puisi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/puisi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 02 Dec 2024 03:47:18 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 puisi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/puisi/ 32 32 135956295 Mengikuti Jambore Sastra di Banyuwangi https://telusuri.id/mengikuti-jambore-sastra-di-banyuwangi/ https://telusuri.id/mengikuti-jambore-sastra-di-banyuwangi/#respond Sun, 01 Dec 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=44258 Rabu malam (23/10/2024), sekitar pukul 21.00 WIB, aku bersama istri dan enam orang teman berangkat dari Sumenep ke Banyuwangi dalam satu mobil. Tujuan kami menghadiri acara Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) yang ditaja Dewan Kesenian...

The post Mengikuti Jambore Sastra di Banyuwangi appeared first on TelusuRI.

]]>
Rabu malam (23/10/2024), sekitar pukul 21.00 WIB, aku bersama istri dan enam orang teman berangkat dari Sumenep ke Banyuwangi dalam satu mobil. Tujuan kami menghadiri acara Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT) yang ditaja Dewan Kesenian Blambangan dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pada 24–26 Oktober 2024. Acara tersebut merupakan puncak kegiatan dari penerbitan antologi puisi “Ijen Purba: Tanah, Air, Batu” yang diisi 200 penyair setelah dikurasi oleh tim kurator. Kami termasuk di antaranya.

Angka 200 terlalu banyak untuk ukuran bunga rampai. Meski disaring dari 400 lebih pengirim puisi, bagiku tetap terkesan sebagai antologi keroyokan. Itulah mengapa, aku tidak cukup percaya diri atas keterlibatanku dalam buku itu. Sekalipun ada embel-embel “Asia Tenggara” di sana. Lagi pula, 95% penyair terpilih adalah orang dalam negeri.

Bagaimanapun, aku bersyukur. Berkat JSAT, aku bisa berpelesir ke Banyuwangi dan merayakannya bersama orang-orang sehobi. Tentu saja tidak sekadar selebrasi. Menemukan pengalaman-pengalaman baru jauh lebih penting dari sebatas hore-hore dan pamer gigi di depan kamera.

Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
Plakat registrasi wilayah adat Komunitas Masyarakat Adat Osing di depan rumah warga Kemiren, Banyuwangi/Daviatul Umam

Hari Pertama di Kemiren

Matahari hampir memerah di ufuk barat ketika kami menginjakkan kaki di halaman Rumah Budaya Osing (RBO) Kemiren. Mestinya kami bisa tiba beberapa jam lebih awal, seandainya mobil rombongan tidak terjebak macet panjang karena proyek jalan di Bangkalan. 

Di RBO, panitia menyambut hangat. Usai mengisi daftar hadir, kami menerima kaus seragam JSAT dan sekotak nasi. Lalu kami dibonceng oleh beberapa panitia ke tempat penginapan milik rumah warga Kemiren. Mereka menyebutnya homestay. Satu homestay berisi dua sampai empat orang sesuai kelompok. Aku berhasil satu kelompok bersama Helmy Khan—kawan karibku—setelah melakukan negosiasi dengan panitia.

Tuan rumah kami, Bu Ti’anah dan Pak Suroso, sangat ramah dan gaya bicaranya renyah. Pasutri berusia 60 tahunan tersebut hidup bersama seorang anak dan cucu perempuan. Sehabis membersihkan badan, sembahyang dan makan, kami disuguhi teh hangat dan sepiring aneka kudapan. Akan tetapi, belum sempat kami menghabiskan minuman dan kudapan itu, kami harus segera berangkat ke Pendopo Bupati Banyuwangi untuk mengikuti gala dinner.

Penampilan musik dan tari Sanggar Seni Joyo Karyo membuka acara perdana. Kemudian dilanjutkan dengan senarai acara inti, antara lain peluncuran antologi puisi “Ijen Purba: Tanah, Air, Batu”, sambutan bupati, pembacaan puisi oleh sejumlah tokoh, ramah-tamah, pembagian buku sekaligus pembagian tugas Penyair School Visit ke sekolah-sekolah sasaran.

Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
Suasana diskusi sastra di SMPN 1 Kalipuro/Daviatul Umam

Menyapa Para Siswa SMPN 1 Kalipuro

Pukul enam keesokan paginya aku dan Helmy sudah bersiap-siap pergi ke sekolah sasaran. Helmy mendapat tugas ke MA Mambaul Huda, sedangkan aku ke SMPN 1 Kalipuro. Ini agenda kedua dari JSAT. Sehabis menyantap hidangan yang disuguhkan Bu Ti’anah, kami berjalan kaki ke RBO agak tergesa-gesa. Sebab, kata panitia, mobil penjemputan dari pihak sekolah sudah menunggu cukup lama di sana. Di RBO, kami berpencar menemui pihak sekolah masing-masing.

Kanti Rahayu namanya. Seorang guru paruh baya yang ditugaskan menjemputku bersama dua peserta lainnya, Eki Thadan (Jakarta) dan Nor Faizah (Sumenep). Setelah berkenalan dan berbincang ringan, kami berempat menaiki mobil jemputan. Di kursi depan samping sopir, sudah ada Bu Nisa, kepala SMPN 1 Kalipuro. Mobil melaju. Obrolan ringan kembali bersambut di sepanjang perjalanan.

Cuma butuh waktu setengah jam dari Kemiren ke Kalipuro dengan kecepatan sedang. Ketika kami hendak memasuki halaman sekolah, selawat berkumandang diiringi tabuhan rebana. Personel hadrah itu tak lain para siswa SMPN 1 Kalipuro sendiri. Mereka beserta segenap guru berdiri sejajar di kiri-kanan, tampak sangat antusias menyambut kedatangan kami.

Lepas dari keriuhan itu, aku berkata pelan kepada Faizah, “Kayak baru datang umrah aja kita.” Faizah cengar-cengir. Bukan apa-apa. Di Madura, penyambutan semacam itu lumrahnya dipersembahkan untuk orang yang baru tiba dari tanah Haramain. Mendapati bentuk penyambutan yang sama untuk kedatangan penyair, terlebih penyair abal-abal sepertiku, sungguh bagai mimpi di siang bolong dan sukses bikin aku terharu sekaligus salah tingkah.

Di ruang diskusi, puluhan siswa-siswi sudah duduk tertib di atas bangku. “Waalaikum salam..,” jawab mereka serempak begitu kami beruluk salam di mulut pintu. Kami duduk di bangku depan. Berbagai jenis kuliner lokal tersaji di meja kami. Acara segera dimulai. Seni mendongeng, pembacaan puisi, dan penampilan musik tradisional menjadi pembuka yang manis.

Menurut sambutan kepala sekolah, SMPN 1 Kalipuro didirikan sejak 1996. Dengan rendah hati, beliau bilang sekolah ini terpencil.

“Ya, beginilah keadaannya. Mewah. Mepet sawah,” candanya diikuti ledak tawa seisi ruangan. Letak gedung sekolah memang berada di pinggir sawah. Meski begitu, SMPN 1 Kalipuro tak senasib sekolah-sekolah di kampungku yang krisis murid. Tiap tingkatan ada enam kelas. Itu pun, per tahunnya, tidak semua calon siswa baru ditampung.

Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
Para penyair JSAT foto bersama kepala sekolah dan para guru SMPN 1 Kalipuro/Daviatul Umam

Lebih lanjut, Bu Nisa membeberkan bakat-bakat yang dimiliki para siswa di bidang seni dan olahraga. Semua bakat itu terwadahi dalam kegiatan ekstrakurikuler, kecuali seni membatik. Seni yang satu ini mendapat perhatian khusus dan diunggulkan daripada keterampilan lain sehingga menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Tak hanya itu. Sebagai bentuk apresiasi dan kebanggaan tersendiri, kain batik hasil karya seorang siswa dijadikan seragam wajib pada hari tertentu.

