Perpustakaan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/perpustakaan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 29 Jun 2023 08:28:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Perpustakaan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/perpustakaan/ 32 32 135956295 Memberdayakan Perpustakaan Desa di Kelurahan Selang Kebumen https://telusuri.id/memberdayakan-perpustakaan-desa-di-kelurahan-selang-kebumen/ https://telusuri.id/memberdayakan-perpustakaan-desa-di-kelurahan-selang-kebumen/#respond Mon, 19 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38993 Akhir-akhir ini saya merenungi kembali catatan perjalanan selama kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kebumen. Tepatnya saat membantu pemberdayaan perpustakaan desa di Selang, kelurahan yang hanya berjarak lima kilometer ke arah tenggara dari alun-alun kota...

The post Memberdayakan Perpustakaan Desa di Kelurahan Selang Kebumen appeared first on TelusuRI.

]]>
Akhir-akhir ini saya merenungi kembali catatan perjalanan selama kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kebumen. Tepatnya saat membantu pemberdayaan perpustakaan desa di Selang, kelurahan yang hanya berjarak lima kilometer ke arah tenggara dari alun-alun kota Kebumen.

Perenungan tersebut sejatinya merupakan pertanyaan saya dahulu hingga kini, “Mengapa hari ini sulit sekali memberdayakan perpustakaan desa?”

Padahal jika menelusuri lebih jauh, pemerintah telah menyalurkan dana yang cukup besar untuk menghidupkan potensi desa, termasuk perpustakaan. Namun, fakta yang saya temukan di lapangan bertolak belakang. Masih banyak perpustakaan desa yang sepi, karena tidak lagi diminati masyarakat.

Hadirnya teknologi dan arus informasi terkini yang serba instan membuat masyarakat lebih memilih untuk mengaksesnya lewat gawai. Padahal jika tidak diimbangi dengan kebiasaan membaca yang baik, rentan sekali terseret oleh media penyebar kebohongan. 

Mengingat peran perpustakaan yang sangat penting, sehingga saya putuskan untuk menuliskan kembali kiprah KKN saya pada tahun 2022 lalu. Semoga pengalaman ini dapat menjadi catatan perjalanan, serta metode bagi siapa pun yang hendak menebarkan kebiasaan membaca di desa-desa.

Memberdayakan Perpustakaan Desa di Kelurahan Selang Kebumen
Seorang anak membaca buku bergambar di atas ayunan sepulang sekolah/Mohamad Ichsanudin Adnan

Sekilas tentang Perpustakaan Melati

Upaya saya bersama kawan-kawan KKN dalam memberdayakan perpustakaan desa, sejatinya bermula dari Perpustakaan Melati. Perpustakaan ini dapat ditemukan apabila berkunjung ke Kabupaten Kebumen. Tepatnya di belakang kantor kelurahan Selang.

Berbekal riset dan pembacaan tumpukan arsip kumuh di Perpustakaan Melati, saya menemukan sebuah fakta menarik. Perpustakaan Melati telah berdiri sejak 4 April 1998. Perpustakaan ini hadir ketika Indonesia berada pada masa krisis moneter dan demonstrasi masif mahasiswa yang menuntut reformasi.

Dari arsip tersebut, terdapat beberapa penghargaan yang telah diterima oleh Perpustakaan Melati. Perpustakaan ini juga kerap mengadakan kegiatan yang mampu menarik minat baca masyarakat, seperti lomba menulis dan kegiatan PKK warga Kelurahan Selang. Bahkan kunjungan publik ke perpustakaan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Namun, terhitung sejak tahun 2014 Perpustakaan Melati sudah tidak lagi beroperasi melayani kebutuhan membaca masyarakat. Keterangan ini didukung dengan sejumlah berkas dan laporan, yang tidak menunjukan adanya kegiatan pada tahun tersebut. Bahkan data mengenai kunjungan perpustakaan tersebut nyaris tidak ada. 

Saya sendiri pun bingung. Mengapa perpustakaan yang cukup berprestasi pada masanya seketika sudah tidak lagi diminati masyarakat?

