petirtaan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/petirtaan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 09 Apr 2024 05:56:20 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 petirtaan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/petirtaan/ 32 32 135956295 Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-4/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-4/#respond Thu, 11 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41654 Saya menduga, serangga itu sedang berkembang biak. Keduanya melekat, berkelip-kelip memunculkan warna hijau metalik. Terbang bersama ke sana kemari. Namanya Chrysochroa fulminans atau lebih akrab disebut samber lilin.  Sudah sangat jarang saya melihat samber lilin....

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya menduga, serangga itu sedang berkembang biak. Keduanya melekat, berkelip-kelip memunculkan warna hijau metalik. Terbang bersama ke sana kemari. Namanya Chrysochroa fulminans atau lebih akrab disebut samber lilin. 

Sudah sangat jarang saya melihat samber lilin. Di sini keberadaanya sekarang cukup langka. Sewaktu kecil, saya cukup sering berburu hewan tersebut. Umumnya samber lilin digunakan untuk hiasan, seperti kalung atau gelang karena warnanya yang memikat. 

Dulu, hewan ini dipercaya masyarakat memiliki kekuatan magis. Seringkali ia digunakan sebagai susuk, yang berguna untuk memikat lawan jenis. Beruntung, saya bisa menjumpainya lagi di Sendang Siwahyu.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)
Serangga samber lilin di area Sendang Siwahyu/Aldino Jalu Seto

Kontradiksi Sendang Siwahyu

Siwahyu, nama yang cukup unik dari sebuah sendang. Bahkan lebih mirip dengan nama manusia. Saya menemukan nama Siwahyu tertulis samar-samar di gapura masuk berwarna kuning putih yang terbuat dari kayu. Tampaknya umur gapura tersebut cukup tua, karena terlihat kayunya juga sudah usang. 

Tertulis pula tahun 1958 di sebelah nama “Siwahyu”. Sementara di sebelah gapura, tepatnya di tembok batu yang dicor tertulis tahun 1973. Di atasnya masih terdapat kata-kata, tetapi sayangnya sudah tidak dapat dibaca dengan jelas. Entah mana tahun lahir dari Sendang Siwahyu ini yang benar.

Berbicara lokasi, Sendang Siwahyu terletak tak jauh dari Balai Desa Cangkringan. Dari balai desa tinggal lurus sejauh kurang lebih 300 meter. Sendang ini berada di sebelah kiri jalan. Selain lokasinya yang strategis—di tengah desa—akses masuknya juga sangat nyaman karena sudah terdapat jalan setapak berupa anak-anak tangga. 

Ketika turun menuju sendang, hanya terdapat sebuah pohon di sendang ini. Namun, terdapat bekas pohon lain yang tumbang sudah cukup lama, tepat di sebelah pohon tersebut. Saat saya datang masih belum ada pohon pengganti. Padahal pohon ini digunakan untuk menyerap air ke tanah. 

Saya pun langsung mengecek kondisi Sendang Siwahyu. Mulai dengan mengamati sekitar, mencari perbedaan antara sendang ini dengan yang lain, serta memotret hal-hal menarik, seperti samber lilin tadi. 

Setelah saya amati, sendang ini tak jauh berbeda dengan sendang lainnya. Ia memiliki dua kolam yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita. Bentuk bangunannya pun kurang lebih sama, persegi seperti di beberapa sendang yang saya temui sebelumnya. Bedanya, tuk atau mata air di kedua kolam ini berada sedikit lebih tinggi dari kolam yang digunakan untuk berenang.

Tak hanya sama secara bentuk bangunan, kesamaan Sendang Siwahyu dengan sendang yang lain adalah kedalaman airnya. Di Cangkringan, rata-rata kedalaman air sendang hanya seukuran perut orang dewasa atau kurang dari satu meter. 

Satu hal unik yang saya temui di Sendang Siwahyu adalah adanya tempat untuk mencuci. Lokasinya berada tepat di depan sendang putra dan putri. Tempatnya cukup luas dan juga berbentuk persegi. Sayangnya, sekarang airnya kotor dan berlumut.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)
Sampah deterjen kemasan yang mencemari Sendang Siwahyu/Aldino Jalu Seto

Malah saya menemukan seseorang sedang mencuci pakaian di tempat yang (seharusnya) digunakan untuk mandi dan berenang. Alhasil, kotoran yang dihasilkan dari proses mencuci tadi mengalir menuju kolam yang digunakan untuk mencuci. Tak hanya berupa kotoran sabun, tetapi juga limbah plastik bekas kemasan ikut hanyut terbuang. 