Kemudian Faizah, aku, Pak Eki, dan Pak Suhandayana (asal Surabaya yang datang belakangan dari Kemiren), bergantian bicara di depan siswa. Intinya, kami memaparkan sekelumit pengetahuan dasar tentang sastra dan dunia tulis-menulis. Selebihnya kami menceritakan proses kreatif sebagai pemantik bagi mereka supaya punya ketertarikan untuk membaca dan menulis.

Selesai diskusi, kami diajak ke Geopark. Sebuah miniatur Watu Dodol dan beberapa situs lain di sudut halaman sekolah. Geopark ini dikerjakan dan dirawat oleh seorang lelaki gempal bernama Pak Mujianto dengan bantuan sejumlah siswa. Hal tersebut, kukira, menunjukkan betapa sangat intimnya hubungan orang Banyuwangi dengan alam. Adapun SMPN 1 Kalipuro sendiri memang berdiri di tengah panorama mooi indie. Selain mepet sawah sebagaimana kata Bu Nisa, ada aliran Kali Sumber Penawar membelah halaman sekolah. Puitis sekali, pikirku.

Bersama para guru, kami lantas menyantap nasi pecel rawon. Setahuku, pecel dan rawon adalah dua jenis masakan yang tidak punya hubungan kekerabatan. Baru kali ini aku menjumpai keduanya sekandung dalam satu piring. Irisan daging sapi bertemu sayur kangkung; kuah sup hitam berbaur sambal kacang. Sebuah kolaborasi yang guyub, langsung akrab di lidah dan bikin nagih. Apalagi dimakan dengan kerupuk udang, yang seakan memang hanya ditakdirkan menjadi pelengkap bagi makanan berkuah seperti rawon.

Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
Miniatur Watu Dodol di Geopark SMPN 1 Kalipuro/Daviatul Umam

Mampir ke Watu Dodol dan Pantai Cacalan

Di mana-mana, perpisahan pastilah menjadi konsekuensi dari pertemuan. Usai menerima kenang-kenangan dari Bu Nisa berupa kain batik karya para siswa, kami berpamitan. Namun, sebelum kembali ke Kemiren, Pak Mujianto dan Bu Kanti terlebih dahulu mengantar kami ke Watu Dodol dan Pantai Cacalan sebagai bagian dari kegiatan Penyair School Visit.

Watu Dodol merupakan objek wisata gratis yang relatif dekat dengan Pelabuhan Ketapang. Kurang lebih sama dengan miniaturnya di Geopark SMPN 1 Kalipuro. Maksud “watu dodol” tak lain batu hitam besar menjulang yang terjepit dua lajur jalan raya.

Tidak cukup lama kami di sana. Begitu selesai mengabadikan momen di bawah patung penari gandrung berlatar Selat Bali, perjalanan dilanjutkan ke Pantai Cacalan. Cahaya sore masih lumayan terik. Kami ngadem di pinggir rawa, berpayung pohon-pohon hias nan rindang. Dari bangku kayu yang kami duduki, di kejauhan tampak terbujur daratan Pulau Dewata.

Rawa itu amat terawat. Airnya jernih. Pengunjung bisa bersenang-senang dengan menyewa kano atau perahu karet seharga Rp10.000–20.000. Kami sendiri lebih memilih mengobrol saja sambil menikmati tahu walik dan es degan.

  • Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi
  • Menghadiri Jambore Sastra di Banyuwangi

Seminar Sastra di Marina Boom

Sabtu pagi (26/10/2024), aku dan Helmy mengemasi barang-barang ke dalam tas. Saatnya kami pamit pulang ke Bu Ti’anah dan Pak Suroso sembari berterima kasih dan memohon maaf atas segalanya.

“Kapan-kapan main lagi, ya. Nginap di sini,” ujar Bu Ti’anah lalu menyodorkan dua kain mafela batik kepada kami. Kami hanya bisa membalas dengan ucapan terima kasih.