Saya pun bertanya kepada penduduk sekitar. Menurut dugaan warga, pemerintah kelurahan sudah tidak lagi menyuplai dana kepada Perpustakaan Melati. Namun, saat saya mengonfirmasikan hal ini kepada pihak kelurahan, mereka justru tidak mengetahui hal tersebut lantaran seringnya terjadi pergantian perangkat struktural di dalam kelurahan itu sendiri.

Di luar itu, pertama kalinya kami mendapati Perpustakaan Melati sudah dalam keadaan mangkrak dan tidak terurus selama bertahun-tahun. Bahkan pada saat itu sempat dijadikan gudang atau tempat menyimpan peralatan rumah tangga. Akibatnya perpustakaan menjadi bangunan yang jauh dari fungsinya. Mirisnya, beberapa warga bahkan tidak menyadari fungsi bangunan kecil tersebut.

Di lapangan, kami justru menjumpai banyak anak kecil dan pemuda Selang yang lebih akrab dengan gawai daripada membaca. Mereka bermain gawai sembari menikmati fasilitas internet (WiFi) gratis di sekitar beranda kantor kelurahan.

Kecenderungan anak bermain gawai mesti dimaklumi sebagai bagian dari produk zaman, sehingga bukan masalah yang pelik. Namun, tantangannya adalah cara menghadirkan kebiasaan membaca sebagai kegiatan yang setara dengan bermain gawai. Terlebih membaca dapat dijadikan penyeimbang bagi kegiatan-kegiatan simulakra yang sepertinya jarang disadari oleh anak-anak. 

  • Memberdayakan Perpustakaan Desa di Kelurahan Selang Kebumen
  • Memberdayakan Perpustakaan Desa di Kelurahan Selang Kebumen
  • Memberdayakan Perpustakaan Desa di Kelurahan Selang Kebumen

Inventarisasi Buku dan Renovasi sebagai Awal Pemberdayaan

Berangkat dari masalah dan tantangan tersebut, kami memutuskan untuk mengabdi kepada masyarakat di bidang pemberdayaan. Kami ingin membuka kembali Perpustakaan Melati di Kelurahan Selang. Selain itu, kami mencoba menggunakan metode dan cara pemberdayaan perpustakaan dahulu yang terbukti berhasil memancing perhatian masyarakat sekitar.

Tahap awal pemberdayaan kami mulai dari membersihkan ruangan, serta memilah buku-buku yang kiranya masih bisa dibaca lagi. Kami memulai kegiatan dengan rasa prihatin, karena bangunan Perpustakaan Melati benar-benar tidak terurus.  

Di dalamnya kami menjumpai buku-buku yang sudah lapuk, lemari-lemari yang digerogoti serangga, tembok yang mulai terkikis, alat penerangan yang minim dan tidak berfungsi lagi, hingga plafon ruangan yang telah rusak. Selain itu kami juga menjumpai banyaknya buku yang usang atau sudah tidak relevan lagi untuk dibaca. Namun, beberapa dari buku-buku tersebut masih bisa kami inventarisasi untuk layak baca dan menyelamatkannya dari ancaman pelapukan.

Tak hanya inventarisasi. Perlahan kami mencoba untuk melakukan renovasi. Sumber dananya berasal dari kampus dan kantung pribadi secara sukarela. Kami juga sempat membuat penggalangan dana kepada masyarakat sekitar, tetapi hasilnya tidak begitu besar. 

Dari dana yang telah terkumpul, kami mencoba sebisa mungkin menggunakan kemampuan dan energi kami untuk merenovasi perpustakaan. Mulai dari mengampelas dan menambal beberapa sisi tembok, mengecat, hingga memperbaiki sejumlah plafon yang telah rusak.

Usai perbaikan, kami bersih-bersih dan menata barang-barang yang kiranya masih layak digunakan lagi. Proses renovasi hingga penataan barang ini memakan hampir tiga minggu lamanya, karena kemampuan teknis dan jam terbang kami masih jauh dari profesional. Kami yang sebelumnya terbiasa hanya menangkap pengetahuan di kelas, kini mulai belajar dan membiasakan diri untuk terjun ke lapangan.  

Proses kerja panjang tersebut membuahkan hasil. Perpustakaan Melati yang awalnya tidak layak untuk kegiatan membaca, kini mulai ramah dikunjungi. 

