pulang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pulang/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 26 May 2025 03:22:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pulang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pulang/ 32 32 135956295 Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori https://telusuri.id/menelisik-rasa-kerinduan-pada-tanah-air-bersama-pulang-karya-leila-s-chudori/ https://telusuri.id/menelisik-rasa-kerinduan-pada-tanah-air-bersama-pulang-karya-leila-s-chudori/#respond Wed, 21 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47090 “Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh jelas keinginannya. Jelas siapa yang dituntut dan siapa yang menggugat. Di Indonesia, kami akrab dengan kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan dan siapa...

The post Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori appeared first on TelusuRI.

]]>

“Aku iri. Aku cemburu. Pertarungan di Paris saat ini sungguh jelas keinginannya. Jelas siapa yang dituntut dan siapa yang menggugat. Di Indonesia, kami akrab dengan kekisruhan dan kekacauan tetapi tak tahu siapa kawan dan siapa lawan.”

Sebelumnya, saya telah membaca dua buku karya Leila S. Chudori, yaitu Laut Bercerita dan Namaku Alam. Kedua buku ini berhasil membawa saya tenggelam dalam perasaan pahit dan situasi mencekam yang terjadi di Indonesia pada masa lalu.

Setelah membaca keduanya, saya memutuskan untuk membagikan pandangan saya tentang Pulang. Sebuah karya yang kembali mengajak saya menyelami kerinduan yang mendalam. Bukan sekadar keinginan untuk kembali ke tanah kelahiran, melainkan juga usaha menemukan kembali bagian diri yang hilang dalam perjalanan hidup.

Buku ini bercerita tentang Dimas Suryo, seorang jurnalis yang terpaksa mengungsi ke Paris setelah peristiwa 1965, yang kita kenal sebagai Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Peristiwa tersebut mengubah hidupnya secara drastis, memaksanya meninggalkan tanah air dan hidup dalam keterasingan. Melalui perjalanan Dimas dan tokoh-tokoh lainnya, Leila S. Chudori menggali esensi kerinduan terhadap tanah air, pencarian identitas, dan keterasingan yang tak terhindarkan.

“Kalau aku mampus, tangisku/ yang menyeruak dari hati/ akan terdengar abadi dalam sajakku/ yang tak pernah mati.” (Pulang, Jakarta, 10 Juni 1998)

Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori
Kutipan dalam bab Epilog/Clementina HB Putri

Rindu yang Hidup dalam Kenangan

Pulang bukan hanya tentang pengasingan fisik, melainkan juga tentang pengasingan emosional. Meskipun Dimas tinggal jauh di Paris, kerinduannya terhadap Indonesia tak pernah padam. Baginya, tanah air bukan sekadar lokasi geografis, melainkan juga bagian dari dirinya—menyatu dalam ingatan, kenangan, dan identitas. Kerinduan itu begitu nyata ketika Dimas mengingat rumah, keluarga, dan teman-temannya yang tertinggal di Indonesia. Meski Paris menawarkan kebebasan, rasa terasing dan kesepian tetap menghantuinya.

Ada satu kutipan yang sangat menggugah hati saya: “…entah bau tanahnya setelah terkena rintik hujan, atau buah-buahan tropis yang ganjil bentuk dan warnanya, atau perempuan Solo yang berbicara dengan ritme begitu lamban dan berirama, atau tukang becaknya yang otoriter dengan telunjuk mengacung ke atas setiap kali hendak menyebrang jalan hingga kendaraan berhenti dengan patuh” (hal. 231).

Kutipan ini menangkap bagaimana rindu seringkali hadir dalam hal kecil dan sederhana. Tidak sekadar nostalgia akan tempat, tetapi juga suasana dan pengalaman nyata yang berbentuk kenangan. Sebagai anak rantau, saya merasakan hal serupa. Rindu yang datang tanpa aba-aba, mungkin dari suara angin, aroma tertentu, atau sekadar kilasan pemandangan yang membangkitkan memori akan rumah. Rindu itu tak pernah benar-benar pergi, karena ia hidup dalam hal-hal kecil yang terus menghubungkan kita dengan tempat yang kita cintai.

Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori
Bagian cerita yang menggugah saya soal pengetahuan Dimas tentang tanah airnya/Clementina HB Putri

Menjelajahi Kerinduan Dimas Suryo

Kerinduan Dimas bukan hanya tentang Indonesia sebagai tempat, melainkan juga tentang masa lalu yang tak bisa kembali. Ia bertanya-tanya, apakah Indonesia yang ia rindukan masih ada? Atau apakah tanah airnya telah berubah menjadi sesuatu yang asing? Perasaan ini begitu mendalam, karena meskipun ia tinggal di Paris, kebebasan yang ada di sana tidak bisa menggantikan perasaan kehilangan yang menghantuinya.

Salah satu kutipan yang menurut saya menggambarkan perasaan Dimas dengan sangat tepat itu ada di halaman 74: “Jika di pinggiran Peking Merah berarti bahagia atau revolusioner, maka untuk warga Indonesia berarti warna sungai dan darah yang mengalir sia-sia.”

Di sini, merah bukan hanya warna, melainkan juga simbol luka sejarah yang membekas. Dimas menyaksikan bagaimana perubahan di Indonesia terjadi secara drastis, menghapus banyak hal yang dulu ia kenal dan cintai. Ia merindukan Indonesia yang penuh harapan, tetapi kini ia harus menerima kenyataan bahwa tanah airnya telah berubah. Ini adalah pengalaman universal bagi siapa pun yang terpaksa meninggalkan tempat asalnya dan kembali untuk menemukan bahwa semuanya tak lagi sama.

Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori
Catatan penting di halaman 74/Clementina HB Putri

Sejarah yang Membatasi Kerinduan

Salah satu kekuatan terbesar dalam buku Pulang adalah bagaimana Leila S. Chudori meramu kerinduan ini dalam konteks sejarah Indonesia. Dimas tidak hanya terpisah secara fisik dari Indonesia, tetapi juga oleh peristiwa politik yang mengubah segalanya.

Peristiwa 1965 membuatnya terusir, dan ketika ia kembali, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa sejarah telah membentuk ulang tanah airnya, membuatnya terasa asing bahkan bagi mereka yang pernah tinggal di sana. Sesuai dengan kutipan pada halaman 287: “Sesuai dengan sejarah: jenderal yang diseret dan disiksa, lalu dicemplungkan ke dalam Lubang Buaya. Dan itu salah Partai Komunis Indonesia. Juga salah keluarga PKI dan saudara-saudara PKI. Termasuk anak-anak keluarga PKI yang baru lahir atau bahkan yang belum lahir tahun 1965. Semua dianggap berdosa.”

Sejarah menciptakan batas antara mereka yang “dapat kembali” dan mereka yang tidak lagi diakui sebagai bagian dari Indonesia. Dimas dan banyak tokoh lain dalam buku ini hidup dalam keterasingan yang tidak mereka pilih, menjadi korban dari narasi sejarah yang membungkam banyak suara.

Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori
Latar sejarah kelam Indonesia membuat cerita novel ini begitu kuat/Clementina HB Putri

Pulang: Lebih dari Sekadar Kembali

Dalam Pulang, Leila S. Chudori menunjukkan bahwa pulang bukan hanya soal kembali ke tempat yang kita tinggalkan. Pulang juga berarti menghadapi kenyataan bahwa tempat itu mungkin telah berubah, dan kita pun sudah berbeda. Dimas harus menerima bahwa rumah yang ia rindukan mungkin tak lagi ada, atau setidaknya tak seperti yang ia ingat.

Leila S. Chudori menggambarkan perjalanan Dimas sebagai perjalanan batin yang penuh ambivalensi. Kerinduan yang ia rasakan bukan hanya tentang tempat, tetapi juga tentang identitas yang terpecah antara dua dunia yang sangat berbeda. Pulang, dalam konteks ini, menjadi lebih dari sekadar perjalanan fisik—melainkan upaya memahami diri sendiri dalam sejarah yang telah mengasingkan dirinya.

Bagi Dimas, dan bagi banyak orang yang mengalami keterasingan akibat sejarah, pulang adalah perjalanan yang tak pernah benar-benar selesai. Meskipun ia kembali ke Indonesia, ia tetap terombang-ambing antara masa lalu dan masa kini, antara harapan dan kenyataan. Pulang adalah kisah tentang rindu yang tak pernah mati, tentang mencari rumah dalam diri sendiri, dan tentang menerima bahwa terkadang, rumah yang kita cari mungkin sudah berubah atau bahkan tak lagi ada.