Saya dan kedua kawan, Ardha dan Akbar, awalnya berencana ingin mencoba mandi di Sendang Siwahyu. Sayang sekali, melihat kondisi kolam, kami harus mengurungkan niat untuk mandi. Padahal waktu sudah menunjukkan tepat pukul 12.00, yang menandakan matahari tengah panas-panasnya. Rasanya, kesegaran air dari petirtaan alami adalah solusi yang pas.

Tak lama saat kekecewaan itu muncul, ajakan untuk berpindah ke sendang lain pun muncul beriringan. Ardha mengajak kami bergeser ke sebuah sendang yang biasa ia pakai bersama teman-temannya dulu. Saya menyebutnya Sendang Pancuran Limo.

Pancuran Limo yang Mulai Ditinggalkan

Kurang lebih sepuluh tahun lalu saya mengunjungi tempat ini. Saat itu usia saya 12 tahun. Pancing, jaring, ember, dan umpan adalah alat perang saya untuk mencari ikan.

Saya bukan warga lokal Cangkringan. Saya adalah penduduk desa sebelah. Untuk mencapai ke Sendang Pancuran Limo, sepeda mini adalah transportasi paling efektif di masa itu. Akhirnya saya kembali lagi ke sini. Selain untuk bernostalgia, juga menelusuri jejak sejarah. 

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)
Lima aliran air di Sendang Pancuran Limo yang berkumpul di satu kolam/Aldino Jalu Seto

Sendang ini dibuat pada 1954. Usianya terpaut tujuh bulan lebih muda dari Sendang Karang Kulon. Nama “Pancuran Limo” berasal dari pancuran yang berjumlah limo (baca: lima). Sendang Pancuran Limo tak banyak berubah. Secara fisik, bangunannya masih sama persis dibandingkan beberapa tahun silam saat saya ke sini.

Sedikit perbaikan dilakukan. Dulunya, tuk atau sumber mata air yang berada di belakang sendang terbuka. Sekarang sudah ditutup. Sepertinya ada ketakutan jika tuk akan kotor jika tetap dibuka, sehingga bisa tersumbat dan tidak mengeluarkan air kembali. 

Selain tuk yang ditutup, di depan sendang juga digunakan untuk budidaya pohon jambu. Padahal tempat itu dulunya lahan basah saya untuk mencari ikan mujair dan nila. Kini semuanya telah diuruk tanah. 

  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)
  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4)

Meskipun begitu, lagi-lagi Sendang Pancuran Limo tetap tidak mengalami perubahan signifikan. Bahkan tradisi pemberian sesajen masih dilakukan sampai sekarang. 

Secara arsitektur, sendang ini terbagi menjadi dua bagian. Lagi-lagi pembagiannya berdasarkan jenis kelamin, yaitu putra dan putri. Sendang putra berbentuk persegi panjang dengan panjang kurang lebih 5×2 meter. Kedalamannya tidak seberapa, hanya sekitar setengah meter. Bentuk sendang putri pun sama, dengan kedalaman tak jauh berbeda. 

Saat ini, penggunaan Sendang Pancuran Limo lebih didominasi oleh orang yang sudah sepuh. Kebanyakan warga mulai meninggalkan sendang karena telah memiliki kamar mandi sendiri.

Fenomena sosial perpindahan tempat membersihkan diri masyarakat, dari sendang menuju ke kamar mandi, telah berlangsung belakangan. Makin lama, sendang yang awalnya didamba sebagai ritus budaya berubah menjadi tempat mandi, lalu berganti menjadi tempat angker karena terlalu lama ditinggalkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-4/feed/ 0 41654
Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (3) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-3/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-3/#respond Wed, 10 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41645 Dua buah patung duduk bersila di pojok bangunan tua. Wujud patung tersebut bertubuh mirip manusia, sementara wajah, tangan, dan, kakinya seperti kera. Telinga, mata, dan kepalanya bulat. Kedua kakinya duduk bersila. Bagian kakinya sama-sama patah....

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Dua buah patung duduk bersila di pojok bangunan tua. Wujud patung tersebut bertubuh mirip manusia, sementara wajah, tangan, dan, kakinya seperti kera. Telinga, mata, dan kepalanya bulat.

Kedua kakinya duduk bersila. Bagian kakinya sama-sama patah. Patung di sebelah kanan duduk membelakangi yang lain. Tangannya terangkat ke langit; yang satu menggenggam, satunya lagi menengadah. Ekspresinya seperti sedang berdoa menghadap Sang Pencipta. Saya menyangka, keduanya adalah perwujudan patung manusia setengah kera.

