pulau babar Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pulau-babar/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 14:55:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 pulau babar Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/pulau-babar/ 32 32 135956295 Kisah yang Hidup dalam Tari Seka Besar https://telusuri.id/kisah-yang-hidup-dalam-tari-seka-besar/ https://telusuri.id/kisah-yang-hidup-dalam-tari-seka-besar/#respond Mon, 24 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46414 Pada Januari lalu kami, tim dari Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir & Laut (PKSPL) IPB, tiba di Maluku Barat Daya untuk menganalisis dampak lingkungan dari beberapa kegiatan di wilayah tersebut. Tujuannya memberikan rekomendasi untuk pengelolaan...

The post Kisah yang Hidup dalam Tari Seka Besar appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada Januari lalu kami, tim dari Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir & Laut (PKSPL) IPB, tiba di Maluku Barat Daya untuk menganalisis dampak lingkungan dari beberapa kegiatan di wilayah tersebut. Tujuannya memberikan rekomendasi untuk pengelolaan yang lebih.

Namun, siapa sangka bahwa kunjungan ini justru membawa kami pada pengalaman sosial budaya yang mendalam?

Perjalanan kami dari Jakarta tidak hanya disambut bentang alam yang memesona, tetapi juga masyarakat yang begitu hangat. Setiap kali kami menginjakkan kaki di Pulau Masela dan Pulau Babar, ada satu hal yang selalu hadir, yakni Tari Seka Besar.

Awalnya, kami mengira ini hanyalah bentuk penyambutan biasa. Namun, semakin kami melihat dan mendalaminya, semakin kami penasaran, apa sebenarnya makna dari tarian ini?

Bersama para penari setelah acara penyambutan Tari Seka Besar/Alin Rahma Yuliani & Hera Ledy Melindo

Sejarah Kelahiran Tari Seka Besar

Dalam esainya terkait kebudayaan, Wakim (2014) menyebut Tari Seka merupakan sebuah tarian yang merepresentasikan seni budaya tradisional dan menggambarkan kehidupan masyarakat Masela. Tari Seka Besar adalah warisan seni budaya yang menggema dari gerakan ritmis sambil mencerminkan cerita, nilai, dan sejarah yang terus hidup di tengah masyarakat.

Tari Seka Besar biasanya ditampilkan dalam acara-acara adat, seperti syukuran atau bahkan saat menyambut tamu penting. Lebih dari sekadar hiburan, Tari Seka Besar ternyata merupakan cara masyarakat Masela menyampaikan cerita kehidupan mereka, sekaligus menjaga tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Dibawakan oleh puluhan penari dengan pakaian adat berwarna cerah, Tari Seka Besar menjadi cerminan keramahtamahan serta kebersamaan masyarakat setempat. Gerakan mereka menyerupai tarian gelombang laut yang terus menari di pesisir pantai Masela. Gerakannya sederhana, tetapi penuh makna, mengingatkan kita akan hubungan erat antara manusia dan alam.

Di balai desa Masela, suasana terasa hangat meskipun terik panas matahari mulai menerjang. Sejumlah tetua adat dan kepala desa berkumpul, membentuk lingkaran. Di antara mereka, Pak Stevanus Tiwery membuka percakapan dengan suara tenang dan berwibawa. 

Beliau menjelaskan, secara etimologi istilah “Seka Besar” memiliki makna mendalam yang berasal dari beberapa istilah lokal. Ada “Ehe Lawn”, terdiri dari ehe yang berarti tari dan lawn  yang berarti besar. Ada pula “Nyilai Lewna” dengan makna serupa: nyilai (tari) dan lewna (besar). Selain itu, masyarakat Masela juga mengenal istilah lokal lainnya, yakni “Wneyseka” yang berarti menyanyi bergembira sambil menggerakkan kaki secara serentak.

“Tari Seka Besar lahir dari pengamatan seorang lelaki sederhana bernama Kowjer Penaonde, yang menemukan inspirasi dari kambing-kambingnya,” ujar Pak Stevanus Tiwery sembari mengingat kembali kisah lama yang diwariskan secara turun-temurun. 

