kata selesai dalam kamus hidupnya. Tidak ada rem sepakem apa pun yang bisa menghentikannya, sampai napas melepas embusan terakhir. 

Selama istri merestui, Pak Samsul tidak akan berhenti menanam dan merawat mangrove di Teluk Pambang. Kendati kurang begitu memahami dunia konservasi mangrove, Bu Siti Wasiah mengaku selama ini selalu mendukung dengan caranya sendiri.

“Sudah terserah Bapaklah,” celetuk Bu dengan senyum lebar, “saya cuma bisa bantu dari dapur saja, masak. Bikin makanan buat keluarga.” 

Tidak terkecuali malam itu. Hidangan nasi putih, bihun, sayur tumis tempe, kari ayam, dan kerang tersaji di ruang tamu rumah Pak Samsul. Tak lupa camilan keripik ubi balado bikinan Bu Siti Wasiah dan anggota kelompok UMKM Asy-Syura. Kami berkumpul, makan, dan berbincang hangat serasa tiada sekat. Suasana seperti ini yang mungkin menguatkan tekad baja Pak Samsul mengasihi mangrove sampai detik ini. (*)

Referensi

Fikri R. (2006). Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Mendeteksi Perubahan Mangrove di Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru.
Miswadi, Firdaus, R., dan Jhonnerie, R. (2017). Pemanfaatan Kayu Mangrove oleh masyarakat Suku Asli Sungai Liong Pulau Bengkalis. Dinamika Maritim Volume 6 Number 1, Agustus 2017.


Foto sampul:
Foto udara Sungai Kembung yang membelah hutan mangrove Teluk Pambang, Bengkalis, Riau. Beberapa kelompok masyarakat setempat aktif merestorasi mangrove dan menjemput peluang perdagangan karbon dunia/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Samsul Bahri, Bapak Mangrove dari Bengkalis appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/samsul-bahri-bapak-mangrove-dari-bengkalis/feed/ 0 40478
Andai Ada Seribu Pasaribu https://telusuri.id/andai-ada-seribu-pasaribu/ https://telusuri.id/andai-ada-seribu-pasaribu/#respond Thu, 14 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40445 Di pelosok desa yang terik dan terkepung perkebunan sawit, seorang petani hutan konservasi urun gagasan dan harapan. Suara lantang di tengah ancaman nyalang mafia tanah. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Menjelang...

The post Andai Ada Seribu Pasaribu appeared first on TelusuRI.

]]>
Di pelosok desa yang terik dan terkepung perkebunan sawit, seorang petani hutan konservasi urun gagasan dan harapan. Suara lantang di tengah ancaman nyalang mafia tanah.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Andai Ada Seribu Pasaribu
Pohon cempedak yang sedang berbuah. Salah satu komoditas unggulan bagi Kelompok Tani Hutan konservasi (KTHK) mitra Taman Nasional Gunung Leuser/Mauren Fitri

Menjelang tengah hari, tim ekspedisi Arah Singgah TelusuRI tiba di Kuta Buluh Simalem (25/09/2023). Sebuah kampung paling ujung di Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang. Permukiman terakhir sebelum masuk lebih dalam menuju kebun Hatuaon Pasaribu (58), narasumber perwakilan Kelompok Tani Hutan Konservasi binaan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Letaknya memang seperti di antah-berantah. Enam puluh sembilan kilometer dari Stabat, ibu kota Kabupaten Langkat. Tujuh belas kilometer dari Jalan Lintas Medan—Banda Aceh. Satu setengah kilometer dari kantor Resor Sekoci TNGL. Terik. Berdebu. Jauh dari mana pun. Jika tidak memperbesar tampilan peta di layar gawai, lokasi kampung berpenghuni sekitar 50-an kepala keluarga ini tidak akan terlihat. Akses jalan hanya berupa makadam. Tanah yang akan licin dan berlumpur kala hujan. 

Ardi, sopir dari Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah III, menepikan mobil di depan sebuah warung kopi. Dekat pertigaan gerbang masuk kampung. Tidak ramai. Hanya segelintir pria sedang mengobrol dan merokok. Matanya menatap ke arah kami. Nuansa tatapan yang sama dengan penjaga pos jaga sebelum kampung. Seolah penuh tanya, mau apa lagi mobil dinas double cabin milik taman nasional datang ke tempat ini? 

Sebagai penumpang paling depan, saya berniat turun lebih dahulu. Sembari membawa kamera yang saya gantungkan di leher. Baru hendak membuka pintu, Deta, fotografer Arah Singgah 2023 menyergah, “Kameranya taruh di mobil aja, Pak! Biar nggak terkesan intimidatif.”

Seketika saya tersadar. Area Resor Sekoci masih berselimut ketegangan. Pihak taman nasional sedang mengumpulkan bukti untuk menangkap Hasan Sitepu, residivis perambahan hutan merangkap mafia tanah. Informasi tersebut kami dapat paginya saat wawancara Kepala BPTN Wilayah III, Palber Turnip di ruang kerjanya. Tak heran bila Deta, yang sudah kadung pakai kaus hitam #KawanLeuser, diminta ganti pakaian yang lebih netral. Buat jaga-jaga.

Saat berangkat, satu-satunya jaminan keamanan kunjungan waktu itu adalah Ardi karena mengenakan seragam pegawai beratribut TNGL. Kami sepakat turun hanya membawa satu action cam dan ponsel saja.