Sontak saya bertanya kepada kawan saya, “Iki opo iki (Ini apa ini)?”

Ardha menjawab, “Ora ngerti, aku malah lagi ngerti (Tidak tahu, saya malah baru tahu),” sahutnya. Jawaban Akbar pun serupa, “Ra reti (tidak tahu).”

Patung manusia setengah kera itu tidak berada di tempat biasa. Saya menemukan patung tersebut dalam bangunan tanpa atap, tepatnya di jalan setapak masuk ke Sendang Sinogo. Bangunannya tampak tua, sampai diselimuti oleh lumut di sekujur dinding batanya.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (3)
Sepasang patung manusia setengah kera/Aldino Jalu Seto

Misteri Patung-patung dan Kesan Wingit Sendang Sinogo

Berhadapan dengan patung manusia setengah kera tersebut, terdapat sebuah bangunan mirip rumah berwarna putih. Pintunya tertutup. Menyatu dengan tembok bangunan tua yang penuh lumut. 

Di sekelilingnya berjajar pohon-pohon tinggi. Setiap batang pohon dibalut kain putih. Entah untuk apa kain tersebut. Daunnya lebat menutupi cahaya yang masuk. Hawa dingin menambah kuat pandangan saya untuk melabeli tempat ini mistis. 

Tak lupa untuk menambah kesan mistis, terdapat kemenyan kering yang sepertinya sudah lama terpasang di sana. Kemenyan tersebut berada persis di depan pintu masuk, ditempatkan di atas sebongkah batu berwarna cokelat agak keputihan. Dugaan saya, saking seringnya diberi kemenyan, batu itu memiliki bercak putih-putih.

Secara kebetulan, tak jauh dari tempat kami berdiri ada dua pria yang sedang memperbaiki pipa paralon. Saya mengira mereka adalah warga lokal. Tanpa pikir panjang, demi mengetahui identitas kedua patung tadi, saya berinisiatif mendekat. Perkiraan saya benar, rumah bapak-bapak itu tak jauh dari tempat saya menemukan sepasang patung manusia setengah kera. 

Saya melontarkan pertanyaan serupa seperti pada Ardha dan Akbar. “Wonten ndalem bangunan niku enten patung nopo, Pak (Di dalam bangunan itu ada patung apa, Pak)?”

Ternyata jawaban keduanya setali tiga uang. Kedua bapak bapak tersebut pun menjawab sama, “Mboten ngertos, Mas (Tidak tahu, Mas),” ujarnya.

Sayang saya masih belum menemukan identitas dari patung-patung tersebut. Akan tetapi, saya mendapatkan informasi mengenai asal usul tempat yang saya kunjungi ini. Bapak-bapak itu secara sukarela bercerita mengenai sejarah Sendang Sinogo.

Menurut mereka, dalam bahasa Indonesia, nogo berarti naga. “Ceritane ndhisik sendang niki ditunggu kalih nogo, Mas. Mangkane jenenge dadi Sendang Sinogo (Ceritanya dulu sendang ini dijaga oleh naga, Mas. Makanya namanya jadi Sendang Sinogo),” jelas seorang di antaranya.

Tak heran. Selain patung manusia setengah kera, terdapat beberapa monumen naga di sekitar sendang. Sampai sekarang, cerita mengenai mitos naga di sendang masih dijaga oleh masyarakat sekitar. Mitos tersebut jadi cerita turun-temurun. Cerita si bapak menambah kuat label yang saya lekatkan pada tempat ini.

Bagaimana tidak, akses masuk menuju sendang saja melewati kuburan Desa Cangkringan wilayah utara. Walaupun masih ada jalan lain, seperti gang sempit sebelah timur sendang atau lewat area persawahan, akses via kuburan relatif lebih mudah diakses. 

Kesan angker sepertinya tidak dihiraukan oleh pengunjung Sendang Sinogo. Menurut bapak yang saya temui, kebanyakan pengunjung malah datang pada malam hari. Rupanya malah kesan wingit ini yang dicari-cari. Biasanya pengunjung melakukan ritual atau doa-doa untuk membantu agar rezeki mereka dilancarkan. 

Masih menurut bapak-bapak tadi, ritual doa yang dilakukan pengunjung dilakukan di tempat yang memang dikhususkan untuk ritual. Seperangkat dupa, kemenyan, payung jenazah, serta bangunan joglo semipermanen, menjadi perantara antara dunia manusia dan dunia roh.

