pertanian organik Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pertanian-organik/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 24 Jun 2024 05:24:14 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pertanian organik Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pertanian-organik/ 32 32 135956295 Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga https://telusuri.id/sehari-menjadi-pekebun-kota-di-kebun-tetangga/ https://telusuri.id/sehari-menjadi-pekebun-kota-di-kebun-tetangga/#respond Mon, 24 Jun 2024 09:08:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42216 Meskipun tidak seramai dan sesesak Jakarta, tetapi menjadi kota tersibuk di kawasan Indonesia Timur menjadikan Makassar sesekali cukup menyebalkan. Kemacetan rutin tiap pukul 08.00 dan sekitar 16.00 WITA. Paling parah biasanya saat ada perhelatan, seperti...

The post Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga appeared first on TelusuRI.

]]>
Meskipun tidak seramai dan sesesak Jakarta, tetapi menjadi kota tersibuk di kawasan Indonesia Timur menjadikan Makassar sesekali cukup menyebalkan. Kemacetan rutin tiap pukul 08.00 dan sekitar 16.00 WITA. Paling parah biasanya saat ada perhelatan, seperti wisuda, kondangan, dan konser-konser di sekitar daerah Tanjung Bunga. 

Tidak hanya orang dewasa yang sibuk dengan berangkat ke kantor sejak pagi dan baru pulang saat petang. Anak-anak pun tidak kalah sibuk. Setelah seharian sekolah, mereka terkadang harus melanjutkan dengan les tambahan atau mengaji saat sore. Kesibukan-kesibukan di kota terkadang membuat kita berpikir bahwa menikmati keindahan berarti selalu pergi jauh dari rutinitas.

Untuk saya, menikmati keindahan tidak harus jauh. Saya selalu punya satu tempat yang cukup dekat dari rumah. Namanya “Kebun Tetangga”. Sebuah kebun urban yang di dalamnya saya bisa melakukan aktivitas seharian menjadi pekebun.

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga

Sekilas tentang Kebun Tetangga

TelusuRI menjadi benang merah pertemuan saya dengan Kak Syukron, sosok di balik Kebun Tetangga. Sekitar tiga tahun lalu, saat perhelatan Makassar International Writers Festival (MIWF), saya bertemu dengan Kak Syukron. Baju warna merah dan tas punggungnya tampak tidak asing, sebab mirip sekali dengan foto profil WhatsApp-nya waktu itu. Saya beranikan diri untuk menegur, dan percakapan kami berlangsung cukup menyenangkan.

Saat itu Kak Syukron bersama Bilal, anak sulungnya. Sebelum pulang, ia mengajak untuk mengunjungi Kebun Tetangga yang katanya sebentar lagi akan panen kombucha. Semenjak ajakan tersebut, Kebun Tetangga menjadi salah satu tempat rutin yang saya kunjungi sampai sekarang.

Saya cukup beruntung diterima dengan baik di sini. Menyaksikan bagaimana kebun bertumbuh, orang-orang semakin banyak, ladang-ladang yang digarap kian luas, dan tumbuhan yang ditanam tambah beragam. 

Sehari di Kebun Tetangga

Seorang teman sekaligus pekebun di Kebun Tetangga menginisiasi gerakan #RabuMie, atau makan mi tiap hari Rabu. Setelah percakapan singkat via teks, kami sepakat untuk bertemu di kebun pagi hari, bekerja di sana, lalu menikmati #RabuMie sebagai penutup hari.

Saya berangkat dari rumah di daerah Batua sekitar pukul 07.00 WITA. Setelah mengendarai motor selama setengah jam, saya tiba di area Kebun Tetangga, Samata, perbatasan antara Kota Makassar dan Kabupaten Gowa. Begitu tiba, orang-orang sudah sibuk berkebun. Dua orang tukang tampak sibuk memaku papan-papan kayu ke dinding bangunan kecil yang sementara terbangun di bagian agak luar dari kebun. Lalu di rumah kedua, saya mendapati Kak Syukron dan Erbe, teman saya, sedang mengisi pipa-pipa panjang dengan pasir. 

