plastik Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/plastik/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 29 Mar 2022 08:38:15 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 plastik Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/plastik/ 32 32 135956295 Sampahku, Tanggung Jawabku https://telusuri.id/sampahku-tanggung-jawabku/ https://telusuri.id/sampahku-tanggung-jawabku/#respond Tue, 18 May 2021 00:28:00 +0000 https://telusuri.id/?p=27966 “Sampahku, Tanggung Jawabku” adalah suatu kalimat yang terus teringat sampai hari ini. Kalimat tersebut mengingatkan saya pada tahun 2017 ketika saya dan teman-teman memiliki kesempatan untuk berlibur ke CMC (Clungup Mangrove Conservation) Tiga Warna. CMC...

The post Sampahku, Tanggung Jawabku appeared first on TelusuRI.

]]>
“Sampahku, Tanggung Jawabku” adalah suatu kalimat yang terus teringat sampai hari ini. Kalimat tersebut mengingatkan saya pada tahun 2017 ketika saya dan teman-teman memiliki kesempatan untuk berlibur ke CMC (Clungup Mangrove Conservation) Tiga Warna. CMC Tiga Warna merupakan kawasan konservasi hutan mangrove yang dilindungi di Jawa Timur. Hutan Mangrove merupakan jenis hutan yang dominan berada di ekosistem pantai. 

Clungup Mangrove Conservation/Martha Yohana

Saat itu kami merupakan mahasiswa tingkat pertama yang berasal dari Bekasi dan Yogyakarta. Berkunjung ke CMC Tiga Warna merupakan ide salah satu teman saya yang bernama Ardhan, seorang mahasiswa kedokteran. Perjalanan kami menuju Malang menggunakan pesawat dan kereta. Saya dan teman saya Petris berangkat dari Bandara Halim sedangkan teman saya Ardhan dan Fariz berangkat dari stasiun Yogyakarta. Saat itu titik temu kami adalah di kota Malang. 

Tiba di kota Malang, kami beristirahat terlebih dahulu. Keesokan harinya, kami menyewa mobil untuk menuju CMC Tiga Warna. Sungguh perjalanan yang cukup panjang dari kota Malang menuju CMC Tiga Warna. Selama perjalanan kami melewati begitu banyaknya pantai yang indah dan terbuka untuk umum. Sejenak saya terdiam dan bingung di dalam mobil, mengapa untuk masuk CMC Tiga Warna harus bayar dan reservasi terlebih dahulu, padahal sepanjang pantai yang kami lewati, memiliki akses gratis untuk masuk.

Tiba di parkiran CMC Tiga Warna, ternyata kami harus berjalan kaki sekitar 15 menit untuk sampai di pos utama. Saat itu musim hujan dan jalan di sana hanya dari tanah. Jadi, kami harus melepas sandal karena tanahnya sangat licin. Sungguh liburan kami seperti petualangan, sangat seru.

Hutan Dataran Tinggi/Martha Yohana

Ketika sampai di pos, kami disambut oleh petugas disana dan sebelum masuk ada pencatatan serta pengecekan barang untuk menjaga kawasan konservasi tetap bersih dari sampah. Setelah itu diberikan selembar kertas yang berisi barang-barang apa saja yang kami bawa. Begitu juga ketika keluar akan ada pengecekan kembali, dimana jika kami meninggalkan sampah akan dikenakan denda 100 ribu rupiah. 

Sebagai anak yang tinggal di kota, peraturan ini sungguh mengejutkan dan membuat saya terpesona. Ini merupakan pembelajaran yang sangat mahal, melihat semangat para  pengelola menjaga kebersihan kawasan konservasi hutan mangrove dari sampah. Mulai dari situ, sepanjang perjalanan kami terus saling mengingatkan agar tidak membuang sampah sembarangan, sungguh berkesan.

Saat itu kami memilih rute dari sektor Barat untuk menuju Pantai Tiga Warna, yang dimulai dari pos utama kemudian menyusuri hutan mangrove dan melewati beberapa pantai. Perjalanan pertama, kami mulai dengan menyusuri hutan mangrove bersama tour guide.

Kemudian, kami berjalan menuju Pantai Clungup. Saat itu keadaan Pantai Clungup sedang surut. Pantai Clungup ini memiliki banyak pohon mangrove. Sepanjang perjalanan, tour guide kami memberikan edukasi tentang mangrove. Tim CMC Tiga Warna juga sering memberikan edukasi kepada pelajar di daerah sekitar dan penanaman mangrove secara langsung. 

Saat sedang mengambil foto, saya melihat tour guide kami memungut sebuah sampah plastik yang sepertinya terbawa arus dari tempat lain. Jujur, saya sangat kagum dengan pengelola di kawasan konservasi ini. Terlihat sekali bahwa mereka sangat menghargai dan menyatu bersama alam untuk menjaga hutan. 