Kami tidak langsung pulang ke Sumenep, karena kami hendak mengikuti acara Seminar Sastra di Pantai Marina Boom. Setibanya kami di Gedung Juang, tempat seminar, acara sudah dimulai. Dipandu Dr. Tengsoe Tjahjono, acara bertajuk Revitalisasi Sastra Lokal Memperkaya Sastra Nasional itu mulanya diisi Riri Satria yang memaparkan materi tentang tantangan menulis di era kecerdasan buatan. Selanjutnya Sofyan RH. Zaid menyampaikan hasil bacaannya terhadap puisi-puisi dalam buku “Ijen Purba: Tanah, Air, Batu”, lalu disusul orasi sastra oleh D. Zawawi Imron. Sesi tanya jawab memungkasi seminar.

Itulah acara terakhir kami di JSAT Banyuwangi. Sejatinya kami ingin menonton pagelaran tarian Gandrung Sewu di pantai itu. Namun, kami harus segera pulang karena salah satu teman rombongan hendak mengejar acara lain di Gedung Cak Durasim, Surabaya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengikuti Jambore Sastra di Banyuwangi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengikuti-jambore-sastra-di-banyuwangi/feed/ 0 44258
Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi” https://telusuri.id/umbul-dunga-40-hari-joko-pinurbo-selesai-sudah-tugasku-menulis-puisi/ https://telusuri.id/umbul-dunga-40-hari-joko-pinurbo-selesai-sudah-tugasku-menulis-puisi/#respond Thu, 25 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42398 “Tadi pagi saya nyekar ke makam suami saya,” Ibu Nuraeni Amperawati Firmina memberi jeda, “dan setiap kali saya nyekar ke makam suami saya, saya selalu ingat puisi Pacarkecilku.”  Perempuan yang biasa dipanggil Ibu Ning itu...

The post Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi” appeared first on TelusuRI.

]]>
“Tadi pagi saya nyekar ke makam suami saya,” Ibu Nuraeni Amperawati Firmina memberi jeda, “dan setiap kali saya nyekar ke makam suami saya, saya selalu ingat puisi Pacarkecilku.” 

Perempuan yang biasa dipanggil Ibu Ning itu lantas membuka lembar kertas yang digenggamnya erat; pandang serta tuturnya meloncat langsung pada bait terakhir:

Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati
yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti.(2001)

“Ternyata, Mas Joko sudah mengatakan ini jauh-jauh hari,” pungkasnya.

Saya cuma bisa duduk termenung bersama hadirin lain. Sesekali saya coba mencuri pandang ke arah bulu matanya, yang kata mendiang suaminya, bulu matamu: padang ilalang, di tengahnya sebuah sendang.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Gerobak angkringan dan langit sore jelang kumandang azan/Abdillah Danny

Sore yang gerimis di hati saya (dan tentu banyak orang). Dari arah selatan jalanan tak begitu ramai kendaraan. Sementara beberapa kali orang-orang yang melintas menyempatkan diri menoleh, mengira-ngira apa yang sedang diselenggarakan di Monumen Serangan Umum 1 Maret, Kota Yogyakarta ini. Udara terasa sempit, mungkin sesak oleh doa-doa yang merangsek naik ke langit. Rabu yang khidmat (5/6/2024) untuk mengenang penyair keramat.

Sambil menunggu acara dimulai, saya membakar tembakau yang sudah saya linting dari kos pagi tadi. Sejak kemarin saya mendapat informasi dari cerita Instagram beberapa teman dan guru, sehingga sedapat mungkin saya berusaha menyelakan diri untuk hadir hari ini. Umbul Dunga, Mengenang 40 Hari Joko Pinurbo. Sambil berharap kesempatan kongko-kongko bersama kawan lama yang semoga saja bertemu. Maka inilah sekarang, saya sudah di tempat sebelum waktunya.

Benar saja. Belum dapat selinting, datang kawan saya Aqsha. Ia mengenakan kaus putih dan topi fedora khasnya. Di jemarinya tergenggam selembar puisi. Saya jadi tahu, ia nanti akan membaca puisi bersama penyair serta budayawan lain.