“Pagi, Kak!” kusapa mereka berdua sembari motor tetap melaju ke rumah utama, kediaman Kak Syukron, Kak Wulan, dan dua anak mereka. Di sini, saya menyimpan tas dan jaket, berbincang sebentar dengan Kak Wulan, lalu keluar menghampiri para pekebun yang sibuk tadi. 

“Jadi, apa bisa kukerja pagi ini?” tanya saya.

“Boleh dibantu panen bunga matahari, Naw. Tapi potong bunga matahari yang sudah hitam saja, nah!”

Setelah menerima instruksi pertama pagi itu beserta alat tempurnya—sebuah tang gunting dengan pegangan berwarna kuning—saya pun berjalan menuju ladang dengan sederet bunga matahari yang tinggi-tinggi. Bahkan banyak yang lebih tinggi dari saya. 

Tugas pertama yang tidak terlalu sulit dan cukup menyenangkan. Tidak ada hal khusus, hanya saja memastikan bunga matahari yang saya panen sudah menghitam dengan kelopak bunga yang sepenuhnya layu. Memotong batang bunga juga sebaiknya tidak terlalu panjang, secukupnya saja. 

Tidak sampai 15 menit, saya kembali dari ladang dengan seember penuh bunga matahari. Saya letakkan di meja, lalu Erbe mengambil seluruh hasil panen itu untuk ditata di atas nampan, lalu dijemur di bawah terik matahari pagi. Tampaknya masih belum ada yang memanen bunga telang pagi itu. Maka, saya menawarkan diri mengambil alih salah satu pekerjaan yang paling saya suka di kebun. 

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Deretan bunga matahari yang ditanam di Kebun Tetangga/Nawa Jamil

Memanen Bunga Telang

Bunga telang kering dan olahannya menjadi salah satu komoditas unggulan di kebun. Selain bunga telang yang sudah dikeringkan—cocok sekali diseduh dan dinikmati dengan perasan jeruk nipis dan madu—telang juga bisa diolah menjadi sirup telang sereh dengan wangi sereh merah. Rasa teh telang yang manis dan asam juga tak kalah enaknya. 

Seingat saya, telang telah tumbuh di kebun ini dari tahun lalu, atau bahkan lebih lama dari itu. Telang punya banyak manfaat untuk kesehatan. Tumbuhan ini merimbun dan cukup lebat, tergantung nutrisi pada tanahnya dan serangan hama. Memetiknya juga cukup menyenangkan. Bunga telang yang boleh dipetik hanya bunga yang mekar sempurna dan tidak layu. Semakin lebat, bunga ini akan memberikan semakin banyak bunga dengan waktu panen rutin tiap pagi-sore. 

Hari ini saya memetik bunga telang cukup lama sampai kedua otot lengan atas pegal. Mungkin sekitar setengah jam lebih. Untuk sekitar tiga bed tanaman telang dapat menghasilkan 2–3 nampan penuh telang yang siap dijemur. Saya menaruhnya di samping nampan bunga matahari yang telah saya petik sebelumnya. 

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Hasil panen bunga telang/Nawa Jamil

Aneka Makanan Enak dan Menyehatkan di Kebun

Dapur adalah ruang eksperimen Kak Wulan. Ia pandai mengolah penganan dengan memanfaatkan bakteri-bakteri baik. Termasuk membuat kombucha. Minuman probiotik itu berasal dari teh hitam dan scooby, lalu diberikan potongan buah pada fermentasi kedua, tempe dari aneka biji-bijian—tidak melulu kedelai. Selain itu juga ada tepache, sejenis minuman probiotik dari kulit nanas. 

Saya juga pernah melihat telur bebek yang diasinkan dengan metode direndam dalam toples yang cukup unik. Saat mencobanya, rasanya cukup enak seperti telur asin yang biasa saya nikmati.

Cukup sering saya menikmati aneka makanan sehat dari bahan-bahan yang cukup unik. Kak Wulan adalah salah satu koki yang sangat memerhatikan bahan makanannya. Darinya saya baru tahu, rasa khas garam bali dan garam jeneponto bisa menghasilkan masukan yang lebih lezat dibanding jika menggunakan garam kasar biasa yang kita beli di toko.