Kebanyakan pengunjung memanggil juru kunci terlebih dahulu ketika ingin melakukan ritual. Biasanya malam Jumat adalah waktu yang pas untuk ritual. Alasannya Jumat dianggap sebagai hari yang disucikan. Setelah melakukan ritual, pengunjung biasanya melakukan aktivitas kungkum sebagai bagian dari tirakat.

Bapak tadi melanjutkan, tempat ini—Sendang Sinogo dan sekitarnya—dirawat oleh seorang juru kunci yang tinggal di desa bernama Ngendo. Ia lupa namanya, tetapi sejauh obrolannya dengan sang juru kunci, perawatan Sendang Sinogo menjadi seperti ini adalah bagian dari nguri-uri (melestarikan) budaya Jawa yang sudah mulai ditinggalkan. 

Tak lama obrolan pun berakhir. Kami dipersilakan lanjut melihat-lihat Sendang Sinogo. 

Manfaat Besar yang Masih Terasa

Bangunan sendang merupakan satu kesatuan. Tak jauh berbeda dengan sendang pada umumnya, Sendang Sinogo terbagi menjadi dua tempat berdasarkan jenis kelamin, yaitu putra dan putri. 

Sendang yang sudah ada sejak 1959 itu mempunyai keunikannya sendiri. Bagian sendang putra dan putri masih dalam satu bangunan yang sama. Hanya dipisahkan oleh sebuah tembok. Tembok pemisah tersebut tidak terlalu tinggi, hanya sekitar dua meter dari permukaan air.

Secara keseluruhan, bentuk bangunannya lonjong memanjang. Ada dua pintu masuk di masing-masing ruang. terdapat pula sesajen yang berisi kemenyan yang sudah kering, gelas kosong (mungkin bekas kopi), dan juga rokok batangan. 

Seperti yang terlihat, bangunan sendang ini terbuat dari batu alam yang disatukan menggunakan semen. Batu tersebut ditumpuk membentuk bangun ruang memanjang, kemudian diberikan sekat pembatas antara putra dan putri di tengah. 

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (3)
Sekat tembok yang memisahkan sendang putra dan putri/Aldino Jalu Seto

Melihat atap dari Sendang Sinogo, saya bisa menyimpulkan bangunan ini baru direnovasi. Alasan kesimpulan saya, atapnya terbuat dari baja ringan sebagai penopang dan seng sebagai penutupnya.

Penutup atau atap tersebut adalah inovasi baru untuk menjaga keasrian sendang. Soalnya, kebanyakan sendang lain menggunakan atap alami seperti dahan pohon untuk melindungi sendang agar tidak terpapar langsung dari panas matahari. Inovasi atap ini dapat menyelamatkan sendang dari kematian, sebab atap mampu mencegah limbah organik, seperti daun yang bisa menyumbat mata air alami di dalam sendang.

Masih sama dengan sendang lain, mata air alami itu berasal dari air tanah yang tertampung karena siklus hujan. Debit air di sekitar Sendang Sinogo dapat dibilang cukup besar. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh pepohonan sekitar yang masih cukup asri, sehingga akarnya dapat menyimpan tangkapan air di dalam tanah. 

Selain sebagai tempat ritual, mata air di Sendang Sinogo juga digunakan warga untuk beternak ikan. Si bapak yang saya temui di sendang adalah salah satu yang memanfaatkannya. Ia beternak berbagai jenis ikan di sebelah sendang, di antaranya koi.

Mungkin masih sangat banyak yang bisa dimanfaatkan dari Sendang Sinogo. Terlepas dari kepercayaan atau misteri apa pun, sampai sekarang kegunaan mata airnya menjadi berkah tersendiri bagi warga sekitar.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-3/feed/ 0 41645
Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (2) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-2/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-2/#respond Tue, 09 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41633 “Minggu pisan ados janti kene sulit (Seminggu sekali mandi di Janti, di sini [Sendang Sidomulya] sulit.” Begitulah tulisan yang terpampang jelas di tembok Sendang Sidomulya (baca: Sidomulyo). Menurut cerita Akbar, kalimat itu ditulis oleh beberapa...

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Minggu pisan ados janti kene sulit (Seminggu sekali mandi di Janti, di sini [Sendang Sidomulya] sulit.” Begitulah tulisan yang terpampang jelas di tembok Sendang Sidomulya (baca: Sidomulyo).

Menurut cerita Akbar, kalimat itu ditulis oleh beberapa kawannya saat mandi di Sendang Sidomulya. Sayangnya, ia juga tidak mengetahui cerita di balik penulisan kalimat itu. Ia hanya mengakui jika tulisan itu dibuat oleh kawan kawannya. 