Di muka warung, Pak Pasaribu—begitu kami memanggil—menyambut dengan senyum terlebar yang ia punya. Tangan kami dijabat erat. Di balik kemeja biru dan celana bahan berwarna senada, badannya terbilang tegap dan kekar untuk orang seusianya. Bola matanya memerah tanda kurang tidur, menyiratkan manis getir menyintas masa-masa sulit di masa lalu. Siang itu Pak Pasaribu punya peran tak kalah penting selain menjadi narasumber, yaitu menghadirkan tambahan rasa aman.

Kami juga menyapa beberapa warga yang sedang ngopi. Salah satunya seorang Bapa Tua yang dipanggil Bolang. Dia adalah generasi kedua penghuni kampung yang telah dibuka sejak 1980-an. Kebanyakan penduduk beretnis Batak Karo. Keberadaan kampung ini sebenarnya belum pernah terekam resmi dalam catatan sipil mana pun.

“Ayo, duduk dulu. Mau pesan apa? Teh? Kopi?” tawar Pak Pasaribu. Ia mengajak beristirahat sebentar sebelum menengok kebun. 

Tidak lama, tiga cangkir cappuccino instan terhidang untuk saya, Deta, dan Ardi. Mauren, ketua ekspedisi, memilih minum air mineral di botol yang ia bawa. Pak Pasaribu setali tiga uang, “Saya gelas air putih saja.”

Di tengah obrolan, kopi panas itu saya lihat berulang-ulang. Mengingat situasi terkini yang belum terlalu kondusif, tiba-tiba sempat terlintas pikiran macam-macam. Dahulu Kerajaan Haru, yang didirikan oleh orang Batak etnis Karo pada abad ke-13, selalu membawa panah beracun ke hutan untuk perlindungan diri dari ancaman serangan apa pun. Namun, saya berusaha tenang dan memilih pasrah apa pun yang terjadi.

Andai Ada Seribu Pasaribu
Mengikuti Pak Pasaribu menuju sebuah puncak bukit. Dia ingin menunjukkan kepada TelusuRI kawasan yang dulunya hutan berubah menjadi lahan perkebunan. Kami harus berjalan kaki karena jalur seperti ini tidak memungkinkan dilewati dengan kendaraan roda empat/Rifqy Faiza Rahman

16.000 hektare hutan yang hilang

Sejak tahun 1980-an, telah terjadi perambahan besar-besaran di Besitang. Kawasan hutan dikonversi menjadi perkebunan monokultur. Mayoritas ditanam rambung (karet) dan kelapa sawit. Pak Pasaribu sempat menyebut satu-dua nama perusahaan besar yang eksis pada masa Orde Baru. Bersama warga lainnya, ia pun dulunya sempat diajak berladang.

Ladang milik Pak Pasaribu terletak sekitar satu kilometer ke arah barat daya dari kampung. Aksesnya cukup sulit jika hanya naik mobil berpenggerak tunggal. Selain itu sinyal seluler nyaris hampa. Jika tidak bersama orang lokal, berjalan sendirian hanya mengandalkan Google Maps adalah langkah konyol. Ardi saja tidak tahu lokasi persisnya.

Untuk itulah Pak Pasaribu memandu di depan dengan motor bebeknya. Sesekali ia nyaris terjatuh karena ban selip di antara kerikil. Agak waswas juga melihat helm yang melindungi kepalanya tidak “klik”. Namun, kami baru akan mampir ke kebunnya nanti. Kami terus melaju sekitar 100—200 meter lagi sampai berhenti di persimpangan. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Tak ada akses lagi untuk mobil.

Seperti janjinya di awal, pria asal Padang Sidempuan itu mengajak kami ke suatu tempat sebelum sesi wawancara. Tentu peluh mengucur deras karena harus berjalan hampir satu kilometer di siang bolong. Menyusuri jalan setapak berupa tanah dengan kontur agak menanjak.

Jalur yang kami lalui sejatinya masuk zona pemanfaatan kawasan konservasi TNGL. Namun, sejauh mata memandang nyaris tak ada secuil pun jejak vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah sebagaimana mestinya. Kebanyakan sudah ditanam rambung dan kelapa sawit. Satu-satunya tanda yang menggembirakan adalah satu aliran sungai kecil berair jernih dengan debit kecil.

“Ini termasuk daerah-daerah yang sudah kritislah. Namun, tetap diupayakan bagaimana merehabilitasinya untuk penanaman kembali dengan tanaman-tanaman yang mendukung penghijauan,” terang Pak Pasaribu.

Tujuan kami adalah sebuah puncak dari punggungan bukit terbuka. Hanya semak belukar dengan tanah keras. Tanpa naungan teduh. Kalau tidak pakai topi, panasnya bikin sakit kepala. Di titik inilah Pak Pasaribu benar-benar berhenti. Tangannya menunjuk ke segala arah. Pak Pasaribu benar. Pemandangan menyedihkan itu terhampar jelas di depan mata.

“Dulu hutan ini lebat sekali. Jadi, [waktu] baru-baru kami kemari itu tumbuhnya [pohon] masih nampak. Itu besar-besar sekali. Kayunya masih banyak, tapi sekarang sudah berganti. Ada rambung, ada sawit. Ada yang belum ditanam, ada yang baru digarap, ada yang sedang ditanam,” jelasnya.

Kami bisa membayangkan perubahan itu dalam lorong waktu di pikiran. Padahal sebenarnya kawasan ini terlarang untuk penanaman kelapa sawit, karena mengganggu kelestarian hutan.