Memberdayakan Perpustakaan Desa di Kelurahan Selang Kebumen
Peresmian Perpustakaan Melati di Kelurahan Selang, Kebumen/Mohamad Ichsanudin Adnan

Perpustakaan sebagai Ruang Bermain

Inventarisasi buku, renovasi fisik, dan pembukaan kembali barulah langkah awal. Lebih dari itu, kami harus berusaha merancang dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan untuk mendekatkan masyarakat dengan kebiasaan membaca di perpustakaan desa. 

Sebagaimana permulaan kehadirannya, keberhasilan Perpustakaan Melati membiasakan masyarakat membaca dan raihan beberapa penghargaan merupakan proses panjang. Sejatinya, ketika semangat zaman telah berubah, mestinya perpustakaan desa juga perlu membenahi dirinya. Bukan hanya sebagai tempat membaca, melainkan juga menjadi ruang bermain. 

Beberapa hari setelah pembukaan kembali Perpustakaan Melati, kami meletakkan beberapa buku bergambar di sejumlah tempat. Antara lain di depan pintu gerbang perpustakaan dan sepanjang jalan anak-anak pulang sekolah. Hasilnya di luar dugaan. Sepulang sekolah mereka mengerumuni buku-buku tersebut. Mereka juga mengajak teman-temannya untuk mampir dan melihat koleksi buku di dalam perpustakaan.

Kami mendapati di antara mereka sangat antusias melihat media teks dan visual yang tersaji di dalam koleksi buku kami. Meski ada juga yang mudah jenuh dan hanya sekedar membuka koleksi buku di rak bergambar. Namun, kami turut mendampingi serta memberikan panduan kepada mereka tentang cerita dan makna dari buku tersebut agar tidak bingung. Selain itu, karena di antara kami ada yang memiliki keahlian menggambar, kami juga mengajarkan mereka sebagai bagian dari proses literasi.

Sepanjang operasional perpustakaan, kami menjumpai anak-anak tidak hanya membaca, tetapi juga meminta bantuan untuk mengerjakan tugas dan PR mereka di sekolah. Bahkan ada beberapa anak yang berasal dari wilayah yang terbilang cukup jauh dari area perpustakaan. Mereka berkunjung untuk meminta pendampingan belajar menjelang ujian sekolah. Kami menyambut kedatangan mereka secara hangat, termasuk orang tua yang mendampingi langsung di perpustakaan.

Antusiasme mereka mendorong kami untuk merancang beberapa kegiatan lain di perpustakaan, seperti bermain, mewarnai, membuat puisi, dan menonton film bersama. Agenda ini adalah upaya mendekatkan anak dengan kebiasaan berkunjung ke perpustakaan. Kami percaya jika mereka terbiasa, maka turut mendorong ketertarikan mereka dengan buku.

  • Memberdayakan Perpustakaan Desa di Kelurahan Selang Kebumen
  • Memberdayakan Perpustakaan Desa di Kelurahan Selang Kebumen
  • Memberdayakan Perpustakaan Desa di Kelurahan Selang Kebumen

Tantangan Menanti Selepas Program

Dari sekian program pemberdayaan kami terhadap perpustakaan, ada salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh warga sekitar kepada kami, “Apakah setelah program KKN selesai, Perpustakaan Melati dapat beroperasi secara berkelanjutan?”

Pertanyaan tersebut membuat kami bingung. Kami gundah dengan keberlanjutan Perpustakaan Melati yang telah kami angkat kembali. Terlebih banyak dari kami mesti kembali ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi. Di antara kami juga tidak memiliki dana untuk tetap bertahan hidup di Kebumen.

Pertanyaan tersebut menjadi PR terberat yang bahkan sampai saat ini belum benar-benar dapat kami jawab. Namun, saat itu tercetus ide untuk memberdayakan warga sekitar, guna menjamin keberlanjutan dari Perpustakaan Melati. Kami telah berupaya melobi ketua pemuda, berbincang dengan pihak kelurahan setempat. Akan tetapi, upaya tersebut menemui kebuntuan. 

Kebuntuan tersebut diakibatkan karena dana desa tidak lagi dialokasikan untuk operasional perpustakaan. Alasan lainnya adalah mobilitas para pemuda di Kelurahan Selang cukup tinggi.  