Kisah yang Hidup dalam Tari Seka Besar
Forum Group Discussion di balai desa Masela dengan para tetua adat dan kepala desa/Hera Ledy Melindo

Sehari-harinya, Kowjer menggembalakan kambing di hutan yang disebut Amukryene, sebuah tempat subur yang sejak lama menjadi lokasi penggembalaan. Namun, pada suatu hari yang tampaknya biasa, sebuah peristiwa luar biasa mengubah hidupnya dan melahirkan salah satu tradisi paling berharga di daerah itu. 

Menurut cerita yang disampaikan oleh Pak Stevanus Tiwery, Kowjer seperti biasa membawa kambing-kambingnya ke hutan. Dalam penggembalaan itu, dia menyadari ada satu ekor kambing yang hilang dari kawanan. Dengan perasaan gelisah, ia masuk lebih jauh ke dalam hutan untuk mencarinya. Langkah-langkahnya membawa Kowjer ke sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Pipnukra, sebuah kawasan lokal yang sering digunakan untuk memelihara kambing.

Di sana, Kowjer menemukan pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Ketika berada di naungan pohon beringin yang rindang, ia melihat beberapa ekor kambing bermain dengan riangnya. Mereka melompat-lompat, saling mendorong, dan tampak menikmati permainan. Namun, yang paling mengejutkan adalah suara kambing-kambing itu terdengar seolah-olah sedang bernyanyi.

Rasa penasaran Kowjer membawanya bersembunyi di balik semak-semak. Ia ingin memastikan apa yang dilihat dan didengarnya bukanlah ilusi. Ternyata, kambing-kambing itu memang bergerak dan bersuara seirama, seperti sedang melakukan sebuah pertunjukan. 

Terinspirasi oleh pemandangan tersebut, Kowjer mulai mengikuti gerakan mereka, melompat, dan menyanyikan melodi yang muncul begitu saja dalam pikirannya. Dalam perjalanan pulang, Kowjer terus menyanyikan lagu yang ia ciptakan sambil menirukan gerakan kambing-kambing tadi. 

Orang-orang kampung yang melihat tingkahnya mengira ia sudah tidak waras. Mereka menyebutnya “kemasukan setan” bahkan “gila”, atau dalam bahasa lokalnya neploa, tetapi Kowjer tidak peduli. Baginya, momen di hutan itu adalah suatu pengalaman yang luar biasa.

Hari-hari berikutnya, Kowjer semakin sering menampilkan gerakan dan lagu yang ia ciptakan di Pipnukra. Rasa ingin tahu membuat warga kampung mendekatinya, mencoba memahami alasan di balik tingkah lakunya. 

Dari pertemuan itu, mereka akhirnya mengerti bahwa Kowjer tidak gila. Ia justru telah menemukan sesuatu yang luar biasa, sebuah gerakan tari yang terinspirasi oleh kambing-kambing di hutan. Lengkap dengan lagu yang ia beri judul Pipyo Mkyalimyese Wullyo atau Lihatlah Betapa Indahnya Buluh Kambing Itu.

Penemuan Kowjer berkembang menjadi tradisi yang lebih besar. Lagu dan tarian tersebut kemudian dikenal sebagai Tari Seka Besar. Sebuah seni yang juga bersifat sakral. 

Dalam sejarahnya, tari ini digunakan sebagai bagian dari upacara adat untuk para ksatria yang akan pergi berperang. Tari Seka Besar dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat melindungi dan memberikan keberanian kepada para pejuang yang membela negeri.

Tari Seka Besar kini menjadi simbol kebanggaan masyarakat Masela. Sebuah warisan budaya yang lahir dari kepekaan seorang peternak kambing terhadap alam sekitarnya. Kowjer Penaonde, dengan kreativitas dan keberaniannya, membuktikan bahwa inspirasi dapat datang dari mana saja, bahkan dari hewan-hewan yang digembalakan. Tarian ini bukan hanya seni gerak, tetapi juga sejarah hidup yang terus bercerita tentang hubungan erat antara manusia, alam, dan tradisi.