“Ini berarti dekat sama Gunung Leuser, Pak?” tanya saya.

“Oh, Gunung Leusernya ke sana lagi. Itu, yang nampak hijau-biru itu.” Nun jauh ke arah barat, memang terlihat gugusan pegunungan memanjang berpayung awan. Leuser hanyalah satu dari banyak puncak gunung di taman nasional ini. Ada Gunung Bandahara, Perkison, Loser, hingga Puncak Tanpa Nama.

“Tapi yang mengalami perusakan inilah antara lain. Kira-kira arealnya [yang rusak] ini 16.000 hektare lebih. Nah, kalau bapak-bapak tengok arah sini termasuk yang sudah gundul juga,” lanjut Pak Pasaribu mengarahkan telunjuk ke arah awal kami jalan kaki, “nah, kan? [Ada] tanaman sawit, bekas kebakaran.”

Saya agak terkejut mendengar Pak Pasaribu menyebut angka yang relatif spesifik. Sekitar 16.000 hektare hutan berarti lenyap tak berbekas. Bukan jumlah yang sedikit. Itu sudah hampir delapan persen dari total kawasan konservasi seluas 205.355,12 hektare yang diampu BPTN Wilayah III di Sumatra Utara.

Bahkan beberapa waktu lalu sempat berkembang wacana pembukaan perkebunan sawit mencapai 16.000 hektare. Menutupi lahan bekas hutan konservasi. Kata Pak Pasaribu, “Kita bayangkan kalau sampai ditanam sawit lagi ini 16.000 hektare, mau apa jadinya hutan ini?

Terdegradasinya 16.000 hektare area hutan hujan tropis dataran rendah di wilayah Besitang ternyata juga disebut Wiratno, Kepala Balai TNGL periode 2005—2007, dalam bukunya Dari Penebang Hutan Liar ke Konservasi Leuser: Tangkahan dan Pengembangan Ekowisata Leuser (2013). Wiratno menyebut eksploitasi berupa pembalakan liar dan perambahan hutan untuk perkebunan karet dan sawit sebagai biang kerok terbesar kerusakan kronis lahan konservasi Leuser. Alih fungsi ke sawit bisa dibilang juga telah mengubah drastis lanskap Sumatra.

Edi Purwanto, direktur program dan ketua tim peneliti Tropenbos International Indonesia, memberi analisis tambahan. Dalam laporan Strategi Anti-Perambahan di Tropical Rainforest Heritage of Sumatra: Menuju Paradigma Baru (2016) yang didukung UNESCO dan KLHK, perambahan kawasan Besitang menjadi makin parah setelah kedatangan pengungsi Aceh akibat konflik bersenjata antara TNI dan GAM sepanjang akhir 1990-an. Mereka membuat permukiman baru di sejumlah desa, yaitu Sekoci, Sei Minyak, Barak Induk, Damar Hitam, dan lainnya.

Para pengungsi Aceh menebang hutan dan membudidayakan lahan di kawasan Besitang. Penguasaan lahan tersebut ikut menarik para spekulan tanah dalam skala beragam. Besitang menjadi kawasan “jual beli” lahan yang dikendalikan oleh preman dan cukong dari Langkat, Binjai, dan Medan. Mafia tanah itu memanfaatkan keberadaan pengungsi Aceh sebagai “tameng” untuk memperluas lahan perambahan mereka. Belum lagi bermunculan aksi cari perhatian para politikus oportunis setempat, Mereka berupaya memperoleh dukungan suara dalam pemilihan kepala daerah maupun anggota legislatif. Akibatnya perusakan hutan terus “dipelihara” karena menjadi sumber mata pencaharian penduduk.

Di masa kepemimpinan Wiratno, TNGL telah melakukan berbagai tindakan penegakan hukum secara represif walau kurang berhasil. Justru tindakan tersebut memperkuat resistensi dan militansi perambah terhadap staf, polisi hutan atau ranger taman nasional. Upaya relokasi dari wilayah konservasi Besitang pun berlangsung alot. Ditambah ulah perusahaan perkebunan yang beraktivitas secara ilegal—selain karet dan sawit juga terdapat cokelat dan tanaman kering lainnya—oknum aparat kepolisian maupun militer, pejabat lintas pemerintahan, bahkan internal TNGL di masa lampau juga ikut bermain di lahan basah tersebut. 

Salah satu puncak konfliknya terjadi pada Juni 2011, ketika kantor Resor Sekoci TNGL dirusak dan dibakar kelompok perambah. TNGL seperti berjalan sendirian. Otoritas dan kontrol TNGL atas kawasan ditekan dari segala arah, yang selalu mengangkat isu hak asasi manusia. Untuk beberapa lama kantor resor dibiarkan kosong dan tidak ada kunjungan kawasan dari TNGL karena alasan keamanan. Jejak kantor resor lama yang hangus masih ada sampai sekarang. Namun, kantor resor baru pun saat ini sedang dalam “pendudukan” kelompok perambah dan mafia tanah. TNGL menengarai Hasan Sitepu sebagai dalang di baliknya. 

Dari konflik horizontal yang belum sepenuhnya tuntas tersebut, pihak KLHK kemudian melakukan evaluasi dan menggunakan pendekatan berbeda. Ketika Wiratno dilantik menjadi Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) tahun 2017, ia meluncurkan program Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) sebagai jalan tengah. Tujuannya menghambat perambahan dan memulihkan hutan dengan mengajak petani berbudidaya tanaman nonkayu. Program ini selanjutnya diperkuat dengan Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya dan Ekosistem Nomor: P.6/KSDAE/SET/Kum.1/62018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. 