Leila S. Chudori dengan cermat menggambarkan perjalanan batin ini dengan sangat mendalam. Buku ini mengajak kita merenungkan arti rumah, tanah air, dan identitas—serta bagaimana sejarah membentuk perasaan kita terhadap tempat yang kita sebut rumah.


Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Cetakan Pertama: Desember 2012
Cetakan Keduapuluh Enam: Desember 2023
Cetakan Keduapuluh Tujuh: Februari 2024
Penyunting: Christine M. Udiani
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tebal: xiv + 461; 13,5 x 20 cm
ISBN 13: 978-602-424-275-6


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelisik Rasa Kerinduan pada Tanah Air bersama “Pulang” Karya Leila S. Chudori appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelisik-rasa-kerinduan-pada-tanah-air-bersama-pulang-karya-leila-s-chudori/feed/ 0 47090
Cara Terbaik Memaknai Pulang (2) https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-2/ https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-2/#respond Thu, 23 Sep 2021 09:11:55 +0000 https://telusuri.id/?p=30270 Pagi itu masih sepi. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, saat bulan puasa, para santri (dan teman-teman saya) akan tidur sebentar, biasanya mulai pukul 06.30-an. Namun, saya tidak, karena saya sudah bersiap untuk memulai sebuah perjalanan....

The post Cara Terbaik Memaknai Pulang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi itu masih sepi. Seperti kebanyakan orang pada umumnya, saat bulan puasa, para santri (dan teman-teman saya) akan tidur sebentar, biasanya mulai pukul 06.30-an. Namun, saya tidak, karena saya sudah bersiap untuk memulai sebuah perjalanan.

pagi di bumi Dieng
Pagi di bumi Dieng/Helmi Santosa

Barangkali, hari ini adalah awal puasa terbaik saya

Pada perjalanan pertama ini saya sengaja tidak membawa seluruh barang bawaan saya. Saya hanya pergi satu hari. Ya, saya masih akan balik lagi ke pondok, jadi barang-barang yang dirasa tidak perlu akan saya tinggal di sini.

Motor sudah dipanaskan, ransel kecil berisi pakaian ganti juga sudah saya bawa. Tanpa banyak berkata, saya segera meluncur. Saya hanya berpamitan kepada beberapa orang yang kebetulan saya temui.

Pada perjalanan pertama ini saya sengaja tidak membawa seluruh barang bawaan saya. Saya hanya pergi satu hari. Ya, saya masih akan balik lagi ke pondok, jadi barang-barang yang dirasa tidak perlu akan saya tinggal di sini.

Motor sudah dipanaskan, ransel kecil berisi pakaian ganti juga sudah saya bawa. Tanpa banyak berkata, saya segera meluncur. Saya hanya berpamitan kepada beberapa orang yang kebetulan saya temui.

“Ke mana?”
“Naik.”

Begitulah jawaban saya tiap kali ada yang bertanya saya hendak pergi ke mana.


gerbang menuju Dataran Tinggi Dieng
Gerbang menuju Dataran Tinggi Dieng/Helmi Santosa

Cerah dan sedikit berawan. Suasana pada pagi, Selasa 13 April 2021, tampaknya memang sedang berpihak kepada saya—hanya untuk pagi itu.

Motor terus melaju naik. Benar, saya tidak bohong. Saya memang sedang naik, karena ketika saya sedang menikmati hijaunya lahan perkebunan yang berada di kaki bukit, selangkah lagi saya sudah hampir memasuki Dataran Tinggi Dieng.

Sebelum masuk kawasan Dieng, saya sempat berhenti sebentar di sebuah gardu pandang. Kalau dari bawah, letaknya berada di kanan jalan. Parkirnya cukup luas dan tidak memakan bahu jalan. Dan yang terpenting, dari sini kita bisa melihat bagaimana Tuhan menjadikan bumi Dieng tampak begitu asri nan sejuk.

pemandangan dari gardu pandang Tieng (2)
Pemandangan dari gardu pandang Dieng/Helmi Santosa

Puas menikmati panorama perkebunan, saya kembali melanjutkan perjalanan. Naik lagi, menuju Dataran Tinggi Dieng.