Banyak anak mudanya lebih memilih untuk merantau ke luar kota untuk sekolah, kuliah, bahkan bekerja. Itulah mengapa tidak banyak dari para pemuda yang tinggal di Kelurahan Selang. Maka masalah tersebut sampai saat ini belum ditemukan solusinya. Bahkan saya sendiri sudah tidak lagi mengetahui kondisi dari Perpustakaan Melati saat ini. 

Namun, memori dan kegembiraan saya selama memberdayakan Perpustakaan Melati masih tersimpan hingga sekarang. Kenangan tersebut telah menginisiasi catatan perjalanan ini, sehingga dapat dijadikan rumusan bersama dalam mengupayakan perpustakaan desa yang berkelanjutan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memberdayakan Perpustakaan Desa di Kelurahan Selang Kebumen appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memberdayakan-perpustakaan-desa-di-kelurahan-selang-kebumen/feed/ 0 38993
Hari Buku Nasional: Suara-Suara Pegiat Literasi https://telusuri.id/hari-buku-nasional-suara-suara-pegiat-literasi/ https://telusuri.id/hari-buku-nasional-suara-suara-pegiat-literasi/#respond Wed, 17 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38683 Beberapa waktu lalu sempat heboh lagi dengan data (katanya) dari UNESCO yang tersebar di internet. Kabarnya, UNESCO menyebut bahwa angka minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu...

The post Hari Buku Nasional: Suara-Suara Pegiat Literasi appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa waktu lalu sempat heboh lagi dengan data (katanya) dari UNESCO yang tersebar di internet. Kabarnya, UNESCO menyebut bahwa angka minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca.

Beberapa media massa hingga lintas lembaga negara mengutip informasi tersebut. Salah satunya seperti yang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sampaikan di situs resmi mereka pada 10 Oktober 2017. 

Sementara pada saat bersamaan, di rentang waktu yang tidak terlalu lama, muncul hasil riset World’s Most Literate Nations (WMLN) dari Central Connecticut State University pada Maret 2016. Dari studi yang menganalisis indeks perilaku dan melek huruf tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara. Persis di bawah Thailand dan hanya setingkat di atas Botswana.

Anak-anak tetangga sekitar membaca buku di teras Busa Pustaka milik Adi Sarwono via Twitter
Anak-anak tetangga sekitar membaca buku di teras Busa Pustaka milik Adi Sarwono via Twitter/adionooo

Minat Baca vs Akses Baca

Ketika saya mencoba mengkonfirmasi kepada beberapa pegiat literasi, berita yang dikutip Kominfo dan sejumlah media itu sepertinya tidak tepat. Mereka membantah. Salah satunya seperti penjelasan Lalu Abdul Fatah (34 tahun) melalui wawancara yang kami lakukan melalui surat elektronik.

“Seorang kawan saya yang juga bergerak di literasi malah terang-terangan bilang kalau berita tersebut tidak benar. Karena sampai sejauh ini pun belum menemukan dokumen resmi yang dikeluarkan UNESCO terkait tingkat minat baca kita,” jelas penulis buku Rindu Lindu (2019), Ombak Oranye (2017), dan Travelicious Lombok (2011) itu.

Jika melihat data Perpustakaan Nasional (Perpusnas), terungkap bahwa Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Indonesia sebenarnya mengalami kenaikan selama empat tahun terakhir. Mengutip pernyataan Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, seperti termuat dalam Media Indonesia  (14/2/2023), IPLM tahun 2022 berada pada skala 64,48 atau skor 13,55. Meningkat dari tahun 2019 pada skala 48,17 atau skor 10,12.

Meskipun begitu, nilai tersebut masih berada pada kategori sedang dan lajunya sangat lambat. Syarif menyebut beberapa penyebabnya, antara lain terhambatnya sarana prasarana dan tenaga, serta anggaran yang kurang memadai.

Alih-alih meributkan data UNESCO dan hasil riset IPLM, Fatah—sapaan akrabnya—lebih memercayai tentang tidak meratanya akses buku bacaan di Indonesia. Baginya tampak jelas ketimpangan koleksi buku perpustakaan, ragam buku, serta jumlah toko buku antara tempat tinggalnya di Lombok dengan kota-kota yang ada di Pulau Jawa. Perbedaan tersebut benar-benar ia saksikan dan rasakan sendiri setelah sempat 13 tahun merantau ke Jawa.