Hari itu Kak Wulan hendak memasak ayam saus kacang dan tumis sayur untuk makan siang. Saya diberi tugas membeli wortel dan bawang bombay ke warung kecil tak jauh dari kebun.

Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga
Menu makan siang ayam saus kacang dan sayur tumis hasil masakan Kak Wulan/Nawa Jamil

Berkebun Menjadi Menyenangkan

Usai makan siang, saya membantu Kak Wulan menyemai bibit-bibit sawi dan selada. Sawi-sawi yang tumbuh satu lubang bertiga, siang itu kami pindahkan ke masing-masing lubang. Begitu pun selada. Dengan perbandingan 1:1 antara sekam bakar dan tanah yang sudah bercampur pupuk alami, kami mengerjakannya nonstop selama dua setengah jam lebih. Saya senang melakukan pekerjaan “monoton” seperti ini, memasukkan satu kegiatan fisik di antara kegiatan sehari-hari yang membutuhkan kerja otak berat. 

Selada merupakan komoditas yang paling diminati masyarakat. Selain selada, sayur-mayur organik lain, seperti sawi, aneka sayur lalap, dan cabai juga dilirik oleh supermarket di Kota Makassar. Sayangnya, kapabilitas pekebun-pekebun organik di daerah Makassar dan sekitarnya masih belum mampu mencukupi angka permintaan yang ada. Untuk menyiasati jumlah permintaan yang ada, Kebun Tetangga menerapkan pencatatan waktu semai benih dan pemindahan bibit ke bedengan yang konstan dengan jarak seminggu. 

Saya selalu senang menghabiskan waktu di kebun ini. Melihat lebih lambat, menyaksikan bagaimana tumbuhan punya ritmenya sendiri. Saya senang dengan orang-orang di dalamnya, juga cerita-cerita yang hadir di setiap kesempatan berkunjung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sehari Menjadi Pekebun Kota di Kebun Tetangga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sehari-menjadi-pekebun-kota-di-kebun-tetangga/feed/ 0 42216
Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (2) https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-2/ https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-2/#respond Tue, 16 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41684 Saya tak mengira, sejak 2021 kebun di rumah telah menjelma sebagaimana di bawah asuhan Dewi Circe, seorang dukun Aiaia dan putri Dewa Helios yang memilih berkebun dalam pengasingan daripada kembali ke kahyangan. Dalam legenda Yunani,...

The post Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya tak mengira, sejak 2021 kebun di rumah telah menjelma sebagaimana di bawah asuhan Dewi Circe, seorang dukun Aiaia dan putri Dewa Helios yang memilih berkebun dalam pengasingan daripada kembali ke kahyangan. Dalam legenda Yunani, Circe adalah seorang dewi keturunan Helios (dalam jajaran dewa tertinggi) dan Perse (seorang siluman). Circe adalah nymph atau siluman yang kemudian diusir dari kahyangan ke lokasi terpencil. Di tempat inilah Circe kemudian berkebun. 

Sejauh ini, kebun Bu Jamik telah menumbuhkan sembilan jenis tanaman sayuran, yaitu kacang panjang, belimbing wuluh, terong, kol, labu siam, turi merah yang mulai langka, labu biasa, kelor, dan sawi. Ada pula 19 jenis buah yang namanya aneh bukan main juga tumbuh di sana. Sebut saja kelengkeng durian, kelengkeng matalada, kelengkeng kristal, avokad aligator, avokad miki, sawo jumbo, anggur jupiter, anggur ninel, anggur akademik, anggur everest, anggur transfigurasi. Lalu melon biasa, melon golden alisha, markisa jumbo, stroberi, arbei, belimbing, delima, lemon, dan aneka varietas mangga. Menyebutkan semuanya saja bikin terengah-engah.