Saat itu kira-kira pukul 10 pagi, dan saya sedang asyik menyusuri jalanan Dataran Tinggi Dieng yang meliuk-liuk. Sangat indah, sekaligus ngeri. 

Bagi yang sudah pernah, pasti tahu kalau di sepanjang jalan menuju Dieng ini ada banyak kebun kentang, terletak di lereng-lereng perbukitan yang lumayan curam, dengan kemiringan hampir 90 derajat. Kadang terlihat beberapa petani yang menggendong hasil panen mereka sambil menuruni bukit, dan itulah yang membuat saya kagum.

Siapapun bisa tergoda untuk singgah dan menjelajahi bumi Dieng, apalagi saat itu Dieng sedang cerah-cerahnya. Namun, bukan di sini tujuan saya. Perjalanan yang akan saya tempuh masihlah jauh sehingga saya tidak sempat mampir dan menikmati keindahan alam Dieng lebih lama.

Meski begitu, saat sedang menyusuri hamparan buminya yang membentang dan tinggi (kita bisa memandang jauh dari sini, tanpa penghalang), ditambah sejuk dan dinginnya udara Dieng, saya rasa, mungkin inilah awal puasa terbaik saya—sepanjang hidup yang sudah saya jalani.

Rasanya lepas dan bebas.

Tidak ada jagoan yang berdiam di kandang

Kalau dari tadi saya berjalan naik, kini sudah saatnya turun. Dieng sudah berada jauh di belakang. Saya segera menelpon seorang teman yang memang sudah lama ingin saya kunjungi. Rumahnya cukup jauh, terletak di Kec. Kalibening, Kab. Banjarnegara. 

Di sepanjang perjalanan menuju ke sana, sesekali saya berhenti untuk melakukan video call. Iya, untuk menunjukkan lokasi saya dan meminta arah. Persimpangan mana yang harus saya ambil dan di gang mana saya harus belok, kurang lebih seperti itu. Cukup merepotkan memang, karena saya hanya sendiri.

Lewat satu jam lebih, akhirnya saya bertemu dengannya tepat di jalan masuk menuju kampungnya, jalan beraspal kasar yang diapit oleh hamparan persawahan yang membentang luas. Dugaannya bahwa saya hanya datang seorang diri adalah benar, karena ia heran kenapa saya sampai menelepon berkali-kali di sepanjang jalan. 

Melepas tawa sebentar, kami segera meluncur menuju rumahnya. Yang penting sudah sampai.

Waktu itu hampir tengah hari, beberapa menit menjelang adzan Dzuhur. Sebagaimana remaja lainnya, yang saya lakukan pertama-tama tentu saja numpang nge-charge. Barulah kemudian setelah kami selesai melaksanakan shalat Dzuhur, obrolan panjang mengalir di antara kami berdua hingga waktu menunjukkan pukul 2 siang. Waktunya saya pamit. Perjalanan masih panjang.

Sayangnya, hujan mulai merintik. Di teras rumahnya, saya segera mengenakan mantel dan memakai sandal jepit (sebelumnya sepatu). Bila menunggu reda, saya khawatir kesorean saat tiba di tujuan nanti, terlebih perjalanan kira-kira akan memakan waktu 2—3 jam. Akhirnya saya bergegas pamit, meninggalkan rumah mungilnya dan menuju jalan perbukitan yang dari kejauhan tampak gelap.


Benar-benar sepi, hanya ada saya seorang diri. Jalan yang meliuk naik-turun dan rimbun karena lebatnya pepohonan di tepi jalan. Sesekali saya merinding karena, selain hari yang memang sudah mulai gelap, kondisi di jalanan perbukitan itu benar-benar sepi dan sunyi, apalagi kadang hujan turun cukup deras. Saya pun hanya berpapasan dengan dua-tiga kendaraan, setelah itu tidak ada lagi. 

Namun, di samping itu, saya lebih sering merasa geram karena sudah hampir satu jam tapi saya belum juga keluar dari jalanan perbukitan ini. Sedikit jengkel, dan lebih karena bosan. Saya sempat berhenti sebentar untuk mengecek Google Maps, baru kemudian saya tahu kalau saya sedang berada di Pemalang. Ini salah satu foto jalan yang sempat saya ambil.