“Akses terhadap buku, itu yang sangat-sangat kurang di daerah saya. Apa kabar daerah lain yang makin jauh dari Pulau Jawa?” tanya alumnus S-1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga itu dengan nada retorik.

Adi Sarwono (33 tahun), pendiri Busa Pustaka, setali tiga uang. Pegiat literasi di Bandar Lampung itu menyebut bahwa bukan minat baca kita yang rendah, melainkan akses baca yang minim bahkan nyaris tidak ada.

“Itu pun memang lebih karena masyarakat telah terlena dari ketidakhadiran atau tidak adanya fasilitas akses bacaan masyarakat, khususnya anak-anak,” paparnya dalam wawancara yang kami lakukan melalui saluran Whatsapp.

Aksi Literasi Lewat Buku dan Perpustakaan Keliling di Lampung

Sejak 2017, Mamang—panggilan akrab Adi Sarwono—mendirikan Busa Pustaka di rumahnya sendiri di Bandar Lampung. Sebuah rumah baca untuk memfasilitasi akses bahan bacaan puluhan ribu anak secara gratis. Dari awal hanya memiliki koleksi kurang dari 10 buku, saat ini sudah terdapat ribuan buku berbagai macam judul dan akan terus bertambah.

“Pendirian Busa Pustaka berawal dari keprihatinan saya terhadap minimnya akses bacaan anak-anak di beberapa tempat, bahkan nyaris tidak ada,” terangnya. Meskipun sering terkendala problem klasik, seperti kekurangan buku, alat edukasi, dan keterbatasan akomodasi dalam giat literasi, sejauh ini masih bisa terselesaikan dengan semangat yang Mamang miliki bersama para relawan. Kondisi yang seharusnya jadi lebih baik apabila mendapatkan dukungan maksimal.

Adi Sarwono alias Mamang (topi merah) mendampingi anak-anak dalam kegiatan perpustakaan keliling bersama Busa Pustaka di Lampung via Twitter
Adi Sarwono alias Mamang (topi merah) mendampingi anak-anak dalam kegiatan perpustakaan keliling bersama Busa Pustaka di Lampung via Twitter/adionooo

Dari beberapa kiriman di akun twitter pribadinya, Mamang memang kerap terlihat berkegiatan di luar ruangan. Selain membawa “Sekolah Rakyat Busa Pustaka” ke kampung-kampung, sekolah hingga tempat-tempat terpencil, jihad literasi Mamang melalui perpustakaan keliling juga sampai menjangkau anak-anak yang hidup di lingkungan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) di pinggiran kota Bandar Lampung.

Anak-anak, memang menjadi fokus sasaran Mamang dan para relawan di setiap kegiatan literasi Busa Pustaka. Seperti tertera laman depan situs resmi Busa Pustaka, “Save Literacy, Save Next Generation”.  Kebiasaan membaca dan berliterasi dapat dilatih sejak dini. Anak-anak adalah ujung tombak dan harapan terbesar mewujudkan berdayanya literasi bangsa.

“Saya ingin Busa Pustaka bisa makin berkembang, Makin banyak buku, makin banyak hal-hal yang bisa diberikan kepada anak-anak, khususnya juga tentang pendampingan pendidikan anak-anak,” harapnya.

  • Kegiatan perpustakaan keliling Busa Pustaka di lingkungan TPAS di Bandar Lampung
  • Kegiatan anak-anak SD saat jeda sekolah mampir baca buku di Busa Pustaka via Twitter

Aksi Literasi Lewat Kelas Menulis Lokal di Lombok

Kegigihan berjuang di dunia literasi juga tak henti Fatah lakukan sampai sekarang. Sebagai penulis, ia tak hanya produktif membuat buku, tetapi juga aktif berbagi ilmu menulis kepada siapa pun dengan jalan yang acapkali tak terduga.

Misalnya, Kelas Menulis Tepi Danau, kelas menulis kreatif untuk anak-anak dan remaja. Idenya bermula ketika Fatah membantu mertuanya membersihkan area Lembah Hijau, yang terdapat danau buatan bekas galian pasir di dalamnya. Lembah Hijau adalah area wisata rintisan mertua Fatah sejak 2005, namun tutup total akibat gempa Lombok 2018 dan pandemi Covid-19. 

