Pertukaran Mahasiswa Merdeka Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pertukaran-mahasiswa-merdeka/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 16:00:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Pertukaran Mahasiswa Merdeka Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pertukaran-mahasiswa-merdeka/ 32 32 135956295 Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang https://telusuri.id/refleksi-senja-di-bukit-cinta-kupang/ https://telusuri.id/refleksi-senja-di-bukit-cinta-kupang/#respond Wed, 07 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46861 Senja yang keemasan di suatu Senin mewarnai langit Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tak pernah bisa kutangkap dengan kamera sebaik mata memandang. Empat hari lagi, program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang telah kujalani selama...

The post Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
Senja yang keemasan di suatu Senin mewarnai langit Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tak pernah bisa kutangkap dengan kamera sebaik mata memandang. Empat hari lagi, program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) yang telah kujalani selama satu semester di Universitas Nusa Cendana (UNDANA) akan berakhir, menandai kepulanganku ke Tangerang Selatan.

Bukit Cinta di kawasan Kelapa Lima, dengan panorama sunset-nya yang memukau, menjadi pilihan sempurna untuk merenungkan perjalanan akademis dan budaya yang telah mengubah perspektifku selama empat bulan terakhir.

Transformasi Akademis di Indonesia Timur

Beta mau ajak katong ke Bukit Cinta sore ini,” ajak Filan dengan logat Kupang yang masih kental dengan aksen Manggarai, mengundangku dan Jein untuk menikmati sunset setelah kuliah.

Setelah satu semester, dialek lokal yang awalnya terdengar asing kini terasa akrab di telinga. Beradaptasi dengan bahasa lokal menjadi salah satu keterampilan tak tertulis yang kudapatkan dari program pertukaran ini—bagaimana kata “kita” berubah menjadi “katong” dan “tidak” menjadi “sonde” dengan intonasi yang naik turun seperti gelombang laut Timor.

Selama empat bulan menuntut ilmu di UNDANA, aku mengambil beberapa mata kuliah di Program Studi Matematika. Adaptasi di lingkungan baru memang tidak mudah, dan aku mengalami sedikit kesulitan dalam beberapa minggu pertama. Terlebih dengan mata kuliah yang cukup menantang, seperti Struktur Aljabar Lanjutan dan Analisis Real—mata kuliah yang benar-benar membuat rambut keriting!

Namun, pengalaman belajarku tidak terbatas pada ruang kelas saja. Melalui Modul Nusantara yang berbobot 4 SKS, aku berkesempatan menyelami kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat NTT. Di bawah bimbingan Pak Tom, dosen pendamping kami, 20 mahasiswa PMM dari berbagai universitas di Indonesia bersama-sama menjelajahi keindahan dan kekayaan budaya NTT setiap akhir pekan.

Hari Sabtu dan Minggu menjadi waktu yang paling dinantikan. Setelah lima hari bergelut dengan perkuliahan, kami menyegarkan pikiran dengan berbagai kegiatan yang menarik. Kami mendaki Bukit Fatuleu, menjelajahi gua-gua di sekitar Fatusuba, hingga berlayar ke pulau-pulau terdekat, seperti Semau, Rote, dan Alor.

Di Rote Ndao, kami mempelajari proses pembuatan sopi, minuman tradisional yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Di Timor Tengah Selatan (TTS), kami belajar seni menenun kain dengan motif-motif khas daerah. Pengalaman spiritual juga kami dapatkan melalui kunjungan ke Masjid Al-Muttaqin dan Gereja HKBP Kupang, tempat kami belajar tentang indahnya toleransi antarumat beragama di NTT.

Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang
Tampak depan rumah susun mahasiswa UNDANA/Intan Idaman Halawa

Rusunawa, Tempat Berteduh Mahasiswa Pertukaran

Setelah menyetujui ajakan Filan, aku kembali ke rusunawa—rumah susun yang dikhususkan bagi mahasiswa pertukaran—untuk bersiap. Gedung sederhana dua lantai ini telah menjadi rumah bagi lebih dari 300 mahasiswa PMM dari berbagai penjuru Indonesia. Di sinilah aku pertama kali belajar tentang keberagaman Indonesia yang sesungguhnya.