Tari Seka Besar dari jarak lebih dekat dengan puluhan penari lainnya/Alin Rahma Yuliani

Makna Filosofis dan Simbolisme Gerakan dalam Tari Seka Besar

Di depan kami, para penari berbaris, mengenakan kain basta merah yang melambangkan keberanian dan solidaritas. Berdiri di tengah lapangan terbuka, para penari bergerak dengan ritme yang teratur. Tidak ada yang bergerak sendiri. Semua kaki melangkah serempak, tangan saling bergandengan.

Gerakan mereka dimulai dengan Newtala, yang menyimbolkan penyatuan manusia dengan alam, refleksi dari kehidupan masyarakat pesisir yang erat dengan laut. Sementara Npeya adalah gerakan lembut yang dimainkan para penari perempuan, sebagai simbol dukungan dan semangat bagi penari yang berada di garis depan (Ayowane). Adapun gerakan Nweuk memiliki arti kaki yang tegas mengentak, melambangkan keberanian menghadapi tantangan hidup.

Kain basta merah yang digunakan para penari dalam upacara penyambutan Tari Seka Besar/Siti Erwina Youwikijaya & Hera Ledy Melindo

Sebagai penonton, momen paling mendalam adalah ketika salah satu penari Ayowane memimpin kelompok dengan gerakan penuh keyakinan. Penari terdepan menjadi simbol haluan perahu yang mengarungi lautan. “Kami hidup dari laut, dan tarian ini mengajarkan kami untuk terus maju, apa pun ombak yang mengadang,” ujar Pak Stevanus Tiwery.

Gemuruh tifa besar atau praya dimainkan dengan irama mengentak memenuhi udara. Alat seni musik tradisional ini memainkan peran penting dalam Tari Seka Besar. Berbentuk menyerupai tabung panjang, tifa besar menghasilkan suara yang dalam dan menggema, menciptakan ritme yang kuat dan dinamis.

Bunyi praya disebut-sebut menyerupai kokok ayam jantan di pagi hari. Simbol kesiapan dan semangat untuk memulai hari baru atau menghadapi tantangan. Dalam konteks Tari Seka Besar, praya tidak hanya menjadi pengiring musik, tetapi juga pengatur tempo bagi para penari.

Alat musik praya yang memainkan peran penting dalam Tari Seka Besar/Siti Erwina Youwikijaya

Tari Seka Besar memiliki makna sosial yang mendalam. Saat para penari bergandengan tangan dalam formasi melingkar, mereka menunjukkan solidaritas dan persatuan. Setiap lekukan gerak di tarian tersebut membuat kita seperti merasakan makna sosial dan kehidupan yang sederhana, tetapi kuat. Menandakan kita semua adalah bagian dari perjalanan yang dipandu oleh solidaritas dan saling mendukung.

Di balik keindahan gerakannya, Tari Seka Besar menjadi penghubung yang tak tergantikan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan masyarakat. Setiap langkah kaki yang bergerak serentak adalah jejak dari nilai-nilai luhur yang terus mereka rawat, seolah ingin berbisik kepada dunia, bahwa tradisi adalah cara terbaik untuk tetap mengenali diri sendiri.


Referensi:

Wakim, M. (2014, 29 Juli). Kesenian Tradisional Seka Besar (Ehe Lawn): Warisan Budaya Takbenda Di Pulau Masela Kini Diakui Sebagai Warisan Budaya Indonesia. Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XX. Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpkw20/wp-content/uploads/sites/70/2014/07/Artikel-ini-telah-di-cetak-dalam-Bruklet-WBTB-2013-untuk-mendapatkanya-silakan-download-di-sini..pdf.
Wakim, M. (2015, 12 Mei). Sejarah Tari Seka Di Pulau Masela. Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon. Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbmaluku/sejarah-tari-seka-di-pulau-masela/.
Wawancara dengan Bapak Stevanus Tiwery, tokoh adat Pulau Masela.

Foto sampul: Tari Seka Besar di Kepulauan Babar Timur/Alin Rahma Yuliani


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah yang Hidup dalam Tari Seka Besar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-yang-hidup-dalam-tari-seka-besar/feed/ 0 46414
Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/ https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/#respond Thu, 06 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45545 Setelah perjalanan panjang menyusuri Pangkajene dan Kepulauan, disaksikan deburan ombak musim timur, saya melanjutkan penjelajahan ke wilayah timur Indonesia. Destinasi kami adalah dua pulau di Maluku Barat Daya yang menyimpan ragam budaya, yakni Masela dan...