Begitu keluar dari perbukitan ini, saya sangat merasa lega. Akhirnya rasa jengkel saya berakhir sudah. Sangat membosankan harus melewati jalan tersebut seorang diri.

Saya lalu berhenti di sebuah persimpangan yang kebetulan sedang ada dua orang bapak-bapak di situ. Langsung saja saya berhenti dan menanyakan arah Kota Tegal. Setelah ditunjukkan arahnya, saya kembali meneruskan perjalanan.

Tentang subjudul ini, “Tidak Ada Jagoan yang Berdiam di Kandang”, dari sinilah ceritanya bermula.


jalan perbukitan di Pemalang (2)- Helmi Santosa
Jalan perbukitan di Pemalang/Helmi Santosa

Sore itu, di Pantura, cuacanya cukup cerah—dan tangan saya juga sudah mulai menghitam. Sangat berbeda dengan satu setengah jam yang barusan saya lalui. Agak ngeri ketika saya yang mengendarai motor harus sesekali “mengalah” dan memberikan jalan untuk kendaraan-kendaraan besar yang melaju kencang. Banyak sekali kendaraan besar yang melintas di jalur Pantura.

Karena tak ada belokan, saya terus saja melaju hingga kemudian, secara tiba-tiba hujan kembali turun dengan derasnya. Tangan saya, yang tadi kepanasan, sekarang mulai menggigil kedinginan. Hujan turun sangat deras.

Saya masih terus melaju. Ketika terlihat sebuah keramaian yang saya yakini itu adalah kota, saya sedikit melambat. Mengamati papan petunjuk, berharap ada tulisan arah jalan menuju Slawi. Begitu kata Google Maps.

Saya hendak mengunjungi teman saya di salah satu ponpes di Tegal. Pondoknya terletak di Kec. Margasari, dan untuk menuju ke sana, katanya lebih dekat lewat Slawi.

Di sebuah perempatan kecil, masih di Pantura, saya melihat ada papan arah menuju Slawi. Tanpa pikir panjang, saya belok, keluar dari Pantura. Saya sekarang sudah memasuki jalan pasar yang ramainya bukan main, apalagi saat itu adalah hari pertama puasa. Ada banyak sekali orang, pejalan kaki dan pengendara, yang berkerumun dan mondar-mandir untuk membeli takjil, sedangkan saya sendiri, mulai punya firasat kalau saya kesasar.

Bukannya balik arah dan masuk lagi ke Pantura, saya terus saja melaju dan masuk semakin jauh. Orang-orang mulai jarang terlihat, dan sialnya, yang ada di sekeliling saya sekarang hanyalah sawah. Baterai ponsel saya sudah hampir habis, jadi saya matikan datanya, termasuk Google Maps; saya hanya akan memakainya untuk menelepon. Kini, saya kehilangan arah di tempat antah-berantah.

Yang saya tahu sekarang adalah bahwa saya harus terus jalan, jangan sampai saya bermalam di sini. Itu gila. Saya terus menyusuri jalan ini, yang kadang berlubang dan hanya dikelilingi sawah, tanpa tahu ke mana saya mengarah. Waktu itu sudah hampir Maghrib, sudah setengah jam lebih saya di jalan ini dan tidak juga terlihat ada jalan besar atau apa pun itu. Hanya sawah dan jalan berlubang, juga matahari yang perlahan mulai tenggelam.

Kalau kalian tahu, dan saya jujur, ketika itu saya hampir menangis dan dada mulai terasa sesak karena jengkel. Seketika itu juga saya teringat nyamannya berada di rumah. Saya pun jadi ingat saat saya bisa menyetir mobil di Jogja, di rumah. Saya sering ugal-ugalan dan berlagak sok jagoan. Sekarang, saya hampir menangis karena kesasar di negeri orang. Malu rasanya. Sangat malu.

Cerita selanjutnya mungkin akan terdengar dramatis, tapi memang itulah yang terjadi. Kalau saya berhenti sekarang, entah kapan saya akan sampai tujuan. Jadi, saya memutuskan untuk terus lanjut. Kebetulan ada seorang bapak yang baru pulang kerja, saya bertanya lagi, arah Kota Tegal. Ia mengatakan, kalau Tegal masih jauh ke arah barat. Benar, hampir satu jam lebih ini, sejak saya keluar dari Pantura, ternyata dari tadi saya berjalan ke arah timur. Itu artinya saya harus putar balik, dengan waktu tempuh dua kali lipat.