Belum lagi tanaman bunga, baik untuk melawat maupun berobat. Ada sekitar sepuluh tanaman yang tersebar di kebun, antara lain aglaonema, sakura, anggrek moth, sukulen echeveria, telang, bunga sepatu, kenanga, melati, mawar de Rescht, dan rosela. Jangan lupakan pula tanaman apotek hidup, seperti kunyit, sirih, daun salam, jahe, kucai, bawang dayak, hingga daun ginseng.

Kalau sudah begini, siapa pernah mengira kebun  ini adalah “alun-alunnya” para demit?

  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo

Perjuangan Menumbuhkan Kesuburan Tanah Wingit

Tanah wingit ini mencapai puncak kesuburannya pada 2023 dan awal 2024. Anggur transfigurasi berbuah lebih dari 40 dompol, anggur ninel terus membuahkan lebih dari 30 dompol sebanyak dua kali dalam satu tahun, dan anggur akademik bisa mencapai tak kurang dari 20 dompol. Hampir satu RT pernah dapat markisa jumbo milik ibu saya, karena sekali panen pohon ini bisa menghasilkan puluhan buah. 

Itu bukan berarti bahwa tanah wingit ini memang subur dari sono-nya. Di awal-awal masa pembabatan pada akhir 2019, tanah di area ini merah. Terik matahari terblokir dinding rumah sehingga potensi mendapatkan sinar yang maksimal adalah saat siang hari hingga terbenam. Dalam satu bulan, posisi matahari yang berubah-ubah membuat ibu saya paling tidak memindahkan tanaman tomatnya hingga lima sampai tujuh posisi berbeda.

Entah itu adalah alasan estetika atau kegabutan luar biasa. Namun, posisi matahari memang berpengaruh penting. Jadi, tanaman-tanaman yang paling butuh banyak sinar harus diletakkan di area yang paling banyak mendapatkan cahaya matahari. 

Sinar matahari berperan sangat penting bagi pertumbuhan tanaman (Putriyana Asmarani)

Lapisan tanah juga sangat buruk; batu-batu bekas bangunan, pecahan tembikar, seng, dan besi. Komposisi tanah telah rusak dan senyawa yang terpendam di sana bisa jadi beracun. Dampaknya akan membunuh benih dalam sekali tebar atau tanaman sekali tancap. Oleh karena itu, suburnya tanah saat ini bukan hasil dari main sulap atau menumbalkan salah satu adik saya—ia tetap sehat walafiat—melainkan karena usaha tanpa jeda. 

Tetangga sampai berkelakar, bila ibu saya pingsan sekalipun ia bakal terus mencangkul dalam keadaan tidak sadar. Ibu saya terus berkebun: mengukur pH tanah, meramu pupuk, serta membuat lapisan tanah baru dari damen dan batang pisang. Semua ia lakukan dan hanya berhenti kalau sudah tifus saja.

Parahnya ia tidak hanya berjibaku dengan kondisi alam dan tanah semata. Ia juga mesti menghadapi kritik tak sedap dari segala penjuru mata angin. Misalnya, “anaknya sendiri minum susu SGM, tanamannya digelontor susu sapi”, “tokonya sudah ditelantarkan, dia fokus pada kebun padahal tidak menghasilkan”, atau komentar-komentar pedas lainnya menggunakan bahasa rimba.

Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
Belimbing wuluh/Putriyana Asmarani

Strategi Ibu

Gosip sama kekalnya dengan sepercik api abadi di gunung es. Bersamaan dengan itu, tetangga ibu kiri-kanan dan belakang (tidak ada depan karena langsung berhadapan area sawah dan makam) kerap mampir sambil menenteng kantung plastik. Dengan templat salam yang sama mereka menyapa, “Pagi, Yu Jamik, akas temen (cekatan betul) pagi-pagi sudah di kebun. Aku minta kemangi, ya; cabe, ya; tomat-terong-belimbing wuluh-kelor-ya.”

Ini justru sangat menyenangkan. Itulah syarat evolusi, karena mereka harus bertahan hidup di tengah resesi dan kelangkaan pangan. Tak peduli besok bawa gosip baru atau kemarin menyebarkan gosip lama. Ibu saya sendiri juga suka dengan teori evolusi tersebut. Kalau tidak begini, ia tidak tahu lagi cara lain untuk beramal dan berbuat baik. Saat ini pun ia masih belum ada kehendak untuk menjual hasil panennya. Entah karena alasan apa. Tidak ada cara lain untuk memahaminya. Kadang uang memang tidak bisa dipakai untuk mengelap keringat jerih payah.

