perubahan iklim Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/perubahan-iklim/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 28 May 2025 12:22:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 perubahan iklim Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/perubahan-iklim/ 32 32 135956295 Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara https://telusuri.id/saat-teh-tak-lagi-jadi-raja-di-sukanagara/ https://telusuri.id/saat-teh-tak-lagi-jadi-raja-di-sukanagara/#respond Wed, 28 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47254 Senin siang (31/3/2025), setelah enam jam lebih sedikit mengayuh sepeda dari Kota Bandung melalui jalur-jalur menanjak dan berkelok, mulai dari kawasan Pasirhayam, Cibeber, dan Campaka, saya akhirnya tiba di Sukanagara. Sukanagara adalah kecamatan seluas 165,45...

The post Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara appeared first on TelusuRI.

]]>
Senin siang (31/3/2025), setelah enam jam lebih sedikit mengayuh sepeda dari Kota Bandung melalui jalur-jalur menanjak dan berkelok, mulai dari kawasan Pasirhayam, Cibeber, dan Campaka, saya akhirnya tiba di Sukanagara. Sukanagara adalah kecamatan seluas 165,45 km2 di Cianjur Selatan, Jawa Barat. 

Udara terasa sejuk, khas udara kawasan pegunungan. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda dari beberapa kunjungan saya ke Sukanagara sebelumnya. Di persimpangan Jalan Raya Sukanagara-Pagelaran-Kadupandak, Tugu Teh memang masih berdiri. Tugu tersebut merupakan sebuah monumen kecil yang dulu digadang-gadang menjadi simbol kebanggaan, bahwa Sukanagara adalah salah satu sentra teh terbaik di Kabupaten Cianjur. Tapi kini, warna tugu itu kian kusam, catnya mulai mengelupas, dan rumput-rumput liar tumbuh di sekelilingnya, seolah turut menyuarakan kegamangan zaman.

Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
Tugu Teh di Sukanagara/Djoko Subinarto

Dari Teh ke Durian

Ditilik dari sejarah pendiriannya, Tugu Teh di Sukanagara bukan sekadar penanda lokasi semata. Ia dulunya semacam deklarasi identita: Sukanagara adalah kawasan teh. Sebuah kawasan yang menghasilkan ribuan ton teh setiap tahunnya, diekspor ke berbagai negara, dan menjadi bagian penting dari perjalanan agrikultur kolonial hingga pascareformasi. Tugu itu berdiri sebagai saksi atas masa-masa ketika teh bukan sekadar komoditas, melainkan juga simbol kejayaan ekonomi pedesaan, kebanggaan masyarakat lokal, dan bahkan menjadi bagian dari narasi nasionalisme agraria pascakemerdekaan.

Bertahun-tahun lamanya, Sukanagara lekat dengan teh. Namun, imaji itu serta-merta hilang tatkala saya mendengar penuturan Asep Doneng, pemilik penginapan tempat saya biasa bermalam setiap kali berkunjung ke Sukanagara. Asep mengatakan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, Pasirnangka—kawasan perkebunan teh terluas di Sukanagara—sudah tak sepenuhnya ditanami teh. “Sebagian sudah ditanami durian,” ungkapnya.

Saya setengah tidak percaya dengan pernyataan Asep. Sejenak, saya membayangkan sebuah kawasan dengan hamparan teh yang hijau bergelombang, yang mirip lukisan lanskap dalam buku-buku pelajaran geografi, tiba-tiba telah disulap menjadi kebun durian.

Lantaran penasaran dan ingin membuktikan perkataan Asep, saya pun segera menuju Pasirnangka. Dan benar saja. Di sejumlah lahan, saya melihat sendiri bagaimana pohon-pohon durian berdiri kukuh di antara tanaman teh. Di beberapa titik, pohon durian bahkan telah sepenuhnya mendominasi, sementara pohon teh sudah tak terlihat lagi.

Lebih menyedihkan lagi, terdapat lahan-lahan yang dibiarkan kosong, ditumbuhi belukar dan ilalang, dengan batang-batang teh yang mati perlahan. Lahan-lahan itu seperti memancarkan kemurungan tentang pergeseran zaman.

  • Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
  • Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara

Tekanan Ekonomi hingga Faktor Iklim

Tentu saja, kenyataan ini pasti tidak datang tiba-tiba. Bisa jadi karena akumulasi dari dinamika panjang, baik yang terkait dengan aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial. Mungkin ini yang disebut sebagai agrarian transition, yakni perubahan struktur ekonomi pedesaan akibat tekanan eksternal, seperti pasar global, perubahan kepemilikan lahan, hingga krisis iklim.