Beruntung, tak jauh dari lokasi saya tersebut ada persimpangan menuju jalan besar yang ternyata adalah Pantura. Langsung saja saya melaju sekencang mungkin, gaspol. Adzan Maghrib sudah berkumandang dari tadi dan saya belum berbuka. Tatkala melihat Indomaret, saya langsung menepi, membeli dua botol minuman ringan, lalu berbuka. Lega rasanya. Lega sudah keluar dari tempat antah-berantah, dan lega karena sudah melepas dahaga.

Singkat cerita, saya sudah memasuki Kota Tegal. Saya nyalakan Google Maps sebentar, lalu menuju ke pondok. Bukan, bukan pondok di Margasari. Ini adalah pondok tempat bertugas teman saya yang lain, sebut saja Mas Komandan. Saya tiba di sini sebelum Isya. Saya menceritakan perjalanan saya barusan kepadanya, saya diberi makan, lalu singgah di ruang tamu.

Saya sudah tidak mungkin lagi untuk melanjutkan perjalanan sendiri. Jadi, saya minta teman saya yang di Margasari itu untuk datang menjemput. Jarak antara pondoknya dan pondok Mas Komandan ini sekitar 30-an km. Ia pun akhirnya tiba saat jamaah di sini tengah mengerjakan shalat tarawih. Kami bertemu dan mengobrol. Khususnya saya, yang tentu saja bercerita lebih banyak.

Usai shalat tarawih, Mas Komandan mengantarkan kami berdua sampai ke perbatasan kota, saling berpamitan. Selepas itu, kami berdua menuju Margasari, sejauh 30-an km, dalam gelapnya malam di bumi Tegal.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cara Terbaik Memaknai Pulang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-2/feed/ 0 30270
Cara Terbaik Memaknai Pulang (1) https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-1/ https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-1/#respond Wed, 08 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28995 Sore-sore sebelumnya tak pernah lebih buruk dari sore itu. Saya biasanya mengisi waktu sore dengan berolahraga; terus seperti itu, dan saya merasa tidak ada yang salah. Namun, ketika sore tersebut datang, ia menyadarkan saya bahwa...

The post Cara Terbaik Memaknai Pulang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sore-sore sebelumnya tak pernah lebih buruk dari sore itu. Saya biasanya mengisi waktu sore dengan berolahraga; terus seperti itu, dan saya merasa tidak ada yang salah. Namun, ketika sore tersebut datang, ia menyadarkan saya bahwa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang selama ini selalu ditutup-tutupi dan berusaha untuk dialihkan. Saya muak.

Keputusan akhir: saya akan tetap pergi

Beberapa hari sebelumnya saya sempat menelepon seorang kawan, berbagi cerita. Saya menggerutu, menyalahkan keadaan, dan bahkan sampai mencela takdir. Imbas dari rasa muak yang telah menjalar. Kawan saya sangat memahami hal itu, bahkan sudah sejak lama. Ia hanya menyarankan satu hal.

“Berani minta maaf nggak?”
“Maksudnya?”
“Iya, minta maaf. Kamu kabur, nanti pas sudah pulang, baru minta maaf…“

Brilian, sekaligus gila. Namun, entah kenapa, menerima saran tersebut nyatanya memang membuat saya merasa lega. Saya memang butuh pergi. Saya sudah sangat kurang piknik. Bagaimana tidak, sudah setahun ini, sejak pandemi dimulai, saya baru piknik dua kali. Pertama, ke Pantai Timang bersama keluarga. Kedua, menyusuri Gua Pindul dan Sungai Oya bersama seorang kawan.

Saya sama sekali tidak mengeluh. Masih banyak orang yang keadaannya mungkin jauh lebih tidak menyenangkan daripada saya. Lebih tidak bisa piknik. Akan tetapi, yang menanggung akibat dari semua ini adalah orang-orang terdekat saya sendiri, terutama keluarga. Saya menjadi pemurung, pendiam, tidak menggubris ucapan orang tua, bahkan sampai membentak adik saya sendiri untuk alasan yang sama sekali tidak jelas.