Dari rangkaian kegiatan yang berkolaborasi dengan banyak pihak, seperti Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Duta Baca Indonesia Gol A Gong, Geopark Rinjani, UAC Studio, penerbit indie Jejak Aksara Publisher, dan komunitas literasi lokal, Fatah dan tim berhasil meluncurkan sejumlah karya. Di antaranya buletin karya murid-murid kelas menulis, sampai dengan belasan naskah cerita bergambar untuk PAUD dan SD yang siap diterbitkan dan didistribusikan ke sekolah-sekolah yang ada di Lombok.

  • Lalu Abdul Fatah dan bukunya "Rindu Lindu" di toko buku Alegria Lombok
  • Lalu Abdul Fatah ketika awal bergabung dengan penerbit independen Jejak Publisher

Saat ini, Fatah turut bergabung dengan tim Jejak Aksara Publisher. Misinya adalah ingin menerbitkan lebih banyak karya para penulis lokal Lombok atau Nusa Tenggara Barat secara keseluruhan. Selain itu melalui komunitas Jejak Aksara pula Fatah dan tim terus berkembang dengan beberapa program, antara lain membuat tantangan menulis, menyelenggarakan workshop, dan banyak lagi.

Bagi Fatah, pelibatan komunitas dalam kegiatan literasi menjadi penting untuk dilakukan secara intensif. Selain memperkenalkan dunia penerbitan buku, juga sekaligus mencari dan membentuk talenta baru dalam dunia kepenulisan. “Prinsip saya, ngapain menunggu naskah masuk ke meja redaksi? Kenapa tidak ‘membentuk’ penulisnya saja?”

Di tengah masifnya media sosial di era serba digital saat ini, lalu munculnya teknologi artificial intelligence (AI), Fatah mengaku tidak akan kapok mendorong dan melatih anak-anak muda untuk belajar menulis. Menurutnya dunia masih terus membutuhkan konten kreatif.

“Perkara rasa, emosi, kedalaman spiritual, itu hanya manusia yang punya. Bukan robot seperti AI. Jadi, kita akan tetap relevan walau tantangannya jauh lebih berat,” jelas Fatah. 

  • Lalu Abdul Fatah (berdiri, kiri) dan para peserta Kelas Menulis Tepi Danau
  • Lalu Abdul Fatah (tengah, bertopi) dan para peserta Kelas Menulis Tepi Danau foto bersama setelah kelas via Instagram

Harapan itu Masih Ada

Menurut pakem UNESCO, seperti Syarif sampaikan kepada Kompas dalam acara penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dan diskusi bertema ”Membumikan Literasi untuk Kesejahteraan dan Kebahagiaan” yang digelar Perpustakaan Nasional di Jakarta (18/1/2022), idealnya satu pemustaka bisa mengakses tiga buku setiap tahun. Akan tetapi di Indonesia, rata-rata satu buku ditunggu oleh 90 orang. 

Maka perjuangan literasi di Indonesia tidak lagi sekadar memberantas buta aksara. Dewasa ini memungkinkan bentuk fisik dan digital berkolaborasi mewujudkan peningkatan literasi negeri. Media sosial dan internet telah memberikan kemudahan untuk menjangkau sumber literasi itu sendiri. Dan, jangan lupa, literasi adalah tugas bersama semua warga negara.

“Saya sebagai rakyat biasa juga berkewajiban untuk bergerak. Bagaimana (mewujudkan) bangkitnya literasi dan merdeka literasi di tanah air, karena literasi adalah pondasi dari semua hal,” tutur Mamang, “dan mungkin satu-satunya jalan saat ini adalah revolusi literasi nasional.”

Ide tersebut mungkin terdengar muluk. Namun, melihat kondisi saat ini, potensi yang ada, dan besarnya harapan untuk bisa terwujud dalam jangka panjang, pernyataan Mamang itu rasa-rasanya akan sangat sepadan untuk dilakukan secara menyeluruh.

Harapan itu masih ada. Asa untuk menaikkan level literasi bangsa menjadi lebih baik, dengan cara meningkatkan akses buku bacaan untuk masyarakat. Mamang dan Fatah adalah sedikit dari banyak orang-orang di luar sana yang harus kita dukung.