Sebagai ilustrasi, tekanan ekonomi terhadap teh sesungguhnya sudah terasa sejak beberapa tahun terakhir. Meskipun konsumsi teh global meningkat, data dari International Tea Committee menunjukkan bahwa harga teh, terutama teh hitam yang dominan dihasilkan di Indonesia, cenderung stagnan. Sementara itu, ongkos produksi terus naik. Dalam logika ekonomi, hal ini berarti margin keuntungan semakin tipis, adapun risiko kerugian semakin besar.

Di sisi lain, durian justru sedang menikmati masa keemasannya. Laporan Kementerian Pertanian tahun 2023 menyebut ekspor durian Indonesia meningkat signifikan, terutama ke Tiongkok dan negara-negara ASEAN. Komoditas ini dianggap lebih menjanjikan secara finansial. Harga durian varietas unggul seperti musang king atau lokal unggulan seperti durian Pelipisan bisa mencapai ratusan ribu rupiah per buah. 

Namun, bisa pula agrarian transition ini dipicu pula oleh faktor ekologis. Faktanya, curah hujan semakin tidak menentu dan suhu semakin meningkat. Dampaknya, tanaman teh kian rentan terhadap penyakit dan penurunan produktivitas.

Sebuah studi dalam Journal of Agricultural Meteorology, seperti dikutip Yan et al (2021), mencatat bahwa peningkatan suhu global sebesar 1°C dapat menurunkan produktivitas teh hingga 20% di wilayah tropis. Pohon teh, yang dulu tahan banting, kini makin rapuh terhadap iklim yang berubah cepat.

Tak hanya itu, ada juga aspek kelembagaan yang mungkin turut berperan. Perkebunan teh dulunya dikelola secara terpusat oleh perusahaan BUMN atau swasta berskala besar. Namun, pascareformasi dan restrukturisasi BUMN, banyak lahan dikembalikan kepada petani penggarap. Dalam pengelolaan individu yang tidak terintegrasi, teh menjadi komoditas yang sulit dirawat. Panen yang padat tenaga kerja, harga jual yang fluktuatif, dan kurangnya insentif dari pemerintah membuat tanaman teh semakin tidak menarik.

Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara
Bekas lahan perkebunan teh yang kini ditanami durian/Djoko Subinarto

Dinamika Agrikultur

Sukanagara agaknya sedang berubah. Dan perubahan ini adalah bagian dari dinamika agrikultur Indonesia secara luas. Di banyak tempat, petani tengah berhadapan dengan dilema; bertahan pada komoditas lama yang mapan secara historis tapi makin tidak menguntungkan, atau beralih ke komoditas baru yang lebih menjanjikan tapi penuh ketidakpastian.

Mungkin, inilah waktunya bagi Sukanagara untuk berdamai dengan keadaan yang terus berubah. Tidak harus memilih antara teh dan durian, tapi justru mencari titik temu di antara keduanya. Memadukan yang lama dan yang baru, demi tetap menjaga warisan sekaligus merangkul masa depan.

Teh mungkin tak akan lagi menjadi “raja” di Sukanagara. Akan tetapi, saya yakin, Sukanagara tetap sebagai tanah yang subur, tempat di mana kisah-kisah baru dan harapan-harapan baru selalu bisa ditanam dan ditumbuhkan.


Referensi:

Badan Pangan Nasional. (2025, 20 Maret). Dorong Ekspor Durian ke Tiongkok, Badan Pangan Nasional Kawal Pemenuhan Standar Keamanan dan Mutu Pangan. Siaran Pers, https://badanpangan.go.id/blog/post/dorong-ekspor-durian-ke-tiongkok-badan-pangan-nasional-kawal-pemenuhan-standar-keamanan-dan-mutu-pangan. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Pramono, B.T. (2021). Current Status of Indonesian Tea Industry. World Green Tea Association (O-CHANET), https://www.o-cha.net/english/association/information/documents/20211019-CurrentstatusofIndonesianteaindustry.pdf. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Samudera, J., Daryanto, A., dan Saptono, I.T. (2017). Competitiveness of Indonesian Tea in International Market. Indonesian Journal of Business and Entrepreneurship 3(1):14-23. DOI: 10.17358/ijbe.3.1.14.
Xinhua. (2024, 27 Juni). Indonesia Bidik Ekspor Durian Senilai 8 Miliar Dolar AS ke China. ANTARANews, https://www.antaranews.com/berita/4170828/indonesia-bidik-ekspor-durian-senilai-8-miliar-dolar-as-ke-china. Diakses pada Minggu, 13 April 2025.
Yan, Y., Jeong S., Park, C.E., Mueller, N.D., Piao, S., Park, H., Joo, J., Chen, X., Wang, X., Liu, J., & Zheng, C. (2021). Effects of Extreme Temperature on China’s Tea Production. Environmental Research Letters, 16 (2021) 044040. DOI: 10.1088/1748-9326/abede6.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Saat Teh Tak Lagi Jadi Raja di Sukanagara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/saat-teh-tak-lagi-jadi-raja-di-sukanagara/feed/ 0 47254
Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan https://telusuri.id/menatap-masa-depan-nelayan-di-seberang-balikpapan/ https://telusuri.id/menatap-masa-depan-nelayan-di-seberang-balikpapan/#respond Tue, 12 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43024 Di tengah hilir mudik tongkang dan kapal-kapal besar yang menggoyang ombak Teluk Balikpapan, komunitas nelayan pesisir Penajam Paser Utara menitipkan harapan. Perubahan iklim menjelma sebagai tembok tebal lainnya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan...

The post Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan appeared first on TelusuRI.

]]>
Di tengah hilir mudik tongkang dan kapal-kapal besar yang menggoyang ombak Teluk Balikpapan, komunitas nelayan pesisir Penajam Paser Utara menitipkan harapan. Perubahan iklim menjelma sebagai tembok tebal lainnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mardhatillah Ramadhan


Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Jumlah penyeberangan kapal feri kalah telak dibandingkan kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara yang melintasi Teluk Balikpapan/Deta Widyananda

Setiap hari, Teluk Balikpapan selalu sibuk. Silih berganti kapal-kapal besar melintas tiada henti. Selain arus kapal penumpang antarpulau, lalu lintas perairan tersebut menjadi jantung utama kapal-kapal industri.

Perusahaan-perusahaan konstruksi, kargo, kelapa sawit, pertambangan batu bara, hingga PLTU menjejal nyaris sepanjang pesisir Balikpapan maupun Penajam Paser Utara (PPU). Menjadi pemandangan lumrah jika melihat kapal tongkang lalu lalang mengangkut gunungan batu bara ke Pulau Jawa dan sebaliknya. Apalagi adanya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang memanfaatkan Teluk Balikpapan sebagai gerbang utama untuk memasok logistik proyek.

Di sisi lain, teluk seluas 160 km2 dengan daerah aliran sungai sekitar 211.456 hektare1 juga menjadi ruang hidup bagi masyarakat pesisir dan keanekaragaman hayati di sekitarnya. Kelurahan Jenebora, berjarak sekitar 30 menit dengan speed boat dari tepi Kota Balikpapan, rumah-rumah tapak dan panggung dengan dermaga-dermaga kecil menyemut di tepian laut. Menyisakan tegakan hutan mangrove yang mengapit permukiman.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Permukiman padat di Kelurahan Jenebora, kampung nelayan PPU terdekat yang bisa dicapai dari Kota Balikpapan/Deta Widyananda

Perkampungan lawas ini terbentuk sejak berabad-abad silam. Dihuni oleh mayoritas suku Bajau (Bajo) dan Bugis, dua etnis dari Sulawesi yang terkenal andal dalam melaut. Dari 3.533 jiwa, sekitar 602 orang atau 17 persennya berprofesi sebagai nelayan2. Populasi ini lebih jauh lebih tinggi daripada di Tanjung Jumlai dan Api-Api. 

Rajungan (Portunus pelagicus), atau istilah globalnya blue swimming crab, merupakan komoditas andalan masyarakat pesisir PPU. Selain itu juga terdapat lobster, gurita, kepiting, dan beberapa jenis ikan lainnya. Sayangnya, tren penurunan jumlah tangkapan terus mengintai para nelayan. Tuntutan kebutuhan sehari-hari terus merengek, sementara marabahaya dari segala penjuru selalu menghantui.

Nelayan memang pekerjaan yang berisiko tinggi. Tiada sekat yang membatasi tubuh nelayan dengan empasan ombak, selain dinding perahunya sendiri. Nelayan juga tidak bisa memastikan jumlah tangkapan yang stabil setiap harinya. Saking sulitnya pekerjaan ini, sampai-sampai sebagian besar nelayan melarang anak-anak mereka mengikuti jejaknya. Tidak heran jumlahnya terus menurun.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Rajungan, komoditas unggulan nelayan di pesisir PPU/Deta Widyananda

“Jangan sampai [jadi nelayan]. Semua anak-anak, mereka tidak ada yang ke laut. Fokus sekolah saja,” ujar Said, nelayan Tanjung Jumlai, Kelurahan Pejala, sekitar 55 km ke arah selatan dari Jenebora. Desa ini berhadapan langsung dengan laut lepas Selat Makassar. 