Sependek interpretasi saya, kalimat itu merupakan wujud kritik sosial kepada masyarakat yang jarang mandi di Sendang Sidomulya, sendang milik masyarakat Cangkringan. 

Kata “janti” merujuk pada sebuah desa yang terkenal akan wisata air. Di Janti, terdapat wisata air berupa kolam renang untuk segala usia dan pemancingan air tawar. Pemancingan tersebut juga sekaligus mengakomodasi tempat makan. 

Semasa saya kecil, Janti merupakan wisata air dan pemancingan yang sangat diidamkan. Bahkan, Janti selalu jadi tawaran pilihan untuk rekreasi dari perkumpulan-perkumpulan yang ada di desa, seperti ibu-ibu pengajian, adik-adik TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), dan bapak-bapak maniak mancing. Bisa dibilang Janti cukup mendominasi wisata perairan.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Coretan di dinding Sendang Sidomulya/Aldino Jalu Seto

Sendang Sidomulya dan Ciri Khasnya

Kepopuleran Janti menyebabkan kalah pamornya tempat seperti Sendang Sidomulya ini. Menurut hemat saya, atas dasar itu tulisan di tembok Sendang Sidomulya dibuat. Meskipun sepertinya kalah populer, sendang ini sebenarnya memiliki karakteristiknya sendiri. 

Yang menjadi ciri khas adalah sendang ini jelas terlihat berada di tengah perdesaan. Lokasinya berada di sebelah jalan, menghadap langsung ke sawah.

Jika kebanyakan sendang berada di dekat kali yang dipenuhi pohon bambu atau pohon beringin, sendang ini justru tidak. Sendang Sidomulya berada di dekat jalan utama desa, sehingga terlihat lebih bersih daripada Sendang Kali Nyamplung dan Sendang Mbergundung.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Tampak luar bangunan Sendang Sidomulya/Aldino Jalu Seto

Dari sisi sejarah, saya juga tak menemukan adanya tahun atau tanggal pembuatan sendang ini. Menurut Ardha, dulunya di luar area sendang terdapat batu yang bertuliskan tahun pembuatannya. Sekarang batu tersebut telah hilang. 

Akbar menambahkan, dulunya sendang ini memiliki kedalaman sekitar setengah meter. Dalam beberapa tahun terakhir, debit airnya mulai menurun. Selain itu, Sendang Sidomulya juga mengalami pendangkalan. 

Selain letaknya yang membedakan dengan sendang-sendang lain, Sendang Sidomulyo juga memiliki keunikan dari sisi bangunannya. Kebanyakan bangunan sendang yang saya temui di Desa Cangkringan memiliki dua tempat untuk membedakan pemakaian sendang berdasarkan gender. Akan tetapi, sendang ini hanya ada satu tempat. Sepengetahuan Akbar, Sendang Sidomulyo hanya dikunjungi oleh laki-laki. 

Secara arsitektur, bentuk bangunan Sendang Sidomulya kurang lebih sama dengan sendang lain. Berbentuk persegi dengan dinding yang mengelilingi setiap sisinya. Terdapat dua pintu dari sisi timur dan barat. Ditambah sebuah sekat untuk membedakan kolam sebagai tempat mandi dan mata air.

Kami bertiga tak lama berada di Sendang Sidomulya karena tidak menemukan hal hal baru. Setelah beberapa jepretan foto, kami beranjak menggunakan motor. Kami berjalan ke arah utara menuju jalan utama desa Cangkringan, lalu belok kiri ke arah barat menuju pertigaan. Selanjutnya masuk ke sebuah gang sempit di tanah milik warga untuk tiba di Sendang Karang Kulon. 

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Kolam pemandian untuk putri di Sendang Karang Kulon/Aldino Jalu Seto

Melawat ke Sendang Karang Kulon

Menurut kedua kawan saya, yaitu Ardha dan Akbar, Sendang Karang Kulon adalah sendang yang masih sangat terjaga keasriannya. Sendang ini masih memiliki tuk alami dari bawah tanah. Pohon beringin raksasa masih mengakar kuat di tanahnya, begitu pun daunnya yang jatuh dibersihkan oleh penjaga sendang. 

Kami bertiga melihat banyak hal menarik di Sendang Karang Kulon. Pohon beringin raksasa, berbagai kolam di sendang, batu serupa stupa, joglo persatuan silat, “oven” tempat pembakaran batu bata, dan juga tempat BAB (buang air besar) yang masih autentik. 