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah perjalanan panjang menyusuri Pangkajene dan Kepulauan, disaksikan deburan ombak musim timur, saya melanjutkan penjelajahan ke wilayah timur Indonesia. Destinasi kami adalah dua pulau di Maluku Barat Daya yang menyimpan ragam budaya, yakni Masela dan Babar.

Kali ini dimulai lewat jalur udara menuju Maluku hingga Saumlaki, ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Dari atas ketinggian, gugusan pulau-pulau kecil di Maluku tampak seperti bintik hijau di atas lautan biru. Saat roda pesawat akhirnya menyentuh landasan Bandara Mathilda Batlayeri, saya tahu perjalanan ini akan membawa banyak pelajaran.

Dari Saumlaki menuju Masela dan Babar, jalur laut kembali menjadi pilihan. Kapal yang tidak terlalu besar itu memotong gelombang dengan membawa kami menyusuri lautan lepas selama beberapa jam. Ombak yang menggulung, angin yang menusuk, dan suara mesin kapal yang meraung menjadi teman perjalanan yang tak terlupakan.

Masyarakat Masela dan Babar hidup sederhana dengan sejarah panjang budaya, kesehatan, kondisi geografis, dan keterbatasan fasilitas publik. Saya ingin mencatat detail tentang upaya masyarakat di sana bertahan menghadapi tantangan hidup sehari-hari.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
KM Sabuk Nusantara, kapal perintis penghubung pulau-pulau di perairan Maluku dalam jaringan tol laut, yang sangat diandalkan masyarakat/Alin Rahma Yuliani & Hera Ledy Melindo

Menyusuri Jejak Budaya dan Kesehatan di Masela

Pulau Masela menyambut kami dengan udara yang sejuk dan tenang. Setibanya di Desa Iblatmuntah, suasana berbeda langsung terasa. 

Desa ini menyimpan banyak kisah unik, salah satunya keberadaan sumur tua dengan nama lokal Tua Tanyema. Warga setempat percaya, sumur itu tidak pernah kering bahkan saat musim kemarau panjang. Saya bertemu dengan Bu Maria, seorang kader posyandu yang sudah 10 tahun mengabdi.

Tua Tanyema bukan hanya sekadar sumber air, melainkan juga dianggap sakral oleh masyarakat. “Sumur ini sudah ada sejak zaman nenek moyang kami. Airnya tidak pernah habis, bahkan saat musim kemarau,” katanya sambil menatap sumur berair jernih itu.

Melihat prosesi Tari Seka untuk menyambut tamu di Pulau Masela (kiri) dan mengunjungi sumur tua di Desa Iblatmuntah/Adipatra Kenaro Wicaksana

Saya sempat mencicipi air dari sumur tersebut, rasanya segar dan jernih tanpa perlu dimasak. Seperti menyimpan jejak waktu dari masa lampau.

Kemudian saya mengunjungi Puskesmas Pembantu (Pustu) yang sudah rusak selama lebih dari tujuh tahun. “Sekarang, pelayanan dilakukan di balai desa atau rumah kepala desa,” tambah Bu Maria dan Pak Melkisoa Kolabora, Kepala Desa Iblatmuntah. 

Untuk melahirkan, bidan dari puskesmas akan datang langsung ke desa. Namun, dalam banyak kasus, dukun beranak masih menjadi andalan. Uniknya, keberadaan dukun beranak tidak hanya dilihat sebagai solusi darurat, tetapi juga bagian dari tradisi. 

Kondisi bangunan Puskesmas Pembantu Iblatmuntah yang memprihatinkan/Adipatra Kenaro Wicaksana

“Dukun kami bekerja secara sukarela. Mereka tidak hanya membantu persalinan, tetapi juga menangani luka luar dan dalam,” ujar Bu Maria. Tradisi ini tetap hidup berdampingan dengan layanan kesehatan modern yang mulai dikenalkan ke masyarakat. Masalah kesehatan yang sering dikeluhkan, terutama lansia, adalah stroke, asam urat, dan asam lambung.