Skema perhutanan sosial tersebut merangkul masyarakat—di antaranya eks perambah dan pembalak liar—agar tetap dapat manfaat ekonomi sekaligus berkontribusi dalam upaya konservasi. TNGL menunjuk sebuah organisasi nirlaba, yaitu Yayasan PETAI (Pesona Alam Tropis Indonesia) untuk tugas pendampingan kemitraan, menyuplai bibit tanaman produktif, seperti rambutan, petai, jengkol, durian, dan tanaman-tanaman rakyat lainnya yang mendukung kelestarian hutan dan pemulihan ekosistem. Pada acara Kongres Petani di kantor Resor Sekoci TNGL (23/02/2018), Wiratno menyerahkan bibit pohon secara simbolis kepada Hasan Sitepu, yang waktu itu menjadi perwakilan belasan KTHK baru di kawasan Besitang.

Berdasarkan keterangan Pak Pasaribu, dari 16 KTHK di Besitang dengan total cakupan lahan mencapai 996 hektare, saat ini tinggal 11 kelompok yang aktif. Dari raut wajah dan nada bicara selama mengobrol bersama TelusuRI, tampaknya jalan menuju cita-cita mulia KTHK masih jauh panggang dari api.

Andai Ada Seribu Pasaribu
Pemandangan lahan terbuka yang dahulu merupakan hutan konservasi nan lebat. lalu terkikis karena perambahan ilegal. Tampak di kejauhan pegunungan yang juga termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser sedang tertutup awan/Rifqy Faiza Rahman

Bertani untuk ekonomi dan konservasi

Pak Pasaribu tergabung dalam KTHK Sejahtera yang beranggotakan 39 orang petani (setara dengan 39 kepala keluarga). Saat ini ia didapuk sebagai ketua kelompok. Setiap anggota memiliki jatah lahan garapan maksimal dua hektare; yang berarti dua hektare tersebut menghidupi satu keluarga petani.

Setelah kurang lebih lima tahun berjalan, dengan segala kekurangan dan kelebihan, Pak Pasaribu termasuk satu dari beberapa orang yang masih memiliki komitmen dan harapan kuat sebagai petani mitra taman nasional.

Keterlibatan Pak Pasaribu sejak awal KTHK berdiri tidak didapatkan dalam waktu singkat. Sebelum benar-benar terjun menjadi petani, jejak kariernya diisi sebagai pegawai honorer di departemen pekerjaan umum hingga tenaga pengajar SMP dan SMA di Stabat.

“Tapi niat untuk bertani tetap ada, mungkin karena [saya] anak petani,” katanya. Di pekarangan rumah ia mencoba menanam pisang dan cabai rawit. Begitu mendapat hasil bagus dan pada saat bersamaan sedang jenuh jadi guru, timbul hasrat untuk mengembangkan lahan yang lebih luas.

Sampai akhirnya seorang kawan membawanya ke pedalaman hutan Besitang. Dahulu si kawan mengatakan jika lahan-lahan hutan di sana adalah tanah datuk (Kedatukan Besitang) atau tanah adat. Dalam benak awam Pak Pasaribu, lahan yang berstatus tanah adat bisa dimiliki. Ia kepincut dan membeli sepetak lahan untuk bertani.

“Berladanglah saya. Tanam ubi dulu, kemudian tanam jeruk lemon dan seterusnya,” katanya.

Pak Pasaribu lumayan lama berladang tanpa menyadari status resmi dari lahan garapannya. Tahun 2016, di tengah dinamika alih fungsi lahan yang kian marak saat itu, ditambah sosialisasi dan edukasi yang gencar dilakukan TNGL, Pak Pasaribu akhirnya menyadari sesuatu. Ladang yang ia tanam rupanya bukan tanah adat, melainkan kawasan TNGL.

“Kalau saya bilang, saya diotoi (ditipu),” kenangnya sambil tersenyum kecut. Ia berseloroh jika dahulu kena ajaran sesat. Pemikiran yang menganggap seluruh lahan adalah tanah adat memang lazim menjangkit masyarakat saat itu. Menimbulkan salah persepsi terhadap keberadaan hutan dan fungsi taman nasional.

Mengetahui kenyataan itu dia memilih tidak mundur. Ia justru tetap menjaga ladangnya dan ingin terlibat dalam pelestarian hutan. “Maka kita teruskan menanam pohon-pohon. Mulai dari jengkol, aren, petai, durian, dan semua [komoditas] yang mendukung lingkungan hidup,” tuturnya.

Pak Pasaribu mengaku keputusannya tersebut karena termotivasi dengan istrinya, Hati Situmorang (56). Sang istri adalah guru sekaligus aktivis lingkungan hidup di sebuah sekolah di Sunggal, Deli Serdang, yang juga memiliki program sekolah adiwiyata mandiri.

Ia sering diajak istrinya belanja bibit tanaman buah-buahan, yang lalu menginspirasinya menanam pohon rambutan di ladang. Melengkapi komoditas lain yang sudah ditanam, seperti jengkol dan durian. Kami sempat mencicipi rambutan binjai legit yang diambil dari kebun milik teman Pak Pasaribu, tempat wawancara pertama dekat puncak bukit.