Sebelumnya, saya sudah pernah melawat ke Sendang Karang Kulon. Dulu kunjungan saya tak sedekat sekarang, yang mana saya hanya menapakkan kaki dari sisi atas sendang. Kebetulan, akses di sekitar Sendang Karang Kulon sekaligus menjadi jalan penghubung antara Desa Cangkringan dengan Desa Jembungan.

Terdapat dua sendang yang biasa digunakan. Terbagi berdasarkan gender, yaitu putra dan putri. Sendang putri berada di depan bangunan menghadap ke barat. Di atasnya terdapat sebuah tulisan aksara Jawa. Sayang sekali saya tidak dapat menerjemahkannya. 

Sendang putri tersebut berbentuk persegi. Sama seperti sendang pada umumnya—yang terdapat tembok di setiap sisinya—tingginya sekitar tiga meter dari dasar sendang. Ada pula dua sisi lantai yang berbahan dasar keramik di timur dan selatan. 

Dari dasar tanahnya mengeluarkan air yang disebut tuk atau sumber air alami. Airnya yang bersih serta dingin sangat cocok untuk berenang. Sendang ini juga tak terlalu dalam, mungkin hanya setengah meter atau kurang lebih setinggi perut orang dewasa. 

  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali

Pada tampak depan, sendang putri ini dihiasi pula dengan sebuah batu yang mirip lingga. Saat saya tanya kepada Ardha dan Akbar, mereka membenarkan bahwa batu itu adalah sebuah lingga dari masa kerajaan Hindu. Namun, ketika saya bertanya tentang sejarah batu itu, mereka tidak mengetahui asal mulanya. 

Sampai sekarang, batu yang dianggap lingga masih terjaga di Sendang Karang Kulon. Tidak ada relief atau gambar di tubuh lingga tersebut. Batu tersebut dihiasi oleh batu bata persegi yang disusun mengelilingi lingga. Saya melihat batu itu digambarkan mirip dengan sebuah yoni. Menyatu dengan lingga dan yoni, terdapat pula susunan batu bata dua tingkat yang berukuran hanya lebih kurang 20 sentimeter. Di tengahnya tersedia sebuah tempat untuk pembakaran dupa.

Adapun sendang putra berada di sebelah barat. Saya melihat ada keterangan tahun pembuatan sendang tersebut: 20 April 1954. Bentuk bangunannya kurang lebih sama dengan sendang putri. Hanya lokasi yang membedakan kedua sendang tersebut. Karena lokasi sendang putra yang berada di barat, maka air yang terbuang kemungkinan mengalir ke sungai yang ada di sebelahnya dan ke sendang putri. 

Tak jauh dari lokasi sendang putri, di sebelah timur saya melihat sebuah kolam yang menyimpan banyak air. Tampaknya, kolam tersebut tidak lagi difungsikan dengan baik. Banyak daun jatuh dan tidak dibersihkan di sana. Tak hanya itu, banyak ikan badar—alias wader—yang juga berkembang di sana. Terlihat seperti tak terpakai layaknya sendang putra dan putri.

Sebagai pelengkap, terdapat pula padepokan perguruan silat. Saya bertanya kepada Ardha, “Apakah bangunan permanen ini milik perguruan silat tersebut?” Ardha mengiyakannya.

Ardha lanjut bercerita, orang yang membuat joglo semipermanen serta dua bangunan padepokan permanen tersebut adalah perguruan silat setempat. Tampilan fisiknya bernuansa tradisional, kokoh, dan sederhana. Terbuat dari bambu yang dirangkai dan dicat berwarna cokelat, sehingga makin menambah suasana keasriannya. 

Bangunan padepokan permanen di dekat sendang putra dan putri. Keduanya berbentuk persegi panjang. Sejauh penglihatan saya, bangunan tersebut difungsikan untuk tempat beristirahat para pesilat.

Sedikit menyusuri ke arah timur, saya melihat peninggalan masa lampau berupa bangunan bata tua yang masih tersisa puing-puingnya. Masyarakat sekitar menyebutnya “oven” tempat pembakaran batu bata.

Ardha dan Akbar kompak menuturkan, “Ndhisik jek kerep kanggo, tapi saiki wes ora (Dulunya [oven ini] sering dipakai, tetapi sekarang sudah tidak).”

Secara keseluruhan, sejak saya menapakkan kaki di Sendang Karang Kulon ini, kesan yang sangat melekat dalam diri saya adalah tempat ini suci atau keramat. Indikatornya berupa tempat yang sangat rindang, sangat lekat akan hal-hal pemujaan, ditambah di setiap sudut bangunan terdapat dupa yang menciptakan bau khas tersendiri.