Sehatkan mentalmu, itu yang terpenting

Akhirnya, saya mulai menyusun rencana perjalanan. Perjalanan seorang diri. Membuka dompet dan saldo rekening yang totalnya kurang lebih hanya dua jutaan, kemudian mulai merencanakan agenda perjalanan di Google Calendar. Mulai menimbang dan menimbang, hingga sampai pada sebuah keputusan final. Bagaimanapun, saya akan tetap pergi. Demi kesehatan mental saya, itu yang pertama. Kemudian, yang terpenting, demi keluarga. Saya tidak mungkin terus-terusan bersikap seperti ini kepada mereka. Ini sudah terlalu buruk.

Lalu tibalah sore itu, sore yang membuat pengap satu kamar. Jadwal “kabur” saya sebenarnya lusa, tapi sepertinya sudah tidak bisa. Saya harus segera pergi besok; dan kalau bisa, dengan cara yang baik. Bukan kabur. Apa yang saya alami sore itu benar-benar sudah berada di puncaknya: saya membenci rumah saya sendiri. Saya sudah muak tinggal di rumah. Lihat, sudah sampai separah itu keadaan mental saya. Saya memang butuh pergi.

Jangan kabur, tinggalkan rumah dengan cara yang baik

H-1 keberangkatan, siangnya, semua perlengkapan sudah siap. Saya menaruh semua tas di dalam lemari baju, sengaja saya sembunyikan dulu. Satu roll bag ukuran 25L yang berisi pakaian, dan satu ransel sedang yang isinya adalah tetek bengek perjalanan. Intinya, untuk jaga-jaga.

Roll bag saya selempangkan di punggung, duduk rapi di jok belakang; sedangkan ransel saya gendong di depan, tepat menutupi seluruh bagian depan tubuh saya. Itu rencananya. Ya, saya naik motor.

Sore yang dinanti tiba. Saya hanya bilang kepada Bapak dan Ibu kalau saya mau pergi, sudah. Dan mereka, setelah terdiam beberapa saat, akhirnya mengizinkannya. Mungkin mereka akhir-akhir ini juga sudah paham dan melihat, betapa perubahan sikap saya belakangan ini juga sudah mulai menggelisahkan. Boleh jadi memang ini solusi terbaik—dan itu akan terbukti beberapa hari kemudian.

Saya berpamitan (bukan kabur), lalu bergegas pergi meninggalkan rumah. Belum jauh, tepat di ujung gang, saya mengirimkan pesan WhatsApp ke Bapak, tentang alasan saya pergi dari rumah. Singkatnya, sekali lagi, demi kesehatan mental dan demi kebaikan keluarga.

Bapak saya merespon dengan jawaban positif, memahaminya dengan baik; membuat saya pribadi lega, seolah perjalanan ini memang benar-benar jalan keluar terbaik. Saya meninggalkan rumah dengan perasaan lapang.

Di sore yang kebetulan sedang cerah itu, motor saya melaju membelah keramaian. Keluar dari permukiman, melintasi kota, lalu perlahan menuju perbatasan.

Kawan saya benar; yang saya butuhkan hanyalah piknik. Hanya itu. Saya begitu menghayati kepergian saya kali ini. Bahkan, sembari menatap langit yang sedang cerah-cerahnya, saya sendiri sampai bergumam, “Seindah inikah senja?”

Akui saja, sekolah adalah salah satu tempat terbaik untuk melepas rindu

Tujuan pertama saya adalah Temanggung. Di sanalah kawan-kawan saya berada. Saya adalah lulusan sebuah pesantren di kota itu. Kawan-kawan saya sekarang sudah menjadi musyrif (pengurus). Setahun lebih tidak berjumpa, entah seperti apa bentuk mereka sekarang.

Dari Jogja saya berangkat sekitar pukul 4 sore, dan mulai memasuki kota Temanggung tepat ketika adzan Maghrib. Saya mampir shalat sebentar di Masjid ash-Shahabat, dekat Alun-Alun Temanggung. Sungguh lega rasanya bisa tiba dan shalat di sini lagi. Dulu, kalau hendak ke pondok, saya hampir selalu mampir di masjid ini. Tempat yang sangat cocok untuk rehat sejenak.