Kamarku dihuni empat orang dari pulau yang berbeda. Aku dari Nias yang merantau di Pamulang, Kak Eris dari Depok dengan tinggi hampir 170 cm, Kak Yuli dari Lampung dengan keahlian memasaknya, dan Kak Uni dari Bandung yang sedang berhalangan datang ke Bukit Cinta. Perbedaan budaya dan kebiasaan yang awalnya sering menimbulkan kesalahpahaman kecil, perlahan berubah menjadi pembelajaran berharga tentang toleransi dan adaptasi.

Rusunawa bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga laboratorium sosial tempat kami belajar mengelola konflik, berkompromi, dan menghargai perbedaan. Setiap lantai memiliki dapur komunal yang menjadi saksi bisu bagaimana mahasiswa Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku bertukar resep dan cerita. Di sinilah persahabatan lintas budaya terjalin, jauh lebih kuat dari sekadar pertemanan di ruang kelas.

Koper-koper sudah mulai dikeluarkan dari bawah tempat tidur. Beberapa teman sudah mulai mengepak barang, meski masih ada yang berpura-pura perpisahan masih jauh. Aku termasuk yang kedua, menunda segala persiapan kepulangan—seolah dengan begitu waktu akan ikut tertunda.

Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang
Aku berpijak di atas batu-batu yang samar di antara rerumputan Bukit Cinta/Intan Idaman Halawa

Renungan di Bukit Cinta

Kami tiba di Bukit Cinta sekitar pukul 16.15 WIB. Jalanan menanjak dan berkelok membuat mobil Maxim kami mendengus seperti kerbau tua. Dari ketinggian, Kota Kupang terhampar dengan keunikannya—perpaduan antara modernitas perkotaan dan kesederhanaan kampung pesisir. 

Bukit Cinta terletak tidak jauh dari kampus. Tempat ini menjadi favorit warga lokal untuk menikmati panorama matahari terbenam di Kupang. Konon, nama ini berasal dari banyaknya pasangan yang datang untuk menikmati pemandangan romantis.

Bukit Cinta, dengan bebatuan dan vegetasi khasnya, adalah cermin sempurna tentang ketangguhan alam NTT. Dari kunjungan-kunjungan ke desa sekitar selama program pertukaran, aku belajar bagaimana masyarakat lokal bertahan di tengah tantangan iklim kering dan lahan berbatu. Mereka mengembangkan sistem pertanian lahan kering yang unik, menanam jagung dan kacang di antara bebatuan dengan cara yang telah diwariskan turun-temurun.

“Bagaimana perasaan kaka empat bulan di Kupang?” tanya Filan saat kami duduk menghadap matahari yang mulai turun. Pertanyaan sederhana ini membuka diskusi panjang tentang pengalaman kami selama program pertukaran.

Jein, mahasiswa lokal UNDANA yang kini menjadi sahabat dekat, bercerita bagaimana awalnya ia merasa ada jarak dengan mahasiswa pertukaran. “Kami pikir kalian dari Jawa pasti memandang rendah Kupang yang kecil dan kering,” akunya jujur. “Tapi cara kalian beradaptasi dan menghargai budaya kami mengubah pandangan itu.”

Pertemanan lintas budaya seperti ini adalah inti dari program PMM. Melalui Filan dan Jein, aku belajar bahwa keramahan orang NTT bukan sekadar basa-basi. Mereka mengajariku tentang “utang budaya”, konsep bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan, bukan dengan materi. Prinsip ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal yang selalu siap membantu meski hidup dalam keterbatasan.

Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang
Tiga mahasiswa PMM mengapit dua mahasiswa UNDANA (baju hitam dan putih di tengah) sedang duduk di atas batu lebar Bukit Cinta/Intan Idaman Halawa

Jejak yang Tertinggal dan Dibawa Pulang

Langit berubah jingga saat matahari perlahan turun, melukis garis-garis merah di ujung langit. “Di Kupang, kita mungkin tidak punya mal mewah atau bioskop besar,” ucap Jein pelan. “Tapi kami punya sunset terbaik di Indonesia.” 

Jein benar. Selama empat bulan di sini, aku menyaksikan bagaimana senja menjadi ritual harian warga Kupang. Dari pedagang kaki lima hingga pejabat, semua menyempatkan diri untuk menikmati keajaiban alam ini.

Senja di Kupang adalah demokratisasi keindahan, tersedia gratis untuk semua orang tanpa memandang status sosial. Ini mengajariku tentang kebahagiaan sederhana yang sering kulupakan di tengah hiruk-piruk Tangerang. Di sini, keindahan alam bukan sekadar latar untuk foto Instagram, melainkan pengalaman spiritual yang dirayakan setiap hari. Obrolan hangat mengalir diiringi jepretan kamera yang berusaha mengabadikan kebersamaan. 

Ketika langit mulai gelap dan pengunjung lain beranjak pulang, kami masih bertahan, enggan mengakhiri momen berharga ini. Empat bulan di Kupang telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam diriku. Bukan hanya tentang pengetahuan akademis, melainkan juga kearifan hidup yang sulit ditemukan di daerah urban. Masyarakat NTT mengajariku tentang ketangguhan dalam menghadapi keterbatasan, kegembiraan dalam kesederhanaan, dan ketulusan dalam persahabatan.

Keceriaan di tengah senja yang kian gelap/Intan Idaman Halawa

Program pertukaran ini membuatku memahami bahwa Indonesia jauh lebih kaya dan beragam dari yang selama ini kubayangkan. Setiap pulau memiliki cerita dan kearifannya sendiri, yang sayangnya sering tidak mendapat tempat dalam narasi pembangunan nasional yang terpusat di Jawa.

Dengan tangan-tangan kami yang kotor setelah bermain di rerumputan bukit, kami memutuskan untuk kembali ke Rusunawa. Cahaya terakhir senja telah lenyap, digantikan oleh lampu-lampu kota yang mulai menyala seperti konstelasi bintang buatan manusia. Dari ketinggian, lampu-lampu permukiman warga terlihat seperti refleksi langit malam, pengingat bahwa keindahan bisa hadir dalam berbagai bentuk.

Saat kami turun dari bukit dalam gelap malam, dengan hanya cahaya ponsel menerangi jalan, aku tahu bahwa Kupang telah memberiku lebih dari sekadar pengalaman akademis. Ia telah memberiku pelajaran hidup yang tak ternilai tentang ketangguhan, keberagaman, dan keindahan Indonesia yang sesungguhnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Refleksi Senja di Bukit Cinta Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/refleksi-senja-di-bukit-cinta-kupang/feed/ 0 46861
Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau https://telusuri.id/kisah-mahasiswa-sonde-jalan-sonde-asyik-di-pulau-semau/ https://telusuri.id/kisah-mahasiswa-sonde-jalan-sonde-asyik-di-pulau-semau/#respond Thu, 12 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44552 Jika ada penghargaan “Orang Paling Paranoid” sebelum melakukan perjalanan, mungkin aku akan memenangkan medali emas. Perahu kayu yang akan membawa kami ke Pulau Semau tampak begitu sederhana. Terlalu sederhana malah. Sampai-sampai aku curiga ini adalah...

The post Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika ada penghargaan “Orang Paling Paranoid” sebelum melakukan perjalanan, mungkin aku akan memenangkan medali emas. Perahu kayu yang akan membawa kami ke Pulau Semau tampak begitu sederhana. Terlalu sederhana malah. Sampai-sampai aku curiga ini adalah properti syuting film tentang nelayan tradisional yang kesasar di pelabuhan. Mesinnya mendengkur seperti kucing tua yang sedang flu. Tidak meyakinkan sama sekali.