Hal terakhir yang tak bisa dilepaskan dalam kunjungan ke Sendang Karang Kulon adalah pohon beringinnya. Melihat dari atas, pohon ini tampak gagah sebagai penjaga ekosistem di Sendang Karang Kulon. Ia adalah aktor utama yang menjaga kelestarian tuk atau mata air di petirtaan tersebut tetap eksis sejak 1954, atau bahkan mungkin jauh sebelumnya.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-2/feed/ 0 41633
Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (1) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-1/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-1/#respond Mon, 08 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41620 Semasa masih SD, menelusuri jejak budaya di desa—seperti petirtaan—adalah kegiatan sehari-hari saya. Ajakan lumban (berenang di kali) dan nyobok (mencari ikan) adalah hal yang lumrah saya dan kawan-kawan dapati. Pernah suatu waktu, kami tertangkap basah...

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Semasa masih SD, menelusuri jejak budaya di desa—seperti petirtaan—adalah kegiatan sehari-hari saya. Ajakan lumban (berenang di kali) dan nyobok (mencari ikan) adalah hal yang lumrah saya dan kawan-kawan dapati. Pernah suatu waktu, kami tertangkap basah mencuri ikan di kolam milik warga. Sontak kami dikejar warga menggunakan arit. 

Setelah diingat-ingat, petirtaan-petirtaan itu membawa banyak cerita yang mungkin tak bisa saya dapatkan lagi. Ingatan tersebut membawa saya kembali ke Desa Cangkringan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali (20/2/2024). 

Saya pun mencoba menghubungi dua kawan saya sewaktu SMP dulu. Mereka adalah “warlok” alias warga lokal asli Cangkringan bernama Ardha dan Akbar. Tak berselang lama, Akbar meminta saya untuk datang ke rumah Ardha. Sangat pas sekali mereka berdua sedang berkumpul.

Tak berselang lama, Ardha bercerita, “Nang kene ki pendak RT nduwe sendang dewe-dewe. Enek sekitar 16 RT terus dibagi dadi pirang-pirang padukuhan. Berarti sak RT enek sendang siji (Di sini, setiap RT memiliki sendang sendiri-sendiri. Ada sekitar 16 RT yang terbagi menjadi beberapa pedukuhan. Berarti kurang lebih ada 16 sendang juga di satu desa).”

Saya cukup terkejut mendengar pernyataan sohib saya satu ini. Bahkan ketika saya kecil, saya tidak menemukan sendang sebanyak itu di sini. Saya sejenak berpikir dalam hati, “Karena zaman dulu itu gak ada kamar mandi, orang-orang mandinya di sungai kayaknya. Terus karena banyak mata air juga, mereka membuat sendang-sendang yang bisa digunakan secara kolektif, ya. Menarik.”

Saya iseng bertanya sudah sejak kapan sendang ini ada kepada Ardha dan Akbar. Keduanya kompak menjawab tidak tahu. Saat mereka masih kecil, sendang-sendang itu sudah ada. Lagi-lagi saya membatin, “Berarti kegiatan lumban di kali ini sudah menjadi tradisi sejak lama.”

Sesaat kemudian, obrolan kami berakhir. Kami sepakat mencoba menelusuri sisa-sisa jejak kebudayaan desa tersebut.

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Sarang burung tengkek di dekat Sendang Kali Nyamplung/Aldino Jalu Seto

Keunikan Sendang Kali Nyamplung

Kami berjalan sekitar 200 meter ke arah utara rumah Ardha. Melewati gang-gang sempit juga hutan bambu. Konon kabarnya tempat ini merupakan habitat banyak sarang burung konon kabarnya terdapat banyak sarang burung cekakak jawa (Halcyon cyanoventris). Ardha menyebutnya tengkek.

Sendang pertama yang kami kunjungi bernama Kali Nyamplung. Saya baru pertama kali menginjakkan kaki di sendang tersebut. Bahkan sebelumnya saya tak tahu jika ada keberadaan sendang di tempat seperti ini. 

Sayang sekali, kami bertiga tidak tahu asal usul dari sendang ini. Ardha berinisiatif bertanya ke seorang ibu, yang juga penduduk desa setempat. Hasilnya nihil.

Saya mencoba tak ambil pusing soal sejarah. Saya langsung mengambil beberapa gambar dari sudut pandang yang berbeda beda dengan penuh antusias. Tak lupa, saya juga mencari tanggal atau tahun pembangunan sendang Kali Nyamplung. Ternyata tidak ada informasi mengenai hal itu. 