Yang jelas, ini adalah permulaan. Sudah saatnya tanah terbengkalai, wingit, dan kosong diolah menjadi area produktif. Sudah saatnya kita “sowan” pada demit di area kosong dan angker, lalu “mengusirnya” dengan cara baik-baik. Meskipun di kebun ibu saya tidak ada ritual pengusiran atau semacamnya, cukup berdoa saja dan berniat baik maka tidak akan ada kendala. Kecuali kendala ayam tetangga yang sedang nayap. Bandit Rambo berceker itu kalau sudah lolos masuk kebun melalui lubang entah dari mana, mereka bakal menghabisi apa saja. Kendala ini memang tidak tertolong.

Di Juwetrejo, beberapa tetangga juga sudah mulai minta benih atau cukulan untuk mereka tanam sendiri. Dan ibu saya memberinya dengan cuma-cuma. Ini termasuk strategi jitu ibu saya, “Kalau mau tomat ini ada cukulan-nya, tanam sendiri saja.”

Secara langsung pernyataannya adalah motivasi untuk merdeka pangan, meski dalam skala kecil. Merdeka pangan berarti sebagai manusia kita telah mencukupi kebutuhan paling dasar dan tidak bergantung pada siapa saja, termasuk kebijakan pasar maupun ekonomi. Merdeka pangan berarti bisa tercukupi. Cukup saat harga komoditas anjlok, berlimpah kala harga komoditas meroket.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-2/feed/ 0 41684
Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (1) https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-1/ https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-1/#respond Mon, 15 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41674 Dua tahun lalu, sekitar Maret 2022, saya terlonjak kaget menemukan 10 liter susu sapi perah murni masih terbungkus, ditadah dalam dandang jumbo di atas meja dapur. Keluarga kami hanya terdiri dari lima orang, saya kemudian...

The post Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dua tahun lalu, sekitar Maret 2022, saya terlonjak kaget menemukan 10 liter susu sapi perah murni masih terbungkus, ditadah dalam dandang jumbo di atas meja dapur. Keluarga kami hanya terdiri dari lima orang, saya kemudian memekik, “Bu, semua ini buat menyusui siapa?”

Seperti kapten kapal dagang Saint-Antoine yang menghemat bubuk mesiu untuk dikirim ke Venezuela, ibu saya bertitah, “Jangan diminum. Itu takaran sudah pas untuk bikin pupuk cair.”

Sontak saya membayangkan 10 liter susu sapi diguyur di atas tanah. Untuk memastikan itu saya memutuskan menghampiri ibu saya yang tengah mengolah sesuatu—yang entah apa—di dapur. Terbelalak, saya semakin tercengang setelah mendapati apa yang ia kerjakan. Ibu saya tengah merebus 10 liter susu kedelai. Ini juga untuk pupuk cair. 

Orang memanggil ibu saya: Bu Jamik. Semua orang di Dusun Juwetrejo mengenalnya.  Jadi, bisa dipastikan serunyam apa pun gang di Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto, kurir tak bakal tersesat mencari rumah Bu Jamik. Lahir dari keluarga petani, ibu saya pandai berdagang. Mungkin ini termasuk kasus gen menyimpang dalam silsilah keturunan karena seluruh Bani Kasmadi adalah petani, kecuali dirinya. Ia mengelola toko bahan pangan sejak 1996.

Namun, akhir-akhir ini ia mendapatkan julukan baru karena obsesinya terhadap tanaman. Orang semakin menggila saat mendengar ibu saya berhasil menumbuhkan labu kendi yang hanya muncul di legenda Tiongkok lama. “Memang betul dia Bani Kasmadi.”

Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
Lanskap jalan kampung Dusun Duwetrejo dan persawahan berlatar Gunung Welirang/Putriyana Asmarani

Racikan Nyeleneh Bu Jamik

Rahasia paling besar ibu saya di desa adalah pupuk cair premium miliknya. Dibuat dari susu sapi, kedelai, dan bahan lainnya, yang tampaknya hanya saya dan orang suruhannya yang tahu. Mengapa ini jadi rahasia? Karena orang akan menyerang dan berkilah soal dunia pupuk-memupuk nyeleneh-nya. Jangankan orang lain, saya sendiri kurang bisa memahami konsep kesuburan tanah.

Meskipun dianggap nyeleneh, pupuk bikinan Bu Jamik terbukti manjur. Pengetahuannya didapat bukan dari kelas-kelas resmi pertanian, tetapi grup menanam di Facebook. Dari Facebook, ia kemudian tergabung dalam grup menanam di Whatsapp dan mendapatkan informasi perihal perkebunan di sana. Misalnya, informasi soal lapisan tanah, pH tanah, daya resap tanah, cara meracik biang POC (Pupuk Organik Cair), pupuk kohe (kotoran hewan), serta dosis POC dan kohe.

Adapun satu-satunya logika perkebunan bagi orang awam seperti saya, hanya sebatas Isaac Newton duduk di bawah pohon apel lalu apel jatuh tergelincir ke permukaan tanah. Paling jauh mungkin hanya sebatas biji jadi tunas, tunas jadi pohon, pohon disirami, bunga mekar jadi buah, lalu buah ranum bisa dikonsumsi. Maka saya kepayahan menarik kesimpulan logis dua puluh liter susu sapi campur susu kedelai digunakan untuk memupuk tanaman, sementara Dewi Demeter saja hanya menyerahkan sebuah obor untuk mengajari kaumnya menanam.

Itu pun belum mencapai batasnya. Saya pernah diamanahi tugas mencari penjual nanas kupas di Pasar Pohjejer, sekitar 60 meter sebelah barat Balai Desa Pohjejer. Tidak, saya tidak disuruh membeli buah nanas, tetapi beli sampah bekas kupasan kulit nanas. Saya tidak bisa melupakan tatapan nanar penjual buah nanas di keramaian pasar. Ia menolak sampah itu dibeli. Namun, saya tetap membayar dengan membeli buah nanas untuk menutupi biaya sungkan.

Kebanyakan air kelapa gratis didapatkan di Pasar Pohjejer. Biasanya orang datang membawa botol tanggung. Dengan senang hati penjual kelapa akan mengisi botol tanggung tersebut dengan air kelapa. Akan tetapi, karena ibu saya datang membawa jeriken, penjual kelapa jadi speechless. Saya yakin di kepalanya sedang berputar pertanyaan berulang, “Emang boleh? Emang boleh?”

Pernah pada suatu hari ibu saya mendatangkan ahli kimia, atau sebagaimana ibu menyebutnya “ahli pertanian” ke rumah untuk meracik bahan-bahan pupuk yang sudah disiapkan. Alasannya adalah membuat pupuk cair harus mengikuti takaran tertentu di mana ia kurang paham soal itu. Ahli kimia tersebut rupanya mantan pegawai toko pertanian. Padahal saat itu saya tengah membayangkan petugas lab betulan datang ke rumah. Atau ahli kimia Timur Tengah, yang dijumpai seorang penggembala kambing Andalusia karangan Paulo Coelho, punya urusan dengan kebun di rumah.

Saya jadi paham mengapa Elizabeth Lavenza adalah karakter paling kasihan di zamannya karena mencintai ilmuwan optimis nan ambisius, seperti Victor Frankenstein. Saya menjumpai keoptimisan yang sama dari Frankenstein dan Dr. Jekyll pada ibu saya. Maka sangat perlu bagi saya menjadi manusia gubahan yang hidup dari eksperimen Frankenstein, untuk mempertanyakan semua kemustahilan pada pupuk cair.

Saya mencoba mencuri kesempatan dan memohon restu pada ibu saya, apakah ia berkenan bila harus terpampang wajahnya di media koran sebagai penanda 205 tahun kebangkitan ambisi Dr. Jekyll dan Frankenstein? Tak disangka, ia berkenan.