Di Pantai Clungup pun kami mengambil foto dengan pohon mangrove tertua di Pulau Jawa. Setelah menyusuri hutan mangrove dan Pantai Clungup, selanjutnya kami berjalan menuju  Pantai Gatra. Di Pantai Gatra ini diberikan fasilitas gratis untuk menggunakan kano. Di pantai ini juga terdapat warung makan, kamar mandi dan mushola. Pantai Gatra menyajikan pemandangan yang sungguh indah, serasa di Raja Ampat versi Jawa timur. 

Kemudian kami melanjutkan perjalanan kami menyusuri hutan dataran tinggi untuk menuju Pantai Tiga Warna yang merupakan bagian dari kawasan konservasi. Menuju ke Pantai Tiga Warna, kami harus melewati Pantai Savanna. Dinamakan Pantai Savanna karena terdapat hamparan padang savana yang luas dan juga bukit-bukit yang indah. Pasir di pantai ini juga sangat putih dan lembut serta terdapat bebatuan karang di permukaan airnya. 

Pantai Savanna/Martha Yohana

Sepanjang perjalanan, tour guide kami tidak bosan-bosan mengingatkan agar tidak membuang sampah sembarangan karena saat itu kami membawa beberapa cemilan. Berkali-kali kami terpeleset bahkan hampir jatuh ke jurang karena jalan tanah yang sangat licin dan curam. Tiada hentinya kami terus bertanya, butuh waktu berapa lama lagi untuk sampai ke Pantai Tiga Warna, karena kami yang sudah begitu letih dan kaki teman saya yang terluka karena batu karang di Pantai Savanna. 

Ternyata memerlukan waktu kurang lebih 15 menit dari Pantai Savana menuju Pantai Tiga Warna. Terbayar sudah rasa penasaran saya dan teman-teman ketika sampai. Sungguh terpesona dengan keindahan dan kebersihan pantainya. Dinamakan Tiga Warna karena pantai ini memiliki 3 warna yaitu merah, hijau dan biru. Sepanjang perjalanan, setiap pantai benar-benar bebas dari sampah kecuali di Pantai Clungup. 

Sampai akhirnya terjawab semua pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya, mulai dari mengapa harus reservasi, pengecekan serta pencatatan barang dan sebagainya. Ya karena ini merupakan kawasan konservasi, serta hutan mangrove memiliki fungsi sebagai penahan abrasi, juga mempunyai fungsi lainnya yaitu sebagai rumah untuk berbagai flora dan fauna.

Pembelajaran yang saya dapat dari liburan ini adalah saya belajar untuk lebih bertanggung jawab lagi dengan sampah, karena sampah yang dibuang dengan sembarangan akan mengancam kehidupan flora dan fauna di dalamnya bahkan akan mempengaruhi mata pencaharian masyarakat sekitar dan kehidupan saya yang tinggal di kota. Bertanggung jawab dan lebih bijak lagi dalam menggunakan sampah merupakan suatu hal yang harus dimulai dari diri sendiri dan dari sekarang juga. Dimanapun kita berada dan sekecil apapun kegiatan kita, akan selalu membuat dampak. Oleh karena itu, mari jaga hutan kita dari sampah untuk bumi yang lestari.

The post Sampahku, Tanggung Jawabku appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sampahku-tanggung-jawabku/feed/ 0 27966
Menjadi ‘Aesthetic’ Sambil Mengurangi Sampah Kita https://telusuri.id/menjadi-aesthetic-sambil-mengurangi-sampah-kita/ https://telusuri.id/menjadi-aesthetic-sambil-mengurangi-sampah-kita/#respond Tue, 02 Feb 2021 08:58:00 +0000 https://telusuri.id/?p=26772 Terhitung sejak 12 hari yang lalu aku bersama dengan temanku bepergian sebentar untuk mencari keperluan guna menunjang pekerjaan. Singkat cerita, karena ada meeting bersama klien kuputuskan menepi dan duduk sebentar di salah satu kedai kopi...

The post Menjadi ‘Aesthetic’ Sambil Mengurangi Sampah Kita appeared first on TelusuRI.

]]>
Terhitung sejak 12 hari yang lalu aku bersama dengan temanku bepergian sebentar untuk mencari keperluan guna menunjang pekerjaan. Singkat cerita, karena ada meeting bersama klien kuputuskan menepi dan duduk sebentar di salah satu kedai kopi ternama. Aku sangat suka dengan suasananya, tercium aroma kopi dan terdengar alunan musik menenangkan; tidak terlalu keras dan memekakkan telinga. 

“Sudah lumayan lama juga gak duduk-duduk di sini ya,” gumamku.

Pasalnya, minum kopi-kopi seperti ini saat pandemi biasanya ku lakukan dengan layanan pesan antar melalui aplikasi ojek online. Senang bisa berkunjung kembali!

Aku kemudian memesan vanilla frappuccino sedangkan temanku memesan green tea matcha. Dua-duanya memakai whip cream dan juga ekstra caramel.

Ketika sedang asyik ngobrol tentang pekerjaan kami—yang mana aku masih sibuk mengelola Instagram dan rekanku membuat artwork untuk podcast milikku, namaku disebut oleh pramusaji. Lalu, datanglah dua cup minuman enak ini bersama dengan dua piring camilan yang juga sudah ku pesan.