“Bagaimana kalau perahu ini mogok di tengah laut? Bengkel mana yang harus disinggahi?” gumamku sambil berdiri kaku di Pelabuhan Bolok, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Pertanyaan itu muncul bersamaan dengan skenario lain yang berkelebat dalam kepala. Bagaimana jika ternyata ada portal dimensi di dasar Selat Semau; yang akan menyedot kami ke dunia paralel di mana manusia hidup di laut dan ikan-ikan hidup di darat?

Oke, mungkin itu agak berlebihan. Tapi, siapa yang tahu? Segitiga Bermuda saja masih misteri, apalagi Selat Semau yang jarang diliput National Geographic!

Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau
Aktivitas di Pelabuhan Bolok/Intan Idaman Halawa

Gejolak saat Menaiki Perahu

Aku adalah peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) Batch 2. Program dari Kemendikbud ini memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar di luar provinsi asal. Perjalananku ke Pulau Semau menjadi simpul tak terduga dalam peta pendidikanku. Awalnya, aku membidik dua perguruan tinggi, yaitu Universitas Udayana Bali dan Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang. Namun, keterbatasan kuota di Udayana mengalihkanku sepenuhnya ke UNDANA—yang kemudian membuka pintu menuju petualangan yang menakjubkan.

Sebagai pendatang yang baru pertama kali menyeberang dengan perahu, otakku bekerja lebih keras dari mesin perahu. Aku membayangkan segala kemungkinan terburuk. Bahkan sempat terpikir untuk mengikat diriku ke tiang perahu dengan tali ransel—ide yang langsung kutepis karena sadar hal itu hanya ada di film-film.

Di tengah guncangan perahu yang membuatku hampir menjatuhkan ponsel ke laut, mataku menangkap pemandangan yang membuat ketakutanku sejenak terlupakan. Air di bawah sana begitu jernih, seperti kaca yang bergerak. Ikan-ikan berwarna-warni berenang dalam kelompok kecil, sesekali berpencar lalu berkumpul lagi, seolah sedang bermain kejar-kejaran.

Rintik hujan mulai turun, lembut dan dingin. Setiap tetes menciptakan lingkaran kecil di permukaan air, seperti ribuan koin perak yang dijatuhkan secara bersamaan. Kuulurkan tangan, membiarkan air laut menyentuh ujung jari. Sensasi dingin air laut membuatku tersadar; ini nyata, bukan simulasi. Sebuah perahu kayu sederhana benar-benar bisa mengapung dan membawa kami melintasi selat. Fisika Newton, kau sungguh ajaib!

Setelah tiga puluh menit yang terasa seperti perjalanan menembus dimensi lain, perahu kami akhirnya merapat ke dermaga kayu Pulau Semau. Pak Sopir, pemilik pikap hitam yang sudah menunggu di pelabuhan, melambai ke arah kami. Mobilnya tampak seperti veteran perang yang masih gagah. Cat hitamnya sudah termakan usia di beberapa bagian, tetapi mesinnya menderu penuh semangat.

Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau
Menikmati perjalanan di atas perahu/Intan Idaman Halawa

Menjelajahi Pantai Otan

Di bak belakang pikap, dua bangku kayu panjang dipasang berhadapan. Aku memilih duduk menghadap depan, bukan karena lebih berani, melainkan setidaknya bisa melihat bahaya yang akan datang. Jemariku mencengkeram tepian bak mobil yang terasa panas karena sinar matahari.

“Siap semua?” tanya Pak Sopir dari kursi kemudi, matanya berkilat jahil dari kaca spion.

Belum sempat kami menjawab, pikap sudah melaju. Deru mesin bercampur dengan suara “krek-krek” dari bangku kayu, yang bergesekan dengan bak mobil setiap kali roda menghantam bebatuan. Ada retakan kecil di kaca belakang, hasil dari entah berapa ribu perjalanan sebelum kami.