Kehidupan masyarakat banyak bergantung pada hasil laut, terutama ikan yang menjadi sumber protein utama. Sayur-mayur dan kacang-kacangan juga tersedia meski dalam jumlah terbatas, karena tanah di pulau ini lebih banyak berbatu sehingga sulit untuk bertani. Meski begitu, warga desa tidak menyerah pada keterbatasan. 

Langkah saya berlanjut ke Puskesmas Marsela. Perjalanan ini memberikan gambaran lebih luas tentang cara masyarakat Pulau Masela bertahan di tengah keterbatasan akses kesehatan. Jalanan berbatu dan berlumpur menjadi tantangan tersendiri, terlebih cuaca sedang terik sekali dari biasanya. Pak Toni Walkim, Kepala Puskesmas Marsela yang menemani perjalanan saya, menyebut akses ke puskesmas sering menjadi masalah besar.

Kondisi akses jalan yang cukup menantang dilalui untuk menuju Puskesmas Marsela/Adipatra Kenaro Wicaksana

“Kalau musim hujan, jalan ini bisa tertutup banjir. Kadang puskesmas harus tutup karena tidak ada yang bisa ke sana,” ujarnya sambil menunjuk genangan air yang hampir menutup sebagian jalan.

Setibanya di Puskesmas Marsela, saya disambut oleh bangunan sederhana yang tampak mulai menua. Beberapa bagian dinding terlihat retak, ditopang dengan kayu untuk mencegahnya roboh. “Ini akibat gempa beberapa tahun lalu,” jelas Pak Toni, “dana perbaikan belum turun, jadi kami hanya bisa menahan agar bangunan ini tetap berdiri.”

Di Pulau Masela, masalah sanitasi air bersih menjadi tantangan terbesar. Pak Toni menceritakan dua proyek besar, yakni Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) dan instalasi PDAM, yang gagal total. 

“Airnya asin dan berlumpur. Salah titik pengeboran menjadi masalah utama,” katanya kecewa. “Banyak yang bergantung pada sumur, terutama saat musim kemarau. Tapi, kami harus bijak menggunakannya agar tidak habis.”

Di akhir perjalanan saya di Marsela, saya duduk bersama warga dan kepala puskesmas di dekat gedung lama puskesmas yang mulanya terletak di bibir pantai. Gedung lama itu kini berkarat akibat paparan air garam, dan rencananya akan dialihfungsikan menjadi tempat rawat inap bagi staf. 

Berlatar suara deburan ombak, kami membincangkan perjuangan masyarakat. “Kami jauh dari segala hal, tapi kami punya semangat untuk bertahan,” kata Pak Toni sambil menatap puskesmas lawas itu.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
Gedung rawat inap Puskesmas Letwurung di Babar Timur/Adipatra Kenaro Wicaksana

Refleksi Diri di Ujung Pulau Babar

Perjalanan berikutnya membawa kami ke Pulau Babar, tepatnya di Desa Letwurung. Pulau ini memiliki keadaan yang sedikit berbeda dari Masela. Saya menemui kepala Puskesmas Letwurung, yang berbagi cerita tentang kondisi kesehatan masyarakat. 

“Diare sering terjadi saat musim buah tiba. Anak-anak langsung makan buah tanpa mencucinya,” katanya sambil menunjukkan data yang ia kumpulkan. Meski begitu, Puskesmas Letwurung cukup maju dengan sejumlah fasilitas, seperti panel surya, genset, dan ambulans.

Salah satu hal unik di Babar adalah penggunaan ramuan tradisional untuk kesehatan. Daun sukun, misalnya, dimanfaatkan menjadi teh untuk mengatasi masalah hati, sedangkan daun binahong digunakan untuk luka dan nyeri otot.

“Kami memadukan tradisi dengan medis modern. Itu cara kami untuk memaksimalkan alam dengan kehidupan kita,” jelas Bu Lina, seorang kader kesehatan.