Aku yang sudah tak sabar mencicipi  suguhan tadi terpaksa menahan diri karena ada panggilan masuk dari klien. Rekanku hanya tertawa sambil memberikan jempol pertanda semangat, ia lalu terlihat lahap menyeruput green tea matcha.

“Akhirnya bisa minum juga,” ucapku sembari menghela napas.

  • Paper Straw Starbucks
  • Paper straw Starbucks
  • Stainless Straw

Dan saat membuka sedotannya lalu tersenyum sendiri, “Eh kok unik banget?”

“Dari paper based kan, Gas? Sensasinya beda ya?” 

Aku mengangguk dan mulai meneguk. Rasanya enak, ada sensasi seperti tengah menggigit sebuah astor rasa vanilla. Sebuah terobosan dan langkah yang baik untuk bisa mengurangi sampah plastik meski jalan yang ditempuh dimulai dari hal sederhana: sedotan.

Bicara tentang sedotan, aku sebenarnya punya pengalaman agak memalukan. Aku kerap mengabadikan momen dalam bentuk foto, tak sedikit di antaranya makanan dan minuman kucoba. Dan komentar yang selalu kuingat dalam benak ialah: “Kak, gak mau coba pake stainless straw? Kakak kan public figure bisa jadi contoh lho buat audience Kakak yang lain.”

Deg! Lewat komentar itu aku jadi kepikiran terus. Akhirnya saat ini aku sudah termasuk pengguna stainless straw yang selalu kubawa pergi ke manapun. Apalagi di era pandemi seperti ini, rasanya jadi lebih tenang dan higienis kalau bawa peralatan makan dan minum sendiri dari rumah. Dan hal yang menjadi penting di sini ialah, meminimalisir produksi sampah kita.

“Enak gak vanilla-nya?” Suara temanku menyadarkanku dari lamunan dan suara meeting klien.

Terpecah antara informasi yang didapat juga bertabrakan dengan segala ideation atas banyak hal yang ingin segera kubuat. “Enak banget lah woi,” jawabku semangat.

Sehabis dari kedai kopi kami pergi ke lantai dua, menuju ke Gramedia. Ada sebuah notes dan buku juga pulpen yang ingin kubeli. Kebetulan stock di rumah juga sudah habis. 

Paper Bag Gramedia
Paper Bag Gramedia/Helobagas

Saat membayar di kasir ternyata mereka sudah tidak menyediakan plastik lagi, “Maaf ya Kak saat ini Gramedia tidak menyediakan kantong plastik—” ditambah sebuah informasi bahwa mereka menyediakan paper bag yang sangat aesthetic sebagai gantinya.

Paper bag ini kalau gak salah harganya berkisar antara Rp3 ribu. Memang jauh lebih mahal dibanding kantong plastik gratis bahkan jika pun harus masuk dalam struk belanja hanya dinilai Rp500-an saja.

Sederhana memang, tapi dampaknya besar.

Kebayang gak sih kalau ada banyak sekali konsumsi sampah [plastik] yang kita lakukan dalam jangka waktu sehari? Apalagi sebulan? Apalagi setahun? Lantas untuk menghancurkannya dan menguraikannya tidak pernah sesederhana yang kita kira, kan?

Oke baik cerita tentang kedai kopi dan toko buku berakhir di sini ya. Aku akan membawamu ke next case. Mungkin kamu juga sudah tahu kalau minimarket seperti Indomaret dan Alfamart yang mereka juga sudah tidak lagi menyediakan kantong plastik untuk pengunjung yang berbelanja.

Dari hal-hal yang tampak sederhana tersebut, aku kini mulai membiasakan diri untuk selalu membawa totebag—yang saat dulu kupakai dipanggil “Bocah indie” atau “Anak Senja”. Kalau ingat-ingat yang begitu memang membikin flashback jaman SMA.

Sambil membayar belanjaan juga beberapa titipan ibu, kasir memasukkan barang-barang belanjaan ke totebag milikku. Terlihat sangat aesthetic belanja ke minimarket dekat dengan rumah seperti ini.

Dan untuk panggilan tadi “Bocah Indie” atau “Anak Senja” itu, aku sama sekali tidak tersinggung kok. Justru aku senang banget kalau mereka—teman-temanku sudah mengenalku sedalam itu. Lagipula playlist Spotify tidak jauh dari musik indie kok.

Sebelum tulisan ini berakhir, aku ingin berterima kasih untuk teman-teman pembaca yang bahkan sudah melakukan hal-hal yang kusebutkan di atas lebih dulu dibanding aku. Terima kasih ya sudah sayang dan turut menjaga rumah kita bersama—bumi. Sampah kita, tentu saja konsekuensi dan tanggung jawab kita juga. Selamat mencoba! Jikalau belum, hal-hal aesthetic juga bermanfaat buat bumi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjadi ‘Aesthetic’ Sambil Mengurangi Sampah Kita appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjadi-aesthetic-sambil-mengurangi-sampah-kita/feed/ 0 26772