Para petani KTHK memang tidak bisa sembarangan menentukan komoditas yang akan ditanam. Terlebih kondisi lahan yang ada sudah terbilang kritis, sehingga perlu menanam komoditas yang mendukung pemulihan ekosistem.

“Nah, sebenarnya yang sedang [kita] tanam ini menuju rehabilitasi, karena [membudidayakan] tanaman-tanaman MPTS (Multi-Purpose Tree Species). Tanaman MPTS [adalah] tanaman yang mendukung kepada [manfaat] kehutanan. Ada petai, ada jengkol, ada durian. Itu yang sedang tumbuh,” jelas Pak Pasaribu menyebut tanaman yang juga ditanam di ladangnya sendiri. 

Jengkol termasuk salah satu komoditas yang cukup menguntungkan. Harga jual per kilogram berkisar Rp12.000—15.000. Dalam satu kali panen, Pak Pasaribu bisa menghasilkan satu kuintal jengkol. Tergantung jumlah pohon yang tersedia untuk dipanen. Tanaman keluarga polong-polongan asli Asia Tenggara ini tidak memerlukan perawatan intensif. Dibiarkan saja sudah tumbuh sendiri dengan subur.

Kami juga melihat tanaman-tanaman musiman lainnya, seperti cempedak, matoa, dan kelapa. Selain memang dianjurkan, Pak Pasaribu menganggap tanaman buah mirip nangka itu bernilai ekonomi cukup bagus.

Sebagai selingan menunggu panen tanaman musiman, Pak Pasaribu dan anggotanya menanam tanaman pendek (tahunan). Mulai dari sayur-sayuran, seperti cabai dan terong; sampai dengan buah-buahan macam pisang dan buah naga.

“Memang masih satu tahun ini [sebagian tanaman] mulai berbuah. Walaupun belum banyak, tapi sudah nampaklah hasilnya. Paling tidak ratusan kilo sudah bisalah panen,” terang Pak Pasaribu.

Di balik peluang besar ekonomi dari bertani, masih terdapat sejumlah kendala berkaitan dengan sarana dan prasarana pertanian. Salah satunya persoalan pupuk.

“Pertanian di sini agak unik, khususnya tanaman jangka pendek (tanaman palawija). Asam tanahnya sangat tinggi. Jadi yang namanya pupuk, kalau bisa di sini jangan pupuk kimia memang. Organik di sini. Tetapi kadangkala di situlah keterbatasan masyarakat [mengakses pupuk organik],” jelas Pak Pasaribu.

Kendala pupuk tersebut berpengaruh signifikan pada beberapa komoditas, misalnya jeruk manis. Meskipun bernilai ekonomi tinggi, tetapi pengembangannya terhambat karena biaya produksi (harga pupuk dan pestisida) kerap tak sebanding dengan harga jual. Budidaya jeruk manis memang membutuhkan perawatan intensif, terutama pemupukan serta penanganan hama dan penyakit.

Mewakili kelompoknya, Pak Pasaribu berharap ada tambahan pendampingan berkala kepada para petani yang masih mengalami ketertinggalan. Diadakan penyuluhan mengenai teknik budidaya hingga dukungan modal kerja—berupa suplai bibit, pupuk, obat, dan sarana produksi lainnya. Diberikan edukasi tentang pentingnya lingkungan hidup. Tujuannya semata agar tidak sampai kembali mencari penghidupan menjadi petani sawit.

Andai Ada Seribu Pasaribu
Pohon aren yang dibudidayakan di kebun Pak Pasaribu. Berangan-angan untuk ditata lebih baik karena potensial dari segi ekonomi dan lingkungan/Deta Widyananda

Potensi aren dan wacana agrowisata

Di antara tanaman-tanaman nonkayu bernilai ekonomi tinggi yang ditanam KTHK Sejahtera, ada satu komoditas yang dianggap Pak Pasaribu sangat prospek untuk digarap lebih serius: aren.

Dengan berapi-api ia berujar, “Aren itu akan menjadi suatu aset yang luar biasa. Ekonominya luar biasa. Satu pohon aren itu bisa, bahkan melebihi hasil dari satu hektare sawit!”

Aren atau enau merupakan komoditas yang paling diimpikan Pak Pasaribu untuk bisa berkembang. Alasannya hampir seluruh bagian aren bisa dimanfaatkan dan tidak ada yang terbuang sia-sia. Tak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga fungsi lingkungan. Sudah banyak riset membuktikan kehebatan tanaman palma serbaguna itu.

Salah satunya penelitian Yuldiati dkk. (2016) dalam Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pemanfaatan Pohon Enau di Desa Siberakun Kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Singingi (2016). Fungsi penting  aren untuk ekologis terletak pada akarnya. Akar serabut aren sangat kokoh, dalam, dan kuat sehingga bisa menjadi penahan erosi tanah. Selain itu akar aren juga mampu mengikat air. Terlebih, seperti Pak Pasaribu bilang, kawasan garapan KTHK memang rawan erosi.

Manfaat yang didapat dari produksi aren lebih banyak lagi. Menurut Mody Lempang dari Balai Penelitian Kehutanan Makassar, seperti dikutip dari jurnal Info Teknis EBONI Vol. 9 No. 1 edisi Oktober 2012, aren bisa menghasilkan buah, nira, dan tepung bernilai ekonomi tinggi untuk kebutuhan tradisional maupun industri. 

Pak Pasaribu tidak mengada-ada. Menanam aren selaras dengan misi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian hutan.