Kekhawatiran para orang tua cukup beralasan. Sebagian generasi muda di pesisir PPU lebih menengok “masa depan” di gemerlap Balikpapan. Menjadi karyawan di perusahaan tampak jauh menjanjikan daripada nelayan. Jadwal kerja tetap, gaji pasti. Situasi seperti ini sama persis dialami oleh petani-petani kecil di Jawa, yang lebih mendorong anak-anaknya bekerja kantoran. Terlebih jejaring investasi yang tiada kenal henti terus merasuk sendi-sendi ekonomi Balikpapan dan sekitarnya.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Anak-anak Jenebora meluangkan waktu dengan memancing di salah satu dermaga kampung. Hilir mudik tongkang batu bara di Teluk Balikpapan menjadi latar kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pesisir PPU/Deta Widyananda

Tidak hanya dijepit industri, tetapi juga gejolak iklim

Aktivitas antropogenik3 yang sangat tinggi memang tampak memberi pengaruh pada penyempitan ruang hidup nelayan. Limbah industri ekstraktif tidak hanya mencemari laut permukaan, tetapi juga mengganggu biota laut di dalamnya. Belum lagi metode penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan berlebihan (overfishing), seperti bom ikan, penggunaan pukat hela atau dogol oleh sejumlah oknum nelayan. Pukat yang terpasang tidak hanya menjaring ikan yang ditargetkan, tetapi juga menggaruk biota-biota laut tak bersalah, di antaranya terumbu karang dan ikan-ikan karang kecil di sekitarnya. Jaring-jaring nelayan kecil pun ikut rusak.

Praktik-praktik merusak seperti itu berdampak instan pada ekosistem perairan. Padang lamun berkurang, dugong pun menghilang. Laut dan daerah aliran sungai tercemar, pesut dan ikan-ikan endemik menjauh. Konflik horizontal bisa memanas, ketika nelayan-nelayan yang “lurus” dirugikan oleh kelompok nelayan yang melaut secara serampangan.

Di Jenebora, lingkungan yang tidak sehat menyebabkan penyempitan area dan jumlah tangkapan, yang berimbas pada penurunan pendapatan. Kondisi memprihatinkan juga dialami para nelayan di Tanjung Jumlai dan Api-Api. Posisi kampung yang berhadapan dengan laut lepas Selat Makassar rentan terhadap abrasi dan banjir karena naiknya permukaan air laut. Minimnya benteng alami seperti mangrove meningkatkan risiko itu.

Mindworks Lab dan Datakota mencatat angka kerentanan yang mengkhawatirkan terhadap kelangsungan komunitas pesisir PPU. Rata-rata mengalami dampak nyata akibat perubahan iklim. Diprediksi, kenaikan permukaan laut dan abrasi akan mengancam masa depan lebih dari 6.000 jiwa, 100 km infrastruktur jalan, dan lebih dari separuh dermaga atau pelabuhan di pesisir PPU pada 2050.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Tampak dua nelayan di Desa Api-Api, Kecamatan Waru, pergi melaut saat sore hari. Ganasnya ombak kala musim angin selatan harus diwaspadai ketika nelayan tetap mencari ikan, meski penghasilan tidak menentu/Deta Widyananda

Berdasarkan penuturan nelayan setempat, Mei–September merupakan musim selatan yang ditandai dengan angin kencang dan gelombang besar. Perahu kecil nelayan seringkali tidak sanggup menghadapi cuaca buruk. Perubahan cuaca tidak menentu juga berdampak pada ketidakpastian frekuensi melaut dan penghasilan tidak menentu.

Musim angin selatan, yang secara teori biasa berlangsung bulan Mei–September, belakangan kian sulit diprediksi. Angin kencang bisa hilang dan timbul tiba-tiba. Meski masih cukup optimis dengan ketersediaan ikan yang bisa ditangkap, Salman, nelayan Desa Api-Api, gelisah dengan jarak melaut yang makin jauh. Perahu kecil bervolume kurang dari 5 Gross Tonnage (GT) dengan mesin tempel kapasitas 5 sampai 15 PK—mayoritas nelayan menggunakan ini—pun tampak timpang dengan kondisi alam yang ganas.