Persembahan untuk Sang Penyair

Pembawa acara datang dan membuka dengan salam. Tibalah acara pertama, yakni pembacaan puisi dari komunitas-komunitas sastra, seperti Jejak Imaji (kawan saya Aqsha ikut di sini), Komunitas Kutub, dan Lingkar Pena. 

Di waktu yang bersamaan, sekumpulan pelukis melakukan live painting, mengalihwahanakan puisi-puisi Jokpin—sapaan Joko PInurbo—menjadi sebuah lukisan. Juga, di jarak sekitaran lima langkah dari panggung utama, sekumpulan perajin bekerja sama untuk membuat potret Jokpin dalam bentuk patung dengan ukuran seperempat badan dan skala 1:1. Sambil menikmati hal tersebut, saya melihat beberapa orang sedang sibuk di bakul angkringan. Terdapat total enam gerobak angkringan, yang menurut pendengaran saya, itu dari Danais (Dana Keistimewaan DIY) dan nantinya akan dibuka gratis. Sementara telinga saya menyimak pembacaan puisi, mata saya dimanjakan dengan momen-momen sengkarut yang puitis ini. Saya merasa katarsis.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Para perajin sedang berkarya/Abdillah Danny

Barulah kemudian azan Magrib berkumandang. Pembawa acara memberitahu sekarang waktunya jeda salat. Beberapa hadirin mengangkat badan dan mulai beranjak. Sedikit jauh, di jalanan, kendaraan melintas pelan; terlihat capek dan lesu. Sedang langit menyala jingga. Saya jadi teringat puisi Pacar Senja dan Cita-cita. Sila membacanya di buku atau laman internet.

Selepas salat, acara kembali bergulir. Kali ini, personil pembawa acara bertambah satu. Saya sedikit kaget sebab dari lagak-lagaknya, acara seakan dibuka ulang. Dua orang itu membacakan susunan acara (lagi). Katanya, akan ada sambutan-sambutan terlebih dahulu. Seperti dari Ketua Dinas Budaya DIY sampai Sri Sultan Hamengku Buwono X serta pejabat-pejabat lain. Yang membikin ini menarik adalah bagaimana orang-orang tersebut tak hanya sekadar memberi sambutan yang formal. Lebih dari itu, tiap-tiap mereka membacakan setidaknya satu puisi Jokpin yang mereka pilih sendiri. Ambil contoh Sri Sultan. Beliau memilih puisi berjudul Kota Kecil sambil sebelumnya mengaku bahwa ini adalah pertama kalinya beliau membacakan puisi.

Kembali pembawa acara masuk. Setelah coba-coba menyapa saya (dan tentu seluruh hadirin), disampaikanlah acara berikutnya, yakni pembacaan testimoni dari keluarga, kawan, serta penyair atau budayawan (perorangan, tak seperti kawan saya, Aqsha, sore tadi yang mewakili komunitas). 

“Namun, sebelum itu mari kita dengarkan musikalisasi puisi dari Oppie Andaresta featuring Bagus Mazasupa!” potong pembawa acara cewek membuyarkan lamunan saya. Masuklah orang yang dimaksud dan sungguh, begitu suara keyboard Mas Bagus mulai mengalun, kemudian suara Mbak Oppie menyanyikan puisi Pacarkecilku. Sebuah “sendang” tercipta di tengah bulu mata saya. Belum lagi sesekali Mbak Oppie melirik ke arah Ibu Ning, istri mendiang Jokpin. Saya merasa haru.

Mereka yang Ikut Mendoakan Joko Pinurbo

Adapun setelahnya, Ibu Ning naik ke panggung mewakili keluarga besar Jokpin. Ia menyatakan bahwa baginya, malam ini adalah malam yang penuh syukur. Malam yang bertepatan dengan 40 harinya orang yang dikasihi dipanggil Tuhan. 

“Tentu saja kami juga bersedih, tapi kami juga diajarkan untuk beriman, sebab Tuhan punya rencana yang baik bagi kami.” tambahnya. 