Dan itu bisa segera kita mulai dari diri sendiri. Tanpa basa-basi dan tidak perlu menunggu terlalu lama, Fatah turut mengajak, “Jadilah pembaca yang baik, tekun, dan kritis. Jadilah pembaca yang kemudian mengamalkan isinya. Lakukan mulai sekarang!”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hari Buku Nasional: Suara-Suara Pegiat Literasi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hari-buku-nasional-suara-suara-pegiat-literasi/feed/ 0 38683
Hidup Produktif bersama Perpustakaan Bung Hatta https://telusuri.id/hidup-produktif-bersama-perpustakaan-bung-hatta/ https://telusuri.id/hidup-produktif-bersama-perpustakaan-bung-hatta/#comments Sun, 16 May 2021 01:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27977 Sejak melakoni Jurusan Ilmu Sejarah UGM, dari sinilah aku menyadari bahwa aku ini masih belajar dan belum pantas tampil di muka publik. Ada petuah dosen dan kakak tingkat sejarah bilang “mahasiswa sejarah harus memiliki bacaan...

The post Hidup Produktif bersama Perpustakaan Bung Hatta appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejak melakoni Jurusan Ilmu Sejarah UGM, dari sinilah aku menyadari bahwa aku ini masih belajar dan belum pantas tampil di muka publik. Ada petuah dosen dan kakak tingkat sejarah bilang “mahasiswa sejarah harus memiliki bacaan kuat untuk menulis dan berdiskusi untuk mereproduksi pengetahuan.” Supaya tidak lagi terlihat bodoh, maka aku bertandang ke perpustakaan untuk beraktivitas.

Tulisanku ini bermaksud untuk menarasikan pengalaman tentang Perpustakaan Proklamator Bung Hatta. Sebenarnya tempat ini layak dijadikan sebagai objek wisata literasi di Bukittinggi, namun kalah saing sama objek pariwisata lainnya. Ironis sekali, manusia Indonesia kurang memprioritaskan perpustakaan sebagai objek wisata literasi yang mencerdaskan akal dan budi pekerti bangsa Indonesia.

Suatu hari ketika berlibur, aku pergi ke Perpustakaan Proklamator Bung Hatta (PPBH). Perpustakaan ini terletak di sebelah Kantor Walikota Bukittinggi, yang sama-sama berada di atas bukit. Aku berangkat ke sana saat pagi hari. Waktu pagi hari merupakan waktu efektif bagi manusia untuk beraktivitas total. Sebab para ulama berkata bahwa rezeki manusia akan datang ketika pagi hari. Aku mafhum dan selalu membiasakan bangun pagi.

Lokasi yang sejuk dan asri menjadi daya tersendiri bagi PPBH. Meskipun bangunan PPBH terhalang oleh kantor walikota, tentu tidak menyurutkan semangat pemustaka untuk beraktivitas di sana. Setiba di lokasi, aku disambut oleh patung dada Bung Hatta yang berdiri di tengah air mancur. Jangan lupa arsitektur bangunan ini apik dan kekinian.

Menurut hemat saya, warga Bukittinggi, khususnya Sumatera Barat, patut berbangga kehadiran PPBH selain figur Bung Hatta. Dengan adanya PPBH, mereka bisa menyempatkan waktu untuk membaca buku di tempat. Biar lebih enak, pengunjung bisa membuat daftar kartu anggota sebagai prasyarat meminjamkan buku. Selain itu, PPBH terbuka untuk umum, mulai untuk anggota, bukan anggota, dan rombongan.

Terus terang selama berlibur, aku merasakan perbedaan mencolok fasilitas dan situs perpustakaan antara Sumatera Barat dan Yogyakarta. Di Jogja, tempatku kuliah, situs perpustakaan tumbuh bak jamur di musim hujan. Para pecinta literasi bakal puas menikmatinya. Bahkan, beberapa kafe merupakan tempat nongkrong mahasiswa sudah tersedia koleksi buku.

Melihat realitas kesenjangan literasi, ada panggilan moralku untuk membangun perpustakaan digital, seperti Internet Archive. Tujuannya adalah supaya warga Indonesia bisa mengakses informasi tanpa kesulitan jarak dan waktu. Aku menyadari bahwa niat yang besar harus punya modal dan usaha ekstra pula. Artinya ketika membuat proyek ini, kolaborasi menjadi syarat pokok untuk mencapai tujuan.