“Kekhawatiran saya untuk anak cucu kami ke depannya itu, ya, cuma makin jauh kita melaut,” terang Salman. Saat ini Salman dan nelayan lainnya harus menempuh jarak satu jam perjalanan untuk tiba di lokasi tangkapan. Setara dengan 3–5 mil atau sekitar 5–8 kilometer. “Nanti kalau anak cucu kami itu mungkin dua jam baru sampai di tempat penangkapan.”

Menurut keterangan Salman, dahulu nelayan mudah mendapat 50 kg tangkapan ikan hanya di perairan dekat pantai. Bahkan Sahibe, nelayan Tanjung Jumlai, pernah memperoleh hasil tangkapan satu kuintal ikan per hari. Nominal yang tampaknya sulit diulang akhir-akhir ini. Dapat seperlimanya saja sudah bisa dibilang sangat beruntung.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Sahibe membawa seember penuh kerang laut yang didapat di pantai saat laut surut/Deta Widyananda

Jalan tengah: adaptasi dan sinergi

Mega bergelayut di langit Teluk Balikpapan. Membuat pagi seakan belum benar-benar lepas dari buta. Namun, nuansa sendu tidak berlaku sama di ujung kampung Jenebora. 

Syamsuddin sudah sibuk di atas perahunya. Ia melepas tali tambat, menggiring bahtera kecil itu menjauhi dermaga. Sesaat setelah menyalakan mesin, ia melesat menuju perairan yang tak jauh dari kampung. Meski langit dan lautan sedang kelabu, dengan balutan pakaian dan topi bernuansa biru, ia mencoba menjemput harapan.

Di satu titik, sekitar 1–2 mil (setara 1,5–3 km), pria yang sehari-hari sering menggunakan peci tersebut ingin mengecek hasil alat tangkap yang dipasang sejak sore sebelumnya. Rakang atau bubu rajungan sederhana itu diangkat olehnya. Tidak banyak, tetapi ia tetap tersenyum dan mensyukuri hasilnya.

Terkadang Syamsuddin memiliki cara tersendiri agar ketersediaan rajungan berkelanjutan. Setiap ia memasang rengge, sejenis alat untuk cari umpan (biasanya udang), dan mendapat rajungan yang sedang bertelur, maka telur-telur tersebut langsung ia sebar secara acak di perairan sekitarnya. Atau ia bawa pulang dan menebarkannya di sekitar kampung.

“Setahun kemudian, begitu saya pasang rengge [lagi] di situ, [diharapkan] banyak rajungannya. Karena kalau tidak begitu, tidak akan berkelanjutan,” jelasnya.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
(Kiri) Syamsuddin menunjukkan hasil tangkapan dari alat yang dipasang semalaman. Ia telah mempraktikkan proses adaptasi untuk menjaga spesies rajungan di laut. (Kanan) Nelayan Api-Api melakukan perbaikan dan penguatan lambung perahu agar bisa diajak berlayar lebih jauh/Mardhatillah Ramadhan dan Deta Widyananda

Langkah yang dilakukan Syamsuddin merupakan contoh bentuk adaptasi. Sembari menanti kondisi ekosistem perikanan mencapai titik ideal, ia lebih memilih untuk menjaga kelestarian rajungan dengan caranya sendiri. Begitu pun Salman. Bersama sejumlah nelayan di Api-Api, ia memodifikasi perahu agar lebih kuat saat menempuh rute melaut yang lebih jauh. Sedikit berbeda dari dua desa itu, sejumlah nelayan di Tanjung Jumlai memiliki alternatif sumber ekonomi lain, seperti menggarap sawah atau berkebun.

Meski kemampuan adaptasi masih terbilang rendah4, harapan itu masih ada. Darah pelaut masih melekat erat di nadi masyarakat keturunan Bajo dan Bugis di pesisir Penajam Paser Utara. Keadaan yang rentan di Jenebora, Tanjung Jumlai, dan Api-Api merupakan peluang strategis untuk melakukan intervensi.

Seperti yang dilakukan Aruna, perusahaan rintisan yang menghubungkan nelayan lokal ke segmen pasar lebih luas dengan teknologi. Melalui program Fisheries Improvement Project (FIP), Aruna berupaya secara bertahap melibatkan banyak pemangku kepentingan untuk meningkatkan praktik dan pengelolaan perikanan ramah lingkungan, sehingga spesies, habitat, dan manusia dapat berkembang biak dengan baik. Salah satu caranya adalah penggunaan perangkap berumpan lipat (bubus) dan jaring insang oleh kapal penangkap ikan terdaftar—di bawah 5 GT—dengan spesies target rajungan. Keberadaan Aruna Hub di Balikpapan bisa memperkukuh sistem perikanan ideal yang diimpikan.

Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan
Perahu-perahu nelayan Api-Api tertambat di pantai. Masa depan komunitas pesisir tetap ada di laut. Butuh dukungan lintas sektor untuk menjamin hidup dan identitas mereka/Deta Widyananda

Proyek yang memadukan ilmu, manajemen perikanan, dan teknologi tersebut berbasis pada standar perikanan internasional yang ditetapkan Marine Stewardship Council (MSC). Lembaga nonprofit internasional yang berbasis di London ini memiliki visi global agar ekosistem perikanan dan ketersediaan makanan dari laut tetap terjaga untuk generasi saat ini dan masa depan.

Jenebora dan Tanjung Jumlai termasuk dua desa di PPU yang menjadi proyek percontohan FIP oleh Aruna. Program ini merupakan kolaborasi lintas sektor, melibatkan Aruna, nelayan, pemerintah, peneliti, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi. Mindworks, dalam hal ini juga memberi kacamata langit lewat data-data potensi kerentanan akibat perubahan iklim yang mendorong mitigasi dan adaptasi. Nelayan akan diberikan pendampingan dan berbagai pelatihan untuk berkomitmen melakukan praktik penangkapan tradisional dan berkelanjutan.

Syamsuddin menunjukkan hasil rajungan dan ikan-ikan besar yang akan menopang taraf hidup nelayan PPU, selama tetap mempertahankan proses penangkapan yang ramah lingkungan/Deta Widyananda

Sinergi multipihak seperti inilah yang harus dilakukan demi menjamin masa depan nelayan. Tidak sekadar berhenti sebagai proyek semata, tetapi juga semestinya terakomodasi dalam kebijakan maupun payung hukum pemerintah yang melindungi komunitas nelayan. Sistem ideal yang diimpikan, agar nelayan melesat sebagai profesi yang memiliki prospek cerah.

Terlebih etnis Bugis dan Bajo di PPU—dan sejumlah daerah pesisir lainnya di Indonesia—yang secara historis hidup dan mati bersandar pada lautan. Angin segara dan gelombang ombak mengalir lebih dekat dari urat nadi. Merawat ruang hidup mereka, berarti merawat identitas dan kebudayaan lokal Nusantara sebagai bangsa maritim. (*)


  1. Data oleh Mapaselle Selle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, dalam Webinar Series #5 IKN berjudul “Teluk Balikpapan dalam Lanskap Pembangunan IKN Nusantara” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Politik (PRP) BRIN pada 7 Oktober 2022. ↩︎
  2. Dielaborasi dari temuan Mindworks Lab dan Datakota serta data Kecamatan Penajam dalam Angka 2023 oleh BPS Kabupaten Penajam Paser Utara. ↩︎
  3. Pencemaran logam berat akibat kegiatan pertambangan, transportasi, dan industri (Sholehhudin et al, 2021). ↩︎
  4. Dilansir dari hasil riset vulnerability mapping oleh Mindworks Lab dan Datakota (2024), Penajam Paser Utara (PPU) merupakan wilayah yang memiliki tingkat bahaya tertinggi akibat pengaruh antropogenik dan perubahan iklim, tetapi kapasitas adaptasinya rendah. ↩︎

Referensi

Sholehhudin, M., Azizah, R., Sumantri, A., Sham, S.M., Zakaria, Z..A., & Latif, M.T. (2021). Analysis of Heavy Metals (Cadmium, Chromium, Lead, Manganese, and Zinc) in Well Water in East Java Province, Indonesia. Malaysian Journal of Medicine and Health Sciences. Vol. 17(2): 146–153, April 2021, eISSN 2636-9346. https://medic.upm.edu.my/upload/dokumen/2021040613114320_MJMHS_0789.pdf.