Sebelum mengakhiri, Ibu Ning sempat menyampaikan pesan titipan dari mendiang Jokpin. Katanya, saat masih dirawat di RS Panti Rapih sekitar Februari lalu, Jokpin menitip pesan maaf untuk semua orang. “Kalau-kalau kadang gojlokannya suka kelewatan, dan kesalahan-kesalahan lain. Kami memohon maaf kepada semua. Semoga perjalanan Mas Joko semakin terang dan lapang,” terangnya.

Kemudian, Ibu Ning bercerita soal nyekar dan membacakan puisi Pacarkecilku. Lantas ia meminta pamit.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Ibu Nuraeni Amperawati Firmina membaca puisi Pacarkecilku/Abdillah Danny

Selanjutnya adalah Butet Kertaradjasa. Dengan mimik wajah yang gagah, Pak Butet membacakan puisi Kamus Kecil. Saya merasakan perbedaan yang besar saat melihat beliau beraksi. Seakan ketika beliaulah yang membacakan, ‘anak panah kata’ akan semakin tepat sasaran, sebab dibawakan dengan mantap dan yakin. Kemudian dilanjutkan oleh Landung Simatupang. Lantas Faruk HT (saya meminta tanda tangan pada beliau selepas acara), Hairus Salim, Joni Ariadinata, Kris Budiman, hingga Raudal Tanjung Banua. Barulah kemudian seorang Romo masuk, memimpin hadirin melangitkan doa untuk Bapak Philipus Joko Pinurbo.

Pembawa acara itu masuk lagi. Namun, kali ini kabar yang ia bawa begitu menggembirakan hati. Katanya, sebelum acara kembali dilanjutkan, para hadirin dipersilakan untuk menikmati sajian di angkringan yang sudah siap. 

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Seperti kata Jokpin, Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan/Abdillah Danny

Langsung saja, begitu pembawa acara memberi aba-aba, dengan tangkas saya mengambil nasi kucing dan sate usus. Namun, ternyata keserakahan saya tak disambut dengan keserakahan orang lain. Jadilah saya malu sendiri, lalu untuk kedua kalinya, kembali ke gerobak angkringan lantas menyeduh kopi dengan santai dan perlahan. Di sela keramaian itu, pembawa acara mengulang-ulang kutipan Jokpin soal angkringan: Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.

Acara berlanjut. Dari kelompok aktor, terdapat Kedung Darma Romansha yang baru saja main film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa. Lalu dari kalangan yang lebih muda, terdapat Mutia Sukma selaku sastrawan dan pengelola JBS (Jual Buku Sastra), juga Komang Ira Puspitaningsih yang kini gemar berpuisi di kamar dapur. Dilanjutkan dengan Ons Untoro, Heru Joni Putra, serta masih banyak lagi. Ada pula Rumah Pantomim yang menyajikan pertunjukan singkatnya sebagai penutup.

Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi”
Mutia Sukma membaca puisi Jokpin/Abdillah Danny

Menyadari betapa menyentuh hatinya hari ini, saya tertunduk memekur. Ransel di punggung saya buka dan mengambil buku puisi Jokpin yang berjudul Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu. Selalu saja saya ngakak saat berjumpa puisi yang berjudul Duel. Kemudian saya menutup buku itu, melihat sekeliling yang tetiba hilang suara. Langit yang sesak, untuk sementara menyembunyikan bintang. Jalan raya terlihat ayem. Padahal ini hari seharusnya saya sedih. Namun, entah mengapa saya merasa belum. Hingga angin tiba-tiba berhenti dan terdengar suara jelas sekali di telinga saya:

Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi

Sebab kata-kata sudah besar,
sudah selesai studi,
dan mereka harus pergi
cari kerja sendiri.

(Telepon Genggam, 2003)*

* tentu saja kalimat terakhir di paragraf akhir tersebut adalah fiksi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Umbul Dunga 40 Hari Joko Pinurbo: “Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/umbul-dunga-40-hari-joko-pinurbo-selesai-sudah-tugasku-menulis-puisi/feed/ 0 42398