  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo

Rona Kehidupan di Tanah Wingit

Semua ini bermula dari sepetak kebun di samping rumah. Di sana teronggok sumur tua bertuah dan dulu ada pohon nangka angker. Bapak cilik (paklik) saya pernah bilang area itu cukup wingit. Di sisi lain nenek juga setuju dengan menyodorkan sejibun bukti.

Misalnya, dulu ada saudara meninggal secara misterius di sekitar pohon nangka (kini sudah ditebang). Lalu terdapat jalur lalu lintas gaib di belakang sumur; maksudnya jalur ini dipakai untuk makhluk gaib datang mondar-mandir. Jadi, ketika pukul lima sore, kalau seandainya lengan tersenggol selembar daun beluntas, rasanya seperti seseorang entah siapa mendorong hingga jatuh tersungkur. Ada pula suatu kejadian orang tersandung lalu terjungkal hingga lumpuh, hanya karena tersandung selempeng pecahan genteng.

Dulu, setelah pohon nangka ditebang—sebelum COVID-19—area samping rumah hanya ditumbuhi dua pohon mangga saja. Kini bermacam-macam tumbuhan berbuah di sana. Misalnya, di belakang sumur tumbuh subur labu kendi yang cukup populer di legenda Tiongkok. Meski hidupnya singkat, pohon rambat ini telah berbuah lebih dari enam puluh labu sebelum kemudian diganti dengan pohon markisa jumbo. Siapa sangka, area yang dulunya angker ini bisa gemah-ripah.

Ini mengingatkan saya pada petuah lama Jawa “tresna marang bumi menika mujudaken wajibing gesang”, artinya tugas utama manusia adalah menjaga dan mencintai bumi. Ibu saya sendiri tidak heran jika semua tanamannya tidak pernah menghilang secara misterius, atau membusuk karena ulah entah apa pun itu. Penghuni alam lain tak akan mengusik manusia yang tengah menunaikan tanggung jawabnya pada alam. Setan ora doyan, demit ora ndulit.

Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
Media tanam labu kendi yang tumbuh subur/Putriyana Asmarani

Sebagai contoh, sekitar pukul sepuluh sampai dua siang burung-burung ciblek (sejenis perenjak jawa) mematuk-matuk buah arbei. Meskipun begitu, mereka tidak pernah bikin onar. Entah di mana burung-burung kecil ini belajar etiket. Berbeda dengan codot yang mencotok satu buah dan tidak dihabiskan, lalu menyerang buah lainnya yang masih bulat segar. Kecuali codot, burung-burung lainnya, seperti merbah cerukcuk, cucak kutilang, tekukur, madu sriganti, si manis tledekan, dan pipit tidak pernah merusak atau melampaui batas. 

Kedengarannya, makhluk-makhluk tersebut adalah hama pengganggu. Namun, melihat mereka sewaktu-waktu di kebun, seperti menukik rendah, melompat-lompat, berkejaran dengan berpasang-pasangan, bahkan sesekali mencomot arbei; membuat kesan tersendiri bahwa saya tak perlu ke alam baka terlebih dahulu untuk mengunjungi Taman Eden. 

Tidak hanya para sahabat kecil—burung-burung—berkeriap dan berkicau, kupu-kupu berukuran kecil, tanggung, dan jumbo pun sibuk bergelayutan di kelopak bunga kertas dan asoka. Berbeda dengan burung-burung yang cenderung pemalu dan ambyar saat pemilik kebun memperhatikan, kupu-kupu menyesap anteng saat dipotret bahkan dalam jarak dekat.

Para pengunjung kebun, dari yang bertubuh molek sampai kelompok reptil macam ular sawah dan biawak sekalipun, singgah di kebun lalu membuat resapan baru pada Kidung Reksabumi; reksa bumi ajeg asri, mindha among karsa sagotro. Mungkin kidung ini juga berarti bahwa berkebun turut berperan menyediakan pasokan pangan untuk satwa liar dan menyeimbangkan lingkungan.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gemah-ripah-di-tanah-wingit-juwetrejo-1/feed/ 0 41674