Pikap melaju menuju pantai Otan, sesekali terguncang diiringi teriakan saat melewati bebatuan. “Mamaaa! Bapaaak!” jerit kami diiringi ketakutan.

Pikap terus melaju, mengambil belokan tajam yang membuat kami semua bergeser ke satu sisi. “Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan,” Becca komat-kamit sambil memeluk ranselnya seperti pelampung darurat. Seruan itu berulang setiap kali mobil menuruni jalan berkelok.

Setelah lima belas menit yang terasa seperti lima belas tahun, pikap akhirnya berhenti di tanah lapang dekat Pantai Otan. Kami turun dengan kaki gemetar, beberapa masih mengucap syukur berkali-kali.

Di hadapanku terbentang hamparan pasir putih yang bertemu dengan air laut jernih berwarna hijau toska. Angin pantai bertiup kencang, membawa aroma asin yang membuatku merasa seperti keripik kentang berjalan. Kulihat Yazid sudah melepas sandalnya, berlari ke arah pantai sambil berteriak, “Pantai, i’m coming!”

Sementara teman-temanku berenang dan bermain air layaknya putri duyung yang baru menemukan kolam renang, aku memilih untuk menjadi arsitek pasir. Kubangun istana-istana megah, yang pada akhirnya diinjak oleh teman-temanku yang berlarian di tepi pantai.

Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau
Seorang teman berperan sebagai putri duyung di Pantai Otan/Intan Idaman Halawa

Menerjang Hujan menuju Perteduhan

Namun, alam punya selera humor tersendiri. Langit yang tadinya secerah presenter ramalan cuaca mendadak berubah jadi backdrop film horor. Hujan deras dan petir mengguyur pantai, menghancurkan kompleks istana pasirku dalam sekejap. Kami berdesakan di bawah pondok kecil yang jelas tak cukup untuk menampung semua orang. Sebagian pasrah bermain hujan. Slogan kelompok kami, “Sonde jalan sonde asyik” ternyata benar-benar terwujud hari ini. Tak ada momen yang terlewatkan, tak ada cerita yang terlupakan.

Teman-temanku yang masih basah seusai berenang menggigil kedinginan, bibir mereka membiru seperti habis makan permen blueberry beku. Sementara aku berusaha menghubungi Pak Thom, dosen pembimbing kami yang lebih dulu pergi ke rumah kenalannya. Telepon genggamku mulai bertingkah seperti remaja labil. Kadang ada sinyal, kadang tidak, kadang hanya bergetar tanpa alasan jelas, seolah sedang merajuk di saat yang paling tidak tepat.

Tapi seperti kata orang tua, segala sesuatu ada waktunya. Akhirnya Pak Thom mengangkat teleponku. Kujelaskan situasi kami yang sudah mirip es lilin dalam freezer. Beliau langsung sigap menghubungi sopir pikap yang tadi untuk menjemput kami ke rumah kenalannya, tidak jauh dari Pantai Otan.

Perjalanan menuju tempat berteduh ternyata menyimpan kejutan tak terduga. Dua puluh mahasiswa Asekae Nusantara—nama kelompok kami dengan slogan tadi yang terdengar seperti moto komunitas pendaki yang hobi karaoke—berdesakan di bak pikap hitam. Kami persis sarden kalengan versi manusia, lengkap dengan “kuah” air hujan yang tak henti mengguyur.

Kak Oswald, liaison officer kami yang baik hati, memutuskan untuk mengikuti dengan sepeda motor dari belakang. Mungkin sebagai bentuk solidaritas untuk mengurangi beban pikap yang sudah mengeluh lewat suara mesinnya. Atau, mungkin juga karena tak tega melihat kami yang sudah seperti bubur dalam blender. Hujan yang masih setia menemani membuat jalanan becek dan—oh, astaga—dipenuhi kotoran kerbau yang mencair bagai cokelat leleh yang salah resep.