Bahkan ia sudah membayangkan produk-produk turunan yang bisa dihasilkan dari aren. Contoh paling gampang membuat gula merah yang nantinya diolah menjadi gula semut. Menurutnya gula semut jauh lebih sehat sehingga bisa mengganti gula putih—penyebab diabetes. Katanya juga, orang-orang sekarang kalau ngopi juga sudah pakai gula merah.

“[Selain gula semut] sekarang aren ini juga sudah bisa diproduksi jadi biogas. Berarti bisa jadi untuk minyak (sumber energi alternatif). Nanti bisa dikembangkan [karena] sangat bagus sekali,” urai Pak Pasaribu seperti sedang presentasi di depan investor.

Tak main-main. Ia sudah melakukan kalkulasi. Misalnya, satu hektare terdapat 50 pohon aren. Satu pohon bisa menghasilkan tiga liter nira per hari. Berarti ada 150 liter yang bisa diolah menjadi 75 kilogram gula merah.

Saat ini terdapat kurang lebih 10.000 pohon aren. Tersebar di beberapa petak lahan yang digarap KTHK Sejahtera dan kelompok lainnya. Rata-rata masih pendek. Berarti ada potensi bahan baku 30.000 liter nira untuk 15 ton gula merah dalam satu hari. 

Optimisme Pak Pasaribu menanam satu juta pohon aren bukan bualan. Apabila ada investor diperbolehkan masuk mengembangkan aren—sebagai tanaman selingan saja, bukan fokus membuat perkebunan besar—tentu akan lebih banyak yang dihasilkan.

“Berapa tenaga kerja yang bisa diserap? Kemudian berapa dana yang bisa disuplai untuk pemerintah daerah? Nah, ini sampai sekarang pemerintah daerah belum memberikan pikiran ke situ.” Ia bahkan berharap “proposalnya” sampai ke meja direktur jenderal KSDAE atau bahkan menteri kehutanan, agar bisa melihat potensi aren tersebut.

Mimpi Pak Pasaribu tidak berhenti di aren. Ia membayangkan dalam lima tahun ke depan area lahan yang digarap KTHK bisa sekaligus menjadi daya tarik ekowisata, khususnya agrowisata buah. “Segala macam buah akan ada di sini. Jadi di TNGL, khususnya di hutan konservasi ini, biarlah boleh dikenal dengan kawasan buah,” pikirnya.

Secara pribadi, ia bahkan terang-terangan berharap bisa menjadikan hutan tersebut menjadi tempat favorit yang dikunjungi banyak orang. Menggusur rambung dan sawit—yang kini masih tumbuh semrawut—untuk didirikan pondok-pondok istirahat. Berwisata menyaksikan alam sambil menikmati buah. Mulai dari rambutan, cempedak, buah naga, durian, jeruk manis, alpukat, sirsak, dan banyak lagi. 

Rencana Pak Pasaribu tersebut sudah disampaikan kepada kepala bidang (kabid)—Kepala BPTN Wilayah III TNGL. Ia pun mengusulkan permohonan bibit-bibit buah yang akan ditanam. Usulnya direspons positif. Kabid membantu dengan menurunkan bibit-bibit yang diminta dan secara bertahap sudah kembali ditanam oleh masyarakat.

Angan-angan Pak Pasaribu terhadap budidaya aren dan agrowisata memang masih meniti jalan panjang. Satu suara optimistis tak akan berarti apa-apa tanpa sumbangan suara senada lainnya. Sebelum memulai, meminjam pernyataan Pak Pasaribu, semuanya memerlukan standar tata kelola dan keteraturan. Perlu sinergi satu sama lain. Ulah-ulah culas mafia bisa membuyarkan impian besar itu.

Andai Ada Seribu Pasaribu
Di tengah ladang kacang tanah, Pak Pasaribu menunjukkan hasil panen jengkol (kiri) dan rambutan. Keragaman komoditas bisa menjadi nilai tambah petani KTHK/Deta Widyananda

Melawan tekanan sawit dan mafia tanah

Semangat yang diusung dalam skema kemitraan KTHK sebenarnya baik. Skema ini jadi titik temu antara upaya peningkatan ekonomi masyarakat dan pemulihan ekosistem di kawasan konservasi. Lahan-lahan yang dulunya rusak bisa perlahan kembali hijau, sementara masyarakat juga mendapatkan hasil dari panen jengkol, kacang tanah, petai, durian, aren, dan lain sebagainya.

Konsep seperti itu tentu akan saling menguntungkan. TNGL tidak perlu repot-repot melakukan sosialisasi atau penegakan hukum berulang ketika masyarakat memiliki komitmen. Namun, tantangan program ini tidak sepele. Dalam praktiknya ternyata sulit mewujudkan tujuan ideal tersebut.

Pola pikir dan orientasi hidup setiap orang berbeda-beda. Tidak semua anggota KTHK mau “bersabar” menjalani proses yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Akibatnya, visi utama KTHK itu sendiri tidak akan bisa terwujud. Belum lagi petani-petani “liar” yang menggarap lahan secara ilegal di luar skema kemitraan. 

Pak Pasaribu menyampaikan pandangan kritisnya kepada kami, “Sebenarnya kenapa tidak bisa tercapai visi, itu tadi, karena terpengaruh dari orang yang punya kepentingan. Jadi, apa kepentingan orang di sini? Kepentingan orang tertentu, mengutak-atik lahan orang supaya bisa [dilakukan] jual beli. Contoh, lahanku diambil kemudian dijual. Bila perlu dijual lagi. Nah, itulah saya bilang yang perlu ditertibkan.”