Foto sampul:
Seorang nelayan Jenebora mendorong perahunya menjauh dari dermaga dengan tongkat bambu sebelum menghidupkan mesin untuk melaut. Tampak di latar belakang aktivitas industri yang sibuk di pinggiran Kota Balikpapan/Deta Widyananda


Artikel ini adalah publikasi program ekspedisi Mindworks Lab dan Aruna bersama TelusuRI di tiga desa, yaitu Jenebora, Tanjung Jumlai, dan Api-Api, Kabupaten Penajam Paser Utara pada Juni 2024, dengan tema “Indonesian Coastal Communities Climate Vulnerabilities Documentation & Narrative Creation”.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menatap Masa Depan Nelayan di Seberang Balikpapan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menatap-masa-depan-nelayan-di-seberang-balikpapan/feed/ 0 43024
Bagaimana Kabarmu, Bumi? https://telusuri.id/bagaimana-kabarmu-bumi/ https://telusuri.id/bagaimana-kabarmu-bumi/#respond Wed, 24 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41748 Jika ada satu hal yang sangat jelas terasa dan menandakan bumi semakin renta, itu adalah temperatur udara yang terasa kian panas dari hari ke hari. Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja di daerah sekitar tempat tinggal...

The post Bagaimana Kabarmu, Bumi? appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika ada satu hal yang sangat jelas terasa dan menandakan bumi semakin renta, itu adalah temperatur udara yang terasa kian panas dari hari ke hari. Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja di daerah sekitar tempat tinggal kita. Cuaca dahulu sewaktu kita kecil berbeda dengan masa kini. 

Saya pernah mengalami tinggal cukup lama di Kota Malang untuk kuliah. Kata dosen saya, dulu di era 1980 hingga 1990-an mahasiswa dan pengajar memakai jaket atau sweater untuk menghalau dingin. Padahal kelas berlangsung siang hari. Sekarang saat malam pun sudah tidak terlalu dingin. Apalagi di kota-kota yang memang sudah panas dan makin panas tiap tahunnya, seperti Surabaya, Semarang, Medan, Riau, Balikpapan, Makassar, Kupang, dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Belakangan kita tahu itu adalah dampak dari perubahan iklim. Bumi tidak hanya memanas, tetapi juga mendidih. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui siaran pers “Rapat Nasional Prediksi Musim Kemarau 2024” (10/02/2024), menerangkan jika Badan Meteorologi Dunia (WMO) mencatat tahun 2023 sebagai tahun terpanas, dengan anomali suhu rata-rata global mencapai 1,4 derajat Celcius. Untuk itulah dalam Paris Agreement pada 2015 memberi mandat negara-negara dunia harus berkolaborasi menahan laju pemanasan global di angka 1,5 derajat Celcius.

Di luar itu, bumi seolah memberitahu para penghuninya, bahwa ia memiliki derita lain yang harus kita lihat dan alami. Sebut saja banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, badai siklon tropis atau kekeringan ekstrem, hingga kenaikan permukaan air laut; yang mana peningkatan kejadian bencana tersebut sejatinya satu rangkaian siklus juga dengan adanya perubahan iklim.

Bagaimana Kabarmu, Bumi?
Bentuk nyata deforestasi hutan untuk pembukaan lahan pertambangan atau perkebunan di Kabupaten Berau/Mauren Fitri

Penyebab bumi kian merapuh

United Nations dalam rilisnya pada 18 Maret 2022, menyebut emisi gas rumah kaca sebagai penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim. Banyak faktor yang turut bertanggung jawab pada peningkatan emisi gas rumah kaca tersebut beberapa tahun belakangan.

1) Pembuatan energi berbahan bakar fosil

Pembakaran bahan bakar fosil sebagai sumber energi listrik dan panas menghasilkan emisi global dalam skala besar. Tak bisa dimungkiri, pasokan energi listrik di dunia saat ini masih bergantung pada batu bara, minyak, dan gas. Hanya segelintir, kira-kira seperempat dari energi listrik global yang bersumber dari tenaga angin, tenaga surya, atau sumber daya energi baru terbarukan lainnya.

2) Industri manufaktur

Lagi-lagi bahan bakar fosil masih jadi “gantungan hidup” untuk sumber energi kegiatan industri manufaktur. Bukan hanya sebagai bahan baku, melainkan juga memasok energi untuk operasional industri. Misalnya, produksi semen, besi, baja, elektronik, plastik, atau pakaian. Industri yang berusaha memenuhi permintaan atau gaya hidup manusia, yang populasinya semakin bertambah dari waktu ke waktu.

3) Peningkatan laju deforestasi

Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami laju deforestasi terparah di dunia. Musuh besar hutan-hutan tropis di negeri ini adalah pertambangan, kelapa sawit, alih fungsi lahan untuk permukiman, pertanian, peternakan, dan perkebunan lainnya. Kawasan-kawasan konservasi kian terimpit. Tak terhitung konflik horizontal terjadi antara kelompok masyarakat, bahkan konflik satwa yang keluar kawasan dengan penduduk lokal.