Ban pikap kami melindas genangan demi genangan, mencipratkan “air” ke segala arah. Tawa kami meledak ketika mendengar seruan kaget Kak Oswald yang wajahnya tak sengaja terkena cipratan kotoran kerbau dari ban mobil kami. 

“Astaga!” teriaknya dalam logat Flores yang kental, seperti aktor sinetron yang baru tahu naskahnya diubah mendadak. Bahkan dalam kondisi menggigil kedinginan, kami tak bisa menahan tawa. Dalam situasi ini tidak ada yang kepikiran untuk mengabadikan momen tersebut dalam lensa kamera. 

Setibanya di tempat perteduhan itu, sepasang suami istri yang menjadi tuan rumah menyambut kami dengan hangat. Pak Thom dan pemilik rumah sudah membeli ikan basah sebelumnya untuk kami bakar. Aroma ikan bakar dan mangga Semau legendaris yang manis membuat perutku bernyanyi lebih keras daripada suara hujan di luar.

Halaman belakang rumah mereka yang luas dihiasi dengan deretan kayu bakar yang tidak tersusun rapi dan dihiasi rumput-rumput liar. Di antara tumpukan kayu itu, beberapa ekor ayam berjalan dengan gaya yang mengingatkanku pada fashion show— lengkap dengan kepala yang mengangguk-angguk seolah sedang menilai penampilan satu sama lain.

Sore harinya, setelah hujan mereda dan perut kami kenyang, kami menuju Kolam Penyu Uisimi. Uisimu merupakan sebuah kolam alami berisi air payau yang bening, tempat penyu-penyu berenang dengan bebas. Meski ukurannya tidak begitu besar, kolam ini dihiasi dengan pepohonan rimbun dan bebatuan karang di sekelilingnya.

“Hati-hati licin,” Kak Oswald mengingatkan. Wajahnya sudah bersih dari insiden “air cokelat” sebelumnya.

Aku memilih bermain ayunan yang tergantung di pohon tua di pinggir kolam. Dari sini, aku bisa mengamati teman-temanku yang berusaha berenang bersama penyu. Tiba-tiba, sesuatu menyentuh kakiku yang terendam air. Seekor ikan kecil, dengan tampang sepolos tukang parkir yang tidak sengaja menggores mobil, sepertinya menganggap jari kakiku adalah makanan.

“Maaf kaki saya bukan menu hari ini,” bisikku gemas melihat ikan itu.

Kembali ke Kupang

Menjelang senja, kami terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada kolam penyu dan kembali ke pelabuhan. Dari jauh lampu-lampu Kupang mulai berkedip di kejauhan, seperti sekumpulan kunang-kunang yang sedang mengadakan festival musik elektronik. 

Di atas perahu motor, suara mesin berdentum seperti drumben dadakan, berpadu dengan nyanyian serak kami. Lagu Project Pop Ingatlah Hari Ini mengiringi perjalanan pulang. Percikan air laut dan embusan angin malam seolah ikut bernyanyi bersama kami. Butiran-butiran air asin mendarat di wajah, menciptakan sensasi dingin yang menyegarkan.

Kami bernyanyi lebih keras, mencoba mengalahkan deru ombak dan angin. Lagu demi lagu mengalir, dari Laskar Pelangi sampai Sepatu, dari Bento sampai Yogyakarta. Setiap lagu membawa kenangan tersendiri, setiap nada mengukir momentum yang tak terlupakan.

Ketika perahu akhirnya merapat ke dermaga, kami masih bisa merasakan getaran lagu terakhir di dada. Lampu-lampu Pelabuhan Bolok menyambut hangat, menandai akhir dari sebuah hari yang penuh cerita.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah Mahasiswa “Sonde Jalan Sonde Asyik” di Pulau Semau appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-mahasiswa-sonde-jalan-sonde-asyik-di-pulau-semau/feed/ 0 44552