Kembali pada bahasan pokok, setiba di perpustakaan, aku mengikuti serangkaian tata tertib yang harus dipatuhi. Pertama, aku mengisi buku tamu dan menitipkan barang bawaan ke petugas layanan kunjungan. Setelah itu, aku menelusuri jenis buku yang akan dibaca. Selama di sana, pengunjung harus menjaga kebersihan, kesopanan, dan ketenangan. 

Prasasti/Genta Ramadhan

Penamaan Perpustakaan Proklamator Bung Hatta sebetulnya merujuk kepada Bung Hatta sebagai tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia. Sepeninggal Bung Hatta, kutipan, akhlak, dan pemikiran beliau masih langgeng sepanjang zaman. Bahkan, pemerintah berencana membangun perpustakaan kembar untuk Soekarno dan Hatta sesuai tempat kelahiran mereka. Soekarno lahir di Blitar. Hatta lahir di Bukittinggi.

Jika aku amati, memang figur Bung Hatta yang diyakini oleh masyarakat awam (hanya) dikenal sebagai sosok dwitunggal Indonesia atau sosok “pendamping” Bung Karno. Sudah menjadi rahasia umum, penamaan nama bandara Cengkareng dan jalan di Indonesia pasti ada kata “Soekarno-Hatta”. Apalagi uang seratus ribu pasti ada gambar dwitunggal Republik.

Di halaman depan, aku menyaksikan prasasti peresmian perpustakaan ini yang telah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebetulnya, perpustakaan ini sudah dibangun pada tahun 1976 dan diresmikan oleh Bung Hatta sendiri. Namun karena jumlah pemustaka terus bertambah, maka Pemerintah Kota Bukittinggi ingin membangun gedung perpustakaan baru yang lebih luas dari sebelumnya.

Menariknya, sekarang pengunjung bisa mengakses beberapa koleksi Bung Hatta yang sudah terdigitalisasi. Jadi, aku bisa membaca buku babon beliau yang sekarang susah ditemukan. Kalau nemu di aplikasi belanja online, pasti harga buku itu mahal karena tergolong buku langka. Lumayan lah sebagai bahan menulis tentang pemikiran Bung Hatta dalam aspek apapun. Jangan lupa, siapkan buku kecil dan pulpen.

Seperti perpustakaan pada umumnya, PPBH memiliki koleksi berkala dan koleksi monograf. Koleksi berkala terdiri atas surat kabar dan majalah terbitan dalam negeri. Adapun koleksi monograf berupa buku umum, buku referensi, dan koleksi buku khusus. Koleksi buku umum boleh dipinjam dan dibawa pulang, sedangkan koleksi referensi dan buku khusus hanya boleh dibaca di tempat.

Tampak dalam/Genta Ramadhan

Kemudian, masih ada fasilitas yang dimiliki oleh PPBH, yaitu ruang baca anak, penelusuran OPAC (Online Public Acces Catalogue), musala, lahan parkir yang luas, ruang mini teater, ruang pembuatan kartu anggota, dan kantor PPBH. Di lantai satu, aku menemukan koleksi jenis batu yang ditemukan oleh para ahli geologi. 

Untuk menghilangkan rasa bosan sehabis membaca, aku berjalan santai ke ruang pembuatan anggota. Sesekali aku membaca syarat menjadi anggota pustakawan PPBH. Syaratnya mudah, Anda cukup membawa fotokopi kartu identitas (KTP/SIM/Kartu Mahasiswa/Kartu Pelajar) dan pas foto 3 x 4 selembar. Masa berlaku kartu anggota pustakawan selama lima tahun dan boleh mendaftar kembali.

Kesan perjalananku ke PPBH sangat mengesankan. Aku merasa dimanjakan oleh fasilitas PPBH hingga nyaris lupa balik pulang. Jadi bagi Anda yang merindukan ketenangan, perpustakaan ini solusinya. Garap tugas kuliah dan pengisi waktu luang juga bisa. Yang terpenting biasakan membaca buku karena buku adalah jendela ilmu.

The post Hidup Produktif bersama Perpustakaan Bung Hatta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hidup-produktif-bersama-perpustakaan-bung-hatta/feed/ 1 27977