4) Penggunaan transportasi berbahan bakar fosil

Tak bisa terhindarkan, jika mobilitas kita masih sangat bergantung pada kendaraan yang beroperasi menggunakan bahan bakar fosil. Sepeda motor, mobil, kereta api, kapal, hingga pesawat. Menaiki transportasi umum juga belum menjadi kebiasaan banyak orang. Terutama di daerah yang belum terjangkau kereta api atau transportasi publik lainnya. Ekosistem transportasi dengan energi terbarukan pun belum sepenuhnya siap, khususnya di Indonesia.

5) Produksi pakan untuk pertanian dan peternakan

Produksi pupuk untuk peternakan atau penggembalaan hewan ternak, seperti sapi maupun kambing juga menghasilkan emisi gas rumah kaca. Begitu pun dengan operasional peralatan pertanian maupun perahu nelayan yang masih bergantung pada bahan bakar fosil. Proses selanjutnya hingga ke hilir, mulai dari pengemasan sampai distribusi hasilnya juga berdampak pada peningkatan emisi gas rumah kaca.

6) Pemakaian konsumsi energi berlebihan

Ini adalah sesuatu yang amat lekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Tak dapat disangkal. Kita masih memerlukan listrik dan air untuk menunjang kehidupan sehar-hari. Mengecas laptop, ponsel, kamera, menyalakan televisi, internet, pendingin udara (AC), menggunakan mesin cuci dan kulkas, serta penggunaan aneka peralatan elektronik lainnya. United Nations menyebut, gaya hidup kita berdampak besar terhadap planet kita. Orang terkaya (seharusnya) memiliki tanggung jawab terbesar, karena satu persen di antaranya menyumbang lebih banyak emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan 50 persen orang termiskin.

Bagaimana Kabarmu, Bumi?
Lahan instalasi PLTS di Kampung Merabu, Berau, Kalimantan Timur. Sebuah upaya lintas sektor untuk mewujudkan kemandirian energi dan mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil/Deta Widyananda

Yang harus dilakukan selanjutnya

Entahlah. Membicarakan perubahan iklim seperti mendiskusikan sesuatu yang utopis. Tak menguntungkan banyak pihak. Tak akan terselesaikan. Terlebih menggantungkan harapan pada pemerintah atau pemangku kebijakan. Lebih-lebih bagi sebagian pengusaha industri ekstraktif dan eksploitatif—jika tak mau disebut seluruhnya—seperti kelapa sawit atau pertambangan; perubahan iklim hanya sebutir debu yang tak berarti apa-apa.

Pada akhirnya, menunggu kebijakan konkret menghadapi perubahan iklim dari para pemegang kepentingan tampaknya terlalu buang-buang waktu. Terlalu banyak kepentingan yang akan terbentur untuk disisipkan agenda memperbaiki gaya hidup demi lingkungan yang lebih baik.

Satu-satunya jalan untuk bisa berkontribusi melambatkan laju pendidihan global adalah dimulai dari diri sendiri. Melakukan sesuatu semampu kita. Berusaha bijak untuk sadar, bahwa ruang tumbuh di bumi sejatinya masih terbuka lebar, selama kita sebagai manusia mau wawas diri pada apa yang kita lakukan atau hasilkan. Memilah sampah dari rumah, mengurangi sampah anorganik, membatasi pemakaian listrik, hingga memaksimalkan kesempatan menaiki transportasi umum.

“Earth Day” bukan sekadar seremonial untuk satu hari saja. Memperingati Hari Bumi, yang berarti mengingat bumi, adalah sesuatu yang harus jadi pijakan melanjutkan kehidupan sehari-hari. Setidaknya kita luangkan bertanya kepada bumi di setiap pagi, bagaimana kabarmu, sebelum kita meneruskan langkah untuk bekerja maupun kegiatan lainnya. Berharap bumi baik-baik saja ketika semakin menua, di tengah golakan alam yang tidak terprediksi.


Foto sampul:
Hamparan perkebunan kelapa sawit di Tangkahan, Sumatra Utara, yang menjepit habitat gajah sumatra dan batas konservasi Taman Nasional Gunung Leuser. Aktivitas perkebunan kelapa sawit juga menghasilkan emisi gas rumah kaca melalui operasional transportasi atau alat berat lainnya yang berbahan bakar fosil/Deta Widyananda


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bagaimana Kabarmu, Bumi? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bagaimana-kabarmu-bumi/feed/ 0 41748