Masjid/Helmi Santosa

Selepas shalat, saya segera menaiki motor dan mulai menuju pondok. Pondok saya terletak di Kecamatan Kedu, di tengah-tengah area persawahan—yang pada musim tertentu berubah menjadi ladang tembakau.

Memasuki Kedu, hawa dinginnya yang khas sudah mulai terasa. Saya sangat mengenal hawa dingin ini, sekaligus amat merindukannya (saya mondok di sini lima tahun). 

Perempatan Kedu sudah terlihat di depan mata. Ah, akhirnya. Belok kiri, mulai masuk area persawahan, untuk kemudian melampiaskan semuanya. Di jalanan yang gelap dan sepi itu (sebenarnya ramai jika bukan malam hari), di tengah-tengah hamparan sawah yang tentu saja tidak terlihat, juga di bawah embusan angin malam dan hawa dingin Temanggung, saya berteriak kegirangan. Sangat girang.

“Seperti inikah rindu?”

Seringnya, teman-teman terdekat kita adalah mereka yang “tidak waras”

Motor saya berhenti di halaman salah satu bangunan yang berada di kompleks pondok. Belum ada yang mengetahui kedatangan saya, kecuali seorang kawan—sekaligus kolega. Begitu saya mengabarinya, langsung seketika itu juga dia mengutus Naval (Naufal, Nopal, Gopal, atau apalah), seorang “mantan calon akmil” untuk menjemput dan mengawal saya. Dia adik kelas kami. Salah satu yang paling gila dari sekian banyak teman yang “gila”.

Belum ada tiga meter, di tengah padatnya pemukiman warga kompleks pondok, dan di waktu Maghrib, waktu yang biasanya para santri sedang mengaji; dia langsung berteriak heboh. Kami bahkan belum saling bertatap muka, tapi ia dari kejauhan sudah berteriak begitu hebohnya. Kami bersalaman mantap, beradu dada, berpelukan erat, saling menepuk bahu, dan kemudian saling berceloteh.

Naval membawakan tas saya, melewati para santri yang sedang mengaji di teras masjid, menuju ruang tamu. Kemudian, tak lama, satu per satu kawan-kawan saya berdatangan. Menyalami, memukul, bahkan ada yang tak henti-hentinya menabrakkan badannya ke saya.

Obrolan hangat pelepas rindu pun mengalir setelah itu.

Suasana malam hari/Helmi Santosa

Besok sudah puasa

Usai shalat Isya, beberapa kawan yang sudah memasuki ruang tamu, mulai melihat ponsel masing-masing. Ada sesuatu yang sudah mereka tunggu sedari tadi: pengumuman 1 Ramadan. Saya pun demikian, ikut menanti kabar tersebut.

Baru saja mendapat kabar kalau 1 Ramadhn jatuh esok hari, tiba-tiba datang lagi seorang kawan, kakak kelas. Ketika ia melihat saya yang mengintip keluar dari balik jendela ruang tamu, ia langsung menyerbu masuk. Menabrakkan badan, memukul, dan mendorong saya sampai ke WC.

Ia datang, mengabari kami yang ada di ruang tamu, kalau Ustadz (kepsek) akan mengimami tarawih perdana di masjid timur (pondok ini memiliki dua masjid, letaknya sedikit berjauhan). Jarang sekali Ustadz bisa mengimami tarawih di pondok, karena kesibukannya.

Kawan saya tersebut akhirnya mengajak saya shalat di masjid timur, membonceng motornya. Tiba di halaman masjid (paving block) yang waktu itu sedang ramai-ramainya santri, dengan kampretnya kawan saya itu membawa saya bolak-balik di depan masjid. Membuat para santri yang ketika itu sedang berada di teras, seketika melihat ke arah kami. Malunya bukan main, meski sebagian besar dari mereka tidak mengenal saya.

Hari itu, di pondok, saya menghabiskan malam dengan mengobrol bersama teman-teman.

Apakah perjalanan saya sudah selesai di sini? Tentu belum.

Besok sudah puasa, yang itu berarti perjalanan saya akan dimulai bersamaan dengan dimulainya bulan Ramadhan.

12 April 2021, bersiap menyambut hari-hari yang akan memberi saya sekian banyak pengalaman baru.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cara Terbaik Memaknai Pulang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cara-terbaik-memaknai-pulang-1/feed/ 0 28995