Baginya praktik-praktik mafia tanah itu harus dihapuskan. Sebab seringkali petani di sini seperti tidak ada kepastian. Mereka punya lahan, tetapi bisa dalam sekejap diserobot orang dan diperjualbelikan.

Perbedaan persepsi dan kesenjangan kesadaran antarpetani anggota KTHK ini diakui oleh Palber Turnip. Ia menilai beberapa di antara mereka lebih memiliki keinginan untuk menguasai lahan daripada membantu program konservasi.

“Dia penginnya [lahan yang ada] dijadikan kebun sawit, karena memang sawit ini kan produk yang menggiurkan. Tidak susah untuk dirawat, bisa produksi sampai 25 tahun, per dua minggu bisa panen. Dan ini menjadi komoditas yang diminati pelaku-pelaku usaha, ya, mafia-mafia begitu,” terang pria yang mengawali karier sebagai polisi hutan itu. 

Andai Ada Seribu Pasaribu
Tampak aliran sungai membelah lahan perkebunan yang dikelola petani KTHK mitra Taman Nasional Gunung Leuser. Sampai kini masih ada oknum yang melakukan praktik jual beli lahan ilegal dan sedang ditangani TNGL/Deta Widyananda

Turnip, sapaannya, memperkirakan tidak lebih dari 25% dari keseluruhan anggota KTHK yang masih komit dalam KTHK. Termasuk Pak Pasaribu dan beberapa orang lainnya dari 11 kelompok aktif tersisa. Di sisi lain jauh lebih banyak yang tidak taat pada ketentuan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara TNGL dan KTHK di awal program.

Sebagai tindak lanjut, ia bersama jajaran TNGL akan mengevaluasi kelangsungan KTHK setelah lima tahun ini berjalan. Salah satu poin mekanismenya, anggota yang tidak menaati PKS akan dikeluarkan dari program sehingga keberadaan mereka menjadi ilegal. Penegakan hukum pun berlaku.

Salah satu anggota KTHK yang paling menonjol untuk urusan mengangkangi hukum adalah Hasan Sitepu. Penduduk setempat yang dianggap tokoh masyarakat. Saat ini ia bak penjajah, karena menduduki kantor Resor Sekoci dan menanam dua hektar pepaya di sekitarnya tanpa izin.

Ada tindakan kriminal lainnya dari Hasan yang dibeber Turnip, “Dia sekarang aktif menjual beli lahan itu dengan modus biaya imas—pekerjaan memotong semak dan pohon kecil di permukaan tanah. Ada yang dia jual 15 juta per kavling [per dua hektare], ada yang 10 juta, ada bahkan yang 40 juta untuk 50 hektare itu.”

“Kalau rekan-rekan [TelusuRI] nanti bisa bertemu Hasan, dia selalu ngomong itu [jual beli lahan] demi rakyat,” tambah pria kelahiran Pematang Siantar itu. Jejaringnya memang tak main-main. Mulai level pengusaha hingga sejumlah kementerian yang membonceng investor asal Mesir. Mereka tak sadar jika sedang ditipu Hasan.

Sampai sekarang Turnip dan jajarannya sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk menangkap Hasan. Di antaranya keterangan sejumlah korban yang diperdaya Hasan, mengambil beberapa kuitansi transaksi hingga akta jual beli sebagai bahan untuk proses hukum.

Langkah konkret Turnip dan petugas TNGL di bidang penegakan hukum tersebut sejatinya menjadi modal penting. Jaminan keberlangsungan para petani yang taat aturan. Seperti Pak Pasaribu, John Hendri, dan anggota lainnya. Itu menunjukkan komitmen pemangku kawasan dalam melibatkan masyarakat sebagai aktor utama pendukung konservasi.

Pak Pasaribu menaruh harapan lebih kepada pihak berwenang. Ia memandang akan sulit memberantas permainan mafia jika hanya mengandalkan personel internal TNGL. Ia berharap agar ada koordinasi intensif antarinstansi, khususnya bidang Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK baik di Sumatra maupun pusat.

Baginya penegakan hukum juga memiliki fungsi untuk menyadarkan dan mengubah pola pikir masyarakat. Supaya hilang anggapan lahan tersebut tidak bertuan sampai harus ditanam komoditas yang tak semestinya.

Di sisi lain Pak Pasaribu juga berharap kawan-kawan anggota KTHK lainnya untuk tetap memegang komitmen PKS sesuai kesepakatan. Tidak sedikit kolega yang ia kenal berubah pikiran dan berhenti di tengah jalan. Dipicu kecemburuan sosial, para petani anggota memang mudah kembali tergiur dengan uang cepat, seperti mengurus sawit atau bahkan mengekor Hasan Sitepu berdagang tanah secara ilegal. 

“Pesan saya untuk kawan-kawan, mari kita kita sama-sama jaga dan lestarikan hutan Taman Nasional Gunung Leuser ini. Saya pikir ini visi utama kita,” tutur Pak Pasaribu lugas, “kenapa? Ini [taman nasional] kan kebanggaan bangsa kita. Kebanggaan nasional.” 