  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
  • Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali

Sendang ini berbentuk persegi. Terdapat sekat berupa tembok di tengah sendang. Kata Ardha, sekat tersebut untuk membedakan tempat mandi laki laki (sebelah timur) dan tempat mandi perempuan (sebelah barat). Di masing-masing tempat itu juga terdapat sekat khusus yang memberikan jalan air agar kotoran bisa berpindah ke arah sungai.

Ada sedikit keunikan pada Sendang Kali Nyamplung. Jika sendang-sendang lain pada umumnya yang saya temui tidak terdapat atap untuk menutup sendang, tetapi Kali Nyamplung memilikinya. Saya menduga karena banyaknya daun pohon bambu yang berjatuhan, sehingga dikhawatirkan akan menutup dan mengotori sendang jika tidak rutin dibersihkan. Maka oleh warga dahulu dibuatlah atap.

Setelah puas melihat-lihat, kami bergeser ke tempat kedua. Akbar mengatakan bahwa perjalanan tak begitu jauh. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk tiba di sana jika melewati jalan belakang rumah warga—alias melipir kali.

Saya tidak tahu jalan, sehingga memilih mengikuti instruksi dari kawan saya satu ini. Namun, ternyata saya cukup menyesal melewati akses jalan tersebut. Bukan hanya sulit dilalui, melainkan juga jalan tersebut telah menjadi tempat untuk membuang sampah berupa popok bayi. Ditambah kumpulan nyamuk saling bergantian menggigit sekujur tubuh kami hingga berbentol-bentol. 

Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali
Sendang Mbergundung yang sudah tertutup banyak seresah daun bambu/Aldino Jalu Seto

Nasib Menyedihkan Sendang Mbergundung

Wes suwe ra dinggo. Padahal ndhisik aku karo cah-cah kerep nganggo adus. Terakhir aku adus nang kene ki SMP meh munggah SMA (Sudah lama tidak dipakai. Padahal dulu aku dan teman teman sering menggunakannya untuk mandi. Terakhir saya menggunakannya waktu SMP mau naik SMA,” ujar Akbar.

Sewaktu kami sampai di lokasi, kami langsung menggerutu. Bukan karena nyamuk tadi, melainkan kondisi sendang yang sudah mengenaskan. Perkiraan saya soal daun bambu sepertinya benar, karena akhirnya menjadi limbah yang akan mengotori sendang bila sendang tidak diberi atap.

Sendang Mbergundung terbagi menjadi dua bangunan, yaitu kolam terbuka dan kolam tertutup. Secara arsitektur, Sendang Mbergundung berbeda dengan Sendang Kali Nyamplung. Keduanya juga dipisahkan oleh batas administratif dalam rukun tetangga (RT), tetapi fungsi masih tetap sama. 

Bangunan pertama yang saya lihat adalah area sendang terbuka. Kolam ini berbentuk persegi panjang dengan kedalaman kurang dari satu meter. Di sini terdapat mata air dari tanah, atau masyarakat menyebutnya “tuk” dalam bahasa Jawa. Pada salah satu tembok tertulis tahun pembuatan Sendang Mbergundung, yakni 10 November 1988. Menurut cerita Ardha dan Akbar, dulunya kolam ini digunakan untuk mencuci atau sekadar bermain air.

Adapun kolam tertutup sebagai bangunan kedua berbentuk gabungan antara setengah lingkaran dan persegi panjang. Jika dilihat secara sekilas, tinggi dindingnya kurang lebih dua meter dari dasar kolam. Ketika masih beroperasi, masyarakat Desa Cangkringan menggunakan kolam ini untuk berendam.

Sama seperti kolam sebelumnya, terdapat sekat pembatas antara mata air dengan tempat berendam. Fungsinya semata agar mata air tidak rusak. Hanya terdapat sebuah jalan masuk ke kolam ini, yang mana di depan jalan tersebut terdapat sebuah tempat dari batu dekat sungai untuk BAB (buang air besar). Hal ini lumrah dilakukan masyarakat desa seperti saya dulu, apalagi pada masa kejayaan awal pembangunannya.

Dari kedua tempat tersebut, saya menilai jejak peninggalan budaya di desa Cangkringan memang sangat kaya. Potensinya akan petirtaan atau sendang sangat bisa digali lebih dalam. Tidak hanya soal tuk yang menjadi sumber penghidupan warga, tetapi juga mungkin kajian budaya dan sejarah sebagai penemuan atas identitas desa Cangkringan. 

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Petirtaan Desa Cangkringan Boyolali (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-petirtaan-desa-cangkringan-boyolali-1/feed/ 0 41620