Di Babar, saya juga melihat cara masyarakat memanfaatkan hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Selain ikan, mereka juga mengonsumsi sayur-mayur seperti talas, ubi, dan kacang hijau. Kehidupan di sini sederhana, tetapi penuh dengan pemanfaatan pangan lokal.

Ketika saya meninggalkan Marsela dan Babar, saya merasa membawa cerita yang layak untuk dibagikan tentang daya juang, budaya, dan harapan dari ujung negeri.

Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
Foto bersama kepala Puskesmas Letwurung/Adipatra Kenaro Wicaksana

Dari Maluku ke Sulawesi Tengah

Dari Maluku Barat Daya, saya melanjutkan ekspedisi ke destinasi berikutnya, yakni Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Perjalanan kali ini kembali dimulai dengan jalur udara, membawa saya melintasi lautan biru yang membentang luas. Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Syukuran Aminuddin Amir, Luwuk.

Udara hangat Luwuk menyambut saya, begitu pula semangat untuk mengeksplorasi wilayah ini. Ibu kota Kabupaten Banggai ini tidak hanya terkenal dengan pesona alamnya, tetapi juga menjadi saksi adaptasi masyarakat dengan kehidupan pesisir yang penuh dinamika. Setibanya di Luwuk, saya melangkah ke Desa Mulyoharjo dan Desa Sumberharjo, Kecamatan Moilong.

Lingkungan kampung yang tenang dan asri di kawasan perdesaan Kabupaten Banggai/Adipatra Kenaro Wicaksana

Desa Mulyoharjo dikenal dengan program posyandu yang rutin dilakukan setiap bulan. Kegiatan ini meliputi layanan untuk ibu hamil, balita, hingga lansia. Masyarakat memanfaatkan fasilitas antara lain pemeriksaan tekanan darah tinggi dan pemberian makanan tambahan berbahan lokal, seperti umbi-umbian dan jagung.

Namun, tantangan tetap ada. “Stunting di sini bukan soal kekurangan makanan, tapi pola asuh yang kurang peduli,” jelas Bu Yanti, seorang kader kesehatan. Puskesmas setempat merespons dengan penyuluhan langsung kepada ibu hamil, bahkan melibatkan aparat desa untuk mendatangi warga yang enggan mengikuti posyandu.

Sementara di Desa Sumberharjo, pasar harian menjadi denyut nadi ekonomi sekaligus tempat berkumpul warga. Dari hasil bumi hingga jamu herbal seperti sereh dan kunyit, pasar ini menawarkan ragam kebutuhan hidup.

  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)
  • Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2)

Kegiatan penyuluhan dan pelayanan kesehatan langsung di Desa Mulyoharjo dan Desa Sumberharjo, Kecamatan Moilong/Adipatra Kenaro Wicaksana

Selain itu, aktivitas fisik juga menjadi fokus utama desa. Puskesmas sering mengadakan senam lansia dan jalan sehat, bahkan pertandingan voli untuk ibu-ibu. “Ini bukan hanya soal kesehatan, tapi juga mempererat kebersamaan,” kata Bu Nina, kader kesehatan yang aktif di berbagai kegiatan.

Namun, permasalahan kesehatan seperti hipertensi dan asam urat masih banyak dijumpai. Untuk mengatasinya, puskesmas bekerja sama dengan desa mengadakan edukasi tentang pola makan sehat dan program inovatif, di antaranya lomba masak makanan bergizi.

Dari Mulyoharjo hingga Sumberharjo, saya melihat semangat warga dalam menjaga tradisi dan kesehatan tetap hidup. Meskipun tantangan ada, kerja sama antara masyarakat, puskesmas, dan aparat desa menjadi kunci keberhasilan. Kabupaten Banggai bukan hanya tempat, tapi sebuah pelajaran bahwa hidup yang harmonis tetap bisa diwujudkan.


Terima Kasih kepada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB) dan Bapak Dadang Herdiansyah, SKM., M.Epid., selaku Tenaga Ahli Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan kesempatan saya untuk menjelajahi potret kesehatan dasar di pulau-pulau kecil di Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Bali ke Banggai: Potret Kehidupan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-bali-ke-banggai-2/feed/ 0 45545