Ia percaya hutan—dengan menanam jengkol, petai, rambutan, dan lainnya—akan memberikan nilai ekonomi kepada mereka. “Apalagi ini masih baru. Tanaman menghasilkan buah perdana. [Kita tunggu] dua tahun, tiga tahun, lima tahun ke depan itu, apa enggak luar biasa [hasilnya]?”

Di benak Pak Pasaribu, “Hutan ini bukan hanya [berguna] pada masa kita saja, tetapi hutan ini [juga bermanfaat] untuk generasi [setelah] kita. Kita [kelak pasti akan pergi] tinggalkan dunia ini, tetapi yang jelas kita meninggalkan suatu kehidupan di dunia.”

Ia menegaskan, kuncinya terletak pada kemauan mengubah tekad dan pola pikir agar mau melestarikan hutan. Merasa hidup cukup dengan dukungan sumber daya alam yang ada. Jika sudah begitu, tak ada tempat lagi untuk kelompok perusak macam Hasan Sitepu dan anak buahnya. Orang-orang yang tak akan tunduk pada alam. Orang-orang yang mengisi hidup hanya untuk uang.

Titipan untuk Jakarta

“Saya pun sebenarnya lama menunggu [momen] seperti ini [berbicara ke media]. Kenapa? Kesempatan saya akan menceritakan [kondisi di sini],” kata Pak Pasaribu.

Bisa dibilang Pak Pasaribu hanyalah sedikit orang di KTHK, khususnya wilayah Besitang, yang masih lantang menyuarakan keadaan lingkungan, sosial, dan ekonomi terkini. Pak Pasaribu tak gentar dengan keberadaan preman atau mafia tanah. Namun, ia tetap perlu dukungan lebih dari pemerintah daerah—kabupaten maupun provinsi—dan pusat, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Di mata Pak Pasaribu, Jakarta adalah tempat pejabat-pejabat tinggi yang diharapkan merawat payung harapan rakyatnya. Rakyat yang bertekad kuat mendukung pelestarian hutan sebagai anggota KTHK. 

Sebelumnya, bapak tiga anak itu mengaku sempat berencana pergi ke ibu kota. “Kalau saya punya dana, ada donatur, saya akan berangkat sendiri ke Jakarta. Bicara sama pejabat tinggi di sana, supaya memerhatikan kami.”

Keinginan Pak Pasaribu tersebut bukan tanpa alasan. Gamblang ia menyebut petani KTHK—yang berkomitmen tinggi—belum sepenuhnya berdaya. Tidak sedikit yang menganggap mereka sebagai orang bodoh karena tidak ikut menanam sawit. “Jadi, kita ini [seperti] orang yang tidak perlu uang begitu. Padahal yang kita lihat bukan hanya uang saja, tapi kelestarian lingkungan ini.”

Pak Pasaribu berani menggaransi jika kelompoknya siap mendukung visi utama KTHK. Mereka sudah berusaha keras meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kelestarian hutan. Ia menilai suaranya sangat penting didengar karena tidak semua petani memiliki komitmen senada. Tanpa dukungan dan komitmen bersama, harapan masyarakat sejahtera dan hutan lestari bagai pungguk merindukan bulan.

“Saya pikir itu yang sangat penting. Bila perlu kepada Bapak Dirjen, menteri atau pejabat negara. Coba kita lihatlah [sama-sama] kawasan ini. Kita sangat prihatin, Pak, melihat kawasan [hutan konservasi] seperti ini,” Pak Pasaribu menitip pesan, “jadi, mari kita sama-sama berupaya. Kami petani KTHK siap mendukung.”

Di akhir wawancara, Pak Pasaribu mengambil beberapa butir kelapa hijau dari kebunnya. Pohon kelapa itu tumbuh rendah, sehingga ia mudah menebas dan memetiknya tanpa harus memanjat. Ia memberikannya cuma-cuma untuk kami. Seolah paham betapa rasa dahaga sudah mengeringkan kerongkongan.

Kami kembali ke Kuta Buluh Simalem, tempat kami pertama berjumpa. Di pengujung waktu Pak Pasaribu sempat mengajak kami berjalan beberapa puluh meter. Melihat-lihat suasana kampung. Sementara Deta mengambil beberapa potongan foto dan video tambahan dengan kamera drone.

Udara sore yang memeluk Kuta Buluh Simalem masih gerah, meski tidak seterik beberapa jam sebelumnya. Di depan warung kopi kayu itu, kami berpisah. Berbincang untuk terakhir kali, saling menitip kabar dan doa. Dari dalam mobil, kami membalas lambaian tangan dan senyumnya. Ia bagaikan seorang kakek yang melepas kepergian cucu-cucunya ke tanah rantau.

Pak Pasaribu mungkin menyadari ide-ide besarnya sebagai petani KTHK belum akan terwujud secara ideal dalam waktu dekat. Namun, setidaknya ia lega karena sudah bercerita banyak. Menyuarakan kegelisahan sekaligus keping-keping harapan.

Andai ada Pasaribu-Pasaribu lainnya di tempat ini; yang jauh lebih pantas menjadi tokoh itu sendiri daripada seorang residivis yang ditokohkan. Andai ada lebih banyak lagi sosok seperti Hatuaon Pasaribu; yang tulus mendukung konservasi dan merindukan hijaunya hutan seperti empat dekade lalu. (*)


Foto sampul:
Hatuaon Pasaribu berbicara keresahan dan harapan petani mitra konservasi Taman Nasional Gunung Leuser/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Andai Ada Seribu Pasaribu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/andai-ada-seribu-pasaribu/feed/ 0 40445